Evaluasi Nilai Gizi Protein Dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit Yang Memanfaatkan Blondo Dan Diperkaya Dengan Tepung Ikan Gabus (Channa Striata).

EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN DAN PENDUGAAN UMUR
SIMPAN BISKUIT YANG MEMANFAATKAN BLONDO DAN
DIPERKAYA DENGAN TEPUNG IKAN GABUS (Channa striata)

ISWAHYUDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Nilai Gizi
Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan
Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa striata) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Iswahyudi
NIM I151120031

RINGKASAN
ISWAHYUDI. Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit
yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa
striata). Dibimbing oleh RIMBAWAN dan EVY DAMAYANTHI.
Masalah gizi pada balita di Indonesia masih cukup tinggi. Riskesdas
(2013) melaporkan prevalensi berat kurang (underweight) 19.6%, prevalensi
stunting 37.2%, prevalensi wasting 12.1% (Balitbangkes 2013). Untuk mengatasi
masalah tersebut, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, salah satunya adalah
pemberian makanan tambahan (PMT) dalam bentuk biskuit yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan kelompok rawan, dalam kasus ini balita. Produk biskuit yang
memanfaatkan blondo dan diperkaya dengan tepung ikan gabus merupakan
sebuah produk pangan yang dikembangkan dengan tujuan sebagai pangan
tambahan untuk balita dengan status gizi kurang. Pemanfaatan blondo dan tepung
ikan gabus dalam pembuatan biskuit diduga akan mempengaruhi komposisi gizi

terutama mutu protein dan umur simpan biskuit. Oleh karena itu, perlu dilakukan
studi untuk menentukan umur simpan biskuit dan mengkaji mutu protein biskuit
pada hewan coba untuk melihat kualitas protein biskuit terhadap pertumbuhan dan
perkembangan.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi mutu protein biskuit
pada uji in vivo dan pendugaan umur simpan biskuit yang memanfaatkan blondo
dan diperkaya dengan tepung ikan gabus. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
menganalisis profil asam amino tepung ikan gabus; menganalisis kadar protein
dan lemak biskuit; menganalisis bilangan 2-Thiobarbituric Acid (TBA) dan Total
Plate Count (TPC) biskuit; menganalisis daya cerna sejati atau true digestibility
(TD), biological value (BV) dan net protein utilization (NPU) biskuit;
menentukan umur simpan biskuit dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu: persiapan bahan baku biskuit,
pembuatan biskuit dan krim, evaluasi nilai gizi protein secara in vivo pada tikus
Sprague dawley dan pendugaan umur simpan biskuit. Pada penelitian tahap
pertama dan kedua dihasilkan tiga jenis biskuit, yaitu: biskuit standar (protein
9.65%; lemak 17.69%; TPC < 2.5 x 102 koloni/g), biskuit blondo (protein 9.06%;
lemak 14.52%; TPC < 2.5 x 102 koloni/g) dan biskuit blondo + ikan gabus
(protein 17.25%; lemak 15.98%; TPC 5.5 x 104 koloni/g). Hasil evaluasi nilai gizi
protein pada tikus Sprague dawley sebagai berikut: biskuit standar (FCE 9.34% +

3.48%; TD 91.26% + 7.08%; BV 97.78% + 1.16%; NPU 89.25% + 7.16%),
biskuit blondo (FCE 7.74% + 1.07%; TD 91.87% + 2.84%; BV 98.16% + 2.26%;
NPU 90.17% + 3.09%), dan biskuit blondo + ikan gabus (FCE 11.13% + 8.65%;
TD 88.26% + 3.00%; BV 97.79% + 4.27%; NPU 86.38% + 6.13%). Hasil
penentuan umur simpan untuk biskuit standar pada suhu 25, 35 dan 45 ºC secara
berturut-turut 27, 17, dan 11 bulan; biskuit blondo (2, 2, dan 1 bulan); biskuit
blondo + ikan gabus (0.96, 0.93 dan 0.79 bulan).
Kata kunci: biskuit, blondo, ikan gabus, kualitas protein, umur simpan

SUMMARY
ISWAHYUDI. Evaluation of Protein Quality and Shelf-life Prediction of Biscuit
Utilizing Blondo and Enriched by Snakehead (Channa striata) Flour. Supervised
by RIMBAWAN dan EVY DAMAYANTHI.
Nutritional problems in children under five in Indonesia is still quite high.
Riskesdas (2013) reported a prevalence of underweight 19.6%, prevalence of
stunting 37.2%, and prevalence of wasting 12.1% (Balitbangkes 2013). To
overcome these problems, there are some things can do, one of which is the
provision of supplementary food (PMT) in the form of biscuits that can meet the
food needs of vulnerable groups, in this case children. Biscuits utilizing blondo
and enriched with snakehead flour is a food product that was developed for the

purpose of supplementary food for children under five with malnutrition status.
Blondo and snakehead flour used in the manufacture of biscuits is expected to
affect the nutrient composition especially protein quality and shelf life of the
biscuits. Therefore, it is necessary to do a study to determine the shelf-life of the
biscuits and assess the protein quality of biscuits in the animal to see the protein
quality of biscuits on growth and development.
The general objective of this study was to evaluate the protein quality of
biscuits in vivo test and shelf-life prediction of biscuits utilizes blondo and
enriched with snakehead flour. The specific objectives of the reseaech are to
analyze the amino acid profile of snakehead flour; analyze the levels of protein
and fat of biscuits; analyzing the levels of 2-thiobarbituric acid (TBA) and Total
Plate Count (TPC) of biscuits; analyze the true digestibility (TD), biological value
(BV) and net protein utilization (NPU) of biscuit; determining the shelf-life of the
biscuits by using the Arrhenius equation.
This study consists of four stages: preparation of raw materials biscuit,
manufacture of biscuit and cream, evaluation of the nutritional value of protein in
Sprague dawley rats and shelf life prediction biscuits. In the first and second
phases of research generated three kinds of biscuits, namely: biscuits standard
(protein 9.65%; fat 17.69%; TPC < 2.5 x 102 coloni/g), biscuits blondo (protein
9.06%; fat 14.52%; TPC < 2.5 x 102 coloni/g) and biscuits blondo + snakehead

