Induksi Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana) dengan Perlakuan Thidiazuron, Prolin, dan Cahaya

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK SENGON
(Falcataria moluccana) DENGAN PERLAKUAN
THIDIAZURON, PROLIN, DAN CAHAYA

ARI SUNANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Embriogenesis
Somatik Sengon (Falcataria moluccana) dengan Perlakuan Thidiazuron, Prolin,
dan Cahaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Ari Sunandar
NIM G353110031

RINGKASAN
Ari Sunandar. Induksi Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana)
dengan Perlakuan Thidiazuron, Prolin, dan Cahaya. Dibimbing oleh ENCE
DARMO JAYA SUPENA dan DORLY.
Sengon (Falcataria moluccana) merupakan tanaman legum berkayu yang
cepat pertumbuhannya. Kayu sengon dimanfaatkan mulai sebagai kayu bakar
hingga bahan pulp kertas. Tingginya nilai ekonomi kayu sengon dan
meningkatnya penanaman sengon ternyata tidak ditunjang oleh ketersediaan bibit
sengon yang memadai. Bibit sengon selama ini dihasilkan melalui perkecambahan
biji, namun metode ini kurang efektif karena rendahnya perkecambahan biji,
tanaman tidak homogen, dan sangat tergantung pada musim. Salah satu alternatif
untuk perbanyakan tanaman sengon adalah menggunakan teknik in vitro melalui
induksi embriogenesis somatik. Induksi embriogenesis somatik pada sengon telah
dilakukan namun hanya mendapatkan kalus embriogenik. Induksi embriogenesis

somatik pada tanaman legum lain telah berhasil menghasilkan tanaman
menggunakan perlakuan thidiazuron, prolin, dan cahaya.
Sumber eksplan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun urutan ke
dua atau ke tiga dari bibit in vitro sengon. Metode rancangan acak lengkap
faktorial digunakan untuk mempelajari pengaruh thidiazuron dan cahaya terhadap
induksi embriogenesis somatik sengon, sedangkan untuk mempelajari pengaruh
prolin terhadap induksi embriogenesis somatik sengon menggunakan metode
rancangan acak lengkap. Jumlah embrio somatik yang terbentuk untuk setiap
perlakuan diamati setiap dua minggu. Metode parafin digunakan untuk
mempelajari histologi embriogenesis somatik sengon.
Eksplan daun sengon akan tumbuh menjadi kalus kompak pada setiap
perlakuan thidiazuron dan cahaya. Kalus kompak kemudian berkembang menjadi
kalus embriogenik dan mengalami embriogenesis yang ditandai terbentuknya fase
globular, fase hati, dan fase kotiledon pada perlakuan thidiazuron 1 mg/l dan
perlakuan tujuh hari gelap kemudian dipindah ke terang di media MS yang
diperkaya dengan prolin 1.2 g/l.
Thidiazuron dan cahaya tidak hanya mempengaruhi induksi embriogenesis
somatik tetapi juga mempengaruhi waktu perkembangan embrio somatik pada
sengon. Fase globular, hati, dan kotiledon masing-masing terbentuk pada 2, 4, dan
7 mst pada perlakuan thidiazuron 1 mg/l dalam media MS yang diperkaya prolin

1.2 g/l dan perlakuan tujuh hari gelap kemudian dipindah ke terang namun tidak
dapat berkembang menjadi planlet. Pada perlakuan terang kontinyu atau gelap
kontinyu pada perlakuan thidiazuron 1 mg/l, fase globular dapat terbentuk pada 2
mst tetapi menyebabkan tertundanya pembentukan fase hati yaitu masing-masing
pada 13 dan 17 mst. Fase globular tidak terbentuk pada perlakuan gelap kontinyu
jika konsentrasi thidiazuron ditingkatkan menjadi 2 atau 3 mg/l.
Konsentrasi prolin juga berpengaruh terhadap induksi embriogenesis
somatik. Peningkatan konsentrasi prolin dari 0.6 sampai 1.8 g/l mampu
meningkatkan tiga kali lipat produksi embrio somatik. Perlakuan konsentrasi
thidiazuron 1 mg/l, prolin 1.8 mg/l pada media MS, dan perlakuan tujuh hari gelap
kemudian dipindahkan ke terang merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk
induksi embriogenesis somatik pada sengon.

Studi histologi melalui sayatan membujur pada fase globular dan fase
kotiledon menunjukkan embrio somatik memasuki embriogenesis somatik
sekunder. Akibat adanya embriogenesis somatik sekunder ini, menyebabkan fase
kotiledon yang didapatkan pada penelitian ini tidak dapat berkembang menjadi
planlet. Keberhasilan induksi embriogenesis somatik pada sengon akan
memberikan peluang menyediakan bibit secara masal dan merupakan titik awal
untuk pemuliaan tanaman sengon melalui transformasi genetik untuk

meningkatkan kualitas bibit sengon.
Kata kunci: Cahaya, Embriogenesis Somatik, Prolin, Sengon, Thidiazuron

SUMMARY
Ari Sunandar. Induction of Somatic Embryogenesis in Sengon (Falcataria
moluccana) Through Thidiazuron, Proline, and Light Treatments. Supervised by
ENCE DARMO JAYA SUPENA and DORLY.
Sengon (Falcataria moluccana) is a fast growing leguminous woody plant.
The wood of sengon is useful for fuelwood until a source of material for making
paper pulp. The high economic value of wood make it desirable, but the limited
availability of seedling sometimes prohibit its wide dissemination. The seedling of
sengon is produced through seed germination. However, this method is not
effective because of the low germination of seed, low homogenity of plant, and it
is influenced by season. The alternative method for sengon propagation is through
the induction of somatic embryogenesis in vitro. Induction of somatic
embryogenesis in sengon had been carried out by some previous researcher, but
the results only obtained embryogenic calli. On the other hand, induction of
somatic embryogenesis in other legum plants had been conducted and
successfully obtained a planlet through thidiazuron, proline, and light treatments.
The second and the third leaflets from in vitro sengon seedling were used as

the source of explant. Factorial complete randomized design was used to analyse
the influence of thidiazuron and light treatments in induction of somatic
embryogenesis and complete randomized design was used to analyse the influence
of proline on somatic embryogenesis. The number of somatic embryo formed for
all treatments were observed every two weeks. Paraffin method was used to
histological analysis of somatic embryogenesis.
Leaflet explants of sengon grew and become compact calli in all thidiazuron
and light treatments. Compact callus started to form embryogenic callus and later
turned into somatic embryogenesis which characterized by the formation of
globular, heart, and cotyledon stages in 1 mg/l thidiazuron and seven days of dark
followed by light treatment in MS medium supplemented by 1.2 g/l proline.
Thidiazuron and light treatments not only had an effect on the induction of
somatic embryo, but they also influenced the developmental timeline development
of somatic embryogenesis in sengon. Globular, heart, and cotyledon stages were
formed in 2, 4, and 7 weeks post-treatment respectively with 1 mg/l thidiazuron
and seven days of dark followed by light treatments in MS medium supplemented
by 1.2 g/l proline but the cotyledon stage did not growth to be planlet. In light
continuous and dark continuous treatments, globular stage was formed in 2 weeks
post-treatment but cause delayed of heart stage i.e. 13 and 17 weeks posttreatment with 1 mg/l thidiazuron treatment. Globular stage did not formed in dark
continuous treatment, if concentrations of thidiazuron were incresed to 2 or 3

