Pada  akhirnya  bab  ini  akan  memaparkan  konsep  kepemimpinan  politik  dan telogis  yang  diterapkan  oleh  Jamaah  an-Nadzir,  hal-hal  yang  mempengaruhi  konsep
tersebut,  kreasi  an-Nadzir  terhadap  konsep  kepemimpinan  imamah  yang  merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari konstruksi messianisme mereka.
A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik
Perpecahan umat dalam sejarah Islam pertama-tama bukanlah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi teologis melainkan disebabkan karena perbedaan
pandangan  politik  dalam  membangun
ummah
dan  sistem  kepemimpinan  seperti  apa yang  seharusnya  diterapkan  oleh  umat  Islam  pasca  meninggalnya  Muhammad.
Perbedaan  pandangan  tersebut –yang  pada  mulanya  adalah  masalah  politik-  pada
akhirnya  meluas  ke  ranah  teologi  dan  melahirkan  berbagai  macam  penafsiran  teologi dalam Islam.
Umat manusia sebagai mahluk sosial, di sepanjang sejarah dan di berbagai letak geografis,  memiliki  kecenderungan  untuk  hidup  berkelompok.  Dalam  proses  hidup
sebagai  sebuah  kelompok  masyarakat,  manusia  cenderung  untuk  menamai  kelompok masyarakat  tersebut  dengan  nama-nama  tertentu.  Nama  yang  diberikan  mengandaikan
adanya  konsepsi  dan  pandangan  kelompok-kelompok  tersebut  terhadap  imaji  mereka mengenai  kehidupan  sosial  dan  konsep-konsep  terapan  yang  mereka  sepakati  dalam
rangka menggapai kehidupan sosial yang mereka cita-citakan. Islam menyebut kesatuan kelompok mereka sebagai
ummah.
Ali Syariati dalam bukunya
Ummah dan Imamah
mengontestasikan kata
ummah
tersebut dengan beragam kata  dalam  berbagai  bahasa  yang  memiliki  kedekatan  makna  dengan  kata
ummah,
semisal
nation
bangsa,
qabilah
kabilah,
so
cietyjama‟ah  masyarakat,  tha‟ifah kelompok,
race
ras  dan  seterusnya.  Bagi  Syariati,  istilah
ummah
jauh  melampaui istilah-istilah  lain  yang  telah  disebutkan.  Istilah
ummah
secara  prinsipil  berarti  jalan yang terang. Artinya, sebuah kelompok manusia yang sedang menuju ke jalan tertentu.
Dengan  demikian,  kepemimpinan  dan  teladan,  jalan  dan  tempat  yang  dilalui,  tercakup pula  dalam  istilah
ummah
ini.  Dengan  berpijak  pada  pengertian  itu,  maka  keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan baik dalam tujuan, profesi, ras, status sosial, dan
gaya  hidup  yang  dipandang  sebagai  pengikat  paling  dasar  dan  sakral  antar  individu tidak  termasuk  dalam  hubungan  tadi.  Satu-satunya  pengikat  paling  penting  yang
mempersatukan individu-individu dalam konsep
ummah
Islam adalah pilihan jalan yang mereka lalui. Singkatnya,
ummah
adalah sekumpulan manusia yang memilih jalan yang sama  demi  menuju  suatu  tujuan
136
.  Gerakan  yang  mengarah  ke  tujuan  bersama  itulah yang menjadi landasan ideologis dalam konsep
ummah.
Konsep
ummah
dalam  pandangan  Islam  dengan  demikian  bersifat kosmopolitan.  Yang  ingin  dicapai  oleh
ummah
adalah  sebuah  kekerabatan  umat manusia  yang  melampaui  batas-batas  teritorial,  keturunan,  profesi,  suku  dan  ras.