(protein 17.25%; fat 15.98%; TPC 5.5 x 104 coloni/g). Results of the evaluation of
the nutritional value of protein in Sprague dawley rats as follows: biscuit standard
(FCE 9.34% + 3.48%; TD 91.26% + 7.08%; BV 97.78% + 1.16%; NPU 89.25% +
7.16%), biscuit blondo (FCE 7.74% + 1.07%; TD 91.87% + 2.84%; BV 98.16% +
2.26%; NPU 90.17% + 3.09%), and biscuit blondo + snakehead (FCE 11.13% +
8.65%; TD 88.26% + 3.00%; BV 97.79% + 4.27%; NPU 86.38% + 6.13%).
Results of the determination of shelf-life for biscuit standard at a temperature of
25, 35 and 45 ºC, respectively 27, 17, and 11 months; blondo biscuits (2, 2, and 1
months); biscuits blondo + snakehead (0.96, 0.93 and 0.79 months).
Keywords: biscuit, blondo, protein quality, shelf-life, snakehead

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN DAN PENDUGAAN UMUR
SIMPAN BISKUIT YANG MEMANFAATKAN BLONDO DAN
DIPERKAYA DENGAN TEPUNG IKAN GABUS (Channa striata)

ISWAHYUDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS


Judul Tesis

Nama
NIM

: Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan
Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan
Tepung Ikan Gabus (Channa striata)
: Iswahyudi
: I151120031

Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing

Dr. Rimbawan
Ketua

Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
Anggota


Diketahui oleh,
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis
yang berjudul “Evaluasi Nilai Gizi Protein dan Pendugaan Umur Simpan Biskuit
yang Memanfaatkan Blondo dan Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa
striata)” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Evy
Damayanthi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian
tesis yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam
penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Seluruh tim dalam kegiatan penelitian KKP3N Kementerian Pertanian yang
diketuai oleh Dr. Rimbawan atas kesempatan dan pendanaan dalam kegiatan
penelitian ini.
4. Isteriku tersayang, Merita Pahlevi yang selalu sabar dan memberi motivasi
serta anakku Alana Zakiya Iswahyudi yang menjadi semangat tersendiri dalam
upaya penyelesaian tesis ini.
5. Kedua orangtua, Ibu Tuminah dan Bapak Dul Salim atas doa, kasih sayang,

serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Kakakku Nur Hidayat, Endang
Fatmawati dan Syaiful Hadi, STP serta adikku Umsiah atas doa dan semangat
yang diberikan kepada penulis.
6. Laboran yang telah membantu penelitian saya (Pak Mashudi, Bu Rizqi, Bu Susi
dan Bu Titi)
7. Keluarga besar mahasiswa Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat, yang telah
memberikan dorongan semangat baik selama penelitian maupun saat
penyusunan tesis ini.
8. Sahabat-sahabatku yang berjiwa besar dan luar biasa (Mas Wartha, Gumintang,
Mas Maul, Eka, Ajeng, Ika, Linda). Mbak-mbak yang telah memberikan
dorongan semangat (Mbak Nindy, Mbak Indri, Mbak Anita, Mbak Norhasanah,
Mbak Nia, Mbak Putri), rekan-rekan yang penuh semangat (Sabrina, Mertien,
Nadia, Emil).
9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa
lainnya yang lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian
ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2015

Iswahyudi

i

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Blondo
Ikan Gabus
Biskuit
Pendugaan Umur Simpan
Evaluasi Nilai Gizi Protein

4
4
6
6
7
8

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Tahapan Penelitian
Persiapan Bahan Baku Biskuit
Pembuatan Biskuit dan Krim
Analisis Kimia dan Mikrobiologi
Evaluasi Nilai Gizi Protein secara In vivo
Pendugaan Umur Simpan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

9
9
9
9
10
12
14
14
16
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Baku Biskuit
Biskuit
Berat Badan Tikus
Evaluasi Nilai Gizi Protein Biskuit secara In vivo
Pendugaan Umur Simpan

18
18
19
20
21
23

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

ii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Kandungan zat gizi blondo per 100 g bahan
Perbandingan zat gizi blondo dengan santan kental dan daging kelapa
per 100 g bahan
Perbandingan kandungan gizi margarin dan blondo per 100 g bahan
SNI syarat mutu biskuit
Tabel formulasi biskuit per 100 g bahan
Formulasi krim per 100 g bahan
Pembagian kelompok tikus percobaan
Komposisi bahan dalam 100 g ransum
Komposisi gizi blondo
Profil asam amino dan skor asam amino tepung ikan gabus dan biskuit
blondo + ikan gabus
Komposisi gizi biskuit yang mengandung blondo dan tepung ikan gabus
Konsumsi ransum, perubahan berat badan tikus dan nilai FCE selama
intervensi
Hasil uji ANOVA terhadap nilai BV, TD dan NPU setiap kelompok
Plot nilai r2 pada ordo nol dan ordo satu
Persamaan biskuit standar pada ordo terpilih (ordo nol)
Persamaan biskuit blondo pada ordo terpilih (ordo nol)
Persamaan biskuit blondo + ikan gabus pada ordo terpilih (ordo satu)
Hasil pendugaan umur simpan biskuit
Komposisi asam lemak kelapa dari beberapa sumber pustaka

4
5
5
7
12
14
14
15
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Diagram alir tahapan penelitian
Diagram alir pembuatan blondo
Diagram alir pembuatan tepung ikan gabus
Diagram alir pembuatan biskuit
Diagram alir pembuatan krim
Grafik hubungan ln k TBA dengan suhu (1/T) pada biskuit standar

10
11
12
13
13
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3

Metode analisis kimia dan mikrobiologi
35
Surat izin penelitin (Ethical Clearance) dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo
39
Profil asam amino tepung ikan gabus dan biskuit blondo + ikan gabus
40

iii

4

5
6

7
8

Rekapitulasi data perubahan berat badan tikus kelompok ransum nonprotein, kasein, biskuit standar, biskuit blondo, dan biskuit blondo + ikan
gabus selama 10 hari intervensi
Rekapitulasi data nilai FCE kelompok ransum kasein, biskuit standar,
biskuit blondo, dan biskuit blondo + ikan gabus selama 10 hari intervensi
Rekapitulasi data nilai TD, BV dan NPU kelompok ransum kasein, biskuit
standar, biskuit blondo, dan biskuit blondo + ikan gabus selama 10 hari
intervensi
Rekapitulasi data TBA dalam mg/kg sampel selama pengamatan
Dokumentasi penelitian

