Pengawetan Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan Diffusol CB

PENGAWETAN KAYU SENGON (Falcataria moluccana Miq.)
DENGAN DIFFUSOL CB

SAJIDA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengawetan Kayu
Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan Diffusol CB adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Sajida
NIM E24090099

ii

ABSTRAK
SAJIDA. Pengawetan Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan
Diffusol CB. Dibimbing oleh I WAYAN DARMAWAN.
Kemajuan ilmu serta teknologi memungkinkan jenis kayu sengon
(Falcataria moluccana Miq.) dapat diperpanjang masa pakainya melalui proses
pengawetan kayu, terutama dengan metode rendaman dingin. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dengan parameter retensi, penurunan berat, penilaian
grave yard test, kadar air, kerapatan, berat jenis, MOE dan MOR kayu sengon
(Falcataria moluccana Miq.). Contoh uji dibuat dengan 3 kombinasi varian yang
terdiri dari: (a) Varian bagian dalam kayu (Gubal dan Teras); (b) Varian umur (5,
6, dan 7 tahun); serta (c) Varian posisi ketinggian (Pangkal, Tengah dan Ujung).

Aplikasi bahan pengawet diffusol CB melalui metode rendaman dingin pada kayu
sengon umur 5, 6 dan 7 tahun dapat meningkatkan sifat fisis (kadar air, berat jenis
dan kerapatan kayu) dan keawetan kayu (retensi, penurunan berat dan grave yard
test), serta dapat mengurangi serangan organisme perusak (rayap Macrotermes
gilvus dan jamur Pycnoporus cinnabarinus) jika dibandingkan dengan kontrol.
Sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu sengon pada posisi pangkal cenderung
menurun dari bagian kulit menuju empulur kayu.
Kata kunci: Falcataria moluccana, diffusol CB, rendaman dingin, uji kubur

ABSTRACT
SAJIDA. Preservation Sengon Wood Falcataria moluccana Miq.) with Diffusol
CB. Supervised by I WAYAN DARMAWAN.
Innovation in wood science and technology could improve the service life of
sengon wood (Falcataria moluccana Miq.) through the wood preservation
process, especially with a cold immersion method. Analysis of data was
conducted in a descriptive with the retention, weight loss, grave yard test
valuation, moisture content, density, specific gravity, MOE and MOR parameters
of the sengon wood (Falcataria moluccana Miq.). Samples were prepared with 3
combinations of variant consisting of: (a) Variant of wood inside (sapwood and
heartwood); (b) Variant of age (5, 6, 7 years); and (c) Variant of height position

(bottom, middle, and upper). The application of preservative diffusol CB through
the cold immersion method on sengon wood age 5, 6, and 7 years can improve the
physical properties (moisture content, specify gravity and density of the wood),
and durability of wood (retention, weight loss, grave yard test), as well as could
reduce the organism attack (termite Macrotermes gilvus and fungi Pycnoporus
cinnabarinus) when compared to control. Mechanical properties (MOE and
MOR) sengon wood in bottom position of inclined downward from the pith to
bark.
Keywords: Falcataria moluccana, diffusol CB, cold immersion, grave yard test
iii

PENGAWETAN KAYU SENGON (Falcataria moluccana Miq.)
DENGAN DIFFUSOL CB

SAJIDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Pengawetan Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan
Diffusol CB
Nama
: Sajida
NIM
: E24090099

Disetujui oleh

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
Pembimbing


Diketahui oleh

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

v

Judul Skripsi: Pengawetan Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan
Diffusol CB
: Sajida
Nama
: E24090099
NIM

Disetujui oleh

Prof Dr Ir I Wayan armawan, MSc
Pembimbing


Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

1_

I

J •

I

v

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai Desember 2012 ialah
keawetan, dengan judul Pengawetan Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.)

dengan Diffusol CB. Penyusunan skripsi ini menjadi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Walaupun demikian, semoga hasil yang dituangkan dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1.
Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc selaku dosen pembimbing, yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
2.
Ayah, Ibu dan keluarga tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang
diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa
henti kepada penulis.
3.
Erik Kurbaniana, SHut atas semangat, dukungan dan doa yang diberikan
kepada penulis.
4.
Seluruh tenaga kependidikan di Departemen Hasil Hutan yang banyak

memberikan dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis.
5.
Teman-teman Mayor Teknologi Hasil Hutan Angkatan 46 dan semua
mahasiswa THH yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan
semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di Fakultas
Kehutanan IPB.
6.
Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Bogor, Desember 2013
Sajida

vi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix


DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.)

2

Diffusol CB

2

Pengawetan

3


Uji Kubur (Grave Yard Test)

4

METODOLOGI

4

Waktu dan Lokasi

4

Alat dan Bahan

4

Prosedur Penelitian

4

Persiapan Contoh Uji

4

Pengeringan Kayu

5

Pengawetan Contoh Uji

6

Pengamatan dan Pengambilan Data

6

Kadar Air, Kerapatan dan Berat Jenis

6

Retensi

7

Grave yard test

7

Penurunan Berat

7

Identifikasi Rayap

8

Modulus of Elasticity (MOE)

8

Modulus of Rupture (MOR)

8

Analisis Data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)

9
9
vii

Retensi Bahan Pengawet

9

Penurunan Berat

10

Penilaian Grave Yard Test

11

Sifat Fisis Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)

12

Kadar Air

12

Kerapatan

13

Berat Jenis

15

Sifat Mekanis Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)

16

Modulus Eelastisitas (Modulus of Elasticity, MOE)

16

Modulus Patah (Modulus of Rupture, MOR)

17

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

28

viii

DAFTAR TABEL
1 Penilaian visual grave yard test

7

2 Klasifikasi kelas awet kayu berdasarkan persentase kehilangan berat
setelah diumpankan

8

3 Rekapitulasi hasil penilaian visual grave yard test kayu sengon pada tiga
umur berbeda

11

DAFTAR GAMBAR
1 Pengambilan contoh uji untuk sifat mekanis dan sifat fisis kayu

5

2 Histogram retensi rata-rata bahan pengawet diffusol CB kayu sengon
pada tiga umur berbeda

9

3 Histogram penurunan berat kayu sengon tanpa pengawet (A) dan
menggunakan bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

10

4 Contoh uji yang mengalami kerusakan dan rayap Macrotermes gilvus

12

5 Histogram kadar air kayu sengon tanpa pengawet (A) dan menggunakan
bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

