Hormonal Abduh Fir daus, Sukri Rahman, Ade Asyar i

4 Stadium III : Tumor menginvasi fossa infr atemporal, or bita dengan atau r egio paraselar . Stadium IV : Tumor menginvasi tumor kaver nosus, regio kiasma optik dan atau fossa pitultar y. Chandler seper ti dikutip oleh Ungkanont 6 membagi pender ajatan ter sebut menjadi sebagai ber ikut: Stadium I : Tumor ter batas di nasofar ing Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus sfenoid. Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan etmoid, fossa pter igomaksila dan infr atemporal, or bita dan atau pipi Stadium IV : Meluas ke r ongga intr a kranial. PENATALAKSANAAN Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini. Penatalaksanaan tumor ini yaitu: 1. Oper asi Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan angiofibr oma nasofaring. Hingga tahun 1960-an pendekatan dasar bedah pada angiofibr oma nasofar ing adalah tr anspalatal, yang mana dapat dikombinasikan dengan insisi sublabial atau suatu pendekatan Caldw ell-Luc. Efektifitas operasi tergantung dari lengkapnya pengangkatan masa tumor. Beber apa pendekatan dikemukakan oleh para ahli sebagai usaha mengekstir pasi selur uh jaringan tumor pada daer ah yang r elatif sempit. 8,10,12,15,16 Tandon 16 menganjurkan untuk menggunakan pendekatan operasi secara tr anspalatal untuk tumor yang ter dapat pada nasofar ing, koana, r ongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa infratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secar a tr ansmaksila dengan insisi Weber Fer guson atau dikombinasikan dengan pendekatan tr anspalatal. Spector 21 mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor yang ter batas di nasofar ing, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan pendekatan Caldw el-Luc dan tr anspalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus maksila dan fosa pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan tr ansantr al atau transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila per luasannya kearah sinus etmoid dan r etr o or bita. Bila tumor meluas ke fossa infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra tempor alis bagian inferior pipi, dasar tengkorak dan rongga parafar ing dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan tr ansmandibula anter ior . Pada tumor yang meluas ke intrakranial, dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan kr aniotomi fr ontotemporal. Kamel, seperti dikutip Khalifa 23 mengungkapkan bahwa pendekatan endoskopi tr ansnasal dapat digunakan untuk tumor stadium I-II. Spector 21 menganjurkan untuk melakukan ekstir pasi melalui : a. Faringotomi suprahioid untuk tumor yang ter batas di nasofar ing dan atau r ongga hidung. b. Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan maksila, fossa pter igomaksila dan infratempor al, pipi, r ongga mata dan palatum. c. Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi fr ontotemporal bila tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus kaver nosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor akan sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk melakukan r eseksi par tial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau terapi hormonal. 2. Radioter api Gr ybauskas 15 melapor kan angka kesembuhan 80 pada terapi radiasi dengan dosis 3.000-3.500 cGy. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 r ads adanya penur unan vaskularisasi tumor tetapi tidak adanya pengecilan bermakna ukuran tumor 17 . Dhar mabakti 13 mengutip bahwa r adiasi eksterna banyak dilakukan di Kanada oleh Br iant dkk. Dengan dosis 3.000-3.500 cGy, memper oleh angka kesembuhannya mencapai 70-80. Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai ter api paliatif untuk mengur angi per darahan pada saat operasi, sebagai ter api tambahan pada tumor yang r ekuren, dan pada tumor dengan per tumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia r emaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang w ajah, r adionekr osis dan perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk di operasi lagi. 10,12,13

3. Hormonal

Pengobatan hormonal pada kasus angiofibr oma, per tama kali dilakukan oleh Boedts 1940 dikutip oleh Pandi 5 dengan pemberian preparat pr ogester on dan ternyata tumor mengecil. Mar tin menyatakan bahw a ketidakseimbangan hor monal dapat merangsang pertumbuhan tumor ini. Shciff mengemukakan suatu tr ilogi ter jadinya tumor ini. Per tama tumor ini ter jadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estr ogen. Kedua, aktivitas ber lebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang ber lebihan dari jaringan pembuluh darah ter sebut. Schiff memberikan estr ogen pada angiofibr oma nasofar ing selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan ter sebut adalah ber upa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estr ogen sebelumnya. Estr ogen memberikan efek pematangan jaringan fibr osa dan pembuluh dar ah. Estr ogen ter masuk hormon ster oid kelamin, yang fungsi utamanya ber hubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder , terutama pada w anita. Hormon ini mer upakan sintesis dari kolester ol, ter utama di ovar ium dan di kelenjer lain, misalnya kor teks adrenal, testis dan plasenta. Estr ogen dibentuk dari andr ostenedion maupun testoster on yang mempunyai 4 cincin siklik dengan 19 atom C. Estr ogen 5 endogen pada manusia paling banyak ter diri dar i estradiol dan potensi estr ogeniknya juga paling kuat. Oksidasi estradiol menjadi estr on dan hidr asi estr on menjadi estriol, ter utama ter jadi di hepar . Dietilstilbesterol mer upakan senyaw a estr ogen sintetik per tama dan potensi estrogenik yang cukup kuat. Reseptor estr ogen dapat ditemukan pada alat r epr oduksi w anita, kelenjar payudara, hipofisis, pr ostat dan hipotalamus. Estr ogen ter ikat dengan afinitas tinggi pada reseptor pr otein di sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini ditranslokasi ke inti sel yang akan ber ikatan dengan kr omatin. Ikatan ini memicu sintesis RNA dan beber apa pr otein spesifik lain. Sintesis pr otein oleh estr ogen ini dihambat oleh penghambat sintesis RNA daktinomisin, dan penghambat sintesis pr otein sikloheksimid. Penggabungan estr ogen dengan reseptor nya dihambat oleh obat golongan anti estrogen, misalnya klomefin atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring ber tujuan untuk mengecilkan masa tumor dan mengur angi perdar ahan. Pember ian estr ogen dapat meningkatkan matur asi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor , sehingga per darahan ber kurang dan tumor mengecil. Estr ogen dapat menimbulkan efek samping ber upa penurunan kadar testoster on plasma, atr ofi testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 har i. Ter lihat peningkatan jaringan ikat fibr osa dan penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis ter api yang dianjurkan tidak lebih dari 15 mg hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang per nah diber ikan adalah 3.000 mg. 8,12,13,17,23 Di Indonesia seper ti yang dikutip oleh Dhar mabakti 13 melapor kan bahwa setelah pemberian estrogen, ter nyata tumor mengecil tetapi setelah pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi. 4. Sitostatika Geopfer t dkk 24 1985 per tama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus angiofibr oma nasofaring yang mengalami r esidif dengan memberikan kombinasi deksor ubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ter nyata cukup memuaskan dan tumor mengalami r egresi secar a per lahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi. Sitostatika diber ikan pada tumor rekuren yang besar , pasca tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakr anial dan tumor yang mendapat perdar ahan utama dari pembuluh darah intr akranial. Obat yang diber ikan antara lain doksor ubisin dan dacar bazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. 8,12,24

5. Embolisasi