mg/l.
Proline concentration also influenced induction of somatic embryogenesis.
Increasing proline concentration from 0.6 to 1.8 g/l led to a 3-fold increasing the
production of somatic embryos. Combination of 1 mg/l thidiazuron, and 1.8 g/l
proline in MS medium with seven days of dark followed by light treatments were
the optimal treatments for induction of somatic embryogenesis of sengon.
Histological analysis in longitudinal section on globular and cotyledon
stages showed the development of secondary somatic embryogenesis. Secondary

embryogenesis caused cotyledon stages in this research could not develop into
planlet. Successful induction of somatic embryogenesis in sengon would provide
the chance to large-scale supply of seedlings, and would represent a useful starting
point for plant breeding of sengon via genetic transformation to improve the
quality of sengon seedling.

Keywords: Light, Proline, Sengon, Somatic embryogenesis, Thidiazuron

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK SENGON
(Falcataria moluccana) DENGAN PERLAKUAN
THIDIAZURON, PROLIN, DAN CAHAYA

ARI SUNANDAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Hamim, MSi

Judul Tesis : Induksi Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana)
dengan Perlakuan Thidiazuron, Prolin, dan Cahaya
Nama
: Ari Sunandar
NIM
: G353110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena, MSi
Ketua

Dr Ir Dorly, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah azza wa jalla atas segala

karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 ini ialah embriogenesis somatik sengon,
dengan judul Induksi Embriogenesis Somatik Sengon (Falcataria moluccana)
dengan Perlakuan Thidiazuron, Prolin, dan Cahaya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
dan Dr Dorly, M.Si selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Dr Hamim, M.Si selaku penguji pada ujian tesis, serta rekan-rekan
mahasiswa di program studi Biologi Tumbuhan. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, isteri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Ari Sunandar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Sengon
Kultur Jaringan Sengon
Embriogenesis Somatik

2
2
3
4

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Perkecambahan Benih
Induksi Embriogenesis Somatik
Pengamatan Histologi Embrio Somatik Sengon
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

5
5
5
5
6
6
7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Thidiazuron dan Cahaya Terhadap Embriogenesis Somatik
Pengaruh Cahaya Terhadap Kecepatan Induksi Embrio Somatik
Pengaruh Prolin Terhadap Jumlah Embrio Somatik
Histologi Embrio Somatik
Pembahasan

7
7
9
9
10
11

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

13
13
13
13
18
19

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh konsentrasi thidiazuron dan cahaya terhadap rata-rata
jumlah embrio somatik pada umur 17 mst

9

DAFTAR GAMBAR
1 Perbedaan warna kalus kompak pada perlakuan cahaya
2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS dengan
penambahan thidiazuron 1 mg/l dan prolin 1.2 g/l dengan
perlakuan tujuh hari di tempat gelap kemudian dipindahkan ke
tempat terang
3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon
pada media MS yang diperkaya prolin 1.2 g/l
4 Pengaruh konsentrasi prolin terhadap rata-rata jumlah embrio
somatik umur empat mst
5 Histologi embrio somatik abnormal sengon yang mengalami
embriogenesis sekunder

8

8
10
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Larutan Johansen dan larutan Giford

18

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sengon (Falcataria moluccana (Miquel) Barneby & Grimes) adalah
tanaman berkayu yang sangat cepat pertumbuhannya. Kayu sengon termasuk
kelas kuat dan awet IV-V, sehingga kayu sengon sangat beragam penggunaannya,
mulai dari sebagai kayu bakar, furniture, bahan alat musik hingga sumber utama
pulp kertas (Soerianegara & Lemmens 1994). Pemanfaatan kayu sengon yang
beragam menjadikan kayu sengon memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga
banyak dibudidayakan oleh masyarakat.
Tingginya nilai ekonomi kayu dan meningkatnya budidaya sengon ternyata
tidak ditunjang dengan ketersediaan jumlah bibit yang cukup karena rendahnya
daya perkecambahan benih dan bibit yang seragam dan berkualitas. Bibit sengon
yang tahan terhadap penyakit karat tumor (gall rust) adalah salah satu kriteria bibit
sengon berkualitas (Setiadi et al. 2014). Upaya peningkatan keberhasilan
perkecambahan dilakukan dengan merendam benih dalam air mendidih selama 13 menit atau direndam dalam asam sulfat pekat selama 10 menit (Soerianegara &
Lemmens 1994). Cara lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan
ketersediaan bibit yaitu melalui perbanyakan dengan teknik kultur in vitro.
Multiplikasi tunas sengon in vitro telah berhasil dilakukan menggunakan
media MS dengan penambahan benzyladenin (BA) 2 mg/l atau BA 0.49 mg/l
yang dikombinasikan dengan air kelapa 15% (v/v) (Sinha & Mallick 1993).
Regenerasi tanaman melalui organogenesis sengon telah dilakukan oleh Ghosh et
al. (2010) menggunakan eksplan daun pada media MS dengan penambahan BA 4
mg/l, asam indol 3-butirat (IBA) 0.05 mg/l, dan air kelapa (10% v/v). Teknik
kultur in vitro yang dikembangkan ini telah mampu meningkatkan induksi pucuk
dan akar pada tunas serta persentase tanaman yang dihasilkan dapat hidup pada
percobaan lapangan mencapai 66%.
Teknik perbanyakan tanaman secara in vitro lainnya yang berpotensi
diterapkan pada sengon adalah kultur embriogenesis somatik. Embriogenesis
somatik adalah diferensiasi sel somatik menjadi embrio somatik sehingga tanaman
yang dihasilkan berasal dari embrio akan memiliki akar dan tunas (Von Arnold et
al. 2002). Embrio somatik dapat dimanfaatkan untuk memproduksi benih sintetik
yang perbanyakannya dilakukan menggunakan bioreaktor. Teknik embriogenesis
somatik dapat juga dimanfaatkan untuk seleksi pada tingkat sel, meregenerasikan
hibrid sel somatik, produksi tanaman poliploid, pelestarian plasma nutfah,
menghasilkan tanaman bebas virus, dan transformasi genetik (Vicient & Martinez
1998).
Upaya induksi embriogenesis somatik pada sengon telah dilakukan
menggunakan berbagai jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh (ZPT) namun
perkembangannya hanya sampai membentuk kalus embriogenik. Kalus
embriogenik pada sengon dapat diinduksi dengan menggunakan eksplan kotiledon
muda yang diinkubasi pada media MS dengan penambahan 2.4dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 4 mg/l atau picloram 12 mg/l (Damanik
1999), eksplan hipokotil, petiol, dan kotiledon tua sengon yang diinkubasi pada
media MS dengan penambahan indole acetic acid (IAA) 0.05 mg/l dan

