Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim Anti-inflamasi Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN UJI STABILITAS FISIK SEDIAAN

KRIM ANTI-INFLAMASI EKSTRAK ETANOL 70%

HERBA KUMIS KUCING

(

Orthosiphon stamineus

Benth.)

SKRIPSI

RISHA NATASYA ANDRIANI

1112102000024

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2016


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN UJI STABILITAS FISIK SEDIAAN

KRIM ANTI-INFLAMASI EKSTRAK ETANOL 70%

HERBA KUMIS KUCING

(

Orthosiphon stamineus

Benth.)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

RISHA NATASYA ANDRIANI

1112102000024

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Risha Natasya Andriani Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim Anti-inflamasi Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Herba kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) merupakan tanaman herbal yang berpotensi memiliki aktivitas anti-inflamasi karena mengandung senyawa flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak herba kumis menjadi sediaan krim. Krim dibuat dalam 3 formula dengan memvariasikan konsentrasi asam stearat yaitu krim F1 (12%), F2 (13%), dan F3 (14%). Evaluasi stabilitas fisik sediaan krim dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan di suhu ruang (26 ± 2oC) dan di suhu tinggi (40oC) dengan parameter pengujian meliputi organoleptis, homogenitas, pH, viskositas dan sifat alir, sentrifugasi, cycling test, pengukuran daya sebar, dan pengukuran ukuran diameter globul rata-rata. Hasil menunjukkan bahwa krim F3 yang memiliki konsentrasi asam stearat paling tinggi memiliki konsistensi yang lebih kental dan kaku. Variasi konsentrasi asam stearat mempengaruhi stabilitas fisik krim selama 3 minggu penyimpanan. Dari segi organoleptis, homogenitas, dan uji sentrifugasi semua krim stabil setelah 3 minggu penyimpanan karena tidak mengalami perubahan. Peningkatan konsentrasi asam stearat menyebabkan penurunan viskositas krim sehingga daya sebar meningkat dan ukuran diameter globul rata-rata krim menurun selama 3 minggu penyimpanan. Nilai pH dan ukuran diameter globul rata-rata semua krim masih berada dalam rentang normal yang diharapkan. Hasil analisis data menggunakan One-Way ANOVA memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang bermakna terhadap variasi konsentrasi asam stearat dan lama penyimpanan pada pengujian pH, viskositas, dan ukuran diameter globul rata-rata (p >0,05). Pengujian daya sebar pada suhu 26 ± 2oC menunjukkan perbedaan yang bermakna pada formula 1 dan 3 (p <0,05) sedangkan pengujian daya sebar pada suhu 40oC tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p >0,05). Kata kunci : Ekstrak herba kumis kucing, krim, Orthosiphon stamineus Benth.,


(7)

ABSTRACT

Name : Risha Natasya Andriani Program Study : Pharmacy

Title : Formulation and Physical Stability Test of Anti-inflammatory Cream Containing 70% Ethanolic Kumis Kucing Herb Extract (Orthosiphon stamineus Benth.)

Kumis kucing herb (Orthosiphon stamineus Benth.) is one of herbal medicine that has an anti-inflammatory activity due to the content of flavonoid. This research aimed to formulate Kumis Kucing Herb Extract into a cream. Creams were made with various concentration of stearic acid, they are F1 (12%), F2 (13%), and F3 (14%). Physical stability evaluation was done at room temperature ((26 ± 2oC) and high temperature (40oC) for three weeks based on organoleptic, homogeneity, pH, viscosity and rheology, spreadability, droplets size, centrifugation, and cycling test. The result showed that the consitency of cream F3 was thick and stiff related with the highest stearic acid concentration. variation of stearic acid concentration affected their physical stability after three weeks stored. All creams are stable based on their organoleptic, homogeneity, and centrifugation. Increasing of stearic acid concentration would decrease the viscosity of cream so that spreadability increases and droplets size decreases during three weeks storage. The pH and droplets size are still within the normal value. The result of One-Way ANOVA analysis showed that was not significantly different between the various concentration of stearic acid and storage time for pH, viscosity, and droplets size. Spreadability at 26 ± 2oC showed that was significantly different for F1 and F3 preparation (p <0.05), meanwhile, spreadability at 40oC was not significantly different (p >0.05).

Keywords : Cream, kumis kucing herb extract, Orthosiphon stamineus Benth., physical stability


(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya sehingga dengan seizin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Formulasi dan Uji Stabilitas

Fisik Sediaan Krim Anti-inflamasi Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)”. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan kebenaran dan suri tauladan kepada umatnya.

Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini telah memperoleh bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Arif Sumantri S.KM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nelly Suryani, PhD., M.Si., Apt dan Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan meluangkan banyak waktu untuk memberikan ilmu, bimbingan, arahan, dan motivasi selama penelitian hingga penulisan skripsi.

4. Bapak Drs. Umar Mansyur, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan dukungan selama masa perkuliahan.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar serta karyawan yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

6. Kedua orangtua tercinta, Ibunda Eris Defita dan Ayahanda Haryadi yang selalu ikhlas memberikan cinta dan kasih sayang, dukungan, pengorbanan, serta doa yang tak pernah putus untuk penulis.

7. Kedua adikku tersayang Ridwan Nugraha dan Alwan Harris Alfarizi serta keluarga besar yang selalu mendoakan, membantu, menghibur dan memberi semangat kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat “CA” Afina Almas, Khoirun Nisak, Nisa Utami, Annissa Fadilla, Moethia, Zakiyah Zahra, Putri Wulandari, Azmi Indillah, Lailatul Khotimah, Endang Suryani, Aprilia Intan, Dian Aulia yang selalu mewarnai kehidupan perkuliahan penulis, yang selalu memberikan dukungan dan bantuan serta menjadi tempat berbagi dalam suka maupun duka.

9. Sahabat-sahabat yang selalu membantu dan menjadi tempat berbagi selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi, Siti Windi Hariani, Lilis Hermawati, Fenny Delfiyanti, Noni Tri Utami, Ade Rachma, Nurul Fitri, Gadis Fujiastuti, Denny Bachtiar, Nur Khasanah.

10. Sahabat-sahabat semasa sekolah dulu yang selalu ada mendengar keluh kesah dan menghibur penulis disaat penat, Fairuz Thifal, Atthina Ayu, Ika Fitriyana, Prisca Rety Wandari, Happy Serevia Adisty, Tiara Desfita, Debie Maya Puspita.

11. Teman-teman seperjuangan Farmasi 2012, khususnya kelas AC atas kebersamaan dan kebaikannya selama masa perkuliahan.

12. Keluarga besar HMPS Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2015 yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis. 13. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Eris, Kak Lisna, Kak

Suryani, Kak Tiwi, Mba Rani, Kak Walid, Kak Rahmadi yang telah membantu penulis selama penelitian.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi hingga selesai, yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.


(10)

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 8 Agustus 2016


(11)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Risha Natasya Andriani NIM : 1112102000024

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

FORMULASI DAN UJI STABILITAS FISIK SEDIAAN KRIM ANTI-INFLAMASI EKSTRAK ETANOL 70% HERBA KUMIS KUCING

(ORTHOSIPHON STAMINEUS BENTH.)

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 8 Agustus 2016 Yang menyatakan,


(12)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Tanaman Kumis Kucing ... 5

2.1.1. Klasifikasi Tanaman ... 5

2.1.2. Nama Latin ... 6

2.1.3. Nama Tanaman di Wilayah Lain ... 6

2.1.4. Ekologi ... 6

2.1.5. Morfologi ... 6

2.1.6. Kandungan Kimia ... 7

2.1.7. Efek Farmakologis ... 7

2.2. Ekstraksi ... 8

2.2.1. Pengertian ekstraksi ... 8

2.2.2. Metode ekstraksi ... 9

2.2.2.1. Ekstraksi Cara Dingin ... 9

2.2.2.2. Ekstraksi Cara Panas ... 10

2.2.2.3. Teknik Ekstraksi Lain ... 11

2.3. Kulit ... 11

2.3.1. Anatomi Fisiologi Kulit ... 11

2.3.2. Lapisan Kulit ... 13

2.3.3. Penetrasi Obat Melalui Kulit ... 14

2.3.3.1. Mekanisme Transepidermal ... 14

2.3.3.2. Mekanisme Transappendageal... 15

2.4. Krim ... 15

2.4.1. Definisi Krim ... 15

2.4.2. Tipe Krim ... 16

2.4.3. Formulasi Krim ... 17


(13)

2.4.3.2. Asam Stearat ... 18

2.4.3.3. Trietanolamin ... 18

2.4.3.4. Gliserin ... 19

2.4.3.5. Metil Paraben ... 19

2.4.3.6. Propil Paraben ... 20

2.4.3.7. Aquades ... 21

2.4.4. Stabilitas Krim ... 21

2.5. Inflamasi ... 24

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 27

3.2.1. Bahan Penelitian ... 27

3.2.2. Alat Penelitian ... 28

3.3. Prosedur Penelitian ... 28

3.3.1. Pemeriksaan Flavonoid Ekstrak Herba Kumis Kucing .. 28

3.3.2. Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Herba Kumis Kucing . 28 3.3.3. Evaluasi Fisik Sediaan Krim ... 29

3.3.3.1.Pengamatan Organoleptis... 29

3.3.3.2.Pengujian Homogenitas ... 29

3.3.3.3.Pengukuran pH ... 30

3.3.3.4.Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir ... 30

3.3.3.5.Pemeriksaan Daya Sebar ... 30

3.3.3.6.Pengukuran Diameter Globul Rata-rata ... 31

3.3.3.7.Pengujian Sentrifugasi ... 31

3.3.3.8.Pengujian Cycling Test ... 31

3.3.4. Analisis Data ... 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Hasil Pemeriksaan Flavonoid Ekstrak Herba Kumis Kucing .. 32

