Kendali Mutu Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus) Menggunakan Pengolahan Citra Dan Teknik Pengenalan Pola Secara Kemometrik

i

KENDALI MUTU DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon
stamineus) MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN
TEKNIK PENGENALAN POLA SECARA KEMOMETRIK

NURYANI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kendali Mutu Daun
Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus) Menggunakan Pengolahan Citra dan
Teknik Pengenalan Pola Secara Kemometrik adalah benar karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015

Nuryani
NIM G44080023

iii

ABSTRAK
NURYANI. Kendali Mutu Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus)
Menggunakan Pengolahan Citra dan Teknik Pengenalan
Pola Secara
Kemometrik. Dibimbing oleh ETI ROHAETI dan RUDI HERYANTO.
Kumis kucing (Orthosiphon stamineus) merupakan salah satu tanaman obat
yang banyak digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini bertujuan

memanfaatkan pencitraan spektral sebagai metode untuk kendali mutu daun kumis
kucing dengan melihat keragaman mutu berdasarkan 3 daerah yang memiliki
kondisi geografis yang berbeda dan dikombinasikan dengan teknik pengenalan
pola kemometrik PCA dan PLSDA. Analisis kromatografi lapis tipis dengan
perangkat lunak image J menunjukkan adanya perbedaan mutu senyawa aktif
daun kumis kucing dari 3 daerah, yaitu Cigombong, Nagrak, dan Pacet. Model
polinomial terbaik ialah menggunakan polinomial orde 2 (term 7). Sampel daerah
Nagrak memiliki karakteristik mutu yang lebih baik daripada daerah lainnya.
Model PCA menghasilkan nilai PC 1 97% dan PC 2 3%. Analisis PLSDA
menghasilkan 3 model, yaitu model daerah Cigombong (R2 kalibrasi= 0.8395, R2
prediksi= 0.8051), Nagrak (R2 kalibrasi= 0.8185, R2 prediksi= 0.7779), dan Pacet
(R2 kalibrasi= 0.7603, R2 prediksi= 0.7392). Model ini berhasil memprediksi mutu
daun kumis kucing dengan pendekatan perbedaan daerah asal tanaman.
Kata kunci: kendali mutu, kumis kucing, PCA, pencitraan spektral, PLSDA

ABSTRACT
NURYANI. Quality Control of Kumis Kucing Leaves Using Image Processing
and Pattern Recognition Technic with Chemometric. Supervised by ETI
ROHAETI and RUDI HERYANTO.
Kumis kucing (Orthosiphon stamineus) is one of medicinal plants that

widely used as a traditional medicine. This research aims to use the spectral
imaging as a method to quality control of kumis kucing leaves with diversity of
quality based on the different from 3 areas of the plant that is correlated with the
intensity of leaf color and pattern recognition techniques combine with
chemometric PCA and PLSDA. Analysis of thin-layer chromatography with
software image J shows the difference of quality active compound kumis kucing
from 3 areas is Cigombong, Nagrak, and Pacet. The best standard model and
polynomial using polynomial orde 2 (term 7). Samples from Nagrak have better
quality than other areas. Model PCA produces 97% of the value of PC 1 and PC 2
3%. PLSDA analysis produces 3 models, namely models PLSDA from
Cigombong (R2 kalibrasi= 0.8395, R2 prediksi= 0.8051), Nagrak (R2 kalibrasi=
0.8185, R2 prediksi= 0.7779), dan Pacet (R2 kalibrasi= 0.7603, R2 prediksi=
0.7392). This model has successfully predicted the kumis kucing leaves to
approach the quality of different areas of the plant.
Keyword: kumis kucing, PCA, PLSDA, quality control, spectral imaging

iv

KENDALI MUTU DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon
stamineus) MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN

TEKNIK PENGENALAN POLA SECARA KEMOMETRIK

NURYANI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
Pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian yang
berjudul Kendali Mutu Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus)
Menggunakan Pengolahan Citra dan Teknik Pengenalan Pola secara Kemometrik
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Eti Rohaeti, MS dan
Bapak Rudi Heryanto, SSi, MSi selaku pembimbing. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Staf di Laboratorium Kimia Analitik, antara lain Pak
Eman, Bu Nunung, dan pihak lainnya atas segala bantuan yang diberikan selama
penelitian. Pihak-pihak Pusat Studi Biofarmaka (PSB), antara lain Mas Nio, Mas
Endi, dan Mba Ina. Terima kasih kepada Anita dan Yuthika yang telah membantu
dibidang teknis dan akademis pada penelitian ini, serta tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada Ibu, Bapak, Adik, Suami, dan keluarga atas doa dan
semangatnya.
Semoga laporan hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Nuryani


vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang
Tujuan

1
3

BAHAN DAN METODE

3

Bahan dan Alat
Metode

3
3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mutu Daun Kumis Kucing berdasarkan Kromatografi Lapis Tipis
Estimasi Spektrum Reflektans dari Citra Daun Kumis Kucing
Pengklasifikasian Daun Kumis Kucing Menggunakan Analisis PCA

Pembentukan Model Daun Kumis Kucing Menggunakan PLSDA dan
Pengujian Model
SIMPULAN DAN SARAN

5
5
7
9
11
13

Simpulan
Saran

13
13

DAFTAR PUSTAKA

14


LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

21

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Tiga tipe polinomial untuk rekonstruksi spektra reflektans

Rancangan prediksi model PLSDA
Luas puncak noda yang dihasilkan ekstrak daun daun kumis kucing daerah
Cigombong, Nagrak, dan Pacet
Nilai varians tiap PC dengan beberapa perlakuan
Kriteria kebaikan model PLSDA
Persentase ketepatan antara nilai referensi dengan nilai perkiraan daun
kumis kucing daerah Cigombong (C), Nagrak (N), dan Pacet (P)