2

thidiazuron 2 mg/l (Sumiasri et al. 2006), dan eksplan aksis embrio sengon yang
dikulturkan pada media MS dengan penambahan IAA 0.25 mg/l dan thidiazuron
0.1 mg/l (Hartati 2011).
Embriogenesis somatik sampai menghasilkan tanaman telah berhasil
dilakukan pada beberapa tanaman legum lain dengan menambahkan thidiazuron
pada media kultur. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik tersebut
dapat menggunakan thidiazuron secara tunggal seperti pada tanaman Lens
culinaris (Chhabra et al. 2008) dan Cajanus cajan (Aboshama 2011), ataupun
menggunakan thidiazuron yang dikombinasikan dengan ZPT lain seperti pada
regenerasi kotiledon Vigna umbellata (Saini & Chopra 2012). Regenerasi tanaman
legum melalui embriogenesis somatik juga telah berhasil dilakukan dengan
mengunakan prolin yang dikombinasikan dengan beberapa ZPT seperti pada
Acacia arabica, Acacia catechu, Hardwickia binata, dan Dalbergia sissoo (Das
2011). Keberhasilan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik juga
dilaporkan dipengaruhi oleh cahaya, misalnya perlakuan gelap selama sembilan
hari diperlukan pada awal induksi embriogenesis somatik Tetrapleura tetraptera
(Opabode et al. 2011).
Thidiazuron, prolin, dan cahaya telah diketahui memiliki peran pada
keberhasilan induksi dan regenerasi melalui embriogenesis somatik pada beberapa
tanaman legum lain. Ketiga kombinasi perlakuan ini belum dicobakan dan
memiliki potensi untuk induksi embriogenesis somatik pada tanaman sengon.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi thidiazuron,
konsentrasi prolin, dan perlakuan cahaya pada induksi embriogenesis somatik
sengon.
Manfaat Penelitian
Keberhasilan induksi embriogenesis somatik pada sengon akan memberikan
informasi metode regenerasi tanaman untuk penyediaan bibit tanaman secara
masal dan seragam dalam waktu yang relatif singkat, serta akan dapat membantu
proses pemuliaan tanaman sengon.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Sengon
Sengon (Falcataria moluccana (Miquel) Barneby & Grimes) merupakan
anggota dari suku Leguminosae. Falcataria moluccana sebelumnya dikenal
dengan nama Albizia moluccana Miq, Albizia falcate sensu Backer, dan Albizia
falcataria (L) Fosberg (Nielsen et al. 1983), serta Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen (Barneby & Grimes 1996). Nielsen menganggap genus Albizia dan
Archidendron terlalu besar, sehingga diajukan tiga genus baru yaitu

3

Paraserianthes, Serianthes, dan Parachidendron. Sengon termasuk ke dalam
genus Paraserianthes (Nielsen et al. 1983). Barneby & Grimes mengajukan taksa
baru yaitu Falcataria moluccana (Barneby & Grimes 1996). Nama daerah untuk
F. moluccana yang umum dikenal masyarakat adalah jeungjing (Jawa Barat),
sengon laut (Jawa), puah (Brunei), batai (Malaysia), kayu machis (Serawak),
white albizia (Papua Nugini), dan moluccan sau atau falcata (Filipina)
(Soerianegara & Lemmens 1994).
Sengon merupakan tanaman asli dari Maluku, Papua Nugini, dan kepulauan
Solomon. Sengon ditemukan pada ketinggian 2300 m dpl, pada hutan hujan tropis
sekunder dan ditepian sungai berlumpur (Nielsen et al. 1983). Di Maluku, tegakan
sengon alam dapat ditemukan di Pulau Taliabu, Mangolle, Sasan, Obi, Bacan,
Halmahera, Seram dan Buru. Di Papua, sengon alam ditemukan di Sorong,
Manokwari, Kebar, Biak, Serui, Nabire dan Wamena. Selain itu, sengon juga
ditanam di Pulau Jawa (Martawijaya et al. 1989).
Tanaman sengon dapat mencapai tinggi 25.5 meter dengan diameter batang
17 cm hanya dalam enam tahun. Tanaman sengon tidak bercabang hingga
ketinggian 20 m dan memiliki tajuk berbentuk perisai. Batang sengon tidak
berbanir dengan bentuk bulat memanjang agak lurus (Soerianegara & Lemmens
1994).
Daun sengon merupakan tipe daun majemuk bertingkat dua. Panjang daun
dari pulvinus hingga daun terujung dapat mencapai 40 cm. Pinna dapat berjumlah
4-7, 8-10 atau 11-12. Setiap pinna dapat terdiri dari 8, 15, atau 25 anak daun.
Daun sengon berbentuk oblong cenderung sedikit lancip seperti sabit. Bunga
sengon bertipe hermaprodit dengan warna seperti putih, krim, kuning pucat, atau
hijau terang. Buah sengon berbentuk polong memiliki panjang 12 cm dan lebar
2,5 cm (Fosberg 1965). Polong buah sengon berisi 15-20 biji. Biji sengon
berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, berukuran panjang 6 mm dan lebar 3
mm, berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning sampai
coklat kehitaman jika sudah tua, agak keras dan berlilin (Soerianegara &
Lemmens 1994).
Kultur Jaringan Sengon
Regenerasi dan perbanyakan tunas sengon menggunakan eksplan kotiledon
pada kultur in vitro telah berhasil dilakukan oleh Sinha dan Mallick (1993).
Kotiledon yang dikulturkan pada media MS dengan penambahan BA 0.99 mg/l,
dan air kelapa 15% (v/v) mampu meningkatkan persentase tunas pada eksplan
hingga 100% (Sinha & Mallick 1993). Sukarutiningsih et al (2002) melaporkan
bahwa regenerasi tunas sengon secara in vitro dari eksplan berupa kuncup aksilar
atau kotiledon optimum pada media B5 dengan penambahan BA 0.22 – 0.44 mg/l.
Mikropropagasi sengon telah dilakukan oleh Ghosh et al. (2010)
menggunakan eksplan daun sengon yang dikulturkan pada media MS dengan
penambahan BA 4 mg/l, IBA 0.05 mg/l, dan air kelapa (10% v/v) untuk induksi
tunas, sedangkan induksi akar menggunakan media setengah MS cair dengan
penambahan asam 1-naphthaleneasetat (NAA) 2 mg/l dan IBA 0.25 mg/l.
Komposisi kedua medium ini mampu meningkatkan produksi pucuk pada tunas
serta sebanyak 66% tanaman yang dihasilkan dapat hidup pada percobaan
lapangan. Mikropropagasi sengon juga dapat dilakukan dengan menggunakan

