UNSUR PORNO DALAM FILM (Analisis Isi Dalam Film "Virgin 2 : Bukan Film Porno" Karya Nayato Fio Nuala )

(1)

UNSUR PORNO DALAM FILM

(Analisis Isi Dalam Film “Virgin 2 : Bukan Film Porno” Karya Nayato Fio Nuala )

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh : MEITY RIANI

06220005

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Meity Riani

NIM : 06220005

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Judul Skripsi : Unsur Porno Dalam Film

(Analisi Isi dalam Film Virgin 2: Bukan Film Porno Karya Nayato Fio Nuala)

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Joko Susilo, S.Sos., M.Si Dra.Frida Kusumastuti, M.Si

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(3)

LEMBAR PENGESAHAN Nama : Meity Riani

NIM : 06220005

Konsentrasi : Komunikasi Audio Visual Judul Skripsi : Unsur Porno Dalam Film

(Analisi Isi dalam Film Virgin 2: Bukan Film Porno Karya Nayato Fio Nuala)

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyan Malang

dan dinyatakan LULUS

Pada hari : Selasa

Tanggal : 16 Agustus 2011 Tempat : 607

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

Dr. Wahyudi, M.Si Dewan Penguji:

1. Drs. Farid Rusman, M.Si Penguji I ( ) 2. Zen Amiruddin, S.Sos Penguji II ( ) 3. Joko Susilo, S.Sos, M.Si Penguji III ( ) 4. Dra. Frida Kusumastuti, M.Si Penguji IV ( )


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Meity Riani

Tempat, Tanggal Lahir : Tanah Grogot, 27 Januari 1989 Nomor Induk Mahasiswa : 06220005

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul:

UNSUR PORNO DALAM FILM

(Analisis Isi Dalam Film “Virgin 2 : Bukan Film Porno” Karya Nayato Fio Nuala )

adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 12 Agustus 2011 Yang Menyatakan,


(5)

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI 1. Nama : Meity Riani

2. NIM : 06220005

3. Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 4. Jurusan : Ilmu Komunikasi

5. Judul Skripsi : Unsur Porno dalam Film

(Analisis Isi dalam Film Virgin 2 Karya Nayato Fio Nuala) 6. Pembimbing : 1. Joko Susilo, S.Sos, M.Si

2. Dra. Frida Kusumastuti, M.Si 7. Kronologi Bimbingan :

Tanggal

Paraf Pembimbing

Keterangan Pembimbing I Pembimbing II

23 November 2010 Acc. Judul

20 Desember 2010 Acc. Proposal

23 Desember 2010 Seminar Proposal

10 Maret 2011 Acc. BAB I

25 April 2011 Acc. BAB II

8 Agustus 2011 Acc. BAB III

11 Agustus 2011

Acc. BAB IV dan Seluruh Naskah Skripsi

Malang, 12 Agustus 2011 Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Joko Susilo, S.Sos, M.Si Dra. Frida Kusumastuti, M.Si


(6)

MOTTO

“Ilmu pengetahuan adalah kawan diwaktu sendirian,

sahabat diwaktu sunyi,

Petunjuk jalan kepada agama, pendorong katabahan disaat dalam Kekurangan dan kesusahan”

“Setiap langkahku harus pasti

Bagiku hari esok harus lebih baik dibandingkan dengan hari ini

Dengan Bismillah Aku Melangkah”


(7)

PERSEMBAHANKU

Ya Allah SWT syukur Alhamdulillah sampai terselesaikanya tugas belajarku dan mewujudkan harapan Orang Tua Tercinta.

Dengan segala usaha, pengorbanan dan do’a-do’a dalam setiap

sujudku, aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas kasih sayang dan petunjuk-mu.


(8)


(9)

ABSTRAK

Meity Riani, 06220005

Unsur Porno Dalam Film

(Analisis Isi Dalam Film Virgin 2 : Bukan Film Porno Karya Nayato Fio Nuala) (74 halaman + 10 tabel + 7 lampiran)

Bibliografi : 17 buku + 4 Artikel Internet Kata Kunci : Unsur Porno, Film Virgin 2

Berbagai media akhir-akhir ini mengangkat berita tentang perjalanan remaja juga merebaknya fenomena prostitusi remaja dibawah umur. Topik mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Setelah sukses dengan VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan sehingga menjadi film terlaris tahun 2005, walaupun menuai kontroversi, pada akhirnya pesan yang disampaikan film tersebut banyak mendapat pujian. Karena mengangkat tema dari realita yang tengah berkembang di masyarakat. Karena itu dirasakan perlu untuk memberi ilustrasi, melalui sebuah film yang diadaptasi dari kisah nyata, akhirnya VIRGIN 2 Bukan Film Porno dibuat. Penekanan tagline Bukan Film Porno dirasa perlu, agar tidak terlalu cepat menafsirkan pesan yang ingin disampaikan film ini.

Dari fenomena itulah peneliti mencoba menganalisis seberapa besar porsi unsur porno dalam film Virgin 2. Dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur porsi unsur porno dalam film Virgin 2. Dan mendeskripsikan berapa banyak unsur porno dalam film, baik dalam unit analisis audio maupun visual.

Penelitian ini menggunakan metode analisis isi dengan perangkat statistik deskriptif. Tujuan dari analisis isi adalah merepresentasikan kerangka pesan secara akurat. Penelitian ini menggunakan unit analisis audio dan visual, satuan ukur adalah durasi per-detik, struktur kategorisasinya yaitu kategori aktifitas seksual, dengan tiga indikator: 1. Onani, 2. Berciuman, 3. Bersetubuh, sedangkan kategori gaya berbusana, dengan tiga indikator: 1. Pressbody, 2. Bra, 3. Hotpants. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pengkoderan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kategori aktifitas seksual sebesar 246 detik, indikator onani 75 detik, berciuman 99 detik dan bersetubuh 72 detik. Sedangkan berdasarkan kategori gaya berbusana sebesar 91 detik, indikator pressbody 36 detik, bra 11 detik, hotpants 44 detik. Dapat ditotalkan dari keseluruhan kategori adalah 337 detik. Sehingga dapat diketahui bahwa 337 detik < 4821 detik dari total durasi film Virgin 2, disimpulkan bahwa porsi unsur porno tidak mendominasi dalam film Virgin 2. aktifitas seksual didapatkan 0,80 atau 80 > 0,75 atau 75% dengan rumus Scoot yang didapatkan dari perhitungan rumus Hostly sebelumnya sebesar 0,91 atau 91% > 0,78 atau 78% maka dinyatakan Reliabel. Sedangkan hasil penelitian dari gaya berbusana didapatkan 0,85 atau 85% > 0,75 atau 75% dengan rumus Scoot yang didapatkan dari perhitungan rumus Hostly sebelumnya sebesar 0,93 atau 93 % > 0,78 atau 78% maka dinyatakan Reliabel.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa film virgin 2 mengandung unsur-unsur porno yang terdiri dari Berciuman, Bersetubuh, Onani, Pressbody, Bra dan Hotpants. Hal ini dapat diketahui peneliti dari hasil analisis dengan perhitungan–perhitungan yang akurat sehingga film ini memang mengandung unsur porno. Disarankan dalam penelitian ini diharapkan untuk para penikmat film agar dapat memilih film yang


(10)

cocok dengan penggolongan kategori usia, dan tentu saja berusaha menangkap hikmah dari pesan yang ingin disampaikan melalui media film. Kepada para senias muda agar lebih memperhatikan kualitas film yang akan dibuat. Sehingga, hasilnya nanti lebih bisa diterima oleh masyarakat bukan hanya sebagai hiburan melainkan juga dapat sebagai menambah pendidikan.