4.2. Hasil Formulasi Sediaan Krim ... 33

4.3. Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Krim ... 34

4.3.1. Hasil Pengamatan Organoleptis Sediaan Krim ... 35

4.3.2. Hasil Pengamatan Homogenitas Sediaan Krim ... 36

4.3.3. Hasil Pengukuran pH Sediaan Krim ... 37

4.3.4. Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir ... 38

4.3.5. Hasil Pengukuran Daya Sebar Sediaan Krim ... 40

4.3.6. Hasil Pengukuran Diameter Globul Rata-rata Krim ... 42

4.3.7. Hasil Pengujian Sentrifugasi ... 43

4.3.8. Hasil Pengujian Cycling Test ... 44

BAB 5 SARAN DAN KESIMPULAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Tanaman Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)... 5

Gambar 2.2 Penampang Struktur Kulit ... 12

Gambar 2.3 Struktur Setil Alkohol ... 17

Gambar 2.4 Struktur Asam Stearat ... 18

Gambar 2.5 Struktur Trietanolamin... 19

Gambar 2.6 Struktur Gliserin ... 19

Gambar 2.7 Struktur Metil Paraben ... 20

Gambar 2.8 Struktur Propil Paraben ... 21

Gambar 4.1 Hasil Pemeriksaan Kandungan Flavonoid ... 32

Gambar 4.2 Hasil Uji Cycling Test ... 45

Gambar 6.1 Sifat Alir Minggu 0 ... 60

Gambar 6.2 Sifat Alir F1 Penyimpanan Suhu26 ± 2oC ... 60

Gambar 6.3 Sifat Alir F2 Penyimpanan Suhu 26 ± 2oC ... 61

Gambar 6.4 Sifat Alir F3 Penyimpanan Suhu 26 ± 2oC ... 61

Gambar 6.5 Sifat Alir F1 Penyimpanan Suhu 40oC ... 62

Gambar 6.6 Sifat Alir F2 Penyimpanan Suhu 40oC ... 62

Gambar 6.7 Sifat Alir F1 Penyimpanan Suhu 40oC ... 63


(15)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Kandungan Kimia Tanaman Kumis Kucing ... 7

Tabel 3.1 Data Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing ... 27

Tabel 3.2 Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Herba Kumis Kucing .... 28

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis Penyimpanan Suhu26 ± 2oC ... 36

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Organoleptis Penyimpanan Suhu40oC ... 36

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Homogenitas Sediaan Krim... 37

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran pH Sediaan Krim ... 37

Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Viskositas Sediaan Krim ... 39

Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Daya Sebar ... 41

Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Diameter Globul Rata-rata Sediaan Krim ... 42

Tabel 4.8 Hasil Pengujian Sentrifugasi Sediaan Krim ... 44

Tabel 4.9 Hasil Pengujian Cycling Test ... 44

Tabel 6.1 Tabel Pengamatan Homogenitas ... 56

Tabel 6.2 Tabel pH Krim Suhu 26 ± 2oC ... 57

Tabel 6.3 Tabel pH Krim Suhu 40oC ... 57

Tabel 6.4 Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir Minggu 0 ... 58

Tabel 6.5 Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir Minggu 1 ... 58

Tabel 6.6 Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir Minggu 2 ... 58

Tabel 6.7 Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir Minggu 3 ... 59

Tabel 6.8 Luas Daya Sebar Krim F1 Suhu 26 ± 2oC (cm2) ... 64

Tabel 6.9 Luas Daya Sebar Krim F2 Suhu 26 ± 2oC (cm2) ... 64

Tabel 6.10 Luas Daya Sebar Krim F3 Suhu 26 ± 2oC (cm2) ... 65

Tabel 6.11 Luas Daya Sebar Krim F1 Suhu 40oC (cm2) ... 65

Tabel 6.12 Luas Daya Sebar Krim F2 Suhu 40oC (cm2) ... 66

Tabel 6.13 Luas Daya Sebar Krim F3 Suhu 40 oC (cm2) ... 66

Tabel 6.14 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 26 ± 2oC Minggu 0 ... 67

Tabel 6.15 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 26 ± 2oC Minggu 1 ... 67

Tabel 6.16 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 26 ± 2oC Minggu 2 ... 67

Tabel6.17 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 26 ± 2oC Minggu 3 ... 68

Tabel 6.18 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 26 ± 2oC Minggu 0 ... 68

Tabel 6.19 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 26 ± 2oC Minggu 1 ... 68

Tabel 6.20 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 26 ± 2oC Minggu 2 ... 69

Tabel 6.21 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 26 ± 2oC Minggu 3 ... 69

Tabel 6.22 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 26 ± 2oC Minggu 0 ... 69

Tabel 6.23 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 26 ± 2oC Minggu 1 ... 70

Tabel 6.24 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 26 ± 2oC Minggu 2 ... 70

Tabel 6.25 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 26 ± 2oC Minggu 3 ... 70

Tabel 6.26 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 40oC Minggu 0 ... 71

Tabel 6.27 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 40oC Minggu 1 ... 71

Tabel 6.28 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 40oC Minggu 2 ... 71

Tabel 6.29 Diameter Globul Rata-rata F1 Suhu 40oC Minggu 3 ... 72

Tabel 6.30 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 40oC Minggu 0 ... 72

Tabel 6.31 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 40oC Minggu 1 ... 72


(16)

Tabel 6.33 Diameter Globul Rata-rata F2 Suhu 40oC Minggu 3 ... 73

Tabel 6.34 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 40oC Minggu 0 ... 73

Tabel 6.35 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 40oC Minggu 1 ... 74

Tabel 6.36 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 40oC Minggu 2 ... 74

Tabel 6.37 Diameter Globul Rata-rata F3 Suhu 40oC Minggu 3 ... 74


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 GambarAlat Penelitian ... 53

Lampiran 2 Hasil Pengamatan Organoleptis ... 54

Lampiran 3 Hasil Pengamatan Homogenitas ... 56

Lampiran 4 Data Hasil Pengujian pH... 57

Lampiran 5 Data Hasil Pengukuran Viskositas dan Sifat Alir ... 58

Lampiran 6 Data Hasil Pengukuran Daya Sebar ... 64

Lampiran 7 Data Hasil Pengukuran Diameter Globul Rata-rata ... 67

Lampiran 8 Hasil Pengamatan Sentrifugasi ... 75

Lampiran 9 Hasil Statistik pH Krim ... 76

Lampiran 10 Hasil Statistik Viskositas Krim ... 78

Lampiran 11 Hasil Statistik Daya Sebar Krim ... 80

Lampiran 12 Hasil Statistik Ukuran Diameter Globul Rata-rata Krim ... 83

Lampiran 13 Sertifikat Analisis Asam Stearat ... 86

Lampiran 14 Sertifikat Analisis Trietanolamin ... 87

Lampiran 15 Sertifikat Analisis Gliserin ... 88


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi penggunaan tanaman obat di Indonesia sangat berkembang pesat. Dari kurang lebih 40.000 jenis tanaman, 1300 diantaranya sudah digunakan sebagai tanaman obat (Muktiningsih et al., 2001). Salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth,). Tanaman kumis kucing merupakan tanaman yang tumbuh luas di daratan Asia Tenggara seperti di negara Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Myanmar. Secara empirik, kumis kucing digunakan dalam pengobatan batu empedu, batu ginjal, diabetes, edema, epilepsi, demam, hepatitis, hipertensi, dan rematik (Koay dan Amir, 2012). Pada awal abad ke 20, peneliti di Eropa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat tanaman ini karena tanaman ini mudah dibudiayakan dan banyak tumbuh di lingkungan sekitar (Himani et al., 2013).

Tanaman kumis kucing memiliki metabolit sekunder seperti terpenoid (diterpen dan triterpen), polifenol, flavonoid, sterol dan minyak esensial (Hossain dan Rahman, 2011). Dari senyawa yang dikandungnya, kumis kucing memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, anti inflamasi, antifungi, dan mempunyai fungsi hepatoprotektif (Himani et al., 2013). Flavonoid yang terkandung dalam tanaman ini diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi (Shin et al., 2012). Aktivitas antiinflamasi terjadi karena cincin benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid berikatan dengan enzim siklooksigenase dan lipooksigenase (Narayana

et al., 2001).

Infusa herba kumis kucing diketahui memiliki daya antiinflamasi yang diujikan pada tikus putih jantan galur Wistar dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20% (Anindhita, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Prayoga (2008) menunjukan bahwa ekstrak etanol 70% daun kumis kucing dapat menghambat inflamasi lebih dari 50%. Pada penelitian lain menunjukan bahwa kandungan flavoinod seperti sinensetin, eupatorin, dan eupatorin-5-metil ether (TMF)


(19)

memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin dan mengurangi produksi nitrit oksida (NO) (Yam et al., 2010).

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, penelitian mengenai manfaat dan aktivitas farmakologis tanaman kumis kucing juga semakin banyak. Akan tetapi, sejauh ini masyarakat hanya memanfaatkan tanaman kumis kucing secara tradisional seperti untuk pengobatan rematik, batu ginjal, dan memperlancar pengeluaran air seni yang dikonsumsi dalam bentuk infusa (air rebusan) dan kapsul. Dengan memanfaatkan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antiinflamasi, maka pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan sediaan topikal semi solid yang ditujukan untuk antiinflamasi. Inflamasi merupakan respon protektif tubuh terhadap cedera jaringan yang ditandai dengan kemerahan, pembengkakan, rasa panas, dan nyeri. Penggunaan sediaan topikal yang mengandung ekstrak herba kumis kucing diharapkan dapat mencegah terjadinya inflamasi karena penghantarannya memiliki keuntungan dibanding bentuk sediaan oral yaitu dapat meningkatkan kepatuhan pasien, mudah dihentikan penggunaannya jika terjadi efek yang tidak diinginkan, dan dapat langsung menghantarkan obat ke kulit yang mengalami kelainan atau cedera jaringan (Chien et al., 2002).