13

6 Histogram kerapatan kayu sengon tanpa pengawet (A) dan menggunakan
bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

14

7 Histogram berat jenis sengon tanpa pengawet (A) dan menggunakan
bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

15

8 Grafik MOE kayu sengon pada tiga umur berbeda

17

9 Grafik MOR kayu sengon pada tiga umur berbeda

17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai rata-rata retensi kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.) pada
umur 5, 6 dan 7 tahun
2 Nilai rata-rata penurunan berat kayu sengon (Falcataria moluccana
Miq.) diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan 7 tahun
3 Hasil penilaian visual grave yard test kayu sengon (Falcataria
moluccana Miq.) diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan 7 tahun
4 Nilai rata-rata kadar air kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.)
diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan 7 tahun
5 Nilai rata-rata kerapatan kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.)
diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan 7 tahun

20
21
24
25
25

ix

6 Nilai rata-rata berat jenis kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.)
diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan 7 tahun
7 Nilai MOE (kg/cm2) kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.) umur 5,
6 dan 7 tahun
8 Nilai MOR (kg/cm2) kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.) umur 5,
6 dan 7 tahun

x

26
26
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki sekitar 4000 jenis kayu yang dikenal, sekitar 85,7%
diantaranya termasuk ke dalam kelas awet rendah, yang memerlukan perlakuan
pengawetan agar dapat dipergunakan dengan memuaskan (Martawijaya 1996).
Dewasa ini kayu yang sering digunakan masyarakat dalam membangun rumah
tinggalnya antara lain adalah jenis kayu rakyat seperti sengon (Falcataria
moluccana Miq.) atau lebih sering dikenal dengan kayu jeunjing. Hal ini
disebabkan harganya yang tergolong murah dan mudah diperoleh, hanya
keawetannya rendah sehingga masa pakai relatif pendek. Menurut laporan
Departemen Kehutanan dan Badan Statistika Nasional (2004), propinsi dengan
luas tanaman sengon rakyat terbesar adalah Jawa Tengah dan Jawa Barat, dimana
total jumlah pohon yang dibudidayakan di kedua propinsi ini dilaporkan lebih dari
60% dari total jumlah pohon sengon yang ditanam oleh masyarakat di Indonesia.
Kemajuan ilmu serta teknologi memungkinkan jenis kayu sengon yang
termasuk dalam kelas awet IV‒V dapat diperpanjang masa pakainya melalui
proses pengawetan kayu. Jenis bahan pengawet diffusol CB sering digunakan
karena mempunyai sifat antara lain efektif untuk mencegah serangan jamur dan
serangga serta cocok dipakai untuk kayu konstruksi dengan berbagai metode
pengawetan. Salah satu metode pengawetan yang efektif dan mudah dilakukan
yaitu perendaman dingin. Uji kubur terhadap kayu yang telah diawetkan sangat
sesuai untuk mengetahui keampuhan bahan pengawet diffusol CB untuk menahan
serangan faktor perusak kayu karena metode ini merupakan salah satu pengujian
lapangan yang cukup praktis atau mudah dilakukan untuk mengetahui kualitas
pengawet yang diberikan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pemberian diffusol CB
terhadap sifat fisis, mekanis dan keawetan kayu sengon (Falcataria moluccana
Miq.), serta memperoleh informasi mengenai keefektifan diffusol CB sebagai
pengawet kayu.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dalam hal efektifitas
diffusol CB sebagai pengawet kayu dan memberikan informasi tentang keawetan
kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.) dengan menggunakan metode uji
kubur.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Sengon (Falcataria moluccana Miq.)
Sengon (Falcataria moluccana Miq.) memiliki nama daerah jeungjing,
sengon laut (Jawa), tedehu pute (Sulawesi), rare, selawoku, selawaku merah, seka,
sika, sika bot, sikas, tawa sela (Maluku), bae, bai wahogon, wai, wikkie (Irian
Jaya). Kayu ini tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.
Sengon dipilih sebagai salah jenis yang dibudidayakan pada hutan tanaman
industri di Indonesia karena pertumbuhannya yang sangat cepat, mampu
beradaptasi pada berbagai jenis tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus dan
kualitas kayunya dapat diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan.
Pohon sengon umumnya berukuran cukup besar dengan tinggi pohon total
mencapai 40 m dan tinggi bebas cabang mencapai 20 m. Diameter pohon dewasa
dapat mencapai 100 cm atau lebih, dengan tajuk lebar mendatar. Pohon sengon
pada umumnya tidak berbanir, permukaan kulit batang berwarna putih, abu-abu
atau kehijauan, halus, kadang-kadang sedikit beralur (Krisnawati et. al. 2011).
Ciri diagnostik kayu sengon dapat dilihat dari aspek warna yaitu memiliki warna
kayu teras dan gubal yang sulit dibedakan yaitu berwarna putih abu-abu
kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Tekstur agak kasar sampai kasar
dengan arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak, kekerasan
kayu agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Kurniawan 2008).
Menurut Pandit dan Ramdan (2002), kayu sengon banyak digunakan untuk
bahan bangunan perumahan terutama dipedesaan, peti, papan partikel, papan
serat, papan wool semen, dan barang kerajinan lainnya. Berat jenis kayu sengon
rata-rata 0,33 (0,24‒0,49) dengan kelas awet dan kelas kuat IV‒V. Tanaman
sengon dapat ditebang ketika umur panen sudah tercapai. Umur panen (periode
rotasi) biasanya tergantung pada tujuan produksi. Untuk tujuan produksi kayu
pulp, pemanenan dapat dilakukan sekitar 8 tahun, sedangkan untuk produksi kayu
pertukangan, panen dapat dilakukan pada umur 12–15 tahun. Untuk tanaman
sengon dengan sistem wanatani, panen biasanya dilakukan sekitar 10–15 tahun.
Rotasi umum untuk produksi kayu pulp adalah 6–8 tahun sedangkan untuk
produksi kayu gergajian sekitar 15–17 tahun (Krisnawati et. al. 2011).
Diffusol CB
Bahan pengawet golongan tembaga, krom dan boron (CCB) termasuk bahan
pengawet larut air dan perbedaan dari unsur-unsur tersebut menyebabkan
perbedaan nama atau sebutan dari kelompok bahan pengawet ini, misalnya
impralit CKB, wolmanit CB, dan diffusol CB. Persenyawaan dalam campuran
bahan pengawet CCB mempunyai maksud tertentu. Tembaga dimaksudkan untuk
mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang disebabkan oleh jamur
pelunak (soft rots) dan untuk mencegah serangan binatang laut perusak kayu
Penembusan unsur tembaga kedalam kayu lebih sukar dibandingkan unsur boron.
Unsur boron selain mudah masuk juga mudah luntur namun karena adanya unsur
tembaga yang tahan fiksasi dan tahan terhadap kelunturan maka sifat mudah
luntur dari unsur boron dapat terhambat. Persenyawaan boron dapat mencegah
serangga penggerek kayu dan cendawan perusak kayu, sedangkan persenyawaan

