1. Seberang Kota Jambi
Kota Jambi berfungsi sebagai pusat pemerintahan didiami berbagai macam etnis. Kota Jambi terbagi atas: pusat kota yang merupakan pusat perdagangan dan daerah
pinggiran dusun. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pusat kota dihuni oleh berbagai suku bangsa, seperti Belanda, Arab, Cina, dan Timur Asing lainnya, orang
Melayu, dan penduduk pribumi yang bukan orang Jambi Perkampungan di kota Jambi dapat dibedakan menjadi
13
: 1. Komplek perkampungan di tepian kiri sungai Batanghari, yaitu Tanjungjohor,
Tachtulyaman, Arab Melayu, Mudunglaut dan Jelmu, Kampungtengah, Olakkemang dan Ulugedong, Tanjungpasir, Tanjungraden, dan Pasirpanjang.
2. Komplek perkampungan di tepian kanan dari sungai Batanghari, yaitu Sijinjang, Kasang, Sungeiasam, Soloksipin dan Pulaupandan.
3. Kampung-kampung yang tidak berada dalam pemerintahan marga, yaitu Thehok, Pasirputih, Simpang III, Simpang IV, dan Paal V
Komplek perkampungan di tepian kiri sungai Batanghari terdiri dari dua kecamatan, yaitu kecamatan Danau Teluk dan kecamatan Pelayangan. Kecamatan Danau
Teluk terbagi atas 5 kelurahan, yaitu Pasir Panjang, Tanjung Raden, Tanjung Pasir, Olak emang, dan Ulu Gedong. Kecamatan Pelayangan terdiri dari Tanjungjohor,
Tachtulyaman, Arab Melayu, Mudunglaut dan Jelmu. Pada masyarakat Melayu Jambi tidak dikenal adanya harta pusaka tinggi. Suku
seorang anak dapat mengikuti suku kedua orangtuanya. Harta dibagikan pula untuk anak laki-laki karena dalam pembagian harta mereka lebih mengutamakan pembagian harta
menurut Islam. Perkampungan Seberang Kota Jambi ini pada masa Kesultanan Jambi terdapat
kompleks Pecinan yang bercampur dengan pemukiman penduduk Melayu Jambi. Rumah- rumah penduduk yang berderet di sepanjang sungai Batanghari memiliki kekhasan
tersendiri, yaitu berupa rumah-rumah panggung. Dengan demikian rumah-rumah terhindar dari banjir pada saat sungai Batanghari pasang.
Sekoja ini dahulu bernama kampung Pecinan. Menurut ceritera masyarakat setempat dahulu perkampungan ini didiami oleh orang-orang Cina yang beragama Islam
dan tokohnya yang masih dikenal sampai sekarang adalah datuk Sin Tay. Mereka menikah dengan penduduk Melayu Jambi sampai akhirnya identitas Cina mereka hilang
13
Tideman, hlm. 326 10
dan menjadi orang Melayu Jambi. Selain orang Cina di perkampungan ini juga diami oleh orang-orang keturunan Arab sehingga salah satu daerah disini bernama kampung
Arab Melayu. Keberadaan mereka diperkirakan sudah sejak abad ke-12 di Jambi. Hal ini dilihat dari keberadaan pemakaman Arab Melayu dan salah satu dari pemakaman itu
bertarikh 12 Masehi. Setelah kota Jambi berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda,
Kampung di Seberang Kota Jambi menjadi pemukiman kerabat Sultan. Misalnya Pangeran Wirokusumo, menantu Sultan Ahmad Nazaruddin yang menjadi wakil Sultan
di ibukota Jambi. Hal ini disebabkan Sultan Jambi bermukim di Dusun Tengah dan hanya sekali waktu berkunjung ke kota Jambi. Pada saat Sultan berada di kota Jambi, Sultan
menginap di perkampungan Pecinan di rumah pangeran Wirokusumo. Di rumah inilah Sultan Nazaruddin menginap saat berkunjung ke kota Jambi.
Misalnya, pada tahun 1861 Residen Palembang van Ophuijzen untuk pertama kali bertemu dengan Sultan Nazaruddin tanpa disertai Pangeran Ratu di kediaman Pangeran
Wiro Kesumo. Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1867 Residen Palembang menemui Sultan di kediaman Pangeran pada pemukiman orang Arab. Pada pertemuan kedua ini
residen mulai membicarakan tentang rencana pembangunan kediaman untuk sultan di kota Jambi. Setelah itu Residen dan Sultan baru kembali bertemu pada tahun 1869.
Sejak peristiwa pemberontakan para anak raja tahun 1915 kedudukan Perkampungan Sekoja berubah, yaitu menjadi tempat pembuangan dan pelarian para
anak raja yang menjadi pengikut Sultan Taha. Mereka kebanyakan berada di satu tempat yang kemudian diberi nama kampung Tachtulyaman yang berarti tempat perlindungan.
Gerak mereka pun dibatasi. Mereka hanya boleh bepergian sampai ke daerah Muara Tembesi dan daerah Muara Sabak.
14
Keberadaan pengikut Sultan Taha di Tachtulyaman diperkuat melalui keberadaan sebuah pekuburan lama yang menurut ceritera rakyat
setempat adalah pemakaman para pengikut Sultan Taha yang meninggal saat melawan Belanda.
Mereka tidak lagi melawan Belanda dengan mengangkat senjata akan tetapi mereka melawan melalui perkuatan pendidikan agama Islam dan tidak dapat menerima
ide ‘Barat’. Masyarakat yang anti Belanda mempersonifikasikan dengan cara
14
Elsbeth Locker-Scholten, op.cit., hlm. 259 11
penampilan. Mereka tidak mau memakai dasi karena dasi mereka samakan dengan tali anjing. Merekapun tidak mau memakai celana dan kemeja karena itu adalah pakaian
orang kafir. Hal ini mereka tetap pertahankan sampai sekitar tahun 1960-an barulah mereka berubah dalam berpakaian. Akan tetapi sarung dan baju gunting cina tetap
dipertahankan pada saat mereka pergi shalat Jumat. Masyarakat Sekoja dapat menerima baik penduduk pendatang yang terdiri dari
berbagai etnis dan mereka pun akan memperlakukan sama sebagai orang Melayu Jambi. Mereka hanya mempersyaratkan penduduk pendatang yang akan menetap di Sekoja harus
beragama Islam dan bersedia melebur dalam adat masyarakat setempat.
2. Muara Sabak dan Nipah Panjang