papayae carambolae HASIL DAN PEMBAHASAN

serta B. latifrons lebih toleran dibandingkan B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata Jang et al. 1999. Gambar 11 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46 o Gambar 12 Grafik perbandingan tingkat mortalitas larva B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46 C. o Perbedaan tingkat toleransi antar spesies diduga dipengaruhi oleh perubahan fisiologis pada serangga. Neven 2000 menyebutkan beberapa faktor fisiokimia yang menentukan mortalitas serangga adalah perubahan metabolisme, C. y = 4,268x + 2,808 R² = 0,952 y = 3,031x - 2,143 R² = 0,965 20 40 60 80 100 5 10 15 20 Mo rta li ta s Waktu perendaman menit Telur B. carambolae Telur B. papayae y = 5,820x - 1,69 R² = 0,959 y = 1,992x - 4,270 R² = 0,519 20 40 60 80 100 5 10 15 20 Mo rta li ta s Waktu perendaman menit Larva B. carambolae penurunan respirasi, gangguan syaraf, sistem endokrin, dan produksi heat shock protein. Roti Roti 1982 dalam Denlinger dan Yocum 1998 menyatakan bahwa kematian serangga ditandai dengan adanya kerusakan membran plasma yang selanjutnya diikuti terjadinya denaturasi protein. Hal ini mengakibatkan gangguan enzimatis pada DNA. Sel dapat mati apabila DNA mengalami kerusakan yang semakin parah. Neven 2000 menyatakan bahwa temperatur tinggi dapat menyebabkan gangguan sistem endokrin sehingga berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi serangga. Hal ini dapat dijumpai pada codling moth yang tingkat fertilitasnya menurun pada paparan temperatur yang makin meningkat. Beberapa contoh lain disebutkan oleh Denlinger dan Yocum 1998 bahwa faktor temperatur menentukan terjadinya abnormalitas, cacat, dan tertundanya perkembangan serangga pada spesies yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah telur C. capitata tidak menetas setelah diberi perlakuan panas 46 o C selama 63 menit atau larva A. fraterculus gagal mengalami pupasi setelah perlakuan 46.1 o Hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas larva B. carambolae mencapai 100 setelah perendaman selama 20 menit pada temperatur 44 - 48 C selama 76 menit. Heat shock protein atau HSP merupakan polipeptida yang disintesis oleh semua organisme sebagai respon terhadap temperatur tinggi. Sintesis protein ini meningkat seiring dengan peningkatan temperatur hingga mencapai titik tertentu. Menurut Thomas dan Shellie 2000, titik temperatur yang memacu respon produksi HSP bervariasi diantara spesies serangga. Respon HSP diduga sebagai faktor penting yang mengakibatkan semut gurun, C. bicolor, lebih toleran terhadap temperatur tinggi. Perbedaan toleransi antar spesies serangga mungkin juga dipengaruhi oleh perbedaan struktur kutikula pada beberapa spesies serangga. Neven 2000 menyatakan bahwa kutikula sensitif terhadap perubahan temperatur. Lapisan lilin pada kutikula memegang peranan penting dalam melindungi serangga dari kondisi lingkungan dan mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh. Perlakuan temperatur tinggi diketahui dapat mengubah struktur lilin sehingga mengakibatkan desikasi pada serangga. Perbandingan Temperatur Bertingkat o C. Pada 5 menit perendaman, semua larva mati pada temperatur 48 o C. Secara statistik, temperatur 45 o C, 46 o C, 47 o C, dan 48 o C menghasilkan mortalitas yang tidak berbeda nyata. Hal tersebut membuktikan bahwa temperatur ≥ 4 5 o C merupakan temperatur kritis yang dapat menyebabkan kematian larva B. carambolae dalam masa pemaparan panas yang singkat. Apabila dijadikan model maka hal ini sejalan dengan JFTA 1996 yang menyatakan bahwa perlakuan uap panas banyak diaplikasikan pada temperatur 46 – 47 o C terhadap lalat buah. Tabel 8 Mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48 O C Lama perendaman menit Mortalitas terkoreksi pada perendaman temperatur o C a 44 45 46 47 48 0 a 0 a 0 a 0 a 0 a 5 13.18 b 81.07 a 91.90 a 98.04 a 100.00 a 10 31.65 b 90.24 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 15 78.13 b 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 20 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a a Gambar 13 Grafik mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48 Untuk tiap lama perendaman, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey. α = 0.05. O Perbedaan kultivar mangga mempengaruhi tingkat toleransinya terhadap perlakuan panas. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan C. Ketahanan Buah Mangga Gedong Gincu terhadap Temperatur Tinggi anatomi buah, seperti misalnya ketebalan dan komposisi kulit buah Jacobi et al. 2001. Mangga gedong gincu mengalami penyusutan bobot selama penyimpanan setelah perlakuan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penyusutan terjadi pada semua perlakuan dan kontrol. Tidak terdapat perbedaan nyata antara buah yang diberi perlakuan dan kontrol. Susut bobot mungkin lebih dipengaruhi oleh pertambahan tingkat kematangan buah. Gowda dan Huddar 2001 dalam Jha et al. 2010 menyebutkan bahwa susut bobot merupakan salah satu parameter fisik yang terjadi pada buah yang semakin matang. Penurunan bobot dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO 2 dan air selama proses respirasi. Susut bobot juga berhubungan dengan tingkat kekerasan buah. Pada tingkat kekerasan yang semakin menurun maka ikatan antarsel makin lemah dan jaraknya merenggang sehingga air bebas dalam buah mudah menguap. Tingkat kekerasan buah mangga gedong gincu yang diberi perlakuan dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan Tabel 9. Hasil tersebut didapatkan setelah 5 hari penyimpanan pada temperatur 13 o C. Klein dan Lurie 1990 melaporkan bahwa apel yang diberi perlakuan panas 38 o C selama 4 hari memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal sebaliknya dilaporkan oleh Jacobi dan Giles 1997 yang menyatakan mangga varietas kensington yang diberi perlakuan panas lebih lunak dari kontrol. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh panas yang dapat menghambat atau memacu aktifitas enzim dalam mendegradasi dinding sel. Berdasarkan hasil pengujian kandungan gula, buah kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kandungan gula mangga tanpa perlakuan adalah 17.64, sedangkan kandungan gula buah mangga yang diberi perlakuan panas 45 o C, 47 o C, dan 49 o C masing-masing 17.36, 17.38, dan 17.86. Jacobi et al. 2001 menyatakan bahwa perlakuan panas secara umum tidak memberikan pengaruh yang nyata dalam perubahan kandungan gula pada mangga. Hal ini telah dibuktikan oleh Jacobi dan Giles 1997 terhadap mangga Kensington yang diberi perlakuan uap panas 47 o Warna juga biasa digunakan konsumen untuk menilai buah yang akan dikonsumsi. Pada Tabel 9, Lab color space CIELAB menunjukkan bahwa nilai C selama 15 menit. Namun demikian, selama proses pematangan terjadi peningkatan kandungan gula. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan pati oleh enzim amilase dalam buah menjadi gula yang digunakan sebagai energi dalam respirasi. Warna kulit buah merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam menilai kualitas buah. warna kulit mangga antar perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata. Perbedaan nyata hanya ditunjukkan oleh nilai a antara kontrol dan perlakuan 49 o Parameter pengamatan C pada 5 hari setelah perlakuan. Terdapat kecenderungan bahwa nilai a dan b semakin besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa warna kulit buah cenderung berubah menjadi warna kuning dan merah. Menurut Rathore et al. 2007, pemudaran warna hijau pada kulit buah disebabkan oleh terdegradasinya klorofil dan adanya pembentukan karotenoid. Pigmen karoten merupakan pigmen yang penampakannya tertutup oleh klorofil. Apabila klorofil mengalami degradasi selama pematangan maka pigmen karoten nampak dan kulit buah berwarna kuning. Tabel 9 Perbandingan bobot buah, kandungan gula, tingkat kekerasan, dan perubahan warna buah mangga gedong gincu terhadap perlakuan panas Kontrol a 45 o 47 C o 49 C o C Bobot buah g Sebelum 201.96 a 203.08 a 206.04 a 213.90 a 1 hari setelah perlakuan 200.66 a 200.68 a 203.90 a 211.64 a 5 hari setelah perlakuan 197.76 a 197.58 a 200.86 a 208.16 a Tingkat kekerasan kg 0.30 a 0.27 a 0.26 a 0.31 a Kandungan gula 17.64 a 17.36 a 17.38 a 17.86 a Warna L Sebelum 59.72 a 57.88 a 57.3 a 59.06 a 1 hari setelah perlakuan 57.94 a 59.02 a 58.92 a 58.82 a 5 hari setelah perlakuan 55.86 a 59.3 a 59.36 a 58.28 a Warna a Sebelum 23.83 a 22.67 a 23.3 a 20.58 a 1 hari setelah perlakuan 27.45 a 23.52 a 24.65 a 21.69 a 5 hari setelah perlakuan 31.51 a 27.19 ab 26.53 ab 23.97 b Warna b Sebelum 42.27 a 45,11 a 44.14 a 43.35 a 1 hari setelah perlakuan 49.72 a 52,14 a 49.97 a 48.02 a 5 hari setelah perlakuan 54.06 a 54.24 a 56.59 a 51.03 a a Untuk tiap parameter pengamatan, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata uji Tukey. α = 0.05. Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat kepercayaan 95 diketahui bahwa panelis tidak dapat membedakan secara nyata antara buah mangga gedong gincu perlakuan dan kontrol. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 6. Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil percobaan Jacobi dan Giles 1997 yang menyatakan bahwa perlakuan panas 47 o C selama 15 menit tidak mempengaruhi rasa buah mangga Kensington. Uji Disinfestasi Lalat Buah dengan Uap Panas Perlakuan uap panas dilakukan di mesin perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu EHK-1000D. Pada mesin tersebut uap air dialirkan dan disirkulasikan oleh kipas yang ada di dalam chamber sehingga memungkinkan temperatur semua buah meningkat secara seragam. Mesin membutuhkan waktu 30 menit untuk menaikkan temperatur dari 30 o C ke 60 o Gambar 14 Fasilitas perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu model EHK 1000D. Mesin perlakuan dilangkapi dengan sensor temperatur digunakan untuk mengukur kondisi temperatur chamber perlakuan dan pusat buah mangga. Temperatur dan kelembaban relatif udara di dalam chamber perlakuan dideteksi oleh sensor dry-bulb dan wet-bulb. Temperatur pusat buah mangga diukur dengan sensor khusus untuk buah. Sensor ditempatkan secara longitudinal dalam buah sehingga ujung sensor sedapat mungkin berada di tengah buah mangga gedong gincu. Semua sensor dikalibrasi sebelum digunakan dalam pengujian. Informasi waktu yang diperlukan buah mangga gedong gincu mencapai temperatur target sangat penting. Oleh karena itu, digunakan probe sensor untuk mendeteksi temperatur pusat buah mangga selama perlakuan. Bagian tengah buah atau permukaan biji buah merupakan bagian buah yang memerlukan waktu paling lama untuk mencapai temperatur target. Temperatur buah yang ingin dicapai dalam pengujian adalah 45.5 C pada kondisi chamber tanpa muatan. o C, 46 o C, dan 46.5 o C dengan temperatur chamber 47.5 o Perubahan temperatur udara di chamber dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas ditunjukkan pada Gambar 15. Udara dalam C dan RH 95. chamber mencapai temperatur target 47.5 o C setelah 30 menit. Lama waktu yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kualitas