3
krom selain intuk mencegah korosif bahan pengawet, terutama dimaksudkan
untuk meningkatkan fiksasi tembaga dan boron dalam kayu sehinnga bahan
pengawet sukar luntur dan tidak mudah tercuci dalam waktu yang lama (Hunt dan
Garrat 1986).
Sifat-sifat yang menguntungkan dari bahan pengawet larut air antara lain:
(a) Dapat diangkut dalam bentuk padat atau dalam konsentrasi tertentu ke tempat
penggunaan; (b) Formulasinya mudah diatur agar bersifat racun terhadap
cendawan atau serangga; (c) Kayunya tetap bersih dan dapat dicat; (d) Umumnya
tidak berbau, serta (e) Tidak meninggikan sifat bakar kayu dan dapat
dikombinasikan dengan bahan penghambat api (fire retardant). Kekurangan dari
bahan pengawet ini adalah bahan ini membasahkan kembali kayu sehingga
menimbulkan perubahan dimensi kayu, karena itu diperlukan pengeringan
kembali setelah kayu diawetkan. Kelemahan lain bahan pengawet larut air adalah
pada umumnya mudah tercuci atau mudah luntur. Bahan pengawet yang baik
haruslah memiliki sifat-sifat, diantaranya adalah: (a) Bersifat racun terhadap
organisme perusak kayu walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah; (b)
Permanen; (c) Mudah diimpregnasikan (daya penetrasi tinggi) serta mudah
dikontrol; (d) Aman didalam pengangkutan dan penggunaan; (e) Tidak bersifat
korosif; serta (f) Tersedia dalam jumlah yang banyak. Menurut Hunt dan Garrat
(1986), bahan pengawet Diffusol CB adalah bahan pengawet kayu larut air yang
berbentuk pasta berwarna coklat gelap yang terdiri dari asam borat, boraks,
tembaga dan khromium dengan formulasi dengan formulasi CuSO4 (32,4%),
H3BO3 (21,6%), dan Na2Cr2O7 (36,0%).
Pengawetan
Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau
bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu.
Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat
memperpanjang masa pakai kayu, minimal sama dengan masa pakai kayu kelas
awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006). Menurut Hunt dan Garratt (1986),
secara umum proses pengawetan dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan
tekanan dan tidak menggunakan tekanan. Perendaman merupakan salah satu
proses pengawetan tanpa tekanan yang banyak di gunakan untuk mengawetkan
kayu. Hunt dan Garratt (1986), juga menyatakan absorsi bahan pengawet dengan
metode perendaman paling cepat terjadi pada 2 atau 3 hari pertama dilakukan
perendaman. Menurut Dumanau (2001), diacu dalam Kurnia (2009), keuntungan
metode perendaman dalam pengawetan adalah: (a) Retensi dan penetrasi bahan
pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan
pencelupan; (b) Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama; serta (c)
Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila
berkurang). Kerugian metode ini adalah: (a) Waktu yang dibutuhkan untuk proses
pengawetan relatif lama; (b) Peralatan mudah terkena karat; serta (c) Kayu basah
agak sulit diawetkan.

4
Uji Kubur (Grave Yard Test)
Pengujian dengan penguburan dilapang banyak memberi keuntungan, antara
lain kayu yang diuji berada pada kondisi sesuai dengan kondisi tempat pamakaian
sehingga diperoleh data yang dapat diandalkan dan dapat mengukur lama masa
pakai kayu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Nandika (1975), diacu dalam
Nurmeryteni (2007) bahwa cara yang paling baik untuk mengetahui keawetan
kayu adalah menguji kayu tersebut pada kondisi yang sesuai dengan kondisi pada
waktu penggunaanya. Pengujian menggunakan metode penguburan dilapang
merupakan cara pengujian keawetan yang terbaik, kerena organisme perusak kayu
utama seperti rayap dan cendawan diberi kebebasan untuk memilih kayu yang
akan dimakan, sehingga dapat menggambarkan perbandingan ketahanan suatu
kayu terhadap organisme perusak. Darrel (1973), diacu dalam Nurmeryteni
(2007) menerangkan bahwa kayu yang bersentuhan dengan tanah membusuk jauh
lebih cepat dibandingkan kayu yang berada diatas tanah. Hal ini terjadi karena
kelembaban kayu dalam tanah lebih tinggi dibandingakan kayu yang berada diatas
permukaan tanah, dan lebih mudah terjadi pencucian bahan pengawet sehingga
mikroorganisme memiliki peluang lebih tinggi untuk mendegradasi kayu tersebut.

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Arboretum Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE), Laboratorium Sifat Fisis Kayu, dan
Laboratorium Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
pada bulan Agustus sampai Desember 2012.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan elektrik,
masker, gergaji pemotong, cutter, oven, tangki pengawet, eksikator, sarung
tangan, mistar, kaliper, alat tulis, alat hitung, kamera digital, rapido, digital
microscope, software Motic Image Plus 2.0, Microsoft excel 2013, dan AutoCAD
2012. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu sengon (Falcataria
moluccana Miq.) berumur 5, 6 dan 7 tahun dipotong dengan ukuran 2 x 2 x 46
cm, 2 x 2 x 30 cm, 2 x 2 x 2 cm, dan pengawet diffusol CB.
Prosedur Penelitian
Persiapan Contoh Uji
Contoh uji berasal dari kayu sengon (Falcataria moluccana Miq.) berumur
5, 6, dan 7 tahun, dibuat dari log kayu pada 3 posisi ketinggian yang berbeda
yaitu pangkal, tengah dan ujung. Penamaan contoh uji didasarkan pada kombinasi
3 (tiga) varian, yaitu:

5
Varian bagian dalam kayu:
G = Gubal
T = Teras
Varian umur:
5 = 5 tahun
6 = 6 tahun
7 = 7 tahun
Varian posisi ketinggian:
P = Pangkal
T = Tengah
U = Ujung
Contoh uji dibuat dengan ukuran 2 x 2 x 46 cm, diambil dari bagian kulit ke
empulur. Log dibelah pada bagian tengah dari bagian kulit ke kulit melalui
empulur. Masing-masing bagian, dijadikan sebanyak 8 buah contoh uji, dimana
setiap 2 contoh uji digunakan untuk mengukur kadar air (KA), kerapatan, dan
berat jenis. 3 contoh uji akan diawetkan, serta 3 contoh uji lainnya sebagai
kontrol. Contoh uji juga dibuat untuk pengujian sifat mekanis kayu dengan ukuran
2 x 2 x 30 cm. Diagram pengambilan contoh uji pada sengon disajikan pada
Gambar 1.

