Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus musculus) Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik
STUDI HISTOPATOLOGI RESPON ORGAN TESTIS
MENCIT (Mus musculus) TERHADAP POTENSI
RADIOPROTEKTIF TANAMAN ROSELA DALAM RADIASI
IONISASI RADIODIAGNOSTIK
WINDY DESTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi
Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus Musculus) Terhadap Potensi
Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Mei 2013
Windy Destri
B04070192
ABSTRAK
WINDY DESTRI. Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus
musculus) Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi
Ionisasi Radiodiagnostik. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DENI
NOVIANA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efek radioprotektif
ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi radiodiagnostik pada
organ testis mencit (Mus musculus). Penelitian ini menggunakan 48 ekor mencit
jantan dewasa dan dibagi menjadi 4 kelompok; kontrol (K), radiasi primer (P),
rosela tanpa radiasi (R), dan rosela dengan radiasi (RP). Mencit diberi 50 mg/kg
BB ekstrak rosela secara oral setiap 2 hari sekali sebelum diradiasi berulang
selama 8 minggu. Mencit dinekropsi untuk pengambilan organ testis dari berbagai
kelompok perlakuan pada berbagai titik waktu setelah radiasi. Hasil nekropsi
diproses untuk pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan
Haemotoxylin-Eosin. Perubahan pada testis dan kerusakan lainnya dilihat dengan
menghitung jumlah sel-sel spermatogenesis, sel Sertoli, dan sel Leydig setelah
radiasi pada seluruh tubuh menggunakan perangkat lunak image J. Data
kuantitatif dianalisa menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) diikuti uji lanjut
Duncan. Jumlah sel-sel yang diamati menunjukan respon baik terhadap pemberian
radiasi maupun terhadap pemberian ekstrak rosela. Penurunan jumlah sel-sel yang
diamati terlihat pada kelompok radiasi primer sedangkan pada kelompok rosela
tidak terlihat adanya penurunan jumlah sel-sel yang diamati tersebut. Hasil ini
menunjukan bahwa ekstrak rosela dapat melindungi dan mengurangi efek radiasi
terhadap sel-sel yang diamati pada penelitian ini. Rosela dapat digunakan sebagai
radioprotektor terhadap radiasi ionisasi pada organ testis mencit.
Kata kunci : radiasi ionisasi, radioprotektif, rosela, dan spermatogenesis testis
mencit.
ABSTRACT
WINDY DESTRI. Histopathology Study on Mice (Mus musculus) Testicle with
Radioprotective Potency of Hibiscus Sabdariffa in Radiodiagnostic Ionizing
Radiation Supervised by SRI ESTUNINGSIH and DENI NOVIANA.
The aim of this study was to determine the radioprotective effect of roselle
(Hibiscus sabdariffa L.) extract in radiodiagnostic ionizing radiation on the
testicle of mice (Mus musculus). Forty eight adult male of mice were used and
divided into 4 groups; control (K), radiation (P), roselle without radiation (R) and
roselle with radiation (RP). Mice were treated with 50 mg/kg of BW per oral of
roselle extract every two days before recurrent irradiation for 8 weeks. The mice
were euthanized then necropsied for testicle collection at various groups and two
time points after irradiation. Samples of testicle was processed to prepare
histopathology slides using Haematoxilin-Eosin stain. Parameter of the
observation are numbers of spermatogenic cells, Sertoli cell, and Leydig cell after
whole body irradiation counted using image J software. Quantitative data were
analysed with ANOVA test and followed by Duncan post test. The number of
cells observed showed a favorable response to the administration of radiation and
the roselle extract. The number of cells were decreased in the primary radiation
group while in the roselle were not seen. This result showed that Roselle extract
was protect cells from radiation effect by recurrent radiodiagnostic ionizing
radiation. Administration of roselle extract significantly reduced the bioeffects of
radiation. The result suggested that roselle can be used as radioprotector to
ionizing radiation on testicular organ.
Keywords: ionizing radiation, mice testicle, radioprotective, spermatogenic cells,
roselle, mice testicle
STUDI HISTOPATOLOGI RESPON ORGAN TESTIS
MENCIT (Mus musculus) TERHADAP POTENSI
RADIOPROTEKTIF TANAMAN ROSELA DALAM RADIASI
IONISASI RADIODIAGNOSTIK
WINDY DESTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus musculus)
Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi
Ionisasi Radiodiagnostik.
Nama
: Windy Destri
NIM
: B04070192
Disetujui oleh
Dr drh Sri Estuningsih, M.Si APVet
Pembimbing I
drh Deni Noviana, PhD
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat.
Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan beberapa
pihak. Atas segala bantuan dari semua pihak, penulis menghaturkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr drh Sri Estuningsih, M.Si dan drh Deni Noviana, PhD selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan, ilmu, bimbingan,
dan motivasi kepada penulis.
2. drh Srihadi Agungpriyono, PhD selaku dosen pembimbing akademik atas
ilmu, waktu, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan selama ini.
3. Kedua orang tua Papa, Mama, dan Adik, beserta segenap keluarga penulis
atas doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dan energi tidak henti-hentinya
diberikan kepada penulis.
4. Seluruh staf dosen dan pegawai di Bagian Bedah dan Radiologi yang telah
membantu kelancaran studi dan juga penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf dosen dan pegawai di Bagian Patologi yang telah membantu dan
mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini.
6. drh Sri Ardhiani yang senantiasa memberikan semangat, waktu, dan masukan
yang sangat berguna dalam penyelesaian tulisan ini.
7. Teman-teman sepenelitian Abas, Bambang, Endah, Griv, dan drh Mohammad
Fahrul Ulum, M.Si atas kebersamaan dan semangat yang diberikan kepada
penulis.
8. Sahabat asrama Sri Junjungan Kabupaten Bengkalis atas dukungan dan
semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh keluarga besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan berbagai pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran
studi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.
Bogor, Mei 2013
Windy Destri
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Rosela
Hewan Percobaan
Sinar-X
Testis
Histologi Testis
Tubulus Seminiferus
Sel Sertoli
Jaringan Interstisial
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Materi Penelitian
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia Ekstrak Rosela
Total Dosis Radiasi Ionisasi dari Sinar-X
Gambaran Histopatologi organ Testis
Sel-sel Spermatogenik
Mekanisme Kerusakan Sel oleh Radikal Ionisasi
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
1
2
2
2
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
11
12
12
13
17
19
19
25
DAFTAR TABEL
1 Kelompok perlakuan
2 Uji fitokimia Ekstrak rosela
3 Perbedaan jumlah sel yang mengalami degenerasi pada setiap kelompok
perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
4 Rataan jumlah sel-sel spermatogenik, sel Sertoli, dan sel Leydig pada
setiap kelompok per satuan lapang pandang 20000 µm2
9
11
13
15
DAFTAR GAMBAR
1 Histopatologi sel-sel spermatogenik mencit pada organ testis
dengan pewarnaan HE
6
2 Fotografi mikro pada organ testis setiap kelompok perlakuan
14
3 Fotografi mikro sel-sel spermatogenik degenerasi
18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Radiasi merupakan proses dimana energi bergerak melalui media atau
ruang. Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis,
yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan
sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan
elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi
merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar-γ atau partikel subatom berupa, neutron, dan partikel-α (Thrall 2002).
Kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi dapat terjadi secara
langsung (direct effect) dan secara tidak langsung (indirect effect) pada sel
terpapar. Kerusakan yang terjadi secara langsung disebabkan oleh radiasi ionisasi
sendiri, sedangkan kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh radikal bebas
yang terbentuk oleh ionisasi (Turner 2007).
Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar Roentgen oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan dan kerusakan. Sinar-X membentuk radikal bebas yang
berakibat kerusakan atau hilangnya elektron atom dari jaringan yang terpapar.
Sebagian besar dari tubuh terdiri dari komponen air atau sekitar 70% sehingga
radiasi ionisasi merubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara
aktif. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Daya
sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan berbeda-beda sehingga efek yang
ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis jaringan dan dosis radiasi yang
diterima. Efek yang ditimbulkan berupa abnormalitas jaringan hingga kematian.
Jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang akan
memperlihatkan efek yang sangat besar. Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif
membelah seperti otot dan tulang akan menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).
Secara fisik perlindungan terhadap sumber radiasi eksternal dapat
dilakukan dengan cara menggunakan perlengkapan proteksi radiasi berupa apron,
pelindung tiroid, sarung tangan, dan kaca mata yang masing-masing telah dilapisi
oleh pelapis Timbal (Pb) (Ulum dan Noviana 2008). Perlindungan biologis pada
sumber radiasi internal dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan herbal
sebagai radioprotektor, untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap sediaan
herbal yang yang efektif dan dapat dijadikan radioprotektor bagi jaringan atau
organ yang terkena efek radiasi ionisasi.
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L) merupakan tanaman dari genus
hibiscus yang banyak ditemukan di daerah tropis. Umumnya masyarakat
mengenal dengan nama rosela, rosella atau roselle. Tanaman ini merupakan
tanaman tahunan yang berasal dari Afrika Barat, dan tumbuh subur di Suriname.
Rosela juga merupakan tanaman obat yang bisa digunakan sebagai diuretik dan
pencahar. Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk
sediaan teh merah untuk anti hipertensi sudah dilaporkan oleh (Khosravi et al.
2009), pengobatan infeksi saluran perkemihan (Olaleye 2007), dan sebagai
antipiretik (Reanmongkol dan Itharat 2007). Penelitian tentang potensi tanaman
rosela (Hibiscus sabdariffa L) dalam radiasi ionisasi diagnostik dosis rendah
belum pernah dilaporkan.
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek radioprotektif tanaman Rosela
(Hibiscus sabdariffa.L) pada gambaran histopatologi organ testis mencit (Mus
Musculus) yang diradiasi sinar-X berulang.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk referensi data mengenai kerusakan organ
reproduksi mencit jantan yang diakibatkan oleh paparan radiasi ionisasi
radiodiagnostik dosis rendah.
TINJAUAN PUSTAKA
Rosela (Hibiscus sabdariffa L)
Rosela merupakan tanaman asli Afrika dan mulai menyebar secara luas ke
negara-negara tropik dan subtropik seperti Amerika Tengah dan India Barat
(Morton 1987). Rosela mempunyai nama ilmiah Hibiscus sadbariffa Linn,
merupakan anggota famili Malvaceae. Rosela dapat tumbuh baik di daerah
beriklim tropis dan subtropis. (Widyanto dan Nelista 2009).
Klasifikasi rosela (Widyanto dan Nelista 2009) sebagai berikut:
kelas : Dicotiedoniae
ordo : Malvales
famili : Malvaceae
genus : Hibiscus
spesies : H. Sabdariffa L.
Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya
populer sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin dalam bunga rosela
cukup lengkap, yaitu vitamin A,C,D,B1, dan B2. Kandungan vitamin C (asam
askorbat) pada rosela diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari
jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2,5 kali dari jambu biji. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela
sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada
kumis kucing (Widyanto dan Nelista 2009).
Antioksidan merupakan pertahanan pertama untuk melawan radikal bebas.
Radikal bebas merupakan molekul bermuatan yang memiliki elektron tidak
berpasangan dimana untuk menetralisirnya diperlukan elektron dari zat lain (Sen
et al. 2010). Antioksidan merupakan senyawa yang memiliki berat molekul
rendah yang dapat bereaksi dengan oksidan. Antioksidan memiliki kemampuan
untuk memperlambat, menunda, dan mencegah proses oksidasi sehingga
antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal
bebas. Antioksidan bereaksi dengan memberikan elektron ke molekul oksidan
atau radikal bebas tanpa adanya gangguan dan menyebabkan terputusnya reaksi
berantai dari radikal bebas tersebut (Percival 1998). Antioksidan terbagi menjadi 2
yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen dihasilkan sendiri
3
oleh tubuh, contohnya glutation peroksidase, reduktase, katalase, dan superoksida
dismutase (SOD). Antioksidan eksogen contohnya flavonoid, ascorbic acid
(vitamin C), beta karoten, dan tocophenol (vitamin E) (Jacob 1995).