41
41

42
44
44

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa balita merupakan masa di mana pertumbuhan dan perkembangan
terjadi sangat cepat, sehingga dibutuhkan asupan zat gizi yang cukup untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia di bawah lima tahun
(balita) termasuk dalam kelompok yang rawan pangan, sehingga peluang
terjadinya masalah gizi pada balita cukup tinggi. Data GNR (2014) menunjukkan
bahwa masalah gizi (malnutrition) mempengaruhi hampir setiap negara. Indonesia
sendiri termasuk dalam 17 negara dari 117 negara yang saat ini mempunyai tiga
masalah gizi pada balita, yaitu pendek (stunting), kurus (wasting), gemuk
(overweight). Hasil Riskesdas (2013) melaporkan bahwa status gizi pada balita di
Indonesia masih cukup tinggi, yaitu: prevalensi berat kurang (underweight)
19.6%, terdiri dari 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang; prevalensi stunting
37.2% terdiri dari 18.0% sangat pendek dan 19.2% pendek; prevalensi wasting
12.1% terdiri dari 5.3% sangat kurus dan 6.8% kurus (Balitbangkes 2013).
Apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian khusus, maka masalah gizi
akan sangat mudah terjadi pada anak tersebut. Oleh karena itu, anak harus diberi
perawatan dan pengasuhan yang tepat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan
pangannya. Jika seorang anak mengkonsumsi pangan yang tinggi zat gizi, maka
proses pertumbuhan dan perkembangan akan berjalan optimal sehingga anak
dapat terhindar dari masalah-masalah gizi.
UNICEF (1997) menjelaskan penyebab timbulnya masalah gizi pada balita:
1) penyebab langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi, 2) penyebab
tidak langsung yaitu pola asuh anak, layanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan
ketahanan pangan keluarga. Analisis yang dilakukan oleh Atmarita (2006)
terhadap data status gizi SUSENAS 1989−2005 juga membuktikan bahwa faktor
utama terjadinya gizi kurang pada anak balita adalah faktor ekonomi, pendidikan
ibu, makanan dan infeksi. Hal ini semakin menunjukkan pentingnya pencegahan
dan pemulihan masalah gizi kurang sebagai strategi untuk mengurangi prevalensi,
keparahan, dan mortalitas yang diasosiasikan dengan penyakit infeksi.
Untuk mengatasi masalah tersebut ada beberapa hal yang bisa dilakukan,
salah satunya adalah pengembangan produk pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan kelompok rawan, dalam kasus ini balita. Produk biskuit yang
memanfaatkan blondo dan diperkaya dengan tepung ikan gabus merupakan
sebuah produk pangan yang dikembangkan dengan tujuan sebagai pangan
tambahan untuk balita dengan status gizi kurang. Pemberian makanan tambahan
(PMT) merupakan cara efektif yang dapat dilakukan. Salah satu jenis makanan
tambahan yang memiliki daya terima cukup baik adalah biskuit (Adi 2010).
Blondo merupakan salah satu hasil samping dari pembuatan minyak kelapa
yang tersedia dalam jumlah melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal di
Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011, produksi minyak kelapa murni dari lima
industri pengolahan minyak kelapa di Sulawesi Selatan rata-rata 1.440 liter/tahun.
Berdasarkan asumsi tersebut maka blondo yang dihasilkan 720 kg yang apabila
tidak dimanfaatkan akan berpotensi mengganggu masyarakat disekitar tempat
pembuangan. Blondo yang dibuang menyebabkan bau tidak sedap akibat

2

penguraian zat-zat yang terkandung di dalam blondo oleh mikroba (Widodo
2015).
Berdasarkan Widodo (2007), kandungan gizi blondo dalam setiap 100 g
bahan adalah: energi 341 kkal, karbohidrat 14.6 g, protein 16.9 g, lemak 23.9 g,
serat 9.1 g, abu 1.4 g, air 16.9 g, vitamin A 0.1 RE, thiamin 0.1 mg, riboflavin
0.02 mg, niasin 0.1 mg, kobalamin 0.1 mg, asam folat 0.04 mg, vitamin C 0.0 mg,
kalsium 104.6 mg, fosfor 64.8 mg, besi 96.9 mg, seng 40.1 mcg, selenium 4.7
mcg, yodium 0.7 mcg. Potensi gizi blondo yang cukup tinggi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan gizi berbagai makanan, khususnya
makanan untuk anak dengan status gizi kurang. Pemanfaatan blondo dalam
pembuatan biskuit diharapkan dapat mengurangi penggunaan margarin sebesar
50% (Widodo 2007).
Selain blondo potensi bahan lain yang dapat dimanfaatkan adalah ikan
gabus. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani. Berbagai cara telah
diupayakan untuk dapat meningkatkan konsumsi ikan agar kebutuhan protein
hewani di masyarakat dapat terpenuhi. Ikan gabus yang dulu tidak disukai karena
bentuk kepalanya yang menyerupai kepala ular, saat ini sudah banyak dikonsumsi
karena mengandung protein dan albumin yang tinggi (Rimbawan et al. 2013).
Kadar albumin pada ikan gabus dapat mempercepat penyembuhan luka pasca
operasi dan meningkatkan imunitas (Astuti 2011). Selain itu, ikan gabus juga
mengandung asam amino esensial yang lengkap (Tan dan Azhar 2014), dan
mineral seperti seng, tembaga dan besi (Santoso 2009). Pada tahun 2011, hasil
panen ikan gabus di Sulawesi Selatan 4.190 kg dan diperkirakan naik menjadi
6.520 kg pada tahun 2012 (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan 2011).
Penambahan blondo dan tepung ikan gabus diduga akan mempengaruhi
komposisi gizi dan umur simpan biskuit. Untuk itu perlu dilakukan penanganan
yang tepat agar penurunan mutu akibat kontaminasi mikroba maupun kontaminan
lain dapat diminimalkan. Herawati (2008) menyebutkan bahwa pada saat baru
diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun
sejalan dengan lamanya penyimpanan dan distribusi. Salah satu penanganan yang
dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan faktor penyimpanan maupun umur
simpan produk pangan itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi umur simpan
biskuit antara lain adalah bahan baku biskuit, cara pengemasan, dan suhu
penyimpanan. Oleh karena itu, studi tentang pengaruh penyimpanan terhadap
mutu biskuit yang memanfaatkan blondo dan tepung ikan gabus sangat penting
dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat dari biskuit tersebut.
Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan menggunakan dua konsep
studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS)
atau metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau metode
akselerasi (Floros 1993). Metode konvensional dilakukan dengan menyimpan
produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan penurunan
mutunya. Metode ini cukup akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang
lama dan analisis yang relatif banyak. Metode akselerasi diterapkan pada produk
pangan dengan mengkondisikan kelembaban relatif (RH), suhu, dan intensitas
cahaya baik secara individu maupun gabungannya (Floros 1993). Keuntungan
metode ini adalah hanya memerlukan waktu yang relatif singkat tetapi tetap
memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah dan Syarief 2000).