Peneliti

Meity Riani

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II


(11)

ABSTRACT

Meity Riani, 06220005

Elements of Porn In the Movie

(Content Analysis in the Movie “Virgin 2 : Bukan Film Porno” Karya Nayato Fio Nuala)

(74 pages + 10 tables + 7 attachments) Bibliography : 17 books + 4 Internet Articles Keywords : Elements of Porn, Movie Virgin 2

Various media lately about a trip up the news spread of the phenomenon of teenagers also underage teen prostitution. Topics on the question of sexuality, erotica and pornography in recent re-attract attention and become the subject of conversation by many. After the success VIRGIN as Questionable Virginity to become best-selling movie in 2005, despite the controversy, ultimately the message the film was praised. Since the theme of reality that was developing in society. Therefore it is necessary to illustrate, through a film adaptation of a true story, finally VIRGIN 2 Not Porno made. Emphasis tagline Not Porno necessary, in order not to be too quick to interpret the message was this movie.

Of phenomena that researchers are trying to analyze how large portion of pornographic elements in the film Virgin 2. With the aim of this study was to measure the portion of pornographic elements in the film Virgin 2. And describes how many elements of porn in the movie, both in audio and visual analysis unit.

This study uses content analysis method with descriptive statistical tools. The purpose of content analysis is to represent accurately the message frame. This research uses audio and visual analysis unit, a unit of measurement is the duration-per-second, the structure of categorization that is a category of sexual activity, with three indicators: 1. Masturbation, 2. Kissing, 3. Intercourse, while the categories of style of dress, with three indicators: 1. Pressbody, 2. Bra, 3. Hotpants. Data collection techniques using code techniques.

Results showed that based on the category of sexual activity for 246 seconds, 75 seconds indicator masturbation, kissing and fucking 99 seconds 72 seconds. While based on the categories of style of dress for 91 seconds, the indicator pressbody 36 seconds, 11 seconds bra, hotpants 44 seconds. Can ditotalkan of the whole category is 337 seconds. So it can be seen that 337 seconds <4821 seconds of total duration of the film Virgin 2, concluded that the portion of pornographic elements do not dominate in the film Virgin 2. sexual activity gained 0.80, or 80 > 0.75 or 75% with Scoot formula obtained from the calculation formula of the previous Hostly 0.91 or 91%> 0.78 or 78% then declared Reliable. While the research results obtained from the style of dress or 85% 0.85> 0.75 or 75% with Scoot formula obtained from the calculation formula previously Hostly of 0.93 or 93%> 0.78 or 78% then declared Reliable.

So it can be concluded that the film virgin 2 contains elements which consist of Kissing porn, intercourse, onanism, Pressbody, bra and hotpants. It can be known to researchers from the analysis with accurate calculations so that the film does


(12)

contain elements of pornography. Suggested in this study are expected for the moviegoers to select a movie match the classification categories of age, and of course tried to capture the wisdom of the message to be conveyed through the medium of film. To the young senias to pay more attention to the quality of the film to be made. Thus, the results will be more accepted by society not just as entertainment but also as an increase of education.

Researcher

Meity Riani

Approve,

Advisor I Advisor II

Joko Susilo, S.Sos, M.Si Dra. Frida Kusumastuti, M.Si


(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu tercurahkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada umat diseluruh penjuru jagad raya dan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia. Atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya, penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Film disatu sisi merupakan pengungkapan media artistik dari si pembuat film. Film juga sebagai perwujudan dari realitas sosial. Secara tidak langsung, film adalah gambaran inspirasi dan perkembangan cara berpikir masyarakat yang hidup dalam sebuah Negara. Saat ini Indonesia sedang mengalami berbagai perkembangan yang cukup bebas di dalam bidang entertainment. Fakta yang dapat kita lihat sekarang ini adalah maraknya tayangan-tayangan yang kurang sesuai dengan perkembangan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Penelitian ini mengambil Film “Virgin 2 : Bukan Film Porno” sebagai objek

penelitian. Karena mengangkat tema dari realita yang tengah berkembang di masyarakat, dirasakan perlu. Apalagi tentang dunia gaul remaja yang dianggap sebagai trend, bahkan lifestyle, tontonan film untuk bekal antisipasi. Sensitifnya remaja dalam kondisi psikologis yang labil untuk menafsirkan arti kemandirian, dibarengi berbagai godaan dalam pergaulannya seringkali membuat sebagian dari mereka jadi korban, bahkan prostitusi di bawah umur. Melalui metode penelitian analisis isi (content analysis), ingin ditunjukkan unsur porno yang dimunculkan dalam Film Virgin 2 : Bukan Film Porno.

Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terimakasih kepada berbagai pihak atas segala bantuan, kerjasama, dan kontribusi pemikiran yang diberikan. Penghargaan serta rasa terimakasih penulis sampaikan setulus-tulusnya kepada:


(14)

2. Dr. Wahyudi, M.Si. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Dra. Frida Kusumastuti, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

4. Joko Susilo, S.Sos, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan perhatian serius sejak penyusunan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Dra. Frida Kusumastuti, M.Si sebagai Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan perhatian dan koreksi yang sangat berharga sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Komunikasi yang selama ini telah banyak mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu guna memberikan berbagai bekal teoritis kepada penulis.

7. Teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi 2006 terutama IKOM A yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Sebagai manusia yang sarat keterbatasan, penulis tentunya menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan yang tiada henti diinginkan penulis adalah adanya kritik, saran dan kecaman dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.

Malang, Agustus 2010


(15)

DAFTAR ISI Lembar Judul

Lembar Persetujuan Skripsi Lembar Pengesahan

Pernyataan Orisinalitas

Berita Acara Bimbingan Skripsi Motto

Persembahan

Abstrak ………....i

Kata Pengantar ………...iii

Daftar Isi ………....vi

Daftar Tabel ………..viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ………. 5

C. Tujuan Penelitian ………. 5

D. Kegunaan Penelitian ………. 5

E. Tinjauan Pustaka ………. 6

E.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa ………. 6

E.2 Pornografi ……….11

E.3 Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory) ...23

E.4 Pornografi dalam Film ………25

F. Metode Penelitian ………27


(16)

F.2 Tipe Penelitian ………28

F.3 Ruang Lingkup Penelitian ……….……….29

F.4 Unit Analisis & Satuan ukur ………...29

F.5 Struktur Kategori ………29

F.6 Teknik Pengumpulan Data ……….31

F.7 Teknik Analisis Data .……….32

F.8 Contoh Surat Pernyataan Koder ………..33

G. Uji Reliabilitas ………34

BAB II DESKRIPSI UMUM FILM VIRGIN 2 A. Produksi Film Virgin 2 ………..………...36

B. Profil Sutradara ……….38

C. Kru Dalam Produksi Film ……….41

D. Sinopsis Film ………..………...46

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Penyajian Data ……….……….48

B. Uji Reliabilitas ……….……….61

B.1 Aktifitas Seksual ……….………...64

B.2 Gaya Berbusana ……….………65

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ……….…….………….71

B. Saran ……..………...72

Daftar Pustaka ….……….74

Lampiran Daftar Tabel Tabel 1.1 ………. 32


(17)

Tabel 3.1 ………... 48

Tabel 3.2 ………. 52

Tabel 3.3 ………. 57

Tabel 3.4 ………... 58

Tabel 3.5 ………. 59

Tabel 3.6 ………. 62

Tabel 3.7 ………... 62

Tabel 3.8 ………. 63

Tabel 3.9 ………. 66


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunikasi merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Perkembangan Teknologi komunikasi saat ini yang berkembang begitu sangat cepat juga membawa perubahan sosial yang sangat besar terhadap umat manusia. Media massa adalah salah satunya. Media massa telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mempunyai peran yang penting. Media massa yang mampu memenuhi permintaan dan keinginan akan selera masyarakat adalah Film. Film adalah salah satu media massa dan merupakan media komunikasi yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan.