Ummah
–dari  manapun  anggotanya  berasal–  disatukan    dalam  kesamaan  jalan  yang dipilih aqidah, jalan yang dimaksud disini adalah ajaran Islam yang telah disampaikan
Muhammad  melalui  risalah  kenabiannya  sebagai  sebuah  sarana  pemersatu.  Sisi kosmopolitan konsep
ummah
inilah  yang menjadikannya melampaui istilah lain dalam pandangan  Syariati,  sebab  istilah-istilah  yang  disebutkan  terdahulu  seluruhnya
mengisyaratkan adanya kelompok manusia yang menonjolkan bentuk, karakteristik, dan
136
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr, 2012, hlm 44-45.
kondisi-kondisi  lokalnya.  Semua  istilah  tersebut  bagi  Syariati  bersifat  statis  dan  tidak mengandung unsur gerakan. Sedangkan
ummah
sebagai sebuah istilah sudah merupakan sebuah istilah yang dinamis.
Kedinamisan  konsep
ummah
terletak  pada  tujuan  yang  hendak  dicapai, keberadaan  tujuan  mempersatukan  setiap  anggota  yang  memilih  „jalan‟  yang  sama
untuk  senantiasa  bergerak,  berpindah,  berhijrah  untuk  terus  menjaga  agar  cita-cita  dan tujuan  komunitas  dapat  diraih.  Sebagai  sebuah  kelompok  masyarakat,  konsep
ummah
tentu  tidak  bisa  terwujud  tanpa  adanya  kepemimpinan  kolektif.  Dengan  kata  lain,
ummah
hanya  bisa  eksis  dengan  adanya  kepemimpinan
imamah
yang  kuat.  Tidak mungkin ada
ummah
yang kuat tanpa kepemimpinan
imamah
kuat. Dalam  sejarah  Islam,  wacana  kepemimpinan-  entah  disebut  dengan  istilah
imamah,  khilafah,
atau  istilah  lainnya-  merupakan  wacana  yang  sangat  kontroversial pasca
meninggalnya Nabi
Muhammad sampai-sampai
konsepsi mengenai
kepemimpinan  tersebut  digiring  pada  absah  tidaknya  cara  beragama  seseorang.  Dua sekte  besar  Islam,  Sunni  dan  Syiah  bertentangan  dalam  mengkonstruksi  gagasan
mengenai  konsep  kepemimpinan  Islam  setelah  meninggalnya  Muhammad.  Bahkan, perbedaan  konstruksi  tersebut  menjadi  salah  satu  penyebab  utama  kedua  kelompok
saling menegasikan. Konstruksi  kepemimpinan  Islam  Syiah  lazim  dikenal  dengan  istilah
imamah.
Dalam  pandangan  Syiah,  imamah  adalah  manifestasi  dari  risalah  kepemimpinan  dan bimbingan individu dan masyarakat yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan umat
dari  realitas yang „kini ada‟ menuju „ realitas  yang seharusnya ada‟ semaksimal yang
bisa dilakukan
137
. Upaya mencapai kehidupan yang idealisasi tersebut tidak didasarkan pada  keinginan  pribadi  Imam,  melainkan  atas  dasar  konsep  baku  yang  menjadi
kewajiban  bagi  Imam  lebih  dari  individu  lainnya.  Inilah  yang  membedakan  imamah dengan  kepemimpinan  diktator.  Konsep  baku  yang  dimaksud  harus  dijalankan  oleh
imam  adalah  konsep  kehidupan  ilahiah  yang  telah  mewujud  dalam  kitab  suci  dan wahyuilham yang diperoleh dari Tuhan.
Pengertian  imam  bersifat  lebih  umum  dibanding  pengertian  pemimpin  politik, penguasa,  raja,  ketua  partai  dan  istilah-istilah  lain  yang  mungkin  memiliki  kedekatan
makna dengan kata imam. Istilah
imam
merupakan ungkapan dari perwujudan manusia yang  membentuk  ruh,  moral,  dan  cara  hidupnya  sebagai  petunjuk  bagi  umat  manusia
tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu
138
. Konsep  imamah  sebagaimana  dijelaskan  menunjukkan  bagaimana  pentingnya
kedudukan  imamah  dalam  konstruksi  aqidah  Syiah  yang  menjadi  salah  satu  fondasi keimanan menurut paham mereka. Seorang imam dalam konstruksi Syiah bukan hanya
merupakan  pemimpin  dalam  persoalan-persoalan  keagamaan  umat,  tetapi  juga bertanggung  jawab  menjadi  pemimpin  dalam  perkara-perkara  keduniawian  misalnya
dalam hal-hal yang menyangkut urusan ekonomi-politik umat
139
. Imam sebagaimana nabi dalam paham Syiah seharusnya menjadi pemimpin dan
pembimbing  umat  dalam  dua  dimensi  kehidupan,  agama  dan  politik  meskipun  sejarah mencatat bahwa dari dua belas Imam Syiah hanya Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali
dalam  periode  singkat  yang  pernah  memegang  jabatan  sebagai  khalifah.  Muhammad
137
Ibid hlm 88
138
Ibid hlm, 131
139
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 82.