3

Selain itu, penambahan tepung ikan gabus diduga akan mempengaruhi mutu
protein biskuit sehingga perlu studi yang mengkaji mutu protein biskuit pada
hewan coba untuk melihat kualitas protein biskuit terhadap pertumbuhan dan
perkembangan. Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Nilai Gizi Protein dan
Pendugaan Umur Simpan Biskuit yang Memanfaatkan Blondo dan
Diperkaya dengan Tepung Ikan Gabus (Channa striata)”.
Tujuan
Tujuan Umum:
Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi mutu protein biskuit pada
uji in vivo dan pendugaan umur simpan biskuit yang memanfaatkan blondo dan
diperkaya dengan tepung ikan gabus menggunakan metode akselerasi.
Tujuan Khusus:
1. Menganalisis profil asam amino tepung ikan gabus
2. Menganalisis kadar protein dan lemak biskuit
3. Menganalisis bilangan 2-Thiobarbituric Acid (TBA) dan Total Plate Count
(TPC) biskuit
4. Menganalisis daya cerna sejati atau true digestibility (TD), biological value
(BV) dan net protein utilization (NPU) biskuit
5. Menentukan umur simpan biskuit dengan menggunakan persamaan
Arrhenius
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai mutu protein biskuit yang memanfaatkan blondo dan diperkaya dengan
tepung ikan gabus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
informasi mutu biskuit selama penyimpanan kepada produsen sehingga dapat
dijadikan acuan dasar dalam penentuan masa kadaluwarsa produk.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Blondo
Blondo adalah salah satu limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan
minyak kelapa. Blondo dikenal dengan nama galendo di masyarakat sunda, tahi
minyak di masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, sedangkan di
masyarakat Jawa selain blondo juga di kenal dengan nama kethak. Pemanfaatan
blondo selama ini belum optimal, karena hanya digunakan sebagai bahan
campuran yang ditambahkan dalam pembuatan sambal yang dikenal dengan
sambal kethak, dodol kethak atau campuran bumbu gudeg Jogja.
Pada pembuatan minyak kelapa, dari 150 biji kelapa diperoleh 80 kg kelapa
parut, dengan menggunakan 80 liter (64 kg) air kelapa sebagai air perasan akan
dihasilkan santan sebanyak 95 liter (76 kg) santan. Dari 95 liter santan dihasilkan
12 liter (9.6 kg) minyak kelapa dan 10 liter (8 kg) blondo. Setelah
dikempa/diberikan tekanan untuk mengeluarkan minyak dan airnya, blondo yang
tersisa hanya 6 kg (Widodo 2007). Kandungan zat gizi blondo dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan zat gizi blondo per 100 g bahan
Zat Gizi
Jumlah
Energi
341 kkal
Karbohidrat
14.6 g
Protein
16.9 g
Lemak
23.9 g
Air
16.9 g
Abu
1.4 g
Serat
9.1 g
Thiamin
0.1 mg
Riboflavin
0.02 mg
Niasin
0.1 mg
Kobalamin
0.1 mg
Asam folat
0.04 mg
Kalsium
104.6 mg
Fosfor
64.8 mg
Besi
96.9 mg
Seng
40.1 mcg
Selenium
4.7 mcg
Yodium
0.7 mcg
Vitamin C
0.0 mg
Vitamin A
0.1 RE
Sumber: Widodo (2007)
Pada Tabel 1 terlihat bahwa blondo masih memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi. Untuk mengetahui perbandingan kandungan gizi blondo dengan
santan murni dan daging kelapa tua dapat dilihat pada Tabel 2.

5

Tabel 2. Perbandingan zat gizi blondo dengan santan kental dan daging kelapa per
100 g bahan
Zat Gizi
Blondo
Santan Murni
Daging Kelapa Tua
Kalori (kkal)
341
316
359
Karbohidrat (g)
14.6
2.8
14
Protein (g)
16.9
7
3.4
Lemak (g)
23.9
35
34.7
Air (g)
16.9
50
47
Sumber: Soedarmo dan Sediaoetama (1997)
Pada Tabel 2 terlihat bahwa blondo yang selama ini dianggap limbah dan
dibuang oleh produsen minyak kelapa ternyata memliliki kandungan karbohidrat,
protein dan lemak cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan pada pembuatan
berbagai produk pangan. Pemanfaatan blondo dalam pembuatan biskuit
diharapkan dapat mengurangi penggunaan margarin dan mengurangi limbah
blondo di Sulawesi Selatan. Kandungan zat gizi margarin dan blondo dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan kandungan gizi margarin dan blondo per 100 g bahan
No
Zat Gizi
Margarin
Blondo
1.
720
341
Energi (kkal)
2.
0.4
14.6
Karbohidrat (g)
3.
0.6
16.9
Protein (g)
4.
81
23.9
Lemak (g)
5.
15.5
16.9
Air (g)
6.
2.5
1.4
Abu (g)
7.
0
9.1
Serat (g)
8.
20
104.6
Kalsium (mg)
9.
16
64.8
Fosfor (mg)
10.
0
96.9
Besi (mg)
11.
40.1
Seng (mcg)
12.
606
0.1
Vitamin A (RE)
13.
0
0.1
Thiamin (mg)
14.
0.02
Riboflafin (mg)
15.
0.1
Niasin (mg)
16.
4.7
Selenium (mcg)
Sumber: Mahmud (2008), Widodo (2007)
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kandungan gizi blondo lebih
bervariasi dibandingkan margarin. Namun, pada kandungan lemak, energi serta
air margarin lebih baik. Dari segi organoleptik margarin juga lebih baik karena
memberikan tekstur lebih lembut, warna menarik, aroma dan rasa yang lebih baik.
Kemudian dari sisi komersil margarin sudah dikelola dalam skala industri
sehingga terjamin keamanannya, sudah diterima oleh masyarakat luas dan
memiliki harga jual yang terjangkau. Berbeda dengan blondo yang sampai saat ini
masih terbatas penggunaanya karena masyarakat beranggapan bahwa blondo
merupakan limbah dan tidak bisa dimanfaatkan.

