Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula Laeviceps (Smith) (Hymenoptera Apidae) Dalam Hubungannya Dengan Status Koloni Dan Faktor Cuaca

AKTIVITAS PENERBANGAN HARIAN TEUWEUL
Tetragonula laeviceps (SMITH) (HYMENOPTERA:
APIDAE) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN
STATUS KOLONI DAN FAKTOR CUACA

INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Aktivitas
Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera:
Apidae) dalam Hubungannya dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016
Indah Putri Januar Yustia
NIM A351130131

RINGKASAN
INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA. Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul
Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) dalam Hubungannya
dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca. Dibimbing oleh AUNU RAUF dan
NINA MARYANA.
Salah satu jenis teuweul yang paling umum dijumpai di Indonesia adalah
Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae). Tidak banyak diketahui
tentang perilaku penerbangan dari spesies ini. Penelitian ini bertujuan mengkaji
jenis-jenis tanaman yang dikunjungi oleh T. laeviceps dan aktivitas penerbangan
harian T. laeviceps dalam kaitannya dengan status koloni dan faktor cuaca.
Sebanyak enam koloni T. laeviceps digunakan dan digolongkan sebagai
koloni kuat (koloni 1, 3, 4) dan koloni lemah (koloni 2, 5, 6) berdasarkan kondisi
umum jumlah pot makanan, sel anakan, dan populasi. Sebelum pengamatan

aktivitas penerbangan, sampel polen dikumpulkan dari bagian korbikula pekerja
dan disimpan untuk acetolysis. Aktivitas penerbangan (jumlah teuweul yang
keluar dan masuk sarang, dengan atau tanpa membawa materi) dihitung mulai
pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.
Polen yang dibawa hanya ditemukan pada korbikula pekerja yang berasal
dari tiga koloni (koloni 1, 3, 5). Pekerja dari koloni lain (koloni 2, 4, 6) masuk ke
sarang tanpa membawa polen. Polen yang dibawa oleh pekerja berasal dari 13
spesies tumbuhan yang tergolong dalam 9 famili. Famili yang paling banyak
ditemukan adalah Rubiaceae dan spesiesnya adalah Hedyotis auricularia.
Berdasarkan uji Mann-Whitney, jumlah teuweul yang keluar dan masuk
sarang berbeda sangat nyata (p < 0.001) antara koloni kuat dan koloni lemah.
Begitu juga jumlah teuweul yang membawa polen, membawa resin dan membuang sampah berbeda sangat nyata antara kedua kelompok koloni tersebut. Jumlah
teuweul yang keluar dan masuk sarang, baik pada koloni kuat maupun koloni
lemah, berbeda sangat nyata (uji Kruskal Wallis, p < 0.001) antara jam-jam
pengamatan. Begitu juga jumlah teuweul yang membawa polen, membawa resin,
dan membuang sampah berbeda sangat nyata.
Aktivitas keluar dan masuk sarang dimulai sejak pukul 06.00, dengan puncaknya terjadi pada pukul 11.00-13.00. Ada korelasi positif (sedang) antara suhu
udara dengan aktivitas keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.57, p < 0.001) dan
koloni lemah (rs = 0.46, p < 0.001). Begitu juga suhu berkorelasi positif (sedang)
dengan aktivitas masuk sarang (koloni kuat rs = 0.60, p < 0.001; koloni lemah rs =

0.46, p < 0.001). Intensitas cahaya berkorelasi positif (sedang) dengan aktivitas
keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.47, p < 0.001) dan koloni lemah (rs = 0.45,
p < 0.001). Sebaliknya, kelembapan udara berkorelasi negatif (sedang) dengan aktivitas keluar sarang (koloni kuat rs = -0.55, p < 0.001; koloni lemah rs = -0.43, p <
0.001) dan masuk sarang (koloni kuat rs = -0.60, p < 0.001; koloni lemah rs = 0.43, p < 0.001). Aktivitas lainnya (membawa polen, membawa resin, dan membuang sampah) berkorelasi sangat lemah sampai dengan lemah dengan unsur cuaca yang diamati.
Uji Rayleigh menunjukkan bahwa preferensi waktu (akrofase) untuk seluruh
kegiatan penerbangan harian, baik pada koloni kuat maupun koloni lemah, dengan
panjang vektor rataan (r) seluruhnya bernilai lebih dari 0.7 (p < 0.001). Pada kolo-

ii

ni kuat, akrofase keluar sarang terjadi pada pukul 11.57, lebih awal dibandingkan
akrofase masuk sarang (pukul 12.16). Akrofase membawa polen dan membawa
resin berturut-turut pukul 11.49 dan 11.15. Akrofase membuang sampah terjadi lebih awal yaitu pukul 10.57. Secara umum, akrofase untuk seluruh kegiatan terjadi
lebih awal pada koloni lemah dibandingkan koloni kuat. Uji Watson-William
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01) antara koloni kuat dan lemah untuk akrofase keluar sarang, masuk sarang, membawa polen, membuang
sampah, dan perbedaan yang nyata (p < 0.05) untuk akrofase membawa resin.
Kata kunci: akrofase, aktivitas penerbangan, Tetragonula laeviceps, teuweul

SUMMARY
INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA. Daily Flight Activities of Stingless Bee

Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) as Related to Colony
States and Weather Factors. Supervised by AUNU RAUF and NINA
MARYANA.
One of the most common species of stingless bees in Indonesia is
Tetragonula laeviceps (Smith). However, informations about its flight behavior
are not available adequately. This research was aimed to study species of plants
visited by T. laeviceps and daily rhythm of flight activities of T. laeviceps related
to condition of colonies and weather factors.
Six colonies of T. laeviceps were used in this study and classified as strong
colonies (colony 1, 3, 4) and weak colonies (colony 2, 5, 6) according to their
general conditions of brood cells, storage pots, and population. Before flight
activities were observed, pollen samples were collected from the foragers’
corbiculae and preserved for acetolysis. The flight activities (the number of
stingless bees entering and exiting, with or without materials) were counted from
06.00 until 18.00 (local time).
The pollen loads were only found in foragers’ corbiculae of three colonies
(colony 1, 3, 5). The foragers of other colonies (colony 2, 4, 6) showed entering
the nest without pollen. The pollen loads contained pollen grains from 13 plants
species, belonging to 9 families. Rubiaceae family was frequently visited by T.
laeviceps and dominant plant species was Hedyotis auricularia.