Bunga rosela mengandung alkaloid, citric acid, anthocyanin, i-ascorbic
acid, dan flavonoid. (Hirunpanich et al. 2005). Kandungan vitamin C pada bunga
rosela varietas merah sebesar 32,14 mg/100g sedangkan varietas hijau sebesar
27,5 mg/100g (Ogunlesi et al. 2010). Vitamin C memiliki aktifitas sebagai
antioksidan dalam menetralkan kerusakan oleh radiasi (Noviana et al. 2010b).
antioksidan yang dikandung bunga rosela dapat menetralkan radikal bebas dalam
tubuh (Kijparkorn et al. 2009; Hirunpanich et al. 2005).
Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak mengandung antosianin
dan vitamin C. Pigmen antosianin ini membentuk warna ungu kemerahan yang
menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhan rosela. Antosianin berfungsi
sebagai antioksidan yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit degeneratif.
Antosianin pada rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari delfinidin3-siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-siloglukosida, sedangkan
flavonols terdiri dari gosipetin dan mucilago (Wang et al. 2000; BPOM RI 2010).
Sediaan kering dari ekstrak akar rosela mengandung flavonoid seperti
gssypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Flavonoid diakui secara luas sebagai
antioksidan yang memiliki beberapa khasiat kesehatan pada diet manusia (Pourcel
et al. 2007). Sebagian besar pigmen dari bunga terdiri dari hibiscin yang telah
diidentifikasi sebagai daphniphylline. Delphinidin 3-monoglucoside, cyanidin 3monoglucoside (chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah
kecil (Chau JW. 2000; Pau et al. 2002).
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae yang berukuran kecil
sering disebut dengan rodensia (latin = rodere, yang artinya mengerat). Hewan ini
terdapat di seluruh penjuru dunia yang merupakan binatang asli Asia dan Eropa
barat. Dalam hal genetika mencit merupakan kelompok mamalia yang dicirikan
paling lengkap dan memiliki kemiripan secara homolog dengan manusia. Mencit
juga mudah dipelihara dan memiliki siklus reproduksi yang cepat (Meredith dan
Redrobe 2002).
Mencit memiliki tubuh yang kecil ditutupi rambut yang lembut dan sangat
lebat, mencit memiliki kaki yang pendek dan ekor panjang ditutupi bulu tipis.
Sama seperti rodensia lain pada umumnya. Mencit mempunyai rumus gigi 0 2
(1/1 incisors, 0/0 canines, 0/0 premolars, 3/3 molars) (Hrapkiewicz dan Medina
2007).
Menurut Smith dan Mangkuwidjodjo (1988), data biologis dan fisiologis
mencit adalah sebagai berikut: berat mencit dewasa rata-rata 18 gram sampai
dengan 35 gram, berat lahir 0,5-1 gram, suhu antara 35-39°C, frekuensi nafas 140180 kali/menit, denyut jantung antara 600-650 kali/menit, umur sapih 21 hari,
sedangkan umur dewasa 50 hari. Mencit memiliki siklus reproduksi yang cepat
dan berkembang biak dalam waktu yang singkat selama 19-21 hari sehingga
keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mencit jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu.
4
Sinar-X
Sejak pertama ditemukan sinar-X sudah berkembang sangat pesat sebagai
sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dalam dunia
kedokteran hewan sinar-X mulai dimanfaatkan pada tahun 1970. Ilmu yang
mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi
disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat sebagai
radiodiagnostik sekaligus juga sebagai sarana radioterapi. Radiologi
memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai
kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall
2002; McCurnin dan Bassert 2006).
Röntgen atau Roentgen yang disimbolkan dengan R adalah sebuah satuan
pengukuran radiasi ion di udara (berupa sinar-X atau sinar gamma), yang dinamai
sesuai dengan nama fisikawan Jerman Wilhem Röntgen. Energi yang dihasilkan
oleh sinar Rontgen merupakan energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi
kesehatan. Sejak tahun 2005 pemerintah Amerika Serikat memasukan efek sinarX dalam daftar penyebab terjadinya kanker. Di Indonesia penggunaan sarana
radiodiagnostik sinar-X berada dalam pengawasan Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana 2008). Penggunaan sarana
radiodiagnostik sebagai sarana penunjang diagnosa dalam dunia kedokteran sudah
sangat berkembang dengan pesat. Energi radiasi ionisasi dari sarana ini dalam
dosis besar sudah dilaporkan mampu menginisiasi terjadinya tumor dan kanker
pada jaringan normal (Reynolds dan Schecker 1995).
Radiasi hamburan merupakan radiasi dengan energi yang sangat rendah jika
dibandingkan dengan energi pada berkas sinar utama. Hamburan radiasi ini
terbentuk pada saat berkas sinar utama berinteraksi dengan pasien radiografi.
Paparan radiasi hambur diterima pekerja radiasi pada saat melakukan restrain
pasien (hewan) yang akan menerima terapi. Besarnya tingkat radiasi tergantung
pada 3 hal yaitu kilovoltase, ketebalan jaringan, serta luar daerah paparan
(McCurnin dan Bassert 2006). Presentase besarnya dosis radiasi hambur terjadi
sekitar 5% dari dosis berkas sinar utama yang diterima pasien (Thrall 2002).
Testis
Testis berada didalam scrotum yang berupa kantong terdiri atas kulit, tunica
dartos dan sebagian funiculus spermaticus. Testis terletak menggantung di daerah
prepubis dan digantung oleh funiculus spermaticus yang menggantung unsurunsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari cavum abdominalis
melalui canalis inguinalis ke dalam scrotum (Toelihere 1985). Pada setiap hewan
jantan terdapat sepasang testis yang berbentuk seperti telur atau peluru, testis
terbungkus oleh tunica vaginalis propria yang akan membungkus ductus
epidydimis dan ductus deferens. Pada bagian profundal tunica ini terdapat tunica
albuginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang terdiri atas serabut
fibrosa dan serabut-serabut otot licin (Sukmaningsih 2009).
Fungsi testis ada dua, yaitu penghasil spermatozoa dan hormon-hormon
jantan atau androgen (Hafez 1970). Proses pembentukan spermatozoa disebut
spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan proses perkembangan sel-sel
spermatogenik yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap spermatositogenesis atau
5
proliferasi, tahap meiosis dan spermiogenesis. Spermatogenesis dipengaruhi oleh
faktor-faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi hormonal,
psikologis, dan genetik. Faktor eksogen dapat berupa bahan kimia dan obatobatan, suhu, radiasi sinar-X, getaran ultrasonik, vitamin, gizi, trauma dan
peradangan (Sukmaningsih 2009).
Histologi Testis
Testis terdiri dari kelenjar-kelenjar yang berbentuk tubulus, dibungkus oleh
selaput tebal yang disebut tunika albugenia. Pada sudut posterior organ ini
terbungkus oleh selaput atau kapsula yang disebut mediastinum testis. Septula
testis merupakan selaput tipis yang meluas mengelilingi mediastinum sampai ke
tunika albugenia dan membagi testis menjadi 250-270 bagian berbentuk piramid
yang disebut lobuli testis. Isi dari lobulus adalah tubulus seminiferus, yang
merupakan tabung kecil panjang dan berkelok-kelok memenuhi seluruh kerucut
lobulus. Muara tubulus seminiferus terdapat pada ujung medial dari kerucut. Pada
ujung apikal dari tiap-tiap lobulus akan terjadi penyempitan lumen dan akan
membentuk segmen pendek pertama dari sistem saluran kelamin yang selanjutnya
akan masuk ke rete testis (Partodiharjo 1980).
Dinding tubulus seminiferus terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu
tunika propria, lamina basalis dan lapisan epitelium. Tunika propria terdiri atas
beberapa lapisan fibroblas, yang berfungsi sebagai alat transportasi sel
spermatozoa dari tubulus seminiferus ke epididimis dengan jalan kontraksi.
Lapisan epitel pada tubulus seminiferus terdiri dari dua jenis sel yaitu sel-sel
penyokong yang disebut sebagai sel sertoli dan sel-sel spermatogonium. Sel-sel
spermatogonium merupakan sel benih sejati, karena sel-sel inilah dihasilkan
spermatozoa melalui pembelahan sel. Sel-sel spermatogonium tersusun dalam 4-8
lapisan yang menempati ruang antara membrana basalis dan lumen tubulus
(Partodiharjo 1980).
Tubulus Seminiferus
Tubulus terdiri atas suatu lapisan jaringan ikat fibrosa, lamina basalis, dan
suatu epitel germinal kompleks atau disebut seminiferus. Tubulus seminiferus
dilapisi oleh tunika propria yang terdiri atas berbagai lapisan fibroblast. Tubulus
seminiferus merupakan kelenjar tubulosa kompleks, bagian ini menghasilkan
spermatozoa (Finn 1994). Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu
sel Sertoli atau sel penunjang dan sel-sel spermatogenik yang terdiri dari
spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit skunder, spermatid dan
spermatozoa (Partodiharjo 1980). Tubulus rektus merupakan penghubung antara
tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis epitel
berkesinambungan, yaitu rete testis. Rete testis ini kemudian akan dihubungkan
dengan bagian kepala epididimis oleh duktus eferen (Guyton dan Hall 1997).
Sel Sertoli
Sel sertoli berbentuk panjang, berdasar luas, melekat pada membrana
basalis, berfungsi merawat sel spermatozoa yang baru saja terbentuk,
menghasilkan semacam hormon (inhibin), menghasilkan protein pembawa
hormon jantan (ABP = Androgen Binding Protein) dan menghasilkan cairan testis
(Junqueira et al. 1997).
6
Sel Sertoli memiliki empat fungsi utama, yaitu: (1) Menunjang,
melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa yang berkembang. Sel Sertoli
mengatur pertukaran bahan makanan dan metabolit, serta sawar sel Sertoli
melindungi sel sperma dari serangan imunologis. (2) Merombak dan
memfagositosis keping sitoplasma yang berlebihan dan melepaskannya sebagai
residu. (3) Sel Sertoli mensekresikan suatu cairan untuk transportasi sperma ke
dalam tubulus seminiferus secara terus menerus. (4) Produksi hormon antiMullerian yang bekerja selama masa embrional untuk memudahkan regresi
saluran Muller pada fetus jantan (Junqueira et al. 1997).
Sel Leydig
Jaringan interstisial merupakan jaringan yang terdapat diantara tubulus
seminiferus. Sel-sel ini berbentuk poligonal teranyam bersama tenunan pengikat.
Pada bagian ini terdapat sel Leydig yang berfungsi sebagai penghasil hormon
jantan atau androgen terutama testosteron (Partodiharjo 1980). Sel Leydig
memiliki inti sel dengan butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Sel Leydig
memiliki ciri sebagai sel pengekskresi steroid. Sel-sel ini menghasilkan hormon
testosteron yang berfungsi dalam proses spermiogenesis dan perkembangan ciri
kelamin jantan sekunder. Jumlah sel Leydig yang tinggi menyebabkan kenaikan
hormon testosteron (Janqueira et al. 1997).
Gambar 1 Histologi sel-sel spermatogenik mencit pada organ testis dengan
pewarnaan HE (Hill 2010).
7
METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi, serta Bagian
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret sampai Juli 2011.
Materi Penelitian
Hewan coba
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai
model. Penelitian ini menggunakan 48 ekor mencit jantan (Mus musculus)
berumur 6 minggu dengan bobot awal 18-20 gram. Mencit jantan tersebut
diperoleh dari pembiakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ekstrak rosela, hewan
model mencit jantan (Mus musculus) sebanyak 48 ekor strain ddy yang memiliki
kisaran umur 6 minggu dengan berat badan 18-20 gram sedangkan yang
digunakan untuk histopatologi sebanyak 12 ekor. Bahan yang digunakan dalam
pemeliharaan mencit pada penelitian ini adalah pakan berupa pelet pakan mencit
komersial, air mineral isi ulang untuk minum mencit, obat-obatan pretreatment
mencit (anticacing Prazyquantel® 10 mg/kg BB, antibiotik Clavamox® 250 mg/kg
BB dan antifungal Metronidazole® 25 mg/kg BB), dan desinfektan. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan ekstrak rosela berupa simplisia kelopak bunga atau
kaliks rosela kering lokal (Darmaga-Bogor), etanol 96%, dan akuades. Bahan
yang digunakan dalam nekropsi adalah kapas, alkohol 70%, obat bius Ketamin
HCl dan NaCl 0.9%, dan larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Bahan
yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi dan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE) adalah sampel organ testis, alkohol (70%, 80%, 90%,
dan alkohol absolut), xylol, parafin, akuades, Mayer’s hematoksilin, eosin, lithium
karbonat, perekat albumin, dan Mounting media.