6

Ikan Gabus
Ikan gabus (Channa striata) adalah ikan air tawar yang menjadi makanan
penting di negara-negara Asia Tenggara termasuk India. Habitat ikan gabus
tersebar secara luas mulai dari Iran, India, Cina dan Indonesia. Ikan gabus
merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi karena
kualitas daging yang baik, rendah lemak, memiliki sedikit duri dan berkualitas
sebagai obat (Sood et al. 2011; Talpur et al. 2014). Di Indonesia, ikan gabus
dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi, baik dikonsumsi secara langsung maupun
diawetkan sebagai ikan asin/ikan kering.
Ikan gabus saat ini menjadi komoditas bisnis yang potensial karena banyak
diolah menjadi obat dan makanan kesehatan. Ikan gabus berkhasiat obat sudah
dikenal sejak lama. Astuti (2011) menggunakan ekstrak ikan gabus untuk
mempercepat proses penyembuhan luka bakar dan luka pasca operasi pada pasien
di RSU Wahidin Sudirohusodo Makassar. Ikan gabus juga dapat meningkatkan
daya tahan tubuh karena mengandung protein dan albumin yang tinggi. Daging
ikan gabung mengandung 70% protein dimana 21% merupakan albumin.
Beberapa hasil penelitian yang menggunakan ikan gabus antara lain:
Santiabunga (2006) melaporkan bahwa penambahan tepung ikan gabus
mempengaruhi mutu biskuit dan meningkatkan status gizi anak yang gizi kurang.
Hidayati (2006) melaporkan bahwa pemberian albumin ikan gabus dapat
mempercepat penyembuhan pada pasien pasca bedah di RSU Wahidin Makassar.
Salma (2007) melaporkan bahwa pemberian kapsul ikan gabus meningkatkan
kadar albumin dan status gizi pada orang dengan HIV/Aids (OdHA). Santoso
(2009) melaporkan bahwa ekstrak ikan gabus sangat berpotensi untuk mendukung
proses penyembuhan luka dan dapat difungsikan sebagai antioksidan serta dapat
menahan penurunan kadar albumin dan aktivitas antioksidan serum akibat
pemberian parasetamol dosis tinggi pada tikus percobaan.
Biskuit
Penyusunan dan pembuatan biskuit sebaiknya berpedoman pada konsep
syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) dapat dilihat pada Tabel 4. Biskuit adalah produk pangan yang berbahan
baku tepung, lemak, gula, telur dan bahan tambahan lain yang diolah dengan cara
dipanggang, memiliki kadar air rendah dan daya simpan cukup lama (Manley
2011). Biskuit mempunyai sifat adonan yang cenderung liat, dan tidak
menggunakan ragi dalam proses pembuatannya. Struktur biskuit renyah, lembut
dan memiliki masa simpan yang lama.
Tepung, telur dan air merupakan bahan pengikat yang berfungsi sebagai
pembentuk struktur, menarik dan mengikat bahan lain selama proses
pencampuran. Lemak berfungsi sebagai pengemulsi, sedangkan gula berfungsi
sebagai pemanis, pembentuk tekstur lembut dan pemberi warna (Manley 2011).
Biskuit pada penelitian ini menggunakan krim di tengah-tengahnya seperti biskuit
komersil yang ada di pasaran.

7

Tabel 4. SNI syarat mutu biskuit
No
Zat Gizi
1.
Air
2.
Protein
3.
Lemak
4.
Karbohidrat
5.
Abu
6.
Serat kasar
7.
Kalori/100 g
8.
Jenis tepung
9.
Bau dan rasa
10.
Warna
11.
Logam berbahaya
12.
TPC
Sumber: BSN 2011

Kandungan
Maksimum 5%
Minimum 9%
Minimum 9.5%
Minimum 70%
Maksimum1.6%
Maksimum 0.5%
Minimum 400 kkal
Terigu
Normal, tidak tengik
Normal
Negatif
1.0 x 106 koloni/g

Penentuan Umur Simpan
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan untuk
sampai pada tingkatan degradasi mutu tertentu pada kondisi penyimpanan (Flores,
1993). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang
terjadi pada produk pangan selama penyimpanan bersifat akumulatif dan
irreversible sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu
pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang
mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa.
Bahan pangan kadaluwarsa adalah bahan pangan yang telah melampaui masa
simpan optimum dan pada umumnya mengalami penurunan mutu gizi walaupun
penampakan fisiknya masih bagus.
Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa untuk menentukan daya
simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk
tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis
produknya. Untuk produk yang berlemak biasanya parameter yang diukur akan
berhubungan dengan proses kerusakan lemak seperti total asam lemak bebas,
bilangan peroksida atau bilangan TBA yang menunjukkan tingkat ketengikan
lemak. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin
parameter yang diukur biasanya berupa pertumbuhan mikroba; sedangkan untuk
produk yang berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah
kadar airnya. Pada pendugaan umur simpan produk pangan, tidak semua
parameter mutunya diuji, melainkan hanya parameter yang memberikan pengaruh
paling cepat terhadap tingkat penerimaan konsumen.
Penentuan umur simpan produk dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Extended Storage Studies (ESS) dan metode Accelerated Shelf Life
Testing (ASLT). Pada penentuan umur simpan menggunakan metode ESS atau
biasa disebut metode konvensional, waktu yang dibutuhkan cukup lama karena
penetapan masa kadaluwarsa dengan metode ini dilakukan dengan cara
menyimpan sejumlah sampel produk pada kondisi normal kemudian dilakukan
pengamatan terhadap penurunan mutu hingga produk tidak dapat diterima lagi

8

oleh konsumen. Untuk mempersingkat waktu dalam penentuan umur simpan
maka digunakan metode ASLT atau dikenal dengan metode akselerasi. Pada
metode akselerasi, kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga
produk dapat lebih cepat rusak dan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan
Syarief 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan
keadaan dan faktor yang dapat mempercepat kerusakan produk yang disimpan
(Ellis 1994).
Umur simpan produk yang dikemas dapat ditentukan dengan metode ASLT
menggunakan rumus Arrhenius. Metode ini dilakukan dengan menyimpan bahan
atau produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian
tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut
dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius. Dari persamaan tersebut dapat
ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing
bahan atau produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. Persamaan
Arrhenius sebagai berikut:
k = ko.exp

(-Ea/RT)

dimana:
k = konstanta laju penurunan mutu
ko = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Evaluasi Nilai Gizi Protein
Nilai gizi protein ditentukan oleh jenis dan jumlah asam amino
penyusunnya. Protein dengan nilai biologis atau bermutu tinggi adalah protein
yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang sesuai
untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Almatsier 2010). Jika
protein dari suatu bahan pangan mengandung semua jenis asam amino tetapi
jumlahnya terbatas, maka protein bahan pangan tersebut belum bisa dikatakan
bermutu baik. Secara umum, ada dua metode yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasi nilai gizi protein, yaitu metode in vitro (secara kimia, mikrobiologis
atau enzimatis) dan metode in vivo (secara biologis menggunakan hewan
percobaan atau langsung pada manusia) (Muchtadi 2010).
Evaluasi nilai gizi protein secara in vivo terdiri dari dua metode, yaitu
metode pertumbuhan dan metode keseimbangan nitrogen. Parameter yang diukur
pada metode pertumbuhan adalah Feed Convertion Efficiency (FCE), Protein
Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio (NPR), sedangkan pada metode
keseimbangan nitrogen parameter yang diukur adalah True Digestibility (TD),
Biological Value (BV), dan Net Protein Utilizaton (NPU).