4
5
7
9
12
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6

Noda sinensetin pada pelat KLT pada λ 254 nm dan 366 nm Cigombong
(a), Nagrak (b), Pacet (c), dan Standar sinensetin (d)
Kromatogram daun kumis kucing daerah Cigombong (a), Nagrak (b), Pacet
(c), dan Standar sinensetin (d)
Perbandingan nilai rekonstruksi reflektans menggunakan orde 1, 2, dan 3
Nilai rekonstruksi spektrum reflektans daun kumis kucing daerah
Cigombong, Nagrak, dan Pacet
Proporsi varians 7 komponen utama dengan perlakuan data asli dan
menghilangkan pencilan
Plot skor antara PC 1 dan PC 2 dengan perlakuan data asli (a), data asli
dengan menghilangkan pencilan (b), baseline, normalisasi, derivatif, dan
menghilangkan pencilan (c), dan normalisasi, derivatif, dan menghilangkan
pencilan (d)

6
6
8
8
10

10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Bagan alir penelitian
Data perkebunan dan kondisi geografis
Prediksi vs referensi PLSDA daun kumis kucing daerah Cigombong (a),
Nagrak (b), dan Pacet (c)
Data prediksi sampel dengan model PLSDA daun kumis kucing daerah
Cigombong, Nagrak, dan Pacet

16
17
18
19

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tradisi mengonsumsi tanaman obat atau rempah-rempah dalam
bentuk ramuan jamu tradisional telah dikenal dan telah digunakan oleh
masyarakat. Obat tradisional dan tanaman obat telah digunakan sebagai alternatif
pengobatan berbagai macam penyakit, terutama dalam pemeliharaan kesehatan
dan kebugaran jasmani, pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif),
maupun pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Hal ini disebabkan tanaman obat
mempunyai kandungan senyawa aktif atau metabolit sekunder yang berkhasiat
mengobati penyakit (Adzkiya 2006). Senyawa aktif tersebut dapat mengobati
penyakit dan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya
(Fathniyah 2011).
Tanaman obat banyak digunakan karena efek samping untuk kesehatan
relatif lebih rendah, mudah diperoleh dan murah dibandingkan dengan obat
sintetik, dan khasiatnya pun tidak kalah dibandingkan dengan obat-obatan modern
(Prapanza dan Marianto 2003). Namun, perlu adanya upaya untuk mengontrol
mutu, khasiat, dan keamanan dalam penggunaan tanaman obat yang berkembang
di masyarakat. Mutu tanaman obat dapat dilihat dari kandungan senyawa aktif
kimianya. Kandungan senyawa aktif tanaman obat sangat beragam bergantung
pada spesies, varietas, asal geografis, budi daya, metode pemanenan, dan proses
pascapanen (Singh et al. 2010). Faktor umur tanaman juga dapat dijadikan
penanda mutu tanaman obat tersebut (Anuradha et al. 2010). Variasi tersebut
dapat memengaruhi tingkat kestabilan dan keamanan produk obat. Oleh karena
itu, analisis kendali mutu tanaman obat diperlukan untuk menjaga kestabilan dan
keamanan produk obat.
Berbagai penelitian dan pengembangan telah dilakukan sebagai upaya
peningkatan mutu dan keamanan produk obat tradisional, dengan harapan dapat
lebih meningkatkan kepercayaan akan manfaatnya. Pengembangan obat
tradisional ini didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
tentang Fitofarmaka (Depkes RI 2008). Kendali mutu tanaman obat dapat
menggunakan pendekatan multikomponen atau analisis sidik jari. Beberapa teknik
kromatografi dapat digunakan, yaitu kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), dan elektroforesis kapiler
(Borges et al. 2007). Analisis sidik jari yang telah diketahui dengan jelas akan
dikombinasikan dengan teknik kemometrik (Liang et al. 2004). Metode
spektroskopi juga dapat digunakan untuk kendali mutu tanaman obat, metode lain
menggunakan spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR). Sim et
al. (2004) telah menggunakan FTIR dan metode kemometrik (PCA dan Simca)
untuk mengklasifikasikan Orthosiphon stamineus Benth. berdasarkan asal
geografis dan varietas dari karakteristik spektrum inframerah yang diperoleh.
Analisis sidik jari menggunakan alat fotometer jinjing telah dilaporkan untuk
kendali mutu daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) (Kurniawan 2012).
Aplikasi kemometrik untuk kendali mutu daun kumis kucing dari beberapa daerah
menggunakan spektrum FTIR juga telah dilakukan oleh Marlina (2013). Selain