Film disatu sisi merupakan pengungkapan media artistik dari si pembuat film. Selain itu film juga bisa sebagai alat yang menembus ruang waktu dengan kata lain film seperti alat yang bisa membawa kita ke masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Film juga sebagai perwujudan dari realitas sosial. Secara tidak langsung, film adalah gambaran inspirasi dan perkembangan cara berpikir masyarakat yang hidup dalam sebuah Negara. Selain pesan - pesan komunikasi yang terwujud dalam sebuah film, dalam film juga perlu dicermati representasi atau gambaran suatu makna yang terkandung dalam sebuah film yang tidak hanya memuat unsur hiburan atau nilai seni saja namun memuat makna-makna lain didalamnya yang ingin disampaikan.


(19)

2 Berbagai media akhir-akhir ini mengangkat berita tentang perjalanan remaja juga merebaknya fenomena prostitusi remaja dibawah umur. Kehidupan kelam ini belum tentu pilihan mereka, dan biasanya lingkungan rusak ini sangat dekat dengan narkoba sungguh memprihatinkan. Topik mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Satu sisi melihat pornografi sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan dan dianggap mempergunakan perempuan untuk kepentingan bisnis dan kesenangan dalam bingkai berpikir laki-laki, sementara yang lain melihat pornografi sebagai salah satu bentuk ekspresi dari cita rasa seni.

Akses terhadap hal-hal yang berbau pornografi di Indonesia sangatlah mudah. Berdasarkan catatan sebuah lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA), selain menjadi negara tanpa aturan jelas tentang pornografi, Indonesia juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak dan remaja. Kondisi seperti itu, sebenarnya telah direspon oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lewat beberapa kali penelitian dan survey di lapangan, terkuak kenyataan bahwa kegemaran anak-anak Indonesia menjelang remaja, salah satunya adalah kegemaran coba-coba untuk urusan seks (Sumber Laporan BKKBN, 2006).


(20)

3 Bila kita tengok bioskop-bioskop di Jakarta dan sekitarnya, maka nampak film-film produksi Indonesia dengan judul-judul yang mengundang. Tak dapat dipungkiri film Indonesia sedang dalam semangat tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Sayangnya pada satu tahun belakangan ini produksi film Indonesia banyak mengeluarkan film-film bergenre komedi seks, kekerasan dan lain-lain. Memang era 2010 ini berbeda dengan era 1990an yang nuansa seksnya lebih kental. Pada masa kini memang seksualitas dijadikan bumbu atau penambah rasa dari film.

Adanya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi memiliki daya tarik tersendiri di dalam masyarakat. Hal ini dipicu dengan adanya sikap pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat yang memberikan tanggapan sehubungan dengan hal tersebut. Pembahasan RUU APP mengalami banyak hambatan karena masih banyak perbedaan pendapat mengenai berbagai hal termasuk masalah definisi dan bagaimana batasan dari pornografi tersebut. Namun disisi lain, tidak adanya kejelasan batasan tersebut yang membuat RUU APP ini mengalami banyak kendala. RUU APP pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah berbagai bentuk kejahatan baik itu pornografi maupun pornoaksi dengan tujuan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral. Namun beberapa persoalan substansi yang antara lain tidak jelasnya batasan atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara konkrit.

Saat ini Indonesia sedang mengalami berbagai perkembangan yang cukup bebas di dalam bidang entertainment. Fakta yang dapat kita lihat sekarang ini


(21)

4 adalah maraknya tayangan-tayangan yang kurang sesuai dengan perkembangan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Butuh waktu lebih dari 3 tahun bagi Starvision untuk kembali membuat film tentang kehidupan remaja gaul yang tidak selalu indah, seringkali malah penuh dengan dinamika yang mengoyak kehormatannya, bahkan merenggut kehidupan. Setelah sukses dengan VIRGIN Ketika Keperawanan Dipertanyakan sehingga menjadi film terlaris tahun 2005, walaupun menuai kontroversi, pada akhirnya pesan yang disampaikan film tersebut banyak mendapat pujian. Karena mengangkat tema dari realita yang tengah berkembang di masyarakat, dirasakan perlu. Apalagi tentang dunia gaul remaja yang dianggap sebagai trend, bahkan lifestyle, tontonan film untuk bekal antisipasi. Sensitifnya remaja dalam kondisi psikologis yang labil untuk menafsirkan arti kemandirian, dibarengi berbagai godaan dalam pergaulannya seringkali membuat sebagian dari mereka jadi korban, apakah itu korban narkoba, atau bahkan prostitusi di bawah umur. Karena itu dirasakan perlu untuk memberi ilustrasi, melalui sebuah film yang diadaptasi dari kisah nyata, akhirnya VIRGIN 2 Bukan Film Porno dibuat. Penekanan tagline Bukan Film Porno dirasa perlu, agar tidak terlalu cepat menafsirkan pesan yang ingin disampaikan film ini, karena bukan bagian pornografi yang diusung film ini, tetapi realita tragis dari 4 cewek yang berusia 16 sampai 19 tahun dalam menjalani hidup yang bukan pilihannya.

Dalam film ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti yaitu seberapa besar porsi unsur porno terdapat dalam film ini yang ditujukan secara audio dan visualnya dengan menganalisis lebih lanjut.


(22)

5

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar porsi unsur porno dalam film Virgin 2

: Bukan Film Porno?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur porsi unsur porno dalam film Virgin 2 : Bukan Film Porno.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu wawasan atau pengetahuan baru bagi pembaca tentang bahasan yang ada dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan refensi, di Jurusan Ilmu Komunikasi, khususnya konsentrasi Audio Visual tentang kajian porno dalam film.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan informasi tentang adanya unsur porno yang ada dan cara penyampaiannya dalam film tersebut.


(23)

6 E. TINJAUAN PUSTAKA

E.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi selalu terjadi dalam kehidupan sehari–hari, dengan berkomunikasi manusia dapat mengemukakan keinginan, gagasan, ide, bahkan dalam pemenuhan segala aspek kebutuhan hidupnya, manusia menyampaikannya dengan cara berkomunikasi. Informasi disampaikan melalui berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik yang merupakan bentuk dari komunikasi massa. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa dan pengertian massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa (Nurudin, 2004: 2-3). Adapun salah satu ciri yang dimiliki oleh komunikasi massa adalah pesannya yang bersifat umum, dapat diartikan bahwa pesan dalam komunikasi massa tidak hanya ditujukan kepada satu orang atau kelompok saja, tetapi disampaikan pada khalayak ramai sehingga pesannya harus bersifat umum.

Dalam penjelasan yang lain, menurut Josep A. Devito (Nurudin, 2004: 11) Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya yaitu : televisi, radio, surat

kabar, majalah, film, buku, dan pita. Ada beberapa fungsi dari komunikasi massa menurut Devito, yaitu :


(24)

7 Fungsi penting komunikasi massa adalah fungsi meyakinkan atau persuasi. Persuasi bisa datang dalam bentuk :

a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang. Mengukuhkan, usaha untuk melakukan persuasi, kita pusatkan pada upaya mengubah atau memperkuat sikap atau kepercayaan khalayak agar mereka bertindak dengan cara tertentu.

b. Mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang. Media akan mengubah orang yang tidak memihak pada suatu masalah. c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dilihat

dari sudut pengiklan (advertiser), fungsi terpenting media massa adalah menggerakkan (activating) konsumen untuk mengambil tindakan.

d. Memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu. Dengan mengungkapkan tentang adanya penyimpangan tertentu dari suatu norma yang berlaku, media merangsang masyarakat untuk mengubah situasi.