U
J
U
N
G

6

5

4

3

2

1

1

2

3

4

5

6

KULIT

30 cm

2m

EMPULUR

2m

T
E
N
G
A
H
P
A
N
G
K
A
L

2 cm
1 2

EMPULUR
3
4

1 2 3 4
5 6 7 8

5
6

KULIT

46 cm

2m

PENGAMBILAN CONTOH UJI
SIFAT MEKANIS

7 8

PENGAMBILAN CONTOH UJI SIFAT
FISIS DAN KEAWETAN

2 cm

Gambar 1 Pengambilan contoh uji untuk sifat mekanis dan sifat fisis kayu
Pengeringan Kayu
Sebelum digunakan, contoh uji dikeringkan terlebih dahulu hingga
mencapai kadar air kering udara. Pengeringan dilakukan menggunakan kipas
angin pada seluruh contoh uji hingga masing-masing contoh uji mencapai kadar
air 12−15%.

6
Pengawetan Contoh Uji
Sebelum diawetkan, terlebih dahulu contoh uji diukur panjang, lebar, dan
tebal dan kemudian ditimbang sebagai berat awal. Selanjutnya, contoh uji
direndam dalam bak penampung yang berisi larutan bahan pengawet selama 3
hari. Setelah direndam, contoh uji diangkat dari bak perendaman dan ditiriskan
hingga kering kemudian kayu ditimbang.
Pengamatan dan Pengambilan Data
Kadar Air, Kerapatan dan Berat Jenis
Kadar air dihitung secara gravimetri pada contoh uji berukuran 2 x 2 x 46
cm yang dibuat menjadi contoh uji kecil untuk penentuan kadar air dengan ukuran
2 x 2 x 2 cm sebanyak 5 sampel. Semua contoh uji diukur dimensi panjang, lebar
dan tebal guna memperoleh volume dari contoh uji tersebut. Contoh uji ditimbang
beratnya (BB). Sebanyak 90 contoh uji diawetkan dan 90 contoh uji lainnya tidak
diawetkan. Kemudian, contoh uji di oven selama 48 jam dengan suhu 103 ± 2 0C.
Setelah dioven contoh uji ditimbang kembali (BKT). Kadar air dihitung dengan
rumus berikut:
BB ‒ BKT
KA (%) =
x 100%
BKT
Dimana:
KA
= Kadar air (%)
BB
= Berat awal contoh uji (gram)
BKT
= Berat kering tanur contoh uji (gram)

Kerapatan dihitung dengan rumus berikut:
BB
ρ = V
Dimana:

ρ

BB
V

= Kerapatan contoh uji (gram/cm3)
= Berat awal contoh uji (gram)
= Volume contoh uji (cm3)

Berat jenis dihitung dengan rumus berikut:
ρ Kayu
BJ =
ρ Benda Standar
Dimana:
BJ
ρkayu
ρbenda standar

= Berat jenis
= Kerapatan contoh uji (gram/cm3)
= Kerapatan benda standar (gram/cm3)

7
Retensi
Sebelum dan setelah diawetkan, contoh uji ditimbang untuk mengetahui
retensi bahan pengawet difusol CB. Retensi dihitung menggunakan rumus:
A
R =
x K
V
Dimana:
R
A
V
K

= Retensi bahan pengawet (Kg/m3)
= Absorpsi bahan pengawet (Kg)
= Volume contoh uji yang diawetkan (m3)
= Konsentrasi bahan pengawet (%)

Grave yard test
Penilaian hasil uji grave yard test dilakukan secara visual setelah 3 bulan
pengamatan. Adapun tahapan yang dilakukan dalan penilaian visual ini meliputi:
(a) Contoh digali dari tempat pengujian; (b) Contoh uji dibersihkan dari tanah;
dan (c) Penilaian tingkat serangan secara visual dicocokkan dengan Tabel 1
(Nandika 1975, diacu dalam Nurmeryteni 2007).
Tabel 1 Penilaian visual grave yard test
Penilaian Kualitatif

Tingkatan
A

Tingkat Serangan
Tidak diserang

B

Sedikit diserang

C

Serangan ringan

D

Serangan berat

E

Serangan hancur

Keterangan
Kayu tidak diserang (0%)
Terdapat serangan rayap seperti bekasbekas gigitan dengan kedalaman sampai
12,5%
Terdapat saluran dengan kedalaman
maksimum 25%
Terdapat
saluran
nyata
sampai
kedalaman 37,5%
Serangan mencapai kedalaman > 50%
dari kayu utuh

Penilaian
Kuantitatif
Nilai*
0
1 – 10
11 – 20
21 – 30
31 – 40

*Semakin tinggi nilai, maka kayu tidak awet (Nandika 1975, diacu dalam Nurmeryteni 2007)

Penurunan Berat
Penurunan berat merupakan perbandingan antara berat kering tanur estimate
(W1) contoh uji sebelum dikubur dengan berat kering tanur (W2) contoh uji
setelah dikubur. Setelah 3 bulan, dilakukan perhitungan kehilangan berat
berdasarkan data sebelum dan setelah dikubur. dihitung menggunakan rumus:
W1 – W2
Penurunan Berat (%) =
x 100%
W1
Setelah itu kayu diklasifikasikan kelas awetnya berdasarkan persentase
kehilangan beratnya. Tabel 2 menyajikan klasifikasi kelas awet kayu berdasarkan
persentase kehilangan berat.

