Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang dihasilkan

PENCUCIAN DAGING SIRIP IKAN MACKEREL DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK
PRODUK OLAHAN YANG DIHASILKAN

RAHMI MARDIATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pencucian Daging
Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan
yang Dihasilkan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013

Rahmi Mardiati
NIM F34090072

ABSTRAK
RAHMI MARDIATI. Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya
Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan. Dibimbing oleh TITI
CANDRA SUNARTI.
Ikan mackerel memiliki kandungan lemak tinggi dan warna daging kecokelatan
yang disebabkan adanya gurat sisi pada saraf yang dilapisi lemak dan dialiri
pembuluh-pembuluh darah serta mioglobin. Pengolahan fillet ikan mackerel
menghasilkan produk samping berupa sirip mackerel yang pemanfaatannya masih
belum maksimal; karena daging mackerel yang berwarna kecokelatan dan bau amis.
Agar mendapatkan warna dan kecerahan daging yang lebih baik, pada daging mackerel
dilakukan pencucian dengan larutan natrium bikarbonat. Pencucian merupakan tahap
yang penting dalam proses pengolahan daging ikan yang bertujuan untuk
menghilangkan materi yang larut air seperti protein terlarut, lemak, dan bahan

pengotor lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan produk samping
pengolahan ikan mackerel, dengan mengkaji pengaruh frekuensi pencucian daging
mackerel menggunakan larutan natrium bikarbonat sehingga dapat meningkatkan nilai
tambah produk hasil pengolahan ikan mackerel. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah acak lengkap dengan faktor frekuensi pencucian dua dan tiga kali serta
konsentrasi natrium bikarbonat 0.2% dan 0.5%. Produk olahan yang diujikan dalam
bentuk bakso. Hasil memperlihatkan bahwa frekuensi pencucian tiga kali dan
konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% menyebabkan penurunan kadar lemak dan kadar
protein yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dan produk yang
dihasilkan memiliki penerimaan yang baik terhadap aroma dan warna pada bakso
mackerel.
Kata kunci: mackerel, pencucian, natrium bikarbonat
ABSTRACT
RAHMI MARDIATI. Washing of Mackerel’s Fin Flesh and its Effect to the
Characteristics of Seafood Products. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.
Mackerel’s fin flesh contains high fat and has dark color because of lateral line in
its nerves coated by fat and flown by blood vessels and myoglobin. In Mackerel’s fillet
processing, it produces fins as by-product but the handling and its utilization of the fin
was not maximized yet because of undesirable color and aroma. To get a better color,
mackerel’s flesh was deboned and washed by sodium bicarbonate solution. Washing is

an important step in fish flesh processing which aims to eliminate the soluble material
such as dissolved proteins, soluble fat and other impurities materials. This research was
objected to utilize fin flesh as mackerel processing by-product, by investigating the
influence of flesh washing frequencies by using sodium bicarbonate solution, and to
enhance the added-value of mackerel processing by-product for seafood products.
Experimental design used was complete randomized experimental design with two
factors, i.e. washing frequency of twice and three times, and sodium bicarbonate
concentration of 0.2% and 0.5%. The washed flesh was processed as fish-ball product.
The results showed that three times washing and 0.5% of sodium bicarbonate
concentration could eliminate the highest soluble protein and fat level compared to
other treatments, its seafood product had a good acceptance on the odor and color.
Keyword: mackerel, washing, sodium bicarbonate

PENCUCIAN DAGING SIRIP IKAN MACKEREL DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTERISTIK
PRODUK OLAHAN YANG DIHASILKAN

RAHMI MARDIATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan Pengaruhnya
Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan
Nama
: Rahmi Mardiati
NIM
: F34090072

Disetujui oleh


Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 25 Oktober 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penyusunan skripsi berjudul “Pencucian Daging Sirip Ikan Mackerel dan
Pengaruhnya Terhadap Karakteristik Produk Olahan yang Dihasilkan” telah
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama April
2013 sampai Juli 2013 ini ialah pengaruh frekuensi pencucian serta penggunaan
larutan natrium bikarbonat pada proses pencucian daging mackerel untuk
memperbaiki mutu produk olahan yang dihasilkan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku
pembimbing atas perhatian dan bimbingannya sejak awal praktik lapang, penelitian,

dan penyelesaian skripsi. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muslich, MSi serta
Bapak Ir Sugiarto, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih kepada PT. Kelola Mina
Laut atas kerjasamanya dalam program capstone course baik selama praktik lapang
maupun penelitian serta atas bahan-bahan yang telah diberikan. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada seluruh laboran Teknologi Industri Pertanian atas bimbingannya selama
melakukan penelitian, staff UPT dan staff Departemen TIN, serta teman-teman TIN
46 atas semangat, doa, dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2013

Rahmi Mardiati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Penyiapan dan Karakterisasi Daging Mackerel
Pencucian dan Karakterisasi Daging Mackerel
Pembuatan Produk Berbasis Daging Mackerel
Uji Penerimaan Produk Olahan
Rancangan Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Daging Mackerel
Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Daging Mackerel
Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Produk Olahan
Karakteristik Kimia
Karakteristik Fisik

Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
2
2
3

3
4
4
4
4
4
4
6
6
7
11
11
14
16
20
20
20
20
23
40


DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik kimia daging mackerel
Karakteristik daging sirip mackerel setelah pencucian
Karakteristik kimia produk olahan
Karakteristik mutu produk olahan
Karakteristik fisik produk olahan
Nilai rataan hasil uji organoleptik bakso mackerel
Penetapan produk terbaik berdasarkan metode CPI

7
7

12
13
14
18
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Ikan mackerel. (a) kepala, (b) sirip, (c) badan dan ekor
Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
kadar air daging mackerel
Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
kadar protein daging mackerel
Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
pH daging mackerel
freeze thaw stability bakso mackerel
Tekstur bakso mackerel setelah freeze thaw
Bakso mackerel

6
8
10
10
16
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Prosedur analisis komponen kimia
Prosedur analisis komponen fisik
ANOVA karakteristik daging mackerel setelah pencucian
ANOVA karakteristik kimia bakso mackerel
ANOVA karakteristik fisik bakso mackerel
Hasil uji organoleptik produk olahan

23
24
25
29
33
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan mackerel merupakan salah satu ikan laut yang diolah oleh PT. Kelola
Mina Laut untuk dijadikan daging fillet. Ikan mackerel memiliki kandungan
lemak yang tinggi dan warna daging yang kecokelatan pada daging mackerel
yang disebabkan adanya gurat sisi yang pada saraf yang dilapisi lemak dan dialiri
pembuluh-pembuluh darah dan banyak mengandung lemak serta mioglobin
(Adawyah 2008). Daging yang banyak mengandung mioglobin memungkinkan
ikan pelagis seperti mackerel dapat berenang cepat untuk mendapatkan makanan
atau untuk bermigrasi (Kaylor dan Learson 1990).
Secara umum dalam sekali produksi dilakukan pengolahan ikan mackerel
fillet sebanyak 4000 kg dengan rendemen daging fillet sebanyak 59.91%, kepala
15.47%, tulang 7.01%, isi perut 6.49%, sirip 8.18%, dengan loss 2.93%
dikarenakan adanya proses pencucian serta pencabutan duri. Daging yang telah
diolah selanjutnya akan diekspor ke negara Jepang. Untuk produk samping
pengolahan berupa kepala, tulang, dan isi perut dijual ke pihak lain, sedangkan
untuk sirip dijual dengan harga Rp3 500 per kg. Namun daya tarik konsumen
masih rendah karena sirip ikan mackerel belum umum dikalangan masyarakat dan
bau amis yang menyebabkan konsumen tidak tertarik untuk membelinya. Padahal
pada bagian sirip mackerel masih terdapat daging sebanyak 45% yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan sehingga nilai jualnya menjadi
lebih tinggi dan dapat mendatangkan keuntungan.
Ikan mackerel memiliki karakteristik warna daging kecokelatan yang
dibentuk oleh saraf-saraf gurat sisi yang dilapisi lemak dan dilewati ribuan
pembuluh darah serta pengaruh banyaknya pigmen merah yang disebut mioglobin
(Winarno dan Koswara 2002). Umumnya untuk mendapatkan daging yang lebih
cerah, daging ikan mackerel harus diolah dan dilakukan teknik pencucian dengan
larutan natrium bikarbonat (NaHCO3). Pencucian merupakan tahap yang penting
dalam proses pengolahan daging ikan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan
materi larut air, protein sarkoplasma yang larut air, dan bahan pengotor lainnya
yang dapat meningkatkan kualitas dari produk (Park 2004).
Menurut Nishioka (1990) dalam Shadiki dan Botta (1994), konsentrasi
NaHCO3 yang digunakan pada saat pencucian daging yang berlemak adalah
sebesar 0.2%, Suzuki (1981) mengatakan bahwa penggunaan NaHCO3 untuk
pencucian mackerel adalah sebanyak 0.4% sampai 0.5% dari jumlah air
pencucian, penggunaan NaHCO3 sebanyak 0.1% sampai 0.5% (Park 2004),
sedangkan menurut Muraleedharandan Gopakumar (1998) penggunaan NaHCO3
untuk pencucian daging ikan yang mengandung banyak lemak adalah adalah
0.2%. Merujuk dari keempat sumber tersebut maka penggunaan konsentrasi
NaHCO3 pada penelitian ini adalah 0.2% dan 0.5% dari jumlah air dingin yang
digunakan untuk pencucian. Park (2004) melaporkan bahwa pencucian pada
daging ikan signifikan mengurangi protein terlarut, penurunan kadar lemak, dan
perbaikan warna pada produk yang dihasilkan, serta memperbaiki aroma
dibandingkan dengan proses yang biasa tanpa penggunaan larutan natrium
bikarbonat.

2
Pencucian daging sirip ikan mackerel dengan natrium bikarbonat
diharapkan dapat memperbaiki mutu dan kualitas produk olahan yang dihasilkan
dimana produk mengandung lemak yang rendah dengan kadar protein yang tinggi
sehingga produk olahan dapat diterima oleh konsumen.
Perumusan Masalah
Daging sirip ikan mackerel harus dicuci untuk menghilangkan komponen
yang tidak diinginkan yang terlarut dalam air termasuk pigmen heme dan darah
serta aroma sehingga tersisa produk yang kaya protein, tidak berbau, dan tidak
berwarna. Pengurangan protein terlarut dan lemak berperan untuk memperbaiki
produk olahan yang dihasilkan. Pemanfaatan daging mackerel yang terdapat
dekat sirip mackerel dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan
dalam bentuk bakso ikan. Kualitas daging hasil pencucian diharapkan dapat
meningkatkan daya terima produk olahan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan produk samping pengolahan
ikan mackerel, dengan mengkaji pengaruh pencucian daging sirip ikan mackerel
menggunakan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) terhadap mutu daging
setelah pencucian dan pemanfaatannya sebagai bahan baku produk olahan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan nilai
tambah hasil samping produk industri.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah pemanfaatan produk samping
pengolahan ikan mackerel yakni daging bagian sirip dan produk olahan yang
dibuat menjadi produk bakso. Penggunaan bahan pencuci yang digunakan adalah
larutan natrium bikarbonat (NaHCO3).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juli
2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium
Pengawasan mutu, Laboratorium Instrumen, Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3
Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah sirip ikan mackerel yang diperoleh
dari PT.Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Bahan lain yang digunakan
adalah larutan NaHCO3 0.2% dan 0.5%, heksan, CuSO4, H2SO4 1.25%, asam
borat, NaOH 6 N, kertas saring, tepung tapioka, bawang putih, garam, merica,
dan sodium tripolyphosphate (STTP).
Alat
Alat yang digunakan adalah oven, food processor, tabung Kjeldahl,
soxhlet, tanur, desikator, pH meter, thermometer, pnetrometer, dan colortex
colormeter.
Metode Penelitian
Penyiapan dan Karakterisasi Daging Mackerel
Penyiapan yang dilakukan adalah pemisahan daging dari duri, sirip, dan
kotoran lainnya yang terdapat pada bagian sirip mackerel. Setelah daging
dipisahkan dari pengotor lainnya kemudian dilakukan karakterisasi daging
mackerel yakni uji kadar air, abu, lemak, dan protein. Karakterisasi dilakukan
sebanyak dua kali pengulangan dengan tiap pengulangan dilakukan analisis
secara triplo. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.
Pencucian dan Karakterisasi Daging Mackerel
Daging ikan mackerel yang telah dipisahkan dari pengotor lainnya
kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minum dalam kemasan
(AMDK) pada suhu 5 oC sampai 10oC selama 20 menit dengan frekuensi dua atau
tiga kali. Daging mackerel yang telah dilakukan pencucian kemudian dilakukan
karakterisasi komponen proksimat yang terdiri atas uji kadar air, kadar abu, kadar
lemak, dan kadar protein, serta uji warna dengan menggunakan colortex
colormeter dan uji derajat keasaman dengan menggunakan pH meter.
Karakterisasi dilakukan sebanyak dua kali pengulangan dengan tiap pengulangan
dilakukan secara duplo. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2.
Pembuatan Produk Berbasis Daging Mackerel
Pembuatan bakso mackerel dilakukan dengan menggunakan daging
mackerel yang sebelumnya telah dilakukan pencucian dengan komposisi daging
mackerel 50.2%, kemudian ditambahkan bahan tambahan yang dimodifikasi dari
Wibowo (1995) yakni tepung tapioka 30.1%, bawang putih 1.3%, sodium
tripolyphosphate 0.3%, garam 1.5%, dan merica 0.5% serta ditambahkan es batu
16.1%. Seluruh bahan dicampur dengan menggunakan food processor sampai
adonan tercampur seluruhnya, kemudian dibentuk bulat-bulat dan direbus dalam
air yang bersuhu +80oC selama 15 menit sampai bakso mengapung, selanjutnya

4
bakso ditiriskan. Produk bakso yang telah dibuat kemudian dilakukan
karakterisasi berupa uji kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein, pH,
warna, tekstur, dan sineresis bakso. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1
dan Lampiran 2.
Uji Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel
Produk olahan yang telah dibuat kemudian dilakukan uji kesukaan atau
yang dikenal dengan uji hedonik dimana panelis mengemukakan responnya yang
berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Penilaian yang dilakukan
adalah uji warna, tekstur, aroma, rasa, dan bentuk yang dipengaruhi oleh daging
dan bahan tambahan lainnya, kandungan protein, proses emulsi, serta proses
perebusan. Tingkat kesukaan biasanya digambarkan atau diurutkan dengan skala
numerik. Tanggapan tersebut digambarkan dalam bentuk tabel berkategori
berbeda-beda, serta angka numerik berdasarkan kesukaan panelis. Angka numerik
yang akan digunakan pada uji hedonik ini adalah 7 (sangat suka), 6 (suka), 5
(agak suka), 4 (netral), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak
suka).
Hasil uji hedonik akan dipilih satu produk dengan menggunakan metode
Composite performance index (CPI) yang merupakan indeks gabungan yang
dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai
alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j).
Formula yang digunakan dalam teknik CPI :
Aij
= Xij (min) x 100 / Xij (min)
A(i + 1.j) = (X(I + 1.j) )/ Xij (min) x 100
Iij
= Aij x Pj
n

Ii

=  (Iij)
j =1

Keterangan:
Aij
= nilai alternatif ke-i pada kriteria ke – j
Xij (min)= nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j
A(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke – j
X(i + 1.j) = nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke – j
Pj
= bobot kepentingan kriteria ke – j
Iij
= indeks alternatif ke-i
Ii
= indeks gabungan kriteria pada alternatif ke –i
i
= 1, 2, 3,…, n
j
= 1, 2, 3,…, m
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor frekuensi pencucian
dan konsentrasi natrium bikarbonat terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak,
kadar protein, pH, tekstur, dan warna (lightness) baik pada daging yang telah
dilakukan pencucian maupun bakso mackerel yang telah dibuat. Taraf untuk

5
konsentrasi natrium bikarbonat yakni 0.0%, 0.2%, dan 0.5%, sedangkan untuk
taraf faktor frekuensi pencucian yaitu pencucian dua dan tiga kali dengan
pengulangan sebanyak dua kali. Model matematika untuk taraf tersebut adalah
sebagai berikut:
Yijk
=  + NBi + FPj + NB*FPij + Σ (k)ij
SS total = Yijk2 – T…2/N
SS Ei = (Ti..2)/jk - T…2/N
SS Vj = (T.j.2)/ik - T…2/N
SS EVij = Tij.2 – SS Ei – SS Vj – T…2/N
SS k(ij) = SS total – SS Ei – SS Vj – SS Evij
dengan i = 1, 2, 3 ; j = 1,2; dan k = 1,2; dimana :
Yijk
: Parameter respon dari pengaruh taraf ke-i faktor A dan pengaruh
taraf ke-j faktor B pada ulangan ke-k.
μ
: Pengaruh rata-rata
NBi
: Efek sebenarnya taraf ke i (faktor konsentrasi natrium
bikarbonat)
FPj
: Efek sebenarnya taraf ke j (faktor frekuensi pencucian)
NB*FPij : Efek kombinasi faktor taraf ke ij (faktor kombinasi konsentrasi
natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian)
Σ (k)ij : Galat (error) kombinasi faktor taraf ke ij dan faktor taraf ke k.
Setelah dilakukan penghitungan, akan didapatkan tabel ANOVA. Jika
Fhitung lebih besar dibandingkan dengan Ftabel maka dilanjutkan dengan Tes
Newman – Keuls, dimana akan dilakukan perhitungan sebagai berikut:
1. Disusun k rata-rata perlakuan dari yang terkecil – terbesar.
2. Ditulis MS error dari tabel ANOVA.
3. Dihitung standar error dari rata-rata perlakuan
Standar error = (MS error / jumlah observasi).
4. Diambil nilai p = 2, 3, 4,….k pada  = 5% dari Studentized Range Table
dengan n2 = derajat bebas error
5. Dihitung Least Significant Ranges (LSR)
6. Dibuat perbandingan selisih rata-rata perlakuan dengan nilai LSR
7. Jika nilai perbandingan selisih lebih tinggi dibandingkan LSR maka sampel
berbeda nyata, sedangkan jika nilainya sama atau lebih rendah dari nilai LSR
maka sampel tidak berbeda nyata.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Daging Mackerel
Ikan mackerel merupakan ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari
famili Scombridae yang banyak ditemukan di perairan Atlantik Utara, dari
Mediterania ke Norwegia, Islandia dan Kepulauan Faroe, dan North Carolina.
Selama musim semi dan musim panas, mackerel atlantik ditemukan di perairan
pantai, sedangkan di akhir musim gugur dan musim dingin ditemukan lebih
banyak di perairan hangat di tepi benua (Nozeres 2012). Mackerel memiliki
kandungan lemak yang tinggi sebagaimana menurut Winarno (2002) menyatakan
bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi tiga golongan
yaitu ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) terdapat pada
kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan kandungan lemak sedang (2–5%)
terdapat pada rajungan, udang, ikan mas, dan ikan ekor kuning, serta ikan dengan
kandungan lemak tinggi (6–20%) terdapat pada hering, mackerel, salmon,
sardine, tuna, sepat, tawes, dan belut. Kandungan lemak yang tinggi dan warna
daging yang kecokelatan pada daging mackerel disebabkan adanya gurat sisi pada
saraf yang dilapisi lemak dan dialiri pembuluh-pembuluh darah dan banyak
mengandung lemak dan mioglobin (Adawyah 2008). Ikan mackerel yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)
(c)
Gambar 1 Ikan mackerel. (a) kepala, (b) sirip, (c) badan dan ekor
Secara umum dalam sekali produksi dilakukan pengolahan ikan mackerel
fillet didapatkan rendemen daging sebanyak 59.91%, dengan produk samping
berupa, kepala, tulang, isi perut, dan sirip. Sirip mackerel merupakan bagian yang
terdapat didekat kepala yang masih mengandung daging sebanyak 45% yang
dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku produk pengolahan ikan.
Mutu bahan ditentukan oleh jenis dan umurnya dalam upaya untuk
mendapatkan mutu produk yang sesuai agar diperoleh mutu bahan yang seragam
(Syarief 1989). Standar internasional yang digunakan untuk mendapatkan mutu
produk yang seragam pada ikan mackerel yakni bobot 300 g – 500 g dari bahan
baku per ekor. Komposisi daging ikan sangat bervariasi tergantung faktor biologis
dan faktor alam diantaranya jenis ikan, umur, dan jenis kelamin. Makin tua ikan,
kandungan lemaknya cenderung makin banyak, sedangkan jenis kelamin erat
hubungannya dengan kematangan seksual. Pada umumnya bila makin aktif
gerakannya akan mendorong ikan untuk memenuhi kebutuhan energinya dengan
banyak makan. Faktor alam terdiri dari daerah kehidupannya, musim, dan jenis
makanan yang tersedia (Muchtadi et al. 2010). Karakterisasi kimia daging
mackerel pada bagian sirip dilakukan setelah daging dipisahkan dari sirip, tulang,
dan darah dengan hasil karakteristik yang disajikan pada Tabel 1.

7

7
Tabel 1 Karakteristik kimia daging mackerel
Jumlah

FAOa

Suzukib

Air

67.63

56.5-75.0

-

Abu

0.60

1.4-1.6

-

Protein

15.87

15.0-18.0

14.9-21.2

Lemak

15.75

5.5-27.0

13.1-29.7

Komponen (% bb)

a

Sumber: FAO (1986)
Sumber: Suzuki (1981)

b

Hasil perolehan uji proksimat untuk kadar air, kadar abu, kadar protein, dan
kadar lemak sudah sesuai dengan literatur. Kadar air daging mackerel merupakan
komponen dominan sebagaimana yang disebutkan Adawyah (2008) bahwa kadar
air ikan dapat mencapai 80%. Mineral pada daging ikan tidak merata, pada bagian
sarkoplasma banyak mengandung garam kalium, kalsium, magnesium, dan klorin,
sedangkan zat besi terdapat pada darah sebagai inti heme (Adawyah 2008).
Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya.
Kadar lemak dan kadar protein daging mackerel dipengaruhi oleh iklim hidup
ikan mackerel. Saat musim dingin, lemak ikan mackerel akan lebih tinggi dan
protein akan lebih rendah, sedangkan saat musim panas kandungan lemak ikan
mackerel akan lebih rendah, dan untuk protein akan lebih tinggi (Suzuki 1981).
Pengaruh Pencucian Terhadap Karakteristik Daging Mackerel
Daging mackerel yang telah dilakukan pencucian kemudian dilakukan
karakterisasi berupa uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, pH, dan
kecerahan (lightness). Hasil karakteristik komponen kimia daging sirip mackerel
setalah dilakukan pencucian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik daging sirip mackerel setelah pencucian
Karakteristik
Perlakuan
A0B2
A0B3
A2B2
A2B3
A5B2
A5B3

Air (bb)

Abu (bk)

75.63b
72.94c
76.19b
80.47a
76.19b
81.05a

0.82a
0.63a
0.83a
0.85a
0.79a
0.96a

Lemak
(bk)
33.66a
36.35a
32.27a
38.93a
40.78a
29.61a

Protein
(bk)
51.36b
43.32ab
55.56b
37.69a
43.73ab
34.42a

Kecerahan
daging
36.12a
35.88a
37.28a
34.20a
38.70a
37.07a

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%)
B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda
signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls).

Air merupakan komponen dasar dari seekor ikan dimana jaringan daging
ikan diikat sangat erat oleh senyawa-senyawa koloid dan kimiawi sehingga tidak

8
mudah lepas oleh tekanan berat (Muchtadi et al. 2010). Kadar air daging
mackerel meningkat seiring dengan banyaknya frekuensi pencucian. Menurut
Suzuki (1981) pencucian yang berulang-ulang pada umumnya dapat
meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi
sulit dan daging mengembang. Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat
mengakibatkan pembengkakan seperti pada protein miofibrilar. Pembengkakan
mencerminkan adanya pengambilan air oleh jaringan protein yang
merenggangkan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya
antar molekul, ikatan-H, dan interaksi elektrostatik antar polipeptida (Muchtadi
dan Budiatman 1991). Pencucian tiga kali memberikan nilai kadar air tertinggi
akibat adanya air yang terserap oleh daging mackerel selama proses pencucian
(Gambar 2). Shahidi et al. (1992) melaporkan bahwa proses pencucian secara
signifikan meningkatkan kadar air dari daging. Karthikeyan et al. (2004) di dalam
Ng dan Huda (2011) mengatakan bahwa peningkatan kadar air setelah dilakukan
pencucian dikarenakan adanya penyerapan air oleh hidrofil residu myofibrillar
protein. Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh
nyata terhadap kadar air daging setelah pencucian. Secara umum kadar air daging
masih dalam tingkat yang wajar. Hal ini sesuai dengan kadar air ikan yang dapat
digunakan untuk pembuatan bakso, yakni tidak kurang dari 50% (SNI bakso ikan
1995).
Kadar air (% bb)

82
80
78
76
74
72
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 2 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
kadar air daging mackerel setelah pencucian.
pencucian dua
kali,
pencucian tiga kali
Kandungan garam mineral pada ikan bervariasi dan distribusi garam-garam
mineral dalam ikan juga tidak merata. Sarkoplasma banyak mengandung garamgaram potassium, kalsium, magnesium, khlor, sedangkan zat besi banyak terdapat
dalam darah (Muchtadi el al. 2010). Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium
bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu daging mackerel. Kadar
abu dapat digunakan sebagai penentu mutu bahan pangan terkait kadar mineral
(Sudarmadji et al. 1989). Penurunan kadar abu dikaitkan dengan pengurangan
kandungan mineral yang larut dalam air dari daging. Pencucian menyebabkan
banyak mineral yang ikut terbuang yang menyebabkan kadar abu menjadi
berkurang.
Kandungan lemak atau minyak ikan sangat bervariasi, yang dipengaruhi
oleh jenis ikan, umur, musim, dan ketersediaan makan. Pada umumnya lemak
ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang menyebabkan mudah
teroksidasi sehingga menimbulkan ketengikan (Winarno dan Koswara 2002).
Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh nyata

9
terhadap kadar lemak daging mackerel dengan penurunan kadar lemak 16.2%
sampai 39.1%, hal ini jauh jika dibandingkan dengan penelitian Ramadhan et al.
(2011) yang didapatkan penurunan kadar lemak 40% sampai 74.6% pada daging
bebek yang memiliki kandungan lemak 22.8% yang kemudian dilakukan
pencucian menggunakan air keran dengan frekuensi pencucian dua dan tiga kali
diketahui kadar lemak menjadi 13.7% dan 5.8%, sedangkan jika menggunakan
natrium bikarbonat 0.5% pada pencucian dua dan tiga kali kadar lemak menjadi
11.8% dan 8.5%. Penelitian yang dilakukan Muraleedharan dan Gopakumar
(1998) menyatakan bahwa penggunaan natrium bikarbonat 0.2% dapat
mengurangi kandungan lemak daging ikan tuna dari 6.89% menjadi 2.15%
dengan penurunan kadar lemak sebanyak 68%. Penurunan kadar lemak yang
rendah pada penelitian ini disebabkan pada saat pencucian, pengadukan yang
dilakukan tidak terlalu kuat dan sering. Pengadukan selama pencucian
memberikan pengaruh yang kuat untuk memisahkan lemak dari daging, serta
sentrifugasi membuat pemisahan yang jelas antara lemak, air, dan daging karena
adanya perbedaan berat molekul (Ramadhan et al. 2011).
Park (2004) yang menyatakan bahwa natrium bikarbonat pada proses
pencucian daging mackerel dapat memperbaiki warna, menurunkan kadar lemak,
dan memperbaiki aroma dibandingkan dengan proses yang biasa tanpa
penggunaan larutan natrium bikarbonat. Yang dan Froning (1992) di dalam Ng
dan Huda (2011) menyebutkan bahwa terdapat bagian dari lemak yang terapung
selama proses pencucian akibat adanya perbedaan kepadatan dan polaritas antara
lemak dan perlakuan pencucian. Menurut Smith (1987) di dalam Ng dan Huda
(2011) pengurangan ataupun penghilangan lemak penting dilakukan selama
proses pencucian daging karena lemak dapat mempengaruhi kualitas produk
sebagai akibat dari interaksi antara oksidasi lemak dan protein, denaturasi protein,
polimerisasi, dan perubahan sifat fungsional.
Protein merupakan komponen yang penting pada daging ikan yang
terkandung sekitar 15% sampai 24% (bb). Protein daging ikan tersusun atas
sarkoplasma yang terdapat dalam plasma otot dan miofibrilar yang menyusun
serabut otot, sedangkan jaringan ikat pada ikan tersusun dari protein stroma.
Protein sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut
miogen. Kandungan sarkoplasma pada ikan bervariasi tergantung spesies ikan,
tetapi umumnya tinggi pada ikan pelagis seperti sardine dan mackerel (Winarno
dan Koswara 2002). Pencucian dengan menggunakan NaHCO3 berfungsi
membantu menghilangkan protein sarkoplasma dan mengatur pH sehingga
kekuatan gel dapat diperbaiki (Suzuku 1981). Protein sarkoplasma mempengaruhi
kekuatan gel daging sehingga gel tidak elastis karena selama pemanasan
mengalami koagulasi dan melekat bersama-sama protein miofibrilar sehingga
harus dibuang bersamaan dengan proses pencucian. Daging ikan diinginkan
sebagai sumber protein aktomiosin (miofibrilar) yang berfungsi untuk
meningkatkan sifat gel daging (Winarno dan Koswara 2002).
Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata
terhadap kadar protein daging (Gambar 3). Pengaruh pencucian pada penelitian
ini dapat menurunkan kadar protein mencapai 29.8%. Penelitian yang dilakukan
Muraleedharan dan Gopakumar (1998) menyatakan bahwa penggunaan natrium
bikarbonat 0.2% dapat mengurangi kandungan protein sebanyak 28%, sedangkan

10

Kadar protein (% bk)

penelitian yang dilakukan Ramadhan et al. (2011) penurunan kadar protein
mencapai 29.2%.
60
50
40
30
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 3 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
protein daging mackerel setelah pencucian.
pencucian dua kali,
pencucian tiga kali
Pada proses pencucian, suhu air yang digunakan harus berkisar antara 3 oC
sampai 10oC. Suhu air yang tepat mampu menjaga kestabilan fungsional protein
terhadap panas. Jika melebihi suhu toleransi (>10oC) akan terjadi penurunan
protein miofibrilar yang akan mempengaruhi pembentukan gel. Fraksi protein
sarkoplasma (protein larut air) berkisar 20% sampai 30% dari protein total pada
ikan dan sebagian besar hilang atau terbuang pada proses pencucian. Sebagian
besar protein sarkoplasma mudah terlarut dan terbuang ketika proses pencucian
pertama. Pada pencucian kedua, sisa protein sarkoplasma terus terbuang dan
sejumlah kecil dari miosin, aktin, troponin, dan tropomiosin juga ikut terbuang
(Park 2004).
Nilai pH ikan sangat mempengaruhi elastisitas produk olahan yang
dihasilkan, sebaiknya dipilih ikan yang ber-pH 6.5 sampai 7.0 (Winarno dan
Koswara 2002). Pencucian pada daging ikan selain untuk menghilangkan sisa-sisa
darah dan komponen lain yang menyebabkan penyimpangan bau dan warna juga
berfungsi untuk mengekstrak protein larut air yang mengganggu pembentukan
kekuatan gel (Syamsir et al. 2010). Penggunaan NaHCO3 dimaksudkan untuk
mengatur pH dan membantu dalam menghilangkan protein sarkoplasma. Nilai pH
yang netral merupakan salah satu faktor yang mampu meningkatkan kekuatan gel
(Suzuki 1981).
Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata
terhadap pH daging mackerel (Gambar 4). Berbagai konsentrasi dari penambahan
sodium bikarbonat pada tahap pencucian dapat meningkatkan pH (Park 2004).
Penelitian yang dilakukan Muraleedharan dan Gopakumar (1998) menyatakan
bahwa penggunaan natrium bikarbonat 0.2% dapat meningkatkan pH daging ikan
tuna dari pH 6.7 menjadi 7.1. Natrium bikarbonat yang bersifat basa dapat
meningkatkan pH daging mackerel dimana semakin tinggi frekuensi natrium
bikarbonat maka peningkatan pH akan semakin tinggi pula.

11

pH

9
8
7
6
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

Konsentrasi NaHCO3 (%)

Gambar 4 Pengaruh konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terhadap
pH daging mackerel setelah pencucian.
pencucian dua kali,
pencucian tiga kali
Hasil yang sama juga diperoleh bahwa pH tertinggi terdapat pada daging
yang mendapatkan pencucian 0.5% NaHCO3 dengan siklus pencucian tiga kali
(Ng dan Huda 2011). Menurut Nowsad et al. (2000) di dalam Ng dan Huda
(2011) pH meningkat sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian
karena adanya pengurangan kandungan nitrogen bebas, asam lemak bebas, asam
amino, dan senyawa asam lain yang larut larut dalam air selama proses
pencucian. Hal ini sependapat dengan Suvanich dan Marshall (1998) di dalam
Karthikeyan et al. (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan pH terjadi karena
adanya pengurangan asam-asam amino bebas dan zat asam yang larut air.
Ikan mackerel merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki karakteristik
daging kecokelatan dan warna yang gelap akibat tingginya kandungan lemak
yang dibentuk oleh saraf-saraf gurat sisi yang dilapisi dan dilewati ribuan
pembuluh darah. Pigmen merah disebabkan adanya mioglobin yang bersifat larut
dalam air dan larut garam encer (Muchtadi et al. 2010). Okada dan Noguchi
(1974) di dalam Ng dan Huda (2011) menyatakan bahwa pencucian dapat
menghilangkan darah, lemak, protein terlarut, mioglobin, dan komponen nitrogen
lainnya sehingga dapat meningkatkan kecerahan daging.
Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh
nyata terhadap kecerahan (lightness) daging. Pengukuran kecerahan daging
mackerel menggunakan colortex colormeter dengan melihat nilai L. Nilai L
menunjukkan kecerahan bahan. Nilai L yang semakin tinggi menunjukkan bahwa
bahan semakin cerah. Vittayanont (2013) menyatakan bahwa penggunaan natrium
bikarbonat dengan konsentrasi sampai 0.7% pada proses pencucian daging ayam
yang mengandung lemak tinggi menyebabkan nilai kecerahan L meningkat.
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa nilai L tertinggi dimiliki oleh sampel A5B2
dengan konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% dan frekuensi pencucian dua kali.
Tekstur, warna, dan aroma pada produk akhir menjadi lebih baik saat pengotorpengotor dikeluarkan dari bahan baku pada saat pencucian (Park 2004).
Pencucian dengan 0.5% NaHCO3 sebanyak tiga kali menyebabkan berkurangnya
komponen yang tidak diinginkan terutama mioglobin yang mempengaruhi warna
daging. Hasil serupa dikemukakan oleh Dawson et al. (1988) di dalam Ng dan
Huda (2011) dimana pencucian daging dengan 0.5% NaHCO3 dapat
meningkatkan kecerahan daging dibandingkan hanya dengan menggunakan air.

12
Pengaruh Pencucian terhadap Karakteristik Produk Olahan
Karakteristik Kimia
Bakso didefinisikan sebagai daging yang dihaluskan, dicampur dengan
tepung tapioka dan bahan tambahan lainnya, lalu dibentuk bulat-bulat dengan
tangan atau mesin kemudian direbus. Komponen daging yang terpenting dalam
pembuatan bakso adalah protein. Protein daging berperan dalam pengikatan
hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk
menjadi empuk, kompak, dan kenyal. Pada umumnya protein larut garam lebih
efisien sebagai emulsifier dari pada protein larut air. Hal ini disebabkan protein
larut garam memiliki luas permukaan 50 kali lebih besar untuk mengelilingi
partikel-partikel dibandingkan protein larut air (Muchtadi dan Budiatman 1991).
Bahan pengisi bakso yang digunakan diantaranya adalah pati. Pati yang
umum digunakan adalah tapioka dan sagu yang berfungsi untuk mengikat air
(Syamsir et al. 2010). Berbagai bahan yang ditambahkan harus memenuhi syarat
yang tidak menyebabkan efek samping terhadap kesehatan seperti garam, merica,
bawang putih, dan sodium tripolyphosphate (STTP). Bawang putih serta merica
memiliki komponen senyawa volatil yang berperan penting dalam aroma dan
flavor (Satiawihardja el al. 1991). Garam berfungsi sebagai pelarut protein dan
meningkatkan daya ikat air protein daging serta memberi rasa, sodium
tripolyphosphate dapat mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan
pada bakso (Syamsir et al. 2010). Penggunaan es batu berfungsi untuk
meminimalkan denaturasi protein akibat terbentuknya panas yang disebabkan
mesin pencampur adonan karena protein miofibrilar ikan lebih mudah
terdenaturasi dibandingkan dengan protein sejenis pada hewan darat. Hal ini
menyebabkan ikan harus selalu dipertahankan kondisi suhu rendah selama
penyimpanan dan pengolahan, serta proses harus dilakukan secepat mungkin.
Protein dapat menstabilkan emulsi dengan menjebatani antara air dan
lemak. Hal ini disebabkan karena protein memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik,
dimana sisi hidrofilik akan mengikat air dan sisi hidrofobik akan mengikat lemak
(Andarwulan et al. 2011). Pada umumnya protein larut garam lebih efisien
sebagai emulsifier dari pada protein larut air seperti protein sarkoplasma. Garam
yang ditambahkan pada daging dapat meningkatkan tegangan permukaan dan
tegangan interfacial air (Muchtadi dan Budiatman 1991).
Sifat-sifat kimia adalah sifat yang tersembunyi di dalam bahan, sehingga
tidak dapat langsung dilihat oleh mata. Sifat-sifat kimia diantaranya adalah kadar
keasaman, nilai gizi, kandungan bahan berbahaya, dan sebagainya (Syarief 1989).
Hasil karakteristik kadar lemak, kadar protein, kadar abu bakso, dan pH bakso
mackerel disajikan pada Tabel 3. Acuan yang dilakukan untuk mengetahui
karakteristik mutu produk olahan adalah SNI 01-3819-1995 tentang bakso ikan
dan SNI 7757:2013 tentang otak-otak ikan. Pengujian yang dilakukan adalah uji
kadar air, abu, lemak, dan protein bakso. Terlihat bahwa produk olahan yang
dihasilkan belum cocok dimanfaatkan untuk membuat bakso ikan karena
kandungan lemak yang di atas standar sedangkan untuk kadar protein masih di
bawah standar. Karakteristik mutu produk olahan disajikan pada Tabel 4.

13
Tabel 3 Karakteristik kimia produk olahan
Perlakuan
A0B2
A0B3
A2B2
A2B3
A5B2
A5B3

Kadar lemak
(% bk)
3.29c
6.55b
9.07a
6.24b
6.42b
5.15b

Kadar protein
(% bk)
14.64a
19.20a
15.20a
15.99a
13.60a
17.84a

Kadar abu
(% bk)
3.96a
2.95b
3.28b
3.15b
3.38b
3.47b

pH
6.35a
6.48a
6.90c
6.29a
6.67b
7.03c

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%)
B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda
signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls).

Tabel 4 Karakteristik mutu produk olahan
Perlakuan
A0B2
A0B3
A2B2
A2B3
A5B2
A5B3
SNIa
SNIb
a
b

Kadar air
(% bb)
64.10
64.78
64.77
60.01
62.69
66.95
Maks 80
Maks 60

Kadar lemak
(% bb)
1.18
2.31
3.20
2.50
2.40
1.70
Maks 1
Maks 16

Kadar protein
(% bb)
5.26
6.76
5.35
6.40
5.07
5.89
Min 9
Min 5

Kadar abu
(% bb)
1.42
1.04
1.16
1.26
1.26
1.15
Maks 3
Maks 2

SNI Bakso Ikan 01-3819-1995
SNI Otak-Otak Ikan 7757:2013

Perebusan bakso dilakukan pada suhu 70oC sampai 80oC karena jika
pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan denaturasi protein, pemecahan
emulsi, penghancuran vitamin, dan degradasi lemak atau minyak, selain itu
penggunaan suhu yang terlalu tinggi dalam pengolahan pangan menyebabkan cita
rasa yang menyimpang pada bahan (Syarief 1989).
Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Sebagian besar dari
perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan
atau yang berasal dari bahan itu sendiri. Konsentrasi natrium bikarbonat dan
frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bakso mackerel.
Berdasarkan karakteristik kimia bakso mackerel, diketahui bahwa kadar air sudah
memenuhi syarat standar bakso ikan. Rendahnya kadar air pada bakso mackerel
dikarenakan setelah perebusan dilakukan penirisan terlebih dahulu sehingga kadar
airnya menjadi rendah yakni sekitar 60%.
Frekuensi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu bakso.
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komponennya tergantung jenis bahannya. Kadar abu
berhubungan dengan mineral suatu bahan. Kadar abu produk sudah sesuai dengan
standar untuk bakso ikan maupun otak-otak ikan.

14
Konsentrasi natrium bikarbonat dan frekuensi pencucian tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar protein bakso mackerel. Kadar protein bakso mackerel
belum memenuhi standar untuk kadar protein bakso ikan namun sudah memenuhi
kadar protein untuk otak-otak ikan. Hasil uji kadar protein bakso mackerel terlihat
bahwa kadar protein lebih rendah dibandingkan dengan standar nasional bakso
ikan. Penurunan protein yang cukup tinggi dikarenakan pada saat pencucian
daging, komponen protein terlarut ikut terbuang bersama dengan air pencucian
serta pengaruh proses perebusan. Menurut Andarwulan et al. (2011) protein dapat
berubah sifat fisika-kimianya karena pengaruh panas, penambahan pH, pengaruh
pelarut organik (seperti alkohol dan aseton) dan penambahan garam. Adanya
panas pada saat perebusan menyebabkan terjadinya denaturasi protein
sebagaimana yang disebutkan Wijaya el al. (1991), denaturasi protein dapat
terjadi karena perubahan pH, pengaruh panas, radiasi, pelarut orgaik, garam, dan
adsorpsi protein pada interfase yang menyebabkan perubahan susunan rantai
polipeptida.
Frekuensi pencucian tidak mempengaruhi kadar lemak bakso mackerel
namun untuk konsentrasi natrium bikarbonat berpengaruh nyata terhadap kadar
lemak bakso mackerel. Kadar lemak bakso mackerel belum memenuhi standar
untuk kadar bakso ikan namun sudah memenuhi kadar lemak untuk otak-otak
ikan. Kadar lemak bakso mackerel lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak
bakso ikan Standar Nasional Indonesia yang menandakan bahwa pengaruh
frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat belum dapat
menghasilkan produk bakso ikan yang diharapkan namun jika diproduksi untuk
otak-otak ikan sudah sesuai dengan standar nasional yang ada.
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Pengukuran pH
menyatakan perbandingan ion hidrogen dan ion hidroksi suatu bahan sehingga
menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan bahan. Konsentrasi natrium
bikarbonat tidak berpengaruh nyata terhadap pH bakso mackerel. Secara umum
pH bakso berkisar pada pH netral. Besarnya pH pada bakso mackerel diketahui
bahwa pH bakso berkisar antara 6.29 sampai 7.03. Besarnya pH meningkat
sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian (Nowsad et al. 2000) di
dalam Ng dan Huda (2011) karena adanya pengurangan kandungan nitrogen
bebas, asam lemak bebas, asam amino, dan senyawa asam lain yang larut larut
dalam air selama proses pencucian (Karthikeyan et al. 2004) di dalam Ng dan
Huda (2011). pH bakso yang rendah dapat meningkatkan umur simpan bakso
karena pada pH rendah mikroba tidak dapat tumbuh.
Karakteristik Fisik
Penilaian mutu berdasarkan sifat fisik produk relatif lebih mudah dan
sederhana sehingga banyak dilakukan. Sifat-sifat fisik produk diantaranya
meliputi warna, kekerasan, ukuran, bentuk, dan kekentalan (Syarief 1989).
Karakteristik fisik yang dilakukan pada bakso mackerel adalah kecerahan
(lightness) dan tekstur. Hasil karakteristik bakso mackerel disajikan pada Tabel 5.