sebagai seorang Nabi adalah pemimpin spiritual umat Islam tetapi pada saat yang sama juga  merupakan  seorang  panglima  perang  yang  tak  segan  turun  ke  medan  perang  dan
berada di garis depan pertempuran. Selain itu nabi juga terlibat dan menjadi aktor utama strategi politik umat dalam menghadapi segala macam potensi ancaman terhadap umat
Islam. singkatnya, dalam pemahaman Syiah, kepemimpinan  imamah melingkupi hal- hal  administratif kekuasaan dan spiritual,  keduanya merupakan hal  yang tidak terpisah
dari tanggung jawab keimaman meski dimensi spiritual adalah hal yang lebih utama. Idealisasi  kelompok  Syiah  terhadap  sosok  Nabi  Muhammad  sebagai  sosok
pemimpin  yang  melingkupi  kehidupan  spiritual  dan  admistrasi  pemerintahan  umat mengisyaratkan  bahwa  mereka  menolak  pemisahan  antara  agama  dan  Negara.  Dalam
pandangan  Syiah,  pemisahan  antara  agama  dan  Negara  bukan  sebuah  praktik  yang didasarkan  pada  ajaran  Islam  sebagaimana  dicontohkan  oleh  Muhammad,  meskipun
kebanyakan  praktik  seperti  itu  diterapkan  dibanyak  Negara-negara  berpenduduk mayoritas  muslim  saat  ini.  Dikotomi
ulama-umara
pemimpin  spiritual-pemerintah dinilai  bukan  praktik  Islam,  melainkan  produk  sejarah  Islam
140
.  Sebab  dengan pemisahan  tugas  tersebut
sang  Imam
hanya  akan  tampil  sebagai  pemimpin  agama tempat umat mengembalikan segala persoalan-persoalan keagamaan tetapi tidak punya
otoritas  dalam  regulasi  kekuasaan  politik.  Pandangan  Syiah  yang  demikian  ini  tidak terlepas  dari  keberatan  Syiah  mengenai  suksesi  kepemimpinan  pasca  meninggalnya
Muhammad  yang  dianggap  tidak  berjalan  sebagaimana  mestinya  sehingga  membawa konsekuensi  sejarah  Islam  melenceng  dari  spirit  dan  cita-cita  yang  dibawa  oleh
Muhammad.
140
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 44-45
Dalam doktrin teologi syiah, Manusia membutuhkan imam yang terpelihara dari dosa  dan  menjadi  penjaga  hukum  syariat  bagi  mereka,  mengingatkan  mereka  untuk
menghormati  syariat  dengan  jalan  memberitakan  pahala  yang  dijanjikan  Allah  bagi yang menaatinya dan ancaman siksaan bagi mengingkarinya. Kebutuhan manusia akan
Imam  serupa  dengan  kebutuhan  manusia  terhadap  sosok  nabi  yang  memberitahukan perbedaan  antara  hal-hal  yang  diperboleh  dan  hal-hal  yang  dilarang
141
.  Keberadaan seorang imam dalam pandangan Syiah adalah sesuatu yang wajib ada seperti keharusan
Tuhan  mengutus  seorang  Rasul  kepada  umat  manusia,  sebab  tidak  mungkin  Tuhan menuntut ketaatan manusia tanpa mengirimkan nabi yang mengabarkan perintahNya.
