Membangun Model DBN Rainfall occurence modeling with dynamic bayesian networks (Case study: rainfall occurence in Indramayu)
18
Ke-14 stasiun dalam penelitian ini terlihat yang bercetak miring pada Tabel 2 dan lokasinya terlihat pada Gambar 7 yaitu stasiun Bulak, Bangkir,
Cidempet, Juntinyuat, Kedokanbunder, Lohbener, Losarang, Ujunggaris, Cikedung, Sukadana, Tugu, Sudimampir, Krangkeng, dan Bondan.
Gambar 7 Pemetaan stasiun hujan di wilayah Kabupaten Indramayu Haryoko 2003.
Berdasarkan pengamatan periode tahun 1997-2007, curah hujan di 14 wilayah stasiun hujan yang menjadi data penelitian ini pada umumnya
menunjukkan ketidakteraturan pola. Masing-masing stasiun memiliki beberapa pola data yang tidak seragam untuk bulan yang sama. Terdapat data curah hujan
yang tinggi pada suatu bulan di satu tahun tetapi pada tahun lainnya diperoleh data curah hujan yang rendah untuk bulan yang sama. Hal tersebut mengindikasikan
ketidakkonsistenan pola yang berimplikasi pada tidak mudahnya melakukan pendugaan yang tepat dengan kondisi curah hujan yang tidak konsisten untuk
setiap tahunnya. Sebagai contoh untuk bulan Januari, curah hujan daerah Cidempet pada tahun 1997 sebesar 601 mm namun pada tahun 1998 menurun
menjadi sebesar 94 mm. Ilustrasi ketidakteraturan pola hujan dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9 di bawah ini.
Longitued La
ttitu de
19
c u
ra h
h u
ja n
m m
Des Nov
Okt Sep
Ags Juli
Jun Mei
Apr Mar
Feb Jan
800 700
600 500
400 300
200 100
Juntinyuat
c u
ra h
h u
ja n
m m
Des Nov
Okt Sep
Ags Juli
Jun Mei
Apr Mar
Feb Jan
900 800
700 600
500 400
300 200
100
Cidempet
Gambar 8 Pola curah hujan bulanan dalam 10 tahun 1997-2007 di beberapa stasiun
Gambar 9 Pola curah hujan bulan Januari tahun 1997 – 2007.
Hasil plot autocorrelation function ACF dan partial autocorrelation function PACF menunjukkan pada umumnya autokorelasi tertinggi terjadi
Juntinyuat Cidempet
20
secara signifikan pada lag 1 disamping adanya pola musiman dalam periode 6 dan 12. Ilustrasi untuk 2 stasiun terlihat pada Gambar 10.
Lag A
u to
c o
rr e
la ti
o n
30 25
20 15
10 5
1 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
Lag P
a rt
ia l
A u
to c
o rr
e la
ti o
n
30 25
20 15
10 5
1 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
a
Lag A
u to
c o
rr e
la ti
o n
30 25
20 15
10 5
1 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
Lag P
a rt
ia l
A u
to c
o rr
e la
ti o
n
30 25
20 15
10 5
1 1.0
0.8 0.6
0.4 0.2
0.0 -0.2
-0.4 -0.6
-0.8 -1.0
b
Gambar 10 Plot ACF dan PACF a Stasiun Tugu b Stasiun Juntinyuat.
Model DBN untuk Kejadian Hujan
Pembentukan network DBN dilakukan dengan menggabungkan dua network pembangunnya yaitu network prior dan network transisi, menggunakan
data learning dengan terlebih dahulu melakukan kategorisasi data menjadi 3 tiga state, state 1 sebagai bulan kering untuk curah hujan di bawah 100 mm, state 2
sebagai bulan lembab untuk curah hujan antara 100-200 mm dan state 3 untuk curah hujan 200 mm ke atas. Hasil pembentukan network prior menggunakan
perangkat lunak Genie 2.0 Gambar 11 menyajikan informasi hubungan ketergantungan pengaruh spasial antar stasiun pada satu waktu dalam bentuk
model peluang BN statis. Dalam hal terjadinya bulan kering, lembab dan basah pada satu wilayah stasiun akan dipengaruhi oleh kejadian di stasiun lain pada
21
bulan yang sama. Informasi hubungan spasial antar stasiun ini menjadi prior bagi network transisi.
Gambar 11 Network prior disajikan dalam model peluang.
Network transisi hasil implementasi algoritma K2K3 Gambar 12 memodelkan 3TBN. Terlihat hampir semua stasiun dipengaruhi secara temporal
oleh satu waktu sebelumnya kecuali pada stasiun Bulak, Juntinyuat, Lohbener dan Sukadana juga dipengaruhi oleh dua waktu sebelumnya. Artinya kejadian bulan
kering, lembab dan basah pada wilayah stasiun hujan dipengaruhi oleh kejadian pada satu dan dua bulan sebelumnya. Terlihat pula stasiun Tugu, Sukadana dan
Bangkir memberi pengaruh temporal lebih banyak pada stasiun lainnya.