2

metode-metode tersebut, ada pula metode alternatif yang dapat digunakan untuk
menentukan identitas tanaman, yaitu teknik pengolahan citra.
Pengolahan citra adalah analisis sampel yang bersifat tidak merusak (nondestruktif) dengan pendekatan teknik warna (Shatilova 2008). Teknik ini
mentransformasikan citra menjadi citra lain yang lebih baik mutunya, sehingga
mudah diinterpretasikan oleh manusia/mesin (komputer). Terdapat 2 pendekatan
pengolahan citra, yaitu pencitraan kimia (chemical imaging) dan pencitraan
spektral (spectral imaging). Teknik pencitraan kimia mengintegrasikan pencitraan
konvensional dan spektroskopi untuk memperoleh informasi spasial dan spektral
dari sebuah objek, serta dapat menentukan kandungan kimia suatu objek. Analisis
ini menggunakan spektroskopi vibrasi inframerah (IR), inframerah dekat (NIR),
dan Raman. Aplikasinya telah digunakan dalam pemantauan proses dan kontrol
mutu pada industri farmasi serta identifikasi kandungan kimia gandum. Teknik
pencitraan spektral umum diterapkan pada hampir semua teknik spektroskopi
optis (misalnya inframerah, Raman, fluoresens, dan ultraviolet) (Gowen et al.
2008). Pencitraan spektral telah dimanfaatkan oleh Shatilova (2008) untuk
memperkirakan kandungan karotenoid pada kulit ikan Arctic charr (Salvelinus
alpinus) dengan cara pengolahan citra digital yang direkonstruksi menjadi
spektrum reflektans. Selain itu, Purnamasari (2013) juga telah menggunakan
teknik pengolahan citra untuk kendali mutu daun sambiloto.
Prinsip pencitraan kimia untuk identitas suatu material lazim digunakan
dalam industri farmasi maupun remote sensing karena sangat selektif, spesifik
untuk analit tertentu, non-destruktif terhadap suatu objek. Akan tetapi, pencitraan
kimia memerlukan biaya yang tinggi untuk instrumentasi dan perlu filter khusus
pada saat pengoperasian alatnya (Gowen et al. 2008). Pencitraan spectral dapat
dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari dan juga lebih praktis
dan menggunakan kamera digital komersil sebagai instrumen pengambilan citra.
Pada penelitian ini, pencitraan spektral digunakan sebagai alat analisis pada salah
satu jenis tanaman obat, yaitu daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus) yang
berbeda asal daerahnya (Cigombong, Nagrak, dan Pacet). Perbedaan daerah asal
daun kumis kucing dapat menandakan mutu daun yang berbeda karena
kandungan senyawa aktifnya beragam.
Mutu daun kumis kucing dilihat dari kandungan sinensetinnya. Sinensetin
merupakan flavonoid yang aktif secara farmakologi dalam daun kumis kucing dan
dapat menjadi penanda adanya daun kumis kucing dalam suatu campuran
(Akowuah et al. 2004). Prinsip analisis pencitraan spektral adalah objek yang
diberi sumber sinar dari lampu tungsten akan ditangkap gambarnya menggunakan
kamera digital. Sebagian sinar akan diserap oleh objek, dan sebagian lainnya
dipantulkan. Sinar yang dipantulkan akan ditangkap oleh lensa objektif pada
kamera, diubah menjadi muatan dan masuk ke dalam sensor kamera. Dalam
sensor kamera, muatan akan dikonversi menjadi voltase sebagai sinyal elektrik.
Sinyal ini akan dikonversi menjadi gambar digital dan diperoleh informasi nilai
red, green, blue (RGB). Nilai RGB akan direkonstruksi menjadi spektrum
reflektans dengan model polinomial. Spektrum reflektans ini digunakan untuk
pendekatan jumlah senyawa sinensetin dalam daun kumis kucing yang berbeda
asal daerahnya. Data spektrum reflektans dari setiap sampel dikombinasikan
dengan teknik pengenalan pola, yaitu analisis komponen utama (PCA) dan
analisis diskriminan kuadrat terkecil parsial (PLSDA).

3

Tujuan
Penelitian ini bertujuan menjadikan pencitraan spektral sebagai metode
kendali mutu daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus) dengan melihat
keragaman mutu berdasarkan daerah yang memiliki kondisi geografis yang cukup
berbeda, dan dikombinasikan dengan teknik pengenalan pola kemometrik PCA
dan PLSDA.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel daun kumis kucing berbunga
putih yang diperoleh dari 3 daerah (Cigombong, Nagrak, dan Pacet), kotak karton
ukuran 50 cm × 50 cm × 60 cm, karton putih, larutan standar sinensetin, aseton,
kloroform, etil asetat, silika gel F 254, dan akuades.
Alat-alat yang digunakan adalah kamera digital SLR Canon 16 MP sebagai
penangkap citra, perangkat keras komputer, lampu tungsten 15 watt, mesin
penggiling, syringe 100 µL, CAMAG TLC applicator Linomat 5, CAMAG TLC
scanner Reprostar 3, neraca analitik, ayakan 40 mesh, penguap putar, kertas
saring, peralatan kaca, perangkat lunak Unscrambler 10.2, CAMAG winCATS
versi 1.3.3, Image J versi 1.4, dan MatLab.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu preparasi sampel,
analisis KLT daun kumis kucing, pengambilan citra daun kumis kucing,
rekonstruksi spektrum reflektans dan pengumpulan data, serta pengolahan data
menggunakan perangkat lunak Unscrambler versi 10.2 (Lampiran 2).
Preparasi Sampel (BPOM 2004)
Daun kumis kucing yang baru dipanen langsung disortir, kemudian dicuci
sampai bersih dengan menggunakan air bersih. Setelah ditiriskan, daun
dikeringkan atau dijemur dengan menggunakan sinar matahari. Daun yang telah
kering kemudian dihaluskan dengan mesin penggiling, lalu serbuk daun diayak
menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Sampel sebanyak 10 g diekstraksi 3
kali ulangan untuk setiap daerah menggunakan 100 mL aseton, dimaserasi selama
24 jam. Filtrat disaring menggunakan kertas saring, lalu dipekatkan dengan
penguap putar, dan disimpan dalam botol di lemari pendingin.
Analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) (Depkes RI 2008)
Eluen kloroform-etil asetat (60:40) disiapkan dalam bejana kromatografi.
Sebanyak 0.1 g ekstrak pekat aseton daun kumis kucing dilarutkan menggunakan
10 mL aseton, lalu filtratnya disaring. Filtrat dari setiap sampel dan standar

4

sinensetin selanjutnya ditotolkan pada pelat silika gel F 254 menggunakan syringe
100 µL dibantu dengan CAMAG TLC aplikator. Lebar pita tiap sampel adalah 5
mm, dan dielusi dengan eluen yang telah jenuh. Noda dideteksi menggunakan
CAMAG TLC scanner Reprostar 3 dengan menggunakan sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Kemudian nilai Rf dihitung dan gambar pelat
KLT diolah menggunakan perangkat lunak Image J versi 1.4.
Pengambilan Citra (Orava et al. 2012)
Sampel daun kumis kucing dari 3 daerah berbeda diambil citranya
menggunakan kamera SLR 16 MP. Citra tersebut diambil di dalam kotak berlatar
belakang putih dengan pencahayaan menggunakan lampu tungsten 15 watt. Jarak
pengambilan citra diatur sejauh 50 cm dengan sudut pengambilan gambar 90˚ dari
sumber cahaya. Praproses dilakukan pada citra, yaitu dengan memotong bagian
bawah tulang daun dengan ukuran 700 × 500 piksel, kemudian di-resize sebesar
20 × 20 piksel. Setelah dilakukan praproses setiap sampel, kemudian diolah
citranya untuk mendapatkan nilai RGB.
Rekonstruksi Spektrum Reflektans (Shatilova 2008)
Data daun kumis kucing dari 3 daerah diproses menggunakan metode
estimasi Wiener untuk diperoleh rekonstruksi spektrum reflektansnya. Persamaan
metode estimasi Wiener sebagai berikut (Jetsu et al. 2006):
= .
(1)
dengan
X = matriks RGB dari kamera
Y = matriks reflektans yang terdiri dari banyaknya sampel dan banyaknya kanal
spektrum (n)
W= matriks transformasi
Setelah itu, dari model standar terbaik ditentukan model polinomial terbaik
yang akan digunakan. Model polinomial terbaik ini dilihat dari nilai reflektans
terendah dari setiap term, yaitu orde 1, 2, dan 3. Orde terbaik digunakan untuk
memperoleh nilai rekonstruksi spektrum reflektans daun kumis kucing dari 3
daerah berbeda. Tipe polinomial yang digunakan ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1 Tiga tipe polinomial untuk rekonstruksi spektrum reflektans
Orde