mesin. Pada menit ke-12 sampai 27, temperatur chamber akan melampaui target hingga 48.5 o C sebelum akhirnya stabil di 47.5 o C. Kelembaban relatif RH mencapai lebih dari 95 selama kurang lebih 40 menit. Selanjutnya RH dipertahankan tetap di atas 95 selama periode perlakuan. Temperatur buah lebih lambat naik dan mencapai 45.5 o C pada menit ke- 87, 46 o C pada menit ke-102, dan 46.5 o C pada menit ke-129. Peningkatan temperatur di permukaan biji buah mangga relatif lambat saat memasuki kisaran 46 o C – 47 o C. Peningkatan temperatur antara 0.1 – 0.2 o Gambar 15 Perbandingan kenaikan antara temperatur chamber VHT dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas. Setelah perlakuan, dilakukan pendinginan dengan udara yang dialirkan kipas angin. Penurunan temperatur buah memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai temperatur ruang yang konstan. Pendinginan dengan air memerlukan waktu yang lebih singkat namun berisiko. Hal ini dikarenakan serangga mungkin belum terbunuh di dalam buah selama perlakuan sehingga pendinginan dalam jangka waktu lebih panjang justru diperlukan JFTA 1996. C dalam periode 10 menit. Mortalitas B. carambolae mencapai 100 pada semua variasi waktu pada perlakuan uap panas 46.5 o C. Hal ini ditunjukkan pada stadia larva maupun telur Tabel 10. Hasil tersebut menunjukkan adanya kemungkinan temperatur di 10 20 30 40 50 15 30 45 60 75 90 105 120 135 Te m pe ra tur o C Waktu menit Chamber VHT Buah bawah 46.5 o C yang dapat digunakan untuk mengendalikan B. carambolae. Jacobi et al. 1993;1996 telah membuktikan keefektifan perlakuan uap panas 45 o C selama 30 menit terhadap B. tryoni pada leci dan B. cucumis pada zucchini. Tabel 10 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan uap panas 46.5 o Perlakuan C Mortalitas terkoreksi a b Telur Larva 46.5 o 100 a C 10 menit 100 a 46.5 o 100 a C 5 menit 100 a 46.5 o 100 a C 0 menit 100 a Kontrol 0 b 0 b a Waktu dalam menit adalah waktu tunggu setelah dicapainya temperatur 46.5 o C. b Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey. α = 0.05.. Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah serangga yang bertahan hidup mengalami penurunan seiring peningkatan temperatur perlakuan. Pada temperatur 46.5 o C tidak ditemukan serangga hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian pada Tabel 10 dimana serangga secara keseluruhan mati pada temperatur 46.5 o C. Hasil pengujian juga sejalan dengan yang dilakukan terhadap B. dorsalis pada buah mangga Nang Klarngwan dari Thailand dimana perlakuan uap panas yang efektif dilakukan pada temperatur 46.5 o C selama 10 – 30 menit JFTA 1996. Hasbullah et al. 2009 juga menyatakan bahwa perlakuan uap panas 46.5 o C selama 10-30 menit efektif membunuh telur B. dorsalis. Hasil ini menunjukkan bahwa lalat buah kelompok B. dorsalis complex memberikan respon hampir sama terhadap perlakuan uap panas. Tabel 11 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan uap panas 45.5 o C - 46.5 o Perlakuan C Mortalitas terkoreksi a Telur Larva 46.5 o 100 a C 100 a 46 o 99.47 a C 99.42 a 45.5 o 88.01 b C 96.53 a Kontrol 0 c 0 b a Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey. α = 0.05.. Beberapa faktor turut mempengaruhi perbedaan tingkat mortalitas serangga terhadap perlakuan uap panas. Salah satunya faktor posisi serangga di buah Corcoran et al. 1993. Posisi telur yang berada di dekat kulit buah seharusnya terpapar panas lebih tinggi dibandingkan larva yang berada di bagian buah yang lebih dalam. Namun hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas telur dan larva tidak berbeda pada perlakuan uap panas 46.5 o Gambar 16 a Larva yang mati akibat perlakuan uap panas; b