Mann-Whitney test showed that number of workers exiting and entering
nests was highly significantly different (p < 0.001) between strong and weak
colonies. The number of workers carrying pollen and resin, and the ones disposing
garbage were significantly different between both groups of colonies. Observation
of daily flight activities showed that number of workers exiting and entering nests,
on either strong or weak colonies was significantly different (Kruskal Wallis test,
p < 0.001) between the hours of observations. Similar data were obtained about
number of workers carrying pollen and resin and disposing garbage differed very
markedly.
Flight activities of T laeviceps, exiting and entering the nests, were begun at
06.00 hour and reached its peak between 11.00 and 13.00 hours. There was a
positively correlated (medium) between temperature and the number of workers
exiting nests of both strong (rs = 0.57, p < 0.001) and weak colonies (rs = 0.46, p <
0.001). Similarly, temperature factor was positively correlated (medium) with the
number of workers entering nests (strong colonies rs = 0.60, p < 0.001; weak
colonies rs = 0.46, p < 0.001). Light intensity was positively correlated (medium)
with the number of workers exiting nest of strong colonies (rs = 0.47, p < 0.001)
and weak colonies (rs = 0.45, p < 0.001). Conversely, air humidity was negatively
correlated (medium) with number of workers exiting nests (strong colonies rs = 0.55, p < 0.001; weak colonies rs = -0.43, p < 0.001), and entering nests (strong
colonies rs = -0.60, p < 0.001; weak colonies rs = -0.43, p < 0.001). Other

activities (carrying pollen, carrying resin, disposing garbage) were correlated
weakly to very weakly with weather elements.

iv

Rayleigh test revealed time preference (acrophase) for all of daily flight
activities, both in strong and weak colonies, with length average of vector (r) was
more than 0.7 (p < 0.001). In strong colonies, acrophase for exiting nests occurred
at 11.57 hour, earlier than acrophase for entering nests which occurred at 12.16
hour. Acrophase for carrying pollen and resin occurred at 11.49 and 11.15 hours
respectively. Acrophase for disposing garbage occurred earlier (10.57 hour) than
acrophase of other activities. Acrophase for all activities was generally begun
earlier in weak colonies compared to strong colonies. Watson-William test
showed a highly significant difference (p < 0.01) between strong and weak
colonies in term of acrophases for exiting nest, entering nest, carrying pollen,
disposing garbage, and a significant difference (p < 0.05) of acrophase for
carrying resin.
Key words: acrophase, flight activity, stingless bees, Tetragonula laeviceps

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKTIVITAS PENERBANGAN HARIAN TEUWEUL
Tetragonula laeviceps (SMITH) (HYMENOPTERA:
APIDAE) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN
STATUS KOLONI DAN FAKTOR CUACA

INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 sampai
Oktober 2015 ini ialah ekologi teuweul, dengan judul Aktivitas Penerbangan
Harian Teuweul Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) dalam
Hubungannya dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca. Penelitian ini didanai oleh
Beasiswa Pendidikan Dosen Dalam Negeri (BPPDN) dari DIKTI.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof
Dr Ir Aunu Rauf, MSc dan Ibu Dr Ir Nina Maryana, MSi selaku pembimbing yang
telah memberikan ilmu, pengarahan, dan motivasi sejak awal penelitian hingga

selesainya penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi selaku penguji luar komisi
pada ujian tesis dan Bapak Dr Ir Pudjianto, MSi selaku ketua Program Studi
Entomologi yang telah banyak memberikan saran demi kesempurnaan karya
ilmiah ini.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang
telah memberikan doa, Bapak Drs Wachju Subchan, MS, PhD yang telah
memberikan nasihat dan dukungan, Bapak Wawan Yuandi, Ibu Aisyah, temanteman Entomologi angkatan 2013, para senior (Bu Nila, Bu Yaya, Pak Budi,
Mbak Rani, Mas Hendri, Mas Edwin, Evie, Mbak Yeni, Mbak Uce, dan Mbak
Tutut) dan junior di Laboratorium Ekologi dan Bionomi Serangga, para sahabat
(Setyo Andi, Ika Lia, Beti Dwi, dan Wendianing) yang telah memberikan
inspirasi, dan teman-teman yang turut serta membantu dalam pengamatan (Osyi,
Citra, Naura, dan Ulim).
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Greg Hambali, Bapak
Dr Drs Tri Atmowidi, MSi, Bapak Dr Sih Kahono, MSc, Bapak Muchlis, Mas
Azis, Nadzir, dan teman-teman Biosains Hewan 2013 (Mbak Desmina dan Rosi)
yang telah meluangkan waktu untuk berbagi ilmu mengenai teuweul, para peneliti
asing (Mrs Vera, Mrs Astrid, Mr Hillario, Miss Patricia, Miss Cynthia, Mr Breed,
dan Mr Rasmussen) yang telah meluangkan waktu membalas semua email, serta
Bapak Dr Ir Teguh Santoso, DEA yang telah memberi izin menggunakan bahan

dan alat di Laboratorium Patologi Serangga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016
Indah Putri Januar Yustia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian


1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Sarang Teuweul
Struktur Koloni Teuweul
Sumber Nutrisi Teuweul
Polen
Nektar
Resin dan Propolis
Perilaku Membuang Sampah
Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul
Akrofase

3
3
4
5
5
5
6
7
7
8

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Persiapan Penelitian
Identifikasi T. laeviceps
Pembuatan Naungan dan Stup (Kotak Sarang)
Pemindahan Koloni ke Stup Baru
Pembuatan Kerucut Transparan
Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan Pengumpulan Polen
Preparasi Polen
Identifikasi Polen
Pengamatan Aktivitas Penerbangan
Analisis Data

10
10
10
10
10
11
12
12
12
12
13
13
14

HASIL
Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps
Aktivitas Penerbangan T. laeviceps
Pola Aktivitas Penerbangan Harian
Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca
Ritme Aktivitas Penerbangan Harian

15
15
17
17
23
24

PEMBAHASAN
Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps
Aktivitas Penerbangan T. laeviceps

26
26
27

Pola Aktivitas Penerbangan Harian
Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca
Ritme Aktivitas Penerbangan Harian

27
29
30

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

31
31
31

DAFTAR PUSTAKA

32

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1 Jumlah T. laeviceps pembawa polen (ekor)
2 Perbedaan status koloni terhadap aktivitas penerbangan harian T.
laeviceps berdasarkan uji Mann-Whitney U
3 Perbedaan waktu terhadap aktivitas penerbangan harian T. laeviceps
antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji Kruskal Wallis
4 Perbedaan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat
dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari berdasarkan uji
Wilcoxon Sign
5 Korelasi antara aktivitas penerbangan harian T. laeviceps dan beberapa
unsur cuaca berdasarkan uji korelasi Spearman
6 Akrofase aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat
dan koloni lemah nerdasarkan uji Rayleigh
7 Perbandingan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni
kuat dan koloni lemah berdasarkan uji F Watson-Williams

15
18
18

22
24
25
25

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur sarang T. laeviceps di dalam batang bambu
2 Perbedaan sel anakan antara calon pekerja dan calon jantan pada T.
fuscobalteata
3 Ratu T. laeviceps
4 Pengukuran skala sirkular
5 Distribusi sirkular
6 Model naungan penempatan stup T. laeviceps
7 Model stup T. laeviceps
8 Kerucut transparan
9 Jenis dan tipe morfologi polen pada korbikula T. laeviceps
10 Kondisi koloni-koloni T. laeviceps di dalam stup
11 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps keluar
dan masuk sarang pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan
waktu harian
12 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membawa
polen dan resin pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu
harian
13 Imago T. laeviceps membawa polen dan resin
14 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membuang
sampah pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu harian
15 Jenis-jenis sampah
16 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps pada
koloni kuat dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari
17 Persentase aktivitas penerbangan T. laeviceps pada koloni kuat dan
koloni lemah