Term

Polinomial

1

3

RGB

2

7

R G B R2 G2 B2 RGB

3

10

R G B R2 G2 B2 RG RB GB RGB

Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang digunakan adalah data reflektans sampel terekonstruksi dari daun
kumis kucing dengan menggunakan sumber lampu tungsten 15 watt. Data
selanjutnya dimasukkan ke dalam program Ms. Excel 2007. Data dalam format
Excel 2007 kemudian dianalisis dengan metode multivariat menggunakan peranti
lunak The Unscrambler 10.2.

5

Analisis PLSDA menggunakan nilai reflektans yang diperoleh dari hasil
pengolahan citra dan responsnya dari setiap mutu daerah daun kumis kucing, yaitu
Y1, Y2, dan Y3. Jika salah satu daerah daun kumis kucing diberikan respons
sebesar 1, maka sampel dengan daerah lainnya akan diberikan nilai 0. Nilai-nilai
ini akan digunakan untuk membuat suatu model regresi. Rancangan pola PLSDA
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rancangan prediksi model PLSDA
Panjang gelombang
Sampel
Cigombong

Nagrak

Pacet

Ulangan
1
2
3
n
1
2
3
n
1
2
3
n

λ1

λ2

λ3

λ4

Respons
λn

Nilai reflektans

Nilai reflektans

Nilai reflektans

Y1

Y2

Y3

1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mutu Daun Kumis Kucing berdasarkan Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode kendali mutu
tanaman obat yang menghasilkan sidik jari khas dari tanaman tersebut. Metode ini
memiliki beberapa keuntungan, yaitu sederhana, cepat, sensitif, dan preparasi
sampel yang mudah. Metode ini juga dapat menentukan mutu dan kemungkinan
pemalsuan produk herbal (Liang et al. 2004). Analisis KLT dilakukan untuk
melihat perbedaan mutu daun kumis kucing dari 3 daerah berbeda dari segi kimia,
yaitu berdasarkan perbedaan kandungan senyawa aktifnya.
Sinensetin merupakan senyawa aktif pada daun kumis kucing. Senyawa ini
memiliki potensi antioksidan, antibakteri, dan memperlihatkan aktivitas dieuretik
(Akowuah et al. 2004). Daun kumis kucing mengandung flavonoid sinensetin
tidak kurang dari 0.10% (Depkes RI 2008). Menurut Depkes RI (2008), nilai Rf
sinensetin sebesar 0.50. Hasil analisis menunjukkan nilai Rf standar sinensetin
sebesar 0.51, dan ekstrak daun kumis kucing dari daerah Cigombong, Nagrak, dan
Pacet memiliki salah satu nilai Rf yang sama yaitu 0.51 dalam eluen kloroform-etil
asetat. Noda sinensetin tersebut terdeteksi pada lampu UV dengan panjang

6

gelombang 254 nm dan 366 nm (Gambar 1). Adanya nilai Rf yang sama dengan
standar sinensetin menunjukkan bahwa ketiga ekstrak mengandung senyawa
sinensetin. Pola noda yang dihasilkan juga relatif sama.

Sinensetin

Sinensetin

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

Rf : 0.51

a

b

c

a

d

b

c

d

Gambar 1 Noda sinensetin pada pelat KLT pada λ 254 nm dan 366 nm standar
sinensetin (a), Cigombong (b), Nagrak (c), dan Pacet (d)
Pengolahan foto pelat KLT yang dipaparkan sinar UV 254 nm dan 366 nm
menggunakan image J mengubah noda menjadi sebuah data dalam bentuk
kromatogram. Dari kromatogram tersebut dapat dilihat pola dan intensitas noda
pada pelat KLT. Noda dari 3 daerah ditunjukkan memiliki pola noda yang sama
dengan menggunakan eluen kloroform-etil asetat (Gambar 2). Hal ini menandakan
jenis senyawa yang sama pada daun kumis kucing daerah Cigombong, Nagrak,
dan Pacet, namun hanya berbeda intensitas atau jumlahnya.
400
350
300

AU

250
Standar Sinensetin
200
Cigombong
150

Nagrak

100

Pacet

50
0

0

200

400

600

800

1000

Koordinat Jarak

Gambar 2 Kromatogram daun kumis kucing standar sinensetin (a), Cigombong
(b), Nagrak (c), dan Pacet (d)

7

Tabel 3 Luas puncak noda yang dihasilkan ekstrak daun kumis kucing daerah
Cigombong, Nagrak, Pacet, dan standar sinensetin
Sampel
Cigombong
Nagrak
Pacet
Standar sinensetin