8
Tabel 2 Klasifikasi kelas awet kayu berdasarkan persentase kehilangan
berat setelah diumpankan
Kelas
I
II
III
IV
V

Ketahanan
Sangat Tahan
Tahan
Sedang
Buruk
Sangat Buruk

Penurunan Berat (%)
< 3,52
3,52 – 7,50
7,50 – 10,96
10,96 – 18,94
18,94 – 31,89

Sumber: SNI 01.7202-2006

Identifikasi Rayap
Pengambilan foto rayap dan pengukuran tubuh rayap menggunakan
software Motic Image Plus versi 2.0 dan Digital Microscope dengan perbesaran
10x dan 30x. Identifikasi rayap dilakukan secara deskriptif dengan mengamati
karakter tubuh rayap diantaranya ukuran badan, mandibula, ukuran kepala dan
segmen antena. Prosedur identifikasi rayap adalah rayap difoto secara utuh
kemudian dilakukan pengukuran panjang total tubuh rayap. Tubuh rayap yang
utuh dipotong pada bagian kepala. Pengambilan foto diulang kembali pada bagian
kepala dan selanjutnya dilakukan pengukuran kepala rayap dari mandibel sampai
pangkal kepala. Identifikasi pada penelitian ini berdasarkan kunci identifikasi oleh
Tho (1992).
Modulus of Elasticity (MOE)
Contoh uji yang digunakan untuk pengujian Modulus elastisitas (MOE)
adalah 2 x 2 x 30 cm. Pengujian dilakukan menggunakan alat UTM (Universal
Testing Machine) dengan pembebanan terpusat. Pola pembebanan pengujian
sesuai dengan standar BS 373. Nilai MOE dihitung dengan menggunakan rumus:
MOE
Dimana:
MOE
L
Δp
Δy
B
h

=

Δp x L3
4 x Δy x b x h2

= Modulus elastisitas (kg/cm2)
= Jarak bentang (cm)
= Beban sampai batas proporsi (kg)
= Defleksi akibat beban Δp (cm)
= Lebar balok (cm)
= Tinggi balok (cm)

Modulus of Rupture (MOR)
Teknik pengujian keteguhan patah (MOR) yang dilakukan sama dengan
teknik pengujian Modulus elastisitas (MOE). Pengujian keteguhan lentur
dilakukan untuk mengetahui ukuran kemampuan benda untuk menahan beban
lentur maksimum sampai saat benda tersebut mengalami kerusakan. Nilai MOR
dihitung dengan menggunakan rumus:

9
MOR
Dimana:
MOR
Pmaks
L
b
h

=

3 x Pmaks x L
2 x b x h2

= Modulus patah (kg/cm2)
= Beban maksimum (kg)
= Jarak bentang (cm)
= Lebar balok (cm)
= Tinggi balok (cm)

Analisis Data
Analisis data secara deskriptif menggunakan perangkat lunak Microsoft
excel 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keawetan Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)
Retensi Bahan Pengawet
Efektifitas pengawetan tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki
oleh bahan pengawet, akan tetapi juga ditentukan oleh jumlah bahan pengawet
yang masuk kedalam kayu atau retensi (Hunt dan Garrat 1986). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan rendaman dingin diffusol CB dapat menghasilkan
retensi bahan pengawet kayu sengon seperti hasil yang disajikan pada Gambar 2
dan Lampiran 1.
18
16

5 TAHUN

Retensi (Kg/m³)

14

6 TAHUN

7 TAHUN

12
10
8
6
4
2

T7U

G7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0

Perlakuan

Gambar 2 Histogram retensi rata-rata bahan pengawet diffusol CB kayu
sengon pada tiga umur berbeda
Gambar 2 merupakan histogram retensi bahan pengawet dimana retensi
cenderung meningkat dari bagian pangkal hingga ujung pada semua tingkat umur

10
kayu sengon. Histogram tersebut juga menyatakan nilai rata-rata retensi paling
tinggi terdapat pada kayu sengon umur lima tahun yang dekat empulur bagian
ujung (T5U) yaitu 17,31 kg/cm3, nilai rataan retensi terendah terdapat pada kayu
sengon umur 7 tahun dekat kulit bagian pangkal (G7P) yaitu 8,01 kg/cm3.
Penurunan Berat
Martawijaya (1996) menyatakan bahwa penurunan berat merupakan salah
satu faktor yang menentukan ketahanan suatu bahan. Menurunnya berat kayu
akibat serangan rayap, karena di dalam kayu terdapat selulosa yang disukai oleh
rayap. Dengan demikian, terjadinya penurunan berat kayu sebagai suatu akibat
adanya selulosa dalam kayu yang dimakan rayap tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan rendaman dingin diffusol CB dapat meningkatkan
ketahanan (keawetan) kayu sengon jika dibandingkan dengan kontrol, seperti hasil
yang tersaji pada Gambar 3A, Gambar 3B dan Lampiran 2.
35

Penurunan Berat (%)

30

5 TAHUN

25

6 TAHUN

Kelas
V

7 TAHUN

20
Kelas
IV

15
10
5

T7U

G7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0

A. Perlakuan Tanpa Pengawet

35
Penurunan Berat (%)

30
25
20

5 TAHUN

6 TAHUN

7 TAHUN

15
10
Kelas
II

5
T7U

G7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0

B. Perlakuan Dengan Pengawet

Gambar 3 Histogram penurunan berat kayu sengon tanpa pengawet (A) dan
menggunakan bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

11
Gambar 3A merupakan histogram penurunan berat yang terjadi pada kayu
sengon tanpa perlakuan bahan pengawet (kontrol) dimana penurunan berat
cenderung meningkat dari bagian pangkal hingga ujung pada semua tingkat umur
kayu sengon. Hasil pada Gambar 3B merupakan histogram penurunan berat yang
terjadi pada kayu sengon dengan perlakuan bahan pengawet dimana penurunan
berat cenderung menurun dari bagian pangkal hingga ujung pada semua tingkat
umur kayu sengon. Nilai penurunan berat terendah terdapat pada contoh uji
menggunakan bahan pengawet umur 5 tahun dekat empulur pada bagian ujung
(T5U) yaitu sebesar 3,91%, sedangkan untuk penurunan berat tertinggi terdapat
pada contoh uji tanpa bahan pengawet umur 5 tahun dekat empulur bagian ujung
(T5U) yaitu sebesar 31,81 %. Hal ini terjadi karena pemberian bahan pengawet
dapat melindungi kayu dari organisme perusak.
Klasifikasi kelas awet kayu berdasarkan persentase kehilangan berat setelah
diumpankan, kayu sengon tanpa menggunakan bahan pengewet termasuk dalam
kelas awet IV-V sedangkan kayu yang menggunakan bahan pengewet termasuk
dalam kelas awet II. Oey (1990), diacu dalam Kurnia (2009) menyatakan bahwa
kayu kelas awet II yang selalu berhubungan langsung dengan tanah hanya
memilki masa pakai 5 tahun sedangkan kayu kelas awet IV-V yang selalu
berhubungan langsung dengan tanah memilki masa pakai yang sangat pendek.
Penilaian Grave Yard Test
Penilaian grave yard test dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara
mengamati kerusakan yang terjadi pada setiap contoh uji. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan rendaman dingin diffusol CB dapat menurunkan
tingkat serangan organisme perusak terhadap kayu sengon jika dibandingkan
dengan kontrol, seperti hasil yang tersaji juga pada Tabel 3 dan Lampiran 3.
Tabel 3 Rekapitulasi hasil penilaian visual grave yard test kayu sengon
pada tiga umur berbeda
Jumlah Contoh
Uji
Tanpa pengawet
54
Pengawet
54
Perlakuan