Alat yang dipergunakan selama penelitian ini berlangsung antara lain, yaitu
box plastik sebagai kandang dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, tinggi 15
cm, anyaman jaring kawat penutup kandang, serutan kayu untuk alas kandang,
botol minum yang dilengkapi saluran air, tempat pakan, marker, sonde lambung
atau stomach tube (1.5 x 80 mm), syringe 1 ml, sarung tangan, masker, sikat,
timbangan digital (Precisa 3000 D), kertas label, tissue gulung, gelas ukur 50 ml,
dan lemari pendingin. Alat yang digunakan untuk paparan radiasi sinar-X adalah
mesin Diagnostic X-Ray (VR-1020, MA Medical Morp, Japan), apron plumbum
(Pb), pelindung mata, pelindung tiroid, dan dosimeter pengukur besaran radiasi
(MYDOSE miniTM ALOKA CO., LTD Tokyo Japan). Alat nekropsi yang
digunakan adalah 1 set alat bedah (gunting kecil, pinset, dan scalpel), kantung
plastik hitam, spidol waterproof permanen untuk penanda, aluminium foil,
sterofoam, jarum pentul, dan botol plastik. Pembuatan preparat menggunakan
tissue cassete, pinsil, Sakura® automatic tissue processor, Tissue Embedding,
8
mikrotom, pinset anatomis, gelas objek, gelas penutup, dan inkubator. Alat untuk
pengamatan yaitu mikroskop cahaya (Olympus® CH-20), Digital Electronic
Eyepiece Camera, satu set komputer, dan perangkat lunak Image J®.
Prosedur penelitian
Pre- treatment Mencit
Mencit jantan diberi pakan dan minum ad libitum. Pakan yang diberikan
berbentuk pelet yang diperoleh secara komersial. Untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan mencit maka kandang dan alas sekam dibersihkan dan diganti setiap
tiga hari sekali.
Mencit yang digunakan merupakan mencit strain ddy dan diberi pretreatment sebelum penelitian dilaksanakan. Sebagai pre-treatment diberikan
antihelmentik (Praziquantel®) dengan dosis tunggal 10 mg/Kg BB, antifungal
(Metronidazol®) 50 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut, antibiotik
(Clavamox®) 250 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut.
Ekstraksi Tanaman Rosela
Bunga dikeringkan di bawah sinar matahari dan dihaluskan. Tahapan
selanjutnya, sebanyak 200 gram serbuk bunga diekstrak dengan 500 ml ethanol
96% pada suhu 40°C. Pembuatan ekstrak tanaman rosela meliputi proses maserasi
dan evaporasi. Maserasi adalah proses perendaman simplisia menggunakan
pelarut untuk memperoleh zat aktif dari simplisia tersebut dan untuk
menghilangkan residu yang terjadi selama proses berlangsung (Daihiru et al.
2003; Olatunji et al. 2006; Fidan et al. 2008). Proses maserasi dilakukan
menggunakan pelarut etanol. Maserat yang telah diperoleh dipisahkan kemudian
di evaporasi. Evaporasi merupakan proses pemekatan dengan cara menguapkan
pelarut tanpa menjadi kering. Maserasi dilakukan di Balitro (Balai Penelitian
Tanaman Obat) Cimanggu Bogor, dan evaporasi dilakukan di Laboratorium
Bioteknologi di Fakultas Perikanan IPB. Selanjutnya, dilakukan uji fitokimia yang
dilakukan di Laboratorium Biofarmaka Bogor. Pemeriksaan fitokimia dilakukan
pada kadar alkaloid, hidroquinon, tanin, flavonoid, saponin, saponin, steroid, dan
triterpenoid. Sebelum digunakan, ekstrak rosela diencerkan dengan akuadest
dengan perbandingan 1,5 gram ekstrak dalam 200 ml akuadest.
Perlakuan Radiasi
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan 48 ekor mencit jantan
yang berumur 6 minggu dengan bobot badan 18-20 gram kemudian mencit dibagi
menjadi 4 kelompok.
Sebanyak 12 ekor mencit dalam setiap kelompok dimasukkan ke dalam
kandang plastik yang telah disiapkan. Semua mencit dilakukan aklimatisasi untuk
menyesuaikan dan menyeragamkan kondisi sebelum penelitian dilaksanakan
selama 2 minggu. Aklimatisasi mencit dilakukan dengan melalui pemberian anti
cacing (Praziquantel®) 10 mg/kg BB pada awal aklimatisasi dan di ulang pada
hari ke-10, antibiotik (Clavamox®) 250 mg/kg BB dan anti jamur
(Metronidazole®) 25 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut (Hrapkiewicz dan
Medina 2007).
9
Hewan coba akan dibagi dalam 4 kelompok perlakuan secara acak sebagai
berikut:
1.
Kelompok Kontrol (K): Mencit menerima perlakuan 0.2 ml NaCl
fisiologis peroral setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.
2.
Kelompok Primer (P): Mencit menerima perlakuan 0.2 ml NaCl
fisiologis peroral setiap 2 hari sekali dan paparan radiasi.
3.
Kelompok Rosela (R): Mencit diberi ekstrak rosela dosis 50
mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.
4.
Kelompok Rosela Primer (RP): Mencit diberi Ekstrak rosela
dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali dan
paparan radiasi.
Tabel 1 kelompok perlakuan
No
1
2
3
4
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)
Rosela (R)
Rosela Primer (R)
Radiasi
+
+
Perlakuan
Ekstrak Rosela
+
+
NaCl
+
+
-
Keterangan : - (tanpa), + (dengan)
Radiasi ionisasi dosis rendah pada seluruh tubuh (Total Body
Radiation/TBR) dilakukan dengan menggunakan mesin Diagnostic X-Ray (VR1020, MA Medical Morp, Japan) dengan dosis 0.2 mili Sievert (mSv)/2 hari
berselang. Monitoring dosis paparan dilakukan dengan menggunakan MYDOSE
miniTM, ALOKA CO., Ltd Tokyo Japan. Faktor paparan mesin sinar-X
menggunakan pengaturan kilo volt peak (kVp) 80 dan mili Ampere second (mAs)
12. Jarak sumber target (dasar kandang mencit) adalah 100 cm tegak lurus pada
berkas sinar utama. Perlakuan radiasi dibagi menjadi 4 kelompok waktu yaitu
radiasi selama 4 minggu, radiasi selama 8 minggu, masa pemulihan I atau
Recovery I selama 4 minggu setelah menerima radiasi 4 minggu dan masa
pemulihan II atau Recovery II selama 4 minggu setelah menerima radiasi 8
minggu.
Pemberian Ekstrak Rosela
Sebelum digunakan, ekstrak rosela dilarutkan dalam akuadest dengan
komposisi 1.5 gram ekstrak dalam 200 ml akuadest, sehingga didapatkan
konsentrasi 7.5 mg/ml. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kg berat badan
dengan jumlah pemberian ekstrak kaliks rosela pada mencit adalah 0.2 ml
(Akindahunsi dan Olelaye 2003; Ali et al. 2005)
Mencit yang diterapi dengan ekstrak rosela adalah mencit kelompok Rosela
(R) dan Rosela primer (RP). Sebelum pemberian ekstrak rosela, mencit dipegang
terlebih dahulu secara manual mulai dari belakang telinga sampai dengan dorsal
punggung. Larutan ekstrak rosela diberikan dengan dosis 0.2 ml pada tiap mencit.
Kelompok lainnya yaitu Kontrol (K) dan Primer (P) dilakukan pemberian NaCl
fisiologis sebanyak 0.2 ml dengan menggunakan sonde lambung. Pemberian
ekstrak rosela dan NaCl fisiologis dilakukan setiap dua hari sebelum diradiasi
dengan sinar-X.
10
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Nekropsi dilakukan pada setiap kelompok secara acak pada minggu ke-4, 8
dan 12 untuk mengambil organ testis. Mencit sebelumnya di anasthesi dengan
ketamin HCl (30 mg/kg BB) secara intra peritoneal untuk memudahkan euthanasi
yang dilakukan dengan cara cervical dislocation (Hrapkiewicz dan Medina 2007).
Tahap nekropsi dilakukan dengan menyayat bagian kulit abdomen dan fascia.
Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil
adalah organ testis kemudian difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10% dan disimpan dalam pot plastik selama 2x24 jam. Organ testis yang
sudah difiksasi dipotong dengan ukuran 0,5 x 1 cm dengan ketebalan 0.5 mm.
Hasil trimming organ testis dimasukkan ke dalam tissue cassette serta diberi label
dengan pensil. Selanjutnya, potongan organ testis didehidrasi dengan alkohol
bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 95 %) masing-masing selama 2 jam dan alkohol
absolut (I, II, dan III) masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan
penjernihan (clearing) dalam larutan xylol I, II, III, masing-masing selama 1 jam.
Tahap berikutnya adalah infiltrasi parafin, semua proses diatas secara otomatis
menggunakan mesin Automatic Tissue Processor. Setelah itu dilakukan
penanaman jaringan dalam blok parafin (embedding) dengan bantuan Tissue
Embedding. Blok jaringan dipotong (sectioning) setebal 5 µm dengan mikrotom.
Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) diletakkan di atas permukaan air
hangat (37oC) yang bertujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan.
Selanjutnya, potongan tipis jaringan diletakkan pada gelas objek yang telah
dilapisi albumin, kemudian diberi label, dan dimasukkan ke dalam inkubator 60oC
selama 24 jam.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Proses pewarnaan dilakukan melalui tahapan deparafinasi dan rehidrasi.
Deparafinasi dilakukan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam xylol I dan II
masing-masing selama 2 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan cara
mencelupkan ke dalam alkohol absolut II, dan I, alkohol 95 %, 90 %, 80 %, dan
70 % masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dengan air kran
mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering ditetesi Mayer’s
hematoksilin dan di diamkan selama 8 menit kemudian dibilas dengan air
mengalir dan dicuci dengan litium karbonat selama 15-30 detik, dibilas kembali
dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan pemberian eosin selama 2 menit.
Sediaan yang telah terwarnai dimasukan ke dalam alkohol 90 % dan alkohol
absolut I masing-masing sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2
menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit dan dikeringkan.
Sediaan yang telah kering ditetesi dengan perekat entellan secukupnya kemudian
ditutup dengan gelas penutup (cover glass).
Pengamatan Preparat Histopatologi
Pengamatan dilakukan terhadap sel-sel organ testis dengan menggunakan
mikroskop cahaya pembesaran 40x lensa objektif dan dibuat foto mikroskopis
dengan luas pandang 20000 µm2 sebanyak 10 lapang pandang. Pegamatan
Pertama pada setiap foto dilakukan untuk mengetahui gambaran umum perubahan
HP yang terjadi pada penelitian ini. Seperti adanya degenerasi, nekrosis dan
apoptosis pada sel-sel yang diamati. Pengamatan kedua dilakukan penghitungan
11
terhadap jumlah sel-sel pada setiap tahapan spermatogenesis (spermatogenia,
spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid). Penghitungan sel-sel
spermatogenik dilakukan dengan cara pengambilan foto 10 buah lapang pandang
dari tubulus seminiferus dengan menggunakan digital electronic eyepiece®
camera pada perbesaran 40× lensa objektif. Jumlah diferensiasi sel
spermatogenik, sel Sertoli, sel Leydig, dan luas lapang pandang dihitung dengan
menggunakan perangkat lunak Image J. Hasil penghitungan jumlah sel-sel
spermatogenik dikonversikan ke dalam luas daerah 20000 μm². Pengamatan
ketiga dilakukan penghitungan terhadap jumlah sel Sertoli dengan cara yang sama
seperti pada penghitungan jumlah sel-sel spermatogenik. Terakhir, dilakukan
penghitungan jumlah sel Leydig dengan cara yang sama seperti pada
penghitungan jumlah sel-sel spermatogenik. Hasil penghitungan jumlah sel-sel
Leydig dikonversikan ke dalam luas daerah 20000 μm².
