Pendahuluan HARMONI KEHIDUPAN DI PROPINSI MULTI ETNIS: STUDI KASUS INTEGRASI ANTARA PENDUDUK PENDATANG DAN PENDUDUK ASLI DI JAMBI.

I. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Ambon, dan keturunan Arab, India, dan Cina. Di samping mendiami suatu wilayah, mereka juga hidup berdampingan dalam suatu wilayah tertentu. Proses integrasi yang mereka alami sudah berlangsung sudah sejak lama, sejak zaman kerajaan sebelum kedatangan bangsa Barat. Pembauran sesamanya pun telah terwujud dalam bentuk-bentuk budaya yang menjadi milik bersama. Akan tetapi, sejak satu dasawarsa terakhir, kehidupan yang harmoni tersebut di beberapa daerah mulai goyah dan bahkan berubah menjadi konflik fisik. Kerukunan hidup yang selama ini terjaga dengan baik mulai hilang. Bahkan, konflik tersebut seolah-olah dapat pula menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan mengancam integrasi bangsa. Provinsi Jambi termasuk salah satu daerah yang dapat mempertahankan keharmonian hubungan antar etnis tersebut, baik antara penduduk pendatang maupun antara penduduk pedatang dan penduduk asli. Sepanjang sejarahnya tidak terdapat catatan konflik “berdarah“ sesama mereka. Kehadiran mereka di daerah Jambi pada awalnya lebih disebabkan karena Jambi merupakan salah satu pusat perdagangan di kawasan Pantai Timur Sumatra dan Selat Malaka. Kedatangan mereka telah menambah jumlah penduduk, mengubah komposisi penduduk dan membentuk masyarakat yang plural. Mereka melakukan proses integrasi sehingga generasi berikutnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu Jambi. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan, pertama mencari masukan tentang potensi pendukung yang dapat menjadi perekat hubungan antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Kedua, menggali informasi tentang interaksi yang terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Ketiga, menjelaskan proses terbentuknya masyarakat yang dikenal sebagai Melayu Jambi. Keempat, menjabarkan kebijakan yang pernah dikeluarkan pemerintah sehingga hubungan antara penduduk pendatang dan penduduk asli menjadi harmonis. Kelima, merumuskan strategi pola integrasi berbagai etnis menuju pengharmonisan dalam hubungan antara penduduk asli dan pendatang. 2 Melalui penelitian kesejarahan yang menggunakan analisa prosesual akan dapat menjelaskan proses terbentuknya identitas baru, masyarakat Melayu Jambi. Sehingga, darinya dapat dilihat berbagai budaya yang dikembangkannya untuk menjaga keharmonian hidup di Propinsi Jambi. Pada sisi lain, dapat pula dipetik kearifan lokal yang mereka hadirkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka integrasi bangsa dengan cara memberi contoh suatu kehidupan yang harmonis di suatu daerah, yaitu Jambi dan akan dapat menjadi contoh bagi kehidupan penduduk di daerah lain dalam lingkup negara Indonesia. II Jambi dan Perdagangan Lada Dalam abad ke-15 Malaka pun menjadi Islam dan sekaligus kota pelabuhan terbesar di wilayah semenanjung dan daerah sekitarnya. Hal ini mendorong mendorong penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah pesisir semenanjung Melayu dan Sumatera Timur. Kota-kota pelabuhan Islam muntul di sepanjang jalur perdagangan rempah- rempah ke pantai utara Pulau Jawa dan Maluku, juga jalur perdagangan lainnya ke Brunei dan Manila Abad XV diperkirakan Islam mulai berkembang di Jambi bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Jambi. Diawali dengan disebutkannya Puti Selaro Pinang Masak, putri keturunan Raja Pagaruyung yang menikah dengan saudagar bernama Ahmad Salim keturunan Turki dan menjadi raja pertama Jambi. Puti Selaro Pinang Masak mendirikan kerajaan Jambi di Ujung Jabung. Setelah itu penguasa di Ujung Jabung digantikan oleh anak-anak dari Puti Selaro Pinang Masak, yaitu Orang Kayo Pingai 1480, Orang Kayo Kedataran 1490, dan Orang Kayo Hitam. 