Larva hidup pada kontrol. Dalam pengujian skala luas, kondisi perlakuan yang digunakan untuk memenuhi keamanan karantina adalah temperatur kritis yang mampu membunuh 100 serangga target. Oleh karena itu, temperatur yang direkomendasikan untuk pengujian skala luas adalah 46.5 C. Bahkan mortalitas larva lebih tinggi dibandingkan dengan telur. Hal tersebut membuktikan penyebaran panas berlangsung secara cepat di seluruh bagian buah mangga gedong gincu sehingga faktor ekstrinsik tersebut dapat diabaikan. o C. Hal ini dikarenakan mortalitas 100 serangga pada perlakuan 46.5 o Perlakuan karantina umumnya dikembangkan untuk mendisinfestasi suatu OPTK tertentu pada suatu komoditas tertentu secara spesifik. Perlakuan juga harus merupakan kondisi yang seimbang dalam membunuh serangga dan C mungkin diakibatkan oleh muatan chamber yang tidak penuh sehingga aliran uap panas lebih mudah menjangkau seluruh buah. Pada skala komersial, buah mangga dalam jumlah besar di chamber akan menghasilkan area yang lebih padat sehingga aliran uap lebih terhambat Mangan dan Ingle 1992 dalam Heather et al. 1997. Pada kondisi tersebut diperlukan temperatur lebih tinggi atau waktu perlakuan yang lebih lama untuk mampu membunuh semua serangga. Pada pengujian skala luas digunakan serangga uji sebanyak minimal 93,162 serangga uji untuk mampu memenuhi Probit 9 atau 99.9968 mortalitas Follet dan Neven 2006. b a meminimalkan penurunan kualitas buah akibat perlakuan Lurie 1998. Perlakuan karantina sangat penting, terutama terhadap serangga yang berkembang dalam jaringan buah internal feeder, termasuk lalat buah. Hal ini disebabkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam pemeriksaan terhadap komoditas yang terinfestasi Follett 2004. Oleh karena itu, perlakuan uap panas dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengembangkan teknik disinfestasi lalat buah, sekaligus sebagai pendukung akselerasi ekspor buah lokal ke pasar internasional.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Telur merupakan stadia lalat buah yang paling toleran terhadap perlakuan panas, baik pada B. papayae maupun B. carambolae. B.papayae lebih toleran terhadap perlakuan pada temperatur 46 o C dibandingkan dengan B. carambolae. Buah mangga gedong gincu tidak mengalami perubahan kualitas setelah perlakuan panas pada temperatur 45 – 49 o C. Pada skala laboratorium, pemanasan uap panas hingga mencapai temperatur 46.5 o C efektif untuk membunuh telur dan larva B. carambolae pada buah mangga gedong gincu. Saran Perlu dilakukan pengujian pada temperatur di bawah 46.5 o C selama waktu tertentu terhadap tingkat mortalitas B. carambolae pada buah mangga gedong gincu, misalnya pada temperatur 46 o C. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian dalam skala luas untuk mengetahui keefektifan temperatur 46.5 o C dalam mengendalikan B.carambolae pada buah mangga gedong gincu. DAFTAR PUSTAKA [ACIAR] Australian Centre for International Agriculture Research. 2009. Fruitflies of Indonesia: Their Identification, Pest Status and Pest Management. Third Training Workshop. Brisbane AUS: International Centre for the Management of Pest Fruit Flies. [APHIS] Animal and Plant Health Inspection Services. 