Rf
0.51
0.51
0.51
0.51

Luas Puncak
212436
213379
209164
299947

Gambar 2 menampilkan hubungan antara koordinat jarak dan arbitrary unit
(AU) pada setiap puncak daun kumis kucing daerah Cigombong, Nagrak, Pacet,
serta standar sinensetin. Nilai AU ini dapat menunjukkan konsentrasi sinensetin
pada daun kumis kucing. Semakin tinggi nilai AU, semakin besar konsentrasi
senyawa yang diperoleh. Daun kumis kucing daerah Nagrak memiliki nilai AU
yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa daun kumis kucing daerah Nagrak memiliki konsentrasi sinensetin yang
paling tinggi dibandingkan dengan daerah Cigombong dan Pacet. Hasil
kromatogram ini juga dibuktikan dari nilai luas puncak hasil pengolahan image J
(Tabel 3), yang lebih tinggi pada daun kumis kucing daerah Nagrak. Berdasarkan
hasil ini, mutu daun kumis kucing terbaik adalah dari daerah Nagrak. Hasil
tersebut juga membuktikan bahwa secara kimia terdapat perbedaan mutu daun
kumis kucing berdasarkan perbedaan daerah.
Hasil analisis kandungan senyawa kimia ini sesuai dengan karakteristik
geografis setiap daerah. Kumis kucing tumbuh dengan baik pada ketinggian 100 −
1000 mdpl, iklim tropis, curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun, dan disinari
matahari penuh (Sembiring et al. 2012). Daerah Nagrak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Daerah Cigombong memiliki curah hujan lebih rendah, sedangkan
daerah Pacet selain suhunya lebih rendah, ketinggiannya juga mencapai 1100
mdpl (Lampiran 1). Selain itu, pola tanam di daerah Pacet adalah polikultur,
sedangkan daerah lainnya monokultur. Faktor-faktor lain yang dapat
memengaruhi mutu tanaman herbal menurut Kunle et al. (2012), antara lain
spesies, waktu panen, bagian tanaman yang digunakan, dan perlakuan
pascapanen, dianggap tidak berpengaruh karena pada penelitian ini faktor-faktor
tersebut sama untuk setiap daerah.

Estimasi Spektrum Reflektans dari Citra Daun Kumis Kucing
Nilai rekonstruksi spektrum reflektans daun kumis kucing yang diperoleh
menggunakan polinomial orde 2 memiliki pola spektrum dengan nilai spektrum
reflektans lebih rendah dibandingkan orde 1 dan 3. Perbandingan pola spektrum
tiap ordenya dilihat pada Gambar 3.

8

120
Nilai Reflektan

100
80
60

Orde 1

40

Orde 2

20

Orde 3
1
27
53
79
105
131
157
183
209
235
261
287
313
339
365
391
417
443
469
495

0

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 3 Perbandingan nilai rekonstrusi reflektans menggunakan orde 1, 2, dan
3
Model polinomial orde 2 digunakan untuk merekonstruksi nilai reflektans
dari ketiga daerah. Hasil rekonstruksi reflektans menggunakan estimasi Wiener
menunjukkan kualitas daun kumis kucing daerah Pacet memiliki nilai reflektans
yang lebih tinggi dibandingkan daerah Cigombong dan Nagrak. Hal ini
disebabkan kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam daun kumis kucing
pada daerah Pacet masih rendah, sehingga menyebabkan daya absorbans daun
kumis kucing terhadap radiasi yang diberikan juga rendah karena absorbans
berbanding lurus dengan konsentrasi senyawa yang dimiliki (Skoog et al. 2004).
Sehingga sinar yang dipantulkan semakin tinggi karena sinar yang tidak dapat
diserap akan dipantulkan oleh sampel daun kumis kucing. Perbedaan intensitas
spektrum reflektans terekonstruksi daun kumis kucing yang dihasilkan sangat
kecil sehingga diperlukan teknik pengenalan pola secara kemometrik untuk
mengelompokkan mutu daun kumis kucing. Nilai reflektans daun kumis kucing
daerah Cigombong, Nagrak, dan Pacet dapat dilihat pada Gambar 4.
120
Nilai Reflektan

100
80
Pacet

60

Nagrak

40

Cigombong

20
0
0

100

200

300

400

500

600

Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4 Nilai rekonstruksi spektrum reflektans daun kumis kucing daerah
Cigombong, Nagrak, dan Pacet

9

Pengklasifikasian Daun Kumis Kucing Menggunakan Analisis PCA
Metode PCA adalah salah satu pendekatan statistika yang dapat
memfasilitasi hubungan suatu data multivariat (Lai et al. 2011). PCA ini dapat
mereduksi data yang berukuran besar menjadi komponen utama yang dapat
mewakili struktur dan varians dalam data (Miller dan Miller 2000). Metode ini
digunakan untuk melakukan pengenalan pola sehingga dapat mengelompokkan
tanaman berdasarkan pendekatan perbedaan daerah, walaupun data spektrum yang
dihasilkan memiliki kemiripan tiap daerahnya. PCA memudahkan visualisasi
pengelompokkan data, evaluasi awal kesamaan antar kelompok atau kelas, dan
menemukan faktor atau pola yang teramati melalui korelasi dengan sarana kimia
atau fisika-kimia contoh (Chew et al. 2011).
Data reflektans daun kumis kucing hasil rekonstruksi menggunakan metode
Wiener dilakukan analisis PCA. Data reflektans asli hasil rekonstruksi memiliki
matriks data sebesar 90 × 515 yang artinya pada sampel daun kumis kucing
daerah Cigombong, Nagrak, dan Pacet dengan masing-masing 30 kali ulangan
dengan jumlah panjang gelombang 515. Data dianalisis PCA dengan 4 perlakuan,
yaitu data asli, data asli dengan menghilangkan pencilan, data asli dengan
melakukan baseline, normalisasi, dan derivatif serta menghilangkan pencilan, dan
data asli dengan melakukan normalisasi, derivatif, serta menghilangkan pencilan.
Hasil analisis PCA diperoleh 7 buah PC dengan varians yang berbeda-beda. Hasil
praproses tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai varians tiap PC dengan beberapa perlakuan
Varians (%)
Perlakuan
PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 PC 5 PC 6
97
3
0
0
0
0
Data asli
Data asli dengan
menghilangkan
pencilan
Baseline,
normalisasi,
derivatif, dan
menghilangkan
pencilan
Normalisasi,
derivatif, dan
menghilangkan
pencilan

PC 7
0

Total
100

97

3

0

0

0

0

0

100

79

20

0

0

0

0

0

99

97

3

0

0

0

0

0

100

Berdasarkan hasil beberapa praproses menunjukkan bahwa nilai varians PC
1 paling besar dibandingkan PC lainnya karena PC 1 digunakan untuk
memaksimalkan variasi data yang terproyeksi pada sumbu yang baru, sedangkan
PC lainnya digunakan untuk memaksimumkan variasi residual yang tertinggal
dalam data setelah menghitung PC 1 (Brereton 2003).