1 Pada sekitar tahun 1494 ibukota kerajaan Jambi dipindahkan ke Tanah Pilih Kota Jambi sekarang. 2 Paruh pertama abad XVI, tahun 1511 Malaka jatuh ketangan Portugis. Hal ini menyebabkan pusat perdagangan menjadi tersebar ke beberapa pelabuhan, seperti 1 Istilah Orang Kayo menyatakan asal muasal kegiatan dagang sejumlah keluarga penguasa, termasuk dari Jambi, Banda, dan Ambon. Ada tiga tipe orangkaya: saudagar asing, tertarik pada bandar karena ada kesempatan berdagang tetapi dapat meninggalkannya lagi orang asing atau keturunan orang asing, sebagian saudagar-pejabat, menjadi perantara antara dan pedagang bangsawan pribumi yang tertarik pada perdagangan karena kedudukannya atau kekayaannya, lihat Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II terj., Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm. 152-153 2 Junaidi T. Noor, Mencarai Jejak Sangkala, Jambi: Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi, 2007, hlm. 207 3 Banten, Johor, dan Jambi. Daerah-daerah ini mengalami peningkatan perdagangan secara besar-besaran antara tahun 1500 dan 1630 sebagai pelabuhan lada. Disebutkan bahwa pada sekitar tahun tersebut Jambi merupakan kota kecil yang memiliki fungsi politik dan ekonomi diperkirakan berpenduduk sekitar 10.000 orang. 3 Jambi sebagai pelabuhan pengekspor lada yang terkemuka memiliki syahbandar, suatu jabatan yang oleh penguasa Melayu biasanya diberikan pada saudagar asing yang terkemuka untuk memberikan jaminan bahwa protokol diperhatikan dan bea pelabuhan dibayar oleh saudagar asing yang datang melalui laut. Pada sekitar tahun 1512 pemegang jabatan syahbandar di Jambi adalah orang Islam Cina. 4 Jambi merupakan kerajaan pantai coastal state dan merupakan pelabuhan dagang bagi produk daerah pedalaman, terutama lada. Oleh sebab itu turun naiknya Jambi sebagai pelabuhan ekspor sangat tergantung dari hasil lada daerah pedalaman Jambi. 5 Perdagangan lada ini pula yang menentukan kekuatan kerajaan Jambi. Lada yang menjadi produk andalan ekspor Jambi 6 berasal dari pedalaman Minangkabau yang tidak termasuk daerah kekuasaan Sultan Jambi, sehingga pada suatu masa selama dua tahun berturut-turut petani lada tidak datang ke hulu, Jambi tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan di pasaran internasional. Pada masa kejayaan perdagangan lada di Jambi mendorong mobilitas penduduk dari berbagai daerah. Orang Laut yang datang dari Timur kelompok orang Bugis, Orang Melayu Timur yang berasal dari Luzon, orang Jawa, orang Cina dan orang Minangkabau. Kedatangan orang Jawa, terutama mereka yang bekerja sebagai pedagang lada. dan di Jambi ditempatkan seorang gubernur wakil dari penguasa Jawa. Oleh sebab itu Kesultanan Jambi merupakan perpaduan dua pengaruh besar, yaitu dari Jawa dan 3 Anthony Reid, op.cit., hlm. 100 4 Anthony Reid, Ibid., hlm. 159 5 Dari temuan-temuan keramik Cina di hilir Sungai Batanghari dapat memberikan bukti bahwa pada masa lampau bagian daerah aliran Sungai Batanghari, Muara Tebo, Muara Tembesi, Jambi, Suak Kandis, Muara Jambi sampai Muara Sabak dan Kuala Tungkal adalah kota-kota pelabuhan yang mempunyai peranan penting dalam perdagangan internasional. Selain itu ada indikasi di kawasan hulu Sungai Batanghari, yaitu sekitar Batang Tembesi dan Batang Merangin terdapat jalur tradisional yang menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan sekitar Sungai Rawas. 