papayae carambolae HASIL DAN PEMBAHASAN
serta B. latifrons lebih toleran dibandingkan B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata Jang et al. 1999.
Gambar 11 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur
46
o
Gambar 12 Grafik perbandingan tingkat mortalitas larva B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur
46 C.
o
Perbedaan tingkat toleransi antar spesies diduga dipengaruhi oleh perubahan fisiologis pada serangga. Neven 2000 menyebutkan beberapa faktor
fisiokimia yang menentukan mortalitas serangga adalah perubahan metabolisme, C.
y = 4,268x + 2,808 R² = 0,952
y = 3,031x - 2,143 R² = 0,965
20 40
60 80
100
5 10
15 20
Mo rta
li ta
s
Waktu perendaman menit
Telur B. carambolae Telur B. papayae
y = 5,820x - 1,69 R² = 0,959
y = 1,992x - 4,270 R² = 0,519
20 40
60 80
100
5 10
15 20
Mo rta
li ta
s
Waktu perendaman menit
Larva B. carambolae
penurunan respirasi, gangguan syaraf, sistem endokrin, dan produksi heat shock protein. Roti Roti 1982 dalam Denlinger dan Yocum 1998 menyatakan bahwa
kematian serangga ditandai dengan adanya kerusakan membran plasma yang selanjutnya diikuti terjadinya denaturasi protein. Hal ini mengakibatkan gangguan
enzimatis pada DNA. Sel dapat mati apabila DNA mengalami kerusakan yang semakin parah.
Neven 2000 menyatakan bahwa temperatur tinggi dapat menyebabkan gangguan sistem endokrin sehingga berpengaruh terhadap perkembangan dan
reproduksi serangga. Hal ini dapat dijumpai pada codling moth yang tingkat fertilitasnya menurun pada paparan temperatur yang makin meningkat. Beberapa
contoh lain disebutkan oleh Denlinger dan Yocum 1998 bahwa faktor temperatur menentukan terjadinya abnormalitas, cacat, dan tertundanya
perkembangan serangga pada spesies yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah telur C. capitata tidak menetas setelah diberi perlakuan panas 46
o
C selama 63 menit atau larva A. fraterculus gagal mengalami pupasi setelah
perlakuan 46.1
o
Hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas larva B. carambolae mencapai 100 setelah perendaman selama 20 menit pada temperatur 44 -
48 C selama 76 menit.
Heat shock protein atau HSP merupakan polipeptida yang disintesis oleh semua organisme sebagai respon terhadap temperatur tinggi. Sintesis protein ini
meningkat seiring dengan peningkatan temperatur hingga mencapai titik tertentu. Menurut Thomas dan Shellie 2000, titik temperatur yang memacu respon
produksi HSP bervariasi diantara spesies serangga. Respon HSP diduga sebagai faktor penting yang mengakibatkan semut gurun, C. bicolor, lebih toleran
terhadap temperatur tinggi. Perbedaan toleransi antar spesies serangga mungkin juga dipengaruhi
oleh perbedaan struktur kutikula pada beberapa spesies serangga. Neven 2000 menyatakan bahwa kutikula sensitif terhadap perubahan temperatur. Lapisan lilin
pada kutikula memegang peranan penting dalam melindungi serangga dari kondisi lingkungan dan mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh.
Perlakuan temperatur tinggi diketahui dapat mengubah struktur lilin sehingga mengakibatkan desikasi pada serangga.
Perbandingan Temperatur Bertingkat
o
C. Pada 5 menit perendaman, semua larva mati pada temperatur 48
o
C. Secara statistik, temperatur 45
o
C, 46
o
C, 47
o
C, dan 48
o
C menghasilkan mortalitas
yang tidak berbeda nyata. Hal tersebut membuktikan bahwa temperatur ≥ 4 5
o
C merupakan temperatur kritis yang dapat menyebabkan kematian larva B.
carambolae dalam masa pemaparan panas yang singkat. Apabila dijadikan model maka hal ini sejalan dengan JFTA 1996 yang menyatakan bahwa
perlakuan uap panas banyak diaplikasikan pada temperatur 46 – 47
o
C terhadap lalat buah.
Tabel 8 Mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48
O
C Lama
perendaman menit
Mortalitas terkoreksi pada perendaman temperatur
o
C
a
44 45
46 47
48 0 a
0 a 0 a
0 a 0 a
5 13.18 b
81.07 a 91.90 a
98.04 a 100.00 a
10 31.65 b
90.24 a 100.00 a
100.00 a 100.00 a
15 78.13 b
100.00 a 100.00 a
100.00 a 100.00 a
20 100.00 a
100.00 a 100.00 a
100.00 a 100.00 a
a
Gambar 13 Grafik mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48
Untuk tiap lama perendaman, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey.