Sediaan semisolid yang akan dibuat pada penelitian ini adalah krim dengan tipe minyak dalam air ekstrak etanol 70% herba kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.). Krim merupakan sediaan topikal setengah padat dengan sistem emulsi yang dapat bercampur dengan sekresi kulit, sediaan krim dapat diaplikasikan pada kulit atau membran mukosa sebagai efek terapeutik, pelindung atau profilaksis yang tidak membutuhkan efek oklusif (Marriot, John, et al., 2010). Krim juga sebagai bahan pembawa substansi obat pada pengobatan kulit, sebagai bahan pelembab, dan pelindung kulit dengan mencegah kontak antara permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsangan kulit (Anief, 2000). Sediaan krim tipe minyak dalam air dapat memberikan efek hidrasi pada kulit. Efek hidrasi dapat meningkatkan permeabilitas kulit sehingga penetrasi obat meningkat. Sediaan krim dengan tipe minyak dalam air dipilih karena mudah diaplikasikan pada bagian tubuh, lebih nyaman dikulit dan tidak lengket, memberikan efek melembabkan kulit serta mudah dicuci dengan air dibanding


(20)

sediaan topikal semi solid lain (salep, gel, dan pasta) (Hendradi et al., 2013). Sediaan krim terdiri dari dua fase cairan yang tidak dapat menyatu, dimana salah satu fase terdispersinya sebagai tetesan seragam di dalam fase lainnya.

Penggunaan emulgator dapat berfungsi untuk menyatukan dan menstabilkan krim tersebut. Emulgator akan menurunkan tegangan antar muka antara fase terdispersi dan pendispersi serta mengelilingi cairan yang terdispersi membentuk suatu lapisan tipis. Lapisan ini dapat mencegah terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali fase terdispersi. Pemilihan jenis emulgator dengan konsentrasi yang tepat dapat menghasilkan basis krim yang baik dan stabil. Beberapa literatur menunjukan bahwa kombinasi asam stearat dan trietanolamin (TEA) sebagai emulgator pada konsentrasi tertentu dapat menghasilkan krim yang stabil dan membentuk basis yang kental (Rowe et al., 2009 ; Wardiyah, 2015). Asam stearat merupakan salah satu komponen fase minyak. Penggunaan asam stearat yang tidak tepat dapat menghasilkan konsistensi basis krim yang encer atau keras dan dapat merubah warna menjadi lebih gelap sehingga menimbulkan rasa kurang nyaman (Dini, 2015). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh variasi konsentrasi asam stearat yang dapat menghasilkan formulasi krim ekstrak etanol 70% herba kumis kucing yang memenuhi syarat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol 70% herba kumis kucing dapat diformulasikan menjadi sediaan krim yang stabil selama proses penyimpanan?

2. Bagaimana stabilitas fisik krim ekstrak etanol 70% herba kumis kucing yang mengandung variasi konsentrasi asam stearat selama penyimpanan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memformulasikan sediaan krim tipe M/A ekstrak etanol 70% herba kumis kucing yang stabil secara fisik selama jangka waktu proses penyimpanan dengan menggunakan emulgator yang sesuai.

2. Mengetahui stabilitas fisik sediaan krim ekstrak etanol 70% herba kumis kucing dengan menggunanakan variasi konsentarsi asam stearat.


(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi krim ekstrak herba kumis kucing sebagai antiinflamasi serta diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dari tanaman kumis kucing sehingga semakin banyak masyarakat yang menggunakannya.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kumis Kucing 2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Klasifikasi tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut (Almatar dan Rahmat, 2014)

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tacheobionta Supervision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Asteridae Order : Lamiales Family : Lamiaceae Genus : Orthosiphon

Species : aristatus, labiatus, grandiflorum,

spicatus, stamineus

Gambar 2.1 Tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) (Almatar dan Rahmat, 2014)


(23)

2.1.2 Nama Latin

Tanaman kumis kucing memiliki beberapa sebutan nama latin, diantaranya adalah Orthosiphon stamineus Benth, Orthosiphon aristatus (Blume) Miq, Orthosiphon longiflorum Ham, Orthosiphon grandiflorum et aristatum BL, Orthosiphon spiralis Merr, Orthosiphon grandiflorus Bold (Adnyana et al, 2013).

2.1.3 Nama Tanaman di Wilayah Lain

Di Indonesia tanaman kumis kucing disebut dengan berbagai nama lokal, seperti kumis kucing (Sumatra), kumis ucing (Sunda), bunga laba-laba, remujung, sesalayeyan (Jawa), dan soengot koceng (Madura). Sedangkan di negara lain kumis kucing memiliki nama java tea, cat’s whisker, Indian kidney tea (Inggris), mao xu cao (China), misai kucing, ruku hutan (Malaysia), kabling gubat, kabling parang (Filipina), se-cho, myit-shwe (Myanmar), rau-meo (Vietnam), neko no hige (Jepang), katzenbart (Jerman) dan yaa-nuad-maew, pa-yab-mek (Thailand) (Adnyana et al, 2013).

2.1.4 Ekologi

Tanaman kumis kucing merupakan tanaman yang banyak tumbuh liar di lingkungan sekitar. Tanaman ini banyak ditemukan di negara tropis seperti Asia dan Australia. Kumis kucing dapat dibudi dayakan pada dataran dengan ketinggian 500-1200 mdpl dengan curah hujan lebih dari 3000 mm/tahun. Untuk budi daya, sebaiknya kumis kucing ditanam pada tanah yang subur dan gembur yang memiliki pH 5-7,7, mengandung banyak humus, memiliki aliran air yang baik serta terkena sinar matahari langsung (Herliana, 2013).

2.1.5 Morfologi

Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi mencapai hingga 1,5 meter. Memiliki akar tunggang yang kuat. Batangnya berwarna cokelat kehijauan, berkayu, segi empat agak beralur, beruas, bercabang, dan berambut pendek. Bunga majemuk berwarna ungu pucat atau putih dengan benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Daunnya berwarna hijau berbentuk tunggal, bulat telur atau memanjang, berambut halus, tepi bergerigi, ujung dan pangkalnya runcing,


(24)

panjang daun 2-10 cm sedangkan lebarnya 1-5 cm. Memiliki buah yang berbentuk bulat telur, buah yang masih muda berwarna hijau sedangkan yang sudah masak berwarna coklat (Dalimartha, 2006).

2.1.6 Kandungan Kimia

Menurut Herbal Medicines 3th edition , tanaman kumis kucing memiliki kandungan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Kandungan Kimia Tanaman Kumis Kucing

Diterpen

Orthosiphonon A dan B ; Orthosiphol A, B, E, F, G, H, I,M, N, P, R, S, T ; Staminol A ; orthosiphol A dan B ; Neo-orthosiphon A ; Norstaminolacton A ; Norstaminol B dan C ; Norstaminone A ; Seco-orthosiphol A, B, C

Benzochromene Orthochromene A ; Methylripariochromene A ; Acetovanillochromene

Flavonoid

Sinensetin ; Tetramethylscutellarein ; Eupatorin ;

5-hydroxy-6,7,3’,4’-tetramethoxyflavon ; 3’-hydroxy-5,6,7,4’ -tetramethoxyflavon ; Salvigenin ; Trimethylapigenin ; Tetramethoxyluteolin

Phenylpropanoid Asam rosmarinat ; caffeoyl tartrat ; dicaffeoyltartrat ; 4

asam dipepsida kafeat

Minyak esensial (0,02-0,7%)

β-caryophyllen ; α-humulen ; β-caryophyllen oksida ; can-2-one ; asam palmitat

Senyawa lain Inositol ; phytosterol (β -sitosterol) ; esculetin (α-coumarin)

; garam potassium

2.1.7 Efek Farmakologis

Tingginya frekuensi penggunaan tanaman kumis kucing sebagai tanaman obat oleh masyarakat terdahulu, membuat penelitian akan manfaatnya berkembang pesat. Telah dilaporkan pada beberapa penelitian bahwa tanaman ini dapat meregulasi kadar gula darah pada pengobatan diabetes, menghambat pembekuan darah dan mempunyai sifat hemolitik yang kuat sehingga dapat menurukan tekanan darah yang berguna untuk pengobatan hipertensi


(25)

Ekstrak etanol daun kumis kucing memiliki daya antiinflamasi pada tikus putih jantan galur Wistar (Prayoga, 2008). Kandungan flavonoid dari ekstrak daun kumis kucing terbukti dapat menghambat sintesis prostaglandin dan nitrit oksida (NO) yang berperan sebagai mediator inflamasi (Yam et al., 2010 dan Laavola et al., 2012). Ekstrak metanol-air (50 : 50) daun kumis kucing dapat menurunkan suhu tubuh (antipiretik) tikus galur Sprague Dawley pada dosis 500 dan 1000 mg/kg BB setelah 4 jam pemberian injeksi subkutan (Yam et al., 2009). Ekstrak metanol daun kumis kucing dilaporkan dapat menghambat aktivitas bakteri Vibrio parahaemolyticus yang banyak terdapat pada makanan (Ho et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Nair et al (2014) juga menunjukan bahwa fraksi dengan berbagai pelarut dari daun kumis kucing mampu menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila, Pseudomonas aeroginosa, dan

Staphylococcus aureus. Ekstrak etanol daun kumis kucing juga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan juga mempunyai aktivitas hepatoprotektif karena dapat menurunkan kadar bilirubin pada tikus yang terkena penyakit jaundice

(Himani et al., 2013). Pada uji toksisitas ekstrak metanol kumis kucing tidak menunjukan adanya abnormal fungsi organ dan kematian pada hewan uji (Yam et al., 2013)

2.2 Ekstraksi

2.2.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penyarian zat kimia yang terdapat dalam bahan alam menggunakan pelarut dan metode yang sesuai. Ekstraksi merupakan teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur (Harun, 2014). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa aktif menggunakan pelarut yang sesuai. Hasil yang didapat dari proses ekstraksi disebut ekstrak.