9

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013−November 2014.
Kegiatan penelitian sebagian besar dilakukan di Laboratorium yang ada di
Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Analisis kadar protein
urine dan feses dilakukan di Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, sedangkan analisis HPLC
dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
menggunakan sebagaian data dari kegiatan penelitian KKP3N Kementerian
Pertanian tahun 2013/2014 yang berjudul “Pengembangan Pangan Fungsional:
Biskuit Probiotik Berbasis Blondo untuk Peningkatan Status Gizi dan Imun Balita
Gizi Kurang di Propinsi Sulawesi Selatan”.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pembuatan blondo dan tepung ikan gabus
adalah kelapa dan ikan gabus, sedangkan bahan untuk pembuatan biskuit dan krim
antara lain: terigu, tepung ikan gabus, margarin, blondo, telur, gula, vanili, baking
powder dan TBM. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain: 2thiobarbituric acid (TBA), 1-butanol, selenium mix, H2SO4 pekat, asam borat,
indikator MM, HCl, heksana, kertas saring Whatman no. 93, aquades, Buffered
Pepton Water (BPW), Plate Count Agar (PCA), Potato Dextrose Agar (PDA) dan
buffer fosfat.
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan blondo, tepung ikan gabus,
biskuit dan krim antara lain: sendok, spatula, pisau, baskom, panci, kuali, blender,
mixer, cetakan biskuit, ayakan tepung, kompor, alat pengukus, timbangan dan
oven. Peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain: timbangan analitik, alat
gelas (erlenmayer biasa, erlenmayer asah, gelas ukur, gelas piala, labu ukur)
penjepit, pipet volum, pipet mikro, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, buret,
pendingin tegak, desikator, oven, spektrofotometer, tabung reaksi, cawan petri,
autoclaf, inkubator, humidity chamber, vorteks, bunsen dan HPLC.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu: persiapan bahan baku biskuit,
pembuatan biskuit dan krim, evaluasi nilai gizi protein secara in vivo dan
pendugaan umur simpan biskuit. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.

10

Analisis profil asam amino

Tahap 1
Blondo

Tepung ikan gabus

Tahap 2

Krim

Biskuit standar

Pembuatan biskuit

Biskuit blondo

Bahan biskuit lain
(terigu, margarin,
gula, telur, baking
powder, TBM,
vanili.

Biskuit blondo +
ikan gabus

Tahap 3
Analisis:
1. Protein
2. Lemak
3. TBA
4. TPC
5. Profil asam amino biskuit
blondo + ikan gabus

Uji in vivo pada tikus:
1. Penimbangan ransum awal
dan ransum sisa
2. Pengumpulan urine dan feses
3. Penimbangan berat badan
setiap 2 hari
4. BV, True Digestibility, NPU

Tahap 4
Pendugaan umur simpan metode Arrhenius:
1. Penyimpanan produk pada suhu 25, 35 dan 45 ºC
2. Pengujian nilai TBA setiap 14 hari
Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian
Persiapan Bahan Baku Biskuit
Pembuatan blondo. Proses pembuatan blondo diawali dari pemisahan
kelapa dengan kulit dan air kelapa. Kelapa diparut, hasil parutan ditambah dengan
air kelapa sebanyak 1.5 kali berat kelapa parut, lalu diperas untuk memperoleh
santan. Santan dipanaskan dengan api kecil (suhu 60−70 ºC) sampai terbentuk
gumpalan santan (santan kanil) yang bisa dipisahkan. Santan kanil dipisahkan dari
air, dipanaskan dengan suhu 100−120 ºC sambil terus diaduk selama 3 jam atau
sampai terpisahnya minyak dengan blondo. Selanjutnya dilakukan pemisahan
minyak dari blondo sehingga didapatkan gumpalan padat blondo. Diagram alir
pembuatan blondo dapat dilihat pada Gambar 2.

11

Pengupasan tempurung kelapa
Pengupasan kulit ari kelapa
Pemarutan kelapa
Penambahan air sebanyak 1.5 kali dari berat daging kelapa parut
Pemerasan santan
Pemanasan dengan api kecil sampai terbentuk gumpalan
(santan kanil) di bagian atas santan (+ 30 menit)
Pemisahan santan kanil
Pemanasan santan kanil sampai mendidih selama 3 jam
atau sampai terpisahnya minyak
Pemisahan minyak dari blondo

Blondo
Gambar 2. Diagram alir pembuatan blondo (Widodo 2007)
Pembuatan tepung ikan gabus. Proses pembuatan tepung ikan gabus
diawali dengan pencucian dan pemisahan ikan dari kepala, sisik, sirip, ekor, isi
perut, dan insang. Pencucian dilakukan 3 kali pengulangan. Kemudian
pengukusan selama 30 menit pada suhu 100 ºC, selanjutnya dilakukan
pemisahkan tulang dari daging, kemudian daging dikeringkan dengan oven pada
suhu 50−60 ºC selama 24 jam. Daging yang sudah kering digiling dan kemudian
dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 60 mesh agar
diperoleh tepung yang seragam. Diagram alir pembuatan tepung ikan gabus dapat
dilihat pada Gambar 3.