3
4
5
8
8
11
11
12
16
17

19

20
20
21
21
22
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses penyerbukan (polinasi) merupakan salah satu contoh interaksi
komunitas pada tingkat ekosistem. Penyerbukan dipengaruhi oleh jarak pencarian
pakan penyerbuk (polinator). Penyerbuk utama yang terkenal di seluruh wilayah
ekologi adalah lebah (Hymenoptera: Apidae). Jarak pencarian pakan yang
dilakukan oleh lebah dapat memengaruhi reproduksi seksual tanaman dan
pembentukan struktur genetik populasi tanaman (Greenleaf et al. 2007).
Lebah yang berperan sebagai penyerbuk selain lebah madu (Apis sp.), yaitu
lebah tak bersengat (stingless bee) (Travero et al. 2012). Lebah tak bersengat
merupakan penyerbuk pada berbagai tanaman budi daya, seperti tomat, timun,
stroberi, kopi, dan sebagainya (Slaa et al. 2006). Menurut Slaa et al. (2000), lebah
tak bersengat berperan penting dalam penyerbukan tanaman pada daerah tropik,
efektif untuk penyerbukan tanaman pertanian, dan umumnya menjadi penyerbuk
utama pada bunga yang berukuran kecil. Lebah tak bersengat di Indonesia dikenal
dengan beberapa nama, tergantung daerahnya, antara lain teuweul (Jawa Barat),
klanceng (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan galo-galo (Sumatra Barat)
(Erniwati 2013). Selanjutnya, lebah tak bersengat dalam penelitian ini disebut
dengan teuweul.
Hasil penelitian Sakagami et al. (1990) memberikan informasi bahwa
terdapat delapan spesies teuweul Trigona yang telah ditemukan di pulau Jawa,
antara lain T. (Lepidotrigona) nitidiventris Smith, T. (Lepidotrigona) terminata
Smith, T. (Lepidotrigona) ventralis Smith, T. (Heterotrigona) itama Cockerell, T.
(Tetrigona) apicalis Smith, T. (Tetragonula) fuscobalteata Cameron, T.
(Tetragonula) drescheri Schwarz, dan T. (Tetragonula) laeviceps Smith. Teuweul
yang paling banyak ditemukan, khususnya di Indonesia dan umumnya di Asia
Tenggara adalah T. laeviceps (Sakagami 1978; Chinh et al. 2005).
Sekarang, tata nama T. laeviceps telah berubah menjadi Tetragonula
laeviceps (Smith) (Rasmussen dan Michener 2010). Hasil pengujian molekuler
membuktikan bahwa Trigona sensu lato yang ditemukan pada kelompok wilayah
New World, tidak monofiletik dengan Trigona yang ditemukan pada kelompok
wilayah Indo-Malayan/Australasian (Rasmussen dan Cameron 2007). Oleh sebab
itu, tata nama genus Trigona digunakan untuk teuweul yang berada pada
kelompok wilayah New World (Rasmussen 2008; Rasmussen dan Cameron 2010).
Teuweul termasuk serangga eusosial dan bersifat generalis (Boontop et al.
2008). Teuweul mengumpulkan beberapa materi dari tumbuhan pada saat
melakukan aktivitas penerbangan, seperti polen, nektar, resin, lateks, daun,
trikoma, parfum, minyak, dan biji. Selain itu, teuweul juga mengumpulkan materi
lain, seperti kotoran hewan, air, dan spora. Polen dan nektar berfungsi sebagai
sumber nutrisi, sedangkan materi lainnya digunakan untuk membangun dan
melindungi sarang (Sakagami 1982; Roubik 1989; Eltz et al. 2002). Selain
mencari pakan, aktivitas penerbangan lainnya yang dilakukan oleh teuweul adalah
membuang sampah. Sampah yang ditemukan berasal dari sel anakan dan pot
polen (Eltz 2001).

2
Aktivitas pencarian pakan dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim,
ketersediaan pakan, kompetisi, status koloni, serta morfologi dan fisiologi
individu-individunya (Sommeijer et al. 1983; Ramalho et al. 1985; Ramalho et al.
1989; Roubik 1989). Perpaduan antara faktor internal dan eksternal dapat
memengaruhi jumlah individu suatu koloni. Perbedaan jumlah individu suatu
koloni dapat dijadikan parameter penggolongan status koloni sebagai koloni kuat,
sedang, atau lemah (Hilario et al. 2000). Parameter lainnya yang dapat
menggambarkan kondisi koloni (status koloni), yaitu jumlah sel dalam sarang
serta proses provisioning dan oviposisi (Ramalho et al. 1998).
Banyak penelitian mengenai perilaku lebah madu (Apis spp.), tetapi sedikit
sekali informasi mengenai perilaku teuweul (Pierrot dan Schlindwein 2003).
Padahal, teuweul berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia yang
beriklim tropis. Hingga saat ini, masyarakat di pedesaan dan kawasan sekitar
hutan sudah banyak membudidayakan teuweul. Selain sebagai mata rantai dalam
penunjang perekonomian masyarakat, teuweul juga berpotensi sebagai penyerbuk
tanaman pertanian dan kehutanan. Oleh sebab itu, diperlukan penelaahan lebih
mendalam mengenai teuweul, khususnya T. laeviceps yang tersebar luas di
Indonesia. Penelaahan awal dapat dilakukan dengan mempelajari perilaku T.
laeviceps yang tergambar melalui aktivitas penerbangan harian.
Pengumpulan informasi mengenai jenis-jenis tanaman yang dijadikan
sebagai sumber pakan, khususnya sumber polen merupakan salah satu bagian
untuk mempelajari aktivitas penerbangan harian teuweul. Selain itu, belum ada
penelitian mengenai pengaruh faktor internal, seperti status koloni terhadap
aktivitas penerbangan harian teuweul di Indonesia. Pengukuran faktor cuaca,
seperti suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya diperlukan untuk
mengetahui pengaruh faktor eksternal terhadap aktivitas penerbangan harian
teuweul.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari jenis-jenis tanaman yang dikunjungi
oleh teuweul. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas penerbangan
harian (keluar-masuk sarang, membawa polen dan resin, serta membuang sampah)
dan ritme aktivitas T. laeviceps dalam hubungannya dengan status koloni dan
faktor cuaca.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti berikutnya
untuk mempelajari perilaku teuweul. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat dalam usaha konservasi jenis-jenis tanaman yang dijadikan
sebagai sumber pakan teuweul. Hal ini merupakan salah satu bentuk usaha budi
daya teuweul agar dapat berkembang dan berkelanjutan.

TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Sarang Teuweul
Di alam, sarang teuweul dapat ditemukan pada lubang pohon, seperti
rambutan, mangga, dan durian atau pada batang bambu (Sakagami et al. 1983;
Inoue et al. 1984a; Inoue et al. 1984b). Selain itu, sarang teuweul juga dapat
ditemukan pada bangunan milik manusia, seperti celah di dinding, atap rumah dan
pilar rumah yang terbuat dari kayu ((Sakagami et al. 1983; Inoue et al. 1984a).
Secara umum, sarang teuweul berbeda dengan sarang lebah madu ((Wille dan
Michener 1973). Struktur sarang teuweul terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian luar
dan dalam (Gambar 1). Bagian terluar sarang adalah pintu masuk (panjang 2-10
cm dan diameter 7-10 mm) (Sakagami et al. 1983). Terkadang, ada koloni
teuweul yang mempunyai pintu masuk memanjang dari luar sarang hingga ke
dalam sarang. Selanjutnya, bagian dalam sarang terdiri atas batumen (sebuah
lapisan pelindung yang terbuat dari propolis) (Wilson 1974). Pada bagian dalam
sarang terdapat pot makanan dan sel anakan. Keduanya terbuat dari cerumen
(lapisan berwarna coklat yang merupakan hasil campuran antara lilin dan
propolis) dan masing-masing saling berkelompok. Pot makanan terdiri atas dua
bagian, yaitu pot polen dan pot madu. Keduanya berbentuk oval dengan panjang
7-14 mm dan lebar 5-11 mm (Sakagami et al. 1983).
Letak sel anakan berdekatan dengan pot makanan. Sel anakan berbentuk
oval dan tersusun tidak beraturan. Tiap-tiap sel anakan dihubungkan dengan pilarpilar dengan panjang 1-2 mm (Sakagami et al. 1983). Sel anakan yang baru dibuat
berwarna kecoklatan, sedangkan sel anakan yang sudah lama warnanya menjadi
kuning pucat (Chinh et al. 2005). Sel anakan calon pekerja yang baru dibuat
mempunyai tinggi 3.9 mm dan lebar 3 mm, sedangkan sel anakan calon pekerja
yang sudah lama mempunyai tinggi 3.6 mm dan lebar 2.5 mm. Pada spesies lain,
cerumen sel anakan dikurangi setelah pembentukkan kokon. Sel anakan calon
pekerja lebih kecil dibandingkan dengan sel anakan calon ratu (tinggi 6 mm dan
lebar 4 mm) (Sakagami et al. 1983).

Gambar 1 Struktur sarang T. laeviceps di dalam batang bambu (Sakagami et al.
1983)
Sel anakan pada Tetragonula fuscobalteata (Cameron) (Hymenoptera:
Apidae) dapat dibedakan antara calon pekerja dan calon jantan, berdasarkan
ukuran dan bentuknya (Gambar 2). Sel anakan calon pekerja mempunyai tinggi
4.37 mm (4.32-4.41 mm), lebar 3.23 mm (2.88-3.58 mm), dan diameter bagian a-

4

Gambar 2 Perbedaan sel anakan antara calon pekerja dan calon jantan pada
T. fuscobalteata (Boongird 2011)
tas sel yang terbuka berkisar antara 1.90-1.95 mm. Sel anakan calon jantan
mempunyai tinggi 4.48 mm (4.45-4.50 mm), lebar 3.14 mm (3.10-3.15 mm), dan
diameter bagian atas sel yang terbuka sekitar 1.80-1.85 mm. Kedua sel anakan
tersebut berbentuk oval, tetapi sel anakan calon pekerja lebih simetris pada bagian
tepinya dibandingkan dengan sel anakan calon jantan (Boongird 2011).

Struktur Koloni Teuweul
Koloni teuweul terdiri atas ratusan hingga ribuan individu yang sebagian
besar adalah betina (Koedam et al. 2005). Struktur koloni teuweul terdiri atas ratu,
jantan, dan pekerja yang berjenis kelamin betina. Secara genetik, perbedaan antara
jantan dan betina disebabkan oleh fertilisasi telur. Jika telur tidak difertilisasi,
maka telur akan menjadi imago jantan dan jika difertilisasi, maka telur akan
menjadi betina. Penentuan jenis kelamin (determinasi seks) ini disebabkan oleh
haplodiploidi (Velthuis et al. 2005). Secara morfologi, jantan mempunyai antena
lebih panjang (13 segmen) dibandingkan dengan betina (12 segmen). Selain itu,
jantan mempunyai mata lebih besar dan tibia belakang lebih ramping
dibandingkan dengan betina (Sakagami et al. 1990).
Penentuan calon ratu dan calon pekerja disebabkan oleh perbedaan kuantitas
dan kualitas makanan. Sebagian besar pekerja dari tribe Meliponini membangun
sebuah sel anakan berukuran besar dan diisi banyak makanan dibandingkan
dengan sel anakan yang lain. Sel anakan yang berukuran besar, berisi telur yang
nantinya menjadi calon ratu, sedangkan sel anakan yang berukuran kecil, berisi
telur yang akan menjadi calon pekerja dan calon jantan (Velthuis et al. 2005).
Karakteristik ratu dapat dilihat dari bagian metasomanya yang berukuran lebih
besar (physogastry) dibandingkan dengan metasoma pekerja (Gambar 3) (Inoue et
al. 1984a).

5

Gambar 3 Ratu T. laeviceps (Inoue et al. 1984a)

Sumber Nutrisi Teuweul
Polen
Polen adalah organ reproduksi jantan pada bunga. Polen sering dibawa oleh
angin dan hewan menuju stigma (organ reproduksi betina). Mayoritas dari 300
ribu spesies tanaman, penyerbukannya dibantu oleh serangga, sehingga ada
simbiosis mutualisme antara serangga dan tanaman. Pengumpulan polen yang
dilakukan oleh lebah dapat meningkatkan nilai “pollination services” pada
tanaman (Jongjitvimol dan Wattanachaiyingcharoen 2006). Ketika teuweul
mengunjungi bunga, polen menempel pada korbikula (bagian dari tungkai
belakang). Hal ini yang menyebabkan terjadinya proses penyerbukan karena lebah
berpindah dari satu bunga ke bunga yang lain (Souza et al. 1996).
Teuweul memanfaatkan polen sebagai sumber utama protein, lipid, vitamin,
mineral, dan sebagian karbohidrat (Souza et al. 1996; Jongjitvimol dan
Wattanachaiyingcharoen 2006). Sebagian besar teuweul memberi makan larva
dengan polen, sedangkan sumber nutrisi imago berasal dari polen dan nektar.
Polen bernutrisi tinggi dan sangat penting bagi pertumbuhan larva dan
perkembangan fisiologi lebah pekerja (Keller et al. 2005). Polen dan nektar (floral
dan ekstra-floral) dikumpulkan oleh lebah pekerja dan disimpan dalam pot-pot
penyimpanan khusus dalam sarang. Adanya cadangan makanan menyebabkan
koloni dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan jika makanan tidak tersedia
(Eltz 2001).
Nektar
Nektar merupakan sumber karbohidrat utama bagi lebah. Kandungan
terbesarnya adalah sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Nektar juga mengandung
karbohidrat lain seperti laktosa dan galaktosa. Lebah pekerja mengumpulkan
nektar dari kelenjar nektar floral dan ekstra-floral. Nektar floral adalah nektar
yang dikeluarkan dari kelenjar nektar yang terdapat pada bunga, sedangkan nektar