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Selanjutnya semua atau hampir semua pelarut diuapkan, massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.


(26)

Proses yang terjadi pada saat ekstraksi adalah penetrasi dan disolusi pelarut ke dalam sel tanaman sehingga terjadi pengembangan sel. Setelah itu zat yang terekstraksi berdifusi keluar sel. Proses diatas diharapkan terjadi kesetimbangan antara zat terlarut dan pelarut. Kesetimbangan begantung pada beberapa faktor diantaranya adalah suhu, pH, ukuran partikel, dan gerakan partikel (Emilan et al, 2011)

2.2.2 Metode Ekstraksi

Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa tersebut terhadap terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan mengetahui sifat senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Depkes RI, 2000). Pemilihan metode ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur, kandungan air tanaman yang diekstraksi, dan jenis senyawa yang akan diisolasi (Wardiyah, 2015).

Ditjen POM (2000) membagi metode ekstraksi menggunakan pelarut kedalam dua kelompok, yaitu cara dingin dan cara panas.

2.2.2.1 Ekstraksi Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruang. Ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan pengadukan yang kontinu sehingga disebut juga dengan maserasi kinetik. Remaserasi adalah proses penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000). Maserasi dilakukan pada wadah yang gelap dan tertutup. Metode ekstraksi ini sangat sederhana dan dapat digunakan untuk mengesktraksi zat yang tahan dan tidak tahan pemanasan, akan tetapi kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa hari serta membutuhkan pelarut dalam jumlah banyak.

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian yang sempurna (exhaustive extraction) yang dilakukan pada suhu ruang


(27)

menggunakan alat yang disebut perkolator. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), dan terus-menerus sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000)

2.2.2.2 Ekstraksi Cara Panas

a. Sokletasi

Sokletasi merupakan metode esktraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

b. Refluks

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Pada metode refluks, dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali (Depkes RI, 2000).

c. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruang, pada umunya dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes RI, 2000).

d. Infusa

Infusa merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada suhu 90oC selama 15 menit. Menurut Depkes RI (2000), infusa adalah metode esktraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih dengan temperatur 96-98oC selama 15-20 menit.

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama, yaitu lebih dari 30 menit dan temperatur sampai titik didih air.


(28)

2.2.2.3 Teknik Ekstraksi Lain

a. Supercritical Fluid

pada metode ini, fase gas dapat berfungsi sebagai cairan ketika berada dibawah tekanan. Salah satu contoh gas yang digunakan untuk mengekstraksi adalah karbon dioksida (CO2). Dengan tekanan dan temperatur yang sesuai, akan

diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Setelah tekanan dihilangkan, molekul gas akan menguap dan menghasilkan ekstrak (Depkes RI, 2000).

b. Sonikasi

metode ekstraksi ini memanfaatkan penggunaan getaran gelombang ultrasonik dengan frekuensi lebih dari 20 kHz. Prinsipnya adalah meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menimbulkan kavitasi. Hasil ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran , kapasitas alat, dan lamanya proses ultrasonikasi. Kelemahan ekstraksi dengan metode ini adalah efek yang merusak dari energi ultrasonik yang menyebabkan konstituen tanaman membentuk radikal bebas yang tidak diharapkan (Wardiyah, 2015).

c. Ekstraksi Berkesinambungan

Proses ekstraksi yang dilakukan berulang kali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berturutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi (Depkes RI, 2000).

d. Ekstraksi Energi Listrik

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet, dan

electric-discharges yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik (Depkes RI, 2000).

2.3 Kulit

2.3.1 Anatomi Fisiologi Kulit

Kulit merupakan lapisan terluar tubuh yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh dari berbagai gangguan dan rangsangan luar. Kulit manusia


(29)

memiliki berat 10 kg dengan lemak dan 4 kg jika tanpa lemak. Ketebalan kulit manusia berkisar antara 0,5 mm sampai 5 mm dengan luas permukaan rata-rata 2 m2 (Tranggono dan Latifah, 2007). Variasi tebal kulit manusia tergantung pada letak, umur, dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, kulit bagian medial lengan atas, dan kulit pada kelamin seperti kulit penis dan kulit labia minor. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu, dan bokong (Perdanakusuma, 2007).

Kulit memiliki fungsi sebagai pengatur panas dan sebagai indera peraba. Selain itu, kulit dan jaringan dibawahnya bekerja sebagai tempat penyimpanan air. Jaringan adiposa dibawah kulit befungsi sebagai penyimpanan lemak utama dalam tubuh. Kulit tidak dapat tertembus air, sehingga dapat menghindari kehilangan cairan dari jaringan dan menghindari masuknya air ke dalam tubuh (Pearce, 2011)

Fungsi perlidungan kulit terjadi melalui mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (proses keratinisasi dan pelepasan sel yang telah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi dari bahaya sinar ultraviolet (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar (epidermis) yang merupakan lapisan epitel yang berasal dari ektoderm, dan lapisan dalam (dermis atau korium) berasal dari mesoderm yang merupakan jaringan ikat.

Gambar 2.2 Penampang Struktur Kulit (Gibson, 2002)


(30)

2.3.2 Lapisan Kulit

a. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar yang terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel yang menyusunnya secara berkesinambungan dibentuk oleh sel germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel yang baru kearah permukaan. Epidermis membentuk perisai fisik untuk melindungi tubuh dari ancaman lingkungan. Epidermis mengandung keratinosit yang merupakan tempat pembentukan keratin (Gibson, 2002). Ketebalan epidermis berbeda-beda pada bagian tubuh. Bagian yang paling tebal terdapat pada telapak kaki dan telapak tangan dengan ketebalan 1 mm, sedangkan lapisan yang tipis dengan ketebalan berkisar 0,1 mm terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007).

Lapisan epidermis dari bagian terluar hingga kedalam terbagi menjadi 5 lapisan sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan sel tersebut terdiri dari (Tranggono dan Latifah, 2007) :

 Lapisan Tanduk (stratum corneum )

Lapisan ini sebagian besar terdiri dari keratin, yaitu jenis protein yang tidak larut dalam air. Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, tidak berinti, tidak mengalami metabolisme, tidak berwarna dan hanya mengandung sedikit air karena adanya penguap air, elastisitasnya kecil dan efektif untuk mencegah penguapan air dari lapisan yang lebih dalam. Keratin sangat resisten terhadap zat kimia, sehingga lapisan ini yang berfungsi sebagai proteksi tubuh dari pengaruh luar. Permukaan lapian tanduk dilapisi oleh lapisan pelindung lembab yang tipis dan bersifat asam (mantel asam kulit).

 Lapisan Jernih (stratum lucidum)

Lapisan yang letaknya tepat dibawah lapisan tanduk ini merupakan lapisan tipis, jernih, mengandung eleidin. Lapisan ini sangat jelas terlihat pada bagian kulit yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.

 Lapisan Berbutir (stratum granulosum)

Stratum granulosum terdiri atas sel-sel keratinosit yang berbenttuk poligonal, berbulir kasar, dan berinti mengkerut. Pada lapisan ini terdapat


(31)

logam tembaga yang berfungsi sebagai katalisator proses pertandukan kulit.

 Lapisan Malphigi (stratum spinosum atau malphigi layer)

Stratum spinosum memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri dari serabut protein. Memiliki inti sel yang besar dan berbentuk oval. Pada lapisan malphigi ini, masih ditemukan cairan limfe yang mengelilingi sel-sel dalam lapisan.

 Lapisan Basal (stratum germinativum atau membran basalis)

Lapisan basal merupakan lapisan terbawah epidermis yang mengandung sel-sel melanosit. Sel melanosit berungsi membentuk pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit. Sel melanosit tidak mengalami keratinisasi. Satu sel melanosit melayani sekitar 36 sel keratinosit sehingga disebut dengan unit melanin epidermal.

b. Dermis

dermis atau korium merupakan lapisan kulit bagian dalam yang tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang elastis. Lapisan dermis memiliki ketebalan 2-3 mm. Pada lapisan dermis ditemukan folikel rambut, papila rambut, ujung saraf peraba, pembuluh darah kapiler, kelenjar minyak kulit, dan kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit yang banyak jumlahnya serta sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (hipodermis/subkutis).

2.3.3 Penetrasi Obat Melalui Kulit

Absorbsi obat melalui kulit (absorbsi perkutan) bermula dari luar kulit msuk ke dalam jaringan kulit melewati membran stratum corneum. Faktor fisikokimia obat dalam formulasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi jalur absorbsi. Absorbsi obat melalui stratum corneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui mekanisme transepidermal dan transappendageal.

2.3.3.1 Mekanisme Transepidermal

Mekanisme transepidermal terjadi melalui dua jalur, yaitu transelular dimana transpor molekul menembus membran sel dan jalur paraselular transpor


(32)

molekul melalui celah antar sel. Jumlah obat yang berpenetrasi bergantung dari koefisien partisi suatu obat dalam pembawa dan stratum corneum. Molekul obat yang bersifat hidrofilik cenderung melalui jalur paraselular sedangkan molekul obat bersifat lipofilik melalui jalur transelular (Bhowmick dan Sengodan, 2013). Penetrasi transepidermal terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama merupakan pelepasan obat dari pembawa ke stratum corneum, kemudian terjadi difusi melalui epidermis dan dermis dengan bantuan aliran darah yang terdapat dalam lapisan dermis (Prabawati, 2015).

2.3.3.2 Mekanisme Transappendageal

Pada jalur ini obat akan masuk ke dalam membran melalui folikel rambut dan kelenjar keringat. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dibandingkan jalur transappedageal karena kecilnya luas permukaan pada jalur transappedageal (Prabawati, 2015).

