Karakteristik Dendeng Daging Giling Pada Pencucian (Leaching) Dan Jenis Daging Yang Berbeda

(1)

KARAKTERISTIK DENDENG DAGING GILING PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING

YANG BERBEDA

S U H A R Y A N T O

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R 2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

Suharyanto

NRP D051050021


(3)

SUHARYANTO. The Characteristics of Dendeng Giling (from Minced Meat) at Different Washing (Leaching) Methods and Meat Kinds. Under supervision of RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI

Dendeng is typical Indonesian intermediate moisture meat product comprising of dendeng sayat (from sliced meat) and dendeng giling (from minced meat) with 2 mm thickness. This research was conducted to study the effect of leaching methods and kinds of meat on the proximate, physic and organoleptic characteristics of dendeng giling (from minced meat). The experimental design used a completely randomized factorial design (3 X 3) with three replications. The first factor was leaching methods with 3 levels (no washing, washed in 1.5 x 1.5 x1.5 cm sizes and washed in minced meat). The second factor was kind of meat: Horse, Lamb and Beef. The results of this research indicated that neither interaction effect between leaching and kind of meat nor effect of leaching were significant on the proximate, peroxide value (PV) and physics characteristics of

dendeng dough and raw dendeng (P>0.05). Kind of meat influenced significantly on the fat and PV, rendement, pH, and toughness (P<0.01). The fat content and PV of dendeng dough and raw lamb dendeng were significant higher than others (P<0.01). The dendeng from horse meat was higher than others in rendement value and lower in pH and toughness value (P<0.01). Leaching methods markedly increased “L” and “b” values of hunter color notation (P<0.01). Organoleptic properties were characterized by there were significantly different preferences in color of raw dendeng due to leaching method while other attributes had no different preferences both raw and fried dendeng.

Keywords: meat, leaching, dendeng, chemical, physical and organoleptics characteristics


(4)

SUHARYANTO. Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Dibawah Bimbingan RUDY PRIYANTO dan EDDIE GURNADI

Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif lengkap dan seimbang tetapi mudah mengalami kerusakan (perishable). Pengolahan merupakan upaya mempertahankan dan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan, palatabilitas maupun ekonomi serta diversifikasi produk makanan.

Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik dalam bentuk daging sayat maupun digiling dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan bumbu-bumbu yang kemudian dikeringkan.

Selain daging sapi, jenis daging dari ternak lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah daging kuda dan ruminansia kecil (kambing dan domba). Daging kuda dan ruminansia kecil belum banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk olahan daging. Hal ini mungkin karena jenis daging tersebut memiliki flavor yang khas yang kurang disukai (off-flavor) oleh konsumen.

Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching). Pada mulanya teknologi ini diterapkan pada pebuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Tujuannya adalah untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air, lemak, darah (pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan kekuatan gel.

Pencucian biasanya dilakukan hingga beberapa kali dan ini berdampak pada hilangnya sebagian nutrisi seperti protein sarkoplasmik. Oleh karenanya diperlukan pencucian yang meminimalkan hilangnya protein, yaitu dengan mencuci sekali selama 1 menit.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia, sidik dan organoleptik dendeng daging giling. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (3 X 3) dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah pencucian dengan 3 taraf (tanpa dicuci, dicuci pada kominusi 1.5 X 1.5 1.5 cm dan dicuci pada keadaan digiling). Faktor kedua adalah jenis daging: Kuda, Domba dan Sapi.

Daging yang telah diperoleh kemudian dipisahkan dari lemak dan jaringan ikat dan kemudian dikelompokkan berdasarkan perlakuan. Pencucian dilakukan satu kali dengan menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan air dengan daging sebesar 3:1. Setelah dicuci, daging diperas dengan menggunakan kain kasa. Kemudian daging yang telah digiling dan dicuci sesuai perlakuan, dicampurkan dengan garam sendawa (0.3%) dan diperam (curing) semalam. Setelah curing maka ditambahkan bahan-bahan yaitu, garam (3%), gula


(5)

(0.3%) dan asam jawa (0.1%) yang dihitung berdasarkan berat daging giling yang akan dibuat dendeng.

Setelah dendeng dibuat maka dikeringkan di dalam oven dengan suhu 80oC selama 4.5 jam kemudian dilakukan analisis kimia, fisik dan organoleptik. Sebelumnya adonan dendeng dilakukan analisis proksimat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara pencucian dan jenis daging maupun faktor pencuciannya tidak berpengaruh nyata terhadap komposisi proksimat, bilangan peroksida (BP) dan karakteristik fisik adonan dan dendeng mentah (P>0.05). Jenis daging berpengaruh sangat nyata terhadap kadar lemak. Kadar lemak adonan dan dendeng mentah dan BP dendeng mentah asal daging domba secara nyata lebih tinggi dari yang lainnya (P<0.01). Dendeng dari daging kuda memiliki rendemen yang lebih tinggi dibanding yang lainnya dan nilai pH serta kekerasan yang lebih rendah (P<0.01). Pencucian secara nyata meningkatkan nilai “L”, dan “b” dendeng (P<0,01). Sifat-sifat organoleptik dicirikan oleh adanya perbedaan nyata preferensi panelis terhadap warna dendeng akibat pencucian sementara pada atribut lainnya menunjukkan tidak berbeda nyata baik pada dendeng mentah maupun dendeng goreng.

Kata kunci: daging, leaching, dendeng, karakteristik kimiawi, fisik, dan organoleptik


(6)

©

Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak

fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(7)

PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING YANG BERBEDA

S U H A R Y A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R 2007


(8)

Judul Tesis : Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda

Nama : Suharyanto NIM : D051050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rudy Priyanto Ketua

Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 28 Juni 2007 Tanggal lulus:


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian berikut karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan dari bulan Februari-April 2007 di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB dan Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi Fateta IPB adalah karakteristik dendeng dengan Judul Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda.

Pemilihan tema ini didasari pada perlunya pengolahan daging untuk meningkatkan masa simpan, nilai nutrisi, ekonomi dan diversifikasi produk daging. Hal ini penting karena daging merupakan bahan makanan yang rentan terhadap kerusakan meskipun mengandung gizi yang tinggi. Selama ini daging yang sering digunakan untuk dendeng adalah daging sapi meskipun daging ruminansia kecil dan kuda dapat diaplikasikan. Belum dimanfaatkannya daging kuda dan ruminansia kecil secara optimal ini karena adanya flavor (off-flavour) yang kurang disukai dari kedua jenis daging tersebut. Salah satu cara yang dianggap dapat mengurangi efek off-flavour adalah dengan melakukan pencucian.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dan adik-adik yang telah membantu penelitian ini: Ika, Diah, Alik, Jarmuji, Sukisno, Arfin, Taufik, Arfan, Ema, Risa dan khususnya Santy yang telah menyediakan waktu, tempat dan beberapa peralatan untuk penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, mertua dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Last but not least, terima kasih kepada Istriku, Eny Handayani, S.Pt, atas kerelaan waktunya, kesabaran, doa dan motivasinya demi selesainya studi ini.

Bogor, Juli 2007

Suharyanto


(10)

Penulis dilahirkan di Talang Padang pada tanggal 2 Juni 1973 dari ayah Sudarso dan ibu Sarni. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara.

Pada tahun 1983, penulis lulus dari SDN 4 Sri Bhawono Lampung Tengah. Tahun 1988 penulis lulus dari SMPN Sri Bhawono Lampung Tengah. Kemudian tahun 1991 lulus dari SMAN Ketahun Bengkulu Utara. Pada Tahun 1992 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Selama menempuh pendidikan di Universitas Bengkulu, penulis aktif menjadi Ketua Umum Himpunan Profesi Mahasiswa Peternakan (Hipromater) periode 1994/1995, pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu periode 1995/1996. Penulis juga menjadi asisten matakuliah Fisiologi Ternak Dasar pada tahun ajaran 1994/1995 – 1996/1997. Pada tahun 1996 penulis menjadi pemenang II Mahasiswa Berprestasi Utama tingkat Universitas Bengkulu dan sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bidang IPA tingkat Perguruan Tinggi se-Bengkulu. Selain itu, penulis juga aktif menulis ilmiah populer di media lokal dan nasional bidang peternakan.

Penulis dinyatakan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada ujian skripsi yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997. Setelah tamat penulis bekerja sebagai fasilitator dan konsultan usaha kecil, menengah dan koperasi di beberapa lembaga; sebagai penulis lepas dan ilmiah populer, hingga akhirnya pada Desember 2002, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Produksi ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB dan aktif sebagai Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ternak (HIWACANA-PTK) 2005/2006.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA Otot dan Daging ... 4

Struktur Otot ... 4

Definisi Daging ... 6

Kimia Daging ... 6

Dendeng ... 8

Bahan Tambahan Pembuat Dendeng ... 10

Warna Daging dan Dendeng ... 11

Flavor Daging dan Dendeng ... 15

Flavor ... 15

Flavor Daging ... 16

Oksidasi pada Dendeng... 18

Pengeringan... 20

Pencucian (Leaching)... 21

METODE PENELITIAN Rancangan Percobaan dan Model Penelitian ... 23

Bahan dan Prinsip Pembuatan Dendeng ... 23

Variabel Pengamatan dan Pengukurannya... 25

Variabel Fisik ... 25

Variabel Kimiawi ... 26

Variabel Organoleptik... 28

Analisa Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kimia Adonan Dendeng... 30

Kadar Air... 30

Kadar Abu ... 31

Kadar Protein ... 32

Kadar Lemak... 34


(12)

Kadar Air... 37

Kadar Abu ... 38

Kadar Protein ... 39

Kadar Lemak... 41

Bilangan Peroksida ... 42

Karakteristik Fisik Dendeng ... 44

Rendemen... 44

Nilai pH Dendeng ... 46

Kekerasan... 47

Aktivitas Air (Aw) ... 49

Warna Objektif Dendeng ... 51

Karakteristik Organoleptik Dendeng ... 55

Warna ... 55

Tekstur ... 56

Aroma... 57

Rasa ... 59

Keempukan ... 60

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 61

Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN... 69


(13)

Halaman

1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992... 9

2. Nilai rataan karakteristik kimia adonan dendeng... 30

3. Nilai rataan karakteristik kimia dendeng ... 36

4. Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dendeng... 44

5. Nilai rataan warna dendeng... 51

6. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap level pencucian ... 55

7. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap jenis daging... 55


(14)

Halaman

1. Organisasi dan struktur otot ... 4

2. Irisan memanjang miofilamen otot (Wick dan Marriott 1999)... 5

3. Perkembangan warna daging berdasarkan status Fe (Wilson 1981)... 12

4. Reaksi kimia perkembangan warna daging curing (Aberle et al. 2001) ... 14

5. Reaksi oksidasi pada lemak ... 19

6. Skema alur pembuatan dendeng daging giling ... 24


(15)

Halaman

1. Analisis varian air adonan dendeng ... 69

2. Analisis varian abu adonan dendeng... 69

3. Analisis varian protein adonan dendeng ... 69

4. Analisis varian lemak adonan dendeng... 70

5. Uji lanjut DNMRT lemak adonan dendeng ... 70

6. Analisis varian air dendeng... 70

7. Analisis varian abu dendeng ... 71

8. Analisis varian protein dendeng... 71

9. Analisis varian lemak dendeng ... 71

10. Uji lanjut DNMRT lemak dendeng... 72

11. Analisis varian bilangan peroksida dendeng... 72

12. Uji lanjut DNMRT bilangan peroksida dendeng ... 72

13. Analisis varian rendemen dendeng ... 72

14. Uji lanjut DNMRT rendemen dendeng... 73

15. Analisis varian pH dendeng ... 73

16. Uji lanjut DNMRT pH dendeng... 73

17. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74

18. Uji lanjut DNMRT kekerasan dendeng... 74

19. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74

20. Analisis varian derajat kecerahan (”L”) dendeng ... 75

21. Uji lanjut DNMRT derajat kecerahan (”L”) dendeng... 75

22. Analisis varian derajat kemerahan (”a”) dendeng... 75

23. Analisis varian derajat kekuningan (”b”) dendeng ... 76

24. Uji lanjut DNMRT derajat kekuningan (”b”) dendeng... 76

25. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Leaching... 76

26. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Daging... 77

27. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Leaching... 77

28. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Daging ... 78


(16)

Latar Belakang

Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif lengkap dan seimbang. Akan tetapi, daging juga merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan (perishable). Oleh karenanya diperlukan upaya agar daging dapat bertahan lebih lama lagi. Pengolahan merupakan upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan, palatabilitas maupun ekonomi. Pengolahan juga merupakan sarana melakukan diversifikasi produk makanan.

Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik digiling maupun tidak dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan bumbu-bumbu yang kemudian dikeringkan. Garam yang digunakan biasanya antara 2-3% dari berat bahan, sedangkan penambahan gula belum ada standar dan biasanya disesuaikan dengan selera. Namun demikian, penambahan gula sering dimaksudkan untuk mengurangi efek pengerasan dari garam, memperbaiki aroma dan tekstur. Secara fisik akan mengurangi penguapan sehingga daging kelihatan lebih basah dan lembut. Teknik ini merupakan campuran antara penggaraman dan pengeringan.

Dendeng yang sudah lazim dibuat adalah dengan menggunakan daging sapi. Padahal dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging. Pemanfaatan daging lain untuk dendeng dapat meningkatkan diversifikasi produk jenis daging, meningkatkan penyediaan daging untuk konsumsi dan dapat mendorong dinamika peternakan selain sapi yang pada gilirannya mampu mensuplai sumber protein hewani secara memadai.

Jenis daging lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah daging kuda dan domba serta kambing. Ternak kuda sebenarnya potensial sebagai sumber daging, setidaknya dapat dilihat dari populasi ternak ini yang cukup banyak, yaitu 386 708 ekor pada tahun 2005 dengan tingkat produksi pada tahun 2005 sebesar 1.59 ribu ton. Populasi ternak domba hingga tahun 2005 adalah sebesar 8 327 022 ekor dengan tingkat produksi sebesar 47.30 ribu ton dan


(17)

populasi ternak kambing sebesar 13 409 277 ekor dengan tingkat produksi sebesar 50.6 ribu ton pada tahun 2005 (Deptan 2007). Akan tetapi, di Indonesia, daging ruminansia kecil dan kuda belum banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk olahan daging. Hal ini mungkin karena kuda memiliki flavor yang khas yang kurang disukai oleh konsumen dan kebanyakan kuda digunakan untuk tenaga kerja sehingga pemotongannya pada umur tua dan ini menyebabkan dagingnya berwarna merah gelap. Menurut Suryaningsih (2006) senyawa yang menentukan flavor daging kuda adalah kelompok karboksilat jenis asam 9-oktadekanoat. Menurut Agawati (2003) bahwa sosis yang berasal dari daging kuda memiliki warna yang lebih gelap sehingga kurang disukai dibandingkan dengan sosis daging sapi.

Demikian halnya dengan domba dan kambing. Ternak domba juga memiliki flavor yang khas yang membuat konsumen kurang menyukainya. Padahal flavor sangat berpengaruh pada kesukaan konsumen. Hingga saat ini daging domba sering dianggap memiliki flavor yang kurang menyenangkan, yaitu bau prengus yang merupakan khas domba (muttony) dan tidak dijumpai pada ternak lain. Senyawa yang bertanggung jawab terhadap flavor khas domba ini merupakan asam lemak jenuh bercabang metil, metiloktanoat dan 4-metilnonanoat (Young & Braggins 1998 dan Suryaningsih 2006).

Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching). Tujuannya adalah untuk memisahkan lemak, darah, pigmen-pigmen, garam-garam anorganik, protein, enzim yang larut dalam air dan kontaminan. Pada mulanya teknologi ini diterapkan pada pembuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Surimi kemudian dapat digunakan untuk membuat produk-produk olahan semisal bakso, kamaboko, sosis dan lain-lain.

Pencucian dapat meningkatkan kesukaan konsumen terhadap aroma, rasa dan warna pada pasta nikumi kuda dan sapi. Akan tetapi pencucian juga dapat menurunkan nilai gizi pada daging yang dibuat. Oleh karenanya disarankan untuk melakukan pencucian sebanyak 3 (tiga) kali yang dianggap memberikan aroma,


(18)

rasa, warna dan sifat oles yang baik tanpa mengurangi kandungan nutrisinya (Mega 2005).

Pemanfaatan daging kuda dan domba menjadi dendeng merupakan usaha yang penting untuk dikembangkan karena dengan teknologi dendeng maka dapat memperpanjang masa simpan daging sekaligus diharapkan dapat meningkatkan penerimaan terhadap daging kuda dan domba berkenaan dengan flavor asal daging tersebut melalui teknologi pencucian.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian (leaching) terhadap sifat fisik, kimiawi dan organoleptik dendeng daging kuda, domba dan sapi.

Hipotesis Hipotesis (H1) pada penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan nyata pada karakteristik dendeng akibat pengaruh pencucian (leaching) jenis daging.


(19)

Otot dan Daging Struktur Otot

Unit struktural jaringan otot skeletal merupakan sel yang sangat khusus disebut dengan serabut otot atau myofiber atau sel otot (muscle cell). Sel otot ini panjang searah dengan panjang otot itu sendiri. Membran sel otot ini disebut dengan sarkolema (Gambar 1). Di sepanjang sarkolema akan mengalami invaginasi secara periodik searah panjangnya sel membentuk suatu jaringan

tranversus tubulus (T-system atau T-tubulus). Sitoplasmanya disebut dengan sarkoplasma (sarcoplasm). Inti sel otot skeletal banyak sekali (Aberle et al. 2001).

Satu sel otot dilingkupi oleh jaringan ikat disebut dengan endomisium. Kumpulan dari beberapa sel otot (serabut otot) diikat oleh jaringan disebut dengan perimisium dan membentuk berkas otot (muscle bundle). Sekumpulan berkas otot diikat oleh jaringan epimisium membentuk otot (gambar 1).

Di dalam sel otot terdapat suatu organela unik yang disebut dengan miofibril yang terdiri atas dua filamen atau miofilamen, yaitu filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal ini komponen utamanya adalah protein miosin dan filamen tipis komponen utamanya protein aktin.


(20)

Gambaran secara memanjang dari fotomikrograf menunjukkan bahwa sepanjang miofibril merupakan segmen antara gelap dan terang dan ini mencerminkan dari segmen dari dua filamen (tebal/miosin dan tipis/aktin). Dua miofilamen ini bukanlah terpisah, tetapi menjadi satu menyusun suatu segmen yang berbeda dimana masing-masing ujungnya menyambung secara tumpang tindih atau saling mengisi.

Filamen aktin, karena tipis sehingga bersifat refraktif terhadap cahaya sehingga disebut dengan isotropik. Area isotropik ini disebut dengan pita I (I

band). Sebaliknya dengan filamen miosin, karena tebal maka kurang refraktif dan gelap sehingga disebut anisotropik. Area anisotropik ini disebut dengan pita A (A

band). Pita A lebih rapat dan gelap dibandingkan pita I, tetapi keduanya sama-sama terbelah menjadi dua seksi oleh suatu garis yang memiliki kerapatan lebih dibandingkan dengan 2 belahannya. Garis pembelah yang lebih tebal pada pita I disebut dengan garis Z dan garis pembelah pita A disebut dengan zona H. Di tengah-tengah zona H terdapat garis yang disebut dengan garis M. Panjang antara satu garis Z ke garis Z di sebelahnya disebut dengan satu sarkomer. Jadi satu sarkomer terdapat 2 paruh pita I yang mengapit satu pita A (Aberle et al. 2001) (Gambar 2).


(21)

Definisi Daging

Daging diperoleh setelah otot berubah melalui proses penyembelihan atau ternak dimatikan. Selama dan segera setelah penyembelihan ternak otot mengalami perubahan-perubahan yang mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas daging. Dengan demikian, daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi (Aberle et al. 2001). Daging harus tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot (Soeparno 1992).

Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan adiposa, jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan otot merupakan komponen terbesar dari daging sehingga pembahasan mengenai daging lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini, khususnya otot sekeletal. Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging adalah hanya urat daging (jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi daging setelah hewan dipotong. Bila merujuk pada SNI 01-3947-1995 dan SNI 01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba dideskripsikan sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu dipotong. Sementara untuk daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kimia Daging

Menurut Lawrie (1991), komposisi kimia daging terdiri atas air 56-72%, protein 15-22%, lemak 5-34%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang meliputi karbohidarat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Sedangkan menurut Aberle et al. (2001) bahwa daging mengandung 70% air, 19% protein, 5% lemak, 3.5% zat-zat non protein, dan mineral serta bahan-bahan lain 2.5%. Namun demikian, masing-masing spesies dan umur serta kondisi ternak memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Paleari et al. (2003) melaporkan bahwa masing-masing spesies memiliki karakteristik kimia yang berbeda beda.


(22)

Sebagai sumber protein, daging mengandung protein terbesar kedua setelah komponen air. Secara umum protein pada otot atau daging terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu protein sarkoplasmik (30%), protein miofibrilar (55%) dan protein stromal atau jaringan ikat otot (15%). Protein sarkoplasmik bersifat larut dalam air dan larutan garam encer terdapat pada sarkoplasma. Protein miofibrilar merupakan protein yang mengandung struktur miofibril dan bersifat larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 1.5% lebih. Protein stromal merupakan penyusun utama pada jaringan ikat yang tidak larut dalam larutan garam tetapi dapat larut dalam perlakuan alkali atau asam (Xiong 2000).

Protein sarkoplamik meliputi gliseraldehida, aldose, enolase, kreatin kinase, laktat dehidrogenase, piruvat kinase, fosforilase, mioglobin, calpain, chatepsin, protein ekstraseluler dan membran-membran protein. Protein miofibrilar sebanyak terdiri atas miosin, aktin, troponin, tropomiosin, M-protein, C-protein, titin, nebulin dan desmin. Miosin merupakan komponen terbanyak dalam miofibril dan larut ke dalam larutan dengan kekuatan ion yang tinggi (lebih besar dari 0.3 M). Miosin memiliki sifat fungsional penting pada daging, yaitu (a) bersifat enzim dengan aktivitas ATP-ase, (b) miosin membentuk kompleks dengan aktin dan (c) miosin membentuk agregrat dengan sesamanya membentuk filamen (Zayas 1997; Xiong 2000).