Imamah  adalah  persoalan  mendasar  agama  dalam  doktrin  Syiah.  Dari  sudut pandang Syiah, imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Jabatan imamah sama
dengan  kenabian.  Maka,  ia  merupakan  perintah  Tuhan  dalam  penunjukannya, sebagaimana  dalam  kenabian.  Akan  tetapi,  terdapat  perbedaan  yang  utama  antara
kenabian  dan  imamah.  Kenabian  adalah  pendirian  risalah,  sedangkan  imamah  adalah penjaga  bagi  risalah  tersebut
142
.  Doktrin  Syiah  yang  menempatkan  imam  dalam  posisi yang sangat tinggi tersebut
– hampir sederajat dengan kenabian- ditolak oleh kelompok Sunni,  dalam  pandangan  mereka,  kelompok  Syiah  terlalu  berlebih-lebihan  dalam
merepresentasikan kemuliaan Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya ahlulbait. Fungsi kenabian dan keimaman dalam doktrin Syiah bisa saja bergabung dalam
diri  satu  orang  ataupun  terpisah.  Seseorang  bisa  saja  adalah  seorang  nabi  dan  Imam dalam  arti  sebagai  regulator  dan  pembawa  risalah  seperti  Ibrahim  dan  Muhammad,
141
Lih Haidar Amuli, dari Syariat Menuju Hakikat, Mizan, 2005, hlm 207
142
Lih, Mujtaba Musawi, Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, penerbit Al-Huda. 2004. Hlm 239
namun  tidak  semua  nabi  adalah  juga  sekaligus  imam,  pun  tidak  semua  imam  adalah Nabi.  Menurut  Syiah,  sudah  jelas  bahwa  akhir  kenabian  adalah  kenabian  Muhammad.
Sekarang  tidak  ada  lagi  nabi  dan  tidak  ada  lagi  agama  baru  yang  akan  dibawa  oleh manusia  siapapun,  hanya  ada  satu  agama  dan  itu  adalah  Islam.  Namun  demikian
berakhirnya masa kenabian tidak berarti kepemimpinan Tuhan juga berakhir. Berkaitan dengan doktrin keimaman  sebagai  hal  yang serupa dengan kenabian,
Syiah mengajukan  argumentasi  bahwa  Islam  adalah agama  yang sempurna. Sepanjang hidupnya,  Muhammad  telah  mengajarkan  seperangkat  aturan  hidup  yang  lengkap.
Namun  apakah  sepanjang  sejarah  hidupnya  Nabi  telah  menyampaikan  semua  ajaran Islam  kepada  umat  secara  umum.  Masa  23  tahun  kenabian  dianggap  tidak  cukup  bagi
nabi  untuk  menyampaikan  seluruh  hukum  Islam  kepada  seluruh  Muslimin.  Jika  Nabi Muhammad  yang  semasa  hidupnya  begitu  memperhatikan  tindakan-tindakan  alami
seperti  makan,  minum,  dan  tidur  dan  memberi  ratusan  perintah  berkaitan  dengan perkara-perkara  tersebut,  lalu  bagaimana  mungkin  dia  bisa  begitu  lalai  atau
mendiamkan perkara penting dengan tidak mempersiapkan calon penggantinya di mana masa  depan  umat  dan  agama  yang  telah  dirintisnya  dipertaruhkan
143
.  Oleh  karena  itu, pastilah ada satu atau lebih dari kalangan sahabat  Nabi  yang memperoleh pengetahuan
lengkap  mengenai  Islam  langsung  dari  Nabi  dan  dalam  posisi  untuk  menerangkan ajaran  Islam  setelah  dia  meninggal  dengan  cara  seperti  yang  dilakukan  Nabi
Muhammad  semasa  hidupnya.  Satu-satunya  perbedaan  adalah  bahwa  Nabi  menerima
143
Lih, Allamah Tha bathaba‟I,  Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Grafiti pers. 1989.  hlm
202
wahyu langsung dari Allah, sedangkan mereka para imam mendaptakan pengetahuan ini melalui Nabi Muhammad
144
. Seorang imam dalam paham Syiah merupakan pengejewantahan perintah Tuhan.