6
ekstra-floral adalah nektar yang berasal dari bagian lain selain bunga (Seeley
1985).
Nektar diproses secara enzimatis di dalam metasoma lebah pekerja menjadi
madu, kemudian dikeluarkan dan disimpan di dalam pot-pot makanan. Madu yang
baru dikeluarkan mengandung kadar air yang tinggi (lebih dari 30%), sehingga
pekerja mengepakkan sayap untuk menurunkan kadar air madu hingga menjadi
18-20%. Pengurangan kadar air pada madu penting untuk mencegah fermentasi
oleh mikroorganisme (Seeley 1985).

Resin dan Propolis
Teuweul mengumpulkan bahan lain yang digunakan untuk kebutuhan
koloni, selain mengumpulkan polen dan nektar dari bunga, yaitu resin. Teuweul
mengumpulkan banyak resin dari tanaman untuk membangun, memperbaiki, dan
melindungi sarangnya. Resin yang dikumpulkan berasal dari pohon, buah, atau
bagian tanaman lainnya, kemudian dicampur dengan lilin untuk membangun
sarang sehingga menjadi cerumen. Resin bersifat lengket. Teuweul mengumpulkan resin menggunakan mandibel, kemudian dipindahkan ke korbikula.
Teuweul juga menggunakan resin untuk melapisi bagian dalam sarang agar
terhindar dari bakteri dan cendawan, sehingga resin dapat digunakan sebagai
sistem imun koloni. Detterent dari resin mengandung terpena, terutama monodan sesquiterpena yang diproduksi oleh pohon sebagai perlindungan dari
herbivora dan/atau mikroba (Leonhardt 2010).
Resin memiliki beberapa fungsi bagi teuweul, salah satunya sebagai bahan
untuk membangun sarang. Hal ini tentunya yang menjadi pembeda dengan
perilaku lebah madu yang membangun sarang dari bahan lilin. Selain itu, resin
digunakan sebagai perlindungan dari hewan lainnya. Adanya resin yang lengket
pada pintu masuk sarang, membuat predator terjebak, sehingga koloni tetap
terlindungi (Leonhardt 2010). Ketika berada pada suhu panas, resin sangat lembut
dan lengket, tetapi jika berada pada suhu dingin, resin akan keras dan mudah
rusak (Surendra et al. 2012).
Propolis merupakan nama generik dari resin lebah. Kata propolis berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “pro” artinya sebelum atau pertahanan dan “polis”
artinya kota. Jadi, propolis adalah pertahanan kota atau memiliki arti sebagai
sistem pertahanan pada sarang lebah. Oleh karena sifatnya yang lengket seperti
lem, propolis disebut sebagai beeglue (Hasan 2013). Propolis mengandung lebih
dari 300 senyawa kimia seperti flavonoid dan phenolik (Surendra et al. 2012).
Propolis bermanfaat sebagai antimikroba, antioksidan, dan antikanker
(Surendra et al. 2012; Tragoolpua et al. 2013). Jika dibandingkan dengan propolis
yang berasal dari lebah madu, propolis yang berasal dari teuweul lebih banyak dan
mempunyai kandungan bahan aktif yang lebih baik. Apis sp. dapat menghasilkan
propolis sekitar 20-30 g/tahun, sedangkan teuweul dapat menghasilkan 3 kg/
tahun. Kandungan aktif yang berasal dari propolis A. mellifera pada konsentrasi
75% dapat menghambat perkembangan bakteri Burkholderia glumae sebesar 6.2
mm, sedangkan propolis teuweul pada konsentrasi 60% dapat menghambat
perkembangan bakteri B. glumae sebesar 6.0 mm. B. glumae merupakan bakteri
yang menyebabkan grain rot (busuk biji) padi (Surendra et al. 2012).

7
Perilaku Membuang Sampah
Aktivitas teuweul keluar sarang, selain mencari sumber pakan dan resin,
juga membuang sampah. Pekerja membuang sampah yang berasal dari dalam
sarang dengan menggunakan mandibel. Pekerja akan membuang sampah di
sekitar sarang. Ada interaksi antara waktu pada saat mencari polen dengan
aktivitas membuang sampah (Eltz 2001). Sampah (detritus) koloni terdiri atas
kotoran, sel yang sudah tua, lebah dan larva yang mati, serta exuvia pupa (NunesSilva et al. 2010).

Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul
Aktivitas penerbangan Melipona scutellaris Latreille (Hymenoptera:
Apidae) di Brazil menunjukkan lebih dari 90% pekerja melakukan aktivitas
mencari pakan. Puncak aktivitas mencari pakan terjadi antara pukul 05.00 dan
07.00, sedangkan puncak aktivitas membawa polen terjadi antara pukul 05.00 dan
09.00. Kedua aktivitas tersebut menurun pada siang hari (Pierrot dan Schlindwein
2003). Puncak aktivitas mencari pakan pada Trigona spp. yang ada di Serawak
(Malaysia) terjadi pada pukul 10.30. Pada saat pagi hari (pukul 07.30), pekerja
lebih banyak membawa polen daripada nektar, tetapi pada saat siang hari (pukul
14.30), pekerja lebih banyak membawa nektar daripada polen (Nagamitsu dan
Inoue 2002). Aktivitas tertinggi T. laeviceps pada pertanaman stroberi terjadi
pukul 13.30-14.00 WIB (Harahap 2013). Pada tanaman Tectona grandis, puncak
aktivitas penerbangan (mencari pakan) Trigona collina Smith (Hymenoptera:
Apidae) terjadi pada pukul 10.00-12.00 (Tangmitcharoen et al. 2006).
Aktivitas mencari polen, nektar, dan air tergantung dari kondisi cuaca dan
kebutuhan koloni. Suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya merupakan faktor-faktor cuaca yang memengaruhi aktivitas mencari pakan. Jika suhu
udara semakin meningkat, maka energi yang dibutuhkan untuk penerbangan
mencari pakan semakin besar (Gojmerac 1983). Trigona carbonaria Smith
(Hymenoptera: Apidae) dapat bertoleransi pada suhu tinggi dibandingkan dengan
Apis spp. Ketika suhu tinggi, pekerja akan menurunkan suhu di dalam sarang
dengan cara mengepakkan sayapnya (Amano 2004). Radiasi panas berkorelasi
positif terhadap jumlah Melipona subnitida Ducke (Hymenoptera: Apidae) yang
membawa nektar dan air. Kelembapan udara relatif berkorelasi positif terhadap
jumlah pekerja yang membawa resin pada saat musim hujan (de Oliveira et al.
2012). Jumlah individu T. laeviceps yang berkunjung pada bunga stroberi
berkorelasi positif secara nyata terhadap suhu udara dan tidak nyata terhadap
kelembapan udara, intensitas cahaya, dan kecepatan angin. Suhu udara berkorelasi
positif secara nyata terhadap jumlah bunga yang dikunjungi (Harahap 2013).
Aktivitas membuang sampah lebih banyak dilakukan pada saat musim panas
dibandingkan dengan musim dingin, serta lebih banyak dilakukan pada saat pagi
dan sore hari (Hilario et al. 2003).