Protein stromal meliputi kolagen, elastin dan retikulin. Protein ini mempengaruhi kualitas daging secara langsung, yaitu dengan (Zayas 1997):

1. Menurunkan keempukan daging dan ini tergantung dengan banyaknya protein stromal dan derajat cross-linking sesama protein stromal.

2. Karena sifat asalnya yang tidak larut dalam air maka mempengaruhi kapasitas emulsi daging.

3. Menurunkan daya mengikat air daging karena rendahnya kandungan asam amino hidrofilik dan bermuatan.

4. Dapat menurunkan nilai nutrisi daging.

Kelarutan protein otot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat retensi air pada otot dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas daging. Ikatan fisik dan kimia pada protein otot berpengaruh pada sifat struktural dan tekstur protein otot. Terdapat korelasi antara struktur protein dan kelarutannya dan ini terkait dengan keempukan atau kekerasan daging selama pengolahan dan penyimpanan (Zayas 1997).


(23)

Komponen kimia lain yang cukup penting pada daging adalah lemak. Meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi ini merupakan 3 terbesar komponen kimia pada daging. Lemak pada daging sangat memiliki peran baik menguntungkan maupun merugikan. Salah satu hal yang merugikan adalah adanya oksidasi pada lemak daging dan ini berpengaruh pada produk olahan daging.

Lemak merupakan sumber energi yang penting karena jumlah energi yang dihasilkan bisa dua kali lipat dari yang dihasilkan oleh protein dan karbohidrat. Lemak pada daging pada umumnya berupa trigliserida. Komposisi trigliserida pada lemak hewan sangat nyata menentukan kelembutan dan kekasaran penampakan daging. Komposisi asam lemak pada masing-masing spesies berbeda-beda dan ini juga mempengaruhi sifat lemak yang juga berbeda-beda pada masing-masing spesies. Jumlah asam lemak jenuh pada domba, sapi dan babi masing-masing adalah 53%, 45% dan 40% sedangkan asam lemak tak jenuhnya masing-masing adalah 47%, 55% dan 60% (Warriss 2000).

Dendeng

Dendeng merupakan produk awetan melalui kombinasi pengolahan, pengeringan dan beberapa diantaranya curing, yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Dendeng yang biasanya dibuat adalah dari daging sapi, tetapi pada dasarnya dapat dibuat dari daging-daging yang lainnya. Menurut SNI 01-2908-1992, yang dimaksud dengan dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan.

Dendeng dibuat dalam bentuk lempengan-lempengan daging baik daging yang disayat maupun digiling kemudian dibentuk menjadi lempengan-lempengan dengan tebal kira-kira 2-3 mm. Selanjutnya direndam ke dalam campuran garam, gula kelapa, dan bumbu-bumbu selama lebih kurang 1-6 jam atau bahkan sampai 12 jam. Setelah itu dikeringkan. Jika dendeng itu berbentuk daging giling maka daging giling dicampurkan dengan garam, gula dan bumbu-bumbu secara merata kemudian didiamkan selama beberapa jam. Proses pembuatan ini belum dibakukan jadi masih bersifat sesuai dengan selera dalam hal komposisi bumbu dan prosesnya oleh si pembuat dan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan dari masyarakat di daerah di mana produk itu dibuat.


(24)

Meskipun merupakan proses pengeringan, dendeng dikelompokkan ke dalam produk daging semi basah (intermediate moisture). Bahan pangan semi basah mengandung kadar air antara 15-50% dan aktivitas air (Aw) 0.60-0.92 (Huang dan Nip 2001), tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisma terhambat serta aktivitas airnya (Aw) 0.60-0.80 (Purnomo 1996). Sedangkan menurut Salguero et al. (1994), aktivitas air bahan semi basah berkisar antara 0.60-0.91 dan dalam pemasarannya tidak memerlukan pendinginan sehingga memudahkan dalam hal proses produksi.

Menurut Huang dan Nip (2001) bahwa dendeng sayat dibuat hingga aktivitas airnya antara 0.52-0.67 dan dendeng giling 0.62-0.66. Karakteristik proksimatnya adalah pH 5.6, kadar air 26%, protein 35%, lemak 10%, garam 8% dan gula 35% (berdasarkan berat kering). Sementara menurut Purnomo (1996) bahwa dendeng yang beredar di pasaran pada umumnya mengandung air 9.9-35.5%, kadar gula 20-52%, kadar garam 0.4-0.6%, kadar lemak 1.0-17.4%, serat kasar 0.4-15.5% dan aktivitas airnya 0.40-0.50. Namun demikian bila mengacu pada SNI 01-2908-1992 bahwa standar dendeng sapi disusun berdasarkan survai di daerah-daerah produksi dendeng sapi di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Hasil survai ini kemudian disusun suatu syarat mutu, yakni meliputi mutu I dan mutu II sebagai berikut.

Tabel 1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992 Syarat Karakteristik

Mutu I Mutu II Warna dan bau Khas dendeng

sapi

Khas dendeng sapi Kadar air, (bobot/bobot), maksimal 12 12 Kadar Protein, % (Bobot/bobot kering),

min

30 25 Abu tidak larut asam, % (bobot/bobot

kering) maks

1 1 Benda asing, % (bobot/bobot kering) maks 1 1

Kapang dan serangga Tidak tampak Tidak tampak Keadaan daging mempengaruhi hasil dendeng yang dibuat. Ruiz-Rumirez

et al. (2005) melaporkan bahwa daging yang permukaannya kasar memiliki hasil olahan asinan kering yang lebih keras. Menurut Serra et al. (2005) dan Ruiz-Rumirez et al. (2005) bahwa hasil olahan asinan yang keras tersebut tidak


(25)

berkorelasi dengan kandungan air dan aktivitas air. Ini menunjukkan bahwa kadar air bahan mentah tidak menentukan terhadap kekerasan dan tekstur produk olahan.

Bahan Tambahan Pembuat Dendeng

Bahan tambahan utama untuk pembuatan dendeng adalah garam dapur (NaCl), gula dan bumbu-bumbu yang biasanya terdiri atas rempah-rempah, ketumbar, lengkuas, bawang putih, asam dan lain-lain. Penggunaan bahan-bahan tersebut di atas belum ada standarnya sehingga penggunaannya disesuaikan dengan selera dan kebiasaan makan masyarakat setempat. Namun demikian, garam dapur biasanya digunakan sebanyak 2-3% dari berat bahan.

Beberapa jenis dendeng dibuat dengan menggunakan teknik curing

terlebih dahulu, yaitu dengan menambahkan nitrit (garam sendawa) pada daging bahan dendeng. Nitrit berperan dalam meningkatkan warna merah pada daging sehingga diperoleh dendeng yang berwarna merah. Selain itu nitrit dapat berfungsi sebagai antimikroorganisme sehingga dapat meningkatkan keawetan bahan daging.

Menurut Purnomo (1997) bahwa garam memiliki peran sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan meningkatkan daya ikat protein otot. Disamping itu mempengaruhi aktifitas air bahan makanan. Selanjutnya Purnomo (1997) menjelaskan mekanisme garam sebagai bahan pengawet pada makanan: garam yang terionisasi setiap ionnya menarik molekul-molekul air di sekitarnya dan proses ini disebut hidrasi ion. Pada proses penggaraman ini akan terjadi proses osmosis, yaitu air di dalam jaringan bahan akan ditarik keluar oleh larutan garam di luar, sedangkan ion Na dan Cl masuk ke dalam bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan masuknya garam pada proses penggaraman adalah konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis dan ukuran serta bentu bahan yang akan digarami, daya simpan yang dikehendaki dan cara pengolahannya.

Gula yang sering digunakan dalam pembuatan dendeng adalah gula merah, yaitu gula yang dibuat dari nira pohon kelapa (cocos nucifera). Nira kelapa banyak mengandung gula sukrosa dan hanya sedikit gula pereduksi glukosa dan fruktosa. Gula kelapa ini memiliki aktifitas air berkisar antara 0.63-0.69, kadar air


(26)

10.8-13.5% berat keringnya serta mengandung fruktosa 2.92-9.00%, glukosa 3.00-8.96% dan sukrosa antara 70.52-78.97% (Purnomo 1997).

Pada dendeng, gula menyebabkan penampakan menjadi lebih lembut dengan mengurangi efek pengerasan dari garam melalui pencegahan penguapan air sehingga dendeng menjadi tidak begitu kering, memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur dendeng (Soeparno 1992). Gula juga menyebabkan air sel-sel bakteri tertarik keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula (osmosis) dan menyebabkan sel-sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya terhambat (Winarno et al. 1984).

Dalam praktiknya, penambahan gula belum ada standar sehingga masing-masing pembuat dendeng menyesuaikan dengan selera dan kebiasannya. Demikian halnya dengan bumbu-bumbu yang lain. Bumbu-bumbu lebih bersifat sebagai pembentuk flavor yang khas dan cita rasa produk. Hal ini karena pada umumnya bumbu-bumbu tersebut bersifat aromatik yang tinggi dan banyak mengandung minyak atsiri esensial (Purnomo 1997). Namun demikian, bumbu-bumbu dan turunannya dapat juga berperan sebagai penghambat pertumbuhan bakteri, kapang, fungi dan mikrobial-mikrobial yang bersifat toksik (Souza et al. 2005). Hal ini juga terlihat pada bawang putih dan bawang merah dan senyawa-senyawa turunannya mampu memperbaiki warna daging, meminimalkan oksidasi lemak (antioksidan) dan meningkatkan keamanan daging akibat ulah mikrobia (Soeparno 1992; Yin & Cheng 2003; Sallam et al. 2004; Benkeblia 2005).

Warna Daging dan Dendeng

Kualitas daging merupakan ukuran dari sifat-sifat yang terlihat dan ternilai oleh konsumen (Kauffman dan Marsh 1987). Bagi konsumen, penilaian kualitas daging ini biasanya langsung dengan menggunakan faktor-faktor sensoris sebagai wujud tingkat kesukaan terhadap daging. Cross (1987) menyebutkan bahwa faktor-faktor sensoris yang dimaksudkan adalah warna, keempukan, juiceness, flavor dan aroma. Tetapi yang biasanya menjadi parameter utama dan pertama bagi konsumen dalam memilih dan membeli daging adalah faktor warna (Fox 1987) dan secara kritis digunakan oleh konsumen untuk menerima atau menolak suatu daging (AMSA 1991).


(27)

Warna itu sendiri merupakan sifat fisik dan organoleptik suatu bahan pangan yang ditentukan oleh 4 (empat) hal yaitu adanya sinar yang menerangi suatu benda, sifat absorbsi dan refleksi spektral dari benda yang disinari, kondisi lingkungan benda dan kondisi subjek yang melihat benda (Soekarto 1990).

Secara fisik, warna merupakan manifestasi dari fenomena fisik berupa sinar gelombang elektromagnetik (Soekarto 1990). Sedangkan secara organoleptik, warna merupakan refleksi cahaya pada permukaan suatu bahan yang ditangkap oleh indra penglihatan dan ditransmisikan dalam sistem syaraf. Menurut Aberle et al. (2001) bahwa warna daging merupakan total kesan yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi penglihatan.