Analisis Data
Data pengamatan histopatologi terhadap seluruh parameter penelitian dicari
rataan serta simpangan bakunya secara statistik dengan menggunakan Uji Sidik
Ragam (ANOVA) dalam perangkat lunak SAS (Statistical Analysis System)
produksi SAS Institute Inc. yang dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat
ada tidaknya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Analisis fitokimia sudah digunakan oleh sejumlah ahli dalam pemeriksaan
tanaman berkhasiat untuk pengobatan. Analisis ini dapat mengetahui beberapa
senyawa yang terkandung pada tanaman seperti alkaloid, flavonoid, tannin,
saponin, steroid, terpenoid, phenol, dan glikosida. Uji fitokimia ekstrak rosela
dilakukan di Laboratorium Uji Biofarmaka LPPM-IPB sesuai dengan prosedur
standar di Laboratorium tersebut.
Tabel 2 Uji fitokimia ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
No
1
2
3
4
5
6
7
Parameter Uji
Alkaloid Uji Wagner
Alkaloid Uji Meyer
Alkaloid Uji Dragendorf
Hidroquinon
Tanin
Flavonoid
Saponin
Steroid
Triterpenoid
Hasil
+
+
+
+
+
+
-
Teknik Analisis
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Hasil analisis fitokimia ekstrak rosela menunjukan adanya kandungan
flavonoid (antioksidan), alkaloid, tanin dan saponin, sedangkan hidroquinon,
steroid, dan triterpenoid tidak ditemukan. Flavonoid merupakan senyawa
antioksidan yang dapat melawan radikal bebas. Selain sebagai antioksidan,
12
flavonoid juga memiliki khasiat anti-viral, anti peradangan, penanganan
hipertensi, diabetes, reumatik, dan demam. Alkaloid dilaporkan memiliki manfaat
sebagai antimalaria, antimikroba, dan memiliki aktivitas sitotoksik (Olayede et al.
2010). Saponin dan tanin memiliki sifat analgetik, anti radang dan memiliki
kemampuan untuk mencegah kanker (Lai et al. 2010; Sur et al. 2001).
Flavonoid merupakan komponen utama yang terkandung dan terdistribusi
secara menyeluruh pada senyawa fenol tanaman. Flavonoid dan komponen fenol
lainnya dari tanaman secara khusus diperoleh dari daun, bunga, dan batang seperti
akar dan kulit kayu. Flavonoid memiliki aktifitas antioksidan dan penetralisir
radikal bebas, anti mutagenik dan anti karsinogenik (Meltzer dan Malterud 1997).
Suplementasi antioksidan berlebih akan mengakibatkan terjadinya mutagenik atau
aktifitas pro-oksidasi yang akan menghambat fungsi enzim-enzim penting pada
proses metabolisme hormon (Skibola dan Smith 2000).
Total Dosis Radiasi Ionisasi dari Sinar-X
Total dosis radiasi didapatkan dengan cara menghitung jumlah akumulasi
dosis radiasi dari mesin Sinar-X yang di ukur menggunakan dosimeter selama
perlakuan radiasi. Perlakuan selama 4 minggu menghasilkan total dosis radiasi 2.9
mSv, sedangkan perlakuan selama 8 minggu menghasilkan total dosis radiasi 5.3
mSv. Masa pemulihan (recovery) merupakan waktu dimana mencit tidak
mendapatkan perlakuan apapun, baik pencekokan maupun paparan radiasi. Masa
pemulihan dilakukan 4 minggu setelah waktu perlakuan radiasi 4 dan 8 minggu.
Gambaran Histopatologi Organ Testis
Jumlah radikal bebas dalam level yang rendah atau paparan radiasi ionisasi
dalam waktu yang relatif singkat cenderung menimbulkan apoptosis dibandingkan
nekrosis, sedangkan radikal bebas dalam level yang tinggi atau paparan radiasi
ionisasi dalam waktu yang relatif lama cenderung menimbulkan nekrosis dan
degenerasi (Kass et al. 2000). Perlakuan radiasi yang diberikan pada penelitian ini
termasuk dalam paparan radiasi ionisasi dengan jangka waktu yang relatif lama
dan cenderung menimbulkan terbentuknya senyawa radikal bebas yang tinggi,
sehingga kelainan yang ditimbulkan berupa degenerasi pada sel-sel testis yang
diamati. Degenerasi sel yang dapat terlihat pada penelitian ini ditandai dengan
adanya pembengkakan dan sitoplasma yang lebih pucat pada sel-sel yang diamati.
Perbedaan gambaran jumlah sel yang degenerasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan
Gambar 3.
13
Tabel 3 Perbedaan respon jumlah sel yang mengalami degenerasi pada setiap
kelompok perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
Lama perlakuan
Kelompok
Kontrol
Primer
Rosela
Rosela primer
4 minggu
1. –
1. ++
1. –
1. +
2. –
2. +
2. +
2. +
3. –
3. +
3. –
3. +
8 minggu
1. +
1. ++
1. –
1. +
2. –
2. +++
2. –
2. –
3. –
3. ++
3. –
3. +
Recovery 4
1. –
1. +
1. +
1. +
minggu
2. –
2. +
2. –
2. –
3. –
3. +
3. –
3. –
Recovery 8
1. –
1. +
1. –
1. –
minggu
2. –
2. ++
2. +
2. –
3. –
3. +
3. –
3. –
Keterangan : (-) tidak mengalami degenerasi sel; (+) mengalami sedikit degenerasi sel; (++)
mengalami banyak degenerasi sel; (+++) paling banyak mengalami degenerasi sel.
Berdasarkan tabel 3 terlihat degenerasi sel terjadi pada seluruh mencit
kelompok primer hal ini disebabkan paparan radiasi langsung yang diterima oleh
kelompok tersebut, penurunan jumlah sel yang mengalami degenerasi terjadi pada
kelompok rosela primer hal ini membuktikan suplementasi rosela yang bisa
mengurangi efek dari radiasi langsung yang diterima oleh kelompok tersebut.
Nekrosis merupakan kondisi dimana sel mengalami kematian dan bersifat
irreversible atau tidak dapat kembali menjadi sel normal. Umumnya sel
mengalami beberapa perubahan sebelum terjadi nekrosis. Tahapan awal nekrosis
yaitu terjadi pembengkakan pada sel tersebut dimana sitoplasma menjadi lebih
eosinofilik akibat pengikatan eosin yang berkaitan dengan denaturasi protein.
Tahap selanjutnya yaitu kemunculan vakuola atau lubang pada sitoplasma.
Ukuran vakuola bervariasi mulai dari yang kecil sampai besar dan begitu juga
dengan jumlahnya. Tahapan tersebut merupakan tahapan awal sebelum sel
mengalami kematian atau disebut juga dengan istilah onkosis. Berbeda dengan
apoptosis, kejadian nekrosis umumnya disertai dengan infiltrasi sel-sel radang.
(Haschek dan Rousseaux 1998).
Degenerasi hidropis merupakan respon sel terhadap gangguan endogen
salah satunya akibat radikal bebas dan gangguan eksogen yang dalam hal ini
adalah akibat radiasi ionisasi sinar-X. Menurut Haschek dan Rousseaux (1998),
degenerasi hidropis ditandai dengan perubahan pada sel berupa pembengkakan
dan perubahan warna sitoplasma menjadi lebih pucat, serta sitoplasma yang
bervakuola mulai dari ukuran kecil hingga besar. Perubahan tersebut merupakan
tahapan awal dari proses nekrosis yang disebut onkosis. Faktor lain terjadinya
onkosis dapat disebabkan oleh menurunnya jumlah darah merah dalam tubuh
yang menyebabkan penurunan asupan oksigen kemudian penurunan oxidative
phosphorylation dan penurunan jumlah ATP (Haschek dan Rousseaux 1998).
Sel-sel spermatogenik
Data tentang jumlah sel-sel yang diamati didapatkan dengan cara
menghitung jumlah sel spermatogenia, spermatosit primer, spermatosit skunder,
spermatid, spermatozoa, sel Sertoli, dan sel Leydig per satuan lapang pandang.
Pengambilan data dilakukan pada dosis 2.9 mSv, 5.3 mSv, pada masa pemulihan
14
(recovery1) setelah dosis 2.9 mSv dan pada masa pemulihan (recovery 2) setelah
pemberian dosis radiasi 5.3 mSv. Masa pemulihan masing-masing selama 4
minggu setelah perlakuan 4 mingggu dan 8 minggu. Perbedaan gambaran jumlah
sel-sel spermatogenik pada tiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.
Hasil pengamatan dan analisis statistik disajikan pada Tabel 4.
Gambar 2 Fotografi mikro organ testis pada kelompok perlakuan (A) rosela primer, (B) rosela,
(C) kontrol, (D) primer. sel-sel (1) sel spermatogonia, (2) sel spermatosit skunder (3)
sel Leydig, (4) sel spermatid, (5) spermatozoa, (6) sel Sertoli, (7) sel spermatosit
primer.
15
Tabel 4 Rataan jumlah sel-sel spermatogenik, sel Sertoli, dan sel Leydig pada
setiap kelompok perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
Sel yang diamati
Kontrol
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
sekunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
49.867±16.665a
47.067±1.474a
51.133±10.511a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
sekunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel sertoli
Sel Leydig
39.500±6.221a
49.400±8.591ab
59.333±15.786a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
skunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
37.967±8.069a
60.467±11.282a
59.067±3.842a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
skunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
Keterangan
:
88.430±11.528a
72.430±25.472a
10.530 ±2.608a
14.067±1.415a
Kelompok
Primer
Rosela primer
4 minggu
39.625±0.176a
36.667±10.119a
a
35.800±9.192
47.200±0.208a
a
49.400±5.091
50.700±12.204a
Rosela
31.767±4.858a
37.633±10.223a
45.967±5.750a
60.700±25.031a
75.900±4.821a
a
52.150±23.970
66.130±3.731a
a
9.900±2.687
10.167±1.285a
a
9.100±1.414
15.633±5.404a
8 minggu
34.633±12.915a
48.600±10.153a
b
45.300 ±5.109
64.467±13.261a
b
60.200±12.664a
34.400 ±6.085
69.370±15.215a
48.570±6.357a
7.233±0.251a
14.567±4.113a
65.670 ±10.471b 85.630 ±8.168ba
74.800 ±2.884a
42.600±11.518b
b
9.033 ±0.945
12.833± 1.331a
b
10.567± 2.400
21.033± 6.971a
Rec 4 minggu
35.333±8.977a
38.833±8.638a
b
40.367±7.356
51.767±3.917ab
c
37.000±8.260
55.967±8.792ab
73.130 ±9.375ab
57.667±7.276ab
9.700± 1.907b
14.967±2.898ab
82.533±6.525ab
71.500±6.750a
8.233±0.945a
15.667±5.372a
40.733±13.851a
54.533±4.392a
63.367±3.200a
57.833±5.173c
73.300±7.696b
b
38.667±9.505
72.500±9.865a
a
7.700±1.389
10.367±2.250a
a
18.933±13.940
15.200±0.200a
Rec 8 minggu
33.800±8.328a
38.567±10.131a
a
44.000±2.121
47.533±9.450a
b
39.667±1.823
41.633±16.839b
103.833±5.493a
54.530±0.602ba
9.1667±1.550ba
10.367±1.184a
49.467±8.158c
37.830±3.356b
6.9333±0.208b
11.333±2.466a
62.367±15.959bc
68.800±26.038a
10.000±1.473a
19.133±10.830a
76.000± 6.700b
68.030±4.221a
9.1667±0.873ab
15.033±0.907a
96.97 ±23.450a
71.733±15.955a
10.700±1.907ba
14.833±4.652ba
89.533±8.113a
59.200±4.371a
7.867±1.950a
17.033±6.451a
40.333± 9.154a
40.367 ±3.516b
41.867±5.472ab
33.433±2.402a
41.367±3.883b
43.800±3.160ab
38.833±6.030a
43.967±8.334a
47.233±2.702ab
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang berbeda menyatakan adanya perbedaan
yang nyata (p
MENCIT (Mus musculus) TERHADAP POTENSI
RADIOPROTEKTIF TANAMAN ROSELA DALAM RADIASI
IONISASI RADIODIAGNOSTIK
WINDY DESTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi
Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus Musculus) Terhadap Potensi
Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik adalah
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Mei 2013
Windy Destri
B04070192
ABSTRAK
WINDY DESTRI. Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus
musculus) Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi
Ionisasi Radiodiagnostik. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DENI
NOVIANA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efek radioprotektif
ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi radiodiagnostik pada
organ testis mencit (Mus musculus). Penelitian ini menggunakan 48 ekor mencit
jantan dewasa dan dibagi menjadi 4 kelompok; kontrol (K), radiasi primer (P),
rosela tanpa radiasi (R), dan rosela dengan radiasi (RP). Mencit diberi 50 mg/kg
BB ekstrak rosela secara oral setiap 2 hari sekali sebelum diradiasi berulang
selama 8 minggu. Mencit dinekropsi untuk pengambilan organ testis dari berbagai
kelompok perlakuan pada berbagai titik waktu setelah radiasi. Hasil nekropsi
diproses untuk pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan
Haemotoxylin-Eosin. Perubahan pada testis dan kerusakan lainnya dilihat dengan
menghitung jumlah sel-sel spermatogenesis, sel Sertoli, dan sel Leydig setelah
radiasi pada seluruh tubuh menggunakan perangkat lunak image J. Data
kuantitatif dianalisa menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA) diikuti uji lanjut
Duncan. Jumlah sel-sel yang diamati menunjukan respon baik terhadap pemberian
radiasi maupun terhadap pemberian ekstrak rosela. Penurunan jumlah sel-sel yang
diamati terlihat pada kelompok radiasi primer sedangkan pada kelompok rosela
tidak terlihat adanya penurunan jumlah sel-sel yang diamati tersebut. Hasil ini
menunjukan bahwa ekstrak rosela dapat melindungi dan mengurangi efek radiasi
terhadap sel-sel yang diamati pada penelitian ini. Rosela dapat digunakan sebagai
radioprotektor terhadap radiasi ionisasi pada organ testis mencit.