4

eksplan daun pada media MS dengan penambahan BA 2.25 mg/l dan 2,4-D 2.21
mg/l (Chujo et al. 2010).
Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik adalah proses diferensiasi sel somatik menjadi
embrio somatik (Von Arnold et al. 2002). Sel somatik memerlukan kondisi yang
tepat untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel embriogenik dan mengalami
serangkaian perubahan morfologis dan fisiologis sehingga menjadi embrio
somatik (Komamine et al. 2005). Tahap perubahan morfologi yang dialami sel
dalam proses embriogenesis yaitu: fase globular, fase hati, fase torpedo, dan fase
kotiledon (Nakamura et al. 1992). Induksi embriogenesis somatik dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu: embriogenesis somatik secara langsung dan embriogenesis
somatik secara tidak langsung. Embriogenesis somatik secara langsung ketika
embrio somatik terbentuk tanpa didahului dengan terbentuknya kalus, sedangkan
embriogenesis somatik secara tidak langsung adalah terbentuknya embrio somatik
yang didahului dengan terbentuknya kalus (George 1993).
Keberhasilan induksi embriogenesis somatik sangat tergantung pada
beberapa faktor yaitu eksplan, zat pengatur tumbuh, cahaya, dan asam amino.
Pemilihan eksplan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan induksi
embriogenesis somatik. Pada legum, embrio zigotik muda dan kotiledon
merupakan jenis eksplan yang paling responsif untuk induksi embriogenesis
somatik (Ahmed et al. 1996). Keberadaan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan
sitokinin sangat mempengaruhi induksi embriogenesis. Penggunaan 2,4-D pada
legum menginduksi embriogenesis somatik dan mampu menghasilkan embrio
somatik dalam jumlah besar, namun secara morfologi abnormal dan gagal menjadi
tanaman (Chengalrayan et al. 1994). Pemberian 2,4-D yang dikombinasikan
degan BA dalam konsentrasi tinggi mampu meningkatkan embriogenesis somatik
pada Medicago suffruticosa (Li & Demarly 1996). Penggunaan thidiazuron
mampu menginduksi embriogenesis somatik secara langsung pada kacang tanah
(Saxena et al. 1992). Thidiazuron memiliki dua fungsi pada induksi
embriogenesis somatik yaitu berperan sebagai sitokinin yang mendorong
pembelahan dan diferensiasi sel (Aboshama 2011) dan menginduksi auksin
endogen (Murthy et al. 1995).
Cahaya merupakan salah satu penentu keberhasilan induksi embriogenesis
somatik selain eksplan dan zat pengatur tumbuh. Cahaya dan 2,4-D berperan
sebagai sinyal yang mengaktifkan protein G, nukleosida difosfat kinase, dan
protein arrestin sehingga menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel pada
embriogenesis somatik Triticum aestivum (Nato et al. 2000). Asam amino seperti
prolin dilaporkan berperan dalam induksi embriogenesis somatik Medicago sativa
(Shetty & McKersie 1993). Prolin dapat meningkatkan produksi embrio somatik
melalui keterlibatan prolin pada beberapa jalur transduksi sinyal sel (Phang 1985),
sebagai tempat penyimpanan nitrogen, pengatur osmotikum, dan sumber NADP+
yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio (Ghanti et al. 2009)..
Embriogenesis somatik dapat digunakan sebagai model dalam mempelajari
perkembangan embrio dan untuk memproduksi tanaman secara masal
menggunakan bioreaktor. Selain itu, embrio somatik dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama melalui teknik kriopreservasi sehingga dapat dimanfaatkan

5

sebagai gene bank. Pada tahapan lebih awal, kalus embriogenik merupakan obyek
yang potensial untuk dimanfaatkan dalam rekayasa genetika tanaman melalui
teknik transformasi genetik (Von Arnold et al. 2002). Seleksi sel dan regenerasi
tanaman melalui embriogenesis somatik telah digunakan untuk menghasilkan
tanaman tebu yang resisten terhadap virus (Oropeza & de Gracia 1996) dan kopi
yang resisten terhadap phytotoxins (Nyange et al. 1995). Embriogenesis somatik
juga dapat digunakan untuk meregenerasikan hibrid sel somatik, seperti pada
Arachis intragenic hybrids (Feng et al. 1996) dan Citrus intragenic hybrids
(Grosser et al. 1996). Embriogenesis somatik juga dapat diaplikasikan untuk
menghasilkan tanaman triploid pada Acacia nilotica (Grag et al. 1996), produksi
tanaman anggur bebas virus (Goussard & Wiid 1992), produksi kafein dan
teobromine dari kakao (Paiva & Janick 1983), dan produksi benih sintetik yang
telah diinokulasikan ektomikoriza (Vicient & Martinez 1998).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2014 di
Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium
Mikroteknik Departemen Biologi FMIPA IPB.
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah benih sengon (F. moluccana) lokal
dari Usaha Dagang (UD) Tanjung Harapan, Sumedang, Jawa Barat, hasil panen
pada bulan Juni 2012. Bahan kimia yang digunakan diantaranya adalah
thidiazuron, prolin, dan Media dasar MS (Murashige & Skoog 1962).
Perkecambahan Benih
Benih sengon dicuci dengan deterjen sampai bersih dan dilanjutkan dengan
perendaman dalam air panas 100 oC selama 3 menit kemudian direndam dalam air
selama satu malam (12 jam) pada suhu kamar. Benih akan mengembang dan
ukurannya membesar dua kali lipat. Benih yang sudah mengembang direndam
dalam 20% (v/v) larutan pemutih-disinfektan komersial (mengandung 5.25 %
NaOCl) dan dikocok selama 15 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril
tiga kali. Benih direndam dalam larutan tween-20 pada konsentrasi 2% (v/v)
selama 10 menit dan dibilas dengan akuades steril tiga kali. Benih dikering
anginkan dengan cara diletakkan dalam botol berisi kertas tisu steril dalam
laminar selama 15-30 menit. Benih yang sudah steril diinkubasi pada media dasar
MS dengan penambahan sukrosa 30 g/l dan gellan gum 3 g/l, fotoperiode 16/8