Pembentuk utama warna daging adalah terdiri atas 2 macam pigmen, yaitu pigmen daging disebut dengan mioglobin dan pigmen darah yang disebut dengan hemoglobin. Pigmen ini menyerap panjang gelombang cahaya tertentu dan merefleksikannya lalu ditangkap oleh mata (Aberle et al. 2001). Mioglobin dan hemoglobin masing-masing mengandung bagian protein yang disebut dengan globin dan bagian lagi yang terikat pada globin adalah heme (hematin). Heme ini mengandung satu atom Fe yang dapat berstatus tereduksi (ferrous/Fe2+) yang menyebabkan daging berwarna merah ungu, teroksidasi (ferric/Fe3+) yang menyebabkan daging berwarna coklat, atau Fe ini dapat berpasangan dengan oksigen (oksimioglobin/ Fe2+) yang menyebabkan daging berwarna merah cerah. Banyaknya oksimioglobin maupun metmioglobin tergantung pada konsentrasi oksigen yang ada (Wilson 1981). Akumulasi metmioglobin pada permukaan daging selama penyimpanan menyebabkan kerusakan pada warna daging (Bekhit

et al. 2007). Secara skematik, perubahan warna daging berdasarkan status Fe terdapat pada gambar 3.

Mioglobin (Mb) (Fe2+) (Merah ungu)

Metmioglobin (MMb) (Fe3+) (Coklat)

Oksimioglobin (MbO) (Fe2+) (Merah cerah)


(28)

Pada daging olahan, warna yang dibentuk merupakan hasil dari berbagai proses dan reaksi yang sangat kompleks. Beberapa yang turut mempengaruh warna daging olahan adalah suhu, pengeringan, bahan tambahan dan prosesnya itu sendiri. Purnomo (1996) menyatakan bahwa dendeng mempunyai warna coklat gelap yang disebabkan oleh adanya pigmen coklat (melanoidin) yang dihasilkan oleh reaksi pencoklatan non enzimatis, karamelisasi dan mungkin juga karena pengaruh warna gula kelapa baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan. Menurut Bailey (1998) bahwa reaksi pencoklatan non enzimatis ini dipicu karena proses pengeringan yang menyebabkan reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino. Pencoklatan non enzimatis sering ditemukan pada bahan makanan semi basah.

Terbentuknya warna coklat pada reaksi maillard melibatkan beberapa tahap perkembangan. Pertama adalah reaksi kondensasi gugus amino dengan gugus karbonil gula pereduksi (reaksi karbonilamino) yang menghasilkan N-Substituted Glycosilamin (bentuk siklikasi dari basa Schiff’s). Tahap kedua adalah Amadori Rearrangement. Tahap ini merupakan reaksi isomerisasi dari N-Substituted Glycosilamin yang menghasilkan 1-amino-deoxy-2-ketosa. Pada tahap selanjutnya, 1-amino-deoxy-2-ketosa (dan turunan-turunannya) bereaksi mengarah pada pembentukan warna dan flavor melalui 3 jalur, yaitu jalur pembentukan redukton dikarbonil dalam kondisi basa, jalur pembentukan furfural dalam kondisi asam dan jalur degradasi strecker. Degradasi strecker tidak berperan dalam pembentukan warna secara langsung melainkan memberikan prekursor-prekursor pada pembentukan warna. Degradasi Strecker lebih bertanggung jawab pada pembentukan flavor melalui penyediaan aldehida. Warna coklat terbentuk bila produk-produk furfural, redukton dan degradasi strecker bereaksi dengan senyawa-senyawa amino (Eskin et al. 1971; Wong 1989).

Pada daging curing, perkembangan warna terkait dengan peranan nitrit dalam memfiksasi warna merah. Nitrit yang banyak berperan adalah dalam bentuk N2O3 dan hanya sekitar 1% dalam bentuk HNO2. N2O3 bereaksi dengan adanya

redukton-redukton (Rd) baik eksogen maupun endogen daging berubah menjadi NO. Selanjutnya NO dapat berperan dalam perkembangan warna daging yang


(29)

membentuk NOMb (Nitrosomioglobin) yang berwarna merah ungu pada daging mentah dan merah pink bila dimasak, yaitu dengan membentuk nitrosilhemokromagen (Aberle et al. 2001). Pada makanan daging semi basah nitrit berperan menjaga produk tetap berwarna pink setelah pemasakan dengan tetap mempertahankan Fe tetap dalam keadaan Fe2+ sekaligus menghambat

Warmed Over Flavor (Youssef et al. 2001).

Metmioglobin oksida nitrat (intermediet) Hemokromagen (Coklat

kehijauan – pink keabu-abuan) Fe2+

otoreduksi

oksidasi NO Deoksimioglobin

(merah ungu) Fe2+

Mioglobin oksida nitrat (merah) Fe2+

NO

panas

oksigenasi

Oksimioglobin (merah cerah) Fe2+ deoksigenasi

Gambar 4. Reaksi kimia perkembangan warna daging curing (Aberle et al. 2001) Metmioglobin

(Coklat) Fe3+ oksidasi Reduksi + oksigenasi denaturasi protein (panas) NO Hemikromagen atau metmioglobin terdenaturasi (Coklat) Fe3+ Nitrosolhemokromagen

(pink) Fe2+ denaturasi protein (panas) NO oksidasi cahaya

NO + reduksi oksidasi

reduksi


(30)

Flavor Daging dan Dendeng Flavor

Flavor merupakan aspek sensoris penting atas semua sifat daya terima produk makanan, yang biasanya melibatkan berbagai aspek seperti bau, rasa, tekstur, temperatur dan pH (Lawrie 1991; Belitz dan Grosch 1999). Karakteristik flavor daging merupakan suatu produk dari senyawa-senyawa volatil dan non volatil (Huang dan Ho 2001) dimana senyawa-senyawa volatil bertanggung jawab terhadap bau dan senyawa-senyawa nonvolatil pada suhu kamar bertanggung jawab terhadap terbentuknya rasa (Belitz dan Grosch 1999). Meskipun tidak menimbulkan sensasi bau, komponen nonvolatil berperan sebagai media untuk komponen volatil dan membantu menahan penguapan volatil (Winarno 2002). Selanjutnya Meilgaard et al. (1999) menyebutkan bahwa bau yang ditimbulkan dari bahan atau produk makanan disebut dengan aroma dan bau yang ditimbulkan dari produk-produk parfum atau kosmetik disebut dengan fragrance. Namun demikian, sensasi flavor biasanya merupakan kombinasi antara rasa dan aroma.

Persepsi rasa merupakan kombinasi faktor-faktor yang sulit dipisahkan. Secara fisiologis, persepsi ini melibatkan 4 (empat) sensasi rasa dasar, yaitu asin, manis, asam dan pahit yang terdeteksi oleh saraf permukaan lidah (Lawrie 1991; Belitz dan Grosch 1999; Aberle et al. 2001). Menurut MacLeod (1998) bahwa rasa asin banyak disebabkan kehadiran garam-garam anorganik, garam sodium glutamat dan aspartat. Rasa manis banyak disumbangkan oleh kehadiran glukosa, fruktosa, ribosa, dan beberapa asam L-amino seperti glisin, alanin, serin, treonin, lisin, sistein, meteonin, asparagin, glutamin dan hidroksiprolin. Rasa asam disebabkan oleh asam aspartat, asam glutamat, histidin dan asparagin bersama-sama dengan asam suksinat, laktat, inosinat, ortho-fosforat dan asam pirolidon karboksilat. Sedangkan rasa pahit disebabkan oleh adanya senayawa-senyawa yang diturunkan oleh hipoksantin bersama-sama dengan anserin, karnosin dan beberapa peptida dan L-asam amino yang juga menyumbang pada rasa manis seperti histidin, argini, lisin, metionin, valin, leusin, isoleusin, fenilalanin, triptofan, tirosin, asparagin dan glutamin.

Masyarakat Jepang mengenal sensasi rasa yang lain disebut dengan umami. Umami didefinisikan sebagai rasa atas senyawa monosodium glutamat


(31)

(MSG) dan 5-nucleotides berupa 5-inosinate (Inosine monophosphate/IMP) dan 5-guanylate (guanosine monophosphate/GMP). Selain itu digunakan juga istilah

savoury, beefy atau brothy untuk mendeskripsikan sensasi rasa umami (Maga 1998).

Sedangkan aroma terdeteksi bila senyawa volatil menstimulasi saraf yang berakhir pada saluran pernafasan (Aberle et al. 2001). Pada sapi, senyawa volatil ini dihasilkan dari komponen prekursor nonvolatil saat pemasakan. Reaksi utama yang terjadi adalah (a) oksidasi/degradasi lipida, (b) degradasi termal dan intereaksi antara protein, peptida, asam-asam amino, gula dan ribonukleotida dan (c) degradasi panas terhadap tiamin (MacLeod 1998).

Flavor Daging

Flavor daging alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya pemanasan. Proses pemanasan menyebabkan terbentuknya berbagai senyawa sekunder dan tersier yang dapat berinteraksi lebih lanjut membentuk senyawa-senyawa volatil pembentuk flavor. Prekursor utama pembentuk senyawa-senyawa flavor daging dapat dikelompokkan menjadi (1) komponen yang terlarut dalam air seperti asam-asam amino, peptida-peptida, nukleosida, karbohidrat (seperti gula-gula bebas dan gula-gula fosfat), vitamin (misalnya Tiamin) dan lain-lain dan (2) komponen lipida (Mottram 1998a). Huang dan Ho (2001) merinci lagi bahwa prokursor-prekursor pembentuk senyawa aroma daging adalah Inosin Monofosfat (IMP), Tiamin, Alin dan Deoksialin, Aldehida dari degradasi strecker, Pirolin, Aldehida-aldehida lemak dan produk-produk degradasi karbohidrat.

Flavor daging yang terbentuk oleh pemecahan termal atas lemak, protein dan karbohidrat merupakan prekursor utama untuk menghasilkan aroma melalui proses termal (Huang dan Ho 2001). Senyawa-senyawa volatil yang dipercaya sebagai penyumbang utama pada aroma dibuat oleh senyawa-senyawa sulfur asiklik, heterosiklik yang mengandung nitrogen, oksigen dan/atau sulfur dan senyawa-senyawa volatil yang mengandung karbonil (Shahidi 1998). Reaksi utama selama proses pemasakan yang menyebabkan timbulnya aroma volatil adalah reaksi pencoklatan non enzimatis maillard dan degradasi lemak (Mottram 1998b). Meskipun demikian, menurut Aberle et al. (2001), jaringan otot yang memiliki persediaan energi lebih banyak maka flavornya menjadi lebih terasa


(32)

daripada otot yang mengandung persediaan energi rendah. Ini dibuktikan dengan adanya Inosine Monophosphat (IMP) dan hypoxanthine yang meningkatkan flavor atau aroma, dimana IMP dan hypoxanthine diproduksi melalui pemecahan ATP.