A
0
54

Tingkat Serangan
B
C
D
0
2
3
0
0
0

E
49
0

Tabel 3 menunjukkan tingkat serangan organisme perusak yang terjadi pada
kayu sengon tanpa perlakuan bahan pengawet (kontrol) sangat tinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan berbahan pengawet yang menunjukkan hampir
tidak memperlihatkan adanya kerusakan. Kerusakan yang terjadi pada kontrol
umumnya disebabkan oleh jamur dan rayap tanah saat dilakukan pembongkaran
contoh uji. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jamur yang menyerang yaitu
Pycnoporus cinnabarinus yang terbukti dengan adanya hifa berwarna orange pada
saat pembongkaran contoh uji. Rayap tanah yang menyerang yaitu Macrotermes
gilvus (Gambar 4) yang berdasarkan hasil analisis kunci identifikasi jenis rayap
dengan ukuran besar, panjang tubuh rayap ditambah mandibel sebesar 8 mm,
kepala berwarna coklat kemerahan, panjang kepala ditambah mandible sebesar 4,7
mm, panjang kepala tanpa mandible sebesar 3,4 mm, lebar kepala sebesar 2,8 mm,
dan ruas antena sejumlah 17 segmen.

12

Gambar 4 Contoh uji yang mengalami kerusakan dan rayap Macrotermes
gilvus
Tingkat serangan organisme perusak terbesar terjadi pada kontrol didukung
oleh kondisi lingkungan sebagai habitat yang relatif disukai oleh rayap. Hasil
pengamatan menunjukkan tingkat serangan rayap pada contoh uji kontrol lebih
tinggi terjadi pada bagian yang ditanam. Hal ini disebakan kondisi yang lembab
dan ternaungi tegakan, sehingga populasi rayap berkembang lebih banyak, yang
menyebabkan terjadinya kerusakan tinggi pada contoh uji.
Sifat Fisis Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)
Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam kayu (Panshin
dan De Zeeuw 1964, diacu dalam Nurelaxa 2009). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan rendaman dingin diffusol CB meningkatkan kadar air kayu
sengon, seperti hasil yang tersaji juga pada Gambar 5A, Gambar 5B dan Lampiran
4.
Gambar 5A merupakan histogram kadar air kayu sengon tanpa perlakuan
bahan pengawet (kontrol) dimana kadar air cenderung menurun dari bagian
pangkal hingga ujung pada semua tingkat umur kayu sengon. Gambar 5B
(histogram kadar air dengan perlakuan bahan pengawet) yang menyatakan kadar
air cenderung menurun dari bagian pangkal hingga ujung pada semua tingkat
umur kayu sengon. Nilai kadar air terendah terdapat pada contoh uji tanpa bahan
pengawet umur 7 tahun mendekati kulit pada bagian pangkal (G7P) yaitu sebesar
11,33%. Sedangkan, untuk kadar air tertinggi terdapat pada contoh uji
menggunakan bahan pengawet umur 5 tahun dekat empulur bagian ujung (T5U)
yaitu sebesar 13,8%.

13
14.0

KadarAir (%)

13.5

5 TAHUN

6 TAHUN

7 TAHUN

13.0
12.5
12.0
11.5
11.0

G7U

T7U

G7U

T7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

10.5

A. Perlakuan Tanpa Pengawet

14.0

5 TAHUN

6 TAHUN

7 TAHUN

KadarAir (%)

13.5
13.0
12.5
12.0
11.5
11.0

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

10.5

B. Perlakuan Dengan Pengawet

Gambar 5

Histogram kadar air kayu sengon tanpa pengawet (A) dan
menggunakan bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

Kondisi kering udara merupakan kondisi yang paling dikehendaki dalam
pemakaian kayu. Hal ini dikarenakan dalam kondisi kering udara tidak lagi terjadi
perubahan bentuk yang penting seperti bengkok, pecah, belah dan sebagainya.
Suatu kayu dikatakan dalam kondisi kering udara apabila terjadi keseimbangan
antara kadar air kayu dan kadar air udara yang disekitarnya. (Oey 1990).
Kerapatan
Kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu
dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m³ atau g/cm³. Menurut Bowyer et
al. (2003), kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding
sel kayu maupun zat-zat lain, dimana bahan tersebut memberikan sifat kekuatan
pada kayu. Kerapatan suatu kayu berkaitan erat dengan berat jenisnya dan
menjadi faktor penentu kekuatan suatu kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

14
perlakuan rendaman dingin diffusol CB meningkatkan kerapatan kayu sengon,
seperti hasil yang tersaji juga pada Gambar 6A, Gambar 6B dan Lampiran 5.
0.45

5 TAHUN

Kerapatan(g/cm³)

0.40

6 TAHUN

7 TAHUN

0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05

G7U

T7U

G7U

T7U

T7T

T7P

G7T

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0.00

A. Perlakuan Tanpa Pengawet

0.45

5 TAHUN

Kerapatan(g/cm³)

0.40

6 TAHUN

7 TAHUN

0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05

T7T

T7P

G7T

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0.00

B. Perlakuan Dengan Pengawet

Gambar 6

Histogram kerapatan kayu sengon tanpa pengawet (A) dan
menggunakan bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