Menurut Barrett (1969), absorbsi secara perkutan dipengaruhi oleh : a. Usia

b. Suhu kulit dan sirkulasi periferal

c. Keadaan kulit (normal atau terjadi inflamasi)

d. Daerah pemberian, frekuensi pemberian, dan waktu kontak obat dengan kulit

e. Derajat hidrasi kulit

f. Perlakuan pada kulit sebelum diberi obat

g. Perbedaan spesies (jika diaplikasikan pada hewan) h. Karakteristik penetrant

i. Molekul pembawa

j. Hubungan penetrant dan pembawa

2.4 Krim

2.4.1 Definisi Krim

Menurut Farmakope Indonesia III, krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia IV, krim


(33)

merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.

Umumnya krim memiliki konsistensi yang lebih ringan dan kurang kental dari salep. Krim juga lebih mudah menyebar di kulit sehingga mudah digunakan, selain itu juga mudah dibersihkan karena sifatnya tidak berminyak. Krim mempunyai estetik lebih besar dari salep dan lebih cepat berpenetrasi ke dalam kulit. Oleh karena itu, penggunaan krim saat ini lebih disenangi daripada penggunaan salep (Ansel, 2011)

Sediaan krim berfungsi sebagai pembawa obat pada pengobatan topikal, selain itu juga banyak digunakan dalam bidang kosmetik seperti krim pelembab dan krim pelindung dari rangsangan luar. Krim diaplikasikan pada kulit yang secara umum sensitivitasnya lebih tinggi dari bagian tubuh lain, sehingga kualitas dan stabilitasnya perlu diperhatikan. Menurut Moh. Anief (2005), sediaan krim harus memenuhi kualitas dasar sebagai berikut :

 Stabil selama penyimpanan pada suhu kamar, dan bebas dari inkompatibilitas.

 Mudah digunakan dan terdistribusi merata pada kulit serta mudah dihilangkan

 Mengandung zat yang lunak, halus dan bercampur sehingga sediaan homogen

 Obat terdistribusi merata pada dasar krim

2.4.2 Tipe Krim

Krim merupakan sistem emulsi yang terdiri dari dua fase cair yang tidak tercampurkan, dimana salah satu fase bersifat polar (misalnya fase air) dan fase lainnya bersifat nonpolar (misalnya fase minyak). Jika fase minyak didispersikan sebagai globul dalam fase kontinu berair, maka sistem tersebut merupakan krim dengan tipe minyak dalam air (m/a) atau oil-in-water (o/w). Krim minyak dalam air mengandung air lebih dari 31%. Tipe ini lebih banyak disukai karena mudah diaplikasikan pada kulit, tidak berminyak, dan mudah dicuci. Sedangkan jika fase air didispersikan kedalam fase kontinu minyak, maka sistem tersebut adalah krim tipe air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o) (Martin, 1983). Krim tipe air


(34)

dalam minyak mengandung air kurang dari 25% dengan minyak sebagai medium pendispersinya. Tipe ini lebih berminyak dibanding tipe m/a saat diaplikasikan pada kulit, sehingga kurang disukai penggunaannya. Untuk memperoleh sediaan yang stabil maka diperlukan adanya bahan pengemulsi saat proses pembuatan. Bahan pengemulsi dapat terlarut dalam kedua fase cairan dan mengelilingi cairan yang terdispersi membentuk titik-titik air mikro yang terlarut dalam medium pendispersi. Bahan pengemulsi yang sering digunakan adalah surfaktan, polimer, maupun kombinasi keduanya (Asmara et al., 2012).

2.4.3 Formulasi Krim

2.4.3.1 Setil Alkohol (Rowe et al., 2009)

Setil alkohol berbentuk serpihan licin, granul atau kubus yang berwarna putih dan memiliki bau khas lemah. Nama lain dari alcohol cetylicus, Avol, Crodacol C70, Crodacol C90, Crodacol C95, dan Ethal ini memiliki titik lebur 45-52oC. Setil alkohol mudah larut dalam ethanol 95% dan eter, kelarutannya akan meningkat dengan peningkatan suhu, praktis tidak larut dalam air, bercampur ketika dilebur bersama lemak, parafin cair dan padat serta isopropil miristat.

Setil alkohol digunakan secara luas dalam pembuatan kosmetik, suppositoria, sediaan solid, dan sediaan semisolid. Setil alkohol dapat digunakan sebagai stiffening agent (2-10%), emulgator (2-5%), emolien (2-5%), dan penyerap air (5%). Pada sediaan emulsi m/a, penggunaan setil alkohol yang dikombinasikan dengan emulgator larut air dapat meningkatkan stabilitas dengan mencegah terjadinya koalesen pada droplet.

Setil alkohol stabil (tidak tengik) dengan adanya asam, basa, cahaya, dan udara. Akan tetapi tidak kompatibel dengan pengoksidasi kuat. Sebaiknya disimpan pada tempat yang kering, sejuk, dan tertutup

Gambar 2.3 Struktur Setil Alkohol (Rowe et al., 2009)


(35)

2.4.3.2 Asam Stearat (Rowe et al., 2009)

Asam stearat dengan nama lain Acidum stearicum. Cetylacetic acid, Crodacid dan lain-lain berbentuk serbuk atau kristal padat berwarna putih atau kuning pucat mengkilap dan berbau tajam. Titik lelehnya adalah 69-70oC. Asam stearat mudah larut dalam benzene, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter. Larut dalam etanol 95%, heksana, dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air.

Asam stearat banyak digunakan dalam bidang farmasi. dalam pembuatan sediaan topikal, asam stearat digunakan sebagai emulgator dan solubilizing agent. Pada sediaan krim dan salep digunakan pada konsentrasi 1-20%. Ketika dikombinasikan dengan alkali seperti trietanolamin (TEA), akan terbentuk basis krim setelah pengadukan selama 5-15 kali dari berat cairannya.

Asam stearat merupakan bahan yang stabil dan dapat ditambah dengan agen antioksidan. Sebaiknya ditempatkan pada wadah tertutup, kering, dan sejuk.

Gambar 2.4 Struktur Asam Stearat (Rowe et al., 2009)

2.4.3.3 Trietanolamin (TEA) (Rowe et al., 2009)

TEA merupakan cairan kental tidak berwarna hingga kuning pucat, memiliki bau lemah seperti amonia. TEA memiliki titk leleh 20-21oC. Pada suhu 20oC dapat bercampur dengan aseton, karbon tetraklorida, metanol, dan air. Sangat mudah larut dalam benzen (1 dalam 24 bagian) dan etil eter (1 dalam 633 bagian).

TEA berfungsi sebagai alkalizing agent dan emulsifying agent dengan konsenstrasi 2-4% v/v. Ketika bercampur dengan asam lemak seperti asam stearat atau asam oleat, TEA akan membentuk garam larut air yang memiliki karakteristik seperti sabun dengan pH 8, sehingga dapat digunakan sebagai emulgator yang dapat menstabilkan emulsi tipe m/a.

TEA akan berubah warna menjadi coklat jika terpapar cahaya dan udara, sehingga harus ditempatkan pada tempat yang kering dan sejuk serta terlindung dari cahaya. TEA akan bereaksi dengan tembaga membentuk garam kompleks,


(36)

reaksi TEA dengan reagen tionil klorida dapat menggantikan gugus hidroksi dengan halogen yang menyebabkan hasil dari reaksi ini sangat beracun.

Gambar 2.5 Struktur Trietanolamin (Rowe et al., 2009)

2.4.3.4 Gliserin (Rowe et al., 2009)

Gliserin atau glicerol merupakan cairan kental higroskopis yang tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki rasa manis 0,6 lebih besar dari sukrosa. Memiliki titik leleh 17,8oC. Gliserin praktis tidak larut dalam benzene, kloroform, dan minyak, larut dalam metanol dan air, akan tetapi agak sukar larut dalam aseton.

Pada sediaan topikal, gliserin sering digunakan sebagai humektan dan emolien dengan konsentrasi ≤30%. Gliserin juga sering digunakan sebagai pelarut atau co-solvent pada sediaan krim dan emulsi.

Gliserin tidak mudah teroksidasi, tetapi mudah terdekomposisi pada pemanasan. Selain itu gliserin dapat meledak jika bercampur dengan agen pengoksidasi kuat seperti chromium trioxide, pottasium chlorate atau pottasium permanganat. Gliserin akan berubah warna menjadi hitam atau keruh jika terpapar cahaya atau bercampur dengan zink oksida atau bismut nitrat.

Gambar 2.6 Struktur Gliserin (Rowe et al., 2009)

2.4.3.5 Metil Paraben (Rowe et al., 2009)

Metil paraben memiliki nama lain nipagin, asam 4-hidroksibenzoat metil ester, metil p-hidroksibenzoat. Berbentuk serbuk atau kristal yang tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki rasa agak terbakar. Sangat mudah larut dalam 2 bagian etanol, 3 bagian etanol 95%, 6 bagian etanol 50%, dan 5 bagian propilen glikol.


(37)

Mudah larut dalam 10 bagian eter dan 60 bagian gliserin. Metil paraben praktis tidak larut dalam minyak mineral.

Metil paraben berfungsi sebagai zat pengawet. Pada sediaan topikal, digunakan pada konsenstrasi 0,02-0,3%. Metil paraben dapat menghambat aktivitas mikroba pada pH 4-8. Dengan meningkatkanya pH akan membentuk anion phenolat yang dapat menyebabkan penurunan efektfitas antimikroba. Aktivitas antimikrobanya akan meningkat jika dikombinasi dengan paraben lain seperti metil-, etil-, propil-, dan butil paraben. Penambahan propilen glikol (2-5%), feniletil alkohol atau asam adetat dilaporkan juga dapat meningkatkan aktivitas antimikroba metil paraben.