α = 0.05.
O
Perbedaan kultivar mangga mempengaruhi tingkat toleransinya terhadap perlakuan panas. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan
C.
Ketahanan Buah Mangga Gedong Gincu terhadap Temperatur Tinggi
anatomi buah, seperti misalnya ketebalan dan komposisi kulit buah Jacobi et al. 2001. Mangga gedong gincu mengalami penyusutan bobot selama
penyimpanan setelah perlakuan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penyusutan terjadi pada semua perlakuan dan kontrol. Tidak terdapat perbedaan nyata antara buah
yang diberi perlakuan dan kontrol. Susut bobot mungkin lebih dipengaruhi oleh pertambahan tingkat kematangan buah. Gowda dan Huddar 2001 dalam Jha et
al. 2010 menyebutkan bahwa susut bobot merupakan salah satu parameter fisik yang terjadi pada buah yang semakin matang. Penurunan bobot dapat
disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO
2
dan air selama proses respirasi. Susut bobot juga berhubungan dengan tingkat kekerasan buah. Pada
tingkat kekerasan yang semakin menurun maka ikatan antarsel makin lemah dan jaraknya merenggang sehingga air bebas dalam buah mudah menguap.
Tingkat kekerasan buah mangga gedong gincu yang diberi perlakuan dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan Tabel 9. Hasil tersebut
didapatkan setelah 5 hari penyimpanan pada temperatur 13
o
C. Klein dan Lurie 1990 melaporkan bahwa apel yang diberi perlakuan panas 38
o
C selama 4 hari memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal
sebaliknya dilaporkan oleh Jacobi dan Giles 1997 yang menyatakan mangga varietas kensington yang diberi perlakuan panas lebih lunak dari kontrol.
Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh panas yang dapat menghambat atau memacu aktifitas enzim dalam mendegradasi dinding sel.
Berdasarkan hasil pengujian kandungan gula, buah kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kandungan gula mangga tanpa perlakuan
adalah 17.64, sedangkan kandungan gula buah mangga yang diberi perlakuan panas 45
o
C, 47
o
C, dan 49
o
C masing-masing 17.36, 17.38, dan 17.86. Jacobi et al. 2001 menyatakan bahwa perlakuan panas secara umum tidak
memberikan pengaruh yang nyata dalam perubahan kandungan gula pada mangga. Hal ini telah dibuktikan oleh Jacobi dan Giles 1997 terhadap mangga
Kensington yang diberi perlakuan uap panas 47
o
Warna juga biasa digunakan konsumen untuk menilai buah yang akan dikonsumsi. Pada Tabel 9, Lab color space CIELAB menunjukkan bahwa nilai
C selama 15 menit. Namun demikian, selama proses pematangan terjadi peningkatan kandungan gula. Hal
ini disebabkan oleh adanya perubahan pati oleh enzim amilase dalam buah menjadi gula yang digunakan sebagai energi dalam respirasi. Warna kulit buah
merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam menilai kualitas buah.
warna kulit mangga antar perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata. Perbedaan nyata hanya ditunjukkan oleh nilai a antara kontrol dan perlakuan 49
o
Parameter pengamatan
C pada 5 hari setelah perlakuan. Terdapat kecenderungan bahwa nilai a dan b semakin
besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa warna kulit buah cenderung berubah menjadi warna kuning dan merah. Menurut Rathore et al. 2007, pemudaran
warna hijau pada kulit buah disebabkan oleh terdegradasinya klorofil dan adanya pembentukan karotenoid. Pigmen karoten merupakan pigmen yang
penampakannya tertutup oleh klorofil. Apabila klorofil mengalami degradasi selama pematangan maka pigmen karoten nampak dan kulit buah berwarna
kuning. Tabel 9 Perbandingan bobot buah, kandungan gula, tingkat kekerasan, dan
perubahan warna buah mangga gedong gincu terhadap perlakuan panas
Kontrol
a
45
o
47 C
o
49 C
o
C
Bobot buah g Sebelum
201.96 a 203.08 a
206.04 a 213.90 a
1 hari setelah perlakuan 200.66 a
200.68 a 203.90 a
211.64 a 5 hari setelah perlakuan
197.76 a 197.58 a
200.86 a 208.16 a
Tingkat kekerasan kg 0.30 a
0.27 a 0.26 a
0.31 a Kandungan gula
17.64 a 17.36 a
17.38 a 17.86 a
Warna L Sebelum
59.72 a 57.88 a
57.3 a 59.06 a
1 hari setelah perlakuan 57.94 a
59.02 a 58.92 a
58.82 a 5 hari setelah perlakuan
55.86 a 59.3 a
59.36 a 58.28 a
Warna a Sebelum
23.83 a 22.67 a
23.3 a 20.58 a
1 hari setelah perlakuan 27.45 a
23.52 a 24.65 a
21.69 a 5 hari setelah perlakuan
31.51 a 27.19 ab
26.53 ab 23.97 b
Warna b Sebelum
42.27 a 45,11 a
44.14 a 43.35 a
1 hari setelah perlakuan 49.72 a
52,14 a 49.97 a
48.02 a 5 hari setelah perlakuan
54.06 a 54.24 a
56.59 a 51.03 a
a
Untuk tiap parameter pengamatan, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata uji Tukey.