Gambar 6A merupakan histogram kerapatan kayu sengon tanpa perlakuan
bahan pengawet (kontrol) dimana kerapatan cenderung menurun dari bagian
pangkal hingga ujung pada semua tingkat umur kayu sengon, seperti halnya pada
Gambar 6B (histogram kerapatan dengan perlakuan bahan pengawet) yang
menyatakan kerapatan cenderung menurun dari bagian pangkal hingga ujung pada
semua tingkat umur kayu sengon. Nilai kerapatan terendah terdapat pada contoh
uji tanpa menggunakan bahan pengawet umur 5 tahun dekat empulur pada bagian
ujung (T5U) yaitu sebesar 0,229 gram/cm3 dan kerapatan tertinggi terdapat pada
contoh uji umur 7 tahun dekat kulit bagian pangkal (G7P) yaitu sebesar 0,423
gram/cm3. Bowyer et al. (2003), mengungkapkan bahwa kerapatan akan
bertambah dari empulur ke arah luar kemudian akan mencapai tingkat yang kirakira konstan. Selain itu, variasi kerapatan suatu kayu tergantung dari umur, posisi

15
dalam suatu pohon, letak dalam kisaran spesies, kondisi tempat tumbuh dan
susunan genetik dalam pohon tersebut.
Berat Jenis
Berat jenis didefinisikan sebagai perbandingan antara kerapatan kayu
dengan kerapatan benda standar (air). Berat jenis suatu kayu dipengaruhi oleh
kadar air kayu, kadar zat kayu dan zat ekstraktif (Haygreen dan Bowyer 1996).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan rendaman dingin diffusol CB
meningkatkan berat jenis kayu sengon, seperti hasil yang tersaji juga pada
Gambar 7A, Gambar 7B dan Lampiran 6.
0.45

5 TAHUN

0.40

6 TAHUN

7 TAHUN

Berat Jenis

0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05

T7U

G7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0.00

A. Perlakuan Tanpa Pengawet

0.45

5 TAHUN

0.40

6 TAHUN

7 TAHUN

Berat Jenis

0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05

T7U

G7U

T7T

G7T

T7P

G7P

T6U

G6U

T6T

G6T

T6P

G6P

T5U

G5U

T5T

G5T

T5P

G5P

0.00

B. Perlakuan Dengan Pengawet

Gambar 7

Histogram berat jenis sengon tanpa pengawet (A) dan
menggunakan bahan pengawet (B) pada tiga umur berbeda

Gambar 7A merupakan histogram berat jenis kayu sengon tanpa perlakuan
bahan pengawet (kontrol) dimana berat jenis cenderung menurun dari bagian
pangkal hingga ujung pada semua tingkat umur kayu sengon. Hasil pada Gambar

16
7B (histogram berat jenis dengan perlakuan bahan pengawet) juga
memperlihatkan berat jenis cenderung menurun dari bagian pangkal hingga ujung
pada semua tingkat umur kayu sengon. Hasil penelitian menunjukkan nilai berat
jenis terendah terdapat pada contoh uji tanpa menggunakan bahan pengawet umur
5 tahun dekat empulur pada bagian ujung (T5U) yaitu sebesar 0,229 gram/cm3 dan
berat jenis tertinggi terdapat pada contoh uji umur 7 tahun mendekati kulit bagian
pangkal (G7P) yaitu sebesar 0,407 gram/cm3.
Oey (1990) menyatakan bahwa, berat jenis yang tinggi disebabkan oleh
kadar ekstraktif atau endapan-endapan yang terdapat di antara serabut-serabut
kayu yang tinggi. Pertambahan tebal dari dinding sel serabut kayu inilah yang
dapat meningkatkan berat jenis kayu tersebut sehingga dapat meningkatkan
kekuatan mekaniknya. Pandit (2006) juga menyatakan bahwa tebal dinding sel,
dimensi penampang lintang sel (diameter sel dan tebal dinding sel), lebar
lingkaran tahun (riap) dan perbandingan antara kayu awal dan kayu akhir akan
menentukan variasi berat jenis kayu. Variasi berat jenis kayu dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu umur pohon, tempat tumbuh, posisi kayu dalam batang
dan kecepatan pertumbuhan batang (Pandit dan Kurniawan 2008).
Sifat Mekanis Kayu Sengon (Falcataria mollucana Miq.)
Modulus Elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE)
Pengujian lentur statis pada suatu balok akan mengalami lenturan apabila
ditengah-tengah antara kedua penyangga balok tersebut diberikan beban terpusat.
Akibat adanya beban tersebut, serat kayu pada bagian atas akan mengalami tekan
maksimum dan pada bagian bawah akan mengalami gaya tarik maksimum,
sedangkan pada garis netral akan terjadi tegangan normal (Rostina 2001). Oleh
sebab itu, sebaiknya kayu yang memiliki kekakuan bahan tinggi ditempatkan pada
permukaan atas dan bawah (Bodig dan Jayne 1982, diacu dalam Sari 2011). Hasil
penelitian menunjukkan nilai MOE kayu sengon umur 5 tahun, umur 6 tahun dan
umur 7 tahun cenderung meningkat dari empulur hingga kulit, seperti hasil yang
tersaji pada Gambar 8 dan Lampiran 7.

MOE (Kg/cm²)

17
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
1

2

3

4

Empulur ke Kulit
5 Tahun
6 Tahun

5

6

7 Tahun

Gambar 8 Grafik MOE kayu sengon pada tiga umur berbeda
Modulus Patah (Modulus of Rupture, MOR)

MOR (Kg/cm²)

Kayu yang kedua ujungnya ditumpu kemudian diberi beban terpusat pada
bagian tengah kayu tersebut, maka akan mengalami tegangan dan akan mengalami
perubahan bentuk. Tegangan yang muncul adalah tegangan normal dan tegangan
geser. Tegangan normal ini biasanya disebut tegangan lentur (tarik atau tekan).
Tegangan lentur maksimum biasa disimbolkan dengan MOR (Mardikanto et al.
2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai MOR kayu sengon umur 5
tahun, umur 6 tahun dan umur 7 tahun cenderung meningkat dari empulur hingga
kulit, seperti hasil yang tersaji pada Gambar 9 dan Lampiran 8.
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1

2

3

4

Empulur ke Kulit
5 Tahun
6 Tahun

5

6

7 Tahun

Gambar 9 Grafik MOR kayu sengon pada tiga umur berbeda
Umumnya jenis kayu dengan kerapatan tinggi cenderung memiliki kekuatan
yang semakin meningkat karena kerapatan dan kekuatan patah suatu bahan adalah

18
berbanding lurus (Bowyer et al. 2003). Disamping kerapatan kayu, kekuatan juga
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya cacat pada suatu kayu. Cacat yang dapat
mengurangi kekuatan kayu antara lain adalah mata kayu, serat miring, retak atau
pecah, dan ada tidaknya cacat pada kayu tersebut (Tsoumis 1991).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.