Larutan metil paraben pada pH 3-6 stabil selama penyimpanan 4 tahun di suhu ruang dan dapat disterilkan dengan autoklaf selama 20 menit tanpa adanya dekomposisi. Sedangkan larutan metil paraben pada pH 8 akan cepat terhidrolisis. Aktvitas antimikrobanya akan berkurang dengan adanya surfaktan nonionik seperti polisorbat 80. Selain itu, metil paraben tidak kompatibel dengan adanya bentonit, magnesium trisilikat, talkum, tragakan, natrium alginat, dan minyak esensial.

Gambar 2.7 Struktur Metil Paraben (Rowe et al., 2009)

2.4.3.6 Propil Paraben (Rowe et al., 2009)

Propil paraben memiliki nama lain nipasol, propil parahidroksibenzoat dan lain-lain. Merupakan serbuk hablur putih atau kristalin, yang tidak berbau dan tidak berasa. Sangat mudah larut dalam etanol 95%, etanol 50%, dan propilen glikol. Mudah larut dalam aseton, eter, dan air mendidih. Propil paraben sangat sukar larut dalam air.


(38)

Penggunaan sebagai antimikroba pada sediaan topikal digunakan pada konsentrasi 0,01-0,6%. Sama halnya dengan metil paraben, aktivitas antimikrobanya akan menurun pada pH lebih dari 8. Kombinasi dengan paraben lain dapat meningkatkan efektifitasnya.

Gambar 2.8 Struktur Propil Paraben (Rowe et al., 2009)

2.4.3.7 Aquades (Rowe et al., 2009)

Aquades digunakan sebagai pelarut. Aquades memiliki karakteristik jernih, tidak berwarrna, tidak berbau, dan tidak berasa. Pada umumnya aquades larut pada berbagai pelarut polar. Aquades stabil pada berbagai kondisi fisik (es, cair, atau uap).

2.4.4 Stabilitas Krim

Stabilitas didefinisikan bahwa suatu sediaan farmasi selama penyimpanan dan distribusi tidak menunjukan adanya perubahan yang bermakna dan masih dalam batas yang diperbolehkan. Stabilitas krim identik dengan stabilitas emulsi. Stabilitas farmasetik emulsi ditandai dengan tidak adanya penggabungan fase internal atau fase terdispersi, terjadinya pengkriman, dan tidak terjadinya perubahan tampilan fisik seperti perubahan bau, warna, perubahan dan pemisahan fase, pecahnya emulsi, perubahan konsistensi, tebentuknya gas, dan tumbuhnya mikroorganisme (Martin, 1983).

Emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika selama penyimpanan fase internal (fase terdispersi) membentuk agregat dari globul-globulnya. Apabila globul yang besar atau agregat ini naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi, maka akan terbentuk lapisan pada fase internal dan pada akhirnya akan terjadi pemisahan fase (Ansel, 2011). Ketidakstabilan emulsi dapat dikelompokan sebagai berikut


(39)

 Flokulasi

Flokulasi merupakan penggabungan partikel-partikel terdispersi membentuk agregat yang lebih besar. Fenomena flokulasi dapat diredispersi dengan pengocokan.

Creaming

Creaming merupakan pemisahan emulsi akibat droplet fase terdispersi memisah dari pendispersinya akibat gaya gravitasi. Pengkriman ke atas terjadi karena kecepatan sedimentasi negatif akibat densitas fase terdispersi lebih kecil daripada fase pendispersinya. Pengkriman ke atas banyak terjadi pada tipe emulsi m/a. Pengkriman ke bawah terjadi jika densitas fase terdispersinya lebih besar daripada fase pendispersinya, sehingga globul akan mengendap pada dasar emulsi. Pengkriman ke bawah banyak terjadi pada tipe emulsi a/m. Fenomena creaming dapat diminimalisir dengan meningkatkan viskositas, mengurangi ukuran partikel globul dengan homogenisasi, dan menyamakan densitas dari kedua fase. Creaming bersifat reversibel, yaitu dapat didispersikan kembali melalui pengadukan. Hal ini dikarenakan globul minyak masih terlapisi oleh pelindung zat pengemulsi (Martin, 1983).

 Koalesen

Koalesen terjadi akibat pembentukan droplet yang besar sehingga menyebabkan pemisahan sempurna (breaking). Koalesen tidak dapat diredispersi karena lapisan pelindung sekitar globul tidak ada lagi. Koalesen dapat dicegah dengan pembentukan lapisan antarmuka yang mengandung makromolekul atau partikulat padat (Iswindari, 2014).

 Inversi fase

Inversi fase merupakan proses terjadinya perubahan fase tipe emulsi. Inversi fase akan menghasilkan produk emulsi yang lebih bagus jika dapat dikontrol dengan baik, tetapi apabila tidak dapat dikontrol dapat menyebabkan masalah ketidakstabilan emulsi (Martin, 1983).

Nilai kestabilan suatu sediaan kosmetik atau farmasetika dapat diperoleh dengan melakukan uji stabilitas dipercepat. Uji stabilitas dipercepat bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari sediaan dalam waktu yang


(40)

sesingkat mungkin dengan menyimpannya pada kondisi yang dirancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang biasanya terjadi pada kondisi normal. Jika hasil pengujian pada uji stabilitas dipercepat diperoleh hasil yang stabil, dapat disimpulkan bahwa sediaan tersebut stabil pada penyimpanan suhu kamar selama setahun. Menurut Djadidisastra (2004), pengujian yang dilakukan pada uji stabilitas dipercepat antara lain :

Cycling Test

Cycling test merupakan simualsi adanya perubahan suhu yang terjadi setiap tahun atau setiap harinya. Uji ini dilakukan pada suhu atau kelembaban pada interval waktu tertentu, tujuannya adalah untuk menguji kestabilan sediaan terhadap kemungkinan terjadinya kristalisasi atau berawan.

 Peningkatan Suhu (Elevated Temperature)

Adanya kenaikan suhu setiap 10oC akan mempercepat reaksi 2 hingga 3 kalinya. Akan tetapi metode ini agak terbatas karena suhu yang jauh diatas normal akan menyebakan perubahan sediaan yang tidak terjadi pada suhu normal.

 Peningkatan Kelembaban (Elevated Humidities)

Uji ini dilakukan untuk menguji kemasan produk. Terjadinya perubahan pada sediaan dalam kemasan karena pengaruh kelembaban menandakan bahwa kemasannya tidak dapat memberi perlindungan yang cukup terhadap atmosfer.

Selain uji stabilitas dipercepat, parameter lain yang digunakan dalam uji kestabilan fisik suatu sediaan antara lain :

 Organoleptis

Organoleptis atau penampilan fisik suatu sediaan berhubungan dengan kenyaman pengguna, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengamati adanya perubahan warna, bau, dan tekstur sediaan selama proses penyimpanan.

 Viskositas dan Sifat Alir

Viskositas suatu sediaan dipengaruhi oleh ukuran partikel, fase terdispersi, medium pendispersi, emulgator, bahan tambahan lain atau faktor


(41)

lingkungan. Secara umum, kenaikan viskositas dapat meningkatkan kestabilan sediaan (Maulina, 2011)

 pH

sediaan setengah padat sebaiknya memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit, yaitu antara 4,5-7,0. Jika krim memiliki pH yang terlalu basa dapat menyebabkan kulit bersisik, sedangkan pH yang terlalu asam dapat menyebabkan iritasi kulit (Wasitaatmadja, 1997).

 Ukuran Partikel

Ukuran partikel atau distribusi ukuran globul merupakan indikator utama kecenderungan terjadinya creaming dan koalesensi. Emulsi keruh diharapkan memiliki diameter globul antara 0,5-50µm. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin besar volume rasionya, maka semakin tinggi viskositasnya yang berarti stabilitas sediaan juga meningkat (Djadidisastra 2004 ; Ansel, 2011).

 Homogenitas

Homogenitas berpengaruh terhadap efektivitas terapi karena berhubungan dengan kadar obat yang sama pada setiap pemakaian. Jika sediaan telah homogen maka kadar zat aktif diasumsikan pada saat pemakaian atau pengambilan akan selalu sama (Swastika et al., 2013).

 Daya Sebar

Semakin besar daya sebar, luas permukaan kulit yang kontak dengan krim akan semakin luas dan zat aktif akan terdistribusi dengan baik (Swastika et al., 2013).

2.5 Inflamasi

Inflamasi adalah respon protektif tubuh terhadap cedera jaringan dan infeksi yang disebabkan oleh trauma fisik, zat mikrobiologi, atau zat kimia yang merusak. Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan tubuh untuk menetralisir agen-agen berbahaya pada tempat cedera dan mempersiapkan keadaan untuk perbaikan dan pembentukan jaringan serta peningkatan aliran darah (Prayoga, 2008). Pada proses terjadinya inflamasi, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, komponen darah, sel darah putih, dan mediator kimia berkumpul pada tempat terjadinya cedera jaringan atau infeksi.


(42)

Inflamasi terjadi melalui dua tahap, tahap vaskular terjadi ketika vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga komponen darah dan cairan meninggalkan plasma dan pergi menuju tempat cedera. Setelah itu tahap lambat terjadi ketika sel darah putih menginfiltrasi jaringan inflamasi (Hayes dan Kee, 1996).

Inflamasi terbagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi akut, fase respon imun, dan fase inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan yang terjadi akibat lepasnya autokoid yaitu zat farmakologi aktif yang dibentuk di dalam tubuh yang berfungsi dan bekerja lokal ditempat pembentukannya, seperti histamin, serotonin, prostaglandin, bardikinin, dan leukotrin. Respon imun merupakan fase aktifnya sel kekebalan tubuh untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon inflamasi akut dan kronis. Pada inflamasi kronis, terjadi pelepasan mediator yang tidak menonjol di fase inflamasi akut (Katzung, 2002).