12

Pembersihan ikan dari kotoran, sisik dan kepala
Pengukusan selama 30 menit
Pemisahan daging dengan tulang
Pengeringan dengan oven selama 24 jam pada
suhu 50−60 ºC
Pendinginan
Penggilingan
Pengayakan

Tepung ikan gabus
Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung ikan gabus (Widodo 2015)
Pembuatan Biskuit dan Krim
Pembuatan biskuit. Proses pembuatan biskuit diawali dengan
mencampurkan margarin, gula, telur, baking powder, TBM, vanili menggunakan
mixer selama 15 menit. Setelah adonan mengembang, kemudian tambahkan
tepung. Untuk biskuit standar menggunakan tepung terigu, sedangkan untuk
biskuit padat gizi ditambahkan blondo dan tepung ikan gabus sebagai perlakuan.
Proses selanjutnya pencetakan adonan, pemanggangan dalam oven pada suhu 150
ºC selama 30 menit. Selanjutnya biskuit dikeluarkan dari oven, didinginkan, lalu
ditambahkan krim. Formulasi biskuit yang digunakan pada tahapan ini dapat
dilihat pada Tabel 5, sedangkan diagram alir pembuatan biskuit dapat dilihat pada
Gambar 4. Gambar biskuit dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 5. Tabel formulasi biskuit per 100 g bahan
Biskuit standar Biskuit blondo
Bahan
(g)
(g)
Terigu
62
62
Margarin
12
6
Blondo
6
Kuning telur
12
12
Gula
14
14
Tepung ikan gabus
Sumber : Rimbawan et al. (2013)

Biskuit blondo + ikan
gabus (g)
56
6
6
12
14
6

13

Penimbangan bahan
Pencampuran margarin, gula, telur dan bahan tambahan
Pencampuran blondo
Pencampuran tepung terigu
Pengadukan adonan
Pemanggangan dengan oven pada suhu 150 ºC
selama 30 menit
Pendinginan
Penambahan krim sebanyak 1 g
Pengemasan

Biskuit
Gambar 4. Diagram alir pembuatan biskuit (Widodo 2015)
Pembuatan Krim. Proses pembuatan krim diawali dengan mencampur
butter, margarin, gula dan susu bubuk dengan menggunakan mixer selama 15
menit. Setelah adonan mengembang, tambahkan vanili. Diagram alir pembuatan
biskuit dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan formulasi krim yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 6.
Penimbangan bahan
Pencampuran butter, margarin, gula dan susu
bubuk dengan mixer selama 15 menit

Krim
Gambar 5. Diagram alir pembuatan krim (Rimbawan et al. 2013)

14

Tabel 6. Formulasi krim per 100 g bahan
Gula
Butter
65 g
15 g
Sumber : Rimbawan et al. (2013)

Margarin
15 g

Susu bubuk
5g

Analisis Kimia dan Mikrobiologi
Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (protein, lemak, air,
abu), TPC dan profil asam amino yang mengacu pada AOAC 1995, sedangkan
untuk analisis TBA mengacu pada AOCS 2001 (Lampiran 1).
Evaluasi Nilai Gizi Protein Biskuit secara In vivo
Penelitian ini telah mendapatkan izin (Ethical Clearance) dari Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo No. 435/H2.F1/ETIK/2014 tertanggal 23 Juni 2014
(Lampiran 2). Subjek dalam penelitian adalah 25 ekor tikus jantan jenis Sprague
dawley berumur antara 29–32 hari yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Masing-masing tikus ditempatkan secara
individu dalam kandang metabolik, dimana urine dan feses dapat ditampung
secara terpisah (Lampiran 8).
Kandang terbuat dari stainless steel berlubang-lubang dengan ukuran sekitar
17.5 x 23.75 x 17.5 cm. Suhu kandang 22−24 ºC dengan kelembaban udara 50–
60%, mudah dibersihkan, memiliki ventilasi yang cukup tetapi tidak ada jendela
yang terbuka. Lokasi kandang harus bebas dari kebisingan, asap industri, dan
polutan lainnya. Cahaya diruang hewan percobaan diusahakan agar 12 jam terang
dan 12 jam gelap (Muchtadi 2010).
Tahapan penelitian pada tikus percobaan dibagi menjadi dua tahap, yaitu
masa adaptasi dan masa intervensi. Masa adaptasi dilakukan selama 4 hari dengan
memberikan ransum standar (AOAC 1995) dan aquades secara ad libitum. Masa
intervensi diawali dengan membagi 25 tikus menjadi 5 kelompok perlakuan
(Tabel 7) dengan syarat selisih berat badan tikus dalam satu kelompok tidak lebih
dari 5 g dan selisih berat badan antar kelompok tidak lebih dari 10 g. Setiap
kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Intervensi dilakukan selama 10 hari.
Tabel 7. Pembagian kelompok tikus percobaan
Kelompok
Perlakuan
K1
Ransum non-protein (kontrol negatif)
K2
Ransum kasein (kontrol positif)
A
Ransum standar + biskuit standar
B
Ransum standar + biskuit blondo
C
Ransum standar + biskuit blondo + tepung ikan gabus

Jumlah
5 ekor
5 ekor
5 ekor
5 ekor
5 ekor

Ransum yang digunakan mengacu pada AOAC (1995) dengan
memodifikasi kadar protein menjadi 8% dan lemak 15%. Hal ini dilakukan karena
biskuit yang akan diukur nilai mutu proteinnya memiliki kadar protein yang lebih
rendah dari kadar lemaknya. Kadar protein kasein yang digunakan adalah 82.25%.
Komposisi bahan dalam 100 g ransum untuk setiap kelompok dapat dilihat pada
Tabel 8.

15

Pemberian ransum dilakukan tiap hari. Ransum sisa dikumpulkan dan
ditimbang tiap hari untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi.
Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap dua hari (Lampiran 8). Urine dan
feses ditampung selama percobaan berlangsung dan dikumpulkan setiap hari.
Botol penampungan urine diberi 1–2 tetes H2SO4 5% untuk mencegah
menguapnya amoniak. Urine dan feses yang dikumpulkan disimpan di dalam
lemari es.
Pada akhir percobaan, feses dikeringkan dalam oven, lalu dihancurkan
sampai halus. Penentuan kadar nitrogen urine dan feses dilakukan terhadap
sejumlah kecil sampel (alikuot), menggunakan metode Kjeldahl. Jumlah nitrogen
dalam urine dan feses adalah jumlah berat masing-masing urine dan feses
dikalikan dengan kadar nitrogennya.
Tabel 8. Komposisi bahan dalam 100 g ransum
Bahan
Kasein (g)
Biskuit standar (g)
Biskuit blondo (g)
Biskuit blondo + akan gabus (g)
Minyak jagung (g)
Mineral mix (g)
Vitamin mix (g)
CMC (g)
Maizena (g)
Air (g)
Total (g)
Energi (kkal)

K1
15.00
5.00
1.00
1.00
73.00
5.00
100
427

K2
9.73
15.00
4.86
1.00
1.00
63.41
5.00
100
428

Kelompok
A
82.90
0.33
4.25
1.00
1.00
5.51
5.00
100
516

B
88.30
0.57
4.13
1.00
1.00
0.00
5.00
100
489

C
46.38
7.59
4.48
1.00
1.00
34.55
5.00
100
536

Keterangan: (K1) non-protein, (K2) kasein, (A) biskuit standar, (B) biskuit blondo, (C) biskuit
blondo + ikan gabus.