6

jam pada temperatur 25±2 oC selama empat minggu untuk menyediakan daun
sebagai sumber eksplan.
Induksi Embriogenesis Somatik
Tahap awal untuk induksi embriogenesis somatik sengon yaitu menginduksi
terbentuknya kalus kompak. Daun sengon hasil perkecambahan in vitro berumur 4
minggu setelah tanam (mst) yang digunakan sebagai eksplan adalah set daun
majemuk urutan kedua dan ketiga dari pucuk yang berwarna hijau tua. Eksplan
daun dibelah secara membujur kemudian ditanam pada media MS dengan
penambahan thidiazuron sesuai perlakuan (1, 2, atau 3 mg/l) (Chhabra et al. 2008)
dan diinkubasi sesuai perlakuan cahaya (terang kontinyu, tujuh hari di tempat
gelap kemudian dipindahkan ke tempat terang, atau gelap kontinyu). Untuk
perlakuan terang kontinyu menggunakan fotoperiode 16/8 jam pada temperatur
25±2oC. Cara perlakuan tujuh hari di tempat gelap kemudian dipindahkan ke
tempat terang adalah eksplan disimpan di tempat gelap pada temperatur 25±2oC
selama tujuh hari kemudian dipindahkan ke tempat terang dengan fotoperiode
16/8 jam pada temperatur 25±2oC. Sedangkan untuk perlakuan gelap, eksplan
disimpan di tempat gelap pada temperatur 25±2oC.
Kalus kompak yang terbentuk pada saat 4 minggu setelah tanam (mst) pada
setiap perlakuan thidiazuron dan cahaya digunakan untuk penelitian induksi
embriogenesis somatik yang terdiri dari dua tahapan yaitu:
(1) Tahap pertama untuk mempelajari pengaruh konsentrasi thidiazuron dan
cahaya pada induksi embriogenesis somatik sengon. Kalus kompak
disubkultur ke media MS yang diperkaya prolin 1.2 g/l dan ditambahkan
thidiazuron sesuai perlakuan (Murch 1999) kemudian diinkubasi sesuai
perlakuan cahaya. Konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya terbaik
pada induksi embriogenesis somatik tahap pertama digunakan sebagai acuan
pada tahap penelitian kedua.
(2) Tahap kedua untuk mempelajari pengaruh prolin terhadap induksi
embriogenesis somatik sengon. Kalus kompak disubkultur pada media MS
dengan konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya terbaik berdasarkan
hasil penelitian tahap pertama yang ditambahkan prolin pada medianya
dengan beberapa konsentrasi sebagai perlakuan(0.6, 1.2, dan 1.8 g/l).
Kultur diinkubasi pada fotoperiode 16/8 jam pada temperatur 25±2oC untuk setiap
rangkaian percobaan. Perubahan morfologi kalus dan jumlah embrio somatik yang
terbentuk diamati setiap dua minggu untuk setiap tahapan percobaan.
Pengamatan Histologi Embrio Somatik Sengon
Pengamatan jaringan embrio somatik sengon dilakukan dengan memfiksasi
kalus dan embrio somatik pada fiksatif FAA yang terdiri atas formaldehid pekat:
asam asetat glasial : etanol 70% (5:5:90 (v/v/v)) selama 24 jam. Kalus dan embrio
somatik didehidrasi dan dijernihkan menggunakan larutan serial Johansen I-VII
(Johansen 1940, tabel lampiran 1). Kalus dan embrio somatik diembedding pada
parafin dan direndam pada larutan Giford (tabel lampiran 1) selama dua minggu.
Blok parafin kemudian disayat menggunakan mikrotom putar setebal 10µm. Hasil

7

sayatan diwarnai dengan safranin 2% dan anilin blue 1%, kemudian diamati
menggunakan mikroskop cahaya.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan untuk mempelajari pengaruh
thidiazuron, prolin, dan cahaya terhadap induksi embriogenesis somatik sengon
menggunakan dua rancangan percobaan yang terdiri dari:
(1) Tahap pertama penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial
dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi thidiazuron yang
memiliki tiga taraf yaitu 1, 2, dan 3 mg/l. Faktor kedua adalah perlakuan
cahaya yang memiliki tiga taraf yaitu terang kontinyu, tujuh hari gelap
kemudian ke terang, dan gelap kontinyu.
(2) Tahap kedua penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan
menggunakan konsentrasi prolin 0.6, 1.2, dan 1.8 g/l.
Setiap perlakuan untuk setiap rangkaian percobaan menggunakan lima botol
kultur yang masing-masing ditanam lima kalus kompak, dan digunakan empat
ulangan, sehingga dibutuhkan total 100 kalus kompak untuk setiap perlakuan.
Analisis pengaruh konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya terhadap
jumlah embrio somatik dan pengaruh konsentrasi prolin terhadap jumlah embrio
somatik menggunakan analysis of variance (ANOVA). Perlakuan yang berbeda
nyata kemudian diuji lanjut menggunakan Duncan’s multiple range test (DMRT)
menggunakan SPSS v.16 pada tingkat kepercayan 95%.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Pengaruh Thidiazuron dan Cahaya Terhadap Embriogenesis Somatik
Proses induksi embriogenesis somatik sengon pada penelitian ini diawali
dengan pembentukan kalus kompak. Kalus kompak dapat dihasilkan pada semua
perlakuan konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya. Kalus kompak yang
berasal dari perlakuan terang kontinyu dan tujuh hari gelap kemudian dipindah ke
terang semuanya berwarna hijau, sedangkan kalus kompak yang berasal dari
perlakuan gelap kontinyu berwarna coklat kekuningan (Gambar 1). Kalus kompak
pada perlakuan thidiazuron 1 mg/l dan perlakuan tujuh hari gelap kemudian
dipindah ke terang pada media MS yang diperkaya prolin 1.2 g/l, berkembang
menjadi kalus embriogenik, kemudian mengalami embriogenesis yang ditandai
terbentuknya fase globular, hati, torpedo dan kotiledon namun kotiledon tidak
dapat berkembang menjadi planlet (Gambar 2).
Konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya masing-masing berpengaruh
secara signifikan terhadap induksi embriogenesis somatik sengon (Tabel 1),
namun tidak ada pengaruh interaksi antar kedua perlakuan tersebut. Konsentrasi
thidiazuron 1 mg/l pada perlakuan tujuh hari gelap kemudian dipindahkan ke
tempat terang menghasilkan rata-rata jumlah embrio somatik yang lebih banyak
dibandingkan perlakuan konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya lainya.

8

Rata-rata jumlah embrio somatik yang dihasilkan dari penambahan 2 atau 3 mg/l
thidiazuron pada perlakuan terang kontinyu dan gelap kontinyu selama induksi
embriogenesis somatik pada media MS tidak berbeda nyata.

Gambar 1 Perbedaan warna kalus kompak pada perlakuan cahaya. (a) Kalus
kompak pada perlakuan terang kontinyu dan tujuh hari gelap
kemudian dipindahkan ke terang (b) kalus kompak pada perlakuan
gelap kontinyu. (a-b) bar 0.5 cm.

Gambar 2 Induksi embriogenesis somatik sengon pada media MS dengan
penambahan thidiazuron 1 mg/l dan prolin 1.2 g/l dengan perlakuan
tujuh hari di tempat gelap kemudian dipindahkan ke tempat terang.
(a) Kalus kompak pada media MS dengan penambahan thidiazuron 1
mg/l umur empat mst, (b)Kalus embrionik umur satu mst, (c) Fase
globular umur dua mst (d) Fase hati umur empat mst (e) Fase torpedo
umur enam mst (f) Fase kotiledon awal umur tujuh mst (g) Fase
kotiledon akhir umur delapan mst. (a-g) bar 1 mm.

