penampilan. Mereka tidak mau memakai dasi karena dasi mereka samakan dengan tali anjing. Merekapun tidak mau memakai  celana  dan kemeja karena itu adalah pakaian
orang   kafir.   Hal   ini   mereka   tetap   pertahankan   sampai   sekitar   tahun   1960-an   barulah mereka   berubah   dalam   berpakaian.  Akan   tetapi   sarung   dan   baju   gunting   cina   tetap
dipertahankan pada saat mereka pergi shalat Jumat. Masyarakat Sekoja dapat menerima baik penduduk pendatang yang terdiri dari
berbagai etnis dan mereka pun akan memperlakukan sama sebagai orang Melayu  Jambi. Mereka hanya mempersyaratkan penduduk pendatang yang akan menetap di Sekoja harus
beragama Islam dan  bersedia melebur dalam adat masyarakat setempat.
2. Muara Sabak dan Nipah Panjang
Berdasarkan   penemuan   artefak-artefak,   seperti   keramik   asing,   kaca   kuno,   dan tembaikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan bahwa daerah
tersebut     sejak   abad   X-XIII   Masehi   telah   menjadi   pemukiman   penduduk.
15
Sisa-sisa pemukiman kuno ditemukan di kawasan Lambur. Pola pemukiman di sepanjang tepian
sungai   dan   rumah   mereka   berupa   rumah   panggung   yang   tonggaknya   adalah   batang nibung Oncosperma filamentosa. Batang-batang nibung untuk bangunan rumah tidak
hanya terdapat di Delta Batanghari akan tetapi juga terdapat di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur sampai ke wilayah pantai timur Sumatera Selatan.
Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak menempati rumah panggung bertiang nibung.
Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung lingkungan semacam itu juga menyediakan niah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap
rumah dan atap perahu kajang. Asal   orang   Melayu   yang   berada   di   daerah   pantai   Timur   Jambi   berasal   dari
Mindanao. Semula mereka  merantau sampai ke Johor Semenanjung dari sini mereka. kemudian   menyebar   ke   pulau   Bintan   di   Kepulauan   Riau   dan   pantai-pantai   Timur
Sumatera. Nenek moyang orang Melayu yang berada di pantai timur Jambi adalah Dun Pran   Ismail.   Mereka   tinggal   di   daerah   rawa,   sehingga   untuk   dapat   dijadikan   tempat
15
Nurhadi   Rangkuti   Kepala   Balai   Arkeologi   Palembang,
Sepucuk   Nipah SerumpunNibung
http:cetak.kompas.comreadxml2008090501561951sepucuk.nipah. serumpun.nibung
12
tinggal rawa tersebut dikeringkan dan airnya dialirkan di parit. Di tepi kanan dan kiri parit tanah ditinggikan dan di tanah inilah mereka membangun pemukiman dan berkebun.
Selain orang Melayu di daerah muara sungai Batanghari ini juga terdapat orang Cina, orang Arab,  orang Jawa, orang Bugis, orang Banjar, orang dari pulau Singkep, dan
orang Palembang. Keberadaan mereka sekarang masih dapat dikenali melalui nama-nama kampung, Misalnya,  Parit Cina, kampung Singkep, dan kampung Palembang. Penamaan
ini berdasarkan daerah asal orang yang membuka parit tersebut. Pada  masa jayanya perdagangan lada Jambi abad 17 dan 18   Muara Sabak
menjadi kota pelabuhan penting. Peran   Muara Sabak sebagai pelabuhan ekspor impor berlanjut sampai masa pemerintahan kolonial Belanda. Tidaklah mengeherankan  apabila
di kota Muara Sabak bermukim berbagai suku bangsa. Kota Muara Sabak sendiri dahulu dikenal sebagai Kampung Cina karena di kota
ini banyak bermukim orang Cina. Mereka bekerja sebagai nelayan dan pedagang hasil hutan.   Akan   tetapi   jumlah   orang   Cina   di   Muara   Sabak   mulai   berkurang   sejak
diberlakukannya PP10 tahun 1960-an yang melarang orang Cina berdagang di daerah pedesaan. Dengan demikian banyak orang Cina meninggalkan Muara Sabak dan pindah
ke kota Jambi. Di   tempat   penyeberangan   perahu   menuju   Muara     Sabak   terdapat   kampung
bernama kampung Palembang. Menurut ceritera dahulu   pembuka   hutan   daerah ini adalah   orang   Palembang   sehingga   dinamakan   kampung   Palembang.   Orang  Arabpun
banyak bertempat tinggal di Muara Sabak, mereka memiliki kebun-kebun kelapa di tanah sewaan milik penduduk Jambi ataupun di tanah piagem milik Sultan. Bukti keberadaan
mereka  dapat dikenali melalui keberadaan pekuburan Arab di kampung Tanjung Kalam, kampung   yang   sekarang   akan   dibangun   pelabuhan   samudera.   Saat   peran   pelabuhan
Muara Sabak berkurang, sejak sekitar tahun 1990-an   Muara Sabak mulai ditinggalkan penduduk.   Ketika   itu   Pertokoan   di   Muara   Sabak   terbakar   akibatnya   pedagang   Cina
banyak   yang   pindah   ke   Jambi.  Apalagi   setelah  perdagangan   penyelundupan   melalui
sungai   menghilang,   bahkan  kantor-kantor   pemerintah   pun   pindah   ke   tempat   baru   di
Geragai,  Muara Sabak bertambah sunyi . Budaya yang dominan di daerah Tanjung Jabung Timur adalah budaya Melayu
meskipun  di Kabupaten  Tanjung  Jabung Timur    dihuni oleh  bermacam-macam  etnis.
13
Maka dalam kelembagaan adat yang dibentuk dimasukanlah wakil dari berbagai etnis yang berada di daerah tersebut. Meskipun demikian sengketa dalam masyarakat pertama
kalinya diselesaikan oleh kepala adat masing-masing etnis. Apabila pada tingkat ini tidak dapat diselesaikan maka kasus tersebut dibawa ke ketua lembaga adat.
Sengketa   yang   sering   terjadi   adalah   sengketa   tanah.   Selama   beberapa   tahun terakhir ini terdapat 20 kasus. Misalnya kepemilikan sawah yang tumpang tindih karena
seseorang yang meninggalkan sawahnya pada kepala desa akan tetapi sawah tersebut dijual oleh kepala desa.  Ketua Lembaga Adat pertama kali menemui kedua belah pihak
yang bersengketa lalu dimabil jalan tengah. Misalnya tanah sengketa dibagi sama antara kedua belah pihak yang bersengketa.  Kepala Adat pun banyak menangani penyelesaian
kasus-kasus sengketa harta waris karena ketua lembaga adat yang mengetahui asal usul tanah.
3. Kabupaten  Tebo