8
Akrofase
Pada beberapa penelitian, data yang diteliti secara periodik dianalisis
menggunakan statistik sirkular. Menurut Zar (2010), pengukuran skala sirkular
secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan arah mata angin, waktu
per hari, dan bulan per tahun (Gambar 4). Hasil analisis statistik sirkular dapat
ditampilkan dalam bentuk akrofase (acrophase), yaitu waktu lokal yang
menggambarkan puncak aktivitas atau dapat juga diartikan sebagai waktu
istimewa dari aktivitas berdasarkan data yang diamati (Mahan 1991).

Gambar 4 Pengukuran skala sirkular, a) arah mata angin, b) jam per hari, c) bulan
per tahun (Zar 2010).
Pada statistik sirkular, akrofase dilambangkan dengan µ (vektor rata-rata).
Nilai µ dapat berupa waktu (jam dan menit) dan sudut (°) (Gambar 5). Radius dari

Gambar 5 Distribusi sirkular, a) r = 1.00, b) r = 0.99, c) r = 0.90, d) r = 0.60,
e) r = 0.30, f) r = 0.00 (Zar 2010).

9

akrofase dilambangkan dengan r (panjang vektor rata-rata) yang berperan penting
untuk memperkirakan variansi. Rumus 1 – r mengindikasikan persebaran data.
Jika 1 – r = 0, maka persebaran data bersifat seragam (uniform) dan jika 1 – r = 1,
maka persebaran data bersifat acak (random) (Zar 2010).

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium dan lapangan. Kegiatan identifikasi
serangga, preparasi polen, dan identifikasi polen dilakukan di laboratorium yang
ada lingkungan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Kegiatan di lapangan meliputi pengumpulan polen dan pengamatan aktivitas penerbangan teuweul keluar-masuk sarang. Pengamatan di
lapangan dilakukan di halaman Asrama Putri (A1) TPB (06°33’20’’S dan 106°43’
48’’E dengan ketinggian tempat 343 m dpl), yaitu tempat peletakkan stup lebah.
Penelitian berlangsung sejak November 2014 hingga Oktober 2015.

Persiapan Penelitian
Identifikasi T. laeviceps
Teuweul yang diidentifikasi adalah kasta pekerja. Koloni teuweul yang
digunakan dalam penelitian ini berasal dari Desa Cibeber 1, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (48°678’999’’E dan 927°48’ 69’’N
dengan ketinggian tempat 342 m dpl). Sampel dikoleksi dengan menggunakan
botol plastik yang diletakkan di depan pintu masuk stup, kemudian stup dipukul
perlahan-lahan untuk memancing beberapa individu keluar. Setelah terkumpul, ke
dalam botol plastik sampel serangga ditambahkan 10 tetes alkohol 70%. Sampel
diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi dari Sakagami et al. (1990)
sampai tingkat spesies. Sampel difoto dengan menggunakan program dino-lite
digital microscope yang dihubungkan dengan mikroskop stereo dan compound.
Pembuatan Naungan dan Stup (Kotak Sarang)
Naungan dibuat mengacu pada penelitian Putra (2013), namun dilakukan
modifikasi pada ukuran dan bahan yang digunakan. Atap naungan terbuat dari
bonet, sehingga dapat melindungi stup dari air hujan dan panas. Kerangka naungan terbuat dari kayu dan bagian alas yang digunakan untuk menempatkan stup
terbuat dari bambu. Ukuran naungan 65.5 cm x 47.5 cm x 100 cm dan atap
naungan 86 cm x 79.5 cm (Gambar 6). Jumlah naungan yang digunakan sebanyak
3 buah dan setiap naungan diisi 2 buah stup. Jarak antara naungan sekitar 4 m.
Stup terbuat dari papan tripleks dengan ketebalan 1 cm. Ukuran stup dibuat
berdasarkan penelitian Heard (1988). Stup yang digunakan berukuran 28 cm x 21
cm x 11 cm. Pada bagian depan stup diberi lubang dengan diameter 0.5 cm
sebagai pintu masuk (Gambar 7a). Bagian atas stup ditutup dengan menggunakan
plastik mika trasparan yang berukuran 33 cm x 21 cm, kemudian pada bagian atas
plastik diberi kaca trasparan berukuran 35 cm x 19 cm, dan pada bagian atas kaca
diberi papan tripleks yang tipis berukuran 26 cm x 19 cm sebagai pelindung
koloni dari paparan cahaya (Gambar 7b).

11
86 cm
79.5 cm

40.5 cm
31.5 cm
28 cm
65.5 cm
47.5 cm

Gambar 6 Model naungan penempatan stup T. laeviceps

Papan tripleks

11 cm

Kaca

Plastik mika

28 cm
ɸ 0.5 cm
21 cm
(a)

(b)

Gambar 7 Model stup T. laeviceps, a) ukuran, b) lapisan-lapisan penutup stup.
Pemindahan Koloni ke Stup Baru
Koloni teuweul yang digunakan sebanyak 6 koloni (stup). Koloni diadaptasikan di lingkungan baru selama 1 minggu. Koloni dari stup lama dipindahkan
ke stup baru pada pagi hari antara pukul 06.00-09.00 WIB karena koloni belum
melakukan aktivitas yang terlalu tinggi. Ratu dicari dan dipindahkan terlebih
dahulu ke stup baru dengan hati-hati, kemudian stup baru ditutup dengan kaca
untuk sementara waktu. Pada pintu masuk stup baru diolesi dengan propolis yang
berasal dari stup lama. Hal ini bertujuan agar pekerja dapat segera mendeteksi
keberadaan stup baru. Sel anakan, pot penyimpanan makanan, dan propolis dari
stup lama dipindahkan ke stup baru. Stup lama yang telah kosong dijauhkan dari
stup baru agar koloni tidak kembali lagi ke stup lama.
Koloni-koloni yang telah dipindahkan ke stup baru diadaptasikan selama 1
minggu. Setelah proses adaptasi, koloni dipindahkan ke lingkungan baru. Sebelum
memindahkan stup baru, dilakukan pemindahan naungan terlebih dahulu. Proses
pemindahan koloni-koloni ke lingkungan baru dilakukan pada saat malam hari