α = 0.05.
Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat kepercayaan 95 diketahui bahwa panelis tidak dapat membedakan secara nyata antara buah mangga
gedong gincu perlakuan dan kontrol. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 6. Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil percobaan Jacobi
dan Giles 1997 yang menyatakan bahwa perlakuan panas 47
o
C selama 15 menit tidak mempengaruhi rasa buah mangga Kensington.
Uji Disinfestasi Lalat Buah dengan Uap Panas
Perlakuan uap panas dilakukan di mesin perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu EHK-1000D. Pada mesin tersebut uap air dialirkan dan
disirkulasikan oleh kipas yang ada di dalam chamber sehingga memungkinkan temperatur semua buah meningkat secara seragam. Mesin membutuhkan waktu
30 menit untuk menaikkan temperatur dari 30
o
C ke 60
o
Gambar 14 Fasilitas perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu model EHK 1000D.
Mesin perlakuan dilangkapi dengan sensor temperatur digunakan untuk mengukur kondisi temperatur chamber perlakuan dan pusat buah mangga.
Temperatur dan kelembaban relatif udara di dalam chamber perlakuan dideteksi oleh sensor dry-bulb dan wet-bulb. Temperatur pusat buah mangga diukur
dengan sensor khusus untuk buah. Sensor ditempatkan secara longitudinal dalam buah sehingga ujung sensor sedapat mungkin berada di tengah buah
mangga gedong gincu. Semua sensor dikalibrasi sebelum digunakan dalam pengujian.
Informasi waktu yang diperlukan buah mangga gedong gincu mencapai temperatur target sangat penting. Oleh karena itu, digunakan probe sensor untuk
mendeteksi temperatur pusat buah mangga selama perlakuan. Bagian tengah buah atau permukaan biji buah merupakan bagian buah yang memerlukan waktu
paling lama untuk mencapai temperatur target. Temperatur buah yang ingin dicapai dalam pengujian adalah 45.5
C pada kondisi chamber tanpa muatan.
o
C, 46
o
C, dan 46.5
o
C dengan temperatur chamber 47.5
o
Perubahan temperatur udara di chamber dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas ditunjukkan pada Gambar 15. Udara dalam
C dan RH 95.
chamber mencapai temperatur target 47.5
o
C setelah 30 menit. Lama waktu yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kualitas mesin. Pada menit
ke-12 sampai 27, temperatur chamber akan melampaui target hingga 48.5
o
C sebelum akhirnya stabil di 47.5
o
C. Kelembaban relatif RH mencapai lebih dari 95 selama kurang lebih 40 menit. Selanjutnya RH dipertahankan tetap di atas
95 selama periode perlakuan. Temperatur buah lebih lambat naik dan mencapai 45.5
o
C pada menit ke- 87, 46
o
C pada menit ke-102, dan 46.5
o
C pada menit ke-129. Peningkatan temperatur di permukaan biji buah mangga relatif lambat saat memasuki kisaran
46
o
C – 47
o
C. Peningkatan temperatur antara 0.1 – 0.2
o
Gambar 15 Perbandingan kenaikan antara temperatur chamber VHT dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas.
Setelah perlakuan, dilakukan pendinginan dengan udara yang dialirkan kipas angin. Penurunan temperatur buah memerlukan waktu yang relatif lama
untuk mencapai temperatur ruang yang konstan. Pendinginan dengan air memerlukan waktu yang lebih singkat namun berisiko. Hal ini dikarenakan
serangga mungkin belum terbunuh di dalam buah selama perlakuan sehingga pendinginan dalam jangka waktu lebih panjang justru diperlukan JFTA 1996.
C dalam periode 10 menit.