Mediator yang paling berperan dalam terjadinya inflamasi adalah prostaglandin dan leukotrin. Ketika membran sel terjadi kerusakan atau cedera, enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipid menjadi asam arachidonat. Sebagian asam arachidonat akan diubah menjadi asam endoperoksida oleh enzim siklooksigenase dan kemudian diubah lagi menjadi prostaglandin sebagian asam arachidonat yang lain diubah menjadi leukotrin oleh enzim lipooksigenase (Prayoga, 2002). Mediator inflamasi seperti prostaglandin menyebabkan vasodilatasi, relaksasi otot polos, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan sensitisasi sel-sel saraf terhadap nyeri. Sehingga obat-obat yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis prostaglandin digunakan untuk antiinflamasi (Hayes & Kee, 1996).

Menurut Hayes dan Kee (1996), tanda-tanda utama inflamasi adalah sebagai berikut :

a. Eritema (kemerahan)

Eritema terjadi pada tahap awal inflamasi. Eritema terjadi karena darah berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat lepasnya mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin). Histamin akan mendilatasi arteriol.


(43)

b. Edema (pembengkakan)

Edema merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma masuk kedalam jaringan interstisial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler.

c. Panas

Panas disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah pada daerah cedera jaringan dan adanya pirogen yang dapat mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.

d. Nyeri

Nyeri disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-mediator kimia.

e. Hilangnya fungsi

Hilangnya fungsi disebabkan akibat dari penumpukan cairan pada daerah cedera jaringan dan akibat rasa panas dan nyeri yang dapat mengurangi mobilitas jaringan yang cedera.


(44)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium penelitian I, laboratorium penelitian II, laboratorium biologi, dan laboratorium kimia obat Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari 2016 sampai Mei 2016.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah setil alkohol (Shadhong Bio-Technology), gliserin (Shadhong Bio-Technology), trietanolamin (TEA) (Shadhong Bio-Technology), asam stearat (Shadhong Bio-Technology), metil paraben (Bratachem, Jakarta), propil paraben (Bratachem, Jakarta), aquades, etanol 70%, asam klorida pekat, serbuk Mg, dan ekstrak etanol 70% herba kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) yang diperoleh dari Nurmeilis, Laboratorium Penelitian Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun data ekstrak etanol 70% herba kumis adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Data Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing Hasil determinasi Spesies : Orthosiphon stamineus Benth

Famili : lamiaceae

Organoleptis Berbentuk kering, berwarna cokelat kehitaman, berasa pahit, berbau khas

Rendemen 9,11%

Susut pengeringan 1,49%

Kadar abu 12,587%

Kadar abu tidak larut asam

0,78% Kadar sinensetin 0,128%


(45)

3.2.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah homogenizer (Nissei), pH meter (Horiba F-52, Japan), centrifuge 5417 R (Eppendorf), hot plate (Cimarex), lemari pendingin (Sanyo Medicool, Japan), oven (Eyela NDO-500), mikroskop optik (Olympus IX 71), viscotester HAAKE 6R (Thermo Scientific, Japan), tabung reaksi, timbangan analitik, cawan penguap, batang pengaduk, termometer, spatula, pipet tetes, kaca objek, lempeng kaca, kertas perkamen, anak timbangan, penggaris, wadah krim, dan alat gelas (Iwaki pyrex) lain yang biasa digunakan.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pemeriksaan Flavonoid Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing

Sebanyak 100 mg ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 70%. Selanjutnya ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida pekat. Ekstrak yang mengandung flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna orange, merah atau kuning (Arifin et al., 2006)

3.3.2 Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Formulasi pembuatan krim diambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Sharon et al., 2013) dengan modifikasi yaitu variasi konsentrasi asam stearat yang digunakan

Tabel 3.2 Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing

Bahan Konsentrasi (%)

F1 F2 F3

Ekstrak Etanol 70% Daun Kumis Kucing

(Orthosiphon stamineus Benth,) 4 4 4

Setil Alkohol 0,2 0,2 0,2

Gliserin 10 10 10

TEA 2 2 2

Asam Stearat 12 13 14

Metil Paraben 0,1 0,1 0,1

Propil Paraben 0,08 0,08 0,08

Vitamin E 0,02 0,02 0,02

Aquades Ad 100 Ad 100 Ad 100


(46)

Cara pembuatan :

Pembuatan krim diawali dengan menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan perhitungan. Fase minyak yang terdiri asam stearat dan setil alkohol dicampur dalam satu wadah dan dilebur di atas penangas hingga temperatur 70oC (campuran A). Pada wadah yang lain, bahan-bahan yang tergolong fase air seperti gliserin, TEA, metil paraben, propil paraben, aquades dipanaskan diatas penangas air hingga suhu 70oC (campuran B). Setelah semua melebur, campuran A sedikit demi sedikit dimasukan kedalam campuran B lalu dihomogenkan menggunakan homogenizer pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh massa krim seperti putih susu yang homogen. Tambahkan vitamin E dan ekstrak etanol 70% herba kumis kucing (Orthosiphon stamineus

Benth.) yang telah dilarutkan dengan aquades ke dalam basis krim, kemudian homogenkan kembali menggunakan homogenizer pada kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Krim yang terbentuk dimasukan ke dalam wadah.

3.3.3 Evaluasi Fisik Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Evaluasi fisik sediaan krim dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan. Masing-masing formula disimpan pada pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC. Parameter yang dievaluasi meliputi pengamatan organoleptis (tekstur, bau dan warna), pengujian homogenitas, pengukuran pH, pengukuran viskositas dan sifat alir, pemeriksaan daya sebar, pengukuran diameter globul, dan pengujian sentrifugasi, serta uji cycling test.

3.3.3.1 Pengamatan Organoleptis

Pengamatan organoleptis dapat dinilai dengan pengamatan dari segi tekstur, bau, dan warna sediaan. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC.

3.3.3.2 Pengujian Homogenitas

Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan krim pada kaca objek yang bersih. Kaca objek tersebut di katupkan dengan kaca objek lain,


(47)

kemudian diamati apakah krim tersebut homogen dan apakah permukaannya halus merata atau terdapat granul yang masih kasar. Sediaan harus homogen dan tidak terdapat adanya butiran kasar. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC (Aryani, 2015).

3.3.3.3 Pengukuran pH

Pengukuran pH krim dilakukan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer standar (pH 4,5 dan pH 6,5). Sediaan krim ditempatkan dalam wadah, kemudian diukur pH nya. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC Nilai pH sediaan yang aman untuk kulit menurut SNI 16-4399-1996 adalah 4,5-8,0.

3.3.3.4 Pengukuran Viskositas dan sifat alir

Pengukuran viskositas dan sifat alir krim dilakukan dengan menggunakan

viscotester HAAKE 6R menggunakan spindel R5. Krim dituang ke dalam gelas beaker. Spindel dipasang pada alat kemudian spindel diturunkan hingga tanda batas. Kecepatan alat dipasang pada kecepatan pada yang sesuai dan kecepatan yang diatur pada kecepatan 2 rpm, 4 rpm, 10 rpm, 20 rpm, dan kemudian dibalik 20 rpm, 10 rpm, 4 rpm 2 rpm. Sifat alir diperoleh dengan membuat kurva antara tegangan geser dan laju geser. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC (Dewi et al., 2014).

3.3.3.5 Pemeriksaan Daya Sebar

Ditimbang 0,5 gram krim, kemudian diletakan diantara 2 lempeng kaca. Lempeng kaca bagian atas ditimbang terlebih dahulu kemudian diletakan diatas krim dan dibiarkan 1 menit. Diatasnya diberi 50 gram beban tambahan, dibiarkan 1 menit dan diukur diameter sebarnya. Kemudian ditambah kembali beban dengan berat maksimum 150 gram dan diukur kembali diameter sebarnya. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC (Swastika et al., 2013).


(48)

3.3.3.6 Pengukuran Diameter Globul Rata-rata

Pengukuran diameter globul rata-rata krim dilakukan dengan menggunakan mikroskop optis dengan perbesaran 40x. Diameter globul yang diamati diukur. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC.

3.3.3.7 Uji Pemisahan Fase (sentrifugasi)

Sebanyak 10 gram krim ditempatkan pada tube sentifugasi, kemudian disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama 3 minggu penyimpanan pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC (Elya, 2013).

3.3.3.8 Pengujian Cycling Test

Ketiga formula krim ditempatkan pada suhu 4 ± 2 oC selama 24 jam, dan kemudian dipindahkan pada suhu 40o ± 2 oC selama 24 jam (satu siklus). Pengujian ini dilakukan sebanyak 6 siklus (12 hari). Pengamatan berupa organoleptis, nilai pH dan uji sentrifugasi dilakukan pada sediaan krim sebelum dan sesudah cycling test (Elya, 2013).

3.3.4 Analisa Data

Hasil yang diperoleh dari pengamatan stabilitas fisik krim berupa data deskriptif dan kuantitatif. Data deskriptif diperoleh dari pengamatan organoleptis, homogenitas, dan sentrifugasi. Data kuantitatif diperoleh dari pengujian pH, viskositas, daya sebar dan ukuran diameter globul rata-rata krim. Data kuantitatif dianalisis secara statistik menggunanakan program pengolah data statistik SPSS 16 yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji parametrik (One-Way


(49)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan Flavonoid Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Pemeriksaan flavonoid ekstrak etanol 70% herba kumis kucing dilakukan secara kualitatif menggunakan serbuk Mg dan asam klorida pekat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa ekstrak yang digunakan masih mengandung flavonoid yang berperan sebagai aktivitas antiinflamasi. Sejumlah 100 mg ekstrak dilarutkan 1 mL etanol 70%, kemudian ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida pekat. Hasil pemeriksaan positif mengandung flavonoid dengan indikasi terjadinya perubahan warna menjadi jingga setelah ditambahkan pereaksi. Perubahan warna ini disebabkan karena serbuk Mg dan asam klorida bereaksi dengan kandungan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak dengan cara mereduksi inti cincin benzopiron dan membentuk garam flavilium yang berwarna jingga (Setyowati et al., 2014). Sebagai antiinflamasi, flavonoid bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase membentuk prostaglandin dan leukotrin yang berfungsi sebagai mediator inflamasi (Rathee et al., 2009 ; Narayana et al., 2001).