Pada daging mentah, flavor yang dihasilkan sangat kecil (lemah) dan hanya memiliki rasa amis seperti darah (Mottram 1998a) tetapi mengandung banyak reservoir nonvolatil sebagai prekursor flavor daging masak (Huang dan Ho 2001). Pemasakan atau pemanasan dapat meningkatkan flavor sehingga diperoleh flavor khas daging. Karakteristik aroma tengantung pada jenis daging dan metode pengolahan yang diterapkan pada daging seperti pemanggangan, pemanasan, penguapan ataupun perebusan (Bellitz dan Grosch 1999). Pengolahan daging misalnya di-curing atau diasap menimbulkan karakteristik flavor pada produk. Interaksi antara nitrit dengan daging/otot biasanya akan menghambat pembentukan senyawa-senyawa volatil yang bersifat off-flavor oleh karenanya menyebabkan flavor memiliki karakteristik yang lebih disukai (Shahidi 1998). Pemasakan dengan cara dipanggang dan dibakar menyebabkan senyawa-senyawa heterosiklik pembentuk aroma khas lebih banyak daripada direbus (Huang dan Ho 2001). Hingga batas-batas tertentu, konsentrasi total Fe, metmioglobin dan asam lemak mempengaruhi flavor, terutama pada flavor livery pada sapi (Yancey et al.

2006).

Karakteristik flavor berkaitan dengan jenis ternak/daging biasanya dihasilkan dari prekursor-prekursor lipida. Contohnya adalah aldehida, senyawa hasil degradasi lipida, yang sangat menentukan karakteristik daging suatu sepesies. Pada daging domba senyawa ini berupa asam lemak jenuh bercabang metil, 4-metiloktanoat dan 4-metilnonanoat, yang bertanggung jawab terhadap flavor khas domba (muttony) yang tidak dijumpai pada daging lain (Young dan Braggins 1998, Duckett dan Kuber 2001 dan Suryaningsih 2006). Pada daging sapi aroma khasnya banyak ditentukan oleh senyawa yang mempunyai aroma seperti daging sapi, tallow. Telah ditemukan sebanyak 880 komponen volatil aroma daging sapi masak tetapi hanya sekitar 25 macam saja yang memiliki bau

meaty dan senyawa yang bertanggung jawab terhadap karakteristik aroma meaty


(33)

(MacLeod 1998). Kemungkinan juga senyawa golongan karboksilat jenis asam oktadekanoat dan ester metil yang menentukan flavor khas daging sapi (Suryaningsih 2006). Sedangkan yang berperan terhadap aroma panggang suatu daging adalah senyawa-senyawa heterosiklik, seperti pirazin dan tiazol yang terbentuk dari tahap akhir reaksi maillard (Mottram 1998a). Sementara pada daging kuda, senyawa yang menentukan flavor daging adalah kelompok karboksilat jenis asam 9-oktadekanoat (Suryaningsih 2006).

Pengolahan daging juga telah mempengaruhi komponen volatil flavor daging. Hasil penelitian Suryaningsih (2006) menunjukkan bahwa komponen volatil daging sapi yang teridentifikasi sebanyak 133 yang terdiri atas keton (2), alkohol (36), karboksilat (90) dan aldehida (5). Setelah diolah menjadi nikumi, komponen volatilnya menurun menjadi 62 komponen, yaitu keton (7), alkohol (3) karboksilat (29) dan aldehida (6) serta komponen-komponen lainnya (17). Komponen volatil daging domba yang teridentifikasi sebanyak 141 komponen yang terdiri atas keton (19), alkohol (39), furan (21), karboksilat (40), piridins (4), hidrokarbon (2), pirols (1) dan lainnya (15). Setelah diolah menjadi nikumi komponen volatilnya menjadi 97 yang terdiri atas aldehida (31), keton (5), furan (3), alkohol (2), karboksilat (20) dan komponen lainnya (36). Sedangkan pada daging kuda ditemukan 148 komponen volatil yang meliputi karboksilat (108), alkohol (20), keton (7), aldehida (4), hidrokarbon (3) dan lainnya (6). Setelah diolah menjadi nikumi terdapat 114 komponen volatil yang terdiri atas aldehida (54), karboksilat (16), keton (5), alkohol (4) dan lainnya (35).

Oksidasi pada Dendeng

Oksidasi lemak dapat terjadi bila ada lemak tak jenuh yang kontak dengan oksigen. Hasil oksidasi adalah ketengikan pada produk dan ini menurunkan kualitas produk. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tahapan-tahapan oksidasi dimulai dengan tahap inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 5). Tahap inisiasi merupakan suatu reaksi pembebasan atom H yang terikat pada atom C terdekat dari C yang berikatan rangkap suatu asam lemak tak jenuh. Pada tahap ini dihasilkan suatu radikal bebas. Reaksi ini terjadi dengan adanya energi seperti panas, atau enzim lipase.


(34)

Tahap kedua adalah propagasi, yaitu reaksi antara radikal bebas dengan oksigen membentuk radikal peroksida. Selanjutnya radikal peroksida bereaksi dengan asam lemak tak jenuh dan menghasilkan hidroperoksida dan radikal bebas. Proses ini terus berulang selama faktor yang menentukan oksidasi masih tersedia. Tahap yang ketiga adalah terminasi. Reaksi ini merupakan reaksi akhir dengan membentuk produk non radikal (Wong 1989; Erickson 2002).

INISIASI : RH R* + H Energi

Asam lemak tak jenuh

Radikal bebas

PROPAGASI : R* + O2 ROO*

Radikal peroksida

ROO* + RH ROOH + R* Hidroperoksida

TERMINASI : ROO* + ROO*

ROO* + R* ROOR

R* + R*

Gambar 5. Reaksi oksidasi pada lemak

Hidroperoksida merupakan produk antara pada proses oksidasi dan bersifat netral atau belum mempengaruhi flavor produk. Menurut Skibted et al. (1998), hidroperoksida murni relatif stabil, tetapi transisi ion logam dan senyawa heme mengkatalisa hidroperoksida baik melalui oksidasi maupun reduksi. Pada proses oksidasi lebih lanjut, hidroperoksida akan mengalami dekomposisi menjadi senyawa-senyawa volatil berbobot molekul rendah seperti aldehida, keton, alkohol, hidrokarbon dan ester. Senyawa-senyawa ini yang bertangung jawab terhadap ketengikan pada daging dan produk-produk oksidasi lainnnya. Komposisi ini tergantung dari profil asam lemak daging.

Menurut Purnomo (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi lemak meliputi aktivitas air, NaCl, logam, rempah-rempah, hemoprotein dan bentuk dari lemak tersebut. Aktivitas air yang meningkat akan diikuti dengan penurunan oksidasi lemak hingga tingkat kadar minimum. Jika kadar air terlalu


(35)

rendah (2-3%) maka daging menjadi lebih peka terhadap oksidasi. Hal ini disebabkan karena ikut meningkatnya katalis logam. NaCl 2% memperlihatkan adanya peningkatan oksidasi pada kalengan sardin dibandingkan dengan yang tidak diberi garam, tetapi dengan pemberian NaCl di atas 3% dapat menghambat oksidasi lemak. Menurut Kateren (1986), logam dengan valensi 2 memiliki potensi besar untuk meningkatkan oksidasi lemak. Purnomo (1996) melaporkan bahwa pada daging yang mengalami pemanasan mudah mengalami oksidasi karena pemanasan menyebabkan denaturasi protein sehingga melepaskan Fe yang bersifat prooksidan.

Menurut Kateren (1986), bentuk lemak atau minyak menentukan tingkat oksidasi. Lemak lebih mudah teroksidasi daripada minyak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh radikal ROO* dalam fase padat akan berdifusi lebih lambat sehingga lebih siap bereaksi dengan substrat lanjutan proses propagasi, sedangkan radikal dalam bentuk minyak akan cepat mengalami terminasi dengan radikal yang lain. Selain bentuk lemak, tingkat kejenuhan dari lemak menentukan tingkat oksidasi lemak itu sendiri. Lemak yang banyak mengandung asam lemak berikatan rangkap (semakin tidak jenuh) maka semakin mudah mengalami oksidasi.

Pengeringan

Pembuatan dendeng merupakan kombinasi antara pengolahan dan pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Prinsip pengeringan merupakan kombinasi teknik-teknik pengawetan yang menurut Buckle et al. (1985) menyangkut beberapa hal sebagai berikut:

1. Pembatasan air dengan pengeringan.

2. Penggunaan garam dan gula untuk mengendalikan kegiatan air lebih lanjut dan berfungsi sebagai penghambat selektif terhadap kegiatan enzim dan mikroorganisma.

3. Penggunaan bumbu-bumbu untuk membatasi perkembangan mikroorganisma dan untuk memberi rasa yang khas.


(36)

Winarno et al. (1984) menyebutkan bahwa pengeringan merupakan suatu cara mengeluarkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Menurut Pakowski et al. (2004), selama proses pengeringan daging asin mengalami proses difusi secara simultan antara air dan garam. Menurut Gou et al. (2003), nilai difusifitas daging yang diberi garam lebih sensitif dibandingkan dengan yang tidak diberi garam. Difusifitas ini paralel dengan arah serat daging dimana nilainya ditentukan oleh temperatur dan kadar garam. Bila temperatur naik atau kadar garam menurun maka nilai difusinya meningkat, tetapi bila temperatur rendah maka kadar garam kurang menentukan nilai difusinya.

Pengeringan menyebabkan berkurangnya kandungan air daging sehingga menyebabkan kandungan bahan-bahan lain seperti protein, karbohidrat dan lemak dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Selama proses pengeringan, terutama bila menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan hilangnya tiamin dan vitamin C sedangkan riboflafin dan niasinnya hilang sedikit (Purnomo 1997). Pengeringan juga dapat menyebabkan bahan menjadi berwarna coklat akibat reaksi pencoklatan non enzimatis antara gula pereduksi dengan asam amino sehingga menurunkan nilai proteinnya (Winarno et al. 1984). Selama pengeringan, senyawa-senyawa flavor yang bersifat volatil akan mudah terbuang selama proses pengeringan. Hilanganya air juga menyebabkan senyawa-senyawa volatil akan ikut lepas dari bahan sehingga daging kering memiliki senyawa-senyawa flavor yang telah berkurang. Berkurangnya flavor ini semakin kompleks dengan adanya reaksi pencoklatan non enzimatis yang juga menyebabkan berkurangnya flavor asal (Heldman dan Hartel 1998).

Pencucian (Leaching)

Prosedur pencucian sebenarnya merupakan tahapan penting yang harus dilalui pada pembuatan surimi, yaitu suatu produk antara pengolahan ikan dimana daging ikan biasanya diolah melalui penggilingan terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air, lemak, darah (pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan kekuatan gel (Toyoda et al. 1992). Pencucian ini selain dapat membersihkan lemak dan bahan-bahan yang tak diinginkan seperti darah, pigmen dan substansi


(37)

penyebab bau juga dapat meningkatkan konsentrasi protein miofibrilar (aktomiosin) sehingga dapat memperbaiki gel dari protein daging dan denaturasi protein selama penyimpanan beku (Suzuki 1981; Lee 1984; 1986; Lin et al. 1995).