Para imam adalah
hujjah
bukti keagungan dan karunia Allah bagi umat manusia yang pada  awalnya  telah  diwujudkan  melalui  pesan  kenabian  dan  kitab-kitab  suci.  Syiah
mempercayai  bahwa  setiap  zaman  sampai  hari  kiamat  pasti  akan  ditandai  oleh keberadaan  Imam-  sebagai
hujjah
Tuhan  entah  dia  hadir  secara  fisik  atau  gaib
145
.
Konsep  Syiah  ini  sangat  dekat  dengan  konsep  sufi  tentang
Insan  Kamil
atau „manusia
sempurna‟. Rumi pernah menyebutkan bahwa di setiap zaman ada seorang wali, qaim penguasa  zaman.  Di  setiap  zaman  ada  seorang  manusia  sempurna  yang  memiliki
seluruh keunggulan manusiawi. Tidak ada zaman tanpa keberadaan manusia sempurna yang sering digambarkan sebagai
quthb
kutub, poros, otoritas. Sebagai  penjaga  risalah  kenabian  dan
hujjah
dari  Allah  yang  merupakan  tugas yang sangat berat, seorang imam dalam paham Syiah haruslah
maksum
terpelihara dari kemungkinan berbuat salah dan dosa sebagaimana kemaksuman para nabi dan rasul
146
. Kemaksuman imam adalah sesuatu yang bersifat otomatis. Jika imamah sebagai sesuatu
yang  melengkapi  kenabian  untuk  tujuan  menerangkan  agama  secara  mendetail,  maka sudah  tentu  keberadaan  imam  merupakan  keniscayaan  dan  imam  itu  harus
maksum
sebagaimana  para  nabi.  Syiah  tidak  menerima  gagasan  bahwa  kemaksuman  imam bukan  hal  mendasar  dengan  dalih  bahwa  imam  pemimpin  dapat  diperingatkan  atau
144
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr Institute, 2012, hlm 84
145
Pembagian hadir dan gaib dilakukan untuk mengakomodasi konsep Syiah tentang Imam Mahdi yang dalam pandangan mereka sedang berada dalam proses kegaiban. Manusia sempurna yang menjadi
penguasa zaman saat ini dalam konstruksi Syiah adalah imam Mahdi dalam periode kegaiban tersebut.
146
Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, hlm 88
diluruskan  oleh  umat  apabila  dia  cenderung  untuk  melakukan  kekeliruan,  sebab kewajiban  umat  adalah  mengikuti  imam,  bukan  membimbingnya.  Di  sinilah
kemaksuman  imam  mengambil  peran  penting  dalam  konstruksi  imamah  Syiah,  tidak dapat  dibayangkan  seseorang  yang  diutus  Tuhan  untuk  memandu  umat  manusia
memerlukan bimbingan dan dapat berbuat keliru atau dosa. Sebab tidak mungkin Tuhan memerintahkan  untuk  taat  pada  seseorang  yang  tidak  suci  dan  berpotensi  melakukan
dosa. Dengan  mengklaim  bahwa  imamah  adalah  bentuk  pemerintahan  ilahiah
mengisyaratkan  bahwa  pengetahuan  sang  imam  juga  merupakan  pengetahaun  dari sumber  ilahi,  meski  para  imam  tidak  menerima  wahyu  yang  juga  berakhir  seiring
berakhirnya periode kenabian. Murtadha Muthahhari mengutip perkataan imam Ali bin Abi  Thalib  mengatakan  bahwa  pengetahuan  masuk  ke  mereka-  para  imam-  sehingga
mereka  mempunyai  pengetahuan  mendalam  tentang  kebenaran.  Dengan  kata  lain pengetahuan  mereka  bersifat  intuitif,  bukan  hasil  belajar,  bebas  dari  kesalahan  dan
kekeliruan
147
.  Dengan  konstruksi  seperti  itu,  akal,  kehendak,  pertimbangan  pribadi nampaknya merupakan sesuatu yang agak asing dalam konstruksi imamah yang sangat
mengedapankan kultus individu tersebut. Lalu bagaimanakah cara penetapan seseorang menjadi Imam? Kelompok Syiah
meyakini  bahwa  keimaman  adalah  suatu  yang  bersifat  esensial  yang  muncul  dari  diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan faktor eksternal semisal
pengangkatan atau pemilihan. Seorang imam yang terpilih tetaplah seorang imam meski dia muncul dari balik penjara atau mimbar  rasul, baik  dia didukung oleh seluruh umat
147
Ibid hlm 180
atau keagungannya hanya diketahui dan diakui oleh tujuh atau delapan kelompok orang saja
148
.  Dengan  kata  lain,  seorang  manusia  tidak  memilih  imam,  mereka  hanya  dapat mengakui kelayakannya saja sebagai seorang Imam. Hal ini mungkin sedikit lebih sama
dengan  analogi  bahwa  seorang  sastrawan  dengan  bakat  dan  kualitas  karyanya  yang bagus tetap seorang sastrawan meski hanya sedikit yang mengakui kesastrawanannya.
