Efek Radioprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus).

(1)

RADIODIAGNOSTIK BERULANG: STUDI DIFERENSIASI SEL

LEUKOSIT DARAH PERIFER MENCIT (

Mus musculus

)

BAMBANG TRIS SETIAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(Hibiscus Sabdariffa L.) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus Musculus) Di bawah bimbingan Drh. DENI NOVIANA, Ph.D and Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek radioprotektif ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang melalui studi differensiasi sel leukosit darah perifer pada mencit (Mus musculus). Mencit betina sebanyak 48 ekor dibagi kedalam 4 kelompok yaitu: K- (diberi NaCl fisiologis tanpa radiasi), K+ (diberi NaCl fisiologis dengan radiasi), R- (diberi Ekstrak rosela tanpa radiasi), R+ (diberi Ekstrak rosela dengan radiasi). Mencit diberi ekstrak rosela dengan dosis 50 mg/kg berat badan dan NaCl fisiologis dengan volume 0.2 ml/ekor/2 hari sebelum pemaparan radiasi. Radiasi ionisasi dilakukan dengan dosis 0,2 mSv/paparan/2 hari selama 4 & 8 minggu pada berkas sinar utama. Pengambilan darah perifer dilakukan pada setiap kelompok pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan), 2, 4, 6 & 8. Pengambilan data pemulihan selama 30 hari setelah minggu 4 dan 8 tanpa paparan radiasi. Hasil penelitian menunjukkan paparan radiasi dapat meningkatkan persentase netrofil band meningkat, netrofil adult, migrasi limfoblas, dan mieloblas serta menurunkan persentase monosit dan limfosit pada jaringan darah perifer. Pemberian ekstrak rosela dapat meningkatkan persentase limfosit dan monosit serta menurunkan persentase netrofil band, netrofil adult, limfoblas, dan mieloblas. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ekstrak tanaman rosela (Hibibscus sabdariffa L.) memiliki efek radioprotektif terhadap radiodiagnostik berulang pada sel leukosit darah perifer mencit (Mus musculus).


(3)

(Hibiscus sabdariffa L.) against Recurrent Radiodiagnostic Ionizing Radiation: Study of Leukocytes Differentiation in Mice (Mus musculus) Peripheral Blood. Under supervision: Drh. DENI NOVIANA, Ph.D and Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet.

The aim of this study was to determine the radioprotective effect of rosella extract (Hibiscus sabdariffa L.) against recurrent radiodiagnostic ionizing radiation: Study of leucocytes differentiation in mice (Mus musculus) peripheral blood. Fourty eight female mice were used in this study and divided into four groups: K- (treated with normal saline without radiation), K + (treated with normal saline with radiation), R- (treated with rosella extract without radiation), R + (treated with rosella extract with radiation). Mice were treated with dose of 50 mg per kg body weight of rosella extract and 0.2 ml normal saline per mice every two days prior to radiation exposure. Mice were exposed for ionizing radiation at dose 0.2 mSv per exposure along 4 and 8 weeks. Mice blood sample were collected with in each group at week 0 (before treatment), 2, 4, 6 and 8 week after treatment. Blood sample were taken also at week 4 and 8, without exposure of radiation (Recovery) for 30 days. Radiation exposure able to increase in the percentage of neutrophils band, neutrophils adult, migration of myeloblast, and lymphoblast as well as the decreasing the percentage of lymphocytes and monocytes at peripheral blood. On the other hand, rosella extract could decreasing in the percentage of neutrophils band, neutrophils adult, lymphoblast, and myeloblast, as well as the increasing percentage of monocytes and lymphocytes of mice peripheral blood. The result that of this research showed rosella extract (Hibiscus Sabdarifa L.) have radioprotective effect against repeated radiodiagnostic at peripheral blood leucocytes mice (Mus musculus).


(4)

RADIODIAGNOSTIK BERULANG: STUDI DIFERENSIASI SEL

LEUKOSIT DARAH PERIFER MENCIT (

Mus musculus

)

BAMBANG TRIS SETIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INTSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efek Radioprotektif Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Bambang Tris Setiawan NIM B04070147


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

Nama NRP

(Mus musculus).

: Bambang Tris Setiawan : B04070147

Disetujui.

Drh. Deni Noviana, Ph.D Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui.

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan


(8)

karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 ini adalah “Efek Radioprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus)”. Penyelesaian skripsi tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet selaku dosen pembimbing kedua atas segala bimbingan, kritik dan saran, motivasi dan kemudahan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.

2. Kedua Orang Tua Akhmad Akhlak, S.Pd dan Nuraini, A.Md, kakak saya Muhammad Kurniawan, kedua adik saya Afrinaldi dan Nadia Azalia dan Keluarga atas kasih sayang, do’a serta dukungan selama ini.

3. Drh. M. Fakhrul Ulum yang telah memberikan dukungan, nasehat dan masukan yang sangat membantu.

4. Rekan sesama penilitian, Abas, Endah, Griv, dan Windy atas bantuan dan kerja samanya dan kebersamaan selama penelitian.

5. Seluruh staf Bagian Bedah dan Radiologi atas bantuan, kerjasama dan dukungan selama penelitian ini.

6. Teman-teman GIANUZZI atas bantuan, kebersamaan dan dukungan serta persahabatan selama ini.

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan-kesalahan. Dengan penuh harapan dan keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini dan sebagai evaluasi bagi penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan menjadikan skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2011


(9)

Sri Indrapura, Riau pada tanggal 25 Januari 1990 dari ayah yang bernama Akhmad Akhlak, S.Pd dan ibu bernama Nur’aini, A.Md. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 004 Bungaraya dan lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bungaraya dan lulus pada tahun 2004, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 8 Siak Sri Indrapura dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) sebagai jurusan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Anatomi Veteriner I pada tahun 2009, menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) dan anggota Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ruminansia FKH IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan pertandingan olahraga futsal dan sepakbola yang ada di IPB.

Tugas akhir dalam perguruan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang berjudul “Efek Radoprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan drh. Deni Noviana, Ph.D dan Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………. i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Hipotes Awal ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Radiasi Ionisasi ... 3

Efek Radiasi Ionisasi ... 4

Proteksi Radiasi ... 5

Rosela ... 6

Mencit ... 9

Darah ... 10

Leukosit ... 12

Netrofil ... 14

Eosinofil ... 16

Basofil ... 17

Limfosit ... 18

Monosit ... 19

BAHAN DAN METODE ... 21

Tempat dan Waktu ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Persiapan dan Pemeliharaan Mencit ... 21

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela ... 21

Paparan Radiasi Sinar X... 22

Pengambilan Darah Perifer Mencit ... 22

Pembuatan Preparat Ulas Darah Perifer ... 22

Penghitungan dan Pemeriksaan Ulas Darah Perifer ... 22

Metode Penelitian ... 22

Desain Penelitian dan Hewan Coba ... 22

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela ... 24

Paparan Radiasi sinar-X ... 25

Pengambilan dan Pemeriksaan Darah Perifer ... 25

Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah Perifer ... 26

Analisis Data ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28


(11)

Monosit ... 31

Netrofil ... 34

Netrofil Band ... 34

Netrofil Adult ... 36

Basofil ... 40

Eosinofil ... 41

Limfoblas ... 42

Mieloblas ... 44

SIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela ... .. 7

2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram... .. 8

3 Jadwal penelitian ... .. 21

4 Kelompok perlakuan hewan dalam penelitian ... .. 23

5 Persentase limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang.……….... 28

6 Persentase monosit darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang ……….... 32

7 Persentase netrofil darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang……….… 35

8 Persentase limfoblas darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang………. 42

9 Persentase mieloblas darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang………... 45


(13)

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

1 Bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ……… 6

2 Mencit Penelitian (Mus musculus)………... 9

3 Skema hematopoeisis………... 11

4 Gambaran normal netrofi………... 15

5 Gambaran normal eosinofil………..16

6 Gambaran normal basofil………. 17

7 Gambaran normal limfosit………... 18

8 Gambaran normal monosit………... 19

9 Alur Penelitian………. 24

10 Pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis pada mencit………. 25

11 Pemaparan radiasi sinar-X………... 25

12 Pengambilan dan pengoleksian darah……….. 26

13 Cara pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah………... 27

14 Morfologi sel limfosit……….………. 28

15 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang……….. 29

16 Morfologi sel monosit……….. 31

17 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.………. 32

18 Morfologi sel netrofil band………..34

19 Persentase sel netrofil band darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang……… 36

20 Morfologi sel netrofil adult……….. 37

21 Persentase sel netrofil adult darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulangi………. 37

22 Morfologi sel basofil……… 40

23 Morfologi sel eosinofil...……….………. 41


(14)

25 Persentase sel limfoblas darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang…….………. 43 26 Morfologi sel mieloblas………... 45 27 Persentase sel mieloblas darah perifer pada setiap kelompok total


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pemberian obat pada masa aklimatisai……….... 57

2 Dosis Rosela……… 58


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sinar-X ditemukan oleh ahli fisika Jerman yang bernama Wilhelm Conrad Roentgen pada 8 November 1895. Radiasi sinar-X merupakan suatu gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek, sehingga sinar-X dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnosis dan terapi di bidang kedokteran nuklir (Suyatno 2008). Namun penggunaan sinar-X juga dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh karena energi yang dihasilkan oleh sinar-X merupakan energi radiasi ionisasi. Energi radiasi ionisasi tersebut berbahaya bagi kesehatan. Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia. Pada Desember 1989, Komite Akademi Sain Nasional melaporkan tentang efek biologi radiasi ionisasi, menyimpulkan bahwa kerusakan radiasi dapat menginduksi kanker setelah paparan radiasi dengan dosis rendah (Thrall 2002). Di Indonesia penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-x dalam pengawasan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana 2008).

Radioprotektor dibutuhkan untuk menangkal radiasi. Radioprotektor yang ideal harus murah, tidak beracun dalam jangkauan dosis yang luas, penggunaan mudah (secara oral), cepat diserap, memiliki rentang dosis yang luas, dan dapat bekerja melalui beberapa mekanisme. Tanaman dan produk alami memiliki semua sifat yang ideal sebagai radioprotektor. Produk dari alam biasanya tidak beracun, relatif murah, bisa oral dan bisa melalui beberapa mekanisme karena adanya banyak bahan kimia (Jagetia 2007). Salah satu contoh tanaman dan produk alami

tersebut adalah rosela. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan

tamanan dari genus hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan sebutan rosela dan di Malaysia disebut dengan Asam Paya atau Asam Susur. Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan oleh Khosravi et al. (2009). Penggunaan ekstrak tanaman rosela sebagai obat alternatif untuk berbagai penyakit telah dilaporkan


(17)

juga oleh Wang et al. (2000), Mardiah & Rahayu (2009), Odigie et al. (2003), dan Olaleye (2007).