12
dan pintu masuk ditutup dengan perekat, selanjutnya koloni-koloni tersebut
diadaptasikan lagi selama 1 minggu.
Pembuatan Kerucut Transparan
Guna mempermudah pengamatan aktivitas teuweul yang keluar-masuk stup,
maka digunakan kerucut transparan yang telah dimodifikasi berdasarkan metode
dari penelitian Eltz (2001). Kerucut transparan terbuat dari bahan plastik mika
berukuran 14 cm x 13 cm yang dibentuk menyerupai kerucut, kemudian direkatkan di depan pintu masuk stup dengan menggunakan selotip. Bagian depan
lebih panjang dibandingkan bagian belakang (Gambar 8). Bagian depan diberi 1
lubang sebagai lubang keluar-masuk pekerja dan bagian belakang mengarah ke
bagian pintu masuk stup. Lubang tersebut berdiameter 0.5 cm dan diberi propolis
yang berasal dari dalam stup. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak ada
celah/lubang lain yang dijadikan jalan keluar-masuk selain lubang yang ada pada
kerucut transparan. Setelah pemasangan kerucut transparan, koloni diadaptasikan
selama 1 minggu sebelum pengamatan.

Bagian depan
Bagian belakang

Gambar 8 Kerucut transparan, anak panah menunjukkan arah keluar pekerja dari
stup (Eltz 2001).

Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan Pengumpulan Polen
Serangga pekerja yang membawa polen pada bagian tungkai belakang
ditangkap dengan menggunakan jaring serangga. Penangkapan serangga pekerja
dari masing-masing koloni dilakukan pada pagi hari dimulai pukul 07.00-09.00
WIB, siang hari dimulai pukul 11.00-13.00 WIB, dan sore hari dimulai pukul
15.00-17.00 WIB.
Pada setiap periode waktu pengamatan, dilakukan penangkapan serangga
pada setiap koloni selama 10 menit dengan interval waktu 10 menit dan
pengulangan dilakukan sebanyak 2 kali. Polen dari tungkai belakang serangga
diambil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian disimpan di
tempat kering untuk diamati lebih lanjut. Sampel polen dari bunga-bunga yang
berada pada jarak maksimal 50 m dari penempatan koloni, juga dikumpulkan.
Preparasi Polen
Preparasi polen yang dibawa oleh pekerja dilakukan dengan metode acetolysis berdasarkan penelitian Delaplane et al. (2013), namun dilakukan modi-

13
fikasi pada beberapa tahapan. Ke dalam tabung eppendorf yang berisi polen ditambahkan larutan asam asetat glasial sebanyak 0.1 ml. Setelah didiamkan selama
10 menit, eppendorf disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit,
kemudian supernatan dibuang. Selanjutnya, ke dalam eppendorf ditambahkan
larutan acetolysis yang merupakan campuran asam asetat glasial dan asam sulfur
dengan perbandingan 9:1, sebanyak 0.1 ml.
Polen yang telah diberi larutan acetolysis, dipanaskan di dalam panci berisi
2500 ml air sampai air mendidih dan ditunggu selama 5 menit, kemudian didinginkan selama 5 menit. Selanjutnya, larutan disentrifugasi dengan kecepatan
3500 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang. Ke dalam eppendorf
ditambahkan akuades sebanyak 0.1 ml, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
3500 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Pencucian dengan akuades
diulangi sekali lagi, kemudian ditambahkan glycerin 0.1 ml dan polen siap untuk
dibuat preparat. Pada gelas objek ditambahkan setetes campuran polen dan glycerin, kemudian ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan selama 1 minggu.
Setelah itu, bagian tepi gelas penutup diberi cat kuku transparan agar tidak terjadi
penguapan media.
Identifikasi Polen
Pengambilan gambar preparat polen dilakukan dengan menggunakan
program dino-lite digital microscope yang dihubungkan dengan mikroskop
compound. Sampel polen yang berasal dari tungkai belakang serangga diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Rull (2003), kemudian dicocokkan dengan koleksi polen dari Erdtman (1972), Willard et al. (2004), dan
APSA (2007). Identifikasi sampel polen dilakukan sampai tingkat spesies. Jika
ada sampel polen yang mempunyai banyak tipe dalam satu famili, tetapi belum
dapat diidentifikasi sampai tingkat genus/spesies, maka tiap-tiap morfotipe
diberikan sebuah kode, seperti Rubiaceae Anonim 1, Rubiaceae Anonim 2, dan
sebagainya. Karakteristik polen yang diidentifikasi yaitu bentuk polen jika dilihat
dari sisi ekuator atau polar. Selain itu, polen dari tungkai serangga dicocokkan
juga dengan preparat polen yang telah dibuat berdasarkan sampel polen yang
dikumpulkan dari bunga-bunga pada jarak maksimal 50 m dari Asrama Putri.
Pengamatan Aktivitas Penerbangan
Pengamatan aktivitas penerbangan dilakukan terhadap enam koloni.
Pengamatan ini dilakukan pada hari yang berbeda dengan pengamatan
pengumpulan polen. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.00-17.55 WIB.
Waktu pengamatan dibagi menjadi tiga periode, yaitu pagi hari dimulai pukul
06.00-09.55 WIB, siang hari dimulai pukul 10.00-13.55 WIB, dan sore hari
dimulai pukul 14.00-17.55 WIB. Pada setiap periode, setiap koloni diamati secara
bergantian selama 5 menit dengan interval 5 menit, setelah pengamatan pada
koloni sebelumnya. Satu naungan berisi 2 koloni. Pengamatan dilakukan 2 kali
seminggu selama 3 bulan.
Jumlah pekerja yang masuk, membawa polen dan resin, serta yang keluar
dan membuang sampah melalui lubang stup, dihitung dengan menggunakan
handcounter. Pekerja yang masuk ke stup akan masuk ke lubang kerucut transparan terlebih dahulu, kemudian masuk ke lubang stup. Pekerja yang masuk sambil membawa polen atau resin dapat dilihat dari tungkai belakang. Jika pekerja

14
membawa polen, maka tungkai belakang akan berwarna kuning/jingga/putih tidak
mengkilap, sedangkan pekerja yang membawa resin, maka tungkai belakang akan
berwarna putih/cokelat mengkilap.
Pekerja yang keluar dari stup akan keluar dari lubang stup terlebih dahulu,
kemudian keluar melalui lubang kerucut transparan. Pekerja yang keluar sambil
membuang sampah dapat dilihat dari mandibel. Faktor cuaca seperti suhu udara,
kelembapan udara, dan intensitas cahaya di luar sarang diukur setiap jam per
pengamatan koloni dengan menggunakan termohigrometer (TFA Dostmann
30.5002) dan luxmeter (Lutron LX-107).