9

Tabel 1 Pengaruh konsentrasi thidiazuron dan cahaya terhadap rata-rata jumlah
embrio somatik pada umur 17 mst
Perlakuan Cahaya
Thidiazuron
Terang
Tujuh hari gelap
Gelap
Rata-rata*
(mg/l)
kontinyu
kemudian terang
kontinyu
1
1.2
2.5
0.8
1.5a
2
0.5
1.2
0
0.6b
3
0.3
0.8
0
0.3b
Rata-rata*
0.6b
1.5a
0.3b
*Nilai mewakili rata-rata jumlah embrio minimal fase globular (mean). Mean yang diikuti huruf berbeda
signifikan pada P=0.05 menurut tes Duncan

Pengaruh Cahaya Terhadap Kecepatan Induksi Embriogenesis Somatik
Perlakuan cahaya dan konsentrasi thidiazuron tidak hanya mempengaruhi
jumlah embrio somatik tetapi juga mempengaruhi kecepatan induksi
embriogenesis somatik pada sengon. Fase globular terbentuk pada dua mst dan
fase hati terbentuk pada empat mst untuk perlakuan perlakuan tujuh hari gelap
dengan thidiazuron 1 mg/l dan konsentrasi prolin 1.2 g/l. Fase kotiledon hanya
terbentuk pada konsentrasi thidiazuron 1 mg/l dengan penambahan prolin 1.2 g/l
pada tujuh mst pada perlakuan tujuh hari gelap, namun tidak dapat berkembang
menjadi planlet (Gambar 1). Fase globular dan hati masing-masing terbentuk
pada dua mst dan 13 mst untuk perlakuan terang kontinyu dengan konsentrasi
thidiazuron 1 mg/l namun tidak mengalami perkembangan lebih lanjut. Untuk
perlakuan gelap kontinyu, fase globular terbentuk pada dua mst namun fase hati
baru terbentuk pada 17 mst dan hanya terbentuk pada konsentrasi thidiazuron 1
mg/l serta tidak mengalami perkembangan lebih lanjut (Gambar 3).
Fase globular dan hati masing-masing terbentuk pada dua mst dan 13 mst,
namun fase hati tidak mengalami perkembangan lebih lanjut pada perlakuan
terang kontinyu dengan konsentrasi thidiazuron 2 atau 3 mg/l pada media MS
yang diperkaya prolin 1.2 g/l. Fase globular, hati, dan torpedo masing-masing
terbentuk pada dua mst dan 4 mst, namun fase torpedo tidak mengalami
perkembangan lebih lanjut pada perlakuan tujuh hari gelap dengan konsentrasi
thidiazuron 2 atau 3 mg/l dan prolin 1.2 g/l. embrio somatik tidak terbentuk pada
perlakuan gelap kontinyu dengan konsentrasi thidiazuron 2 dan 3 mg/l dan prolin
1.2 g/l (Gambar 3).
Pengaruh Prolin Terhadap Jumlah Embrio Somatik
Embriogenesis somatik pada sengon tidak hanya dipengaruhi oleh
konsentrasi thidiazuron dan perlakuan cahaya tetapi juga dipengaruhi oleh
konsentrasi prolin. Konsentrasi prolin yang ditingkatkan dari 0.6 hingga 1.8 g/l
mampu meningkatkan tiga kali lipat jumlah embrio somatik yang terbentuk
(Gambar 4).

10

Gambar 3 Skematik waktu perkembangan embriogenesis somatik sengon pada
media MS yang diperkaya prolin 1.2 g/l (A) Perlakuan thidiazuron 1
mg/l, dan (B) Perlakuan thidiazuron 2 atau 3 mg/l dengan tiga
perlakuan cahaya berbeda: (a) terang kontinyu, (b) tujuh hari gelap
kemudian dipindahkan ke terang, dan (c) gelap kontinyu

Gambar 4 Pengaruh prolin terhadap rata-rata jumlah embrio somatik umur empat
mst. Bar menunjukkan standar error
Histologi Embrio Somatik
Secara morfologi, embrio sengon yang dihasilkan tidak normal karena
ukurannya yang besar dan pada permukaan atau tepi embrio terdapat tonjolantonjolan. Jaringan epidermis pada fase globular berdiferensiasi yang ditandai
dengan terjadinya pembelahan asimetrik sedangkan pada fase kotiledon terdapat
struktur globular embriogenik pada jaringan parenkim (Gambar 5). Fase globular

11

yang mengalami embriogenesis sekunder tidak mengalami perkembangan lebih
lanjut, begitu juga fase kotiledon yang mengalami embriogenesis sekunder tidak
berkembang menjadi tanaman.

Gambar 5 Histologi embrio somatik abnormal sengon yang mengalami
embriogenesis sekunder: (a) Kalus kompak, (b) Pembelahan
asimetrik pada fase globular umur dua mst (tanda panah), (c)
Struktur globular embriogenik pada fase kotiledon umur enam mst
(tanda panah). Bar 100 µm.
Pembahasan
Pada penelitian perlakuan thidiazuron mampu menginduksi embriogenesis
somatik tidak langsung pada eksplan daun sengon. Konsentrasi thidiazuron 1 mg/l
dalam media MS yang diperkaya prolin 1.2 g/l merupakan konsentrasi terbaik
untuk menginduksi embriogenesis somatik pada sengon (Tabel 1, Gambar 2).
Konsentrasi thidiazuron 1 mg/l juga merupakan konsentrasi optimal untuk
menginduksi embriogenesis somatik pada Lens culinaris (Chhabra et al. 2008).
Pada umumnya legum, embriogenesis somatik merupakan respon yang
diakibatkan oleh auksin dalam konsentrasi tinggi (Lakshmanan & Taji 2000) atau
oleh rasio 4:1 antara auksin-sitokinin (Van Staden et al. 2008). Peran thidiazuron
diduga dapat menggantikan auksin atau auksin-sitokinin yang dibutuhkan untuk
menginduksi embriogenesis somatik melalui keterlibatan thidiazuron dalam
menginduksi zat pengatur tumbuh endogen khususnya auksin dan sitokinin
(Murthy et al. 1995). Sitokinin mendorong pembelahan dan diferensiasi sel, dan
auksin memainkan peran penting untuk menginduksi kemampuan embriogenik
(Aboshama 2011).
Selain thidiazuron, perlakuan tujuh hari gelap pada awal induksi
embriogenesis somatik juga berperan dalam induksi embriogenesis somatik
sengon (Tabel 1, Gambar 2). Perlakuan gelap pada awal induksi embriogenesis
somatik merupakan sinyal bagi tumbuhan untuk kembali menentukan arah
perkembangan atau meningkatkan kandungan hormon endogen pada tanaman dan
atau meningkatkan sensitifitas sel terhadap hormon (Zobayet & Saxena 2003).
Selain itu, perlakuan gelap pada eksplan daun dapat menurunkan browning
jaringan (George 1993) yang kemungkinan disebabkan oleh inaktivasi enzim yang
berperan pada oksidasi jaringan (Titov et al. 2006). Perlakuan terang atau gelap
kontinyu selama induksi embriogenesis somatik pada sengon menurunkan secara
signifikan produksi embrio somatik (Tabel 1). Perlakuan terang kontinyu selama
induksi embriogenesis somatik menyebabkan penurunan kandungan zat pengatur
tumbuh endogen sehingga menghambat embriogenesis somatik pada geranium