6 M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1962 4 Minangkabau. Kedekatan dengan Mataram terlihat dari pakaian dan bahasa Jawa yang mulai dipakai di kalangan kraton masa pemerintahan Pangeran Kedah Abdul Kahar diberitakan bahwa sultan mengirim Tumenggung Demang Surya Menggala dan Kyai Anggayuda ke Mataram. Di samping migrasi penduduk, pelabuhan-pelabuhan yang mekar butuh tentara yang kuat. Untuk itu Jambi selalu mengundang tentara bayaran dan menyediakan uang untuk membayar mereka dengan demikian meningkatkan kekuasaan para penguasa terhadap para bangsawan dan masyarakat pedalaman. Raja Jambi misalnya pada tahun 1660-an memiliki tentara bayaran orang Bugis sebanyak 500 orang. 7 Gambar Mobilitas Penduduk Masuk Ke Jambi Sekitar Abad 15-17 Persaingan dalam perdagangan lada makin meningkat dengan masuknya pedagang-pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan pedagang- pedagang Belanda ini mendapat tentangan keras dari pedagang Portugis yang mendapat dukungan dari penguasa negeri Jambi. Selain Belanda Portugis masih harus menghadapi kompetitor lain, yaitu Inggris. Pada abad ke-17 Jambi yang telah berkembang menjadi pelabuhan lada yang penting tidak hanya disinggahi junk-junk Cina tetapi juga kapal- kapal dari Siam, Patani, Jawa, dan Malaka. Bahkan pada tahun 1616 disebutkan bahwa terdapat tiga junk Cina, meskipun bukan musim panen lada, dapat mengangkut 11.000 karung lada. III Keberagaman Penduduk Jambi Daerah Jambi, sudah sejak zaman dahulu didiami penduduk yang heterogen. Misalnya, penduduk Kesultanan Jambi terdiri dari 1. Orang Melayu : keluarga Sultan, kelompok Bangsa XII, dan rakyat biasa 7 Anthony Reid, op.cit., hlm. 302 Mobilitas Penduduk Pertumbuhan Ekonomi Jambi abad 16 Minangkabau Melayu Timur Jawa Bugis 5 2. Batin 3. Penghulu 4. Kubu 5. Penduduk Tungkal 6. Orang Laut 7. Orang Arab 8. Orang Cina Pertama, Orang Melayu berada tersebar di sepanjang aliran Sungai Batanghari, dari Muara Tebo sampai Muara Sabak yang termasuk dalam kekuasaan Kesultanan Jambi. Daerah kekuasaan Sultan dibedakan antara tanah nan berjenang dan tanah nan berajo. Pertama, Tanah nan berajo adalah daerah teras kerajaan yang didiami oleh Bangsa XII yang terdiri dari: 1. Jebus meliputi Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, dan Tanjung Londrang 2. Pemayung meliputi negeri-negeri Teluk Sebeleh Ulu, Pudak, Kumpeh, dan Berembang 3. Marasebo meliputi Sungai Buluh, Pelayang, Sengkati Kecil, Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rengas Sembilan, Sungai Aur, Teluk Lebak, Sungai Bengkal, Mangupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam, dan Kubu Kandang 4. Petajin meliputi Betung Berdarah, Panapalan, Sungai Keruh, Teluk Rendah, Dusun Tuo, Paninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh 5. VII Koto yang juga disebut Kembang Paseban meliputi Teluk Ketapang, Muara Tabun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang, dan Tanjung 6. Awin meliputi Pulau Kayu Aro, dan Dusun Tengah 7. Penagan negerinya Dusun Kuap 8. Mestong meliputi Tarekan, Lopak Alai, Kota Karang, dan Sarang Burung 9. Serdadu negerinya Sungai Terap 10. Kebalen negerinya Terusan 11. Air Hitam meliputi Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapo, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung 12. Pinokawan Tengah meliputi Dusun Tureh, Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai Duren Kedua, Tanah nan berjenang yaitu tanah yang berada di bawah pemerintahan seorang jenang. 