Pencucian telah menyebabkan hilangnya substansi yang larut dalam air seperti protein sarkoplasmik, enzim pencernaan protease, garam organik dan substansi organik berbobot molekul rendah (Toyoda et al.1992). Ditambahkan oleh Huidobro et al. (1998) bahwa pencucian dapat menyebabkan hilangnya protein sebesar 15-30% dari total protein daging giling. Medina dan Garrote (2001) menemukan bahwa sebanyak 19% dari total nitrogen didapati berasal dari protein sarkoplamik yang terbuang bersama bekas air cucian. Tetapi menurut Huidobro et al. (1998) bahwa protein sarkoplasmik lebih banyak ditemukan (hilang) pada pencucian pertama.

Pada surimi, kondisi pencucian berpengaruh terhadap beberapa parameter kualitas surimi. Medina dan Garrote (2001) melaporkan bahwa pencucian dengan air dingin bersuhu 18 oC memiliki kekuatan gel yang lebih baik dari pada dengan air dingin yang suhunya di bawah 18oC tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hilangnya protein daging. Protein dan kadar air daging giling dipengaruhi oleh rasio antara air dengan daging giling dan lamanya dalam satu kali pencucian. Semakin tinggi rasio air : daging giling maka otot daging semakin basah dan semakin basah lagi bila waktu pencucian lebih lama.

Frekuensi pencucian juga mempengaruhi beberapa parameter kualitas nikumi. Hasil penelitian Mega (2005) menunjukkan bahwa semakin sering daging giling dicuci maka semakin banyak protein, lemak, abu dan rendemen yag hilang, tetapi dapat meningkatkan nilai Daya Mengikat Air daging dan kadar karbohidratnya. Meskipun demikian, Istihastuti et al. (1997) menyebutkan bahwa pencucian antara 2 hingga 4 kali pada daging ikan untuk pembuatan surimi tidak menunjukkan perbedaan rendemen. Menurut Mega (2005), pencucian juga berpengaruh terhadap aroma, warna dan teksur nikumi dan mampu meningkatkan kesukaan konsumen terhadap aroma, warna dan teksur nikumi. Akan tetapi, pencucian daging giling kuda dan sapi sebaiknya 3 kali karena mampu memberikan aroma, warna dan rasa yang baik tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisinya (Mega 2005).


(38)

Rancangan Percobaan dan Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (3 X 3) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pencucian (leaching), yaitu tidak dicuci dan daging langsung digiling (L0), dicuci pada kondisi dicacah ukuran 1.5 X 1.5 X1.5 cm kemudian digiling (L1) dan dicuci setelah digiling (L2). Faktor kedua adalah jenis daging, yaitu daging kuda (DK), daging domba (DD) dan daging sapi (DS).

Model matematis penelitian ini adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2002):

Y

ijk =

μ

+

α

i +

β

j + (

αβ

)ij +

ε

ijk, dimana:

Y

ijk = nilai pengamatan pada pencucian ke-i dan jenis daging ke-j ulangan ke-k

μ

= nilai rataan umum

α

i = pengaruh pencucian ke-i; i = 1, 2, 3

β

j = pengaruh jenis daging ke-j; j = 1, 2, 3

(

αβ

)ij = pengaruh interaksi pencucian ke-i dan jenis daging ke-j

ε

ijk = galat percobaan

Bahan dan Prinsip Pembuatan Dendeng

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah daging kuda, domba dan sapi bagian paha (topside dan silverside). Daging kuda diperoleh dari pasar Ciroyom Bandung dan daging domba dan sapi diperoleh dari pasar Anyar Bogor.

Daging yang telah diperoleh kemudian dipisahkan dari lemak dan jaringan ikat dan kemudian dikelompokkan berdasarkan perlakuan. Pencucian dilakukan satu kali dengan menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan air dengan daging sebesar 3:1. Setelah dicuci, daging diperas dengan menggunakan kain kasa. Kemudian daging yang telah digiling dan dicuci sesuai perlakuan, dicampurkan dengan garam sendawa (0.3% dari berat daging giling yang siap dibuat dendeng) dan diperam (curing) semalam. Setelah curing maka ditambahkan bahan-bahan yaitu, garam (3%), gula putih (15%), ketumbar (2.5%),


(39)

bawang putih (1.5%), lengkuas (0.3%), merica (0.3%) dan asam jawa (0.1%) yang dihitung berdasarkan berat daging giling yang akan dibuat dendeng.

Alur proses pembuatan dendeng giling pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dikeringkan dalam oven 80oC selama 4.5 j

Dibuat lembaran tipis-tipis (2 mm) Dicampur bumbu-bumbu Di-curing semalam (sendawa 0.3%)

Digiling

Diperas Tidak dicuci dan

langsung digiling (L0)

Digiling kemudian dicuci (L2) Dipotong-potong ukuran

1.5 X 1.5 X1.5 cm kemudian dicuci (L1)

Daging kuda (DK), domba (DD) dan sapi (DS)

Dendeng Daging Giling siap diamati


(40)

Variabel Pengamatan dan Pengukurannya

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah (a) adonan hanya variabel kimia dan (b) dendeng daging giling mentah meliputi variabel fisik, kimiawi dan organoleptik serta (c) dendeng goreng hanya variabel organoleptik.

Variabel Fisik

a. Rendemen (AOAC 1999)

Rendemen merupakan perbandingan antara berat produk (dendeng) dengan berat dikalikan 100%. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

Bobot produk

Rendemen (%) = --- X 100% Bobot adonan

b. pH Dendeng (AOAC 1999)

Pengukuran pH dendeng dilakuan dengan menggunakan pH meter merek Orion Model 210A. Caranya sebanyak 5 gram dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam beker glass, diencerkan dengan air sampai 50 ml kemudian dihomogenkan dengan mixer selama 1 menit. Sebelumnya pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Kemudian dilakukan pengukuran derajat keasaman dendeng dengan menempatkan elektroda pada sampel dan nilai pH tertera pada layar.

c. Uji Kekerasan (Ranganna 1986)

Kekerasan merupakan besarnya gaya tekan untuk menembus produk padat yang dinyatakan dalam Gram force (gf) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan texture analyzer Rheoner RE-3305. Dendeng ditempatkan di atas meja penahan dan ditekan dengan alat pemotong sampai terpotong menjadi 2 dengan chart speed 250 mm/menit. Dalam proses pemotongan akan terlihat grafik yang secara otomatis terhubung dengan komputer. Nilai tertinggi grafik merupakan nilai kekerasan.

d. Warna (Soekarto 1990)

Warna merupakan refleksi cahaya pada permukaan suatu bahan yang ditangkap oleh indra penglihatan dan ditransmisikan dalam sistem syaraf.


(41)

Penilaian warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter. Pengukuran ini dilakukan dengan cara menyinarkan alat ke permukaan sampel. Hasil peyinaran dari alat ini menunjukkan derajat ”kecerahan”, ”kemerahan” dan ”kekuningan” yang masing-masing dicerminkan oleh nilai ”L”, ”a”, dan ”b”. Nilai ”L” menunjukkan derajat kecerahan yang nilainya berkisar antara 0–100 dimana nilai 0 menunjukkan warna hitam, nilai 100 menunjukkan warna putih. Nilai ”a” menggambarkan derajat kemerahan dan kehijauan yang nilainya berkisar antara -0 sampai 100. Nilai ”a” negatif menunjukkan bahan berwarna hijau dan bila positif menunjukkan berwarna merah. Nilai ”b” menunjukkan tingkat kekuningan dan kebiruan dengan kisaran nilai -70 sampai +70. Nilai ”b” negatif menunjukkan warna kuning dan bila positif menunjukkan warna biru.

e. Nilai Aktivitas Air (AOAC 1999)

Aktivitas air (Aw) diukur dengan menggunakan alat pengukur Aw meter. Sebelum melakukan pengukuran, alat ini dikalibrasi dengan larutan NaCl yang memiliki nilai Aw sekitar 0.75. Setelah itu, sampel diletakkan ke dalam Aw meter dan bila sudah dalam posisi ready, lalu tekan tombol start. Maka kemudian nilai Aw akan terbaca bila alat tersebut dalam posisi completed.

Variabel Kimiawi

a. Kadar Air (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 102oC selama 15 jam. Kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 102oC selama 16 jam hingga dicapai berat tetap (selama pemanasan ditimbang setiap jam hingga beratnya tetap). Setelah dicapai berat yang tetap, cawan berisi sampel dipindahkan dalam desikator dan didinginkan serta ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Berat awal sampel – berat akhir sampel

Kadar air (%) = --- X 100% Berat awal sampel

b. Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989)

Sampel sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Sampel dibakar hingga berubah menjadi berwarna abu-abu.


(42)

Pengabuan dilakukan 2 tahan yaitu pada suhu 400oC dan kedua pada suhu 550oC. Kemudian cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:

berat akhir sampel Kadar abu (%) = --- X 100% Berat awal sampel c. Kadar Protein (Apriyantono et al. 1989)

Sampel seberat 0.2 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml lalu ditambahkan H2SO4 sebanyak 5 ml kemudian diekstraksi selama 30 menit sampai

diperoleh cairan yang berwarna hijau jernih. Cairan ini kemudian didinginkan dengan air dingin mengalir secara perlahan-lahan dan ditambahkan aquades sebanyak 10 ml dan 30 ml NaOH kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung ke dalam labu erlenmeyer 125 ml yang berisi 10 ml larutan H3BO3 dan 2-3 tetes

indikator campuran metilen merah dan metilen biru kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai menjadi warna merah muda. Blanko dilakukan analisis dengan prosedur yang sama. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan rumus:

(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007

N (%) = --- x 100% mg sampel

Kadar protein (%) = N (%) x 6.25.

d. Kadar Lemak (Apriyantono et al. 1989)

Penetapan kadar lemak dilakukan berdasarkan metode ekstraksi soxhlet yang diawali dengan proses hidrolisis. Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam labu berukuran 600 ml dan kemudian ditambahkan 20 ml H2O dan 30 ml

HCl 25 %. Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit, kemudian diencerkan dengan air panas sampai bebas asam. Kemudian disaring dengan kertas saring yang diketahui beratnya dan hasil saringannya dikeringkan dalam oven suhu 50oC hingga kering atau sekitar 12 jam. Setelah kering, masukkan ke dalam selongsong pengekstrak (soxhlet) yang telah dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Reflux dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu yang berisi lemak


(43)

hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu dan berat lemaknya ditimbang, kemudian kadar lemak dihitung dengan rumus:

Berat lemak

Lemak (%) = --- x 100% Berat sampel

e. Bilangan Peroksida (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 5 gram contoh di dalam erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 30 ml pelarut (terdiri atas 60% asam asetat dan 40% kloroform) dan dikocok sampai larut. Kemudian tambahkan 0.5 ml KI jenuh dan didiamkan selama 2 (dua) menit di dalam ruang gelap sambil digoyang-goyang. Tambahkan 30 ml air destilata dan dititrasi dengan Na2S2O3 0.01N. Dengan cara yang sama

dibuat blanko.