2. Fungsi Menganugerahkan Status

Penganugerahan status terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu-individu tertentu sehingga prestise (gengsi) mereka meningkat. Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang-orang tertentu, masyarakat menganugerahkan kepada orang-orang tersebut suatu status publik yang tinggi.


(25)

8 3. Fungsi Membius ( Narcotization)

Salah satu fungsi media massa yang paling banyak dilupakan adalah fungsi membiusnya. Ini berarti apabila media menyajikan informasi tentang sesuatu, penerima percaya bahwa tindakan tertentu harus diambil. Sebagai akibatnya pemirsa atau penerima terbius kedalam keadaan pasif, seakan-akan berada dalam pengaruh narkotik.

4. Fungsi Menciptakan Rasa Kebersatuan

Fungsi yang tidak banyak disadari oleh kita semua adalah kemampuannya untuk membuat kita merasa menjadi anggota atau kelompok.

5. Fungsi Privatisasi

Privatisasi adalah kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial, mengucilkan diri kedalam dunianya sendiri. Berlimpahnya informasi yang dijejalkan kepada kita telah membuat kita merasa kekurangan dan membuat sebagian orang putus asa sehingga menarik dirinya kedunianya sendiri.

Salah satu bentuk media komunikasi massa adalah film. Film adalah gambar dan suara yang terjadi dari integrasi jalinan cerita, jalinan cerita terbentuk dari menyatunya peristiwa atau adegan – scene (Bayu dan Winastwan, 2007: 1). Dalam film terdapat urutan adegan yang didalamnya diiringi suara, baik logis ataupun musik sehingga cerita yang ditampilkan menjadi nyata, dan penonton dapat menangkap pesan yang ada dibawa.


(26)

9 Menurut Undang-Undang No.8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkanndengan sistem proyeksi mekanik, elektronik atau lainnya. Sedangkan perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukkan dan atau penayangan film (Abiyoga, 1997 : 3).

Dalam film selalu mencoba menyampaikan pesan yang secara langsung dibawanya sebagai media komunikasi. Pesan itu sendiri dalam ilmu komunikasi memiliki arti sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat, atau propaganda (Cangara, 2008: 24).

Penyampaian pesan dalam komunikasi terbagi menjadi dua yaitu : 1. Komunikasi Verbal

Penyampaian pesan secara verbal menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas (Mulyana, 2007: 260), sementara dalam penjelasan lain, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat


(27)

10 diartikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2008 : 99). 2. Komunikasi Non Verbal

Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam

suatu “setting” komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan

lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2007 : 343).

Berdasarkan Teori uses and gratification ini menerangkan bahwa penggunaan media massa memainkan peranan aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media itu adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhanya. Artinya teori ini mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan/alternatif untuk memuaskan kebutuhanya.

Teori ini merupakan kebalikan dari teori peluru. Dalam teori peluru itu sangat aktif dan all powerfull adalah media sementara audience berada di pihak yang pasif. Sedangkan teori ini ditekankan bahwa audience itu aktif untuk memilih mana media yang harus di pilih untuk memuaskan kebutuhanya. Sedangkan dalam teori peluru terapan media akan mengenai audience sebab ia berada di pihak yang pasif. Sementara dalam teori Uses and Gratifications justru sebaliknya.


(28)

11 Teori Uses Gratifications ini lebih menekankan pada pendekatan manusiawi didalam melihat media. Artinya, manusia itu punya otonomi, wewenang untuk memperlakukan media dan menurut pendapat teori ini, konsumen media mempunyai kebebasan untuk menetukan bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Teori ini juga menyatakan mungkin bahwa media dapat mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan, penggunaan teori ini bisa di lihat dari kasus selektivitas musik personal (Nurudin, 2001 :181).

E.2. Pornografi

E.2.1. Definisi Pornografi

Porno adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual (Bungin, 2003:96).

Berdasarkan interpretasi harfiah kamus Webster (Lesmana, 1995:69), porno berasal dari kata sifat, cabul (porne), tidak senonoh. Dalam dialeg Betawi, cabo atau pelacur, Wanita Tuna Susila (WTS).

Menurut Komisi Williams (Lesmana, 1995:109), sesuatu dikatakan Porno harus memenuhi 2 unsur, diantaranya (a) fungsi, dan (b) isi. Fungsinya ialah untuk membangkitkan birahi khalayak, sedangkan isinya berupa penggambaran yang sejelas-jelasnya segala sesuatu mengenai seks, antara lain organ seks, postur, dan aktivitas seksual.


(29)

12 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa porno adalah penggambaran tubuh manusia secara terbuka mengenai seks, organ seks, postur dan aktivitas seks yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu birahi manusia.

Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur

dan “grape” yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur (Armando, 2003:1). Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar, aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).

Berdasarkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (Jubaedah, 2002: 11) Pornografi adalah visualisasi dan verbalisasi melalui media komunikasi, atau karya cipta manusia tentang perilaku atau perbuatan laki-laki dan atau perempuan yang erotis dan atau sensual dalam keadaan atau memberi kesan telanjang bulat, dilihat dari depan, samping atau belakang, penonjolan langsung alat-alat vital, payudara atau pinggul dan sekitarnya baik dengan penutup atau tanpa penutup, ciuman merangsang antar pasangan sejenis atau berlainan jenis, baik antar muhram maupun bukan muhrim, atau antara manusia dengan hewan, antar binatang yang ditujukan oleh orang yang membuatnya untuk membangkitkan naafsu birahi orang, atau antara manusia yang hidup dengan manusia yang telah


(30)

13 meninggal dunia, gerakan masturbasi, onani, lesbian, homoseksual, oral seks, sodomi,yang bertujuan dan atau mengakibatkan bangkitnya nafsu birahi dan atau yang menimbulkan rasa yang menjijikan dan atau memuakkan dan atau memalukan bagi yang melihatnya, mendengarnya dan atau menyentuhnya, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan adat istiadat setempat.

Pornografi menurut Hasna (2007) adalah segala karya manusia baik berupa cerita, gambar, film, tarian maupun lagu yang di ciptakan dengan maksud untuk menimbulkan nafsu birahi orang lain sehingga merangsang sahwat serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran negatif dalam benak orang tersebut. Dimana ada 2 unsur pokok dalam pornografi yaitu kesengajaan dan merangsang nafsu seksual (birahi) serta unsur tambahan berupa pikiran-pikiran jorok.

Jassin (Jurnal Perempuan 38, 2004:8) sebagaimana dikutip Majalah Pantau juga mendefinisikan Pornografi adalah menciptakan fantasi pembaca atau penonton ke daerah-daerah seputar kelamin, fantasi itu kemudian membakar birahi. Makin lama (seseorang) terekspos pada materi porno, besar kemungkinan makin intens rangsangan seksual yang ditimbulkannya.

Selaras dengan definisi di atas, Tukan (Jurnal Perempuan 38,2004:32) mendefinisikan pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukan, pementasan dan ucapan dengan maksud untuk merangsang nafsu birahi.

