Tinjauan Tentang Kepolisian ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi pada Polresta Bandar Lampung)

k. Mengeluarkan surat izin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Lebih lanjut Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menentukan bahwa Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan b. Masyarakat lainnya; c. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; d. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; e. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; f. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; g. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; h. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; i. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; j. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah indonesia dengan koordinasi instansi terkait; k. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; l. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, di bidang proses pidana Polri berwenang untuk: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Lebih lanjut Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia. Kewenangan kepolisian di bidang lalu lintas diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 e menyatakan bahwa tugas pokok dan fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu urusan pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakkan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas. Selanjutnya, tugas dan fungsi Polri tersebut, diperinci pada Pasal 12, meliputi 9 sembilan hal sebagai berikut: a. Pengujian dan penerbitan SIM kendaraan bermotor; b. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data lalu lintas dan angkutan jalan; d. Pengelolaan pusat pengendalian sistem informasi dan komunikasi lalu lintas dan angkutan jalan; e. Pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu lintas; f. Penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas; g. Pendidikan berlalu lintas; h. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas; i. Pelaksanaan manajemen operasional lalu lintas. Polri dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dalam melaksanakan tugas-tugasnya akan berorientasi pada kewenangan yang dimilikinya, akan tetapi tugas dan fungsi Polri di bidang lalu lintas dengan kewenangan-kewenangan yang melekat selalu berkolerasi erat dengan fungsi kepolisian lainnya baik menyangkut aspek penegakan hukum maupun pemeliharaan Kamtibmas dan pencegahan kejahatan secara terpadu. Salah satu peran polisi lalu lintas adalah penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum bidang lalu lintas adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma- norma hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: a. Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan b. Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.

B. Pengertian Penyitaan

Prosedur penyitaan di dalam KUHAP erat hubungannya dengan pembuktian, oleh sebab itu harus ada pembatasan dan aturan yang tegas supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dari penegak hukum sehingga tidak terjadi rekayasa alat bukti yang dapat merugikan tersangka. Karena tidak semua orang yang dipenjara adalah orang yang bersalah dan tidak semua orang yang tidak dipenjara adalah orang yang tidak bersalah Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Proses penyitaan demi kepentingan pembuktian di persidangan harus dilakukan dengan cara yang diatur oleh undang-undang, antara lain harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat 1 KUHAP. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat hanya untuk keadaan sangat perlu dan mendesak, apabila penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin meminta izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu. Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda yang bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat guna mendapatkan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat 2 KUHAP. Benda yang dapat disita sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf a KUHAP, adalah benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau dari hasil dari tindak pidana. Benda-benda lain yang dapat disita, ialah sebagai berikut: 1. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkan, diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf b KUHAP. 2. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi-halangi Penyidik Delik tindak pidana diatur dalam Pasal 39 ayat 1 huruf c KUHAP. 3. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan delik pasal diatur dalam Pasal 39 ayat 1 huruf d KUHAP. 4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan delik yang dilakukan, diatur dalam Pasal 39 ayat 1 huruf e KUHAP. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit, dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, apabila dipenuhi persyaratan huruf a sampai d di atas, diatur dalam Pasal 39 ayat 2 KUHAP. Tindak pidana yang tertangkap tangan diberlakukan penyitaan, diatur dalam Pasal 40 KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda atau alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Selain itu diatur dalam Pasal 41 KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan sepanjang paket, surat atau benda tersebut, diperuntukan bagi tersangka atau yang berasal dari padanya, dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawaban atau perusahaan telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan. Pasal 43 KUHAP mengatur bahwa dalam penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain. Mengenai penyimpanan benda sitaan di dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara, diatur dalam Pasal 44 ayat 1 KUHAP dan selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara dapat dilakukan penyimpanan pada Kantor Kepolisian Negara RI, Kantor Kejaksaan Negeri, gedung bank pemeritah dan dalam keadaan memaksa di dalam tempat penyitaan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita. Kemudian diatur tentang pemeliharaan dan penyelesaian benda-benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan atau biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka benda-benda semacam itu jika masih di tangan penyidik atau penuntut umum, dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. Apabila sudah di tangan pengadilan, dapat dilakukan hal yang sama oleh penuntut umum dengan izin hakim yang menyidangkan perkara tersebut, diatur dalam Pasal 45 ayat 3 KUHAP. Mengenai benda sitaan yang bersifat terlarang seperti narkotika, disediakan untuk dirampas untuk negara atau dimusnakan, diatur dalam pasal 45 ayat 4 KUHAP. Penyitaan berdasarkan Hukum Acara Pidana dapat berakhir sebelum ada putusan hakim maupun setelah adanya putusan hakim, sebagai berikut: 1. Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim, yaitu karena: a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau tidak merupakan delik; dan c. perkara tersebut di kesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik. 2. Penyitaan berakhir setelah ada putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam keputusan tersebut, kecuali apabila benda tersebut menurut putusan hakim dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi, atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara, diatur dalam Pasal 46 ayat 2 KUHAP.

C. Pengertian Alat Bukti dan Barang Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 1 Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatif wettelijk, hanya alat-alat bukti 1 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Bandung: Tarsito, 1980. Hlm. 57

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS (Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

3 64 60

ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi pada Polresta Bandar Lampung)

0 9 56

MEMBANGUN CITRA KEPOLISIAN DALAM PELAKSANAAN TILANG GUNA PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS DI KOTA BANDAR LAMPUNG

0 4 83

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN PELANGGARAN LALU LINTAS OLEH ANAK (Studi Kasus di Wilayah Polresta Bandar Lampung)

1 39 59

PROSES PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA Proses Pelaksanaan Penyitaan Barang Bukti Oleh Penyidik Kepolisian Pada Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Surakarta.

0 3 18

PROSES PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA Proses Pelaksanaan Penyitaan Barang Bukti Oleh Penyidik Kepolisian Pada Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Surakarta.

0 2 13

PENDAHULUAN Proses Pelaksanaan Penyitaan Barang Bukti Oleh Penyidik Kepolisian Pada Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Surakarta.

0 4 14

PERANAN KEPOLISIAN SEBAGAI KUASA JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PERADILAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS JALAN TERTENTU (Studi Pada Satuan Lalu Lintas Polresta Padang).

0 0 24

ANALISIS KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi pada Polresta Bandar Lampung) Bambang Wardoyo , Diah Gustiniati, Eko Raharjo. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Lampung Email: Bambang.199

0 2 12

PERAN SATUAN TAHANAN DAN BARANG BUKTI (SATTAHTI) POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENGAMANAN DAN PENYIMPANAN BARANG BUKTI SITAAN (Studi Di Polresta Bandar Lampung)

0 0 12