8 Tanah nan berjenang meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari. Penduduk di daerah ini terdiri dari orang Batin dan orang 8 Lembaga jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. 6 Penghulu, orang Rawas yang berada di sepanjang sungai Tembesi, sebagian dari suku Anak Dalam di tepi Timur sungai Tembesi, dan penduduk Merangin. Penduduk daerah ini harus membayar jajah pada sultan. Kedua, Orang Batin terdiri atas kaum pendatang Minangkabau yang menetap di sepanjang batang Tembesi dan Batang Asai dan kemudian berbaur dengan penduduk asli. 9 Dusun-dusun Orang Batin memiliki adalah merupakan dusun yang otonom, mereka memilih pimpinannya sendiri, dan sultan tidak dapat mengintervensi daerah ini. Secara hukum mereka hanya bertanggung jawab pada Dewan XII dan tidak kepada sultan. Mereka bertugas sebagai penjaga garis batas daerah dan wajib membayar pajak jajah dan dianggap sebagai orang dalam keluarga. Mereka hanya dikenakan wajib pajak yang terdiri dari pemungutan hasil sawah sebagai sewa tanah, hasil hutan, dan hasil mendulang emas. Hasil emas yang dipungut dapat dari perorangan atau setiap keluarga yang mendulang emas. Pembayaran uang-jajah ini sebagai pengakuan terhadap kekuasaan sultan, melalui instansi perwakilan sultan, yaitu jenang. Ketiga, Orang Penghulu juga berasal dari Minangkabau, dan oleh karena itu masih mempunyai hubungan dengan orang Batin. Mereka bermigrasi ke Jambi untuk mencari emas dan pada awal kedatangan mereka bergabung dan tunduk kepada Orang Batin. Persyaratan yang diajukan oleh orang Batin adalah bahwa setahun sekali Orang Penghulu diwajibkan membayar dengan seekor kerbau dan seratus gantang beras serta harus patuh pada Undang-undang Jambi. Kewajiban orang Penghulu pada kesultanan Jambi adalah membayar jajah pajak penghasilan dan bertugas sebagai penjaga batas dengan Bengkulu dan Palembang bagi orang Penghulu yang berada di Limun dan Batang Asai, sedangkan orang Penghulu yang berada di Ulu Tebo dan Bungo sebagai penjaga batas dengan Sumatera Barat. Keempat, Orang Kubu, yang menurut asal usulnya adalah keturunan keluarga prajurit kerajaan Melayu Jambi pertama yang menyingkir ke hutan karena tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Orang Kubu itu dapat dibedakan menurut dua kategori, yaitu orang Kubu yang masih ‘liar’ dan orang Kubu yang sudah bertempat 9 Menurut Andaya, hanya penduduk di VII dan IX kota yang berasal dari Minangkabau. Lihat Noor, Djunaidi T, Memancang Kedaulatan, Jambi: Pemerintah Propinsi Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Musium Negeri Jambi, 2007 7 tinggal tetap. 