Mortalitas B. carambolae mencapai 100 pada semua variasi waktu pada perlakuan uap panas 46.5
o
C. Hal ini ditunjukkan pada stadia larva maupun telur Tabel 10. Hasil tersebut menunjukkan adanya kemungkinan temperatur di
10 20
30 40
50
15 30
45 60
75 90 105 120 135
Te m
pe ra
tur
o
C
Waktu menit
Chamber VHT Buah
bawah 46.5
o
C yang dapat digunakan untuk mengendalikan B. carambolae. Jacobi et al. 1993;1996 telah membuktikan keefektifan perlakuan uap panas
45
o
C selama 30 menit terhadap B. tryoni pada leci dan B. cucumis pada zucchini. Tabel 10 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan
uap panas 46.5
o
Perlakuan C
Mortalitas terkoreksi
a b
Telur Larva
46.5
o
100 a C 10 menit
100 a 46.5
o
100 a C 5 menit
100 a 46.5
o
100 a C 0 menit
100 a Kontrol
0 b 0 b
a
Waktu dalam menit adalah waktu tunggu setelah dicapainya temperatur 46.5
o
C.
b
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey.
α = 0.05..
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah serangga yang bertahan hidup mengalami penurunan seiring peningkatan temperatur perlakuan. Pada
temperatur 46.5
o
C tidak ditemukan serangga hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian pada Tabel 10 dimana serangga secara keseluruhan mati pada
temperatur 46.5
o
C. Hasil pengujian juga sejalan dengan yang dilakukan terhadap B. dorsalis pada buah mangga Nang Klarngwan dari Thailand dimana perlakuan
uap panas yang efektif dilakukan pada temperatur 46.5
o
C selama 10 – 30 menit JFTA 1996. Hasbullah et al. 2009 juga menyatakan bahwa perlakuan uap
panas 46.5
o
C selama 10-30 menit efektif membunuh telur B. dorsalis. Hasil ini menunjukkan bahwa lalat buah kelompok B. dorsalis complex memberikan
respon hampir sama terhadap perlakuan uap panas. Tabel 11 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan
uap panas 45.5
o
C - 46.5
o
Perlakuan
C
Mortalitas terkoreksi
a
Telur Larva
46.5
o
100 a C
100 a 46
o
99.47 a C
99.42 a 45.5
o
88.01 b C
96.53 a Kontrol
0 c 0 b
a
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata uji Tukey.
α = 0.05..
Beberapa faktor turut mempengaruhi perbedaan tingkat mortalitas serangga terhadap perlakuan uap panas. Salah satunya faktor posisi serangga di
buah Corcoran et al. 1993. Posisi telur yang berada di dekat kulit buah seharusnya terpapar panas lebih tinggi dibandingkan larva yang berada di bagian
buah yang lebih dalam. Namun hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas telur dan larva tidak berbeda pada perlakuan uap panas 46.5
o
Gambar 16 a Larva yang mati akibat perlakuan uap panas; b Larva hidup pada kontrol.
Dalam pengujian skala luas, kondisi perlakuan yang digunakan untuk memenuhi keamanan karantina adalah temperatur kritis yang mampu membunuh
100 serangga target. Oleh karena itu, temperatur yang direkomendasikan untuk pengujian skala luas adalah 46.5
C. Bahkan mortalitas larva lebih tinggi dibandingkan dengan telur. Hal tersebut membuktikan
penyebaran panas berlangsung secara cepat di seluruh bagian buah mangga gedong gincu sehingga faktor ekstrinsik tersebut dapat diabaikan.
o
C. Hal ini dikarenakan mortalitas 100 serangga pada perlakuan 46.5
o
Perlakuan karantina umumnya dikembangkan untuk mendisinfestasi suatu OPTK tertentu pada suatu komoditas tertentu secara spesifik. Perlakuan
juga harus merupakan kondisi yang seimbang dalam membunuh serangga dan C mungkin diakibatkan oleh muatan chamber
yang tidak penuh sehingga aliran uap panas lebih mudah menjangkau seluruh buah. Pada skala komersial, buah mangga dalam jumlah besar di chamber akan
menghasilkan area yang lebih padat sehingga aliran uap lebih terhambat Mangan dan Ingle 1992 dalam Heather et al. 1997. Pada kondisi tersebut
diperlukan temperatur lebih tinggi atau waktu perlakuan yang lebih lama untuk mampu membunuh semua serangga. Pada pengujian skala luas digunakan
serangga uji sebanyak minimal 93,162 serangga uji untuk mampu memenuhi Probit 9 atau 99.9968 mortalitas Follet dan Neven 2006.
b a
meminimalkan penurunan kualitas buah akibat perlakuan Lurie 1998. Perlakuan karantina sangat penting, terutama terhadap serangga yang berkembang dalam
jaringan buah internal feeder, termasuk lalat buah. Hal ini disebabkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam pemeriksaan terhadap komoditas yang terinfestasi
Follett 2004. Oleh karena itu, perlakuan uap panas dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengembangkan teknik disinfestasi lalat buah, sekaligus sebagai
pendukung akselerasi ekspor buah lokal ke pasar internasional.