Tong (Jurnal Perempuan 38, 2004:32) mengemukakan definisi yang cukup sederhana, Tong menganggap bahwa eksistensi laki-laki adalah untuk dirinya sendiri, sebaliknya eksistensi perempuan diperuntukkan bagi laki-laki. Definisi ini


(31)

14 menunjukkan bahwa pornografi dibuat utamanya untuk dikonsumsi laki-laki (meskipun ada juga perempuan yang juga sebagai consumer pornografi), dimana perempuan adalah property yang dijadikan objek utama pornografi, terutama karena perempuan dianggap mempunya nilai jual yang tinggi dengan kemolekan dan keseksian yang ditonjolkan untuk dipertontonkan.

Definisi yang lebih radikal dan kompleks dikemukakan oleh Dworkin dan Mackinnon (Jurnal Perempuan 38, 2004:33) yang memandang pornografi sebagai subordinasi perempuan melalui gambar dan suara yang meliputi dehumanisasi perempuan sebagai obyek seks, komoditas, barang, penghinaan, menyukai disakiti atau diperkosa.

Pengertian pornografi pun telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur dalam pengertian orang/manusia atau kejalangan tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi seperti pelacur. Dengan demikian maka pornografi

sampai pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.


(32)

15 E.2.2. Bentuk Porno

Bungin (2003: 43-44) menjelaskan Secara garis besar, dalam wacana Porno atau tindakan pencabulan (banyak dikenal dengan pornografi) kontemporer, Porno terbagi dalam beberapa bentuk yaitu pornografi, pornoaksi, pornoteks, dan pornosuara. Dalam kasus tertentu semua ketegori ini dapat menjadi sajian dalam satu media.

Pornografi adalah gambar-gambar porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto, lukisan, dan gambar video.

Pornoaksi adalah suatu aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak disengaja atau sengaja untuk memancing hasrat seksual laki-laki secara langsung di tempat umum.

Pornoteks adalah karya pencabulan yang mengangkat cerita sebagai versi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks tersebut. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks menimbulkan terciptanya theatre of mind pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi

“menggebu-gebu” terhadap obyek hubungan seks yang digambarkan.

Pornosuara yaitu suara, tuturan dan kalimat yang diucapkan seseorang yang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar tentang obyek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara ini secara langsung atau tidak memberi respons seksual terhadap pendengar atau penerima informasi seksual itu.


(33)

16 E.2.3. Kriteria Pornografi

Pornografi merupakan suatu penggambaran tingkah laku manusia dan merupakan segala karya manusia tentang perilaku seksual secara terisolir dalam bentuk bacaan dengan lukisan, tulisan, gambar, foto, video kaset, pertunjukan, film, ucapan, tarian maupun lagu yang diciptakan dengan sengaja dan semata-mata dirancang dengan beberapa unsur yang terkandung dalam Pornografi sebagai berikut :

a. Adanya materi berupa kata-kata atau gambar. b. Secara eksplisit menampilkan tubuh manusia. c. Tujuannya untuk merangsang birahi.

d. Dengan cara menjadikan manusia sebagai obyek seksual, menunjukkannya dan perendahan martabat dan mengandung unsur kekerasan.

Melalui beberapa definisi yang telah disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa arti dari pornografi berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan sifatnya serta kebudayaan suatu masyarakat yang berusaha mendefinisikan istilah pornografi itu sendiri.

E.2.4. Jenis Pornografi

Menurut RUU Porno yang baru (Jurnal Perempuan 38, 2004: 35-38), pornografi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu pornografi ringan dan pornografi berat serta pornografi anak, sebagai berikut :

1. Pornografi ringan terdiri dari : segala bentuk pornografi yang menggambarkan secara implisit kegiatan seksual termasuk


(34)

bahan-17 bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang bersifat seksual dan peniruan adegan seks.

2. Pornografi berat meliputi : menggambarkan segala bentuk tindakan seksual secara eksplisit, seperti misalnya alat kelamin, penetrasi, hubungan seks dengan : pasangan sejenis ( yang dianggap sebagai penyimpangan seks ), anak, hewan dan atau orang yang sudah meninggal.

3. Pornografi anak meliputi : segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau citra anak, ibu hamil, sebagai subyek ataupun obyek yang di produksi, baik secara mekanik, elektronik atau bentuk sarana lainnya. E.2.5. Bentuk Pornografi

Arivia (Jurnal perempuan 38, 2004: 49) mengemukakan beberapa bentuk Pornografi yang melingkupi:

1. Manusia disajikan sebagai obyek-obyek seks, benda atau komoditi. 2. Manusia digambarkan / ditampilkan telanjang atau setengah telanjang

untuk tujuan pornografi.

3. Manusia disajikan dalam postur-postur / posisi-posisi ketundukan seksual, atau sebagai budak atau tontonan.

4. Manusia disajikan sebagai obyek-obyek seks yang mengalami kenikmatan seksualitas didalam perkosaan, incest, atau serangan-serangan seksual lainnya.


(35)

18 E.2.6. Jenis Film Porno

Tjipta Lesmana, 1995: 83-86, mengatakan film porno itu terdiri dari 3 kategori yaitu :

a. Film porno berlabel “X”

Film masih memiliki jalinan cerita yang utuh. Pada adegan persetubuhan, organ seks pemain tidak pernah diekspos.

b. Film porno berlabel “XX”

Film adakalanya masih memiliki suatu jalinan cerita. Tapi yang membedakan adalah frekuensi adegan seks yang muncul lebih tinggi dan lebih sering.

c. Film porno berlabel “XXX”

Jalinan cerita sama sekali tidak ada dalam film ini. Begitu film dimulai, para pemainnya sudah melakukan adegan persetubuhan, dan organ seks pemain diekspos besar-besaran (camera closed-up). Ciri lain film ini adalah durasinya pendek sekali (sekitar 15 menit).

Muatan pornografi dalam film menyangkut gambar-gambar yang memperlihatkan alat kelamin (genitalia), aktivitas seksual (sexual intercourse) dan tubuh yang telanjang (fullfrontal nudity). Kategori-kategori dalam film yang bermuatan pornografi dibagi menjadi:

a. Film hard core, yaitu mengandung muatan-muatan porno dengan sangat jelas dan dalam persentase yang besar, bahkan nyaris seratus persen. Hard core film memamerkan adegan seks secara eksplisit dan gamblang sekali. Terbuka dalam arti segalanya, pameran telanjang


(36)

19 bugil, organ seks mereka diekspose amat mencolok dan segala teknik permainan juga dipertunjukkan. Persetubuhan abnormal seperti adegan homoseksualitas, oral seks, anal koitus juga menjadi sasaran film dalam kategori ini.

b. Film Soft Porn, yaitu film dengan penggambaran muatan-muatan porno yang tidak besar. Biasanya dalam kategori soft porn ini masih ada fullfrontal nudity, tetapi menyembunyikan genetalia dan sexual intercourse. Kedua kategori ini dalam produksi, presentasi dan konsumsinya biasanya dengan sengaja diniatkan untuk membangkitkan stimulus seksual. Dalam soft porn film tidak ada adegan seks abnormal seperti dalam hard core film.

c. Kategori selanjutnya adalah film-film dengan muatan seksual yang tinggi, tetapi tidak diniatkan semata-mata untuk membangkitkan stimulus seksual, alat kelamin ataupun aktivitas seksual, tetapi tidak semata-mata untuk dorongan seksual. Segala muatan itu dimaksudkan sebagai bagian dari estetika film.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa film porno merupakan sesuatu yang berbentuk gambar hidup (bergerak) pada suatu media tertentu dengan maksud untuk mengundang gairah (nafsu atau syahwat), di sengaja ataupun tidak. Dimana dalam film itu menayangkan/memvisualisasikan adegan perempuan/laki-laki telanjang, maupun film yang menayangkan/ memvisualisasikan adegan berhubungan seks baik sesama jenis, lawan jenis ataupun dengan binatang (sex with animal).