Rosela dilaporkan mengandung antioksidan yang tinggi (Widyanto dan Nelistya 2009). Antioksidan efektif dalam mencegah efek yang ditimbulkan oleh radiasi sinar-X dan pemulihan sel hematopoeietik akibat radiasi (Wambi et al. 2008), namun belum dilakukan penelitian tentang potensi rosela terhadap pemulihan sel darah putih akibat radiasi. Sel darah putih merupakan sel pertahanan pertama dalam merespon adanya benda asing atau suatu kerusakan pada tubuh (Thrall 2004). Oleh karena itu, darah dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui efektivitas ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam menghindari efek radiasi ionisasi sinar-X.

Hipotesa Awal

H0= Ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dapat melindungi sel leukosit dari efek radiasi.

H1= Ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) tidak dapat melindungi sel leukosit dari efek radiasi.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi radioprotektif ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik melalui studi diferensiasi sel leukosit darah perifer pada mencit (Mus musculus).

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L) sebagai radioprotektif terhadap radiodiagnostik sel leukosit darah perifer mencit (Mus musculus).


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Radiasi Ionisasi

Radiologi merupakan ilmu diagnostik dalam dunia kedokteran. Radiologi memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall 2002; McCurnin dan Bassert 2006). Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnet. Energi sinar-X relatif besar sehingga memiliki daya tembus yang tinggi. Sinar-X tebagi atas dua bentuk yaitu sinar-X karakteristik dan

sinar-X Brehmsstrahlung (Ulum & Noviana 2008). Panjang sinar-X 10-0.01 nm,

frekuensi 30 petahertz – 30 exahertz (30 x 1015 Hz _ 30 x 1018 Hz) dan memiliki

energi 120 eV – 120 KeV. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultraviolet (Thrall 2002).

Proses terbentuknya sinar-X diawali dengan adanya pemberian arus pada kumparan filamen pada tabung sinar-X sehingga akan terbentuk awan elektron. Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-X karakteristik dan

sinar-X Brehmsstrahlung. Sinar-X yang dihasilkan akan keluar dan jika

berinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah efek foto listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Radiasi ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (Swamardika 2009).

Sinar-X dapat menembus bahan dengan daya tembus sangat besar dan digunakan dalam radiografi. Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau sumber zat, maka berkas tersebut akan bertebaran kesegala jurusan, menimbulkan radiasi sekunder pada zat yang dilaluinya. Sinar-X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai dengan berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut. Sinar-X apabila mengenai bahan/zat akan menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan atau zat tersebut. Sinar-X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologik pada


(19)

jaringan. Perubahan tersebut dapat berupa aksi langsung yang akan menimbulkan kerusakan pada makromolekul biologik (DNA, RNA, protein dan enzim) dan aksi tidak langsung (melalui DNA) yang berakibat pada keturunan (Sulaeman 2003).

Efek Radiasi Ionisasi

Penggunaan radiasi sinar-X diatur dan diawasi sama halnya seperti penggunaan radiasi pengion di bidang lain seperti industri atau penelitian. Peraturan pengawasan hanya difokuskan pada keselamatan dosis pada pasien. Rekomendasi untuk dosis pasien diatur melalui International Atomic Energy Agency (IAIE) Basic Safety Standart 115 tahun 1996 (Sinaga 2006).

Penggunaan sinar-X juga memiliki nilai negatif secara biologis. Efek biologis berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang terpapar, sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar radiasi. Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan berupa efek stokastik dan deterministik. Efek stokastik adalah peluang efek akibat paparan sinar-X yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas ambang dosis sedangkan efek deterministik merupakan efek yang langsung terjadi apabila paparan sinar-X melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Ulum dan Noviana 2008).

Ionisasi sinar-X membuat sinar-X berbahaya. Ionisasi terjadi ketika sebuah poton mengeluarkan suatu elektron dari atom, dengan demikian menimbulkan pasangan ion yang teridiri dari beban negatif elektron dan beban positif atom. Setelah ionisasi terjadi sifat fisik dan fungsi dari molekul berisi ionisasi atom yang berubah. Karena DNA melibatkan semua proses sel metabolik dan kologenik, sebuah ionisasi bisa terjadi pada DNA dan menghasilkan perubahan biologi. Dengan kata lain, sebuah luka dinduksi pada satu sel DNA dapat mempengaruhi banyak sel bagi generasi berikutnya. Ionisasi pada DNA dapat meningkatkan (1) kecepatan mutasi, (2) kecepatan dari aborsi atau kelainan fetus, (3) kerentanan suatu penyakit dan memperpendek masa hidup, (4) resiko kanker, dan (5) resiko katarak (Thrall 2002).

Sinar-X dapat memproduksi ionisasi elektron pada suatu jaringan. Karena jaringan adalah 70% air, ionisasi pada molekul air menyebabkan pembentukan


(20)

dari radikal bebas kimia aktif. Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun molekul yang memiliki electron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Radikal bebas ini dilaporkan paling banyak merusak suatu jaringan. Persentase kecil dari sinar-X berinteraksi secara langsung dengan DNA, menghasilkan berbagai potensi perubahan, seperti sebagai dasar kerusakan nukleutida, kerusakan helai DNA, dan hubungan silang DNA. Efek ini bisa menjadi minimal apabila diperbaiki oleh enzim dengan cepat atau bisa menyebabkan kerusakan yang mematikan pada sel (Thrall 2002).

Radiasi juga diketahui menginduksi stress oksidasi melalui pembentukan radikal bebas, menyebabkan ketidakseimbangan pro-oksidan dan antioksidan di dalam sel, dan mencapai puncak pada sel mati (Katz et al. 1996 & Kaur et al. 2000). Sejumlah sel memberikan respon terhadap radiasi dosis rendah dengan perubahan pada ekspresi gen, meskipun jika radiasi tidak terdeposit pada sel tersebut (Alatas 2006). Gelombang elektromagnetik memiliki energi yang sangat tinggi, seperti sinar gamma atau sinar-X, disebut juga radiasi ionisasi karena mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui.

Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia (Swamardika 2009). Efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada usus (Grudzinski 2000), leukemia (Alatas dan Lusiyanti 2003), mengakibatkan kanker (Cohen 2002), kerusakan pada sel darah putih perifer (Price dan Wilson 2005), menyebabkan leukemia (Yoshinaga et al. 2005) dan menyebabkan mutasi, aberasi kromosom, inaktivasi sel dan efek seluler lainnya (Lusiyanti dan Syaifudin 2007).

Proteksi Radiasi

Keselamatan radiasi (Radioprotektif) adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, dan paramedis), anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Syarat proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-X sebagai sarana penunjang diagnosa radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1) justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi. Keselamatan pasien dilakukan dengan meminimalisasi


(21)

dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan teknik radiografi dengan memanfaatkan kVp tinggi (Ulum dan Noviana 2008).

Keselamatan operator, dokter hewan terhadap paparan radiasi dilakukan dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-X, menggunakan sarana proteksi radiasi seperti, apron Pb, sarung tangan Pb, kaca mata Pb, pelindung tiroid Pb, alat ukur radiasi dan mempersingkat waktu radiasi. Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan. Ruangan dilapisi dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap sinar-X yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum dan Noviana 2008).

Rosela (Hibiscus sabdariffa L)

Genus Hibiscus (Malvaceae) terdiri dari 275 spesies pada daerah tropis dan subtropis. Di daerah malaysia ditemukan 43 spesies (Dasuki 2001). Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Merupakan tanaman tropis, banyak dibudidayakan di Thailand dan dikenal sebagai Krachiap Daeng. Rosela menghasilkan calyxes berwarna merah yang dapat digunakan untuk membuat selai warna merah yang cemerlang, jeli, dan jus (Hirunpanish et al. 2006). Sejak awal 1970an, rosela telah menerima banyak perhatian besar sebagai potensi sumber pewarna makanan alami, obat-obatan, dan kosmetik (Mazza dan Miniati 1993).

Gambar 1 bunga rosela (Anonim 2009)

Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya populer sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin dalam bunga rosela


(22)

cukup lengkap, yaitu vitamin A, C, D, B1, dan B2. Bahkan kandungan vitamin C-nya/asam askorbat diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2,5 kali dari jambu biji. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan penting. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada kumis kucing (Widyanto dan Nelistya 2009).

Sistem Taksonomi Rosela (Hibiscus sabdariffa L) (Widyanto dan Nelista 2009): Divisi Subdivisi Kelas Ordo Family Genus Spesies : : : : : : : Spermatophyta Angiospermae Dicotiledoniae Malvales Malvaceae Hibiscus

Hibiscus sabdariffa L

Berikut kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela segar dapat dilihat di dalam tabel berikut:

Tabel 1 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela

Nama Senyawa Jumlah

Campuran asam sitrat dan asam malat

Antosianin yaitu gossipetin (hydroxyflavone) dan hibiscin Vitamin C

Protein; -Berat segar -Berat kering 13% 2% 0,004-0,005% 6,7% 7,9% (Sumber : Maryani & Kristiana 2005)

Hasil uji phytokimia tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak

mengandung antosianin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak akar mengandung flavonoid seperti gossypetin, hibiscetine, dan sabdaretine (Chau et al. 2000 & Pau et al. 2002). Flavanoid diakui secara luas sebagai antioksidan yang memiliki beberapa khasiat kesehatan pada diet manusia (Koes et al. 1994 &

Pourcel et al. 2007). Akan tetapi fungsi antioksidan flavanoid dalam tanaman


(23)

Berikut kandungan gizi dalam 100 g kelopak rosela segar dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 2Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram

Nama Senyawa Jumlah

Kalori Air Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor Besi Betakarotein Vitamin C Tiamin Riboflavin Niasin Sulfida Nitrogen 44 kal 86,2 % 1,6 g 0,1 g 11,1 g 2,5 g 1,0 g 160 mg 60 mg 3,8 mg 285 mg 14 mg 0,04 mg 0,6 mg 0,5 mg - - (Sumber : Maryani dan Kristiana 2005)

Rosela mengandung pigmen yang telah diidentifikasi sebagai antosianin, yaitu cyanidine-3-glukosida dan delphidine-3-glukosida yang penting dalam pembuatan makanan (Fakaye et al. 2009, Chau et al 2000, & Pau et al. 2002). Penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak kasar, dan beberapa dari konstituen, khususnya antosianin dan asam protocathechuic memiliki aktivitas antioksidan yang kuat secara in vitro dan in vivo (Tanaka et al. 1994, Tanaka et al. 1995, Tsuda et al. 1996, Tseng et al. 1997, & Wang et al. 2000). Aktivitas antihipertensi minuman yang dibuat dari kelopak kering tanaman rosela telah ditetapkan pada hewan model dan manusia (Fakaye et al. 2009).