12

(Hutchinson et al. 2000). Perlakuan gelap kontinyu menyebabkan peningkatan
sintesis etilen (Sasaki 2002) yang akan menghambat embriogenesis somatik pada
Dalbergia sissoo (Sahu et al. 2014).
Perlakuan thidiazuron dan cahaya masing-masing memberikan pengaruh
yang signifikan pada induksi embriogenesis somatik sengon (Tabel 1, Gambar 2),
namun tidak ada pengaruh interaksi pada kedua perlakuan tersebut. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh cahaya dan thidiazuron memiliki peran yang
berbeda pada induksi embriogenesis somatik sengon. Cahaya dan 2.4 D berperan
sebagai sinyal bagi protein G, nukleosida difosfat kinase, dan protein arrestin
sehingga menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel pada embriogenesis somatik
Triticum aestivum (Nato et al. 2000). Thidiazuron memiliki dua fungsi pada
induksi embriogenesis somatik yaitu berperan sebagai sitokinin yang mendorong
pembelahan dan diferensiasi sel (Aboshama 2011) dan menginduksi auksin
endogen (Murthy et al. 1995). Auksin akan mengaktifkan PIN1 yang mengatur
polaritas auksin (Su et al. 2009) dan polaritas auksin sangat penting untuk
perkembangan embrio somatik (Minocha & Minocha 1995).
Selain thidiazuron dan perlakuan tujuh hari gelap pada awal induksi
embriogenesis somatik, prolin juga berperan dalam induksi embriogenesis
somatik sengon. Penambahan prolin dari 0.6 hingga 1.8 g/l pada media kultur
meningkatkan tiga kali lipat jumlah embrio somatik yang terbentuk (Gambar 4).
Peran prolin pada embriogenesis somatik adalah sebagai tempat penyimpanan
nitrogen, pengatur osmotikum, dan sumber NADP+ yang diperlukan untuk
pertumbuhan embrio (Ghanti et al. 2009). Konsentrasi prolin yang digunakan
untuk menginduksi embriogenesis somatik pada sengon dalam penelitian ini tiga
kali lipat lebih tinggi dari pada untuk Dalbergia sissoo, Acacia catechu, Acacia
arabica, dan Hardwickia binata yang hanya menggunakan konsentrasi prolin 0.6
g/l (Das 2011).
Sel tumbuhan merespon berbagai keadaan lingkungan dan sinyal seluler
seperti homon dan cahaya, yang berperan mengontrol pembelahan sel, elongasi,
polaritas dan diferensiasi (Dodeman et al. 1997). Embrio somatik abnormal pada
sengon (Gambar 5) kemungkinan merupakan respon terhadap tingginya
konsentrasi auksin endogen yang disebabkan oleh penggunaan thidiazuron secara
kontinyu pada media induksi embriogenesis somatik sengon. Konsentrasi auksin
endogen yang tinggi kemungkinan menginduksi pembelahan asimetris pada
epidermis fase globular sengon, seperti halnya pembelahan asimetrik pada sel
embrionik wortel yang diinduksi auksin (Komamine et al. 1992). Konsentrasi
auksin endogen yang tinggi juga kemungkinan menginduksi terbentuknya struktur
globular embriogenik pada jaringan parenkim fase kotiledon sengon, seperti
halnya terbentuknya struktur globular embriogenik pada Alyssum borzaeanum
yang diakibatkan oleh auksin (IAA, IBA, dan 2,4-D) dengan konsentrasi 1-2.5
mg/l (P unescu 2008).
Konsentrasi auksin yang tinggi pada jangka waktu yang panjang akan
menghambat transport polar auksin (Goldsmith 1982) sehingga menyebabkan
terjadinya embrio abnormal misalnya pada pinus (Abrahamsson et al. 2012).
Polaritas auksin diperlukan untuk transisi dari fase globular ke fase hati pada
Brassica napus cv. Topas (Ramesar-Fortner & Yeung 2001). Keberadaan auksin
pada fase globular akhir akan menghentikan tahap diferensiasi dan
mengembalikan jaringan menjadi tidak terdiferensiasi (Terzi & Lochiavo 1990).

13

Strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah embrio abnormal
adalah memberikan maturation treatments dan zat pengatur tumbuh tanaman yang
lebih lemah aktivitasnya dari thidiazuron. Sebagai contoh, Aboshama (2011)
menggunakan maturation treatments pada media MS yang diperkaya glutamin
500 mg/l, casein hidrolisat 200 mg/l, dan ABA 0.1 mg/l selama empat minggu.
Embrio somatik kemudian dipindahkan ke media setengah MS yang ditambahkan
BA dan arang aktif.

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Induksi embriogenesis somatik sengon secara tidak langsung yang berasal
dari eksplan daun dipengaruhi oleh konsentrasi thidiazuron, konsentrasi prolin,
dan cahaya. Konsentrasi thidiazuron 1 mg/l, prolin 1.8 g/l pada media MS, dan
perlakuan inkubasi kultur tujuh hari di tempat gelap kemudian dipindah ke cahaya
berhasil menginduksi embriogenesis somatik pada sengon. Namun embrio
somatik yang dihasilkan tidak normal dan tidak berkembang menjadi tanaman,
yang ditandai dengan ukuran masing-masing fase embriogenesis yang membesar
dan studi histologi menunjukkan bahwa embrio somatik memasuki embriogenesis
somatik sekunder.
Saran
Perlu dilakukan uji lanjut untuk melihat pengaruh durasi gelap-terang dan
mengembangkan metode untuk memelihara embrio tetap pada jalur embriogenesis
somatik primer. Selain itu, perlu dikembangkan metode untuk perkecambahan
embrio somatik fase kotiledon sengon agar didapatkan planlet.