Bilangan peroksida (BP) dihitung dengan rumus:

BP = (ml Na2S2O3 sampel –Na2S2O3 blanko) x Normalitas Na2S2O3 x 1000/gram

contoh

Variabel Organoleptik (Rahayu 2001)

Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dengan skala 1 – 6 dengan karakteristik penentu meliputi warna, tekstur, dan aroma untuk dendeng mentah dan ditambah rasa untuk dendeng goreng. Deskripsi skala tersebut adalah sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), agak suka (4), suka (5), sangat suka (6). Penilaian ini dilakukan oleh 27 orang panelis semi terlatih.

Analisa Data

Data diuji dengan analisis keragaman menggunakan softwareSPSS 11 for windows dan apabila terdapat perbedaan nyata dengan selang kepercayaan 95% akan diuji lanjut dengan Duncan’s New Multiple Range Test. Data uji organoleptik diolah dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis dengan uji lanjut Multiple Comparison of Mean Ranks (Gibbons, 1975). Rumus pengujiannya adalah sebagai berikut:


(44)

|Ři – Řj|≤ Z [k(N + 1)/6]0.5

Jika |Ři – Řj| lebih besar dari Z [k(N + 1)/6]0.5 maka perbedaan Ři dan Řj adalah nyata pada taraf α. Dimana:

Ři = rataan ranking untuk level perlakuan ke-i Řj = rataan ranking untuk level perlakuan ke-j

Z = nilai Z untuk perbandingan lebih dari dua rataan K = jumlah level dalam perlakuan


(45)

Karakteristik Kimia Adonan Dendeng

Adonan dendeng merupakan bahan yang siap dibuat dendeng, yaitu berupa daging giling sesuai dengan perlakuan yang telah dicampur dengan bumbu-bumbu dan telah di-curing selama semalam. Karakteristik kimia adonan hasil penelitian disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai rataan karakteristik kimia adonan dendeng Leaching Variabel

(%) Jenis daging L0 L1 L2 Rataan

Kadar Air Kuda (DK) 58.97 60.28 61.80 60.35 (% Bahan Domba (DD) 57.47 56.71 60.50 58.23 Segar) Sapi (DS) 59.78 58.33 60.52 59.54

Rataan 58.74 58.44 60.94 59.37

Kadar Abu Kuda (DK) 5.89 7.14 6.10 6.38 (% Bahan Domba (DD) 6.47 6.40 7.00 6.63 Kering) Sapi (DS) 6.68 5.56 6.39 6.21

Rataan 6.35 6.37 6.50 6.41

Protein Kuda (DK) 43.09 42.43 40.66 42.06 (% Bahan Domba (DD) 39.95 38.58 40.02 39.52 Kering) Sapi (DS) 43.08 41.39 41.18 41.88

Rataan 42.04 40.80 40.62 41.15

Lemak Kuda (DK) 11.29 11.30 11.54 11.37a (% Bahan Domba (DD) 17.12 16.71 15.60 16.48 b Kering) Sapi (DS) 10.61 12.10 10.13 10.95 a

Rataan 13.01 13.37 12.42 12.93

Keterangan: Angka yang dikuti superskrip berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.01). L0 = tanpa pencucian; L1 = daging dipotong berukuran 1.5 X 1.5 X 1.5 cm kemudian dicuci; L2 = daging digiling kemudian dicuci.

Kadar Air

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar air adonan dendeng tidak berbeda nyata antara jenis daging maupun pencucian (leaching) (P>0.05). Penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya interaksi antara jenis daging dengan pencucian (P>0.05). Hasil ini berbeda dengan penelitian Mega (2005) dan Suryaningsih (2006) yang menyebutkan bahwa rataan kadar air nikumi kuda dan sapi berbeda. Perbedaan hasil ini diduga karena proses pembuatan adonan


(46)

dendeng yang melalui tahap curing selama semalam dan penambahan bumbu-bumbu, garam dan gula.

Rataan kadar air secara umum adalah sebesar 59.37% (tabel 2) dan ini lebih rendah dari rataan berbagai jenis daging segar pada umumnya yaitu berkisar antara 65-80% dengan rata-rata 75% (Lawrie 1991; Aberle et al. 2001). Rataan kadar air adonan berdasarkan jenis daging adalah 60.35%, 58.23%, dan 59.54% masing-masing adalah untuk daging kuda, domba dan sapi dengan perhitungan berbasis bahan kering. Sedangkan rataan kadar air adonan berdasarkan pencucian adalah 58.65%, 58.45%, dan 60.98% masing-masing untuk L0, L1 dan L2. Kadar air ini juga lebih rendah dari hasil penelitian Mega (2005) berupa nikumi kuda dan sapi yang dicuci dengan frekuensi hingga 9 kali dengan kadar air masing-masing sebesar 70.80% dan 68.01% dan Suryaningsih (2006) berupa nikumi kuda, sapi dan domba yang diberi antidenaturan dengan kadar airnya masing-masing adalah 67.92%, 65.68% dan 65.55%. Lebih rendahnya kadar air adonan dendeng daripada nikumi diduga karena dalam pembuatan dendeng dilakukan curing

selama semalam sehingga menyebabkan penguapan yang mengurangi kadar air. Selain itu, Suryaningsih (2006) melakukan penambahan antidenaturan untuk mengurangi denaturasi protein sehingga dapat menghambat penurunan daya mengikat air oleh protein.

Kadar Abu

Kandungan abu pada suatu bahan menunjukkan kadar mineral secara kasar. Mineral utama pada daging antara lain adalah kalsium, fosfor, magnesium dan natrium. Menurut deMan (1989) bahwa mineral tersebar dalam bentuk terlarut ataupun tidak terlarut. Mineral yang tidak terlarut berasosiasi dengan protein terutama pada bagian yang tidak berlemak. Menurut Miller (1996),mineral dalam abu berbentuk okasida logam, sulfat, fosfat, nitrat, klorida dan halida-halida lainnya.

Penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara jenis daging dan pencucian serta tidak adanya interaksi antara keduanya (P>0.05) terhadap kadar abu adonan dendeng. Rataan kadar abu hasil penelitian ini secara umum adalah sebesar 6.41%. Rataan kadar abu menurut jenis daging berdasarkan


(47)

bahan kering adalah 6.38% untuk daging kuda, 6.63% untuk domba, dan 6.21% untuk daging sapi. Menurut Paleari et al. (2003) bahwa kadar abu daging setelah di-curing untuk kuda, kambing dan sapi masing-masing adalah 7.7%, 8.2% dan 5.1%. Berdasarkan pencucian, rataan kadar abu hasil penelitian ini adalah 6.35%, 6.37%, dan 6.50% masing-masing untuk L0, L1, dan L2 dengan perhitungan berbasis bahan kering. Tidak berbedanya kadar abu ini menunjukkan bahwa pencucian pada penelitian ini, yaitu dilakukan sekali baik melalui daging dipotong-potong berukuran 1.5 X 1.5 X 1.5 cm maupun digiling tidak mempengaruhi hilangnya abu dari daging. Hasil penelitian ini berbeda dengan Mega (2005) dan Suryanigsih (2006) dimana jenis daging mempengaruhi kadar abu nikumi. Perbedaan hasil ini mungkin karena adanya perbedaan cara pencucian dimana Mega (2005) melakukan pencucian hingga 9 kali dan Suryaningsih (2006) melakukan 8 kali.

Kadar abu daging segar pada umumnya sebesar 1%. Lawrie (1991) menyebutkan bahwa kadar bahan anorganik daging sebesar 0.65%, Kauffman (2001) menyatakan bahwa kadar abu pada otot sebesar 1%. Sementara menurut Paleari et al. (2003) bahwa kadar abu daging kuda, sapi dan kambing masing-masing adalah sebesar 1.3%, 1.3% dan 0.9%. Hikmah (2003) menyatakan bahwa kadar abu pada kuda rata-rata sebesar 1.14%. Menurut deMan (1989) bahwa pengolahan biasanya tidak mempengaruhi kadar mineral daging. Menurut Merkel (1987), bahan anorganik pada daging sangat stabil selama penyimpanan, penanganan dan pengolahan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pencucian tidak mempengaruhi kadar abu adonan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Mega (2005) yang menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kadar abu dengan meningkatnya frekuensi pencucian.

Kadar Protein

Daging merupakan sumber utama protein. Menurut Aberle et al. (2001) bahwa kadar protein otot sekeletal berbasis berat segar adalah sebesar 16–22% dengan rata-rata 18.5%, menurut Lawrie (1991) ada 19% dan menurut Xiong (2000) protein daging rata-rata 20%. Sedangkan menurut Kauffman (2001) bahwa secara umum daging segar mengandung 21% senyawa nitrogenous dan protein


(48)

merupakan komponen terbesar dari senyawa tersebut. Paleari et al. (2003) menyatakan bahwa kadar protein daging kuda, kambing dan sapi masing-masing adalah 20.3%, 17.6% dan 22.2%. Sementara itu, Hikmah (2003) menyebutkan bahwa daging kuda mengandung protein kasar sebesar 19.59%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar protein kasar adonan dendeng tidak berbeda nyata baik berdasarkan jenis daging maupun pencucian dan tidak terjadi interaksi antara keduanya (P>0.05). Ini berarti bahwa pencucian tidak mempengaruhi kadar protein kasar adonan. Namun demikian, terdapat kecenderungan penurunan kadar protein akibat pencucian yang berbeda. Pada tabel 1 terlihat bahwa pada L0 kadar proteinnya sebesar 42.04%, L1 sebesar 40.80% dan L2 40.62% yang dihitung berbasis bahan kering. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Uju et al. (2004) yang menyebutkan bahwa kadar protein bakso berbahan surimi yang menurun akibat pencucian surimi dan Mega (2005) yang menyatakan bahwa pencucian dapat menurunkan kadar protein nikumi. Perbedaan hasil ini diduga karena metode pencucian yang berbeda dimana pada penelitian ini pencucian dilakukan hanya satu kali tanpa menggunakan garam sedangkan pada Uju et al. (2004) dilakukan hingga 4 kali dan Mega (2005) hingga 9 kali yang salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan air garam. Kebaradaan garam pada air untuk mencuci akan memungkinkan protein-protein larut garam seperti protein miofibrilar turut tercuci sehingga mengurangi kandungan protein.

Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin menurunkan kadar protein bakso berbahan surimi (Uju et al. 2004) dan menurunkan kadar protein nikumi (Mega 2005). Penurunan ini disebabkan oleh hilangnya protein sarkoplasmik yang terdapat dalam sarkoplasma sel-sel otot yang bersifat larut dalam air (Suzuki 1981; Zayas 1997; Xiong 2000). Sebenarnya komponen-komponen larut air telah dapat dihilangkan pada siklus pencucian yang pertama (Toyoda et al. 1992; Huidobro 1998) dan ini terlihat dari siklus pencucian ke-2, 3, dan ke-4 yang kadar proteinnya cenderung tetap (Uju et al. 2004).

Selain itu, menurut Toyoda et al. (1992) bahwa lamanya pencucian dalam sekali siklus turut mempengaruhi banyaknya komponen larut air yang hilang. Lama pencucian yang dianggap memadai dalam sekali siklus adalah 5 menit. Pada


(49)

penelitian ini, lamanya pencucian dalam sekali siklus adalah 1 menit dan ini yang diduga menjadi penyebab mengapa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pencucian tidak mempengaruhi kadar protein kasar adonan dendeng (Tabel 2).