Antosianin rosela dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi kesehatan sebagai sumber antioksidan yang baik. Sianin adalah turunan dari struktur kation flavium dasar yang memiliki kekurangan elektron inti, mereka umumnya sangat reaktif. Laju kerusakan antosianin tergantung pada banyak faktor seperti suhu pH, asam askorbat, dan oksigen. Teknik ekstraksi untuk antosianin rosela juga memainkan peran utama dalam aktivitas antioksidan ekstrak (Fakaye et al. 2009).

Bunga rosela berkhasiat sebagai penurun kadar gula darah, anti bakteri, anti virus, menghambat pertumbuhan kanker, asam urat, kolesterol, hipertensi,


(24)

dan mampu menurunkan berat badan (Mardiah dan Rahayu 2009). Kelopak rosela mengandung antioksidan yang dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas penyebab penyakit kronis, seperti kerusakan ginjal, diabetes, jantung koroner, dan kanker darah. Antioksidan juga dapat mencegah terjadinya penuaan dini. Rosela memiliki kandungan antioksidan lebih tinggi pada daun dari bunga (wong et al. 2009). Salah satu zat aktif yang berperan sebagai fungsi di atas adalah antosianin. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang memberikan warna merah pada bunga rosela dan berperan mencegah kerusakan sel akibat paparan sinar ultra violet berlebih. Salah satu khasiatnya adalah dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, bahkan mematikan sel kanker tersebut (Widyanto dan Nelistya 2009).

Mencit

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini yaitu mencit. Mencit (Mus musculus) telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke-19. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran kecil, harga relatif murah, dan mudah dipelihara (Sirois dan Margi 2005).

Gambar 2 mencit penelitian (Isroi 2009)

Berat badan mencit berbeda-beda tiap individu. Umumnya berat badan umur mencit 4 minggu berkisar antara 18-20 gram. Mencit liar dewasa bisa mencapai 30-40 gram pada umur 6 bulan atau lebih (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Mencit laboratorium biasanya mengkonsumsi pakan yang disediakan dalam bentuk pelet dan merupakan hewan yang banyak beraktivitas pada malam hari. Hal yang paling penting adalah mencit laboratorium tidak pernah tanpa air minum, harus konstan disuplai minuman terus-menerus. Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya, dan aktif pada malam


(25)

hari. Mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobot lebih ringan dibanding mencit yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang, kadang-kadang mempunyai sifat kanibal. Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25° C.

Sistem Taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Anonim 2011): Kingdom Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Subordo Family Subfamily Genus Spesies : : : : : : : : : : : Animalia Chordata Vertebrata Mamalia Theria Rodensia Sciurognathi Muridae Murinae Mus Mus musculus Darah

Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri (Price dan Wilson 2005). Darah adalah jaringan pengikat dengan sel-selnya terendam dalam cairan matriks yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Darah mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam sirkulasi (Frandson 1992). Darah merupakan

media transport O2, CO2 dan bahan metabolisme sel, mengatur keseimbangan

asam basa, pengontrol suhu, dan pengatur hormon serta sel imunitas (Ontoseno 2006).

Unsur darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi

sebagai transpor atau pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit


(26)

mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan pembentukan optimal yang konsisten untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan ini disebut hematopoeisis (pembentukan dan pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebre, pelvis, sternum, iga-iga, dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan meningkat, misalnya pada pendarahan atau penghancuran sel darah, maka dapat terjadi pembentukan sel darah di sepanjang tulang panjang (Price dan Wilson 2005).

Gambar 3 skema hematopoiesis (Themi et al. 2004)

Proses hematopoiesis terbagi menjadi dua stem sel, yaitu stem sel limfoid dan mieloid. Stem sel limfoid awalnya terkait dengan timus, dimana dua jenis limfosit, limfosit-B, dan limfosit-T dapat berkembang. Masing-masing dari sel limfosit memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam sistem kekebalan. Limfosit B dan T tidak diciptakan bersamaan dari sel prekursor induk limfoid. Sel limfosit yang terbentuk akan berada di dalam darah perifer untuk menjalankan fungsinya sebagai penghasil antibodi dan memakan sel yang terinfeksi virus serta mengatur sel leukosit lainnya (Wellman 2010).

Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel mieloid sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda, yaitu garis


(27)

keturunan (sel darah merah) eritrosit, trombosit, monosit, eosinofil, basofil, dan netrofil/makrofag. Proses terbentuknya eritrosit, trombosit, monosit, netrofil, eosinofil, dan basofil sebelum menjadi matur (dewasa) terjadi di dalam sumsum tulang seperti pada gambar 3. Tahap akhir dari garis keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal. Sumsum tulang dan timus merupakan tempat pembentukan sel-sel darah. Apabila kebutuhan sel darah dalam tubuh berkurang, timus dan sumsum tulang akan memproduksi sel-sel darah tersebut

(Wellman 2010).  

Pada umumnya, volume darah adalah 6-8% dari berat badan (Meyer dan Harvey 2004). Volume darah tubuh hewan bervariasi jumlahnya tergantung pada umur, keadaan kesehatan dan makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui, faktor lingkungan, dan derajat aktivitas. Secara umum, jumlah maksimum darah yang diambil adalah 1% dari berat tubuh hewan (Thrall & Campbell 2004).

Leukosit

Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam sistem imun di dalam tubuh (Cunningham 2002). Leukosit dalam sirkulasi darah dan yang bermigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, tempat eritrosit dan trombosit juga dihasilkan secara terus-menerus. Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan berbagai jenis leukosit imatur dan kumpulan leukosit dewasa disimpan di dalam sumsum tulang sebagai cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit dalam darah perifer sangat terbatas tetapi berubah “sesuai kebutuhan” jika timbul proses peradangan. Artinya, dengan dimulainya respon peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pelepasan satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah (Price dan Wilson 2005).

Menurut Colville dan Bassert (2002), leukosit berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing. Selain fungsi di atas, leukosit juga mempunyai fungsi lain dalam proses fagositosis yaitu memakan benda-benda asing yang masuk ke dalam aliran darah dengan gerakan amoeboid dan dapat berenang diantara sel-sel jaringan (Tizard 1987).

Dalam keadaan normal, daraf perifer mencit mengandung leukosit dengan


(28)

dalam darah meningkat melebihi kisaran normal, dikatakan hewan mengalami leukositosis, sedangkan apabila terjadi penurunan jumlah leukosit dalam darah di bawah kisaran normal, hewan dikatakan mengalami leukopenia (Vansteenhouse 2006).

MenurutGunanti (2001), peningkatan jumlah leukosit dari kisaran normal

(Leukositosis) terjadi baik secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologi terjadi akibat adanya peningkatan jumlah sel netrofil dan atau sel limfosit di dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan secara patologis, peningkatan jumlah leuksoit total di dalam sirkulasi dapat disebabkan karena limfosit aktif melawan mikroorganisme.

Leukopenia dapat disebabkan oleh penyakit tifoid dan malaria, bahan kimia dan fisika, hipersplenisme, dan anemia hipoplastik dan anaplastik (Sulaeman 2003). Penurunan jumlah leukosit dari kisaran normal (leukopenia) menyebabkan pertahanan tubuh menjadi turun sehingga menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi yang dapat mengancam kehidupan. Gejala yang biasa dijumpai antara lain demam, kelemahan, sepsis, dan bahkan kematian (Lukmasari 2006). Masa hidup sel darah putih pada hewan domestik sangat bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan untuk monosit, bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson 1992).

Menurut Thrall (2004) leukosit terdiri dari dua kelompok, yaitu: (1) leukosit granulosit yang terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil, dan (2) leukosit yang agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit. Jumlah dan ditribusi masing-masing jenis sel darah putih atau differensial sel darah putih menjadi faktor pendukung yang penting dalam mendiagnosa suatu penyakit (Cunningham 2002). Fungsi pertama sel leukosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun (Saputri et al. 2010).

Radiasi sinar-X yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan sel/penyakit yang diikuti dengan abnormalitas pada morfologi darah. Radiasi dapat menyebabkan produksi sel darah yang tidak terkontrol dengan termutasinya sel darah putih (Guyton dan Hall 1997). Contoh kerusakan atau penyakit dengan


(29)

abnormalitas morfologi darah yang ditimbulkan akibat radiasi adalah leukemia (Salomon et al. 2009).

Limfoblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel limfosit. Mieloblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel granulosit. Mieloblas dan limfoblas disimpan di dalam pool mitosis sumsum tulang belakang. Mieloblas merupakan cikal bakal terbentuknya sel leukosit granulosit (Raskin et al. 2004). Limfoblas dan mieloblas tidak ditemukan dalam sirkulasi darah normal. Limfoblas dan mieloblas ditemukan di sumsum tulang belakang. Secara mikroskopis, limfoblas dapat dibedakan dari mieloblas dengan memiliki nukleolus sedikit dibandingkan mieloblas dan inti kromatin lebih kental, dan tidak memiliki butiran sitoplasma. Menurut Vansteenhouse (2006), adanya sel limfoblas dan mieloblas di dalam sel darah perifer normal menandakan terjadinya leukimia.

Netrofil (heterofil)

Netrofil merupakan sel yang bergerak aktif dan dalam waktu singkat dapat berkumpul di tempat yang diperlukan. Netrofil merupakan garis pertama dari pertahanan melawan dan menyerbu mikroorganisme, trauma jaringan, dan banyak faktor yang menyebabkan peradangan (Teske 2010). Netrofil berpartisipasi pada respon peradangan dengan cara atraksi kimia ke jaringan tempat terjadinya peradangan dan fagosit organisme dan material asing yang lain. Setelah fagositosis, granula lisosomal bergabung dengan fagosom untuk membunuh organisme dan kemudian mendegradasi material dengan enzim pencernaan (Thrall 2004).

Netrofil merupakan sel darah putih yang memiliki granul-granul pada sitoplasmanya. Granul-granul netrofil berkontribusi sebagai garis pertama pertahanan inang dalam melawan bakteri, jamur, protozoa, dan beberapa virus (Teske 2010). Netrofil memiliki granula yang tidak berwarna, mempunyai inti sel yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak berbintik-bintik halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60 -70 % (Handayani 2008). Netrofil dewasa memiliki inti berbentuk kacang. Netrofil band memiliki inti berbentuk tapal kuda, inti halus, sisi sejajar, dan tidak ada penyempitan dalam


(30)

membran inti. Netrofil band terdapat dalam darah yang normal dalam konsentrasi kecil. Netrofil segmen memiliki inti berbentuk tapal kuda dan mengalami penyempitan membran inti yang melipat kedalam berbagai bentuk (Thrall 2004).