2011. Nonchemical treatment: heat, vapor heat and force hot air treatment. APHIS Manual Treatment. Arifin SZ. 2009. Pengembangan tanaman pakel Mangifera foetida unggul lokal di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta [abstrak]. Di dalam: Seminar Buah Nusantara Aveno JL, Orden MEM. 2006. Hot water treatment for mango: a study of four export corporations in the Philippines [internet]. Nueva Ecija PH: Central Luzon State University; [Diunduh 2011 Apr 27]. Tersedia pada: ; 2011 Okt 28 - 29; Bogor. Bogor ID: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Armstrong JW. 1994. Heat and Cold Treatment. Di dalam: Paul RE, Armstrong JW, editor. Insect Pests and Fresh Horticultural Products: Treatment and Responses. Wallingford UK: CAB International. Armstrong JW, Tang J, Wang S. 2009. Thermal death kinetics of Mediterranean, Malaysian, Melon, and Oriental Fruit Fly Diptera: Tephritidae eggs and third instars. J Econ Entomol 1022: 522-532. http:serp- p.pids.gov.phserp pdetails.php?pid=4003param=Aveno2C+Jocelyn+L. [BARANTAN]. Badan Karantina Pertanian. 2007. Manual Fumigasi Fosfin [BPS] Biro Pusat Statistik. 2011. untuk Perlakuan Karantina Tumbuhan. Jakarta ID: Badan Karantina Pertanian. Produksi Buah-Buahan di Indonesia 1995-2010. [diunduh 2011 Des 29]. Tersedia pada http:www.bps.go.id. Broto W. 2003. Mangga: Budidaya, Pascapanen, dan Tata Niaganya. Jakarta ID: Agro Media Pustaka. Chin D, Brown H, Condé B, Neal M, Hamilton D, Hoult M, Moore C, Thistleton B, Ulyatt L, Zhang L. 2010. Field Guide: Pests, Beneficials, Diseases and Disorders of Mangoes. Darwin AU: Northern Territory Government- Department of Resources. De Meyer M, Robertson MP, Mansell MW, Ekesi S, Tsuruta K, Mwaiko W, Vayssieres JF, Peterson AT. 2010. Ecological niche and potential geographic distribution of the invasive fruit fly Bactrocera invadens Diptera, Tephritidae. Bulletin of Entomological Research 100:35–48. Denlinger, DL, Yocum GD. 1998. Physiology of heat sensitivity. Di dalam: Hallman GJ, Denlinger DL, editor. Temperature Sensitivity in Insects and Application in Integrated Pest Management. Westview Press. Dhillon MK, Singh R, Naresh JS, Sharma HC. 2005. The melon fruit fly, Bactrocera cucurbitae: a review of its biology and management. Journal of Insect Science 5:1-16. [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2005. Indeks kematangan mangga gedong gincu. Jakarta ID: Ditjen Hortikultura Kementan. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2009. Statistik dan Informasi Tahun 2009. Jakarta ID: Ditjen PPHP Kementan. Drake SR, Hansen JD, Elfving DC, Tang J, Wang S. 2005. Hot water to control codling moth in sweet cherries: efficacy and quality. Journal of Food Quality 28: 361–376. Drew RAI, Hancock L. 1994. The Bactrocera dorsalis complex of fruit flies Diptera: Tephritidae:Dacinae in Asia. Bulletin of Entomological Research, Supplement 2:1-68. Drew RAI. 2001. Fruit flies – lessons in research and politics. Di dalam: Professorial Lecture; 2001 Apr 26; Brisbane. Brisbane AU: Nathan Campus, Griffith University. Drew RAI. 2004. Biogeography and speciation in the Dacini Diptera: Tephritidae: Dacinae. Bishop Museum Bulletin in Entomology 12: 165–178. Dyck J, Ito K. 2010. Fruit policies in Japan. Economic Research Service USDA. Ebina T, Ohto K. 2006. Morphological characters and PCR-RFLP markers in the interspecific hybrids between Bactrocera carambolae and B. papayae of the B. dorsalis Species Complex Diptera: Tephritidae. Res Bull Pl Prot Japan 42:23-34. Emekci M, Navarro S, Donahaye JE, Rindner M, Azrieli A. 2001. Respiration of stored product pests in hermetic conditions. Di dalam: Donahaye EJ, Navarro S, Leesch JG, editor. Proc Int Conf Controlled Atmosphere and Fumigation in Stored Products. 2000 Okt 29 – Nop 3; Fresno, CA. FAOSTAT. 