10

Gambar 5 Proporsi varians 7 komponen utama dengan perlakuan data asli dan
menghilangkan pencilan
Dari berbagai perlakuan praproses, model PCA dengan perlakuan data asli
yang dihilangkan pencilannya dipilih sebagai model PCA yang baik untuk
pembentukan model dengan PLSDA. Model ini memiliki pemisahan yang baik
dibandingkan model lainnya. Hal ini dapat dilihat pada plot skor masing-masing
model. Plot skor dibuat untuk melihat pola pemisahan sampel berdasarkan
perbedaan daerah. Plot skor dibuat menggunakan nilai PC 1 dan PC 2. Plot skor
menggunakan 2 buah PC pertama ini dilakukan karena kedua PC ini
menggambarkan varians terbesar dari data (Brereton 2003). Plot skor ini
menunjukkan bahwa dengan dua PC pertama sudah dapat memisahkan dan
mengelompokkan daun kumis kucing berdasarkan perbedaan daerahnya.

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 6 Plot skor antara PC 1 dan PC 2 dengan perlakuan data asli (a), data
asli dengan menghilangkan pencilan (b), baseline, normalisasi,
derivatif, dan menghilangkan pencilan (c), dan normalisasi, derivatif,
dan menghilangkan pencilan (d)

11

Plot skor pada Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan B dapat
memisahkan dan mengelompokkan sampel daun kumis kucing berdasarkan
perbedaan daerah dengan baik dibandingkan dengan perlakuan A. Perlakuan C
dan D juga menghasilkan pola pemisahan yang baik, namun model ini kurang
baik untuk dijadikan model prediksi pada PLSDA. Hal ini disebabkan data banyak
diberi perlakuan praproses, maka banyak informasi data yang hilang. Oleh karena
itu, model PCA yang terbaik adalah data asli rekonstruksi reflektans daun kumis
kucing yang telah dihilangkan pencilannya. Sampel daun kumis kucing dengan
daerah yang sama saling mengelompok dan berdekatan karena memiliki
kemiripan nilai reflektans yang dimiliki. Nilai reflektans ini menunjukkan bahwa
kelompok daun kumis kucing tiap daerahnya memiliki mutu yang berbeda
berdasarkan kandungan senyawa kimianya.

Pembentukan Model Daun Kumis Kucing Menggunakan PLSDA dan
Pengujian Model
PLSDA adalah salah satu teknik analisis kemometrik yang digunakan untuk
melakukan pengenalan pola dan membangun suatu model prediksi dari mutu
berdasarkan perbedaan daerah tanam sampel daun kumis kucing. PLSDA
menggunakan teknik pendekaan PCA, yaitu menggunakan dua buah matriks X
dan matriks Y (Brereton 2003). Matriks X adalah data asli yang berupa nilai
rekonstruksi reflektans daun kumis kucing yang diperoleh dari pengolahan citra.
Data asli yang digunakan adalah data yang telah dilakukan praproses (data asli
dengan menghilangkan pencilan) dengan ukuran matriks sebesar 66 × 515. Untuk
matriks Y merupakan matriks respon untuk tiap daerah tanaman kumis kucing dan
matriks datanya sebesar 66 × 3. Salah satu daerah diberi respons nilai 1, maka
sampel dengan daerah lainnya akan diberi nilai respon 0. Dari kedua matriks
tersebut dibuatlah model kalibrasi daun kumis kucing daerah Cigombong, Nagrak,
dan Pacet.
Dalam penelitian ini, untuk pembuatan model digunakan teknik validasi
silang. Dasar dari teknik ini adalah kemampuan prediksi suatu model dari data
dapat diujikan untuk memprediksi sisa data (Brereton 2003). Untuk kebaikan
model dalam PLSDA dapat dilihat dari nilai korelasi (R2), galat kalibrasi akar
rerata kuadrat (RMSEC) dan galat prediksi akar rerata kuadrat (RMSEP). Suatu
model PLS dikategorikan sebagai model yang dapat dipercaya bila nilai parameter
yang dihasilkan, antara lain berupa nilai korelasi dan nilai galat, serupa untuk
setiap tahapan pembuatan model. Nilai R2 harus bernilai tinggi sedangkan
galatnya bernilai rendah (Baranska et al. 2005). Parameter tersebut dapat dilihat
pada Tabel 5 (Lampiran 3).