Gambar 4 Gambaran normal netrofil (Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010).

Netrofil dalam sirkulasi dibagi antara kelompok sirkulasi dan kelompok marginal (sel-sel darah putih yang terletak disepanjang dinding kapiler). Dengan gerakan amuba, netrofil bergerak dengan cara diapedesis dari kelompok marginal masuk ke dalam jaringan dan membran mukosa. Netrofil merupakan sistem pertahanan tubuh primer melawan infeksi bakteri, metode pertahananya adalah fagositosis. Kelompok granulosit konstan dipertahankan, dipengaruhi oleh interaksi sel-ke-sel, dan hormon pertumbuhan serta sitokin yang dilepaskan dari sel inflamasi (Price dan Wilson 2005).

Menurut Thrall (2004), jumlah neutrofil band sekitar 0-0.2 % dari total leukosit darah dan jumlah netrofil dewasa sekitar 15-20 % dari total leukosit darah. Netrofilia merupakan peningkatan jumlah netrofil dari kisaran normal. Netrofilia dapat diakibatkan oleh peradangan, stress, respon kortikosteroid, latihan yang berlebih, dan respon epinefrin (Raskin et al. 2004). Secara umum, kejadian netropenia didahului dengan terjadinya penurunan jumlah leukosit dari kisaran normal yang bersirkulasi. Netropenia dapat diakibatkan oleh stress dan peradangan akut (Meyer et al. 1992 dalam maulida (2008) & Vansteenhouse 2006). Sedangkan menurut Raskin (2000), netropenia dapat terjadi karena faktor kongenital, penyakit infeksius, keracunan, termediasi oleh imun, dan irradiasi. Neutrofilia dapat pula terjadi karena proses fisiologis tubuh, induksi kortikosteroid, peradangan, dan neoplasia.

Netrofil biasanya menghabiskan waktu 10 jam di dalam sistem vaskular sebelum beremigrasi dari pembuluh darah ke jaringan. Emigrasi adalah peristiwa


(31)

acak dan searah dimana sel-sel tidak kembali ke sirkulasi lagi. Netrofil bermigrasi ke jaringan dalam menanggapi bakteri dan rangsangan lainnya (Raskin et al. 2004) dan Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010. Dalam peradangan, netrofil yang berlebih dalam jaringan mungkin tampak sebagai eksudat atau nanah (Raskin et al. 2004).

Eosinofil

Eosinofil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus sitoplasma bergranula kasar, refraktil, dan berwarna merah bila diwarnai dengan zat warna asam, seperti eosin (Campbell 2004). Menurut Thrall (2004) eosinofil jarang terlihat pada darah normal. Eosinofil memiliki granula bewarna merah dengan pewarnaan asam, ukuran, dan bentuknya hamper sama dengan netrofil, tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 24% (Handayani 2008). Eosinofil terdiri dari protein yang menyelimuti dan merusak membran parasit serta memiliki respon untuk membantu sebuah mekanisme pertahanan menyerang infestasi larva parasit. Eosinofil memiliki inti bergelambir dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar (Thrall 2004).

Gambar 5 Gambaran normal eosinofil (Hoffbrand 2006).

Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan mengalami kemotaksis. Eosinofil sering kali diproduksi dalam jumlah yang besar pada penderita infeksi parasit, dan eosinofil ini bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit. Eosinofil memfagosit parasit dengan cara: (1) melepaskan enzim hidrolitik dari granulanya, yang dimodifikasi lisosom; (2) dengan melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif yang khususnya bersifat mematikan; dan (3) dengan melepaskan suatu polipeptida yang sangat larvasidal, yaitu yang disebut protein dasar utama dari granulanya (Guyton dan Hall 1997).


(32)

Jumlah eosinofil pada mencit sekitar 0-3% dari total jumlah leukosit (Thrall 2004). Eosinofilia pada hewan domestik merupakan peningkatan jumlah eosinofil dalam darah dari kisaran normal. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi parasit, reaksi alergi, dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun (Frandson 1992). Penurunan jumlah eosinofil dari kisaran normal atau eosinopenia dapat disebabkan oleh stress dan respon dari kortikosteroid (Raskin et al. 2004)

Basofil

Basofil merupakan granulosit yang sangat jarang, jumlahnya sangat rendah dalam aliran darah yaitu 0.5% (Teske 2010). Basofil memiliki granula bewarna biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam protoplasmanya terdapat granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5% di sumsum merah (Handayani 2008).

Gambar 6 gambaran darah basofil (Themi et al. 2004)

Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Basofil membawa heparin, faktor-faktor pengaktifan histamine, dan trombosit dalam granula-granulanya untuk menimbulkan peradangan pada jaringan, fungsi sebenarnya tidak diketahui dengan pasti (Price dan Wilson 2005). Membran sitoplasma basofil dikelilingi immunoglobulin E seperti sel mast. Basofil dan sel mast sangat berperan dalam berbagai macam reaksi alergi. Konsentrasi basofil pada sirkulasi sangat rendah. Jumlah basofil mencit sekitar 0-0.2% dari total leukosit darah (Thrall 2004). Basofilia merupakan peningkatan jumlah basofil dari kisaran normal dalam sirkulasi. Basofilia pada hewan domestik dapat terjadi karena hipotirodismus


(33)

a d p L p l d a S T d i m m i a k m e j d ataupun sun dalam sirkul pada stadium Limfosit Limf paling tingg limfosit ber dengan 15 adalah 48.5-Limf Sistem imun T. Sel B ber dikenal den imunologik merupakan merupakan imunoglobu antigen (Tes Ga Limf kelenjar lim mana saja d epitel dindi jaringan lim dalam darah

ntikan estrog lasi darah at m kebuntinga

fosit merupa i dalam men rkembang d

mikron (Ha -83.9% dari t fosit ada 2 m n tubuh terdi rtanggung ja ngan nama

yang dipera imunoglonu sel khusus lin ke dalam ske 2010).

ambar 7 Gamba

fosit terutam mfe, limpa, t

dalam tubuh, ing usus. L mfoid, kecua h (Guyton gen. Penuru tau basopeni an (Frandson akan merupa nyusun sel d dalam jaring andayani 20 total leukosi macam, yaitu

iri atas dua k awab atas sin imunoglobu antarai oleh I ulin yang d turunan s m plasma seb

aran normal Li

ma diproduk timus, tonsi terutama da Limfosit seb

ali pada sed dan Hall

unan jumlah ia dapat terj n 1992).

akan sel dara darah putih a

gan limfe. U 008). Jumlah

it dalam leuk u limfosit T komponen u ntesis antibo ulin. Sel T Imunoglobu disintesis di el B yang bagai respon

imfosit (Hoffbr

ksi dalam b il, dan berb alam sumsum bagian besar dikit limfosi

1997). Lim

h sel basofi adi karena s

ah putih yan atau leukosit Ukuran berv h limfosit m kosit darah (

dan limfosi utama, yaitu odi humoral T terlibat da

ulin plasma. i dalam sel mensintesi terhadap pa

rand (2006) da

berbagai org bagai kanton m tulang da r disimpan it yang seca mfosit mema

il dari kisar suntikan kor ng memiliki (O’Malley variasi dari mencit dalam (Thrall 2004) it B (Handay limfosit B d yang bersirk alam berba

Imunoglobu l plasma. S is dan men ajanan berba

alam Saputri et

gan limfoid, ng jaringan an plak peye

dalam berb ara tempore asuki sistem ran normal rtikosteroid presentase 2005). Sel 7 sampai m sirkulasi ). yani 2008). dan limfosit kulasi yang gai proses ulin plasma Sel plasma nsekresikan agai macam

t al. 2010).

, termasuk limfoid di er di bawah

bagai area er diangkut m sirkulasi


(34)

bersama dengan aliran limfe dan masuk ke jaringan dengan cara diapedesis (Teske 2010). sel limfosit merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi, dosis tunggal 0,2 Gy sudah dapat menimbulkan aberasi kromosom yang dapat dideteksi (Lusiyanti dan Syaifudin 2007).

Peningkatan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfositosis) dapat terjadi karena induksi epinefrin, penyakit infeksius, dan neoplasia, sedangkan penurunan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfopenia) dapat terjadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, congenital, dan mastositosis (mastositemia) (Raskin 2000).

Monosit

Monosit memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit, protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan. Inti selnya berbentuk bulat atau panjang. Monosit adalah

leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 μm dan berjumlah 3-9% dari seluruh sel

darah putih. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses pematangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan. Fungsinya sebagai fagosit (Handayani 2008). Jumlah monosit pada mencit adalah sekitar 0-3% dari total leukosit darah (Thrall 2004).

Gambar 8 Gambaran normal monosit (Handayani 2008).

Monosit berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin 1 dan zat farmakologi aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Monosit juga merupakan makrofag muda yang beredar dalam darah dan berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi organisme, sel yang nekrotik dan reruntuhan sel. Monosit


(35)

normal berada di dalam darah sekitar 40 jam dan dapat hidup di jaringan dalam beberapa bulan. Monosit normal ditemukan di bagian yang spesifik di beberapa organ (Tizard 1987).

Sebelum menjadi monosit, sel ini terlebih dahulu menjadi monoblas. Monoblas biasanya ditemukan di sumsum tulang dan tidak muncul dalam darah perifer yang normal. Mereka tumbuh menjadi monosit yang pada gilirannya berkembang menjadi makrofag (Thrall 2004). Monosit juga memiliki kemampuan untuk menelan dan mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal, dan sel-sel debris (Campbell 2004).

Monositosis adalah jumlah monosit melebihi kisaran normal monosit dalam leukosit. Monositosis dapat terjadi karena infeksi bakteri kronis, penyakit protozoa, netropenia kronis, penyakit Hodgkin, serta leukemia miemonositik dan monositik (Sulaeman 2003). Monositopenia atau penurunan jumlah monosit dari kisaran normal dapat terjadi akibat induksi virus dan netropenia (Price dan Wilson 2005).


(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dengan mengambil tempat di Bagian Bedah dan Radiologi sebagai tempat pengambilan dan pemeriksaan darah serta pemaparan radiasi dan kandang hewan percobaan di fasilitas kandang/hewan coba Bagian Patologi sebagai tempat pemeliharaan mencit, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai Juni 2011.