Analisis Data
Koloni 1, 3, dan 4 memiliki pot makanan dan sel anakan yang cukup
banyak. Koloni 2 dan 5 hanya mempunyai sedikit pot makanan tanpa ada sel
anakan, sedangkan koloni 6 mempunyai sedikit pot makanan dan sel anakan.
Demi keperluan analisis data, koloni 1, 3, dan 4 dikelompokkan sebagai koloni
kuat dan koloni 2, 5, dan 6 dikelompokkan sebagai koloni lemah. Oleh karena
data aktivitas penerbangan tidak mengikuti sebaran normal (uji KolmogorovSmirnov, p < 0.05), maka untuk memeriksa perbedaan banyaknya penerbangan
antara koloni kuat dan lemah digunakan uji Mann-Whitney, sedangkan untuk
membandingkan perbedaan aktivitas penerbangan harian digunakan uji Kruskal
Wallis. Koefisien korelasi Spearman (rs) digunakan untuk menduga hubungan
antara berbagai unsur cuaca (suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas
cahaya) dengan aktivitas penerbangan teuweul. Penilaian korelasi berdasarkan
koefisien korelasi menurut Fowler et al. (1998), yaitu sangat lemah (0.00-0.19),
lemah (0.20-0.39), sedang (0.40-0.69), kuat (0.70-0.90), dan sangat kuat (0.901.00). Seluruh analisis data tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS
22 untuk Windows.
Akrofase diperiksa dengan uji Rayleigh dan perbandingan akrofase aktivitas
terbang teuweul antara koloni kuat dan koloni lemah digunakan uji WatsonWilliams (Zar 2010). Kedua analisis tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak Oriana 4.02 untuk Windows yang dapat diunduh pada situs www.kovcomp.
co.uk.

HASIL
Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps
Sampel polen yang diidentifikasi berasal dari 3 koloni. Pengamatan pengumpulan polen dilakukan sebanyak 2 kali. Pada saat pengamatan pengumpulan
polen dari masing-masing koloni, hanya koloni 4 yang tidak melakukan aktivitas
pengumpulan polen pada hari ke-1 dan ke-2. Selain itu, ada 2 koloni yang tidak
melakukan aktivitas pengumpulan polen pada hari ke-2, yaitu koloni 2 dan koloni
6, sehingga aktivitas pengumpulan polen dari kedua koloni tersebut tidak dapat
dimasukkan ke dalam data pengamatan.
Pada saat proses pengamatan sampel polen, ditemukan polen-polen minoritas dan mayoritas per sampel preparat. Identifikasi sampel polen hanya dilakukan
pada polen-polen mayoritas saja. Jumlah pekerja teuweul yang membawa polen
dari masing-masing koloni dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah T. laeviceps pembawa polen (ekor)
Jenis tanaman (Famili – Spesies)
Apocynaceae
Tabernaemontana orientalis
Asteraceae
Tridax procumbens
Cyperaceae
Anonim 1
Euphorbiaceae
Euphorbia hirta
E. milii
Anonim 1
Myrtaceae
Anonim 1
Phyllanthaceae
Anonim 1
Polygonaceae
Anonim 1
Rubiaceae
Hedyotis auricularia
Anonim 1
Anonim 2
Verbenaceae
Lantana camara
Total pekerja

1

Koloni
3

5

12
3
2
6
7
8

10

9
9
2

4
14

14
1
1

59

1
44

9

9

Pekerja yang banyak membawa polen berasal dari koloni 1 dan 3 (koloni
kuat). Koloni 1, 3, dan 5 masing-masing mengambil 8, 8, dan 1 jenis polen. Koloni 1 mengambil polen dari 5 famili tumbuhan, yaitu Cyperaceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Phyllanthaceae, dan Rubiaceae. Koloni 3 mengambil polen dari
6 famili tumbuhan, yaitu Apocynaceae, Asteraceae, Euphorbiaceae, Polygonaceae, Rubiaceae, dan Verbecenaceae, sedangkan koloni 5 (koloni lemah) me-

16
ngambil polen dari 1 famili tumbuhan, yaitu Rubiaceae. Polen yang paling banyak
dibawa oleh teuweul berasal dari Famili Rubiaceae. Jenis dan tipe morfologi polen yang dibawa oleh teuweul dapat ditunjukkan pada Gambar 9.
a

b
B

c

P

P

E

e

d

f

h
i

g

j

E

P

P

P

m
K

k
K

P

E

E
l

E
P

Gambar 9 Jenis dan tipe morfologi polen pada korbikula T. laeviceps, E (ekuator),
P (polar), a) T. orientalis (4-colporate), b) T. procumbens (4-colporate),
c) Cyperaceae Anonim 1 (monocolpate/monosulcate), d) E. hirta (3colporate), e) E. milii (3-colporate), f) Euphorbiaceae Anonim 1 (3colporate), g) Myrtaceae Anonim 1 (parasyncolpate), h) Phyllanthaceae
Anonim 1 (trichotomosulcate), i) Polygonaceae Anonim 1 (zonocolporate), j) H. auricularia (zonocolporate), k) Rubiaceae Anonim 1 (4colporate), l) Rubiaceae Anonim 2 (3-colporate), m) L. camara (3-4colporate).

17
Ada 4 jenis tumbuhan yang sebagian besar berada di dekat sarang, yaitu
Tridax procumbens (sangga langit), Euphorbia hirta (patikan kebo), E. milii
(mahkota duri), dan Hedyotis auricularia (remek watu). Tabernaemontana
orientalis (jembirit) dan Lantana camara (tembelekan) tumbuh beberapa meter
dari sarang, sedangkan jenis polen lainnya tidak cocok dengan sampel polen yang
diambil dari bunga-bunga pada jarak maksimal 50 m dari penempatan koloni.
Kondisi ini menandakan bahwa teuweul dapat mencari polen pada jarak lebih dari
50 m.

Aktivitas Penerbangan T. laeviceps
Pola Aktivitas Penerbangan Harian
Kondisi kedua kelompok koloni teuweul di dalam stup, berbeda. Koloni
kuat mempunyai jumlah pekerja, sel anakan, dan pot makanan lebih banyak
dibandingkan dengan koloni lemah (Gambar 10).

(a)

(d)

(b)

(e)

(c)

(f)

Gambar 10 Kondisi koloni-koloni T. laeviceps di dalam stup, a) koloni 1, b)
koloni 3, c) koloni 4, d) koloni 2, e) koloni 5, f) koloni 6. Koloni kuat (a, b, c), koloni lemah (d, e, f).

18
Gambar 10a, 10b, dan 10c menunjukkan kondisi stup koloni kuat yang dipenuhi oleh sel anakan, pot makanan, dan propolis. Hal berbeda ditunjukkan oleh
Gambar 10d dan 10e yang memperlihatkan kondisi stup yang hanya terdiri atas
pot makanan saja, sedangkan Gambar 10f menunjukkan kondisi koloni 6 yang
mempunyai pot makanan dan sedikit sel anakan. Berdasarkan hal tersebut, maka
ko