II. Rumusan Masalah
1. Pengertian Penuntutan 2.
Sejarah Lembaga Penuntut Umum
3.
Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum
4.
Surat Dakwaan
5.
Voeging dan Splitsing
6.
Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara
7.
Cara Melakukan Penuntutan
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Dalam KUHAP dikenal istilah penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat 7 bahwa, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam
pengertian ini dapat diambil satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan yaitu penuntut umum.
Definisi ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam KUHAP
tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa
dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.
1
[1] Dalam KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13
KUHAP diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra penuntutan. Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci apa pengertian pra
penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14 KUHAP butir b, yang berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci
dalam KUHAP, namun dalam pasal 14 KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra penuntutan yaitu, tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam
rangka penyempurnaan penyidikan.
1
2.
Sejarah Lembaga Penuntut Umum
Prancis adalah asal dari lembaga yang kita kenal sekarang dengan Lembaga penuntut umum, dan oleh Belanda dimasukkan dalam Wetboek van Stravordering kitab Undang-Undang huklum Acara
Pidana pada tahun 1838. Sebelumnya, tidaklah banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana.
Lalu system ini lama-kelamaan menunjukkan kekurangan-kekurangan, sifat perdata dari penuntutan menyebabkan bahwa kerapkali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang
yang dirugikan, disebabkan ia takut pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang
diperlukan. Berujuk dari alasan tersebut, tuntutan pidana yang mulanya dari perseorangan kemudian
diserahkan kepada suatu badan Negara yang khusus diadakan untuk itu, yang kita kenal sebagai Penuntut Umum.
3.
Tugas dan Wewenang Penuntut Umum
Dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Undang-
undang No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Replubik Indonesia, pasal 2 menyatakan sebagai berikut :
i. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang
ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
ii. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka. iii.
Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan.
2
[2] Dalam melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah
dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :
2
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana Pasal 109 ayat 1 dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6
ayat 1 huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. 2.
Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat 3 huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat
menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu Pasal 12. 3.
Mengadakan pra penuntutan Pasal 14 huruf b dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat 3 dan 4 dan Pasal 138 ayat 1 dan 2.
4. Memberikan perpanjangan penahanan Pasal 124 ayat 20, melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan Pasal 20 ayat 2, Pasal 21 ayat 2, Pasal 25 dan Pasal 26, melakukan penahanan rumah Pasal 22 ayat 2, penahanan kota Pasal 22 ayat 3, serta mengalihkan
jenis penahanan. 5.
Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat yang ditentukan Pasal 31. 6.
Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk
memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya Pasal 45 ayat 1.
7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan
tersangka akibat disalahgunakan haknya Pasal 70 ayat 4, mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka
Pasal 71 ayat 1, dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka Pasal 71 ayat 2.
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk
disidangkan Pasal 74. 8.
Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik Pasal 80. Maksud Pasal
80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan yang berwenang Pasal 91 ayat 1. 10.
Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan Pasal 139.
11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku
Penuntut Umum Pasal 14 huruf i 12.
Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan pasal 140 ayat 1.
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan Pasal 140 ayat 2 huruf a,
dikarenakan : ·
Tidak terdapat cukup bukti ·
Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana ·
Perkara ditutup demi kepentingan umum. 14.
Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru Pasal 140 ayat 2 huruf d.
15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan
Pasal 141. 16.
Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka Pasal 142.
17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan Pasal
143 18.
Membuat surat dakwaan Pasal 143 ayat 2 19.
Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau
selambat-lambatnya 7 tujuh hari sebelum sidang dimulai Pasal 144.
3
[3
3
4.
Surat Dakwaan
Surat dakwaan sangatlah penting dalam pemeriksaan perkara pidana, yang dimaksud surat dakwaan disini adalah suatu surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang
didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di siding pengadilan.
Tujuan dari surat dakwaan adalah bahwa Undang-Undang ingin melihat ditetapkannya alasan- alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu
tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Syarat-syarat dakwaan menurut pasal 143 2 KUHAP berbunyi :
a. Dalam surat dakwaan harus disebut : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka,
b. Surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam : 1. Pembatalan yang formil, yaitu pembatalan yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat-
syarat mutlak yang ditentukan sendiri oleh undang-undang. 2. Pembatalan yang hakiki, yaitu pembatalan menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan
karena tidak dipenuhinya suatu syarat yang dianggap esensial. Kemudian tentang cara merumuskan dakwaan itu ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi, b. Dalam lukisan itu harus ternyata pula unsure yuridis dari tindak pidana yang didakwakan.