(50)

4.2 Hasil Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan stabilitas fisik krim yang mengandung ekstrak etanol herba kumis kucing. Kestabilan suatu sediaan merupakan hal penting dan harus diperhatikan dalam kegiatan formulasi. Sediaan krim yang stabil yaitu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama penyimpanan dan penggunaan oleh konsumen dengan karakteristik yang tetap sama seperti saat dibuat (Dewi et al., 2014).

Bahan dasar krim terdiri dari fase air dan fase minyak yang dicampur dengan zat pengemulsi (emulgator) hingga membentuk basis krim. Pada formulasi ini, zat aktif yang digunakan adalah ekstrak etanol herba kumis kucing yang penggunaannya ditujukan sebagai antiinflamasi. Ekstrak herba kumis kucing memiliki kelarutan yang baik dalam air dibanding dalam etanol (Pattamadilok et al., 2003), sehingga cocok diformulasikan menjadi krim minyak dalam air. Konsentrasi ekstrak etanol herba kumis kucing yang digunakan pada formulasi diambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan secara in vivo oleh Sigit Prayoga (2008) dan secara in vitro oleh Rini Hendriani et al (2016).

Penelitian in vivo yang telah dilakukan oleh Sigit Prayoga (2008), menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% daun kumis kucing yang diberikan pada tikus jantan galur Wistar dengan dosis 490 mg/KgBB dapat menghambat inflamasi lebih dari 50%. Penelitian secara in vitro yang telah dilakukan oleh Rini Hendriani et al (2016) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kumis kucing memiliki persen inhibisi sebesar 81,7% pada konsentrasi 200 μg/mL dengan nilai IC50 sebesar 92,14 μg/mL. Fase minyak krim terdiri dari asam stearat yang

berfungsi sebagai emulgator, setil alkohol sebagai bahan pengeras, dan propil paraben sebagai pengawet fase minyak. Fase air krim terdiri dari TEA yang berfungsi sebagai emulgator, gliserin sebagai humektan, metil paraben sebagai pengawet fase air, vitamin E sebagai zat antioksidan sediaan, dan aquades sebagai pelarut.

Emulgator berfungsi untuk mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya dua fase dengan membentuk lapisan (film) di sekeliling tetesan terdispersi. Emulgator yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam stearat dan


(51)

trietanolamin (TEA). Kombinasi asam stearat dan TEA merupakan emulgator yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi pada kulit saat digunakan. Asam stearat dapat meningkatkan konsistensi krim sehingga krim tampak lebih kaku, sementara TEA dapat menurunkan konsistensi krim sehingga krim lebih encer dan mudah dituang. Pada saat bercampur dengan asam stearat, TEA juga akan membentuk garam larut air yang memiliki karakteristik seperti sabun sehingga dapat menstabilkan krim (Rowe et al., 2009).

Pada penelitian ini dilakukan variasi konsentrasi asam stearat sebagai emulgator guna melihat karakteristik dan stabilitas fisik sediaan krim ekstrak etanol herba kumis kucing selama penyimpanan. Basis yang dipilih dalam formulasi adalah basis vanishing cream. Vanishing cream merupakan basis yang umum digunakan karena memiliki persentase air yang besar sehingga krim yang terbentuk adalah tipe minyak dalam air (M/A). Tipe krim minyak dalam air dapat memberikan efek hidrasi pada kulit. Efek hidrasi dapat meningkatkan permeabilitas kulit sehingga penetrasi obat meningkat dan mengurangi resiko timbulnya peradangan (Dermawan et al., 2015).

Langkah awal dalam pembuatan krim ekstrak herba kumis kucing adalah memisahkan bahan-bahan yang larut dalam fase air dan fase minyak. Kedua fase tersebut dilebur hingga mencapai suhu 70oC. Setelah keduanya melebur, fase minyak ditambahkan kedalam fase air dalam keadaan panas. Masa campuran dihomogenkan menggunakan homogenizer dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Ekstrak dan vitamin E ditambahkan kedalam masa krim setelah suhunya mulai turun, kemudian campuran masa krim dihomogenkan kembali dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Proses homogenisasi merupakan proses penting karena pada proses ini terjadi emulsifikasi yang bertujuan untuk memperkecil ukuran fase terdispersi agar terdispersi dengan baik pada medium pendispersinya (Nabiela, 2013).

4.3 Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Krim Ektrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

Ketiga formula krim disimpan pada salah satu kondisi pengujian stabilitas dipercepat. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas sediaan setelah disimpan selama 3 minggu. Pada pengujian stabilitas dipercepat, sediaan disimpan


(52)

pada suhu yang lebih tinggi dari suhu lingkungan (Bajaj et al., 2012). Pengujian dapat dilakukan pada suhu 25oC, 40oC, 50oC, 60oC, dan 70oC. Pada penelitian ini ketiga formula krim dilakukan uji stabilitas dipercepat pada suhu ruang (26 ± 2oC) dan suhu 40oC. Pemilihan suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC karena basis krim sudah mengalami peleburan pada suhu 40oC, sehingga jika krim disimpan pada suhu diatas 40oC dikhawatirkan akan mengalami ketidakstabilan dari awal penyimpanan dan akan mempengaruhi stabilitas krim tersebut. Selain itu, pemilihan suhu 40oC juga berdasarkan rekomendasi World Health Organization

(WHO) dan International Conference on Harmonization (ICH) untuk negara yang termasuk ke dalam zona IV climatic zone dengan kategori panas dan lembab, seperti Indonesia (Bajaj et al., 2012 ; Malik et al., 2011).

4.3.1 Hasil Pengamatan Organoleptis Sediaan Krim

Pengamatan organoleptis dilakukan secara subjektif dengan menilai warna, bau, dan tekstur dari sediaan yang dihasilkan. Organoleptis akan berpengaruh terhadap kenyamanan pengguna, oleh karena itu sediaan yang dihasilkan sebaiknya memiliki warna yang menarik, bau yang menyenangkan dan tekstur yang lembut di kulit. Hasil pengamatan organoleptis krim ekstrak etanol 70% herba kumis kucing pada hari ke-0 menunjukkan bahwa formula 1, formula 2, dan formula 3 memiliki karakteristik yang sama, yaitu berwarna cokelat keemasan, berbau khas, dan memiliki tekstur yang lembut serta tidak lengket ketika diaplikasikan ke kulit. Setelah dilakukan penyimpanan selama 3 minggu pada suhu 26 ± 2oC dan suhu 40oC, dilakukan kembali pengamatan setiap minggunya terhadap ketiga formula dan hasil menunjukkan bahwa formula 1, formula 2, dan formula 3 tidak mengalami perubahan warna, bau, dan tekstur setiap minggunya (tabel 4.1 dan tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa sediaan krim stabil secara organoleptis selama 3 minggu penyimpanan.


(53)

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis Penyimpanan suhu 26 ± 2oC

Penyimpanan Warna Bau Tekstur

Krim F1

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

Krim F2

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

Krim F3

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Organoleptis Penyimpanan suhu 40oC

Penyimpanan Warna Bau Tekstur

Krim F1

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

Krim F2

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

Krim F3

Minggu 0 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 1 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 2 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket Minggu 3 Coklat keemasan Khas Lembut, tidak lengket

4.3.2 Hasil Pengamatan Homogenitas Sediaan Krim

Pengamatan homogenitas bertujuan untuk melihat penyebaran zat aktif dalam sediaan. Jika sediaan krim telah homogen maka diasumsikan kadar zat aktif akan selalu sama pada saat pemakaian atau pengambilan (Swastika, Mufrod, Purwanto, 2013). Hasil pengamatan homogenitas pada formula 1, formula 2, dan formula 3 yang disimpan pada suhu 26 ± 2oC maupun suhu 40oC selama 3 minggu masa penyimpanan menunjukkan hasil yang homogen (tabel 4.3). Hal ini ditandai


(1)

2. Uji Homogenitas Levene

Tujuan : untuk melihat varian data ukuran diameter globul krim homogen atau tidak

Uji homogenitas pada penyimpanan suhu 26 ± 2oC Test of Homogeneity of Variances Diameter_Globul_suhu_26oC

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.520 2 9 .611

Uji homogenitas pada penyimpanan suhu 40oC Test of Homogeneity of Variances Diameter_globul_suhu_40oC

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.356 2 9 .710

Keismpulan : ukuran diameter globul krim menunjukkan data yang homogen

3. Uji One-Way ANOVA

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan pada data ukuran diameter globul krim

Uji One-Way ANOVA pada penyimpanan suhu 26 ± 2oC

ANOVA Diameter_Globul_suhu_26oC

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .163 2 .081 .252 .782

Within Groups 2.903 9 .323


(2)

Uji One-Way ANOVA pada penyimpanan suhu 40oC ANOVA

Diameter_globul_suhu_40oC

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .050 2 .025 .458 .646

Within Groups .487 9 .054

Total .537 11

Kesimpulan : secara umum tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada setiap formula krim


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 96% Herba KumisKucing (Orthosipone stamineus Benth) Terhadap Kadar Kolesterol Total Tikus Normal

6 85 99

Pengaruh pemberian ekstrak etanol 96% herba kumis kucing (orthosiphon stamineus benth) terhadap penurunan kadar kolesterol total pada tikus jantan yang diinduksi pakan hiperkolesterol

3 20 92

Kajian Keamanan dan Aktivitas Immunomodulator Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Knop (Gomphrena globosa L.)

1 14 198

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALO

0 4 14

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN

0 3 15

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus

0 3 17

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% AKAR KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus

0 2 16

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus Benth.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR.

9 71 93

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Sebagai Obat Komplementer Terhadap Tekanan Darah Penderita Hipertensi.

0 3 28

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pria Dewasa.

2 6 28