2007. FAO Statistics, Food and Agriculture Organization of the United Nations. [diunduh 2012 Jan 5]. Tersedia pada http:faostat.fao.org. Fields PG, White NDG. 2002. Alternatives tomethyl bromide treatments for stored-product and quarantine insects. Annu Rev Entomol 47:331–359. Follett PA, Gabbard Z. 2000. Effect of mango weevil Coleoptera: Curculionidae damage on mango seed viability in Hawaii. J Econ Entomol 934:1237- 1240. Follett PA. 2004. Generic vapor heat treatments to control Maconellicoccus hirsutus Homoptera: Pseudococcidae. J Econ Entomol 974:1263-1268. Follett PS, Neven LG. 2006. Current trend in quarantine entomology. Annu Rev Entomol 51:359–85. Frias D, Selivon D, Hernandez-Ortiz V. 2006. Taxonomy of immature stages: new morphological characters for tephritidae larvae identification. Proceedings of the 7th International Symposium on Fruit Flies of Economic Importance. Fuester RW, Kozempel MF, Forster LD, Goldberg N, Casillas LI, Swan KS. 2004. A novel nonchemical method for quarantine treatment of fruits:california red scale on citrus. J Econ Entomol 976:1861-1867. Gould WP, Hennessey MK. 1997. Mortality of Anastrepha suspensa Diptera:Tephritidae in carambolas treated with cold water precooling and cold storage. Florida Entomologist 801:79-84. Hallmann GJ. 1994. Controlled Atmosphere. Di dalam: Paul RE, Armstrong JW, editor. Insect Pests and Fresh Horticultural Products: Treatment and Responses. Wallingford UK: CAB International. Hansen JD, Hara AH, Tenbrink VL. 1992.Vapor heat: A potential treatment to disinfest tropical cut flowers and foliage. Hort Science 272:139-143. Hasbullah R, Marlisa E, Dadang, Prabawati S, Rachmat R, Setyabudi DA. 2009. Teknologi VHT untuk membebaskan lalat buah pada mangga untuk ekspor [abstrak]. Di dalam: Seminar Buah Nusantara; 2009 Okt 28 - 29; Bogor. Bogor ID: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Heather NW, Corcoran RJ, Kopittke RA. 1997. Hot air disinfestation of Australian ‘Kensington’ mangoes against two fruit flies Diptera: Tephritidae. Postharvest Biology and Technology 10:99-105. Hulasare R, Subramanyam B, Fields PG, Abdelghany, AY. 2010. Heat treatment: A viable methyl bromide alternative for managing stored-product insects in food-processing facilities. 10th International Working Conference on Stored Product Protection. Jacobi KK, Wong LS, Giles JE. 1993. Lychee Lichi chinensis Sonn. fruit quality following vapour heat treatment and cool storage. Postharvest Biology and Technology 3:111-119. Jacobi KK, Wong LS, Giles JE. 1996. Postharvest quality of zucchini Cucurbita pepo L. following high humidity hot air disinfestation treatments and cool storage. Postharvest Biology and Technology 7:309-316. Jacobi KK, Giles JE. 1997. Quality of ‘Kensington’ mango Mangifera indica Linn. fruit following combined vapour heat disinfestation and hot water disease control treatments. Postharvest Biology and Technology 12:285– 292. Jacobi KK, McRae EA, Hetherington SA. 2001. Postharvest heat disinfestation treatments of mango fruit. Scientia Horticulturae 89 3:171-193. Jang EB, Moffit HR. 1994. System approaches to achieving quarantine security. Di dalam: Sharp JL, Hallman GJ, editor. Quarantine Treatment for Pests of Food Plant. San Fransisco US: Westview Press. Jang EB, Nagata JT, Chan Jr HT., Laidlaw WG. 1999. Thermal death kinetics in eggs and larvae of Bactrocera latifrons Diptera: Tephritidae and comparative thermotolerance to three other Tephritid fruitfly species in Hawaii. J Econ Entomol 923:684-690. [JFTA] Japan Fumigation Technology Association. 1996. Textbook for Vapor Heat Disinfestation Test Technicians Revised. Okinawa JP: Japan International Cooperation Agency. Jha SN, Narsaiah K, Sharma AD, Singh M, Bansal S, Kumar R. 2010. Quality parameters of mango and potential of non-destructive techniques for their measurement – a review. J Food Sci Techno 471:1–14. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta ID: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.