Kata kunci : radiasi ionisasi, radioprotektif, rosela, dan spermatogenesis testis
mencit.
ABSTRACT
WINDY DESTRI. Histopathology Study on Mice (Mus musculus) Testicle with
Radioprotective Potency of Hibiscus Sabdariffa in Radiodiagnostic Ionizing
Radiation Supervised by SRI ESTUNINGSIH and DENI NOVIANA.
The aim of this study was to determine the radioprotective effect of roselle
(Hibiscus sabdariffa L.) extract in radiodiagnostic ionizing radiation on the
testicle of mice (Mus musculus). Forty eight adult male of mice were used and
divided into 4 groups; control (K), radiation (P), roselle without radiation (R) and
roselle with radiation (RP). Mice were treated with 50 mg/kg of BW per oral of
roselle extract every two days before recurrent irradiation for 8 weeks. The mice
were euthanized then necropsied for testicle collection at various groups and two
time points after irradiation. Samples of testicle was processed to prepare
histopathology slides using Haematoxilin-Eosin stain. Parameter of the
observation are numbers of spermatogenic cells, Sertoli cell, and Leydig cell after
whole body irradiation counted using image J software. Quantitative data were
analysed with ANOVA test and followed by Duncan post test. The number of
cells observed showed a favorable response to the administration of radiation and
the roselle extract. The number of cells were decreased in the primary radiation
group while in the roselle were not seen. This result showed that Roselle extract
was protect cells from radiation effect by recurrent radiodiagnostic ionizing
radiation. Administration of roselle extract significantly reduced the bioeffects of
radiation. The result suggested that roselle can be used as radioprotector to
ionizing radiation on testicular organ.
Keywords: ionizing radiation, mice testicle, radioprotective, spermatogenic cells,
roselle, mice testicle
STUDI HISTOPATOLOGI RESPON ORGAN TESTIS
MENCIT (Mus musculus) TERHADAP POTENSI
RADIOPROTEKTIF TANAMAN ROSELA DALAM RADIASI
IONISASI RADIODIAGNOSTIK
WINDY DESTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus musculus)
Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi
Ionisasi Radiodiagnostik.
Nama
: Windy Destri
NIM
: B04070192
Disetujui oleh
Dr drh Sri Estuningsih, M.Si APVet
Pembimbing I
drh Deni Noviana, PhD
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat.
Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan beberapa
pihak. Atas segala bantuan dari semua pihak, penulis menghaturkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr drh Sri Estuningsih, M.Si dan drh Deni Noviana, PhD selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan, ilmu, bimbingan,
dan motivasi kepada penulis.
2. drh Srihadi Agungpriyono, PhD selaku dosen pembimbing akademik atas
ilmu, waktu, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan selama ini.
3. Kedua orang tua Papa, Mama, dan Adik, beserta segenap keluarga penulis
atas doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dan energi tidak henti-hentinya
diberikan kepada penulis.
4. Seluruh staf dosen dan pegawai di Bagian Bedah dan Radiologi yang telah
membantu kelancaran studi dan juga penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf dosen dan pegawai di Bagian Patologi yang telah membantu dan
mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini.
6. drh Sri Ardhiani yang senantiasa memberikan semangat, waktu, dan masukan
yang sangat berguna dalam penyelesaian tulisan ini.
7. Teman-teman sepenelitian Abas, Bambang, Endah, Griv, dan drh Mohammad
Fahrul Ulum, M.Si atas kebersamaan dan semangat yang diberikan kepada
penulis.
8. Sahabat asrama Sri Junjungan Kabupaten Bengkalis atas dukungan dan
semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh keluarga besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan berbagai pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran
studi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.
Bogor, Mei 2013
Windy Destri
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Rosela
Hewan Percobaan
Sinar-X
Testis
Histologi Testis
Tubulus Seminiferus
Sel Sertoli
Jaringan Interstisial
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Materi Penelitian
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia Ekstrak Rosela
Total Dosis Radiasi Ionisasi dari Sinar-X
Gambaran Histopatologi organ Testis
Sel-sel Spermatogenik
Mekanisme Kerusakan Sel oleh Radikal Ionisasi
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
1
2
2
2
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
11
12
12
13
17
19
19
25
DAFTAR TABEL
1 Kelompok perlakuan
2 Uji fitokimia Ekstrak rosela
3 Perbedaan jumlah sel yang mengalami degenerasi pada setiap kelompok
perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
4 Rataan jumlah sel-sel spermatogenik, sel Sertoli, dan sel Leydig pada
setiap kelompok per satuan lapang pandang 20000 µm2
9
11
13
15
DAFTAR GAMBAR
1 Histopatologi sel-sel spermatogenik mencit pada organ testis
dengan pewarnaan HE
6
2 Fotografi mikro pada organ testis setiap kelompok perlakuan
14
3 Fotografi mikro sel-sel spermatogenik degenerasi
18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Radiasi merupakan proses dimana energi bergerak melalui media atau
ruang. Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis,
yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan
sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan
elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi
merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar-γ atau partikel subatom berupa, neutron, dan partikel-α (Thrall 2002).
Kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi dapat terjadi secara
langsung (direct effect) dan secara tidak langsung (indirect effect) pada sel
terpapar. Kerusakan yang terjadi secara langsung disebabkan oleh radiasi ionisasi
sendiri, sedangkan kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh radikal bebas
yang terbentuk oleh ionisasi (Turner 2007).
Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar Roentgen oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan dan kerusakan. Sinar-X membentuk radikal bebas yang
berakibat kerusakan atau hilangnya elektron atom dari jaringan yang terpapar.
Sebagian besar dari tubuh terdiri dari komponen air atau sekitar 70% sehingga
radiasi ionisasi merubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara
aktif. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Daya
sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan berbeda-beda sehingga efek yang
ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis jaringan dan dosis radiasi yang
diterima. Efek yang ditimbulkan berupa abnormalitas jaringan hingga kematian.
Jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang akan
memperlihatkan efek yang sangat besar. Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif
membelah seperti otot dan tulang akan menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).
Secara fisik perlindungan terhadap sumber radiasi eksternal dapat
dilakukan dengan cara menggunakan perlengkapan proteksi radiasi berupa apron,
pelindung tiroid, sarung tangan, dan kaca mata yang masing-masing telah dilapisi
oleh pelapis Timbal (Pb) (Ulum dan Noviana 2008). Perlindungan biologis pada
sumber radiasi internal dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan herbal
sebagai radioprotektor, untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap sediaan
herbal yang yang efektif dan dapat dijadikan radioprotektor bagi jaringan atau
organ yang terkena efek radiasi ionisasi.
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L) merupakan tanaman dari genus
hibiscus yang banyak ditemukan di daerah tropis. Umumnya masyarakat
mengenal dengan nama rosela, rosella atau roselle. Tanaman ini merupakan
tanaman tahunan yang berasal dari Afrika Barat, dan tumbuh subur di Suriname.
Rosela juga merupakan tanaman obat yang bisa digunakan sebagai diuretik dan
pencahar. Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk
sediaan teh merah untuk anti hipertensi sudah dilaporkan oleh (Khosravi et al.
2009), pengobatan infeksi saluran perkemihan (Olaleye 2007), dan sebagai
antipiretik (Reanmongkol dan Itharat 2007). Penelitian tentang potensi tanaman
rosela (Hibiscus sabdariffa L) dalam radiasi ionisasi diagnostik dosis rendah
belum pernah dilaporkan.
2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek radioprotektif tanaman Rosela
(Hibiscus sabdariffa.L) pada gambaran histopatologi organ testis mencit (Mus
Musculus) yang diradiasi sinar-X berulang.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk referensi data mengenai kerusakan organ
reproduksi mencit jantan yang diakibatkan oleh paparan radiasi ionisasi
radiodiagnostik dosis rendah.
TINJAUAN PUSTAKA
Rosela (Hibiscus sabdariffa L)
Rosela merupakan tanaman asli Afrika dan mulai menyebar secara luas ke
negara-negara tropik dan subtropik seperti Amerika Tengah dan India Barat
(Morton 1987). Rosela mempunyai nama ilmiah Hibiscus sadbariffa Linn,
merupakan anggota famili Malvaceae. Rosela dapat tumbuh baik di daerah
beriklim tropis dan subtropis. (Widyanto dan Nelista 2009).
Klasifikasi rosela (Widyanto dan Nelista 2009) sebagai berikut:
kelas : Dicotiedoniae
ordo : Malvales
famili : Malvaceae
genus : Hibiscus
spesies : H. Sabdariffa L.
Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya
populer sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin dalam bunga rosela
cukup lengkap, yaitu vitamin A,C,D,B1, dan B2. Kandungan vitamin C (asam
askorbat) pada rosela diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari
jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2,5 kali dari jambu biji. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela
sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada
kumis kucing (Widyanto dan Nelista 2009).
Antioksidan merupakan pertahanan pertama untuk melawan radikal bebas.
Radikal bebas merupakan molekul bermuatan yang memiliki elektron tidak
berpasangan dimana untuk menetralisirnya diperlukan elektron dari zat lain (Sen
et al. 2010). Antioksidan merupakan senyawa yang memiliki berat molekul
rendah yang dapat bereaksi dengan oksidan. Antioksidan memiliki kemampuan
untuk memperlambat, menunda, dan mencegah proses oksidasi sehingga
antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal
bebas. Antioksidan bereaksi dengan memberikan elektron ke molekul oksidan
atau radikal bebas tanpa adanya gangguan dan menyebabkan terputusnya reaksi
berantai dari radikal bebas tersebut (Percival 1998). Antioksidan terbagi menjadi 2
yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen dihasilkan sendiri
3
oleh tubuh, contohnya glutation peroksidase, reduktase, katalase, dan superoksida
dismutase (SOD). Antioksidan eksogen contohnya flavonoid, ascorbic acid
(vitamin C), beta karoten, dan tocophenol (vitamin E) (Jacob 1995).