Tabel 3 Jadwal penelitian

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Proposal √

2. Persiapan penelitian √

3. Pengadaan bahan dan ekstrak √

4. Pelaksanaan penelitian √ √ √ √

5. Penghitungan mikroskopis differensiasi leukosit sel darah

perifer √ √ √ √

6. Pengumpulan data √ √

7. Analisis data √

8. Laporan penelitian √

9. Publikasi Ilmiah √

Bahan dan Alat

Persiapan dan Pemeliharaan Mencit

Bahan yang diperlukan untuk persiapan dan pemeliharaan mencit adalah 48 ekor mencit jantan yang berumur sekitar 6-8 minggu dengan berat badan 20-25 g yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka IPB, pakan mencit komersil, serbuk kayu dan air minum ad libitum. Alat yang digunakan yaitu kandang plastik (30x20x15 cm) yang dilengkapi dengan tutup kawat, tempat pakan, tempat air minum mencit, alat penanda, dan alat cekok berupa stomatch tube.

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L)

Bahan yang diperlukan untuk pemberian ekstrak rosela adalah bunga rosela kering (simplisia), etanol 96%, ekstrak rosela, dan aquades untuk pengenceran, sedangkan alat yang diperlukan adalah syringe 1 cc dan alat cekok (stomach tube) dan kain untuk handling mencit.


(37)

Paparan Radiasi sinar-X

Bahan yang diperlukan untuk melakukan paparan radiasi sinar-X adalah mencit, sedangkan alat yang diperlukan adalah mesin radiodiagnostik portabel sinar-X (VR-1020, MA medical corp, Japan), apron Pb, pelindung mata, pelindung tiroid, dosimeter merk ALOKA CO.,LTD Tokyo Japan, dan kandang mencit.

Pengambilan Darah Perifer Mencit

Bahan yang diperlukan untuk pengambilan darah perifer mencit adalah kapas, alkohol 70%, ketamine, xylazine, reverzin (yohimbin), dan Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) 10%. Sedangkan alat yang diperlukan adalah mikrokapiler hematokrit, tabung efendorf, timbangan, syringe 1 cc, syringe 3 cc, dan syringe 5 cc.

Pembuatan Preparat Ulas Darah Perifer

Bahan yang diperlukan untuk pembuatan preparat ulas darah perifer adalah sampel darah, methanol, giemsa 10%, dan air kran yang mengalir. Sedangkan alat yang diperlukan adalah object glass.

Penghitungan dan Pemeriksaan Darah Perifer (Differensiasi Leukosit Sel Darah Perifer)

Bahan yang diperlukan untuk penghitungan morfologi jenis masing-masing sel leukosit adalah sampel darah, minyak imersi, xylol, dan kertas tisu. Sedangkan Alat yang diperlukan adalah mikroskop cahaya dan counter.

Metode Penelitian

Desain Penelitian dan Hewan Coba

Sebanyak 12 ekor mencit dalam setiap subkelompok dimasukkan ke dalam kandang plastik yang telah disediakan. Semua mencit diaklimatisasi untuk menyesuaikan kondisi laboratorium penelitian selama 2 minggu sebelum

penelitian dilaksanakan, yaitu mencit diberi anthelmintik (albendazole®) sediaan

5% dengan dosis 10 mg/kg peroral, antibiotik (clavamox®) 25 mg/kg berat badan


(38)

dan Medina 2007). Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial sesuai dengan kebutuhan harian mencit dan minum diberikan secara ad libitum air aqua.

Desain penelitian merupakan hasil modifikasi prosedur penelitian yang telah dilakukan oleh Fidan et al. (2008). Mencit dibagi menjadi 2 grup radiasi, yaitu; (1) Grup radiasi rendah yaitu pemaparan radiasi dilakukan setiap 2 hari sekali selama 4 minggu dan (2) Grup radiasi tinggi yaitu pemaparan radiasi dilakukan setiap 2 hari sekali selama 8 minggu. Setelah pemaparan radiasi rendah dan tinggi dilakukan recovery (pemulihan) selama 4 minggu dengan pemberian ekstrak rosela tanpa dilakukan paparan radiasi seperti pada tabel 4. Hewan coba dibagi dalam 4 kelompok perlakuan secara acak sebagai berikut:

1. Kelompok Kontrol (K-): mencit menerima perlakuan peroral 2 mL NaCl fisiologis setiap 2 hari sekali selama 4 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 8 minggu untuk mencit grup 2 (n=6).

2. Kelompok Primer (K+): Mencit menerima perlakuan peroral 2 mL NaCl fisiologis dan radiasi berkas sinar utama dosis 0,2 mSv setiap 2 hari sekali selama 4 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 8 minggu untuk mencit grup 2 (n=6) dengan waktu paparan + 1 detik.

3. Kelompok Rosela (R-): Mencit diberi ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali selama 8 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 12 minggu untuk mencit grup 2 (n=6).

4. Kelompok Rosela Primer (R+): Mencit diberi Ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral dan radiasi berkas utama dosis 0,2 mSv setiap 2 hari sekali selama 8 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 12 minggu untuk mencit grup 2 (n=6) dengan waktu paparan + 1 detik.

Tabel 4 Kelompok perlakuan hewan dalam penelitian

Kelompok N

Radiasi dosis rendah (2.9 mSv) Radiasi dosis tinggi (5.3 mSv) Ra minggu

ke-4

Ro minggu ke-8

Ra minggu ke-8

Ro minggu ke-12

K- 12 3 3 3 3

K+ 12 3 3 3 3

R- 12 3 3 3 3

R+ 12 3 3 3 3

Total 48 12 12 12 12

Keterangan: K- (Kontrol dengan pemberian NaCl fisiologis tanpa radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan radiasi); R- (Pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi); R+ (Pemberian rosela dengan radiasi); n (Jumlah mencit); Ra (Radiasi); Ro (Pemulihan selama 30 hari setelah radiasi dengan pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi).


(39)

P M m m k m P d d S g d s L ( s l Berik Pembuatan Pemb Maserasi ad memperoleh menggunaka kemudian d menguapkan Penelitian T di Laborator dilakukan u Sebelum dig gram ekstrak Men dan R+. Se secara manu Larutan ek (Akindahuns sebanyak 0.2 lambung. So

kut gambar y

n dan Pembe

buatan ekstr dalah prose h zak aktif an pelarut dievaporasi. n pelarut t Tanaman Oba

rium Biotek uji fitokimia

gunakan, ek k dalam 200 cit yang dit ebelum pem ual mulai d kstrak rosela si dan Olal 2 ml pada m onde lambun yang menjel Gamba erian Ekstra rak tanaman es perendam f dari simp etanol 96%

Evaporasi tanpa menj at dan Arom knologi (Bio a yang dila kstrak rosela

ml akuades terapi denga mberian ekstr

dari belakan a diberik eye 2003; A mencit kelom ng digunaka Pembuatan Pen Pembuata Penghitun Leuk

laskan alur p

ar 9 Alur Pene

ak Rosela (H rosela melip man simpli plisia terse %. Maserat merupakan adi kering. matik (Balittr

otek) di Fak akukan di a diencerkan

t.

an ekstrak ro rak rosela, ng telinga s kan dengan

Ali et al. 2 mpok K- dan an secara ha

n dan Persiapan rosela

Perlakuan

ngambilan Dara

an Preparat Ula

ngan Differens kosit Darah Per

penelitian:

litian

Hibiscus sab puti proses m sia menggu but. Proses yang telah

proses pem Maserasi ro) Bogor da kultas Perika

Pusat Stud n dengan ak

osela adalah mencit dipe sampai deng dosis 50 2005). Pemb

n K+ denga ati-hati agar n Ekstrak ah as Darah siasi Sel rifer

bdariffa L)

maserasi dan unakan pela s maserasi diperoleh mekatan de dilakukan an evaporasi anan IPB. S di Biofarma kuadest kom

h mencit kel egang terleb gan dorsal mg/kg be berian NaCl an mengguna larutan eks n evaporasi. arut untuk dilakukan dipisahkan engan cara di Badan i dilakukan elanjutnya, aka Bogor. mposisi 1,5 lompok R- bih dahulu punggung. erat badan l fisiologis akan sonde strak rosela


(40)

tidak masuk ke dalam saluran pernapasan. Pemberian ekstrak rosela dilakukan setiap dua hari sebelum diradiasi dengan sinar-X.

Gambar 10 pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis pada mencit.

Paparan Radiasi Sinar-X

Pemaparan radiasi ionisasi dosis rendah (2.9 mSv) dan tinggi (5.3 mSv) dilakukan dengan menggunakan mesin Roentgent dengan dosis 0,2 mSv/2 hari pada berkas sinar utama dengan pengaturan kVp 80, mAs 12, dan waktu paparan + 1 detik. Jarak sumber target (dasar kandang mencit) adalah 100 cm pada berkas sinar utama. Pemaparan dilakukan di ruang Roentgent pada setiap kelompok K+ dan R+ secara bergantian. Setiap kelompok mencit di letakkan di atas meja Roentgent dan akan dilakukan pemaparan oleh operator.

Gambar 11 pemaparan radiasi sinar-X

Pengambilan dan Pengoleksian Darah Perifer

Pengambilan darah perifer dilakukan pada setiap kelompok secara acak pada minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 12 sebanyak 3 ekor setiap kelompok perlakuan.


(41)

Sebelum pengambilan darah dilakukan, mencit terlebih dahulu dibius dengan kombinasi ketamin dosis 30 mg/kg berat badan dan xylazin dengan dosis 5 mg/kg berat badan secara intra peritoneal. Pengambilan darah dilakukan dengan mikrokapiler hematokrit dengan EDTA 10% melalui vena retro orbitale pada bagian mata (Hrapkiewicz & Medina 2007).

Sebanyak 0,5 ml darah yang di peroleh di masukan ke tabung Ependorf yang telah diberi EDTA sebanyak 0,1 ml. Darah tersebut disimpan di dalam box yang diisi dengan es batu tidak lebih dari 24 jam.

Gambar 12 pengambilan dan pengoleksian darah.

Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah (Differensiasi Leukosit Sel Darah Perifer)

Menurut Weiss dan Tvedten (2004), metode membuat ulas darah pada slide adalah darah yang telah ditetes ke slide di sentuh menggunakan slide pelebar dengan cara menarik pelan-pelan kebelakang. Setelah kontak terjadi, slide pelebar tadi digerakkan ke depan dengan gerakan yang lembut. Ulas darah yang sudah terbentuk dikeringkan terlebih dahulu, kemudian direndam ke dalam metil alkohol selama 3-5 menit dan dikeringkan. Ulas darah yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam larutan giemsa 10% selama 30 menit. Setelah 30 menit, cuci slide menggunakan air kran yang mengalir selama 30 detik dan dikeringkan dari air. Untuk pemeriksaan ulas darah dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 x dengan bantuan minyak imersi dengan arah

pengamatan zigzag dan xylol sebagai larutan pembersih. Penghitungan


(42)

(Limfosit, monosit, netrofil band, netrofil adult, basofil, eosinofil, limfoblas, dan mieloblas) hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit.