Seorang  imam  dalam  aqidah  Syiah  tidak  diangkat  melalui  proses  pemilihan, pencalonan,  pewarisan,  atau  melalui  musyawarah  dan  konsensus  melainkan  melalui
penunjukan  ilahi.  Syiah  menolak  mekanisme  pemilihan  ataupun  otoritas  rakyat  dalam penentuan Imam karena suara mayoritas tidak menjamin bahwa pemimpin yang terpilih
melalui  mekanisme  tersebut  adalah  pemimpin  yang  layak.  Pilihan  manusia  bisa  salah, karena itu, jika pemilihan terhadap seorang imam diserahkan pada rakyat, maka pilihan
itu  akan  merusak  segenap  tatanan  moral.  Olehnya  itu,  bimbingan  spiritual  manusia harus dipercayakan pada orang-orang yang ditunjuk secara ilahiah
149
. Sebagai  sebuah  persoalan  yang  mencakup  berbagai  macam  aspek  seperti
kepemimpinan spiritual  dan administrasi kekuasaan, karakteristik, dan tanggung jawab yang pelik dan rumit, maka imamah dalam konstruksi teologi Syiah terbatas hanya pada
pribadi-pribadi  tertentu  sebagaimana  halnya  dengan  kenabian.  Berbeda  dengan administrasi  pemerintahan  yang  tidak  terbatas  pada  masa,  sistem,  dan  orang-orang
tertentu.  Bertolak  dari  sini,  maka  para
washi
Rasulullah  atau  para  imam  Syiah  dalam konstruksi Syiah Imamiyah, hanya berjumlah dua belas Imam, tidak lebih yang berasal
dari para ahlulbait dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib dan seterusnya hingga berakhir
148
Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, hlm 172
149
Lih, Ameer Ali, the Spirit of Islam, Penerbit Navila, 2008, hlm 365
pada  Imam  Mahdi  250  H-
150
.  Dari  sini  kita  dapat  melihat  dengan  jelas  betapa kontruksi imamah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan konstruksi messianisme
Syiah. Persoalan imamah adalah persoalan yang kompleks dan kontroversial
–jika tidak bisa dikatakan suram- dalam sejarah Islam. Persoalan ini adalah penyebab pertama dan
utama  dalam  perselisihan  umat  Islam.  Persoalan  ini  telah  melahirkan  pertentangan wacana  yang  tidak  berkesudahan  di  antara  dua  kelompok  besar  Islam,  Sunni  maupun
Syiah.  Kelompok  Syiah  meyakini  bahwa  Nabi  Muhammad  sebenarnya  telah mempersiapkan  dan  menunjuk  suksesornya  sebelum  dia  meninggal.  Orang  yang
dianggap telah ditunjuk oleh Nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu  Nabi.  Sementara  menurut  kelompok  Sunni,  kepemimpinan  Islam  tidak  harus
didasarkan  pada  prinsip  teokrasi  dan  aristokrasi  sebagaimana  konsep  imamah  yang diyakini komunitas Syiah.