DAFTAR PUSTAKA
Aboshama HMS. 2011. Somatic embryogenesis proliferation, maturation and
germination in Cajanus cajan. World J Agric Sci 7:86-95.
Abrahamsson M, Valladares S, Larsson E, Clapham D, Von Arnold S. 2012.
Patterning during somatic embryogenesis in Scots pine in relation to polar
auxin transport and programmed cell death. Plant Cell Tiss Org Cult
109:391-400.
Ahmed R, Gupta SD, De DN. 1996. Somatic embryogenesis and plant
regeneration from leaf derived callus of winged bean (Psophocarpus
tetragonolobus L.). Plant Cell Rep 15:531–535.
Barneby RC, Grimes JW. 1996. Silk tree, guanacastel, monkey’s earring.
Memoirs of the New York Botanical Garden 74: 245-255.
Chengalrayan K, Sathaye SS, Hazra S. 1994. Somatic embryogenesis from mature
embryo-derived leaflets of peanut (Arachis hypogeae L). Plant Cell Rep
13:578-581.

14

Chhabra G, Chaudhary D, Varma M, Sainger M, Jaiwal PK. 2008. TDZ-induced
direct shoot organogenesis and somatic embryogenesis on cotyledonary
node explants of lentil (Lens culinaris Medik.). Physiol Mol Biol Plants
14:347-353.
Chujo M, Eizawa J, Yokota S, Ishiguri F, Lizuka K, Priadi D, Sumiarsi N,
Yoshizawa N. 2010. Micropropagation and protoplast culture in
Paraserianthes falcataria. Wood Res J 1:108-114.
Damanik RI. 1999. Pengembangan metode regenerasi embrio somatik dan
proliferasi tunas secara in vitro pada tanaman sengon (Parserianthes
falcataria (L) Nielsen). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Das P. 2011. Somatic embryogenesis in four tree legumes. Biotechnol Res Int
2011:1-8.
Dodeman VL, Ducreux G, Kreis M. 1997. Zigotic embryogenesis versus somatic
embryogenesis. J Exp Bot 48:1493-1509.
Feng Q, Stalker HT, Pattee HE. 1996. Plant recovery of self and interspecific
hybrids of Arachis by in vitro culture of peg tips. Crop Sci 36:1660-1666.
Fosberg FR. 1956. Revision of Albizia sect. Pachysperma (LeguminosaeMimosoiseae). Reinwardtia 7:71-90.
Garg L, Bhandari NN, Rani V, Bhojwani SS. 1996. Somatic embryogenesis and
regeneration of triploid plants in endosperm cultures of Acacia nilotica.
Plant Cell Rep 15:855-858.
George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture part 1. England (UK):
Exegetics Ltd.
Ghanti SK, Sujata KG, Rao S, Udayakumar M, Kishor PBK. 2009. Role of
enzymes and identification of stage specific proteins in developing somatic
embryos of chickpea (Cicer arietinum L.). In Vitro Cell Dev Biol Plant
45:667-672.
Ghosh N, Smith DW, Das AB, Chatterjee A. 2010. Rapid in vitro regeneration
and clonal propagation of the fastest growing leguminous tree Albizia
falcataria (L.) Fosberg using leaflet explant. Plant Tiss Cult Biotech 20:6372.
Goldsmith MEM. 1982. A saturable site responsible for polar transport of indole3-acetic acid in sections of maize coleoptiles. Planta 155:68-75.
Goussard PG, Wiid J. 1992. The elimination of fanleaf virus from grapevines
using in vitro somatic embryogenesis combined with heat therapy. S Afr J
Enol Vitic 13:81-83.
Grosser JW, Gmitter FG, Tusa N, Reforgiato-Recupero G, Cucinotta P. 1996.
Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from
Citrus leaf protoplasts following somatic fusion. Plant Cell Rep 15:672-676.
Hartati NS. 2011. Modifikasi kandungan lignin kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) melalui rekayasa gen 4-caoumarate coa ligase (4CL).
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hutchinson MJ, Senaratna T, Sahi SV, Saxena PK. 2000. Light mediates
endogenous plant growth substances in thidiazuron-induced somatic
embryogenesis in geranium hypocotyl cultures. J Plant Biochem Biotech
9:1-6.
Johansen DA. 1940. Plant Microtecniques. London (UK): Mc-Graw Hill Book
Co. Inc.

15

Komamine A, Matsumoto M, Tsukahara M, Fujiwara A, Kawahara R, Ito M,
Smith J, Nomura K, Fujimura T. 1992. Mechanisms of somatic
embryogenesis in cell cultures: physiology, biochemistry and molecular
biology. In Vitro Cell Dev Biol Plant 28: 11-14.
Komamine A, Murata N, Nomura K. 2005. Mechanisms of somatic
embryogenesis in carrot suspension cultures morphology, physiology,
biochemistry, and molecular biology. In vitro Cell Dev Biol Plant 41:6–10.
Lakshmanan P, Taji A. 2000. Somatic embryogenesis in leguminous plants. Plant
Biol 2: 136-148.
Li X, Demarly Y. 1996. Somatic embryogenesis and plant regeneration in
Medicago suffruticosa. Plant Cell Tiss Org Cult 44:79–81.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas
Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan.
Minocha SC, Minocha R. 1995. Role of polyamines in somatic embryogenesis. Di
dalam: Bajaj YPS (Eds.) Somatic Embryogenesis and Shyntetic Seed I.
Berlin: Springer, hlm 53-70.
Murashige T, Skoog F.1962. A revised medium for rapid growth and biossays
with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15:473-497.
Murch SJ, Victor JMR, Krishnaraj S, Saxena PK. 1999. The role of proline in
thidiazuron-induced somatic embryogenesis of peanut. In Vitro Cell Dev
Biol Plant 35:102-105.
Murthy BNS, Murch SJ, Saxena PK. 1995. Thidiazuron-induced somatic
embryogenesis in intact seedlings of peanut (Arachis hypogaea):
endogenous growth regulator levels and significance of cotyledons. Physiol
Plant 94: 268-276.
Nakamura T, Taniguchi T, Maeda E. 1992. Studies on somatic embryogenesis of
coffee by scanning electron microscope. Jpn J Crop Sci 61:476–486.
Nato A, Fresneau C, Moursalimova N, De Buyser J, Lavergne A, Henry Y. 2000.
Expression of auxin and light-regulated arrestin-like proteins, G proteins
and nucleoside diphosphate kinase during induction and development of
wheat somatic embryos. Plant Physiol Biochem 38: 483−490.
Nielsen I, Guinet PH, Barreta-Kuipers T. 1983. Studies in the Malesian,
Australian and Pacific Ingece (Leguminosce-Mimosoidecu): the genera
Archidendropsis, Wallaceodendron, Paraserianthes, Pararchidendron and
Serianthes (part I). Bull Mus nat Hist Nat ser 4 vol 5 sect B Adansonia 4:
335-360.
Nyange NE, Williamson B, Mcnicol RJ, Lyon GD, Hackett CA. 1995. In vitro
selection of Coffea arabica callus for resistance to partially purified
phytotoxic culture filtrates from Colletotrichum kahawae. Ann Appl Biol
127:425-439.
Opabode JT, Akinyemiju OA, Ayeni OO. 2011. Plant regeneration via somatic
embryogenesis from immature leaves in Tetrapleura tetraptera (Schum &
Thonn.) Taub. Arch Biol