Gambar 13 cara pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah.

Perhitungan perubahan persentase sel leukosit darah perifer akibat pemaparan radiasi dan pemberian ekstrak rosela adalah sebagai berikut:

- Perubahan persentase sel leukosit akibat pemaparan radiasi =

(b-a)/(a+b)*100%

- Perubahan persentase sel leukosit akibat pemberian ekstrak rosela =

(d-c)/(c+d)*100%

Keterangan : a= Persentase sel Leukosit sebelum perlakuan b= Persentase pada dosis radiasi tertentu c= Persentase sel pada dosis X

d= Persentase sel leukosit setelah recovery dosis X X= Jumlah dosis paparan radiasi (mSv)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan

software SPSSversi 13 untuk Microsoft® Windows® uji ANOVA dilanjutkan uji


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

LIMFOSIT

Limfosit merupakan sel darah putih yang memiliki presentase paling tinggi dalam menyusun sel darah putih atau leukosit (O’Malley 2005). Oleh karena itu, limfosit sangat berperan dalam fluktuasi jumlah leukosit dalam darah. Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Morfologi sel limfosit pada kelompok sebelum perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak mengalami perbedaan. Morfologi sel limfosit dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14 morfologi sel limfosit; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C. morfologi setelah recovery (pemulihan).

Nilai persentase sel limfosit mencit berdasarkan kelompok perlakuan terhadap kelompok total radiasi dan fase pemulihan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.

Waktu (minggu ke-) Total Radiasi (mSv) N Jumlah Kelompok Perlakuan

K- (%) K+ (%) R- (%) R+ (%)

0 0.0 3 Σ Ra 67.2±0.0fgh 67.2±0.0fgh 67.2±0.0fgh 67.2±0.0fgh 0-2 1.7 3 Σ Ra 61.8±10.7bcdef 70.5±6.5gh 71.8±1.9h 62.5±5.2bcdefg 2-4 4-8 2.9 Recovery 2.9 3 3

Σ Ra 57.8±1.3abcde 64.5±9.8defgh 51.8±1.3a 66.3±2.5efgh

∆ Ra -8.0 -2.0 -13.0 -1.0

Σ Ro 65.0±4.6defgh 68.7±6.8fgh 63.7±2.5cdefgh 55.0±1.7ab

∆ Ro 6.0 3.0 10.0 -9.0

4-6 4.1 3 Σ Ra 62.3±2.1bcdefg 58.3±0.6abcdefg 63.0±1.0bcdefg 57.3±7.1abcd 6-8 8-12 5.3 Recovery 5.3 3 3

Σ Ra 62.0±1.0bcdefg 62.3±1.2bcdefg 62.0±3.6bcdefg 55.5±7.8abc

∆ Ra -4.0 -4.0 -4.0 -10.0

Σ Ro 69.3±3.8fgh 65.0±7.5defgh 63.0±1.0bcdefg 61.5±3.9bcdef

∆ Ro 6.0 2.0 1.0 5.0

Keterangan: K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa paparan radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan paparan radiasi); R– (Pemberian ekstrak rosela tanpa paparan radiasi); R+ (Pemberian ekstrak rosela dengan paparan radiasi); n (Jumlah Mencit); 0 (sebelum perlakuan); Recovery (Masa pemulihan selama 30 hari); ΣRo (Persentase sel limfosit setelah pemulihan); ΣRa (Persentase sel limfosit setelah radiasi) ∆Ro (Perubahan setelah recovery); ∆Ra (Perubahan setelah radiasi); - (Penurunan); + (peningkatan); huruf yang sama dalam kolom dan baris yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).


(44)

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase limfosit hanya sebesar 2% pada kelompok K+ dan 1% pada kelompok R+ dari jumlah sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar (5.3 mSv) pada minggu ke-8 meningkatkan persentase penurunan 4% pada kelompok K+ dan 10% pada kelompok R+ sebagaimana dalam tabel 5 dan gambar 15. Penurunan nilai pada kedua kelompok perlakuan dan radiasi tidak berbeda nyata (P>0.05).

Persentase limfosit kelompok R- dengan pemberian ekstrak rosela mengalami penurunan 13% lebih besar daripada kelompok K- yang mengalami penurunan 8% pada minggu ke-4 dari persentase sebelum perlakuan. Persentase limfosit pada minggu ke-8 hanya mengalami penurunan 4% baik pada kelompok R- dan K-. Penurunan pada kelompok K- dan R- tidak berbeda nyata (P>0.05), kecuali pada kelompok R- minggu ke-4 berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan jenis perlakuan.

Gambar 15 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang. K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa radiasi; K+ (pemberian NaCl fisiologis dengan radiasi); R- (pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi); R+ (pemberian ekstrak rosela dengan radiasi); Pemulihan (30 hari setelah perlakuan).

Persentase limfosit setelah masa pemulihan dari radiasi 2.9 mSv menyebabkan peningkatan 3% pada kelompok k+ dan penurunan 9% pada kelompok R+ dari persentase sebelum perlakuan. Pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv menyebabkan peningkatan persentase limfosit sebanyak 2% pada kelompok K+ dan 5% pada kelompok R+. Persentase limfosit pada masa pemulihan minggu 4 mengalami peningkatan 6% pada kelompok K- dan 10% pada kelompok R-. Pemulihan pada minggu 8 menyebabkan peningkatan sebesar 6% pada kelompok


(45)

K- dan hanya 1% pada kelompok R- sebagaimana dalam tabel 5 dan gambar 15. Penurunan dan peningkatan persentase limfosit pada fase pemulihan minggu 4 dan minggu 8 tidak berbeda nyata (P>0.05), kecuali pada kelompok R+ setelah pemulihan minggu ke-4 yang berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan dosis radiasi dan jenis perlakuan.

Semua peningkatan dan penurunan yang terjadi pada persentase limfosit baik pada radiasi 2.9 mSv, 5.3 mSv dan masa pemulihan masih dalam kisaran normal jumlah limfosit darah antara 48.5-83.9% (Thrall 2004). Peningkatan persentase limfosit (limfositosis) dapat terjadi karena induksi epinefrin, penyakit infeksius, dan neoplasia (Raskin 2000). Limfositosis dapat terjadi juga pada kasus leukemia limfoblastik akut yang disebabkan oleh virus, radiasi, dan aberasi genetik (Price dan Wilson 2005). Penurunan persentase limfosit (limfopenia) dapat terjadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, kongenital, dan penyinaran luas (Raskin 2000).

Sel limfosit adalah sel yang paling sensitif terhadap radiasi dan sel yang pertama kali menghilang dari sirkulasi, kemudian diikuti sel granulosit (Yunarti 2007). Radiasi menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksidatif intra maupun ekstra seluler (Yunarti 2007). Radikal bebas terbentuk karena ion elektron atom yang dihasilkan dari paparan radiasi berikatan dengan molekul air. Radikal bebas memiliki elektron bebas tidak berpasangan pada lapisan luarnya yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh (Thrall 2002), sehingga persentase sel limfosit dalam tubuh menjadi menurun akibat radiasi (Yunarti 2007).

Persentase limfosit fase pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv minggu ke-4 pada kelompok R- mengalami peningkatan yang lebih banyak dari kelompok K- dan K+, namun pada kelompok R+ mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya penyerapan ekstrak rosela oleh tubuh dan masa terapi yang masih singkat. Pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv minggu ke-8 persentase limfosit kelompok R+ mengalami peningkatan yang lebih banyak dibandingkan kelompok yang lain. Pemberian ekstrak rosela pada mencit yang terkena radiasi mengurangi efek radikal bebas yang menyebabkan persentase limfosit dalam darah meningkat. Rosela mengandung antioksidan seperti antosianin, vitamin A, flavanoid, dan vitamin C yang dapat mengurangi efek dari radikal bebas di dalam darah


(46)

sehingga dapat menghindar dari resiko kanker, tumor, dan lain-lain akibat radiasi

(Wambia et al. 2009). Antioksidan memiliki potensi sebagai radioprotektif

terhadap limfosit dengan cara mengurangi efek radikal bebas dan peningkatan kapasitas total antioksidan intraselluler (Lee et al. 2010 & Wambia et al. 2009), sehingga kerusakan akibat radiasi dapat berkurang dan persentase limfosit dapat meningkat.

MONOSIT

Monosit memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit, protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik sedikit kemerahan. Inti selnya berbentuk bulat atau panjang. Monosit adalah

leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 μm. Morfologi sel monosit pada

kelompok sebelum perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak mengalami perbedaan. Morfologi sel monosit dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16 morfologi sel monosit; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C; morfologi setelah recovery (pemulihan).

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase monosit sebesar 10% pada kelompok K+ dan 29% pada kelompok R+ dari persentase sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar (5.3 mSv) pada minggu ke-8 menyebabkan persentase penurunan 10% pada kelompok K+ dan 20% pada kelompok R+ sebagaimana pada tabel 6 dan gambar 17. Penurunan nilai kelompok K+ tidak berbeda nyata (P>0.05) baik pada minggu ke-4 dan ke-8, sedangkan kelompok R+ berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan kelompok perlakuan dan dosis radiasi pada minggu ke-4 dan ke-8.

Nilai persentase sel limfosit mencit berdasarkan kelompok perlakuan terhadap kelompok total radiasi dan fase pemulihan dapat dilihat pada tabel 6.


(47)

Tabel 6 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.

Waktu (Minggu ke-)

Total Radiasi

(mSv) N Jumlah

Kelompok Perlakuan

K- (%) K+ (%) R- (%) R+ (%)

0 0.0 3 Σ Ra 9.0±0.0cdef 9.0±0.0cdef 9.0±0.0cdef 9.0±0.0cdef

0-2 1.7 3 Σ Ra 10.8±3.2f 6.0±0.8bc 5.0±0.8ab 6.8±1.5bcd

2-4 4-8 2.9 Recovery 2.9 3 3

Σ Ra 5.3±2.1ab 7.3±1.3bcde 5.0±0.8ab 5.5±1.3ab

∆ Ra -26.0 -10.0 -29.0 -29.0

Σ Ro 5.3±1.2ab 2.7±0.6a 7.7±2.3bcde 7.7±1.5f

∆ Ro 0.0 -46.0 21.0 21.0

4-6 4.1 3 Σ Ra 7.7±2.3bcde 8.3±3.1cdef 9.3±2.1def 6.0±1.0bc 6-8 8-12 5.3 Recovery 5.3 3 3

Σ Ra 8.3±1.2cdef 7.3±0.6bcde 7.7±0.6bcde 6.0±2.8bcd

∆ Ra -4.0 -10.0 -8.0 -20.0

Σ Ro 10.0±1.7ef 5.0±1.0ab 6.7±0.6bcd 9.5±2.6def

∆ Ro 9.0 -19.0 -7.0 23.0

Keterangan: K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa paparan radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan paparan radiasi); R– (Pemberian ekstrak rosela tanpa paparan radiasi); R+ (Pemberian ekstrak rosela dengan paparan radiasi); n (Jumlah Mencit); 0.0 (sebelum perlakuan); Recovery (Masa pemulihan selama 30 hari); ΣRo (Persentase sel monosit setelah pemulihan); ΣRa (Persentase sel monosit setelah radiasi) ∆Ro (Perubahan setelah recovery); ∆Ra (Perubahan setelah radiasi); - (Penurunan); + (peningkatan); huruf yang sama dalam kolom dan baris yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

Gambar 17 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.; K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa radiasi); K+ (pemberian NaCl fisiologis dengan radiasi); R- (pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi); R+ (pemberian ekstrak rosela dengan radiasi); Pemulihan (30 hari setelah perlakuan).

Persentase monosit kelompok R- dengan pemberian ekstrak rosela mengalami penurunan 29%, sedangkan pada kelompok K- mengalami penurunan sebesar 26% pada minggu ke-4 dari persentase sebelum perlakuan. Persentase monosit pada minggu 8 mengalami penurunan 8% pada kelompok R-, sedangkan pada kelompok K- hanya mengalami penurunan sebesar 4%. Penurunan kelompok K- tidak berbeda nyata (P>0.05) pada minggu ke-4 dan ke-8, sedangkan pada


(48)

kelompok R- tidak berbeda nyata (P>0.05) ke-8 dan berbeda nyata (P<0.05) pada minggu ke-4.

Persentase monosit setelah masa pemulihan dari radiasi 2.9 mSv menyebabkan penurunan sebanyak 46% pada kelompok K+ dan peningkatan 21% pada kelompok R+. kelompok K+ dan R+ setelah pemulihan 2.9 mSv berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan dosis radiasi dan kelompok perlakuan. Pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv menyebabkan peningkatan persentase monosit sebanyak 9% pada kelompok K+ dan 23% pada kelompok R+. Hasil analisa persentase pemulihan mencit K+ dan R+ setelah radiasi 5.3 mSv berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan kelompok perlakuan dan dosis radiasi.

Persentase monosit pada masa pemulihan minggu 4 mengalami peningkatan 21% pada kelompok R- dan sama pada kelompok K- dari persentase sebelum perlakuan. Pemulihan pada minggu 8 menyebabkan peningkatan sebesar 9% pada kelompok K- dan penurunan sebesar 7% pada kelompok R- sebagaimana dalam tabel 6 dan gambar 17. Hasil analisa mencit K- dan R- berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan jenis perlakuan setelah pemulihan minggu ke-8 namun tidak berbeda nyata (P>0.05) setelah pemulihan minggu ke-4.

Pengamatan darah perifer pada penelitian ini di ditemukan sel monosit. Persentase monosit normal pada mencit adalah sekitar 0-3% dari total leukosit darah (Thrall 2004). Persentase monosit setelah radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv baik pada K+ dan R+ berada diatas batas normal monosit pada leukosit darah. Persentase monosit sebelum perlakuan pada mencit adalah 9.0±2.7%. Hal ini berarti, persentase monosit mengalami penurunan dari persentase sebelum perlakuan. Penurunan persentase monosit (monositopenia) dapat diakibatkan oleh radiasi, anemia aplastik, kemoterapi, dan infeksi parvo virus (Teske 2010). Monositopenia atau penurunan persentase monosit juga dapat terjadi akibat induksi virus dan netropenia (Price dan Wilson 2005).

Persentase monosit fase pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv mengalami penurunan 46% pada kelompok K+, berbeda dengan kelompok R+ yang mengalami peningkatan 21%. Fase pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv terjadi penurunan 19% pada kelompok K+, berbeda dengan kelompok R+ yang mengalami peningkatan sebesar 23%. Hal ini berarti pemberian ekstrak rosela


(49)

dapat meningkatkan persentase monosit dari radiasi. Hasil analisa pada kelompok K+ dan R+ baik pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan dosis radiasi dan jenis perlakuan.

Peningkatan monosit (monositosis) ditemukan pada fase penyembuhan infeksi (Raskin et al. 2004). Monositosis dapat terjadi akibat peradangan akut dan kronik, destruksi jaringan, dan netrofilia (Teske 2010). Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyakit granuloma kronik seperti tuberculosis dan sarkoidosis (Price dan Wilson 2005). Rosela mengandung kadar antioksidan yang tinggi yaitu berupa vitamin C atau asam askorbat, vitamin A, flavanoid, dan antosianin yang kemungkinan dapat mengurangi efek radikal bebas yang ditimbulkan oleh radiasi, sehingga resiko kerusakan akibat radiasi menjadi berkurang dan persentase monosit dapat meningkat.

NETROFIL

Netrofil Band (muda)

Netrofil band merupakan netrofil yang imatur. Netrofil band memiliki inti berbentuk tapal kuda, inti halus, sisi sejajar, dan tidak ada penyempitan dalam membran inti (Thrall 2004). Morfologi sel Netrofil band pada kelompok sebelum perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak mengalami perbedaan. Morfologi sel Netrofil band dapat dilihat pada gambar 18.

Gambar 18 morfologi sel netrofil band; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C. morfologi setelah recovery (pemulihan).

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase netrofil band hanya sebesar 1% pada kelompok K+ dan peningkatan 9% pada kelompok R+ dari persentase sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar pada minggu ke-8 meningkatkan peresentase peningkatan 2% pada kelompok K+ dan


(50)

25% pada kelompok R+ sebagaimana dalam tabel 7 dan gambar 19. Penurunan

dan persentase netrofil band kelompok K+ berbeda nyata (P<0.05) baik pada

minggu ke-4 dan ke-8 berdasarkan kelompok perlakuan, sedangkan kelompok R+ berbeda nyata (P<0.05) pada minggu ke-4 dan tidak berbeda nyata (P>0.05) berdasarkan dosis radiasi dan kelompok perlakuan pada minggu ke-8.

Nilai persentase sel netrofil mencit berdasarkan kelompok perlakuan terhadap kelompok total radiasi dan fase pemulihan dapat dilihat pada tabel 7 dan gambar 19 dan 21.

Tabel 7 Persentase sel netrofil darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.

Waktu (minggu ke-)

Total Radiasi

(mSv) N Jumlah

Kelompok Perlakuan

K- (%) K+ (%) R- (%) R+ (%)

Netrofil Band

0 0.0 3 Σ Ra 10.8±0.0abc 10.8±0.0abc 10.8±0.0abc 10.8±0.0abc

0-2 1.7 3 Σ Ra 11.8±2.1abcde 8.3±1.9a 9.3±1.3abc 14.8±3.9 def 2-4 2.9

Recovery 2.9

3

3

Σ Ra 15.0±2.9ef 10.5±1.3abc 18.8±1.0g 14.0±1.2cde

∆ Ra 17.0 -1.0 27.0 9.0

4-8 Σ Ro 13.0±2.0cde 12.3±1.2abcd 12.3±2.1gh 14.3±1.2h

∆ Ro -7.0 8.0 -21.0 5.0

4-6 4.1 3 Σ Ra 12.0±2.6bcde 8.7±1.2ab 11.3±0.6 abcd 11.0±1.0abc

6-8 5.3

Recovery 5.3

3

3

Σ Ra 16.7±1.2fg 11.3±0.6abcd 11.7±0.6 abcde 18.0±4.2fg

∆ Ra 22.0 2.0 4.0 25.0

8-12 Σ Ro 10.7±4.0abc 9.3±2.9abc 14.7±1.5def 14.5±3.4cde

∆ Ro -22.0 -10.0 11.0 -11.0

Netrofil Adult

0 0.0 3 ΣRa 12.7±0.0abc 12.7±0.0abc 12.7±0.0abc 12.7±0.0abc 0-2 1.7 3 ΣRa 15.3±5.9abcd 15.0±5.4abcd 13.5±2.4abc 14.5±2.9abcd 2-4 2.9

Recovery 2.9

3

3

ΣRa 22.0±3.2de 14.3±9.4abcd 24.5±0.6 e 12.0±3.9abc

∆ Ra 28 -1 42 -7

4-8 Σ Ro 16.7±5.5bcd 14.3±7.5abcd 8.3±1.2a 11.0±2.0abc

∆ Ro -14 0 -49 -4

4-6 4.1 3 ΣRa 16.3±2.5abcd 13.3±2.9bc 10.7±4.0abcd 16.7±8.0bcd 6-8 5.3

Recovery 5.3

3

3

ΣRa 11.0±1.0abc 8.3±0.6a 11.3±4.0cde 16.0±8.5abcd

∆ Ra 3 -27 6 8

8-12 Σ Ro 10.0±1.0ab 18.0±6.0bcde 10.0±1.0abcd 12.8±3.6abc

∆ Ro -13 37 -6 -11

Keterangan: K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa paparan radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan paparan radiasi); R– (Pemberian ekstrak rosela tanpa paparan radiasi); R+ (Pemberian ekstrak rosela dengan paparan radiasi); n (Jumlah Mencit); 0 (sebelum perlakuan); Recovery (Masa pemulihan selama 30 hari); ΣRo (Jumlah sel netrofil setelah pemulihan); ΣRa (Jumlah sel netrofil setelah radiasi) ∆Ro (Perubahan setelah

recovery); ∆Ra (Perubahan setelah radiasi); - (Penurunan); + (peningkatan); huruf

yang sama dalam kolom dan baris yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

.

Persentase netrofil band kelompok R- dengan pemberian ekstrak rosela

mengalami peningkatan 21%, sedangkan pada kelompok K- mengalami penurunan sebesar 22% pada minggu ke-4 dari persentase sebelum perlakuan.