Berdasarkan jenis daging, kadar protein kasar adonan dendeng dari daging kuda sebesar 42.06%, daging domba 39.52% dan daging sapi 41.88% berbasis bahan kering. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil Paleari et al. (2003) yang menyatakan bahwa kadar protein daging setelah di-curing untuk kuda sebesar 39.7%, kambing 38.8% dan sapi 34.6%. Perbedaan ini mungkin karena perbedaan bangsa, jenis dan status nutrisi dan fisiologi ternak yang digunakan.

Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata namun ada kecenderungan kadar protein pada bahan daging kuda lebih tinggi dari sapi. Hasil ini menundukung penelitian Suryaningsih (2006) yang menyatakan bahwa kadar protein nikumi kuda lebih tinggi daripada nikumi sapi dan domba. Namun demikian kadar protein secara umum pada penelitian ini masih lebih rendah (41.15%) dibanding nikumi hasil penelitian Suryaningsih (2006) yang sebesar 44.18%. Hal ini diduga karena Suryaningsih (2006) menggunakan antidenaturan sehingga protein dapat dipertahankan dari denaturasi. Menurut Xiong (2000) bahwa denaturasi protein menyebabkan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar dan masuk pada fase cair sehingga akan larut dan terbuang bersama cairan.

Kadar Lemak

Komponen lemak pada daging merupakan komponen terbesar ketiga setelah air dan protein. Lemak pada otot utamanya dalam bentuk lipida netral, fosfolipid, asam lemak, serebrosida, kolesterol dan komponen larut lemak (Lawrie 1991; Aberle et al. 2001). Biasanya lemak ditemukan pada jaringan intramuskular, jaringan intermuskular, jaringan adiposa, jaringan saraf dan darah (Dugan 1987). Keberadaanya pada daging segar relatif sedikit, tetapi cukup bervariasi yaitu berkisar antara 1.5%-13% dengan rata-rata 3% (Aberle et al.

2001), 2%-15% dengan rata-rata 5% (Kauffman 2001) dan 2.5% (Lawrie 1991). Menurut Paleari et al. (2003) bahwa kadar lemak daging kuda, kambing dan sapi masing-masing adalah 2.1%, 2.9% dan 2.9%. Sedangkan menurut Hikmah (2003) kadar lemak pada daging kuda rata-rata adalah sebesar 4.18%.


(50)

Kadar lemak kasar adonan dendeng yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada tabel 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pencucian tidak mempengaruhi kadar lemak kasar adonan dendeng (P>0.05). Rataan kadar lemak adonan secara umum adalah 12.93%. Rataan kadar lemak adonan pada L0 adalah sebesar 13.01%, pada L1 sebesar 13.37% dan L2 sebesar 12.42% yang dihitung berbasis bahan kering. Tidak berpengaruhnya faktor pencucian dimungkinkan karena lemak relatif sedikit yang larut dalam air sehingga tidak mudah hilang ketika dilakukan pencucian. Hasil ini berbeda dengan penelitian Mega (2005) yang menyatakan bahwa pencucian dapat menurunkan kadar lemak pada nikumi. Perbedaan ini mungkin karena cara pencucian yang berbeda dimana pada penelitian ini pencucian dilakukan hanya satu kali sedangkan pada Mega (2005) dilakukan hingga 9 kali. Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak komponen yang dapat hilang akibat pencucian tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis daging (spesies) berpengaruh nyata terhadap kadar lemak adonan dendeng (P<0.01). Kadar lemak kasar adonan dendeng daging kuda sebesar 11.37%, domba 16.48%, dan sapi 10.95% yang dihitung berbasis bahan kering (Tabel 2). Kadar lemak adonan dendeng daging kuda berbeda nyata dengan daging domba dan tidak berbeda nyata dengan daging sapi. Sementara daging domba berbeda nyata lebih tinggi dari pada daging sapi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Mega (2005) dan Suryaningsih (2006) yang juga menunjukkan adanya perbedaan nyata kadar lemak kasar nikumi menurut jenis daging (spesies). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar lemak adonan daging domba nyata lebih besar dari pada daging kuda dan sapi, dan ini sejalan dengan penelitian Suryaningsih (2006) yang juga menunjukkan fenomena ini.

Kadar lemak adonan berdasarkan jenis ternak ternyata cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Paleari et al. (2003) yang menyebutkan bahwa kadar lemak daging setelah di-curing untuk kuda sebesar 3.4%, kambing 5.2% dan sapi 4.9%. Meskipun sama-sama di-curing, perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bangsa, jenis dan status nutrisi dan fisiologis ternak. Paleari et al. (2003) melakukan penelitian pada ternak di Selandia Baru yang mungkin saja kondisi ternaknya berbeda dengan ternak pada penelitian ini.


(1)

Lampiran 14. Uji lanjut DNMRT rendemen dendeng Subset DAGING N

1 2

2 9 50.4556

3 9 51.7778

1 9 55.3000

Sig. .1890 1.0000

Lampiran 15. Analisis varian pH dendeng Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square

F Sig. Corrected Model 3.438 8 .430 23.065 .000 Intercept 861.004 1 861.004 46207.714 .000 LEACHING 8.605E-02 2 4.303E-02 2.309 .128 DAGING 3.286 2 1.643 88.176 .000 LEACHING * DAGING 6.610E-02 4 1.653E-02 .887 .492 Error .335 18 1.863E-02

Total 864.777 27 Corrected Total 3.774 26 a R Squared = .911 (Adjusted R Squared = .872)

Lampiran 16. Uji lanjut DNMRT pH dendeng

Subset DAGING N

1 2

1 9 5.1578

3 9 5.8367

2 9 5.9467


(2)

Lampiran 17. Analisis varian kekerasan dendeng Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square

F Sig. Corrected Model 1766512.407 8 220814.051 7.612 .000 Intercept 41481032.633 141481032.63

3

1430.042 .000 LEACHING 45084.667 2 22542.333 .777 .475 DAGING 1620566.202 2 810283.101 27.934 .000 LEACHING * DAGING 100861.538 4 25215.384 .869 .501 Error 522123.439 18 29006.858

Total 43769668.479 27 Corrected Total 2288635.846 26 a R Squared = .772 (Adjusted R Squared = .670)

Lampiran 18. Uji lanjut DNMRT kekerasan dendeng Subset DAGING N

1 2 1 9 906.8044

2 9 1322.0356

3 9 1489.6289

Sig. 1.0000 .0510

Lampiran 19. Analisis varian kekerasan dendeng Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square

F Sig. Corrected Model 7.835E-03 8 9.794E-04 .242 .977 Intercept 15.377 1 15.377 3798.132 .000 LEACHING 1.100E-03 2 5.501E-04 .136 .874 DAGING 3.438E-03 2 1.719E-03 .425 .660 LEACHING * DAGING 3.297E-03 4 8.242E-04 .204 .933 Error 7.287E-02 18 4.049E-03

Total 15.458 27 Corrected Total 8.071E-02 26 a R Squared = .097 (Adjusted R Squared = -.304)


(3)

Lampiran 20. Analisis varian derajat kecerahan (”L”) dendeng Source Type III Sum of

Squares

Df Mean Square

F Sig. Corrected Model 39.826 8 4.978 3.045 .024 Intercept 28444.698 1 28444.698 17399.261 .000 LEACHING 23.446 2 11.723 7.171 .005 DAGING 2.297 2 1.148 .702 .508 LEACHING * DAGING 14.083 4 3.521 2.154 .116 Error 29.427 18 1.635

Total 28513.951 27 Corrected Total 69.253 26 a R Squared = .575 (Adjusted R Squared = .386)

Lampiran 21. Uji lanjut DNMRT derajat kecerahan (”L”) dendeng Subset

LEACHING N

1 2

1 9 31.3044

2 9 32.4822 32.4822

3 9 33.5867

Sig. .0660 .0830

Lampiran 22. Analisis varian derajat kemerahan (”a”) dendeng Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square

F Sig. Corrected Model 24.849 8 3.106 .752 .647 Intercept 3682.237 1 3682.237 891.778 .000 LEACHING 3.855 2 1.928 .467 .634 DAGING 12.834 2 6.417 1.554 .238 LEACHING * DAGING 8.160 4 2.040 .494 .740 Error 74.324 18 4.129

Total 3781.409 27 Corrected Total 99.173 26 a R Squared = .251 (Adjusted R Squared = -.083)


(4)

Lampiran 23. Analisis varian derajat kekuningan (”b”) dendeng Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square

F Sig. Corrected Model 44.092 8 5.511 4.019 .007 Intercept 605.109 1 605.109 441.256 .000 LEACHING 35.967 2 17.984 13.114 .000 DAGING 1.489 2 .745 .543 .590 LEACHING * DAGING 6.635 4 1.659 1.210 .341 Error 24.684 18 1.371

Total 673.885 27 Corrected Total 68.776 26 a R Squared = .641 (Adjusted R Squared = .482)

Lampiran 24. Uji lanjut DNMRT derajat kekuningan (”b”) dendeng Subset

LEACHING N

1 2

1 9 3.5144

2 9 4.4044

3 9 6.2833

Sig. .1240 1.0000

Lampiran 25. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Leaching ATRIBUT LEACHING N Mean Rank Chi Square df Asymp Sig WARNA 1 243 419.49 2 243 374.26

3 243 301.25

Total 729 41.409 2 0.000 TEKSTUR 1 243 409.54

2 243 367.34 3 243 318.11

Total 729 24.527 2 0.000 AROMA 1 243 390.00 2 243 380.51

3 243 324.49


(5)

Lampiran 26. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Daging ATRIBUT DAGING N Mean Rank Chi Square df Asymp Sig WARNA 1 243 359,03

2 243 388.26 3 243 347.71

Total 729 5.093 2 0.078 TEKSTUR 1 243 347.85

2 243 379.74 3 243 367.41

Total 729 3.030 2 0.220 AROMA 1 243 404.75

2 243 363.47 3 243 326.78

Total 729 18.097 2 0.000

Lampiran 27. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Leaching ARTRIBUT LEACHING N Mean Rank Chi Square df Asymp Sig WARNA 1 243 425.55

2 243 372.98

3 243 296.47

Total 729 49.276 2 0.000

TEKSTUR 1 243 402.43

2 243 377.67

3 243 314.90

Total 729 24.066 2 0.000

AROMA 1 243 378.56

2 243 372.27

3 243 344.17

Total 729 3.997 2 0.136

RASA 1 243 373.77

2 243 380.92

3 243 340.32

Total 729 5.490 2 0.064

KEEMPUKA 1 243 384.19

2 243 393.35

3 243 317.46


(6)

Lampiran 28. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Daging ATRIBUT DAGING N Mean Rank Ch Square df Asymp Sig WARNA 1 243 401.48

2 243 356.77 3 243 336.75

Total 729 12.848 2 0.002 TEKSTUR 1 243 388.34

2 243 362.57 3 243 344.09

Total 729 5.840 2 0.054 AROMA 1 243 432.81

2 243 330.47 3 243 331.72

Total 729 41.130 2 0.000 RASA 1 243 435.94

2 243 356.35 3 243 302.70

Total 729 52.543 2 0.000 KEEMPUKAN 1 243 462.80 2 243 364.26

3 243 267.93