Banyak  peristiwa  sejarah  maupun  teks  suci  al-Quran  maupun  hadist  yang diklaim  oleh  kelompok  Syiah  sebagai  bukti  pengangkatan  Ali  sebagai  suksesor  Nabi.
Salah satunya adalah peristiwa Ghadir Khum. Ketika nabi dalam perjalanan pulang dari
haji  wada
‟  bersama  para  sahabat,  beliau  berhenti  di  sebuah  tempat  bernama  Gahdir Khum dan berkata
„barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya,  dukunglah  orang  yang  mendukung  Ali  dan  musuhilah  orang  yang
memusuhinya”. Hadis  ini  oleh  komunitas  Syiah  dianggap  sebagai  bukti  penunjukkan
150
Kelompok-kelompok Syiah memiliki perbedaan dalam penentuan jumlah para imam. Perbedaan ini tidak terlepas dari kontestasi perihal konstruksi tentang siapa sosok al-mahdi dalam sekte-sekte Syiah.
Namun kelompok mayoritas Syiah yang dikenal dengan syiah imamiyah atau Syiah istna asyariah meyakini para imam berjumlah dua belas orang.
Rasulullah  terhadap  Ali  untuk  menjadi  pemimpin  umat  Islam  sepeninggalnya. Keyakinan  bahwa  Nabi  sesungguhnya  telah  menunjuk  pengganti  sebelum  dia
meninggal  membuat  kelompok  Syiah  radikal  menolak  kepemimpinan  tiga
Amirul Mukminin
awal karena ketiganya Abu Bakar, Umar, dan Usman dianggap merampas apa yang seharusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib.
Pendirian  Syiah  terhadap  mahdisme  mengindikasikan  janji  Tuhan  tentang kemenangan puncak dari pemerintahan ilahi pada akhir sejarah manusia di bumi dalam
bentuk  sebuah  pemerintahan  ilahi  global  yang  memberikan  kedamaian,  keamanan, kesejahteraan,  dan  spiritualitas  untuk  umat  manusia.  Perspektif  teologi  ini
mengemukakan  sebuah  pandangan  alternatif  terhadap  teori  Barat  tentang  manusia khususnya dalam kaitannya dengan regulasi sistem pemerintahan
151
. Doktin tentang jaminan „keselamatan dan kesejahteraan sempurna‟ secara tidak
langsung  mengandaikan  imaji  tentang  keberadaan  sebuah  pemerintahan  global. Sebagaimana  telah  dijelaskan  sebelumnya,  konsep  pemerintahan  Islam  dalam  cita-
citanya  membangun  sebuah
ummah
yang  mandiri  bersifat  kosmopolitan,  melampaui batas-batas teritorial,  suku dan bangsa. Dalam konteks ini,  Islam  nampaknya memiliki
kemiripan  dengan  konsep  globalisasi  Barat  yang  berusaha  menerapkan  sebuah hegemoni  melampaui  batas-batas  Negara  sehingga  wacana  tentang  kedaulatan  Negara
merupakan  sesuatu  yang  berusaha  dipudarkan.  Namun  demikian,  Islam  mengklaim bahwa  konsep  pemerintahan  globalnya  memiliki  perbedaan  mendasar  pada  konstruksi
bagaimana hubungan antara agama dan politik. Jika globalisasi  dan modernisme Barat
151
Hamid Hadji Haidar, Mahdisme; Sebuah P erspektif  Teologi Globalis, dalam Oliver Leaman ed Pemerintahan Akhir Zaman,
Penerbit al-Huda, 2005, hlm 192
dibangun  atas  dasar  sekularisasi  yang  membuat  agama  dianggap  sebagai  penghambat dan olehnya itu harus disingkirkan, maka dalam konstruksi pemerintahan Islam  agama
dan politik adalah dua entitas yang saling mengandaikan. Sebagai Negara berlandaskan agama    sebagai  hukum,  maka  moralitas  adalah  dimensi  yang  ditata  sedemikan  rupa,
karena  penataan  moralitas  dikonstruksi  sebagai  bagian  dari  jalan  keselamatan  dan penegakan kepemimpinan ilahi. Pemerintahan Islam
–khususnya berkaitan dengan imaji pemerintahan  ilahi  di  akhir  zaman-  juga    mengklaim  berbeda  dengan  konsep
pemerintahan  Barat  dalam  implementasi  keadilan  sosial  dan  ekonomi  di  mana  yang kaya  mengangkangi  yang  miskin.  Dalam  konstruksi  pemerintahan  Islam,
ummah
yang kuat harus dibangun berdasarkan persamaan hak dan keadilan.