(37)

20 E.2.7. Penyajian Pornografi di Media Massa

Pornografi dan media massa mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, maraknya perhatian publik pada pornografi saat ini tidak terlepas dari banyaknya berita-berita dalam berbagi kemasan yang menyangkut materi-materi pornografi. Suatu hal yang pasti bahasan yang menyangkut materi-materi pornografi pada media massa akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini materi pornografi telah menjadi komoditi yang menguntungkan bagi media masa yang tidak memperhatikan berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dari penyajian materi-materi pornografi. Menurut Marwah Daud Ibrahim (2003:366). Seks dengan segala aspeknya, memang harus diakui, menjadi komoditas primadona yang laris dijual oleh media massa melalui prakteknya. Hal ini karena saat ini berita-berita dan informasi seksualitas seolah-olah berjalan seiring dengan berita sadistik. Terdapat berbagai pandangan yang berbeda mencermati perkembangan media massa dihubungkan dengan masalah pornografi salah satu sebagian masyarakat mengatakan bahwa media massa merupakan akar masalah yang menimbulkan terjadinya prilaku-prilaku negatif dimasyarakat. Golongan ini mempercayai bahwa media massa, terutama yang didukung dengan bantuan perkembangan tekhnologi yang semakin canggih hanya akan menciptakan, diantaranya adalah komunitas-komunitas raksasa yang malas. Disisi lain, ada juga yang lebih bijak dengan melihat aspek-aspek positif dari perkembangan media massa saat ini, hal ini didasarkan pada


(38)

21 keyakinan bahwa media massa akan memunculkan harapan pada masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

Suatu hal yang pasti tanpa mengabaikan aspek positif dan negatif media massa, saat ini jelas media massa memiliki pengaruh dominan dalam masyarakat yang menentukan cara pandang, sikap, maupun prilaku masyarakat pada nilai-nilai budaya maupun norma-norma yang dianut.

E.2.8. Dampak Negatif Pornografi

Al–Ghifori, 2004 : 27. Dampak pornografi jika diperinci satu persatu di antaranya adalah :

a. Memberikan fatamorgana negatif dalam khayalan remaja berakibat mereka tersiksa dari sudut mental seperti :

1) Memicu tindakan pemuasan seksual dengan diri sendiri yaitu masturbasi atau onani.

2) Mendorong pemuasan seksual pada sosok yang tak berdaya (pemerkosaan) pada lawan jenis.

3) Memicu hubungan seks ekstra marital atau memuaskan hubungan seksual dengan anggota keluarga sendiri baik kakak terhadap adik atau sebaliknya.

b. Mengganggu proses berfikir kreatif

Remaja yang seharusnya memikirkan tentang sekolah menjadi sulit berkonsentrasi karena telah tercemari nafsu seksual dan khayalan cabul.


(39)

22 c. Mendorong rasa ingin tahu lebih jauh hal yang bersifat pornografi

Remaja akan mempunyai keinginan untuk mengetahui sesuatu yang hebat dari pornografi yang telah dilihatnya dan tidak menutup kemungkinan untuk pemuasan dengan lawan jenisnya.

d. Menimbulkan sikap permisif

Remaja yang sudah terbiasa dengan hal-hal yang menyangkut pornografi akan cenderung untuk tidak merasa berdosa atau bahkan bangga jika melakukan hal yang tak boleh mereka lakukan terhadap lawan jenisnya (bergandengan tangan, berciuman, bahkan berhubungan seksual).

Menurut Victor B. Cline seorang psikiater asal Amerika (Soebagijo, 2006 : 45) menyimpulkan bahwa efek dari mengkonsumsi materi pornografi akan

muncul bertahap yaitu: a. Tahap Addiction

Sekali seorang itu menyukai materi pornografi, maka dia akan ketagihan. Jika yang bersangkutan tidak melihat pornografi maka ia akan mengalami kegelisahan.

b. Tahap Escalation

Muncul setelah sekian lama mengkonsumsi media porno yaitu kebutuhan terhadap materi seks yang lebih sensasional dari yang sudah dikonsumsi. Bila sebelumnya mereka sudah cukup puas dengan melihat gambar laki-laki atau perempuan tanpa busana, maka kemudian ingin melihat beradegan seks. Setelah jenuh ia akan melihat adegan seks yang lebih liar dan menyimpang dari yang pernah dilihatnya.


(40)

23 c. Tahap Desensitization

Yaitu materi seksual yang tadinya tabu, tidak bermoral dan melecehkan martabat manusia, pelan-pelan dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Bahkan cenderung menjadi tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual.

d. Tahap Act Out

Yaitu keinginan untuk meniru atau mempraktikkan perilaku seks yang selama ini dilihat kedalam kehidupan nyata.

Dampak pornografi pada anak-anak dan remaja yang paling mendasar adalah berpotensi mempunyai kebiasaan seksual yang menyimpang. Hal tersebut dapat membawa dampak lebih besar terhadap kehidupannya. Seperti kehamilan remaja, aborsi, orang tua tunggal, prostitusi, penyakit seks, kekerasan seksual dan perkosaan yang dapat mendorong timbulnya perilaku seksual yang menyimpang seperti lesbianisme, seks dengan kekerasan dan seks dengan binatang (Soebagijo, 2006 : 50).

E.3. Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory)

Teori ini berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20. Teori ini terbentuk dari Tulisan W.E. Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para pelaksana media, dan kode-kode etik media massa. Asumsi dari teori ini adalah bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab yang sepadan. Pendorong utamanya adalah tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi masyarakat.


(41)

24 Dari asumsi diatas, dapat dilihat bahwa teori tanggung jawab sosial harus berusaha menggabungkan tiga prinsip, yaitu prinsip kebebasan dan pilihan individual, prinsip kebebasan media dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Teori ini dapat diterapkan secara luas, karena meliputi beberapa jenis media cetak privat dan lembaga siaran publik, yang dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai bentuk prosedur demokratis pada masyarakat.

Adapun prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut (DenisMcQuail, 1994 : 117) :

1. Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.

2. Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau professional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.

3. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya

dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hokum dan lembaga yang ada.

4. Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin

menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik dan agama.

5. Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.


(42)

25 6. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankankepentingan umum.

7. Wartawan dan media professional seyogyanya bertanggungjawab

terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.

E.4. Pornografi dalam Film

Struktur film seksi yang mengumbar pornografi dan pornoaksi dimana

perempuan di”bendakan” sudah ada sejak lama. Di Indonesia sendiri munculnya

berbagai film bergenre seksi tersebut dianggap para sineas sebagai mati suri perfilman Indonesia. Dekade tahun 90-an menjadi puncak kematian film Indonesia dimana banyak film erotis yang mengarah pada unsur pornografi mulai banyak ditemukan, sebut saja pada dekade ini muncul berbagai judul film seperti Petualangan Cinta Nyi Blorong (Suzzana), Darah Perawan Bulan Madu (Indah Kalalo), Ranjang Yang Ternoda, Pergaulan Metropolis 1&2, Gairah Yang Terlarang, Akibat Pergaulan Bebas, Kehidupan Metropolis mewarnai industri perfilman Indonesia. Memang agaknya para sineas menggunakan unsur seks sebagai daya tarik memang tidak memperlihatkan wajah langsung pornografi namun wajah pornografi yang disemukan. Hal demikian dikategorikan dalam soft-core porn. Film soft-core porn melibatkan perempuan dan „ketidaktahuannya‟ akan adanya penonton sehingga pemeran perempuan melakukan aktivitas yang dianggap pribadi. Film semacam ini memang tidak secara terus terang memperlihatkan adegan seks, justru lebih banyak menampilkan tubuh perempuan. Melalui cara ini, penonton dapat terus melihat film untuk dapat tontonan „lebih‟.