Skor Asam Amino (SAA)
mg asam amino per g protein yang diuji
SAA =
x 100%
mg asam amino yang sama per g protein patokan
FCE (Feed Conversion Efficiency)
pertambahan berat badan g
FCE =
x 100%
jumlah ransum yang dikonsumsi g
TD (True Digestibility)
N konsumsi - N feses - N metabolik
x100%
TD =
N konsumsi
BV (Biological Value)
N konsumsi - N feses - N metabolik - N urine - N endogen
x 100%
BV =
N konsumsi - N feses - N metabolik

16

NPU (Net Protein Utilization)
NPU =

N konsumsi - N feses - N metabolik - N urine - N endogen

N metabolik
N endogen

N konsumsi
= kadar N feses dari kelompok non-protein
= kadar N urine dari kelompok non-protein

x 100%

Pendugaan Umur Simpan
Metode yang digunakan dalam penentuan umur simpan pada penelitian ini
adalah metode Arrhenius (k = ko . exp -Ea/RT) dengan tiga tingkat suhu yang
berbeda, yaitu suhu 25, 35, dan 45 ºC. Penentuan tiga tingkat suhu tersebut
didasarkan pada tujuan penelitian yaitu ingin mengetahui perkiraan umur simpan
biskuit pada kisaran suhu aktual yang ada di Indonesia dan kondisi yang biasa
terjadi pada saat pendistribusian serta penyimpanan biskuit selama penjualan.
Simulasi penyimpanan biskuit pada suhu 35 dan 45 ºC dilakukan menggunakan
oven, sedangkan biskuit pada suhu 25 ºC disimpan di dalam toples dan diletakkan
di ruangan terbuka dengan asumsi bahwa rata-rata suhu ruang tidak melebihi 30
ºC.
Simulasi pendugaan umur simpan dilakukan selama 2 bulan dan diamati
setiap 2 minggu (hari 14, 28, 42 dan 56) untuk mengetahui perubahan yang terjadi
selama penyimpanan. Parameter bilangan thiobarbituric acid (TBA) digunakan
untuk mengukur tingkat ketengikan lemak atau produk pangan yang mengandung
lemak. Bilangan TBA menunjukkan tingkat kerusakan lemak yang diakibatkan
oleh reaksi hidrolisis dan atau oksidasi pada fase lanjut yang ditandai dengan
terbentuknya senyawa turunan aldehid, yaitu malonaldehid. Pada uji bilangan
TBA, senyawa malonaldehid yang terbentuk akan bereaksi dengan pereaksi TBA
dan menghasilkan pigmen berwarna jingga hingga merah bata. Intensitas warna
yang terbentuk diukur dengan menggunakan spektrofotometer dan dinyatakan
sebagai bilangan TBA yang bernilai setara dengan jumlah malonaldehid pada
sampel. Titik kritis TBA yang digunakan pada penelitian ini yaitu 6 mg
malonaldehid/kg sampel. Menurut Deng et al. (1977) Nilai TBA di bawah 6 mg
malonaldehid/kg masih belum menunjukkan adanya ketengikan.
Reaksi kehilangan mutu pada makanan dapat dijelaskan oleh ordo nol dan
ordo satu, dan hanya sedikit yang dijelaskan oleh ordo lain (Labuza 1982).
Perhitungan umur simpan diawali dengan memplotkan rataan nilai (skor)
parameter TBA terhadap waktu penyimpanan persuhu penyimpanan. Plot nilai
tersebut dilakukan pada ordo nol dan ordo satu. Pada ordo nol, plot dilakukan
antara rataan skor pengamatan (sumbu y) dengan waktu penyimpanan (sumbu x),
sedangkan ordo satu plot dilakukan antara ln skor pengamatan (sumbu y) dengan
waktu penyimpanan (sumbu x).
Hasil plot di atas akan memberikan nilai slope (k), intersep dan koefisien
korelasi masing-masing suhu penyimpanan. Untuk melihat dan menentukan ordo
reaksi kerusakan pangan yang disimpan dapat ditentukan dari nilai koefisien
korelasi yang lebih besar (r2).
Ketika jenis ordo reaksi kerusakan pangan telah didapatkan, maka langkah
selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (k-1) dan
sumbu y menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang
digunakan. Hasil plot tersebut akan memberikan nilai k, intersep, dan koefisien

17

korelasi. Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga
suhu penyimpanan.
(-Ea/RT)
k = ko . exp
Dimana :
k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Persamaan garis linear hasil pemplotan akan mengikuti persamaan
Arrhenius, dapat dilihat di bawah ini :
ln k = ln ko + (-Ea/R) . 1/T
Ea/R = gradien dari plot grafik Arrhenius
Dari rumus di atas akan diperoleh nilai ko, sedangkan umur simpan
dapat diperoleh dengan rumus :
(ordo 0) atau
(ordo 1)
Keterangan :
t = prediksi umur simpan
Ao = nilai mutu awal
At = titik kritis parameter yang diamati
k = konstanta
Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan
enzimatik, pencoklatan enzimatik, dan reaksi oksidasi. Tipe kerusakan yang
mengikuti reaksi ordo satu adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off
flavor, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL). Data beberapa parameter (total konsumsi ransum, perubahan
berat badan, FCE, TD, BV dan NPU) dianalisis menggunakan Analysis of Varian
(ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji.
Apabila hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilakukan
uji lanjut Duncan’s dengan selang kepercayaan 5%.
Faktor perlakuan pada penelitian adalah jenis formulasi biskuit yang terdiri
dari 3 taraf, yaitu:
A = biskuit standar
B = biskuit blondo
C = biskuit blondo + ikan gabus
Model linear dari rancangan yang digunakan adalah :
Yij = µ + Ai + Eij
Data analisis blondo, komposisi asam amino tepung ikan gabus, uji kimia
dan mikrobiologi biskuit (proksimat, TBA dan TPC) ditampilkan secara
deskriptif, sedangkan pendugaan umur simpan dihitung menggunakan metode
Arrhenius. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft
Excel 2007 dan SPSS 15,0 for Windows.

18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Baku Biskuit
Pada penelitian ini, selain bahan-bahan yang biasa digunakan dalam
pembuatan biskuit, ada dua bahan baku lain yang ditambahkan, yaitu blondo dan
tepung ikan gabus. Penambahan blondo bertujuan untuk mengurangi penggunaan
margarin, sedangkan penambahan tepung ikan gabus diharapkan dapat
meningkatkan kadar protein biskuit. Blondo dan tepung ikan gabus yang
digunakan dalam penelitian ini di