Berbeda  dengan  kelompok  Syiah,  Mayoritas  kelompok  Sunni  menganggap imamah  sebatas  sebagai  jabatan  kekhalifaan  kepemimpinan  sosial.  Imamah  dan
kekhalifaan,  dalam  pandangan  Sunni  adalah  dua  istilah  yang  sinonim.  Khalifah  dalam pandangan Sunni adalah seseorang yang menerima jabatan kepemimpinan umat melalui
sebuah  pemilihan.  Ini  berarti  jabatan  khalifah  adalah  tanggung  jawab  sosial,  bukan berdasarkan  pengangkatan  Tuhan  atas  penunjukannya.  Keunggulan  dalam  hal  ilmu
dan  takwa –apalagi  kemaksuman-  bukan  syarat  wajib  dalam  kekhalifaan.  Bahkan,
seandainya  seorang  khalifah  keluar  dari  batas-batas  ketakwaan  dan  melakukan perbuatan  dosa,  hal  tersebut  tidak  berpengaruh  pada  kelangsungan  jabatan
kekhalifaannya. Pemilihan khalifah  dalam  perspektif Sunni  dilaksanakan dengan tiga cara  yaitu
melalui kesepakatan umat, penunjukan khalifah sebelumnya, atau melalui musyawarah. Menurut  kelompok  Sunni,  kedudukan  imam  tidak  hanya  terbatas  pada  keluarga
Muhammad saja. Seorang Imam tidak perlu adil, bijak, atau tanpa dosa
maksum
dalam hidupnya.  Seorang  imam  juga  tidak  perlu  orang  yang  paling  unggul  pada  zamannya,
asalkan seseorang itu merdeka, dewasa, tidak gila dan memiliki kemampuan mengatur urusan  sehari-hari  Negara,  maka  ia  berhak  dipilih  menjadi  imam.  Dalam  Sunni  juga
terdapat  doktrin  bahwa  kelaliman  imam  tidak  dapat  dijadikan  sebagai  pembenaran untuk  menurunkannya,  meskipun  dalam  faktanya  doktrin  ini  tidak  terlalu  ditaati  oleh
kaum muslim. Mungkin doktrin tersebut diciptakan oleh masa-masa imperium tertentu untuk memapankan kekuasaan dengan dalih demi stabilitas.
Pemaparan  panjang  lebar  konsep  imamah  baik  dari  perspektif  Syiah  maupun Sunni  saya  anggap  penting  sebagai  jalan  untuk  memahami  unsur  konstruksi  imamah
yang  dibangun  Jamaah  an-Nadzir.  Bagaimanapun  juga,  konstruksi  imamah  an-Nadzir yang  tidak  bisa  dipisahkan  dengan  bangunan  messianisme  mereka  dibangun  melalui
modifakasi  konsep  imamah  Sunni  dan  Syiah.  Meski  konsep  imamah  Sunni  dan  Syiah mempunyai  perbedaan  fundamental,  namun  Jamaah  an-Nadzir  tidak  meniru  secara
persis  salah  satu  dari  konsep  imamah  tersebut  melainkan  mengakomodasi  keduanya untuk  membentuk  konsep  imamah  mereka  secara  khas.  Hal  ini  sepertinya  dilakukan
untuk  membedakan  diri  sekaligus  juga  menegasikan  kedua  kelompok  besar  Islam tersebut karena bagaimanapun Jamaah an-Nadzir tidak merasa sebagai salah satu bagian
dari keduanya.
B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan