Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus Falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon Sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan

(1)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

)

DAN IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin

C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(2)

RINGKASAN

ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO SANTOSO dan SANTOSO

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat, mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A (cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan

A1B2 (cucut 25%: pari 75%).

Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan 1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa).

Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga 88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari kelapa).

Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu

menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan komposisi daging lumat lainnya.

Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang dihasilkan.

Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar

276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B. Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan daya ikat air surimi yang dihasilkan.

Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik

mutu surimi pada kekuatan gel-nya, namun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dingindaging lumat maka kualitas surimi (kekuatan gel, derajat putih, dan daya ikat air) yang dihasilkan akan ikut menurun pula.


(3)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

) DAN

IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(4)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)

DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Nama : Ade Wiguna Nur Yasin

NRP : C34101063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. Ir. Santoso, MPhill. NIP 131 999 592 NIP 080 064 814

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP 130 805 031


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir. Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua bantuan, restu dan doa kepada penulis.

Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir. Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan.

Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis.

Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34, 35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend “Esti Fitri Lestari” atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least ” research is fun”.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan.


(6)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya, sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan air laut (aktivitas osmoregulasi).

Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat tahun 2004 (Mahyuddin 2005)

Hasil olahan

Jenis Ukuran (cm)

Harga (Rp)

Jenis Ukuran (cm)

Harga (Rp) Kerupuk

kulit hitam

kering - 70.000 - - -

Kerupuk kulit putih

kering - 80.000 - - -

Sirip super kering 41 1.100.000 basah 41 420.000 Sirip biasa kering 35 1.000.000 basah 35 300.000

Daging kering - - basah - 5.000/kg

Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja (cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional (sebagian besar menjadi ikan asin).

Sangat disayangkan bahwa besarnya kandungan gizi yang terdapat pada kedua ikan tersebut hanya dibuang percuma atau hanya sedikit yang dimanfaatkan, disamping itu hal ini tidak sejalan dengan program yang dicanangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang menegaskan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh ikan elasmobranchii


(7)

yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005).

Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging dari kedua ikan tersebut.

Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober 2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000).

Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut: 1. Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang

digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.

2. Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang tinggi.

3. Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi pengolahan dan bumbu-bumbu.

4. Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas yang konsisten.

Pengolahan surimi memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan, dimana permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1990 saja permintaan akan surimi di dunia mencapai 173.000 ton, yang tercatat bahwa mengalami peningkatan dari dekade sebelumnya (Kim et al 1996). Dilaporkan oleh globefish (2005) bahwa pada tahun 2004 produksi surimi secara global diperkirakan mencapai angka 550.000 hingga 600.000 ton, dimana pasar surimi terbesar adalah Jepang (400.000 ton) dan Korea Selatan (100.000 ton). Tak heran maka kedua negara tersebut adalah tujuan utama


(8)

eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian terhadap pengurangan kadar urea, mempelajari pengaruh pengkomposisian kedua jenis daging ikan elasmobranchii tersebut, serta pengaruh penyimpanan dingindaging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan.


(9)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis)

Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977): Phylum: Vertebrata

Sub phylum: Craniata

Super kelas: Gnathustomata

Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes) Sub kelas: Elasmobranchii

Ordo: Squaliformes Famili: Carcharinidae

Genus: Carcharinus

Spesies: Carcharinus falciformis

Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen Perikanan 1990).

Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)

Daerah perairan pantai di Indonesia yang menghasilkan ikan cucut yaitu: perairan pantai barat Sumatera, Selat Malaka, timur Sumatera, selatan dan utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan/Barat, timur Kalimantan, selatan dan utara Sulawesi, Maluku dan


(10)

Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003 yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera

Jawa

Bali-Nusatenggara Kalimantan

Sulawesi Maluku-Papua

21.870 14.499 3.148 6.280 5.935 6.368

Total 58.100

Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat, hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi.

Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu.

Pemanfaatan daging ikan cucut saat ini belum optimal sebagai bahan konsumsi masyarakat. Meskipun kandungan protein daging ikan cucut cukup tinggi (15-25 %bb). Kadar urea yang tinggi yang mudah mengalami penguraian dan menimbulkan aroma pesing selama penanganannya adalah salah satu penyebab mengapa daging ikan cucut kurang diminati untuk dikonsumsi (Wahyuni 1992). Hal serupa juga diungkapkan oleh Lagler et al. (1977) bahwa faktor penghambat dalam pemanfaatan daging ikan bertulang rawan (elasmobranchii) adalah aroma pesing yang cukup tajam dimana aroma pesing ini timbul karena tingginya kadar urea dalam daging, yaitu sebesar 1-2 %. Masalah aroma tersebut dapat dicegah dengan mudah, yaitu dengan cara mengeluarkan darah segera pada saat cucut baru tertangkap, dan segera


(11)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

)

DAN IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin

C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(12)

RINGKASAN

ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO SANTOSO dan SANTOSO

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat, mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A (cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan

A1B2 (cucut 25%: pari 75%).

Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan 1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa).

Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga 88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari kelapa).

Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu

menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan komposisi daging lumat lainnya.

Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang dihasilkan.

Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar

276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B. Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan daya ikat air surimi yang dihasilkan.

Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik

mutu surimi pada kekuatan gel-nya, namun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dingindaging lumat maka kualitas surimi (kekuatan gel, derajat putih, dan daya ikat air) yang dihasilkan akan ikut menurun pula.


(13)

PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN

DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (

Carcharinus falciformis

) DAN

IKAN PARI KELAPA (

Trygon sephen

) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ade Wiguna Nur Yasin C34101063

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(14)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis)

DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP

KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN

Nama : Ade Wiguna Nur Yasin

NRP : C34101063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. Ir. Santoso, MPhill. NIP 131 999 592 NIP 080 064 814

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP 130 805 031


(15)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir. Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua bantuan, restu dan doa kepada penulis.

Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir. Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan.

Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis.

Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34, 35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend “Esti Fitri Lestari” atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least ” research is fun”.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan.


(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya, sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan air laut (aktivitas osmoregulasi).

Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat tahun 2004 (Mahyuddin 2005)

Hasil olahan

Jenis Ukuran (cm)

Harga (Rp)

Jenis Ukuran (cm)

Harga (Rp) Kerupuk

kulit hitam

kering - 70.000 - - -

Kerupuk kulit putih

kering - 80.000 - - -

Sirip super kering 41 1.100.000 basah 41 420.000 Sirip biasa kering 35 1.000.000 basah 35 300.000

Daging kering - - basah - 5.000/kg

Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja (cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional (sebagian besar menjadi ikan asin).

Sangat disayangkan bahwa besarnya kandungan gizi yang terdapat pada kedua ikan tersebut hanya dibuang percuma atau hanya sedikit yang dimanfaatkan, disamping itu hal ini tidak sejalan dengan program yang dicanangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang menegaskan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh ikan elasmobranchii


(17)

yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005).

Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging dari kedua ikan tersebut.

Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober 2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000).

Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut: 1. Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang

digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.

2. Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang tinggi.

3. Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi pengolahan dan bumbu-bumbu.

4. Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas yang konsisten.

Pengolahan surimi memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan, dimana permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1990 saja permintaan akan surimi di dunia mencapai 173.000 ton, yang tercatat bahwa mengalami peningkatan dari dekade sebelumnya (Kim et al 1996). Dilaporkan oleh globefish (2005) bahwa pada tahun 2004 produksi surimi secara global diperkirakan mencapai angka 550.000 hingga 600.000 ton, dimana pasar surimi terbesar adalah Jepang (400.000 ton) dan Korea Selatan (100.000 ton). Tak heran maka kedua negara tersebut adalah tujuan utama


(18)

eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian terhadap pengurangan kadar urea, mempelajari pengaruh pengkomposisian kedua jenis daging ikan elasmobranchii tersebut, serta pengaruh penyimpanan dingindaging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan.


(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis)

Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977): Phylum: Vertebrata

Sub phylum: Craniata

Super kelas: Gnathustomata

Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes) Sub kelas: Elasmobranchii

Ordo: Squaliformes Famili: Carcharinidae

Genus: Carcharinus

Spesies: Carcharinus falciformis

Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen Perikanan 1990).

Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005)

Daerah perairan pantai di Indonesia yang menghasilkan ikan cucut yaitu: perairan pantai barat Sumatera, Selat Malaka, timur Sumatera, selatan dan utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan/Barat, timur Kalimantan, selatan dan utara Sulawesi, Maluku dan


(20)

Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003 yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera

Jawa

Bali-Nusatenggara Kalimantan

Sulawesi Maluku-Papua

21.870 14.499 3.148 6.280 5.935 6.368

Total 58.100

Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat, hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi.

Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu.

Pemanfaatan daging ikan cucut saat ini belum optimal sebagai bahan konsumsi masyarakat. Meskipun kandungan protein daging ikan cucut cukup tinggi (15-25 %bb). Kadar urea yang tinggi yang mudah mengalami penguraian dan menimbulkan aroma pesing selama penanganannya adalah salah satu penyebab mengapa daging ikan cucut kurang diminati untuk dikonsumsi (Wahyuni 1992). Hal serupa juga diungkapkan oleh Lagler et al. (1977) bahwa faktor penghambat dalam pemanfaatan daging ikan bertulang rawan (elasmobranchii) adalah aroma pesing yang cukup tajam dimana aroma pesing ini timbul karena tingginya kadar urea dalam daging, yaitu sebesar 1-2 %. Masalah aroma tersebut dapat dicegah dengan mudah, yaitu dengan cara mengeluarkan darah segera pada saat cucut baru tertangkap, dan segera


(21)

mencuci daging tersebut dengan air laut, lalu menyimpannya pada es atau pada suhu beku (Musick 2005).

2.2 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen)

Ikan pari yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan pari kelapa yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Ridwan dan Murniarti 1985) :

Kingdom: Animalia Sub kingdom: Metazoa

Phylum: Chordata

Sub phylum: Vertebrata Kelas: Chondrichtyes

Sub kelas: Elasmobranchii Ordo: Batoidei

Famili: Trigonidae Genus: Trygon

Spesies: Trygon sephen

Ikan pari (batoid) adalah jenis ikan demersal yang mempunyai ciri tubuh berbentuk belah ketupat, ekor seperti cambuk, bersirip ekor yang kecil ujungnya, kulit licin dan berduri. Pada punggungnya yang berwarna merah sawo matang mengkilap terdapat duri-duri beracun dan selaput kulit bagian bawah yang menonjol berwarna biru (Kamallan 1988). Menurut Musick (2005) pada beberapa jenis batoid seperti skates (Rajidae), stingray (Dasyatidae), dan eagle ray (Myliobatidae) tubuhnya didominasi oleh sirip pektoral yang menyerupai sayap, yang berbeda dengan tubuh cucut yang berbentuk tebal dan berisi. Gambar ikan pari kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.


(22)

Beberapa jenis batoid adalah sangat mirip dengan cucut pada morfologinya dan pengolahan dagingnya-pun sama seperti cucut (Musick 2005). Ikan pari termasuk ikan bertulang rawan, yang memiliki kadar urea yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras (Manik 2003).

Manik (2003) melaporkan bahwa di Indonesia daging ikan pari dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia dan pakan ternak. Minyaknya dapat digunakan sebagai obat-obatan. Ikan pari yang dijual di pasaran biasanya dalam keadaan segar atau sudah dikeringkan. Ikan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan samping.

Ikan pari tertangkap diseluruh perairan Indonesia, dimana daerah penangkapan terbesar berada di pulau Sumatera (23.262 ton) (DKP 2005). Selengkapnya data statistik penangkapan ikan pari di Indonesia tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi perikanan pari di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Produksi tangkapan (ton) Sumatera

Jawa

Bali-Nusatenggara Kalimantan

Sulawesi Maluku-Papua

23.262 22.651 1.919 6.333 4.071 1.223

Total 59.459

Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

2.3 Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS)

Menurut (Camhi et al. 1998) ikan elasmobranchii memiliki tingkat produksi yang rendah di dunia dibandingkan dengan jenis ikan target (teleostei). Jenis ikan ini memiliki nilai yang rendah dan dalam jumlah yang besar tertangkap sebagai ikan HTS. Jenis ikan ini biasa tertangkap pada alat tangkap jenis pukat, jaring insang, pukat cincin, dan rawai. Menurut Francis dan Grigs (1997) diacu dalam Camhi et al. (1998) dalam penangkapan ikan teleostei laut (misalnya tuna dan billfishes) justru cucut tertangkap lebih banyak sebagai ikan HTS dibandingkan dengan ikan target penangkapan utama.

Bonfill (1994) diacu dalam Camhi et al. (1998) melaporkan bahwa hingga akhir tahun 1980 terdapat 12.000 ton bahkan hingga 300.000 ton elasmobranchii tertangkap sebagai HTS setiap tahunnya. Sekitar 4.000 ton tertangkap oleh alat tangkap rawai permukaan dan lebih dari 8.000 ton tertangkap oleh rawai tuna (pada perikanan tuna di Jepang, Korea dan Taiwan).


(23)

Sangat disayangkan sekali bahwa dari 10.000 ton ikan cucut yang tertangkap setiap tahunnya hanya diambil siripnya saja dan dagingnya dibuang kembali ke laut (Musick 2005).

Dalam FAO International Plan of Action for the Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) mewajibkan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh cucut yang telah mati, termasuk juga pada cucut yang telah dihilangkan siripnya (Musick 2005).

2.4 Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin

Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Sun Pan 1994).

Kemunduran mutu terjadi sesaat setelah ikan mati. Menurut Amlacher (1961) ketika suplai oksigen terhenti, maka akan terjadi peristiwa glikolisis pada jaringan otot ikan. Akibat dari peristiwa tersebut maka pH akan turun, dimana glikogen akan dihidrolisis menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya nilai pH (Connell 1980; Suvanich dan Marshall 1996). Selanjutnya kreatin-fosfat (CP) (gudang dari energi ikatan fosfat) secara normal akan hilang dari jaringan otot. Setelah kehilangan sekitar 60 % CP, penguraian terhadap adenosin trifosfat (ATP) dimulai. Menurut Botta (1994) penguraian secara enzimatis pada daging ikan akan menyebabkan terurainya ATP menjadi hipoksantin. Setelah ikan mati, ATP akan mengalami penguraian secara cepat melalui reaksi defosforilasi dan deaminasi menjadi adenosin monofosfat (AMP) dan akan terurai lagi menjadi inosin monofosfat (IMP). IMP akan terurai dengan lambat secara defosforilasi dan hidrolisasi oleh enzim atau mikroba menjadi hipoksantin. Hipoksantin akan teroksidasi menjadi xantin dimana xantin juga akan terurai oleh proses oksidasi menjadi asam urat. Hipoksantin dapat menyebabkan rasa pahit pada daging ikan. Skema proses penguraian ATP menjadi asam urat dapat dilihat pada Gambar 3.


(24)

2 Pi defosforilasi

Adenosin monofosfat (AMP) NH3

deaminasi

Inosin monofosfat (IMP) 2 Pi defosforilasi

Inosin hidrolisis

Hipoksantin oksidasi

Xantin oksidasi

Adenosin trifosfat (ATP)

Asam urat

Gambar 3 Degradasi nukleotida pada saat fase rigormortis ikan (Botta 1994)

Menurut Clucas dan Ward (1996) mikroorganisme yang ada pada kulit, insang, dan alat pencernaan pada kondisi ikan mati akan segera menggandakan diri untuk menyerang daging ikan karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh. Selanjutnya Connell (1980) menyatakan bahwa selama ikan hidup, tubuh ikan akan terjaga tetap steril dari mikroorganisme pembusuk karena tubuh ikan memiliki kemampuan diri untuk mempertahankan hidupnya.

Menurut Connell (1980) penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH. Menurut Amlacher (1961) setelah rigor, enzim proteolisis aktif. Enzim ini akan menguraikan protein. Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia.

Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan karena aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Menurut Clucas dan Ward (1996) pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan


(25)

lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah. 2.5 Surimi

Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia. Surimi sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992).

Pengolahan surimi dari jenis ikan HTS dapat membantu nelayan untuk meningkatkan nilai tambah dari ikan HTS tersebut, misalnya ikan cucut dan pari.

2.5.1 Pengertian surimi

Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) surimi adalah protein miofibril ikan yang telah distabilisasikan dan diproduksi melalui tahap proses secara kontinu yang meliputi penghilangan kepala, penghilangan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air, dan pembekuan dengan cryoprotectant, juga dapat diartikan sebagai suatu proses pencucian dan penghilangan air pada daging lumat ikan dari protein sarkoplasma, lemak, dan bahan-bahan yang tak diinginkan seperti kulit dan tulang.

Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang diperlukan untuk mengawetkannya (Surimithailand 2005). Surimi adalah produk antara, yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly product) seperti: bakso ikan, sosis ikan, siomay, otak-otak, fish cake, kamaboko, dan sebagainya yang spesifikasinya menuntut kelenturan (spinginess) yang merupakan kriteria mutu utama produk tersebut (BPPMHP 1987).

2.5.2 Pengolahan surimi

Pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: persiapan bahan baku, pencucian, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air, penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Diagram alir pengolahan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.


(26)

Pencucian Pemfiletan

Ikan

Pemisahan tulang dan pelumatan

Meat-bone separator Daging Lumat

Pertama: air dingin Kedua: air dingin

Ketiga: air dingin + NaCl 0,2-0,3 % Screwpress

Pengurangan air

Surimi beku

Pengepakan dan pembekuan Penambahan cryoprotectant

Pencucian

Silent cutter

Gambar 4 Proses pengolahan surimi (Shimizu et al. 1992)

Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel ini akan mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik, sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).

Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993) kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.

Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain adalah: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian (Lee 1994). Menurut Bertak dan Karahadian (1995) faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 °C.


(27)

Menurut Benjakul et al. (1996) pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik, dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida.

Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Menurut Lee (1986) diacu dalam Benjakul et al. (1996) komponen utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et al. (1996) diacu dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan surimi.

2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980).

Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula dan polifosfat).

2.5.3.1 Garam

Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Menurut Zaitsev et al. (1969) garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme. Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga mikroorganisme akan mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup.

Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990). Menurut KIFTC (1992) bahwa dalam pembuatan produk fish jelly, NaCl


(28)

digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi protein miofibril daripada sebagai penambah cita rasa. Penambahan NaCl pada konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk, karena untuk menghindari rasa asinnya (Niwa 1992).

2.5.3.2 Anti denaturan (cryoprotectant)

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama.

Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat anti denaturan. Penyimpanan surimi dalam waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Menurut Pipattasatayanuwong et al. (1995) cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat.

Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984). Menurut Peranginangin et al. (1999) penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan.

Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat dan natrium tripolifosfat (STPP). Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat digunakan pertama kali oleh Nishiya’s Group (industri surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiya’s Group melaporkan bahwa pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat.

Peranginangin et al. (1999) melaporkan bahwa polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat


(29)

menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi.

Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.

Penambahan bahan tambahan makanan menurut Codex Alimentarius Abridged Version (1990) diacu dalam Matsumoto dan Noguchi (1992) ditetapkan bahwa penggunaan sodium tripolifosfat yang diizinkan penggunaanya adalah 3 g/kg daging ikan. Apabila ditinjau dari komposisinya ternyata sodium tripolifosfat terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak mengganggu kesehatan bahkan fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral.

Surimi bebas fosfat dapat diproduksi dengan maksud menyingkirkan masalah konsumen yang kawatir terhadap keseimbangan nutrisi dari kalsium dan fosfat (Matsumoto dan Noguchi 1992).

2.5.4 Mekanisme terbentuknya gel

Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan dari surimi tersebut untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan yang diolah dari surimi tersebut. Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Interaksi ini berlangsung cepat pada kandungan protein yang tinggi karena akan sering terjadi kontak intermolekul. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak.

Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen disulfida. Menurut Jaczynski dan Park (2004) gelasi adalah hasil dari denaturasi protein, yang dimulai dengan interaksi intermolekul dan intramolekul kovalen dan non-kovalen, termasuk ikatan disulfida (SS) dan interaksi hidrofobik.

Menurut Baier dan Mc Clements (2005)karakteristik fisikokimia dari pembentukan gel adalah hasil akhir dari interaksi antara pelarut, zat terlarut dan protein yang membentuk jaringan. Kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer penyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Kombinasi yang unik ikatan kovalen pada umumnya adalah ikatan disulfida, ikatan intermolekul non-kovalen oleh ikatan hidrogen dan elektrostatik dan interaksi


(30)

hidrofobik secara signifikan dapat mempengaruhi terbentuknya gel. Besarnya interaksi non-kovalen dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti pH dan konsentrasi zat terlarut. Sedangkan ikatan hidrogen dan kekuatan hidrofobik tergantung kepada jumlah air sebagai zat pelarut (Baier dan Mc Clements 2005).

2.5.4.1 Pengaruh garam terhadap protein miofibril

Proses gelasi daging ikan adalah peristiwa dimana daging ikan membentuk gel karena pemberian perlakuan khusus yaitu dengan penambahan garam dan seiring dengan peningkatan suhu tertentu (BPPMHP 1987).

Niwa (1992) melaporkan bahwa dalam proses pembentukan gel surimi, miofibril akan hilang karena larut dalam air yang telah ditambahkan garam. Ketika garam masuk, maka ion garam secara individu terhidrasi dengan air, kemudian akan berikatan dengan grup yang berlawanan pada permukaan protein. Ikatan garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin untuk membentuk struktur makromolekul aktomiosin. Proses pembentukan aktomiosin dari miofibril dapat dilihat pada Gambar 5.

A M

NaCl

A M

Keterangan: A = aktin M = miosin

Gambar 5. Pembentukan aktomiosin dari miofibril (Niwa 1992)

Garam tidak hanya berpengaruh terhadap kelarutan protein miofibril, tetapi juga dapat menstabilisasikan molekulnya terhadap denaturasi panas. Keduanya dari miosin dan aktomiosin memiliki peranan yang penting dalam gelasi surimi. Massa ini disebut dengan sol yang bersifat sangat adesif.


(31)

2.5.4.2 Perubahan sol menjadi gel

Menurut Hudson (1992) gel protein didefinisikan sebagai jaringan tiga dimensi dimana polimer-polimer dan polimer-pelarut berinteraksi yang menghasilkan imobilisasi dari sejumlah besar air dari proporsi protein yang kecil.

Niwa (1992) menyatakan bahwa ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik.

Menurut Baier dan Mc Clements (2005) protein akan segera bereaksi karena adanya aktifitas dari air. Hal ini dapat terjadi karena sifat yang unik dari air. Air adalah ligan terbanyak yang mengelilingi molekul protein. Niwa (1992) melaporkan bahwa asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin, dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin dan hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan.

Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai hadirnya dari beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC. Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein.

Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC).


(32)

Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Menurut Suzuki (1981) ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Dilaporkan bahwa gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C.

Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk.

Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel kamaboko yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Menurut Suzuki (1981) gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi. Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.

2-3% NaCl

~50°C ~60°C 90°C~

Daging Ikan Sol Aktomiosin (pasta daging)

Suwari Gel Modori Gel Kamaboko

Gambar 6 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981) 2.5.5 Mutu surimi

Karakteristik kesegaran bahan baku surimi menurut SNI (01-2694.1-1992) secara organoleptik sekurang-kurang sebagai berikut:


(33)

b) aroma : segar spesifik jenis c) daging : elastis, padat dan kompak d) rasa : netral agak manis

Untuk mempertahankan mutu, bahan baku harus segera diolah. Apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5°C), kondisi saniter dan higienis (SNI 2694.1-1992). Syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 01-2693-1992 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

a) Organoleptik - Nilai min

b) Cemaran mikroba - ALT, maks

- Escherichia coli - Coliform

- Salmonella *) - Vibrio cholerae *) c) Cemaran kimia - Abu total, maks - Lemak, maks - Protein, maks d) Fisika

- Suhu pusat, maks - Uji lipat, min - Elastisitas, min

koloni/g

AMP/g per 25 g per 25 g

% b/b % b/b % b/b ºC g/cm2 7

5 x 105 < 3 3 negatif negatif 1 0,5 15 -18 ºC grade A 300

*) jika diminta importir

Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total AMP = Angka Paling Memungkinkan

2.6 Non Nitrogen Protein (NNP)

Senyawa NNP memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut. Pada elasmobranchii, non nitrogen protein berjumlah sekitar 30 %, sedangkan pada teleostei yang ditangkap di India kandungan NNP-nya adalah sekitar 10 %, dan pada golongan krustasea mengandung NNP sekitar 23 % dari total nitrogen (Govindan 1985).

Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) kandungan NNP pada ikan bertulang


(34)

keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %.

Menurut Simidu (1961) senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin).

Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda. Kandungan NNP dari berbagai jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan (Shahidi 1994)

Spesies Asam Amino

Bebas Peptida Nukleotida Kreatin/ Kreatinin Betain Lainnya

a Mackarel Hiu Udang Kepiting Cumi-cumi Kerang 25 5 65 75 50 35 5 5 5 5 5 5 10 5 5 15 15 35 35 10 - - - - - - 5 5 10 15 25 75b 20 - 20c 10

Keterangan : a) amonia, urea, trimetilamin oksida dan amida, b) kandungan utamanya urea, c) mengandung 10 % oktopin

Govindan (1985) menyatakan bahwa senyawa NNP secara umum terkandung di dalam otot ikan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas serta berkontribusi terhadap flavor. NNP memainkan peranan yang penting dalam proses metabolisme dari hewan laut, dan juga dalam proses kebusukan (Simidu 1961).

Urea merupakan sumber amonia, dimana senyawa ini merupakan karakteristik dari daging ikan bertulang rawan. Urea terdapat baik pada ikan bertulang rawan, maupun ikan bertulang keras. Perbedaannya, ikan bertulang keras mengeluarkan urea dengan cepat, sedangkan pada ikan bertulang rawan urea tetap tinggal di dalam darah dan cairan tubuh.

Keberadaan urea di dalam ikan bertulang rawan adalah sebagai pengatur tekanan osmosis atau sebagai osmoregulator tubuh ikan dengan lingkungannya (Musick 2005). Tekanan osmosis laut memiliki perbedaan kurang lebih sebesar 100 kali dibandingkan dengan air tawar (Govindan 1985).

Kandungan urea pada elasmobranchii cukup bervariasi sesuai dengan spesiesnya, yang berkisar antara 1,4–2,0 % (Lagler et al. 1977; Govindan 1985). Urea terbentuk karena adanya


(35)

enzim arginase. Enzim arginase berperan mengubah arginin menjadi ornitin dan urea di seluruh tubuh.

Urea memiliki sifat tidak berwarna, mudah larut dalam air dan alkohol, asam asetat dan pirimidin, tidak berbahaya namun dapat menghasilkan aroma yang spesifik dan rasa sour bitter (Kreuzer dan Ahmed 1978). Menurut Simidu (1961) sintesis senyawa ini terjadi pada seluruh organ tubuh ikan elasmobranchii, karena dilaporkan bahwa enzim arginase terdapat di seluruh tubuhnya.

Mekanisme pembentukan urea secara biokimia terjadi melalui siklus Krebs yang diperlihatkan dalam Gambar 7.

1) CO2 + NH3 Karbamilfosfat

2) Karbamilfosfat + Ornitin Sitrulin 3) Sitrulin + Aspartat Arginosuksinat 4) Arginosuksinat Arginin

5) Arginin Arginase Urea + Ornitin

Gambar 7 Mekanisme pembentukan urea (Simidu 1961)

Musick (2005) menyatakan bahwa setelah ikan mati, urea akan diuraikan menjadi amonia yang dapat menghasilkan aroma yang kuat dimana pada konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan toksik. Selanjutnya Simidu (1961) melaporkan bahwa terjadi pembentukan amonia dalam jumlah yang besar selama masa penyimpanan daging ikan elasmobranchii, yang secara jelas diindikasikan bahwa urea sebagi prekursornya. Enzim urease bertanggung jawab terhadap proses dekomposisi ini, akan tetapi aksi dari bakteri juga dapat menyebabkan dekomposisi urea. Tidak ada periode inaktif yang ditemukan pada daging yang disimpan pada suhu tinggi maupun rendah atau ketika dilumatkan terhadap dekomposisi urea menjadi amonia. Menurut Walser (1981) konversi dari N-urea menjadi N-amonia disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enzim urease.

Dorn (2005) menjelaskan tentang konversi urea menjadi amonia. Hasil dari uraian urea adalah amonia dan karbondioksida. Proses konversi tersebut berlangsung dalam dua tahap. Ketika urea (CO(NH2)2) bertemu dengan air (hidrolisis) akan membentuk ammonium

karbonat (NH4)2CO3. Amonium sangat tidak stabil dan akan terurai untuk membentuk gas

amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Menurut Camberato (2001) hidrolisis urea adalah


(36)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2005. Penelitian utama dan penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Organoleptik Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Muara Baru, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea pada penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Kimia Pengujian Mutu Hasil Perikanan Dinas Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea dan derajat putih pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat dan pengujian daya ikat air (WHC) pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan dan Gizi, Pusat Antar Universitas (PAU-Pangan dan Gizi), Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan cucut pisang, ikan pari kelapa, garam, sukrosa, sodium tripolifosfat (STPP), dan es curai. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis protein, lemak, total volatil basa nitrogen (TVBN), trimetilamin (TMA), urea, dan protein larut garam (PLG)). 3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dibagi menjadi: peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi (cool box, wadah air (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, pres hidraulik, kain kasa saring, plastik polyetilen (PE), show case

cabinet (suhu 4-5 ºC), termokopel digital, timbangan digital, water bath, dan peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi (proksimat (kjeltec system, oven, tanur,

desikator), pH (pH meter digital merek: InoLab), TVBN dan TMA (cawan conway), urea (spektrofotometer uv-vis merek: Perkin Elmer), PLG (sentrifus dingin, kjeltec system),


(37)

kekuatan gel, WHC (pengepres hidraulik), dan derajat putih (Whiteness meter merek: Kett electric).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1) Penelitian pendahuluan, yaitu analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (rendemen daging lumat, proksimat, pH, dan TVBN), penentuan frekuensi pencucian dan komposisi daging lumat terbaik).

Penentuan frekuensi pencucianterbaik ditentukan berdasarkan jumlah penurunan kadar urea dan jumlah peningkatan kadar protein larut garam daging lumat, sedangkan komposisi daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel daging lumat tertinggi.

2) Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik mutu fisika-kimia surimi (kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih, dan daya ikat air).

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisika dan kimia ikan, mencari jumlah pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea daging lumat serta meningkatkan kadar protein larut garam, dan mencari kombinasi komposisi pencampuran daging lumat terbaik antara ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Kombinasi pengkomposisian daging lumat dapat dilihat pada Tabel 6. Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 6 Rasio pengkomposisian daging lumat ikan cucut dan ikan pari Kombinasi komposisi daging lumat Jenis ikan

A B A1B1 A2B1 A1B2

Cucut 100 % 0 % 50 % 75 % 25 %

Pari 0 % 100 % 50 % 25 % 75 %

Keterangan : A adalah daging lumat cucut 100 %, B adalah daging lumat pari 100 %, A1B1 adalah daging lumat cucut 50 % : pari 50 %, A2B1 adalah daging lumat cucut 75 % : pari 25 %, dan A1B2 adalah daging lumat lumat cucut 25 % : pari 75 %.


(38)

Gambar 8 Diagram alir penelitian pendahuluan Cucut

kepala, sirip, ekor, isi perut dan kulit

Disiangi

Dicuci

Analisis PLG dan Urea

Gel

Analisis kekuatan gel Penentuan

komposisi terbaik dari kelima

komposisi

Pencucian 0,1,2,3,4 X

Dilarutkan pada larutan garam, dan

dipanaskan dua tahap (40 dan 90 °C) selama 20

menit A B A1B1 A1B2

Dilumatkan

Daging Lumat

Dikomposisikan

Rendemen berat

A2B1 Analisis kadar

proksimat, pH, dan TVBN

Jumlah pencucian dan kombinasi komposisi terbaik Ditimbang


(39)

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan elasmobranchii yaitu ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Ikan tersebut diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara pada pagi hari. Ikan diangkut ke Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan BPPMHP Muara Baru, Jakarta Utara dengan jarak kurang lebih 10 km, waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Ikan terlebih dahulu dimasukkan kedalam cool box yang ditambahkan dengan es curai dan ditutup rapat.

Setelah sampai di Laboratorium pengolahan hasil perikanan BPPMHP, kedua ikan tersebut masing-masing ditimbang untuk mengetahui berat utuh ikan tersebut. Kemudian ikan disiangi untuk membersihkan kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut dibersihkan dengan air dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran-kotoran. Kemudian daging ikan tersebut dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian untuk memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat dari hasil pemisahan tersebut. Daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor) dan silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit dan masuk kedalam pori-pori, kulit dan tulang terpisah dan dibuang melalui pembuangan. Dihitung nilai rendemen berat daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut.

Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakteristik kimia dari kedua jenis daging ikan tersebut. Pengamatan yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), dan analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN).

Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian sebanyak empat kali. Perbandingan air (PAM) dan daging yang digunakan adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit, suhu dingin (suhu < 10 ºC).

Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap tanpa pencucian hingga pencucian empat kali dilakukan pengamatan terhadap kadar urea dan PLG daging lumat kedua jenis ikan tersebut. Frekuensi pencucian yang terbaik dinilai berdasarkan besarnya penurunan kadar urea, dan peningkatan kadar PLG. Frekuensi pencucian terbaik tersebut akan digunakan dalam proses pembuatan surimi pada penelitian utama.

Pencucian berulang kali diharapkan dapat menurunkan kadar urea dan meningkatkan PLG dari daging lumat. Penggunaan frekuensi pencucian sebanyak empat kali mengacu pada penelitian Fitrial (2000), yang menentukan frekuensi pencucian terbaik pada daging lumat ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) berdasarkan kadar PLG-nya.


(40)

Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik maka daging lumat ikan cucut pisang dan pari kelapa dikomposisikan dengan jumlah pengkomposisian yang telah ditetapkan pada Tabel 6. Selanjutnya pada masing-masing kombinasi pengkomposisian tersebut dievaluasi kekuatan gelnya, dengan tahapan proses sebagai berikut: pertama-tama daging dilarutkan pada larutan garam 3 % (b/b) dan air dingin 30 % (b/v), kemudian dilakukan pemanasan (setting) pada suhu 40 ºC selama 20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 ºC selama 20 menit. Pengukuran kekuatan gel menggunakan alat texture analyzer tipe TA-XT2i, dengan probe berdiameter 2,5 inchi.

Satu kombinasi komposisi daging lumat terbaik berdasarkan nilai maksimum kekuatan gel yang dihasilkan dipilih untuk dipelajari pengaruh penyimpanan pada suhu dingin. Tiga komposisi, yaitu komposisi daging lumat A, B, serta kombinasi komposisi terpilih akan digunakan pada tahap penelitian utama.

3.3.2 Penelitian utama

Daging lumat komposisi A, B, dan komposisi terbaik pertama-tama ditimbang sebanyak 600 g, kemudian dimasukkan kedalam plastik polyethilene (PE) dan ditutup rapat. Kemudian semua daging tersebut disimpan pada show case cabinet (suhu 4-5 °C) selama sembilan hari. Dilakukan pengamatan berupa analisis pH, TVBN, TMA, urea dan PLG terhadap semua komposisi daging lumat pada hari ke-0, 3, 6, dan 9.

Bersamaan dengan itu dilakukan proses pengolahan surimi, yang diawali dengan proses pencucian yang menggunakan frekuensi terbaik. Pencucian menggunakan air PAM yang ditambahkan es balok, dengan perbandingan air dan daging adalah 4:1. Pada proses pencucian terakhir ditambahkan NaCl sebanyak 0,3 %. Selanjutnya dilakukan proses pengurangan kadar air dengan mengepres daging lumat pada alat pengepres hidraulik, hingga mencapai kadar air kurang-lebih sebesar 80 %. Daging akan tertekan oleh dua besi pengepres (berada pada sisi atas dan bawah), karena adanya tekanan air akan keluar dari daging. Kemudian daging dicampurkan merata dengan sukrosa 2 % dan STPP 0,3 % sebagai cryoprotectants, hingga terbentuk surimi. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.


(41)

Pengolahan daging lumat dari tiap-tiap hari penyimpa-nan menjadi surimi Surimi

Analisis pH, kadar TVBN, TMA, urea, dan PLG

Pencucian terbaik

Dengan air PAM dingin (4:1), pada tahap pencucian

terakhir ditambahkan

NaCl 0,3 % Pengurangan kadar air Pres hidraulik Pencampuran dengan cryoprotectant (sukrosa 2%, dan STPP 0,3 %)

Komposisi terbaik B

Pembungkusan dengan plastik polyethilen (PE)

Penyimpanan suhu dingin (4-5 °C) selama sembilan hari

Pengamatan pada hari ke-9 Pengamatan pada hari ke-6 Pengamatan pada hari ke-3 Pengamatan pada hari ke-0 A

Kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, WHC, dan derajat

putih

Gambar 9 Diagram alir penelitian utama 3.4 Perlakuan

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini dilakukan pada tahap penelitian utama. Terdapat dua perlakuan yang diberikan, yaitu perlakuan pengkomposisian daging lumat sebagai faktor satu dan penyimpanan dingin daging lumat sebagai faktor dua.


(42)

Faktor pengkomposisian daging lumat terbagi menjadi tiga taraf perlakuan yaitu: (1) A (komposisi cucut 100%)

(2) B (komposisi pari 100%) (3) Komposisi terbaik

Faktor penyimpanan dingin daging lumat terbagi menjadi empat taraf perlakuan yaitu : (1) 0 (penyimpanan pada hari pertama)

(2) 3 (penyimpanan pada hari ketiga) (3) 6 (penyimpanan pada hari keenam) (4) 9 (penyimpanan pada hari kesembilan) 3.5 Pengamatan

Hal yang diamati selama proses penelitian ini akan dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: pengamatan pada penelitian pendahuluan, pengamatan pada daging lumat, dan pengamatan pada surimi.

3.5.1 Pengamatan pada penelitian pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan beberapa pengamatan yang sangat mempengaruhi penelitian selanjutnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah: rendemen berat daging, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), pH, TVBN, urea, PLG dan pengamatan terhadap kekuatan gel daging lumat. 3.5.2 Pengamatan pada daging lumat

Pada daging lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari dilakukan pengamatan terhadap pH, TVBN, TMA, protein larut garam dan urea, masing-masing pada hari penyimpanan ke-0, 3, 6, dan 9 hari.

3.5.3 Pengamatan pada surimi

Pengamatan terhadap karakteristik mutu surimi dilakukan dengan menghitung nilai kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan daya ikat air.

3.6 Uji Fisik

Uji fisik meliputi perhitungan terhadap nilai rendemen berat daging lumat, evaluasi kekuatan gel, dan derajat putih surimi.


(43)

3.6.1 Rendemen berat (SNI-19-1705-2000 diacu dalam Pranira 2003) Rendemen berat daging dihitung menggunakan rumus :

% Rendemen = berat daging lumat x 100 % berat ikan utuh

3.6.2 Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi)

Pertama kali dilakukan persiapan sampel surimi. Sebanyak 300 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 3 % (b/b) dari berat surimi dan 30 % air dingin (b/v). Adonan tersebut diaduk hingga merata pada food processor, sampai dihasilkan pasta surimi.

Pasta surimi selanjutnya dimasukkan kedalam stuffle dan dicetak pada selongsong dengan diameter 25-35 mm untuk direbus dengan dua tahap perebusan yaitu tahap pertama direbus pada suhu 40 ºC selama 20 menit dan tahap kedua direbus pada suhu 90 ºC selama 20 menit.

Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu dingin (4-5 ºC) selama lima menit lalu didiamkan pada suhu ruang (30 ºC) selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan pada suhu ruang.

Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer jenis TA-XT2i Texture Analyzer (Texture Technologist Corp., Scarsdale NY/Stable Microsystem, Godalmin, Surrey, UK). Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur menggunakan probe dengan diameter ¼ inchi yang terbuat dari bahan baja stainless dan kecepatan pengukuran sebesar 10 mm/detik. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan adalah hasil perkalian antara daya tekan (force) (g) dan jarak pecah (distance) (cm). Nilai kekuatan gel dapat dihitung dengan rumus: Kekuatan gel (g.cm) = force (g) x distance (cm).

3.6.3 Analisis derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981)

Pengujian terhadap derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT Digital Whiteness Meter, model C-100. Prinsip pengujian menggunakan alat ini adalah membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji.

Pertama kali dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi dilakukan dengan cara meletakkan lempengan kalibrasi yang berwarna putih kedalam wadah berbentuk piring kecil, lempeng kalibrasi yang berwarna putih menghadap keatas. Selanjutnya dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan penutup. Kotak sampel yang berisi lempeng kalibrasi dimasukkan


(44)

kedalam alat whiteness meter. Tombol “on” ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampai tanda peringatan “wait” berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %.

Perhitungan sampel dilakukan setelah proses kalibrasi selesai. Dilakukan persiapan sampel sama seperti proses kalibrasi, namun yang diletakkan pada wadah berbentuk piring kecil adalah sampel berupa surimi. Kemudian sampel yang telah diisikan pada wadah berbentuk piring kecil tersebut dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan kover penutup. Tombol “on” ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

3.7 Uji sensori

3.7.1 Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)

Pertama kali dilakukan persiapan sampel (cara persiapan sampel sama seperti cara persiapan sampel pada pengukuran kekuatan gel), namun menggunakan tebal sampel sebesar 4-5 mm.

Tingkat kualitas uji lipat menurut Suzuki (1981) adalah sebagai berikut :

1. Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “AA” dengan nilai adalah 5 2. Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “A” dengan nilai adalah 4. 3. Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas “B” dengan nilai 3.

4. Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “C” dengan nilai 2. 5. Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan, kualitas “D”

dengan nilai 1.

3.7.2 Uji gigit (teeth cutting test)(Suzuki 1981)

Persiapan sampel sama seperti pada kekuatan gel, namun menggunakan ukuran tebal/tinggi 1 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :

10 : daya lenting amat sangat kuat 9 : daya lenting amat kuat

8 : daya lenting kuat 7 : daya lenting agak kuat 6 : daya lenting diterima


(45)

5 : daya lenting agak diterima 4 : daya lenting agak lemah 3 : daya lenting lemah 2 : daya lenting amat lemah

1 : tidak ada daya lenting, seperti bubur

3.8 Analisis Kimia

Analisis kimia yang dilakukan meliputi pengujian terhadap: kadar proksimat, urea, PLG, pH, TMA, dan TVBN daging lumat serta daya ikat air surimi.

3.8.1 Analisis proksimat

3.8.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan didalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga mendapatkan berat konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g (B), dimasukkan kedalam cawan porselin kemudian dikeringkan di dalam oven 105 °C selama lima jam atau hingga berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel itu didinginkan didalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (C). Apabila belum didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi kedalam oven (105 °C) selama 30 menit, kemudian didinginkan selama 30 menit. Jika perlu, hal tersebut dilakukan berulang kali hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air menggunakan rumus:

Kadar air = (A + B) - C x 100 % (B)

3.8.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan selama 30 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g, dimasukkan kedalam cawan porselin dan dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan kedalam tanur listrik (furnace) dengan suhu 650 °C selama kurang lebih 5-24 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B).


(46)

Penentuan kadar abu menggunakan rumus:

Kadar abu = B - A x 100 % berat sampel

3.8.1.3 Analisis kadar lemak total (AOAC 1995)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 ºC) ditimbang hingga didapatkan berat konstan (A). Sebanyak 2 g daging (C) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan kedalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan kedalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan kedalam labu lemak. Sampel direfluks selama delapan jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak sudah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven 105 °C selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B). Penentuan kadar lemak menggunakan rumus:

Kadar lemak = (B - A) x 100 % C

3.8.1.4 Analisis protein kasar (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Daging sebanyak 0,75 g dimasukkan kedalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml

H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam

ruang asam.

Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 ºC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih, didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades.

Disiapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator

(bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml Na2(SO4)3 (alkali).

Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dikerjakan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan duplo.


(47)

Kadar protein dihitung dengan rumus :

Kadar protein = (A-B) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 % W (g) x 1000

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel, B = ml titrasi HCl blanko

3.8.2 Kadar urea (AOAC 1995) Persiapan larutan standar :

Dilarutkan 5 gram urea pro analyst grade kedalam akuades dan diencerkan sampai 1 liter dengan akuades. Disiapkan larutan kerja 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0 mg/ml, dengan cara memipet 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 ml larutan stok kedalam setiap labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan sampai tanda tera dengan buffer fosfat.

Kurva standar dibuat dengan cara memipet 5 ml masing-masing larutan kerja kedalam tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan 5 ml p-dimetil amino benzaldehid (DMAB) kedalam masing-masing tabung. Disiapkan pula pereaksi blanko yang terdiri dari 5 ml larutan buffer dan 5 ml larutan DMAB. Semua tabung reaksi dikocok mekanik selama 10 menit dalam bak air bersuhu 25 ○C. Masing-masing larutan standar dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada panjang gelombang 420 nm.

Pengukuran Sampel :

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu ukur 500 ml. Kemudian ditambahkan 100 g charcoal, 250 ml akuades, 5 ml Zn(OAc)2 dan 5 ml K4Fe(CN)6. Kemudian distirer selama 30

menit dengan kecepatan tinggi dan volumenya ditempatkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan sampai terjadi endapan, kemudian disaring dengan kertas Whatmann no. 40 dan diambil filtratnya yang bening. Setelah itu filtrat dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 ml DMAB dan dikocok sampai merata. Bersama-sama dengan larutan blanko 5 ml, kedua tabung tersebut dibiarkan selama 10 menit dalam bak air 25 ○C. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 420 nm.

3.8.3 Kadar protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Wahyuni 1992)

Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5 % kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 °C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatmann no. 1, filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan


(1)

Lampiran 13 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji lipat surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 13a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Ranks 6 56,83 6 54,00 6 40,25 6 20,50 6 57,67 6 33,75 6 22,92 6 6,83 6 66,67 6 43,00 6 27,33 6 8,25 72 KOMPOSISI VS A0 A3 A6 A9 B0 B3 B6 B9 A1B20 A1B23 A1B26 A1B29 Total uji gigit

N Mean Rank

Kruskal-Wallis Test

Test Statisticsa

61,094 11 ,000 Chi-Square df Asymp. Sig. uji gigit

Kruskal Wallis Test a.

uji lipat

Tukey HSDa,b

6 1,3333

6 2,6667

6 2,8333

6 3,0000 3,0000

6 3,3333 3,3333

6 3,5000 3,5000 3,5000

6 4,0000 4,0000 4,0000

6 4,5000 4,5000

6 4,6667

6 4,8333

6 5,0000

6 5,0000

1,000 ,209 ,056 ,056 ,056

komposisi vs penyimpanan B9 B6 B3 A1B29 A9 A1B26 A6 A3 A0 A1B23 B0 A1B20 Sig.

N 1 2 3 4 5

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,267. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. a.

Alpha = ,05. b.


(2)

ampiran 14 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji gigit surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Lampiran 14a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin

Ranks 6 56,83 6 54,00 6 40,25 6 20,50 6 57,67 6 33,75 6 22,92 6 6,83 6 66,67 6 43,00 6 27,33 6 8,25 72 KOMPOSISI VS A0 A3 A6 A9 B0 B3 B6 B9 A1B20 A1B23 A1B26 A1B29 Total uji gigit

N Mean Rank

Kruskal-Wallis Test

Test Statisticsa

61,094 11 ,000 Chi-Square df Asymp. Sig. uji gigit

Kruskal Wallis Test a.

uji gigit

Tukey HSDa,b

6 3,3333

6 3,5000 3,5000

6 4,6667 4,6667 4,6667

6 4,8333 4,8333 4,8333

6 5,1667 5,1667 5,1667

6 5,6667 5,6667 5,6667

6 6,1667 6,1667 6,1667

6 6,3333 6,3333 6,3333

6 7,3333 7,3333 7,3333

6 7,6667 7,6667

6 7,6667 7,6667

6 8,6667

,099 ,099 ,456 ,099 ,233 ,233 ,099 ,099

KOMPOSISI PENYIMPAN B9 A1B29 A9 B6 A1B26 B3 A6 A1B23 A3 B0 A0 A1B20 Sig.

N 1 2 3 4 5 6 7 8

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,544. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. a.

Alpha = ,05. b.


(3)

Lampiran 15 Contoh perhitungan 15a. Kadar urea

Misal: Kadar urea cucut tanpa Pencucian (penentuan frekuensi pencucian) Absorbent (abs) Standar

Konsetrasi (ppm) Abs Standar

50 0.1246 0.1137

100 0.2342 0.2414

200 0.4764 0.4781

400 0.8741 0.8682

Abs Standar

y = 0.0021x + 0.0247 R2 = 0.9974 0

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

0 100 200 300 400 500

Gambar Kurva standar

% Urea = Abs Standar x B x V sampel x 10-6 x 100

Abs Sampel V pengenceran

= 0.1090 x 250 x 500 x 100 x 10-6 = 1,98 %

0.1189 5


(4)

15b. Kadar TVBN dan TMA

Misal kadar TVBN cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0 TVBN (mg N/100g) = Vspl – Vblk x N HCl x 14.007 x FP x 100

g sampel Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel Vblk = volume titrasi blanko FP = faktor pengenceran Diketahui:

Vblk = 0a Vspl = 0.13a NHCl= 0.0195N g sampel = 25.3696 0b 0.13b

TVBN = (0.13-0) x 0.0195 x 14.007 x (75/1) x 100 = 10.51 mg N/100g 25.3696

15c. Kadar protein

% Protein = V.spl – V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x 100 mg sampel

Misal kadar protein pada ikan cucut pisang Diketahui :

V.Blk = 0 V. Sampel = 22.60 N HCl = 0.2015 g sampel = 2.0221

% Protein = 22.60 – 0 x 0.2015 x 14.007 x 6.25 x 100 2022.1

= 19.72 % 15d. Kadar lemak

% Lemak = (B - A) x 100 C

Keterangan: A = berat labu awal (g) B = berat labu akhir (g) C = berat sampel (g)

Misal kadar lemak pada ikan cucut pisang Diketahui:

A = 115.7441 B = 115.7791 C = 2.0220 108.7794 108.8079 2.0136 % Lemak = 112.2935 - 112.2617 x 100 = 1.57 %


(5)

15e. Kadar protein larut garam (PLG)

Misal kadar PLG cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0 % PLG = V.Spl – V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x FP x 100

mg sampel Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel

Vblk = volume titrasi blanko FP = faktor pengenceran Diketahui:

V.Blk = 0.1a V.Sampel = 13.17a N HCl = 0.2001 g.sampel = 15.0125 0.1b 13.27b

% PLG = (13.22 – 0.1) x 0,2001 x 14.007 x 6.25 x (150/25) x 100 15012.5


(6)

Lampiran 16. Foto-foto kegiatan penelitian

Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta

Proses pemfiletan ikan pari kelapa Proses pencucian daging lumat

Proses pengurangan kadar air

Texture Analyzer TA-XT2i