12

Tabel 5 Kriteria kebaikan model PLSDA
Kalibrasi

Prediksi

Sampel
R2

RMSEC

R2

RMSEP

Cigombong

0.8395

0.1874

0.8051

0.2096

Nagrak

0.8185

0.2036

0.7779

0.2310

Pacet

0.7603

0.2290

0.7392

0.2403

Nilai R2 kalibrasi dari model PLSDA diperoleh berkisar 0.7603 sampai
0.8395. Nilai R2 ini masih tergolong cukup baik jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya dengan teknik pengolahan citra yang sama. Model PLSDA
daun sambiloto diperoleh rerata R2 sebesar 0.8126 (Purnamasari 2013) dan model
PLSDA daun jati belanda diperoleh sebesar 0.8326 (Noviyanti 2013). Nilai galat
kalibrasi (RMSEC) dan galat prediksi (RMSEP) untuk semua daerah diperoleh
nilai mendekati 0. Menurut Brereton (2003), kebaikan model ini dapat dilihat dari
nilai R2 mendekati 1 dan galat sangat kecil atau mendekati 0. Oleh karena itu,
model ini masih dapat dipercaya untuk dijadikan model prediksi tanaman kumis
kucing.
Model PLSDA tersebut digunakan untuk memprediksi dan
mengklasifikasikan sampel daun kumis kucing daerah Cigombong, Nagrak, dan
Pacet. Sampel yang digunakan adalah sampel yang tidak digunakan dalam
pembentukan model. Proses perlakuan sampel ini sama dengan sampel daun
kumis kucing yang digunakan untuk pembuatan model PLSDA. Jumlah sampel
yang diprediksi sebanyak 6 sampel daun untuk setiap daerahnya. Hasil
rekonstruksi reflektans daun kumis kucing dengan pengolahan citra dimasukkan
kedalam model PLSDA yang telah dibuat. Data prediksi sampel tiap daerah dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Persentase ketepatan antara nilai referensi dan nilai prediksi daun kumis
kucing mutu daerah Cigombong, Nagrak, dan Pacet dapat dilihat pada Tabel 6.
Nilai prediksi tersebut diperoleh dari model prediksi PLSDA yang telah dibuat
sebelumnya. Nilai referensi adalah nilai yang digunakan sebagai respon untuk
membuat model. Tanda (√) menunjukkan bahwa sampel yang diprediksi memiliki
nilai prediksi yang dekat dengan nilai referensinya, yaitu mendekati 1, sedangkan
tanda (x) menunjukkan nilai prediksi jauh dengan nilai referensinya. Dari 6
sampel daun kumis kucing yang diprediksi mutu daerah Pacet ketika diregresikan
dengan model PLSDA daun kumis kucing daerah Pacet dan Nagrak terdapat 3
sampel yang memiliki nilai prediksi jauh dari nilai referensinya dan ditandai
dengan nilai ketepatan sebesar 83.33%. Kesalahan prediksi tersebut dapat terjadi
karena faktor waktu pemanenan yang kurang tepat, dan proses pengambilan citra
yang kurang baik.

13

Tabel 6 Persentase ketepatan antara nilai referensi dengan nilai perkiraan daun
kumis kucing daerah Cigombong (C), Nagrak (N), dan Pacet (P)
Mutu sampel
(daerah)
Model PLSDA
Cigombong

C C C C C C N N N N N N P P P P P P Ketepatan
(%)
Nilai referensi
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Nilai
√ √ √ √ √ x √ √ x √ √ √ √ √ √ √ √ √
prediksi

88.89

Nilai referensi

Ketepatan
(%)
0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
Nagrak

Nilai
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x x
prediksi
Nilai referensi
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1

Pacet

Nilai
√ √ √ √ √ √ √ x √ √ √ √ √ √ √ x x √
prediksi

88.89
Ketepatan
(%)
83.33

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kendali mutu daun kumis kucing dengan menggunakan metode pencitraan
spektral yang dikombinasikan dengan teknik pengenalan pola secara kemometrik
(PCA dan PLSDA) sudah dapat membedakan keragaman mutu daun kumis
kucing berdasarkan perbedaan daerah, yaitu Cigombong, Nagrak, dan Pacet. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sampel daerah Nagrak memiliki karakteristik
mutu yang lebih baik daripada daerah lainnya.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan metode
pencitraan spektral menggunakan kamera digital. Selain itu, diperlukan
pengoptimuman kondisi pengambilan citra yang baik.

14

DAFTAR PUSTAKA
Adzkiya MAZ. 2006. Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) pada berbagai masa tanam dan perlakuan
budidaya tanam. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Mariam A. 2006. HPLC and HPTLC
densiometric determination of andrographolides and antioxidant potential of
Andrographis paniculata. J. Food Comp. Anal. 19:118-126.
Anuradha VE. Jaleel CA, Salem MA, Gomathinayagam M, Panneerselvam R.
2010. Plant growth regulators induced changes in antioxidant potential and
andrographolide content in Andrographis paniculata Wall.ex Nees. J.
Pestic. Biochem. Phys. 98:312-316.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia vol. 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.
Baranska W et al. 2005. Quality control of Harpagophytum procumbens and its
related phytopharmaceutical products by means of NIRT-FT-Raman
spectroscopy. Biopolymers 77:1-8.
Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, Scarminio IS. 2007. Mixture design for the
fingerprint optimization of chromatographic mobile phase and extraction
solution for Camellia sinensis. J. Anal. Chim. Acta 595:28-37.
Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and
Chemical Plant. England: John Willey & Sons.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor (ID):
BPS Kabupaten Bogor
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Pacet dalam Angka. Cianjur (ID):
BPS Kabupaten Bogor
[BPTP]
Balai
Penelitian
Teknologi
Pembenihan.
2012.
Nagrak.
http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id/index.php/pages/nagrak (2 Februari
2013)
Chew KK, Khoo MZ, Ng SY, Thoo YY, Wan Aida, WM, Ho CW. 2011. Effect
of ethanol concentration, extraction time and extraction temperature on the
recovery of phenolic compounds and antioxidant capacity of Orthosiphon
stamineus extracts. Int. Food Res. J. 18(4): 1427-1435.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal
Indonesia Edisi Ke-1. Jakarta: Departemen kesehatan Republik Indonesia.
Fathniyah VEF. 2011. Pengembangan Fotometer Jinjing untuk Kendali Mutu
Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza). [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
Gowen AA, CP O’Donnell, PJ Cullen, SEJ Bell. 2008. Recent applications of
chemical imaging to pharmaceutical process monitoring and quality control.
Eur. J. Pharm. Biopharm. 69:10–22.
Kunle OF, Egharevba HO, Ahmadu PO. 2012. Standardization of herbal medicine
–a review. Int. J. Biodivers. Conserv. 4(3):101-112.