Bunga rosela mengandung alkaloid, citric acid, anthocyanin, i-ascorbic
acid, dan flavonoid. (Hirunpanich et al. 2005). Kandungan vitamin C pada bunga
rosela varietas merah sebesar 32,14 mg/100g sedangkan varietas hijau sebesar
27,5 mg/100g (Ogunlesi et al. 2010). Vitamin C memiliki aktifitas sebagai
antioksidan dalam menetralkan kerusakan oleh radiasi (Noviana et al. 2010b).
antioksidan yang dikandung bunga rosela dapat menetralkan radikal bebas dalam
tubuh (Kijparkorn et al. 2009; Hirunpanich et al. 2005).
Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak mengandung antosianin
dan vitamin C. Pigmen antosianin ini membentuk warna ungu kemerahan yang
menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhan rosela. Antosianin berfungsi
sebagai antioksidan yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit degeneratif.
Antosianin pada rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari delfinidin3-siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-siloglukosida, sedangkan
flavonols terdiri dari gosipetin dan mucilago (Wang et al. 2000; BPOM RI 2010).
Sediaan kering dari ekstrak akar rosela mengandung flavonoid seperti
gssypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Flavonoid diakui secara luas sebagai
antioksidan yang memiliki beberapa khasiat kesehatan pada diet manusia (Pourcel
et al. 2007). Sebagian besar pigmen dari bunga terdiri dari hibiscin yang telah
diidentifikasi sebagai daphniphylline. Delphinidin 3-monoglucoside, cyanidin 3monoglucoside (chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah
kecil (Chau JW. 2000; Pau et al. 2002).
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae yang berukuran kecil
sering disebut dengan rodensia (latin = rodere, yang artinya mengerat). Hewan ini
terdapat di seluruh penjuru dunia yang merupakan binatang asli Asia dan Eropa
barat. Dalam hal genetika mencit merupakan kelompok mamalia yang dicirikan
paling lengkap dan memiliki kemiripan secara homolog dengan manusia. Mencit
juga mudah dipelihara dan memiliki siklus reproduksi yang cepat (Meredith dan
Redrobe 2002).
Mencit memiliki tubuh yang kecil ditutupi rambut yang lembut dan sangat
lebat, mencit memiliki kaki yang pendek dan ekor panjang ditutupi bulu tipis.
Sama seperti rodensia lain pada umumnya. Mencit mempunyai rumus gigi 0 2
(1/1 incisors, 0/0 canines, 0/0 premolars, 3/3 molars) (Hrapkiewicz dan Medina
2007).
Menurut Smith dan Mangkuwidjodjo (1988), data biologis dan fisiologis
mencit adalah sebagai berikut: berat mencit dewasa rata-rata 18 gram sampai
dengan 35 gram, berat lahir 0,5-1 gram, suhu antara 35-39°C, frekuensi nafas 140180 kali/menit, denyut jantung antara 600-650 kali/menit, umur sapih 21 hari,
sedangkan umur dewasa 50 hari. Mencit memiliki siklus reproduksi yang cepat
dan berkembang biak dalam waktu yang singkat selama 19-21 hari sehingga
keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mencit jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu.
4
Sinar-X
Sejak pertama ditemukan sinar-X sudah berkembang sangat pesat sebagai
sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dalam dunia
kedokteran hewan sinar-X mulai dimanfaatkan pada tahun 1970. Ilmu yang
mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi
disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat sebagai
radiodiagnostik sekaligus juga sebagai sarana radioterapi. Radiologi
memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai
kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall
2002; McCurnin dan Bassert 2006).
Röntgen atau Roentgen yang disimbolkan dengan R adalah sebuah satuan
pengukuran radiasi ion di udara (berupa sinar-X atau sinar gamma), yang dinamai
sesuai dengan nama fisikawan Jerman Wilhem Röntgen. Energi yang dihasilkan
oleh sinar Rontgen merupakan energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi
kesehatan. Sejak tahun 2005 pemerintah Amerika Serikat memasukan efek sinarX dalam daftar penyebab terjadinya kanker. Di Indonesia penggunaan sarana
radiodiagnostik sinar-X berada dalam pengawasan Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana 2008). Penggunaan sarana
radiodiagnostik sebagai sarana penunjang diagnosa dalam dunia kedokteran sudah
sangat berkembang dengan pesat. Energi radiasi ionisasi dari sarana ini dalam
dosis besar sudah dilaporkan mampu menginisiasi terjadinya tumor dan kanker
pada jaringan normal (Reynolds dan Schecker 1995).
Radiasi hamburan merupakan radiasi dengan energi yang sangat rendah jika
dibandingkan dengan energi pada berkas sinar utama. Hamburan radiasi ini
terbentuk pada saat berkas sinar utama berinteraksi dengan pasien radiografi.
Paparan radiasi hambur diterima pekerja radiasi pada saat melakukan restrain
pasien (hewan) yang akan menerima terapi. Besarnya tingkat radiasi tergantung
pada 3 hal yaitu kilovoltase, ketebalan jaringan, serta luar daerah paparan
(McCurnin dan Bassert 2006). Presentase besarnya dosis radiasi hambur terjadi
sekitar 5% dari dosis berkas sinar utama yang diterima pasien (Thrall 2002).
Testis
Testis berada didalam scrotum yang berupa kantong terdiri atas kulit, tunica
dartos dan sebagian funiculus spermaticus. Testis terletak menggantung di daerah
prepubis dan digantung oleh funiculus spermaticus yang menggantung unsurunsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari cavum abdominalis
melalui canalis inguinalis ke dalam scrotum (Toelihere 1985). Pada setiap hewan
jantan terdapat sepasang testis yang berbentuk seperti telur atau peluru, testis
terbungkus oleh tunica vaginalis propria yang akan membungkus ductus
epidydimis dan ductus deferens. Pada bagian profundal tunica ini terdapat tunica
albuginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang terdiri atas serabut
fibrosa dan serabut-serabut otot licin (Sukmaningsih 2009).
Fungsi testis ada dua, yaitu penghasil spermatozoa dan hormon-hormon
jantan atau androgen (Hafez 1970). Proses pembentukan spermatozoa disebut
spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan proses perkembangan sel-sel
spermatogenik yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap spermatositogenesis atau
5
proliferasi, tahap meiosis dan spermiogenesis. Spermatogenesis dipengaruhi oleh
faktor-faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi hormonal,
psikologis, dan genetik. Faktor eksogen dapat berupa bahan kimia dan obatobatan, suhu, radiasi sinar-X, getaran ultrasonik, vitamin, gizi, trauma dan
peradangan (Sukmaningsih 2009).
Histologi Testis
Testis terdiri dari kelenjar-kelenjar yang berbentuk tubulus, dibungkus oleh
selaput tebal yang disebut tunika albugenia. Pada sudut posterior organ ini
terbungkus oleh selaput atau kapsula yang disebut mediastinum testis. Septula
testis merupakan selaput tipis yang meluas mengelilingi mediastinum sampai ke
tunika albugenia dan membagi testis menjadi 250-270 bagian berbentuk piramid
yang disebut lobuli testis. Isi dari lobulus adalah tubulus seminiferus, yang
merupakan tabung kecil panjang dan berkelok-kelok memenuhi seluruh kerucut
lobulus. Muara tubulus seminiferus terdapat pada ujung medial dari kerucut. Pada
ujung apikal dari tiap-tiap lobulus akan terjadi penyempitan lumen dan akan
membentuk segmen pendek pertama dari sistem saluran kelamin yang selanjutnya
akan masuk ke rete testis (Partodiharjo 1980).
Dinding tubulus seminiferus terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu
tunika propria, lamina basalis dan lapisan epitelium. Tunika propria terdiri atas
beberapa lapisan fibroblas, yang berfungsi sebagai alat transportasi sel
spermatozoa dari tubulus seminiferus ke epididimis dengan jalan kontraksi.
Lapisan epitel pada tubulus seminiferus terdiri dari dua jenis sel yaitu sel-sel
penyokong yang disebut sebagai sel sertoli dan sel-sel spermatogonium. Sel-sel
spermatogonium merupakan sel benih sejati, karena sel-sel inilah dihasilkan
spermatozoa melalui pembelahan sel. Sel-sel spermatogonium tersusun dalam 4-8
lapisan yang menempati ruang antara membrana basalis dan lumen tubulus
(Partodiharjo 1980).
Tubulus Seminiferus
Tubulus terdiri atas suatu lapisan jaringan ikat fibrosa, lamina basalis, dan
suatu epitel germinal kompleks atau disebut seminiferus. Tubulus seminiferus
dilapisi oleh tunika propria yang terdiri atas berbagai lapisan fibroblast. Tubulus
seminiferus merupakan kelenjar tubulosa kompleks, bagian ini menghasilkan
spermatozoa (Finn 1994). Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu
sel Sertoli atau sel penunjang dan sel-sel spermatogenik yang terdiri dari
spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit skunder, spermatid dan
spermatozoa (Partodiharjo 1980). Tubulus rektus merupakan penghubung antara
tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis epitel
berkesinambungan, yaitu rete testis. Rete testis ini kemudian akan dihubungkan
dengan bagian kepala epididimis oleh duktus eferen (Guyton dan Hall 1997).
Sel Sertoli
Sel sertoli berbentuk panjang, berdasar luas, melekat pada membrana
basalis, berfungsi merawat sel spermatozoa yang baru saja terbentuk,
menghasilkan semacam hormon (inhibin), menghasilkan protein pembawa
hormon jantan (ABP = Androgen Binding Protein) dan menghasilkan cairan testis
(Junqueira et al. 1997).
6
Sel Sertoli memiliki empat fungsi utama, yaitu: (1) Menunjang,
melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa yang berkembang. Sel Sertoli
mengatur pertukaran bahan makanan dan metabolit, serta sawar sel Sertoli
melindungi sel sperma dari serangan imunologis. (2) Merombak dan
memfagositosis keping sitoplasma yang berlebihan dan melepaskannya sebagai
residu. (3) Sel Sertoli mensekresikan suatu cairan untuk transportasi sperma ke
dalam tubulus seminiferus secara terus menerus. (4) Produksi hormon antiMullerian yang bekerja selama masa embrional untuk memudahkan regresi
saluran Muller pada fetus jantan (Junqueira et al. 1997).
Sel Leydig
Jaringan interstisial merupakan jaringan yang terdapat diantara tubulus
seminiferus. Sel-sel ini berbentuk poligonal teranyam bersama tenunan pengikat.
Pada bagian ini terdapat sel Leydig yang berfungsi sebagai penghasil hormon
jantan atau androgen terutama testosteron (Partodiharjo 1980). Sel Leydig
memiliki inti sel dengan butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Sel Leydig
memiliki ciri sebagai sel pengekskresi steroid. Sel-sel ini menghasilkan hormon
testosteron yang berfungsi dalam proses spermiogenesis dan perkembangan ciri
kelamin jantan sekunder. Jumlah sel Leydig yang tinggi menyebabkan kenaikan
hormon testosteron (Janqueira et al. 1997).
Gambar 1 Histologi sel-sel spermatogenik mencit pada organ testis dengan
pewarnaan HE (Hill 2010).
7
METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi, serta Bagian
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret sampai Juli 2011.
Materi Penelitian
Hewan coba
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai
model. Penelitian ini menggunakan 48 ekor mencit jantan (Mus musculus)
berumur 6 minggu dengan bobot awal 18-20 gram. Mencit jantan tersebut
diperoleh dari pembiakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ekstrak rosela, hewan
model mencit jantan (Mus musculus) sebanyak 48 ekor strain ddy yang memiliki
kisaran umur 6 minggu dengan berat badan 18-20 gram sedangkan yang
digunakan untuk histopatologi sebanyak 12 ekor. Bahan yang digunakan dalam
pemeliharaan mencit pada penelitian ini adalah pakan berupa pelet pakan mencit
komersial, air mineral isi ulang untuk minum mencit, obat-obatan pretreatment
mencit (anticacing Prazyquantel® 10 mg/kg BB, antibiotik Clavamox® 250 mg/kg
BB dan antifungal Metronidazole® 25 mg/kg BB), dan desinfektan. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan ekstrak rosela berupa simplisia kelopak bunga atau
kaliks rosela kering lokal (Darmaga-Bogor), etanol 96%, dan akuades. Bahan
yang digunakan dalam nekropsi adalah kapas, alkohol 70%, obat bius Ketamin
HCl dan NaCl 0.9%, dan larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Bahan
yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi dan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE) adalah sampel organ testis, alkohol (70%, 80%, 90%,
dan alkohol absolut), xylol, parafin, akuades, Mayer’s hematoksilin, eosin, lithium
karbonat, perekat albumin, dan Mounting media.