15
Tabel 5 Karakteristik fisik produk olahan
Karakteristik Fisik
Perlakuan
Kecerahan
A0B2
A0B3
A2B2
A2B3
A5B2
A5B3

37.00a
37.31a
38.30a
39.75a
39.60a
41.78a

Tekstur
(cm/sec/g)
11.29a
11.85a
13.35a
10.21a
12.68a
11.39a

A = Konsentrasi natrium bikarbonat (0.0%, 0.2%, dan 0.5%)
B = Frekuensi pencucian (dua dan tiga kali)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda
signifikan pada taraf uji 5% (Uji Newman – Keuls)

Bakso ikan umumnya berwarna putih karena daging ikan yang digunakan
hanya daging putihnya saja yang diperoleh dari jenis ikan berdaging putih seperti
ikan kakap, kerapu, dan tenggiri, sedangkan untuk daging ikan yang berwarna
gelap seperti tuna, mackerel, dan cakalang dibutuhkan perlakuan pencucian agar
warna daging menjadi lebih cerah. Uji warna bakso menggunakan colortex
colormeter yang memberikan nilai kecerahan (lightness) tertinggi terdapat pada
bakso dengan daging yang mendapat perlakuan pencucian tiga kali dengan
konsentrasi natrium bikarbonat 0.5% yang menandakan bahwa natrium
bikarbonat dapat menghasilkan warna yang lebih baik karena mioglobin ikut
terlarut pada saat proses pencucian sehingga warna menjadi lebih cerah, namun
warna produk olahan belum maksimal berwarna putih sebagaimana produk bakso
ikan pada umumnya.
Frekuensi pencucian dan konsentrasi natrium bikarbonat tidak berpengaruh
nyata terhadap tekstur bakso. Jenis ikan mempengaruhi tekstur bakso yang
dihasilkan (Wibowo 1995). Pengujian tekstur bakso menggunakan pnetrometer
dimana besarnya kedalaman yang dihasilkan oleh beban pada pnetrometer
berbanding terbalik dengan nilai kekerasan. Semakin tinggi nilai yang didapat
berarti bakso memiliki kekerasan yang lebih rendah bila dibandingkan yang lain
(penetrasi jarum lebih besar). Uji kekerasan dengan menggunakan pnetrometer
diketahui bahwa secara umum kekerasan bakso adalah sama. Tekstur bakso lebih
dipengaruhi selama proses pengadonan, jumlah bahan tambahan, dan lamanya
perebusan, selain itu protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging
selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk,
kompak, dan kenyal (Muchtadi dan Budiatman 1991).
Bakso merupakan salah satu jenis produk olahan daging yang sangat mudah
rusak selama penyimpanan. Untuk memperpanjang masa simpannya, bakso perlu
disimpan pada suhu rendah. Penyimpanan menyebabkan mutu pada bakso dapat
menyebabkan berubahnya warna, aroma dan rasa, terbentuknya lendir serta
timbulnya air pada bakso (sineresis). Jika gel pati didiamkan beberapa lama,
maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengkerutan
struktur gel, yang biasanya diikuti keluarnya air dari gel. Pembentukan kembali
struktur krsital itu disebut retrogradasi, sedangkan keluarnya air dari gel disebut
sineresis. Retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari

16
gugus-gusus hidroksil molekul-molekul pati saling membentuk ikatan hidrogen.
Pembentukan ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada molekul amilosa
dibandingkan pada molekul amilopektin. Percabangan amilopektin menghambat
gerakan molekul-molekul amilopektin serta menurunkan kecenderungannya
untuk saling berikatan. Retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat reversible
bila diberi panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi yang terjadi pada
amilosa (Wijaya et al. 1991). Air yang keluar dari gel pati tepung tapioka
menyebabkan bakso menjadi tidak tahan lama dan cepat asam karena mikroba
akan mudah tumbuh.
Perlakuan frekuensi pencucian maupun konsentrasi natrium bikarbonat
tidak berpengaruh nyata terhadap susut bobot bakso setelah dilakukan freeze
thawing. Hasil uji susut bobot bakso diketahui bahwa susut bobot semakin banyak
perlakuan freeze thawing menyebabkan semakin banyak air yang keluar dari
bakso (Gambar 5).
Sineresis (%)

1.5
1.0
0.5
0.0
0

1

2

3

4

5

Freeze thaw cycle

Gambar 5 freeze thaw stability bakso mackerel.
A2B2,
A2B3,
A5B2,

A0B2,
A5B3

A0B3,

Tepung tapioka merupakan jenis pati yang memiliki kandungan amilopektin
83% sedangkan amilosa yang hanya 17%. Amilosa merupakan rantai linear yang
dihubungkan dengan ikatan glukosida, sedangkan amilopektik memiliki struktur
bercabang. Jika suspensi pati dipanaskan dengan panas yang cukup untuk
memutus ikatan yang lemah antara kristal misela, granula mulai menyerap air dan
membengkak. Apabila larutan pati didinginkan, molekul linearnya menyusun diri
dengan ikatan hidrogen menjadi endapan yang tak larut dan terjadi penggabungan
molekul linear yang menyebabkan air keluar dari larutan pati. Struktur
amilopektin yang bercabang menyebabkan menggabungan ikatan relatif lambat
sehingga pengeluaran air dapat diminimalkan (Muchtadi dan Budiatman 1991).
Kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa
menyebabkan sineresis dapat diminimalkan.
Bakso mackerel yang telah dilakukan penimbangan susut bobot akibat
sineresis kemudian diuji kekerasan dengan menggunakan pnetrometer. Hasil uji
tekstur bakso (Gambar 6) terlihat bahwa semakin sering bakso mackerel
dilakukan freeze thawing menyebabkan bakso menjadi semakin keras akibat
sineresis bakso. Sejalan dengan sineresis dimana air keluar dari bakso yang
menyebabkan bakso menjadi lebih keras. Semakin banyak air yang keluar saat
sineresis maka akan semakin keras bakso yang telah mengalami sineresis.

Tekstur (cm/sec/g)

17
20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

Freeze thaw cycle

Gambar 6 Tekstur bakso mackerel setelah freeze thaw.
A0B2,
A2B2,
A2B3,
A5B2,
A5B3

A0B3,

Penerimaan Produk Olahan Daging Mackerel
Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan pengujian dimana panelis
mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan
yang diuji yang dipengaruhi keadaan fisik dan psikologi panelis (Apriyantono dan
Wijaya 1992). Paling tidak ada lima parameter sensoris yang perlu dinilai, yaitu
bentuk, warna, bau, rasa, dan tekstur. Bakso mackerel yang dihasilkan dapat
dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7 Bakso mackerel
Bentuk merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam
mengkonsumsi suatu produk (Astuti2009). Bila kesan b