(43)

26 Pada tahun 2010 ini, perfilman Indonesia tidak juga jera mengumbar pornografi dan erotisme sempit untuk ada dalam alur ceritanya, sampai-sampai kita dibuat bingung ketika film horor yang seharusnya menakutkan malah menjadi mengairahkan karena menghadirkan terlalu banyak adegan setengah bugil dalam filmnya. Bukan soal banyak atau sedikit, tapi banyak yang tidak relevan dengan alur cerita dan sengaja hanya dimaksudkan untuk memanjakan penonton dari kalangan laki-laki. Dari melihat review diatas bagaimanapun film ini seperti hendak membangkitkan kembali era ketika perfilman Indonesia didominasi produksi dengan judul-judul menggunakan kata seks, gairah dan ranjang, yaitu masa-masa menjelang kehancuran industri film kita. Memang ceritanya ringan, alurnya longgar, tanpa akting yang menonjol dari pemain-pemainnya, tapi sayangnya seakan di semua frame yang ada yang penting banyak adegan tubuh-tubuh mulus tergolek dengan hanya terbungkus pakaian dalam hitam. Penokohan yang ada tidak harus bagus yang penting punya tubuh yang indah, karakterisasinya absurd, dengan dialog yang asal-asalan. Pornografi seakan menjadi daya tarik utama, bukan cerita yang ada di dalamnya.


(44)

27 F. METODE PENELITIAN

F.1. Analisis Isi

Menurut Barelson dalam Analisis Isi mendefinisikannya sebagai “teknik

penelitian untuk mendeskripsikan secara objektif, sistematik dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak (Krippendorf, 1991 : 16). Menurut Budd (1967), analisis isi adalah suatu teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan atau alat ntuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. Dalam bukunya yang berjudul Mass Communication Theory (2000) mengatakan bahwa tujuan dilakukan analisis terhadap isi pesan komunikasi adalah :

1. Mendeskripsikan dan membuat perbandingan terhadap isi media. 2. Membuat perbandingan antara isi media dengan realitas sosial.

3. Isi media merupakan refleksi dan nilai-nilai sosial dan budaya serta sistem kepercayaan masyarakat.

4. Mengetahui fungsi dan efek media. 5. Mengevaluasi media performance. 6. Mengetahui apakah ada bias media.

Metode analisis isi yang paling awal dan yang paling sentral sering

kali disebut sebagai analisis isi “traditional”. Analisi isi diyakini sebagai metode analisis yang menguraikan objektivitas, sistematis, dan kuantitatif dari perwujudan isi komunikasi itu sendiri. Pendekatan dasar dalam menerapkan analisis isi adalah:


(45)

28 1. Memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi.

2. Menetapkan kerangka kategori. 3. Memilih satuan analisis.

4. Menentukan satuan ukur.

5. Mengungkap hasil sebagai distribusi menyeluruh atau percontoh dalam hubungannya dengan frekuensi keterjadian (McQuail, 2000 : 179).

F.2. Tipe Penelitian

Berdasarkan tinjauan penelitian maka tipe dari penelitian ini menggunakan metode analisis isi bersifat kuantitatif. Tipe kuantitatif yang bertujuan mendeskripsikan secara objektif, sistematis dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak atau manifest. Mendeskripsikan secara objektif artinya cara pandang pribadi dan bias yang mungkin ditimbulkan oleh peneliti tidak boleh masuk kedalam temuan penelitian. Mendeskripsikan secara sistematis artinya isi yang hendak dianalisis hendaknya diseleksi secara gamblang dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Mendeskripsikan secara kuantitatif artinya tujuan dari analisis adalah mempresentasikan kerangka pesan secara akurat. Untuk itu kuantitatif menjadi penting untuk memperoleh objektifitas yang dimaksud, dengan syarat harus menggambarkan dengan tepat.

Dalam penelitian ini analisi isi diartikan sebagai prosedural pembagian yang sistematik untuk memahami isi informasi yang tercatat (recodered Krippendorf (1980) mendefinisikannya sebagai suatu teknik riset untuk memetakan secara replikatif dan membuat referensi yang sahih atas data


(46)

29 kedalam konteknya. Kerlinger (1986) memahami analisis isi sebagai sebuah metode penelitian dan analisis komunikasi yang dilaksanakan secara sistematik objektif dan bersifat kuantitatif, dengan tujuan mengukur beberapa variable.

F.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah film Virgin 2 : Bukan Film Porno yang berdurasi 80 menit 21 detik.

F.4. Unit Analisis dan Satuan Ukur

Unit analisis penelitian ini adalah scene baik audio dan visual dalam film yang berjudul Virgin 2 : Bukan Film Porno. Dengan keseluruhan scene yang berjumlah 118 scene, dalam film yang berdurasi 80 menit 21 detik, setiap scene akan dianalisis dari sisi audio dan visual yang mengandung unsur porno.

Satuan ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah durasi dalam satuan detik yang terdiri dari kategori yang terdapat dalam setiap scene.

F.5. Struktur Kategori

Bernard Berelson mengatakan bahwa analisis isi tidak bisa lebih baik dari pada kategori-kategorinya untuk menciptakan kategori-kategori tersebut. Guido stempel ada tiga hal yang perlu diperhatikan : (1) kategori harus relevan dengan tujuan studinya, (2) kategori-kategori hendaknya fungsional, (3) harus dapat dikendalikan.


(47)

30 Dilihat dari rumusan masalah yang ingin diteliti, maka dibuat struktur kategori berupa adegan seks dan sensualitas yang termasuk unsur porno, sebagai berikut :

1. Aktifitas Seksual

Yaitu segala tindakan yang dapat memuaskan hasrat birahi. Indikatornya meliputi :

a) Onani.

Artinya pemuasan hasrat seksual yang dilakukan oleh pria dengan melakukan gerakan-gerakan yang dapat merangsang alat vital.

b) Berciuman, cium leher dan bibir.

Artinya suatu tindakan saling menempelkan bibir ke bibir, sampai saling menempelkan lidah sehingga dapat menimbulkan rangsangan seksual antara keduanya.

c) Bersetubuh.

Artinya melakukan hubungan seksual antar lawan jenis layaknya suami istri untuk menyalurkan hasrat seksualitas hingga mencapai kepuasan.

2. Gaya berbusana

Dari cara berbusana wanita yang sensual bisa membangkitkan nafsu birahi seseorang.


(48)

31 a) Memakai pakaian pressbody

Artinya Pakaian ketat atau tanktop sehingga membentuk dan menonjolkan bagian tubuh wanita.

b) Memperlihatkan bra

Artinya Penutup payudara wanita, dalam film ini pemeran wanita yang mengenakan tanpa dilapisi baju.

c) Memakai Hotpants

Artinya Celana pendek wanita dan ketat.

F.6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis pengumpulan data yaitu : a. Data Primer : diperoleh dari dokumentasi film Virgin 2,

pengumpulan data dilakukan dengan menyaksikan film tersebut secara keseluruhan, kemudian dilakukan pemilihan scene per scene yang merupakan bentuk dari unsur porno.

b. Data Sekunder : diperoleh melalui kepustakaan yang ada, baik berupa buku, internet maupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada.