15

Kurniawan MF. 2012. Kendali mutu daun jati belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk.) menggunakan fotometer jinjing dan teknik pengenalan pola.
[skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor.
Lai SZ et al. 2011. Qualitative and quantitative analysis of alkaloids in cortex
phellodendri by HPLC-ESI-MS/MS and HPLC-DAD.Chem. Res. Chinese
Universities 27(1): 38-44.
Liang YZ, Xie P, Chan K. 2004. Quality control of herbal medicines. J.
Chromatogr. 812:53-70.
Marlina E. 2013. Aplikasi kemometrik untuk kendali mutu kumis kucing
(Orthosiphon aristatus). [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Institut
Pertanian Bogor.
Miller JC, Miller JN. 2000. Statistic and Chemometrics for Analytical Chemistry.
Ed ke-4. Harlow: Pearson education.
Noviyanti YR. 2013. Kendali mutu daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
menggunakan pengolahan citra dan teknik pengenalan pola secara
kemometrik. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor.
Orava J, Jussi P, Markku HK, Paula H, Atte von W. 2012. Temporal clustering of
minced meat by RGB- and spectral imaging. J. Food Eng. 112:112–116.
Prapanza I, Marianto LA. 2003. Khasiat dan manfaat sambiloto: Raja Pahit
Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: PT Agromedia pustaka.
Purnamasari A. 2013. Kendali mutu daun sambiloto (Andrographis paniculata)
menggunakan pengolahan citra dan teknik pengenalan pola secara
kemometrik. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor.
Sembiring BS, Rizal M, Suhirman S. 2012. Budidaya dan Pascapanen Kumis
Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) Leaflet. Balai Penelitian dan
Pengembangn Pertanian, Pusat Penelitian dan Perkebunan, Balittro.
Shatilova Y. 2008. Color image technique in fish research. [thesis]. Finland:
Department of Computer Science University of Joensuu.
Singh SK, Jha SK, Chaudhary, Yadava RDS, Rai SB. 2010.Quality control of
herbal medicines by using spectroscopic techniques and multivariate
statistical analysis. Pharmaceut Biol 48:134-141.
Sim CO. Hamdan MR. Ismail Z. Ahmad MN. 2004. Assessment of herbal
medicines by chemometrics-assisted interpretation of FTIR spectra. J. Anal.
Chim. Acta.
Skoog DA, Donald MW, F James Holler, Stanley RC. 2004. Fundamentals of
Analytical Chemistry. Ed ke-8. Canada: Brooks Cole.

16

LAMPIRAN
Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Daun Kumis
Kucing
Pemanenan

Cigombong

Pacet

Nagrak
Analisis

Ekstrak daun
kumis kucing
Analisis

Kadar
Sinensetin

Prediksi
sampel

Pengambilan citra
daun

Pengolahan citra
daun

Pengumpulan data
spektral reflektan

Analisis PCA dan
PLSDA

17

Lampiran 2 Data perkebunan dan kondisi geografis
Nama Kebun
Kebun Kumis
Kucing Organik

Kecamatan
Cigombong

Keterangan
Kampung
Ciwaluh, Desa
Watesjaya, Kab.
Bogor

Kebun Budidaya Nagrak
Kumis Kucing

Desa Kalaparea,
Kab. Sukabumi

Kebun Balithi

Jl CiherangSagunung, Kab.
Cianjur

Pacet

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur
Balai Penelitian Teknologi Pembenihan

Kondisi Geografis
Lahan daratan dan
berbukit, ketinggian
500-700 mdpl, curah
hujan 2.150-2.650
mm/tahun dan suhu
24C-31C
Ketinggian 400
mdpl, curah hujan
241mm/bulan,
kelembapan 82.3%,
suhu udara 26-28C
Dataran tinggi,
ketinggian 1100
mdpl,curah hujan
3000-3500
mm/bulan, suhu
udara  20C

18

Lampiran 3 Prediksi vs referensi PLSDA daun kumis kucing daerah Cigombong
(a), Nagrak (b), dan Pacet (c)

(a)

(b)

(c)

19

Lampiran 4 Data prediksi sampel dengan model PLSDA daun kumis kucing
daerah Cigombong, Nagrak, dan Pacet
Model PLSDA

Cigombong

Nagrak

Sampel
Ulangan Nilai prediksi Nilai referensi
Cigombong
1
1.0435
1
2
0.9987
1
3
0.7029
1
4
0.6907
1
5
1.0253
1
6
1.6334
1
Nagrak
1
-0.1396
0
2
-0.0635
0
3
0.7942
0
4
-0.0597
0
5
-0.0316
0
6
-0.1237
0
Pacet
1
0.0530
0
2
0.0676
0
3
0.2526
0
4
-0.1145
0
5
-0.0229
0
6
0.5578
0
Cigombong
1
0.1168
0
2
0.1197
0
3
0.1083
0
4
-0.3151
0
5
-0.0182
0
6
-0.1000
0
Nagrak
1
0.5806
1
2
1.1190
1
3
1.3075
1
4
1.2995
1
5
0.6508
1
6
0.6499
1
Pacet
1
0.0996
0
2
0.2204
0
3
0.2424
0
4
0.0960
0
5
0.6919
0
6
0.5618
0

20

Cigombong

Nagrak

Pacet

Pacet

1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6

-0.1789
-0.0972
-0.3608
0.2507
-0.3988
-0.1960
-0.2298
0.9363
-0.1877
-0.1997
-0.2978
-0.2621
1.3529
1.3814
0.9471
0.2904
0.5239
0.7272

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Tangerang pada tanggal 29 Juli 1991. Penulis merupakan
anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mista dan Ibu Siti
Rohmah. Penulis memiliki 2 orang adik bernama Siti Nurul Aeni dan Muhamad
Khair Miftahudin. Penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 11
Kabupaten Tangerang pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif di beberapa kepanitiaan, Klub
Badminton, dan Futsal IPB pada tahun 2008/2010. Penulis pernah mendapatkan
beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2008/2009 dan
beasiswa KSE (Karya Salemba Empat) pada tahun 2010/2012. Pada bulan JuliAgustus 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Perhutani,
Bandung dengan judul Kendali Mutu Getah Pinus (Pinus merkusii) menjadi
Gondorukem dan Terpentin.