(1)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

limfosit

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi

N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6 7 8

R- 2.9 mSv 4 51.750

R+ rec 2.9 mSv 3 55.000 55.000

R+ 5.3 mSv 2 55.500 55.500 55.500

R+ 4.1 mSv 3 57.333 57.333 57.333 57.333

K- 2.9 mSv 4 57.750 57.750 57.750 57.750 57.750

K+ 4.1 mSv 3 58.333 58.333 58.333 58.333 58.333

R+ rec 5.3 mSv 4 61.500 61.500 61.500 61.500 61.500

K- 1.7 mSv 4 61.750 61.750 61.750 61.750 61.750

K- 5.3 mSv 3 62.000 62.000 62.000 62.000 62.000 62.000

R- 5.3 mSv 3 62.000 62.000 62.000 62.000 62.000 62.000

K- 4.1 mSv 3 62.333 62.333 62.333 62.333 62.333 62.333

K+ 5.3 mSv 3 62.333 62.333 62.333 62.333 62.333 62.333

R+ 1.7 mSv 4 62.500 62.500 62.500 62.500 62.500 62.500

R- 4.1 mSv 3 63.000 63.000 63.000 63.000 63.000 63.000

R- rec 5.3 mSv 3 63.000 63.000 63.000 63.000 63.000 63.000

R- rec 2.9 mSv 3 63.667 63.667 63.667 63.667 63.667 63.667

K+ 2.9 mSv 4 64.500 64.500 64.500 64.500 64.500

K- rec 2.9 mSv 3 65.000 65.000 65.000 65.000 65.000

K+ rc 5.3 mSv 3 65.000 65.000 65.000 65.000 65.000

R+ 2.9 mSv 4 66.250 66.250 66.250 66.250

K- 0.0 mSv 4 67.200 67.200 67.200

K+ 0.0 mSv 4 67.200 67.200 67.200

R- 0.0 mSv 4 67.200 67.200 67.200

R+ 0.0 mSv 4 67.200 67.200 67.200

K+ rec 2.9 mSv 3 68.667 68.667 68.667

K- rec 5.3 mSv 3 69.333 69.333 69.333

K+ 1.7 mSv 4 70.500 70.500

R- 1.7 mSv 4 71.750

Sig. .109 .067 .061 .081 .053 .078 .055 .063

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.327.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


(2)

Monosit

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6

K+ rec 2.9 mSv 3 2.667

R- 1.7 mSv 4 5.000 5.000

R- 2.9 mSv 4 5.000 5.000

R+ 2.9 mSv 4 5.000 5.000

K+ rc 5.3 mSv 3 5.000 5.000

K- 2.9 mSv 4 5.250 5.250

K- rec 2.9 mSv 3 5.333 5.333

K+ 1.7 mSv 4 6.000 6.000

R+ 4.1 mSv 3 6.000 6.000

R+ 5.3 mSv 2 6.500 6.500 6.500

R- rec 5.3 mSv 3 6.667 6.667 6.667

R+ 1.7 mSv 4 6.750 6.750 6.750

K+ 2.9 mSv 4 7.250 7.250 7.250 7.250

K+ 5.3 mSv 3 7.333 7.333 7.333 7.333

K- 4.1 mSv 3 7.667 7.667 7.667 7.667

R- 5.3 mSv 3 7.667 7.667 7.667 7.667

R- rec 2.9 mSv 3 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000

K+ 4.1 mSv 3 8.333 8.333 8.333 8.333

K- 5.3 mSv 3 8.333 8.333 8.333 8.333

K- 0.0 mSv 4 9.000 9.000 9.000 9.000

K+ 0.0 mSv 4 9.000 9.000 9.000 9.000

R- 0.0 mSv 4 9.000 9.000 9.000 9.000

R+ 0.0 mSv 4 9.000 9.000 9.000 9.000

R- 4.1 mSv 3 9.333 9.333 9.333

R+ rec 5.3 mSv 4 9.500 9.500 9.500

K- rec 5.3 mSv 3 10.000 10.000

R+ rec 2.9 mSv 3 10.667

K- 1.7 mSv 4 10.750

Sig. .069 .053 .053 .053 .074 .071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.327.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


(3)

Netrofil band

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6 7 8

K+ 1.7 mSv 4 8.250

K+ 4.1 mSv 3 8.667 8.667

R- 1.7 mSv 4 9.250 9.250 9.250

K+ rc 5.3 mSv 3 9.333 9.333 9.333

K+ 2.9 mSv 4 10.500 10.500 10.500

K- rec 5.3 mSv 3 10.667 10.667 10.667

K- 0.0 mSv 4 10.800 10.800 10.800

K+ 0.0 mSv 4 10.800 10.800 10.800

R- 0.0 mSv 4 10.800 10.800 10.800

R+ 0.0 mSv 4 10.800 10.800 10.800

R+ 4.1 mSv 3 11.000 11.000 11.000

K+ rec 2.9 mSv 3 11.333 11.333 11.333 11.333

R- 4.1 mSv 3 11.333 11.333 11.333 11.333

K+ 5.3 mSv 3 11.333 11.333 11.333 11.333

R- 5.3 mSv 3 11.667 11.667 11.667 11.667 11.667

K- 1.7 mSv 4 11.750 11.750 11.750 11.750 11.750

K- 4.1 mSv 3 12.000 12.000 12.000 12.000

R+ 2.9 mSv 4 13.000 13.000 13.000

K- rec 2.9 mSv 3 13.000 13.000 13.000

R+ rec 5.3 mSv 3 13.000 13.000 13.000

R- rec 5.3 mSv 3 14.667 14.667 14.667

R+ 1.7 mSv 4 14.750 14.750 14.750

K- 2.9 mSv 4 15.000 15.000

K- 5.3 mSv 3 16.667 16.667

R+ 5.3 mSv 2 18.000 18.000

R- 2.9 mSv 4 18.750

R- rec 2.9 mSv 3 20.000 20.000

R+ rec 2.9 mSv 3 22.000

Sig. .066 .080 .050 .067 .069 .056 .050 .198

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.294.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


(4)

Netrofil adult

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5

R- rec 2.9 mSv 3 8.333

K+ 5.3 mSv 3 8.333

K- rec 5.3 mSv 3 10.000 10.000

R+ rec 2.9 mSv 3 11.000 11.000 11.000

R+ 2.9 mSv 4 11.500 11.500 11.500

K- 0.0 mSv 4 12.700 12.700 12.700

K+ 0.0 mSv 4 12.700 12.700 12.700

R- 0.0 mSv 4 12.700 12.700 12.700

R+ 0.0 mSv 4 12.700 12.700 12.700

R+ rec 5.3 mSv 4 12.750 12.750 12.750

K- 5.3 mSv 3 13.000 13.000 13.000

K+ 4.1 mSv 3 13.333 13.333 13.333

R- 1.7 mSv 4 13.500 13.500 13.500

K+ 2.9 mSv 4 14.250 14.250 14.250 14.250

K+ rec 2.9 mSv 3 14.333 14.333 14.333 14.333

R+ 1.7 mSv 4 14.500 14.500 14.500 14.500

K+ 1.7 mSv 4 15.000 15.000 15.000 15.000

K- 1.7 mSv 4 15.250 15.250 15.250 15.250

R- 4.1 mSv 3 15.667 15.667 15.667 15.667

R- rec 5.3 mSv 3 15.667 15.667 15.667 15.667

R+ 5.3 mSv 2 16.000 16.000 16.000 16.000

K- 4.1 mSv 3 16.333 16.333 16.333 16.333

K- rec 2.9 mSv 3 16.667 16.667 16.667

R+ 4.1 mSv 3 16.667 16.667 16.667

K+ rc 5.3 mSv 3 18.000 18.000 18.000 18.000

R- 5.3 mSv 3 18.667 18.667 18.667

K- 2.9 mSv 4 22.000 22.000

R- 2.9 mSv 4 24.500

Sig. .050 .051 .061 .052 .071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.327.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


(5)

Limfoblas

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi N

Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6 7

K- 0.0 mSv 4 .000

K+ 0.0 mSv 4 .000

R- 0.0 mSv 4 .000

R+ 0.0 mSv 4 .000

K- 1.7 mSv 4 .000

K+ 1.7 mSv 4 .000

R- 1.7 mSv 4 .000

K- 2.9 mSv 4 .000

R- 2.9 mSv 4 .000

K- rec 2.9 mSv 3 .000

R- rec 2.9 mSv 3 .000

K- 4.1 mSv 3 .000

R- 4.1 mSv 3 .000

K- 5.3 mSv 3 .000

R- 5.3 mSv 3 .000

K- rec 5.3 mSv 3 .000

R- rec 5.3 mSv 3 .000

R+ rec 2.9 mSv 3 .333 .333

R+ 1.7 mSv 4 .500 .500 .500

R+ rec 5.3 mSv 4 .500 .500 .500

K+ rec 2.9 mSv 3 1.333 1.333 1.333 1.333

R+ 2.9 mSv 4 1.500 1.500 1.500

K+ rc 5.3 mSv 3 1.667 1.667

R+ 5.3 mSv 2 2.000

K+ 2.9 mSv 4 2.250

R+ 4.1 mSv 3 3.667

K+ 4.1 mSv 3 5.333

K+ 5.3 mSv 3 6.667

Sig. .059 .067 .067 .152 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.327.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


(6)

Mieloblas

Duncan

perlakuan pada

dosis radiasi N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5

K- 0.0 mSv 4 .000

K+ 0.0 mSv 4 .000

R- 0.0 mSv 4 .000

R+ 0.0 mSv 4 .000

K- 1.7 mSv 4 .000

K+ 1.7 mSv 4 .000

R- 1.7 mSv 4 .000

K- 2.9 mSv 4 .000

R- 2.9 mSv 4 .000

K- rec 2.9 mSv 3 .000

R- rec 2.9 mSv 3 .000

K- 4.1 mSv 3 .000

R- 4.1 mSv 3 .000

K- 5.3 mSv 3 .000

R- 5.3 mSv 3 .000

K- rec 5.3 mSv 3 .000

R- rec 5.3 mSv 3 .000

K+ rec 2.9 mSv 3 .667 .667

R+ 1.7 mSv 4 .750 .750

R+ rec 2.9 mSv 3 1.000 1.000 1.000

K+ rc 5.3 mSv 3 1.000 1.000 1.000

R+ rec 5.3 mSv 4 1.000 1.000 1.000

K+ 2.9 mSv 4 1.250 1.250 1.250

R+ 2.9 mSv 4 2.250 2.250

R+ 5.3 mSv 2 2.500

K+ 5.3 mSv 3 4.000

R+ 4.1 mSv 3 4.333 4.333

K+ 4.1 mSv 3 5.667

Sig. .152 .051 .062 .633 .060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.327.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.

Type I error levels are not guaranteed.


Dokumen yang terkait

Efek Antidiabetes dari Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Mencit yang Diinduksi Streptozotocin

7 63 129

Pengaruh Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

0 86 70

Formulasi Sediaan Lipstik Dengan Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Sebagai Pewarna

84 349 74

Uji efek ekstrak etanol bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap penurunan kadar gula darah pada tikus putih jantan

8 57 98

Efek Radioprotektif Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Gambaran Eritrosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus).

1 17 133

Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang pada Lambung Mencit (Mus musculus

0 6 156

Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang

1 30 356

Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang

2 22 182

Studi Histopatologi Respon Organ Testis Mencit (Mus musculus) Terhadap Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela dalam Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik

0 1 35

Studi In vitro dan In vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang

0 5 190