Alat yang dipergunakan selama penelitian ini berlangsung antara lain, yaitu
box plastik sebagai kandang dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, tinggi 15
cm, anyaman jaring kawat penutup kandang, serutan kayu untuk alas kandang,
botol minum yang dilengkapi saluran air, tempat pakan, marker, sonde lambung
atau stomach tube (1.5 x 80 mm), syringe 1 ml, sarung tangan, masker, sikat,
timbangan digital (Precisa 3000 D), kertas label, tissue gulung, gelas ukur 50 ml,
dan lemari pendingin. Alat yang digunakan untuk paparan radiasi sinar-X adalah
mesin Diagnostic X-Ray (VR-1020, MA Medical Morp, Japan), apron plumbum
(Pb), pelindung mata, pelindung tiroid, dan dosimeter pengukur besaran radiasi
(MYDOSE miniTM ALOKA CO., LTD Tokyo Japan). Alat nekropsi yang
digunakan adalah 1 set alat bedah (gunting kecil, pinset, dan scalpel), kantung
plastik hitam, spidol waterproof permanen untuk penanda, aluminium foil,
sterofoam, jarum pentul, dan botol plastik. Pembuatan preparat menggunakan
tissue cassete, pinsil, Sakura® automatic tissue processor, Tissue Embedding,
8
mikrotom, pinset anatomis, gelas objek, gelas penutup, dan inkubator. Alat untuk
pengamatan yaitu mikroskop cahaya (Olympus® CH-20), Digital Electronic
Eyepiece Camera, satu set komputer, dan perangkat lunak Image J®.
Prosedur penelitian
Pre- treatment Mencit
Mencit jantan diberi pakan dan minum ad libitum. Pakan yang diberikan
berbentuk pelet yang diperoleh secara komersial. Untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan mencit maka kandang dan alas sekam dibersihkan dan diganti setiap
tiga hari sekali.
Mencit yang digunakan merupakan mencit strain ddy dan diberi pretreatment sebelum penelitian dilaksanakan. Sebagai pre-treatment diberikan
antihelmentik (Praziquantel®) dengan dosis tunggal 10 mg/Kg BB, antifungal
(Metronidazol®) 50 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut, antibiotik
(Clavamox®) 250 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut.
Ekstraksi Tanaman Rosela
Bunga dikeringkan di bawah sinar matahari dan dihaluskan. Tahapan
selanjutnya, sebanyak 200 gram serbuk bunga diekstrak dengan 500 ml ethanol
96% pada suhu 40°C. Pembuatan ekstrak tanaman rosela meliputi proses maserasi
dan evaporasi. Maserasi adalah proses perendaman simplisia menggunakan
pelarut untuk memperoleh zat aktif dari simplisia tersebut dan untuk
menghilangkan residu yang terjadi selama proses berlangsung (Daihiru et al.
2003; Olatunji et al. 2006; Fidan et al. 2008). Proses maserasi dilakukan
menggunakan pelarut etanol. Maserat yang telah diperoleh dipisahkan kemudian
di evaporasi. Evaporasi merupakan proses pemekatan dengan cara menguapkan
pelarut tanpa menjadi kering. Maserasi dilakukan di Balitro (Balai Penelitian
Tanaman Obat) Cimanggu Bogor, dan evaporasi dilakukan di Laboratorium
Bioteknologi di Fakultas Perikanan IPB. Selanjutnya, dilakukan uji fitokimia yang
dilakukan di Laboratorium Biofarmaka Bogor. Pemeriksaan fitokimia dilakukan
pada kadar alkaloid, hidroquinon, tanin, flavonoid, saponin, saponin, steroid, dan
triterpenoid. Sebelum digunakan, ekstrak rosela diencerkan dengan akuadest
dengan perbandingan 1,5 gram ekstrak dalam 200 ml akuadest.
Perlakuan Radiasi
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan 48 ekor mencit jantan
yang berumur 6 minggu dengan bobot badan 18-20 gram kemudian mencit dibagi
menjadi 4 kelompok.
Sebanyak 12 ekor mencit dalam setiap kelompok dimasukkan ke dalam
kandang plastik yang telah disiapkan. Semua mencit dilakukan aklimatisasi untuk
menyesuaikan dan menyeragamkan kondisi sebelum penelitian dilaksanakan
selama 2 minggu. Aklimatisasi mencit dilakukan dengan melalui pemberian anti
cacing (Praziquantel®) 10 mg/kg BB pada awal aklimatisasi dan di ulang pada
hari ke-10, antibiotik (Clavamox®) 250 mg/kg BB dan anti jamur
(Metronidazole®) 25 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut (Hrapkiewicz dan
Medina 2007).
9
Hewan coba akan dibagi dalam 4 kelompok perlakuan secara acak sebagai
berikut:
1.
Kelompok Kontrol (K): Mencit menerima perlakuan 0.2 ml NaCl
fisiologis peroral setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.
2.
Kelompok Primer (P): Mencit menerima perlakuan 0.2 ml NaCl
fisiologis peroral setiap 2 hari sekali dan paparan radiasi.
3.
Kelompok Rosela (R): Mencit diberi ekstrak rosela dosis 50
mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.
4.
Kelompok Rosela Primer (RP): Mencit diberi Ekstrak rosela
dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali dan
paparan radiasi.
Tabel 1 kelompok perlakuan
No
1
2
3
4
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)
Rosela (R)
Rosela Primer (R)
Radiasi
+
+
Perlakuan
Ekstrak Rosela
+
+
NaCl
+
+
-
Keterangan : - (tanpa), + (dengan)
Radiasi ionisasi dosis rendah pada seluruh tubuh (Total Body
Radiation/TBR) dilakukan dengan menggunakan mesin Diagnostic X-Ray (VR1020, MA Medical Morp, Japan) dengan dosis 0.2 mili Sievert (mSv)/2 hari
berselang. Monitoring dosis paparan dilakukan dengan menggunakan MYDOSE
miniTM, ALOKA CO., Ltd Tokyo Japan. Faktor paparan mesin sinar-X
menggunakan pengaturan kilo volt peak (kVp) 80 dan mili Ampere second (mAs)
12. Jarak sumber target (dasar kandang mencit) adalah 100 cm tegak lurus pada
berkas sinar utama. Perlakuan radiasi dibagi menjadi 4 kelompok waktu yaitu
radiasi selama 4 minggu, radiasi selama 8 minggu, masa pemulihan I atau
Recovery I selama 4 minggu setelah menerima radiasi 4 minggu dan masa
pemulihan II atau Recovery II selama 4 minggu setelah menerima radiasi 8
minggu.
Pemberian Ekstrak Rosela
Sebelum digunakan, ekstrak rosela dilarutkan dalam akuadest dengan
komposisi 1.5 gram ekstrak dalam 200 ml akuadest, sehingga didapatkan
konsentrasi 7.5 mg/ml. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kg berat badan
dengan jumlah pemberian ekstrak kaliks rosela pada mencit adalah 0.2 ml
(Akindahunsi dan Olelaye 2003; Ali et al. 2005)
Mencit yang diterapi dengan ekstrak rosela adalah mencit kelompok Rosela
(R) dan Rosela primer (RP). Sebelum pemberian ekstrak rosela, mencit dipegang
terlebih dahulu secara manual mulai dari belakang telinga sampai dengan dorsal
punggung. Larutan ekstrak rosela diberikan dengan dosis 0.2 ml pada tiap mencit.
Kelompok lainnya yaitu Kontrol (K) dan Primer (P) dilakukan pemberian NaCl
fisiologis sebanyak 0.2 ml dengan menggunakan sonde lambung. Pemberian
ekstrak rosela dan NaCl fisiologis dilakukan setiap dua hari sebelum diradiasi
dengan sinar-X.
10
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Nekropsi dilakukan pada setiap kelompok secara acak pada minggu ke-4, 8
dan 12 untuk mengambil organ testis. Mencit sebelumnya di anasthesi dengan
ketamin HCl (30 mg/kg BB) secara intra peritoneal untuk memudahkan euthanasi
yang dilakukan dengan cara cervical dislocation (Hrapkiewicz dan Medina 2007).
Tahap nekropsi dilakukan dengan menyayat bagian kulit abdomen dan fascia.
Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil
adalah organ testis kemudian difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10% dan disimpan dalam pot plastik selama 2x24 jam. Organ testis yang
sudah difiksasi dipotong dengan ukuran 0,5 x 1 cm dengan ketebalan 0.5 mm.
Hasil trimming organ testis dimasukkan ke dalam tissue cassette serta diberi label
dengan pensil. Selanjutnya, potongan organ testis didehidrasi dengan alkohol
bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 95 %) masing-masing selama 2 jam dan alkohol
absolut (I, II, dan III) masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan
penjernihan (clearing) dalam larutan xylol I, II, III, masing-masing selama 1 jam.
Tahap berikutnya adalah infiltrasi parafin, semua proses diatas secara otomatis
menggunakan mesin Automatic Tissue Processor. Setelah itu dilakukan
penanaman jaringan dalam blok parafin (embedding) dengan bantuan Tissue
Embedding. Blok jaringan dipotong (sectioning) setebal 5 µm dengan mikrotom.
Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) diletakkan di atas permukaan air
hangat (37oC) yang bertujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan.
Selanjutnya, potongan tipis jaringan diletakkan pada gelas objek yang telah
dilapisi albumin, kemudian diberi label, dan dimasukkan ke dalam inkubator 60oC
selama 24 jam.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Proses pewarnaan dilakukan melalui tahapan deparafinasi dan rehidrasi.
Deparafinasi dilakukan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam xylol I dan II
masing-masing selama 2 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan cara
mencelupkan ke dalam alkohol absolut II, dan I, alkohol 95 %, 90 %, 80 %, dan
70 % masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dengan air kran
mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering ditetesi Mayer’s
hematoksilin dan di diamkan selama 8 menit kemudian dibilas dengan air
mengalir dan dicuci dengan litium karbonat selama 15-30 detik, dibilas kembali
dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan pemberian eosin selama 2 menit.
Sediaan yang telah terwarnai dimasukan ke dalam alkohol 90 % dan alkohol
absolut I masing-masing sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2
menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit dan dikeringkan.
Sediaan yang telah kering ditetesi dengan perekat entellan secukupnya kemudian
ditutup dengan gelas penutup (cover glass).
Pengamatan Preparat Histopatologi
Pengamatan dilakukan terhadap sel-sel organ testis dengan menggunakan
mikroskop cahaya pembesaran 40x lensa objektif dan dibuat foto mikroskopis
dengan luas pandang 20000 µm2 sebanyak 10 lapang pandang. Pegamatan
Pertama pada setiap foto dilakukan untuk mengetahui gambaran umum perubahan
HP yang terjadi pada penelitian ini. Seperti adanya degenerasi, nekrosis dan
apoptosis pada sel-sel yang diamati. Pengamatan kedua dilakukan penghitungan
11
terhadap jumlah sel-sel pada setiap tahapan spermatogenesis (spermatogenia,
spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid). Penghitungan sel-sel
spermatogenik dilakukan dengan cara pengambilan foto 10 buah lapang pandang
dari tubulus seminiferus dengan menggunakan digital electronic eyepiece®
camera pada perbesaran 40× lensa objektif. Jumlah diferensiasi sel
spermatogenik, sel Sertoli, sel Leydig, dan luas lapang pandang dihitung dengan
menggunakan perangkat lunak Image J. Hasil penghitungan jumlah sel-sel
spermatogenik dikonversikan ke dalam luas daerah 20000 μm². Pengamatan
ketiga dilakukan penghitungan terhadap jumlah sel Sertoli dengan cara yang sama
seperti pada penghitungan jumlah sel-sel spermatogenik. Terakhir, dilakukan
penghitungan jumlah sel Leydig dengan cara yang sama seperti pada
penghitungan jumlah sel-sel spermatogenik. Hasil penghitungan jumlah sel-sel
Leydig dikonversikan ke dalam luas daerah 20000 μm².