10 Orang Kubu yang masih liar merupakan penduduk yang bertempat tinggal tidak tetap dan hidupnya berkelompok di hutan. Untuk memenuhi kebutuhan mereka berburu binatang, menangkap ikan atau mencari buah-buahan di hutan. Orang Kubu yang sudah bertempat tinggal tetap adalah penduduk yang masih berpradaban rendah dan lokasi pemukimannya terpisah dari penduduk biasa. Mereka kebanyakan tinggal di distrik Jambi di luar ibukota Jambi, Muara Tembesi, dan Sarolangun. Kelima, Penduduk Tungkal, yaitu penduduk yang bermukim di tepian sungai Tungkal. Mereka terdiri dari bermacam-macam suku, yaitu orang Minangkabau, orang Jawa, dan orang Johor yang diperkirakan datang sekitar abad ke-15 saat daerah Tungkal berada di bawah kekuasaan Sultan. Johor. Migran tertua yang datang ke Tungkal berasal dari Minangkabau, yaitu dari daerah Pariangan Padang Pandjang dan bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai Jambi yang disebut Tungkal. Sebelum itu beberapa tempat di Tungkal telah berpenghuni seperti di Merlung, Tanjung Paku, Suban. Mereka dipimpin oleh seorang Demong. Keenam, Orang Laut yang biasa disebut pula sebagai Orang Timur yang bermukim di delta sungai Batanghari. Mereka bekerja sebagai nelayan penangkap ikan dan memiliki pola hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Orang laut ini hidup di perahu-perahu mereka, memiliki pimpinan tersendiri, dan tidak berada di bawah kekuasaan Sultan Jambi, Ketujuh, Orang Arab yang kebanyakan berada di ibukota kesultanan, yaitu kota Jambi. Kebanyakan mereka memiliki hubungan yang dekat dengan Sultan Jambi, seperti keluarga Al Jufri yang salah seorang anggota keluarganya menjadi menantu Sultan Jambi. Ketujuh, Orang Cina yang memiliki peran sebagai pedagang perantara dalam perdagangan lada. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di kota Jambi. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah abad ke-17, Jambi menjadi salah satu pusat perkembangan ekonomi di pantai Timur. Pertumbuhan ekonomi Jambi ini menarik migran penduduk masuk, misalnya dari Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Riau orang Singkeporang Laut. Memasuki abad XIX, antara tahun 1870 sampai 1905 jumlah penduduk Jambi diperkirakan berjumlah 76.000 orang. 11 Setelah dilakukan sensus penduduk pada tahun 10 J.W.J. Wellan, Zuid-Sumatra, Wageningen: H. Veenman Zonen, 1932, hlm. 111-113 11 8 1917, penduduk keresidenan Jambi telah meningkat menjadi 138.539 orang. Jambi termasuk daerah yang berpenduduk jarang yang disebabkan karena keadaan alam Jambi yang sebagian besar masih berupa hutan, endapan sungai, dan daerah pantai yang berupa hutan mangrove dan daerah pantai yang berawa.Oleh karena itu di daerah pantai hanya terdapat sedikit perkampungan penduduk, sedangkan daerah yang berpenduduk padat adalah daerah di sepanjang aliran sungai. Tabel. Jumlah dan Komposisi Etnis di Jambi Tahun 1930 Kelompok Etnis Jumlah Prosentase Melayu 2011 0,86 Jambi 136078 58,02 Minangkabau 57929 24,70 Kubu 1463 0,62 Batak 138 0,06 Palembang 4268 1,82 Bengkulu 196 0,08 Etnis dari Sumatera bagian selatan 36 0,02 Etnis dari daerah di pulau Sumatera 76 0,03 Banjar 159954 6,82 Bugis 1335 0,57 Minahasa 158 0,07 Ambon 121 0,05 Etnis dari berbagai pulau 211 0,09 Jawa 12323 5,25 Sunda 1155 0,49 Batavia 600 0,26 Madura 131 0,06 Etnis dari berbagai daerah Jawa dan Madura 66 0,03 Etnis bukan penduduk pribumi 79 0,03 Etnis tidak dikenal asal usulnya 165 0,07 Sumber: J. Tideman, Djambi, Amsterdam: De Bussy, 1938, hlm. 46 Melalui sensus tahun 1930 dapat diketahui komposisi dan jumlah etnis yang bermukim di Jambi. Dari sejumlah 234.533 orang penduduk Residensi Jambi, orang Minangkabau merupakan penduduk pendatang yang berjumlah besar, yaitu 57.929 orang. 12 Saat itu jumlah orang Jawa, yang datang melalui program transmigrasi berjumlah 12.323 orang atau sekitar 5,25

IV. Tumbuh Kembang Pemukiman Masyarakat Jambi