(49)

32 Tabel 1.1

Lembar Koding :

Scene Durasi

KATEGORISASI

Aktifitas Seksual Gaya Berbusana

A.1 A.2 A.3 B.1 B.2 B.3

A V A V A V A V A V A V

Jumlah

Keterangan :

A.1 = Onani B.1 = Pressbody A = Audio A.2 = Berciuman B.2 = Bra V = Visual A.3 = Bersetubuh B.3 = Hotpants

F.7. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipakai penulis adalah kuantitatif dengan tipe statistik deskriptif ini menggunakan tabel frekuensi, yang tujuannya untuk membantu peneliti mengetahui bagaimana distribusi frekuensi dari data penelitian.

Setelah dilakukan pengamatan terhadap film dan memperoleh data per scene tentang unsur porno. Kemudian data tersebut dimasukan kedalam kategorisasi yang telah ditetapkan. Pada saat melakukan kategorisasi peneliti membuat tabel frekuensi untuk mempermudah mempresentase kategori yang telah diteliti. Kemudian dihitung banyaknya frekuensi yang muncul.


(50)

33 F.8. Surat Pernyataan Koder

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama :

Alamat :

Pendidikan :

Menyatakan telah melakukan pengkoderan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk uji reliabilitas pada penelitian yang berjudul :

UNSUR PORNO DALAM FILM

(Analisis Isi Dalam Film “Virgin 2 : Bukan Film Porno” Karya Nayato Fio Nuala )

Oleh : MEITY RIANI

06220005

Malang,


(51)

34 G. UJI RELIABILITAS

Kategorisasi dalam analisis isi merupakan instrument pengumpulan data. Supaya objektif, maka kategorisasi harus dijaga reliabilitasnya. Dalam rumus Holsty, peneliti melakukan dengan cara mengkoding sampel ke dalam kategorisasi, yang dibantu oleh pengkoding yang berjumlah 2 atau 3 orang, sebagai pembanding (Kriyantono, 2006 : 236).

 

2 1 2 N N M CR   Keterangan :

CR = Coefesien Reliability

M = Jumlah coding atau pernyataan yang disepakati oleh peneliti dan penggkoding dua.

N1, N2 = Total jumlah coding atau pernyataan yang diberi oleh pengkoding dan pengkoding dua.

Hasil selanjutnya kemudian dikembangkan dengan indeks of reliability yang bukan hanya mengoreksi dalam suatu kelompok kategori, tapi juga kemungkinan frekuensi yang timbul. Rumus Scott yaitu:

Pi = % observed agreement - % expected agreement 1 - % expected agreement

Keterangan :

Pi = nilai keterhandalan


(52)

35 Expected agreement = persetujan yang diharapkan dalam suatu

kategori yang sama nilai matematisnya, dinyatakan dalam jumlah hasil pengukuran dari proposi seluruh tema


(1)

30 Dilihat dari rumusan masalah yang ingin diteliti, maka dibuat struktur kategori berupa adegan seks dan sensualitas yang termasuk unsur porno, sebagai berikut :

1. Aktifitas Seksual

Yaitu segala tindakan yang dapat memuaskan hasrat birahi. Indikatornya meliputi :

a) Onani.

Artinya pemuasan hasrat seksual yang dilakukan oleh pria dengan melakukan gerakan-gerakan yang dapat merangsang alat vital.

b) Berciuman, cium leher dan bibir.

Artinya suatu tindakan saling menempelkan bibir ke bibir, sampai saling menempelkan lidah sehingga dapat menimbulkan rangsangan seksual antara keduanya.

c) Bersetubuh.

Artinya melakukan hubungan seksual antar lawan jenis layaknya suami istri untuk menyalurkan hasrat seksualitas hingga mencapai kepuasan.

2. Gaya berbusana

Dari cara berbusana wanita yang sensual bisa membangkitkan nafsu birahi seseorang.


(2)

31 a) Memakai pakaian pressbody

Artinya Pakaian ketat atau tanktop sehingga membentuk dan menonjolkan bagian tubuh wanita.

b) Memperlihatkan bra

Artinya Penutup payudara wanita, dalam film ini pemeran wanita yang mengenakan tanpa dilapisi baju.

c) Memakai Hotpants

Artinya Celana pendek wanita dan ketat.

F.6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis pengumpulan data yaitu : a. Data Primer : diperoleh dari dokumentasi film Virgin 2,

pengumpulan data dilakukan dengan menyaksikan film tersebut secara keseluruhan, kemudian dilakukan pemilihan scene per scene yang merupakan bentuk dari unsur porno.

b. Data Sekunder : diperoleh melalui kepustakaan yang ada, baik berupa buku, internet maupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada.


(3)

32 Tabel 1.1

Lembar Koding :

Scene Durasi

KATEGORISASI

Aktifitas Seksual Gaya Berbusana

A.1 A.2 A.3 B.1 B.2 B.3

A V A V A V A V A V A V

Jumlah

Keterangan :

A.1 = Onani B.1 = Pressbody A = Audio A.2 = Berciuman B.2 = Bra V = Visual A.3 = Bersetubuh B.3 = Hotpants

F.7. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipakai penulis adalah kuantitatif dengan tipe statistik deskriptif ini menggunakan tabel frekuensi, yang tujuannya untuk membantu peneliti mengetahui bagaimana distribusi frekuensi dari data penelitian.

Setelah dilakukan pengamatan terhadap film dan memperoleh data per scene tentang unsur porno. Kemudian data tersebut dimasukan kedalam kategorisasi yang telah ditetapkan. Pada saat melakukan kategorisasi peneliti membuat tabel frekuensi untuk mempermudah mempresentase kategori yang telah diteliti. Kemudian dihitung banyaknya frekuensi yang muncul.


(4)

33 F.8. Surat Pernyataan Koder

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama :

Alamat : Pendidikan :

Menyatakan telah melakukan pengkoderan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk uji reliabilitas pada penelitian yang berjudul :

UNSUR PORNO DALAM FILM

(Analisis Isi Dalam Film “Virgin 2 : Bukan Film Porno” Karya Nayato Fio Nuala ) Oleh :

MEITY RIANI

06220005

Malang,


(5)

34

G. UJI RELIABILITAS

Kategorisasi dalam analisis isi merupakan instrument pengumpulan data. Supaya objektif, maka kategorisasi harus dijaga reliabilitasnya. Dalam rumus Holsty, peneliti melakukan dengan cara mengkoding sampel ke dalam kategorisasi, yang dibantu oleh pengkoding yang berjumlah 2 atau 3 orang, sebagai pembanding (Kriyantono, 2006 : 236).

 

2 1 2 N N M CR   Keterangan :

CR = Coefesien Reliability

M = Jumlah coding atau pernyataan yang disepakati oleh peneliti dan penggkoding dua.

N1, N2 = Total jumlah coding atau pernyataan yang diberi oleh pengkoding dan pengkoding dua.

Hasil selanjutnya kemudian dikembangkan dengan indeks of reliability yang bukan hanya mengoreksi dalam suatu kelompok kategori, tapi juga kemungkinan frekuensi yang timbul. Rumus Scott yaitu:

Pi = % observed agreement - % expected agreement 1 - % expected agreement

Keterangan :

Pi = nilai keterhandalan


(6)

35 Expected agreement = persetujan yang diharapkan dalam suatu

kategori yang sama nilai matematisnya, dinyatakan dalam jumlah hasil pengukuran dari proposi seluruh tema