Analisis Data
Data pengamatan histopatologi terhadap seluruh parameter penelitian dicari
rataan serta simpangan bakunya secara statistik dengan menggunakan Uji Sidik
Ragam (ANOVA) dalam perangkat lunak SAS (Statistical Analysis System)
produksi SAS Institute Inc. yang dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat
ada tidaknya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Analisis fitokimia sudah digunakan oleh sejumlah ahli dalam pemeriksaan
tanaman berkhasiat untuk pengobatan. Analisis ini dapat mengetahui beberapa
senyawa yang terkandung pada tanaman seperti alkaloid, flavonoid, tannin,
saponin, steroid, terpenoid, phenol, dan glikosida. Uji fitokimia ekstrak rosela
dilakukan di Laboratorium Uji Biofarmaka LPPM-IPB sesuai dengan prosedur
standar di Laboratorium tersebut.
Tabel 2 Uji fitokimia ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
No
1
2
3
4
5
6
7
Parameter Uji
Alkaloid Uji Wagner
Alkaloid Uji Meyer
Alkaloid Uji Dragendorf
Hidroquinon
Tanin
Flavonoid
Saponin
Steroid
Triterpenoid
Hasil
+
+
+
+
+
+
-
Teknik Analisis
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Hasil analisis fitokimia ekstrak rosela menunjukan adanya kandungan
flavonoid (antioksidan), alkaloid, tanin dan saponin, sedangkan hidroquinon,
steroid, dan triterpenoid tidak ditemukan. Flavonoid merupakan senyawa
antioksidan yang dapat melawan radikal bebas. Selain sebagai antioksidan,
12
flavonoid juga memiliki khasiat anti-viral, anti peradangan, penanganan
hipertensi, diabetes, reumatik, dan demam. Alkaloid dilaporkan memiliki manfaat
sebagai antimalaria, antimikroba, dan memiliki aktivitas sitotoksik (Olayede et al.
2010). Saponin dan tanin memiliki sifat analgetik, anti radang dan memiliki
kemampuan untuk mencegah kanker (Lai et al. 2010; Sur et al. 2001).
Flavonoid merupakan komponen utama yang terkandung dan terdistribusi
secara menyeluruh pada senyawa fenol tanaman. Flavonoid dan komponen fenol
lainnya dari tanaman secara khusus diperoleh dari daun, bunga, dan batang seperti
akar dan kulit kayu. Flavonoid memiliki aktifitas antioksidan dan penetralisir
radikal bebas, anti mutagenik dan anti karsinogenik (Meltzer dan Malterud 1997).
Suplementasi antioksidan berlebih akan mengakibatkan terjadinya mutagenik atau
aktifitas pro-oksidasi yang akan menghambat fungsi enzim-enzim penting pada
proses metabolisme hormon (Skibola dan Smith 2000).
Total Dosis Radiasi Ionisasi dari Sinar-X
Total dosis radiasi didapatkan dengan cara menghitung jumlah akumulasi
dosis radiasi dari mesin Sinar-X yang di ukur menggunakan dosimeter selama
perlakuan radiasi. Perlakuan selama 4 minggu menghasilkan total dosis radiasi 2.9
mSv, sedangkan perlakuan selama 8 minggu menghasilkan total dosis radiasi 5.3
mSv. Masa pemulihan (recovery) merupakan waktu dimana mencit tidak
mendapatkan perlakuan apapun, baik pencekokan maupun paparan radiasi. Masa
pemulihan dilakukan 4 minggu setelah waktu perlakuan radiasi 4 dan 8 minggu.
Gambaran Histopatologi Organ Testis
Jumlah radikal bebas dalam level yang rendah atau paparan radiasi ionisasi
dalam waktu yang relatif singkat cenderung menimbulkan apoptosis dibandingkan
nekrosis, sedangkan radikal bebas dalam level yang tinggi atau paparan radiasi
ionisasi dalam waktu yang relatif lama cenderung menimbulkan nekrosis dan
degenerasi (Kass et al. 2000). Perlakuan radiasi yang diberikan pada penelitian ini
termasuk dalam paparan radiasi ionisasi dengan jangka waktu yang relatif lama
dan cenderung menimbulkan terbentuknya senyawa radikal bebas yang tinggi,
sehingga kelainan yang ditimbulkan berupa degenerasi pada sel-sel testis yang
diamati. Degenerasi sel yang dapat terlihat pada penelitian ini ditandai dengan
adanya pembengkakan dan sitoplasma yang lebih pucat pada sel-sel yang diamati.
Perbedaan gambaran jumlah sel yang degenerasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan
Gambar 3.
13
Tabel 3 Perbedaan respon jumlah sel yang mengalami degenerasi pada setiap
kelompok perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
Lama perlakuan
Kelompok
Kontrol
Primer
Rosela
Rosela primer
4 minggu
1. –
1. ++
1. –
1. +
2. –
2. +
2. +
2. +
3. –
3. +
3. –
3. +
8 minggu
1. +
1. ++
1. –
1. +
2. –
2. +++
2. –
2. –
3. –
3. ++
3. –
3. +
Recovery 4
1. –
1. +
1. +
1. +
minggu
2. –
2. +
2. –
2. –
3. –
3. +
3. –
3. –
Recovery 8
1. –
1. +
1. –
1. –
minggu
2. –
2. ++
2. +
2. –
3. –
3. +
3. –
3. –
Keterangan : (-) tidak mengalami degenerasi sel; (+) mengalami sedikit degenerasi sel; (++)
mengalami banyak degenerasi sel; (+++) paling banyak mengalami degenerasi sel.
Berdasarkan tabel 3 terlihat degenerasi sel terjadi pada seluruh mencit
kelompok primer hal ini disebabkan paparan radiasi langsung yang diterima oleh
kelompok tersebut, penurunan jumlah sel yang mengalami degenerasi terjadi pada
kelompok rosela primer hal ini membuktikan suplementasi rosela yang bisa
mengurangi efek dari radiasi langsung yang diterima oleh kelompok tersebut.
Nekrosis merupakan kondisi dimana sel mengalami kematian dan bersifat
irreversible atau tidak dapat kembali menjadi sel normal. Umumnya sel
mengalami beberapa perubahan sebelum terjadi nekrosis. Tahapan awal nekrosis
yaitu terjadi pembengkakan pada sel tersebut dimana sitoplasma menjadi lebih
eosinofilik akibat pengikatan eosin yang berkaitan dengan denaturasi protein.
Tahap selanjutnya yaitu kemunculan vakuola atau lubang pada sitoplasma.
Ukuran vakuola bervariasi mulai dari yang kecil sampai besar dan begitu juga
dengan jumlahnya. Tahapan tersebut merupakan tahapan awal sebelum sel
mengalami kematian atau disebut juga dengan istilah onkosis. Berbeda dengan
apoptosis, kejadian nekrosis umumnya disertai dengan infiltrasi sel-sel radang.
(Haschek dan Rousseaux 1998).
Degenerasi hidropis merupakan respon sel terhadap gangguan endogen
salah satunya akibat radikal bebas dan gangguan eksogen yang dalam hal ini
adalah akibat radiasi ionisasi sinar-X. Menurut Haschek dan Rousseaux (1998),
degenerasi hidropis ditandai dengan perubahan pada sel berupa pembengkakan
dan perubahan warna sitoplasma menjadi lebih pucat, serta sitoplasma yang
bervakuola mulai dari ukuran kecil hingga besar. Perubahan tersebut merupakan
tahapan awal dari proses nekrosis yang disebut onkosis. Faktor lain terjadinya
onkosis dapat disebabkan oleh menurunnya jumlah darah merah dalam tubuh
yang menyebabkan penurunan asupan oksigen kemudian penurunan oxidative
phosphorylation dan penurunan jumlah ATP (Haschek dan Rousseaux 1998).
Sel-sel spermatogenik
Data tentang jumlah sel-sel yang diamati didapatkan dengan cara
menghitung jumlah sel spermatogenia, spermatosit primer, spermatosit skunder,
spermatid, spermatozoa, sel Sertoli, dan sel Leydig per satuan lapang pandang.
Pengambilan data dilakukan pada dosis 2.9 mSv, 5.3 mSv, pada masa pemulihan
14
(recovery1) setelah dosis 2.9 mSv dan pada masa pemulihan (recovery 2) setelah
pemberian dosis radiasi 5.3 mSv. Masa pemulihan masing-masing selama 4
minggu setelah perlakuan 4 mingggu dan 8 minggu. Perbedaan gambaran jumlah
sel-sel spermatogenik pada tiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.
Hasil pengamatan dan analisis statistik disajikan pada Tabel 4.
Gambar 2 Fotografi mikro organ testis pada kelompok perlakuan (A) rosela primer, (B) rosela,
(C) kontrol, (D) primer. sel-sel (1) sel spermatogonia, (2) sel spermatosit skunder (3)
sel Leydig, (4) sel spermatid, (5) spermatozoa, (6) sel Sertoli, (7) sel spermatosit
primer.
15
Tabel 4 Rataan jumlah sel-sel spermatogenik, sel Sertoli, dan sel Leydig pada
setiap kelompok perlakuan per satuan lapang pandang 20000 µm2
Sel yang diamati
Kontrol
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
sekunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
49.867±16.665a
47.067±1.474a
51.133±10.511a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
sekunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel sertoli
Sel Leydig
39.500±6.221a
49.400±8.591ab
59.333±15.786a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
skunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
37.967±8.069a
60.467±11.282a
59.067±3.842a
Spermatogenia
Spermatosit primer
Spermatosit
skunder
Spermatid
Spermatozoa
Sel Sertoli
Sel Leydig
Keterangan
:
88.430±11.528a
72.430±25.472a
10.530 ±2.608a
14.067±1.415a
Kelompok
Primer
Rosela primer
4 minggu
39.625±0.176a
36.667±10.119a
a
35.800±9.192
47.200±0.208a
a
49.400±5.091
50.700±12.204a
Rosela
31.767±4.858a
37.633±10.223a
45.967±5.750a
60.700±25.031a
75.900±4.821a
a
52.150±23.970
66.130±3.731a
a
9.900±2.687
10.167±1.285a
a
9.100±1.414
15.633±5.404a
8 minggu
34.633±12.915a
48.600±10.153a
b
45.300 ±5.109
64.467±13.261a
b
60.200±12.664a
34.400 ±6.085
69.370±15.215a
48.570±6.357a
7.233±0.251a
14.567±4.113a
65.670 ±10.471b 85.630 ±8.168ba
74.800 ±2.884a
42.600±11.518b
b
9.033 ±0.945
12.833± 1.331a
b
10.567± 2.400
21.033± 6.971a
Rec 4 minggu
35.333±8.977a
38.833±8.638a
b
40.367±7.356
51.767±3.917ab
c
37.000±8.260
55.967±8.792ab
73.130 ±9.375ab
57.667±7.276ab
9.700± 1.907b
14.967±2.898ab
82.533±6.525ab
71.500±6.750a
8.233±0.945a
15.667±5.372a
40.733±13.851a
54.533±4.392a
63.367±3.200a
57.833±5.173c
73.300±7.696b
b
38.667±9.505
72.500±9.865a
a
7.700±1.389
10.367±2.250a
a
18.933±13.940
15.200±0.200a
Rec 8 minggu
33.800±8.328a
38.567±10.131a
a
44.000±2.121
47.533±9.450a
b
39.667±1.823
41.633±16.839b
103.833±5.493a
54.530±0.602ba
9.1667±1.550ba
10.367±1.184a
49.467±8.158c
37.830±3.356b
6.9333±0.208b
11.333±2.466a
62.367±15.959bc
68.800±26.038a
10.000±1.473a
19.133±10.830a
76.000± 6.700b
68.030±4.221a
9.1667±0.873ab
15.033±0.907a
96.97 ±23.450a
71.733±15.955a
10.700±1.907ba
14.833±4.652ba
89.533±8.113a
59.200±4.371a
7.867±1.950a
17.033±6.451a
40.333± 9.154a
40.367 ±3.516b
41.867±5.472ab
33.433±2.402a
41.367±3.883b
43.800±3.160ab
38.833±6.030a
43.967±8.334a
47.233±2.702ab
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang berbeda menyatakan adanya perbedaan
yang nyata (p