Penyusunan dakwaan secara teknis dapat dilakukan sebagai berikut: a Dakwaan tunggal, yaitu terdakwa didakwa satu perbuatan saja.
b Dakwaaan alternatif, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakekatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja.
c Dakwaan subsidier, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu dakwaan, tetapi pada prinsipnya ia hanya dipermasalahkan satu tindak pidana saja. Maka apabila salah satu dakwaan telah terbukti,
dakwaan selebihnya tak perlu dibuktikan. d Dakwaan kumulatif, yaitu terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus, sedang
tindak pidana itu harus dibuktikan keseluruhannya, sebab tindak pidana itu berdiri sendiri. e Dakwaan campuran, yaitu bentuk gabungan antara dakwaan keumulatif dengan dakwaan
alternafif ataupun subsidier.
5.
Voeging Dan Splitsing
A. Penggabungan Perkara Voeging
Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang
pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dlam satu surat dakwaan.
4
[4] Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan
penggabungan perkara pidana : “Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b.
beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain c.
beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut hubungan dengan yang
lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan: i.
Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat bersamaan
ii. Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang
berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka.
iii. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang
digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
5
[5]
4 5
B. Pemisahan Perkara Splitsing
Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai dengan bunyi Pasal 142
6
[6] : “Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-
masing terdakwa secara terpisah.” Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas
perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga : i.
Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara.
ii. Pemisahan dilakukan apabila dalam kasus pidana tersebut
terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas tersebut, masing-masing tersangka didakwa dengan satu surat dakwaan.
iii. Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan dalam satu
persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda. iv.
Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting, apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi.
7
[7] Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri
antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan
pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi. Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut
Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah MA Reg. No. 1174Pid.1974 menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan
saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang
6 7
sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia...”.
8
[8] Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota kroongetuide. Saksi mahkota
berarti salah seorang terdakwa paling ringan kesalahannya dijadikan menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini dibolehkan
berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.
9
[9]
6.
Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara
Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum
menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas,
yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah bahwa apabila terjadi suatu tindakan pidana maka
sudah menjadi kewajiban penutu umum untuk melakukan penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana tersebut. Sebagai lawanya
adalah asas oportunitas, yang menghendaki meskipun bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat tersangka ke pengadilan namun
penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian daripada keuntungan untuk kepentingan umum dengan menuntut
tersangka daripada meuntutnya, maka penuntut umum wajib untuk mengenyampingkannya
seponeren.
10
[10]
Asas oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa Jkasa Agung mempunyai tugas dan
8 9
10
wewenang mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.
11
[11] Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan
penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau
perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang dimaksud perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta
pengaduan dlam delik aduan pasal 75 KUHP, ne bis in idem paal 76
KUHP, terdakwa meninggal dunia pasal 77 KUHP, perkara sudah kadaluwarsa pasal 78 KUHP.
12
[12] Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara
pengeyampingan perkara seponeren dan enghentian perkara sebagai
berikut: a.
Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang
pengadilan. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh
penutut umum atas alasan demi “kepentingan umum” slanjutnya `dikatakan mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan asas
oportunitas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan negara yang bersangkutan
dnegan masalah tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara apabila sudah dilakuakn penyampingan perkara maka tidak ada alasan
untuk mnegajukan perkara kembali ke muka sidang pengadilan.
13
[13]
11 12
13
b. Sedang pada penghentian penuuntutan alasanya bukan didasrakan
pada kepentingan umum akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.
i. Perkara yang bersangkutan tidak
mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang pengadilan maka diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan
oleh hakim. ii.
Apa yang dituduhkan pada tersangka bukan merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
iii. Alasan ketiga dalam penghentian
penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum. iv.
Perkara yang dihentiakan penuntutunya, masih memungkinkan perkaranya dilimpahkan ke muka sidang
pengadilan. v.
Umpamanya ditemukan buti baru sehingga denga bukti baru tersebuat dapat diharapkan untuk menghukum
terdakwa.
14
[14]
7. Cara melakukan Penuntutan