2.

3.

Pemberian bahan pengawet diffusol CB melalui metode rendaman dingin
pada kayu sengon dapat meningkatkan sifat fisis (kadar air, berat jenis dan
kerapatan kayu) dan keawaetan kayu (retensi, penurunan berat dan grave
yard test) jika dibandingkan dengan kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi bahan pengawet diffusol
CB pada umur 5, 6 dan 7 tahun dapat mengurangi serangan organisme
perusak dibandingkan dengan kontrol.
Sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu sengon umur 5, 6 dan 7 tahun pada
posisi pangkal cenderung menurun dari bagian kulit menuju empulur kayu.

Saran
1.

2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji anatomi dan
karakteristik kayu sengon agar dalam pengerjaannya dapat dimanfaatkan
dengan secara tepat.
Adanya penelitian lanjutan menggunakan diffusol CB dengan menggunakan
metode pengawetan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Batubara R. 2006. Teknologi pengawetan perumahan dan gedung dalam upaya
pelestarian hutan [karya imliah].
Medan (ID): Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatra Utara.
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Product and Wood Science
: An Introduction. Iowa (US): Iowa State Pr.
[BS] British Standard. 1957. Methods of Testing Small Clear Specimens of
Timber. BS-373.
[Dephut] Departemen Kehutanan, [BSN] Badan Statistika Nasional. 2004.
Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Jakarta (ID): Pusat Inventarisasi dan
Statistika Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Direktorat Statistika
Pertanian, Badan Statistika Nasional.
Haygreen JG, Bowyer JI. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar.
Diterjemahkan oleh Hadikusumo SA. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
University Pr.

19
Hunt GM, Garrat GA. 1986. Wood Preservation. New York (US): McGraw-Hill
Book Company.
Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen : Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor (ID): Center for
International Forestry Research.
Kurnia A. 2009. Sifat keterawetan dan keawetan kayu durian, limus, dan duku
terhadap rayap kayu kering, rayap tanah, dan jamur pelapuk [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Mardikanto TR, Karlinasari L, Effendi TB. 2011. Sifat Mekanis. Bogor (ID):
IPB Pr.
Martawijaya A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya.
Petunjuk Teknis. Bogor (ID): Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
Nurmeryteni I. 2007. Uji kubur kayu afrika (Maesosis eminii Engl.) yang
diawetkan dengan bahan pengawet impralit CKB [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Nurelaxa FD. 2009. Karakteristik sifat anatomi dan fisis small diameter log
sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dan gmelina (Gmelina
arborea Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Oey DS. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian
Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Soewarsono PH, penerjemah.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Terjemahan
dari: Specific Gravity of Indonesian Woods and Its Significance for
Practical Use.
Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Pandit IKN. 2006. Variabilitas Sifat Dasar Kayu. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Anatomi Kayu: Struktur Kayu, Kayu Sebagai
Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Rostina T. 2001. Pengaruh jumlah lapisan dan komposisi kekakuan lamina
terhadap keteguhan lentur statis balok laminasi kayu kelapa (Cocos nucifera
Linn.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari RJP. 2011. Karakteristik balok laminasi dari kayu sengon (Paraserianthes
falcataria (l.) Nielsen), manii (Maesopsis eminii Willd.), dan akasia (Acacia
mangium Engl.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI 01.7202-2006 tentang klasifikasi
kelas awet kayu berdasarkan persentase kehilangan berat. Jakarta (ID):
Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Kualalumpur (MY): Forest
Research Institute Malaysia.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, properties,
utilization. New York (US): Van Nostrand Reinhold.

20

LAMPIRAN
Lampiran 1
Posisi
G5P
T5P
G5T
T5T
G5U
T5U

Nilai rata-rata retensi kayu sengon (Falcataria moluccana
Miq.) pada umur 5, 6 dan 7 tahun

Retensi
8,53
8,92
9,21
10,16
10,54
15,31

Posisi
G6P
T6P
G6T
T6T
G6U
T6U

Retensi
8,45
8,78
9,12
10,06
10,52
13,13

Posisi
G7P
T7P
G7T
T7T
G7U
T7U

Retensi
8,01
8,66
8,92
9,32
10,37
12,86

21
Lampiran 2

Nilai rata-rata penurunan berat kayu sengon (Falcataria
moluccana Miq.) diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6
dan 7 tahun

A. Penurunan berat kayu sengon tidak diawetkan
Posisi
G5P
G5P
G5P
T5P
T5P
T5P
G5T
G5T
G5T
T5T
T5T
T5T
G5U
G5U
G5U
T5U
T5U
T5U
G6P
G6P
G6P
T6P
T6P
T6P
G6T
G6T
G6T
T6T
T6T
T6T
G6U
G6U
G6U
T6U
T6U
T6U

Ulangan Respon (%) Rataan (%)
Ketahanan
1
14,18
Buruk
2
12,96 Buruk
12,59
3
12,11
Buruk
1
14,46
Buruk
2
14,37
14,04
Buruk
3
14,62
Buruk
1
15,66
Buruk
2
15,79 Buruk
14,84
3
16,88
Buruk
1
17,07
Buruk
2
16,50 Buruk
16,58
3
15,83
Buruk
1
19,82
Sangat Buruk
2
19,91 Sangat Buruk
19,63
3
20,30
Sangat Buruk
1
31,51
Sangat Buruk
2
32,48 Sangat Buruk
31,72
3
32,20
Sangat Buruk
1
12,58
Buruk
2
12,59
12,84
Buruk
3
12,34
Buruk
1
13,06
Buruk
2
13,38 Buruk
12,00
3
15,08
Buruk
1
14,53
Buruk
2
15,71 Buruk
16,07
3
16,53
Buruk
1
15,40
Buruk
2
15,95
17,59
Buruk
3
14,85
Buruk
1
19,06
Sangat Buruk
2
19,47 Sangat Buruk
20,24
3
19,11
Sangat Buruk
1
26,93
Sangat Buruk
2
26,22 Sangat Buruk
25,11
3
26,63
Sangat Buruk

Kelas Awet
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
V
V
V
V
V
V
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
V
V
V
V
V
V

22
Lampiran 2A Lanjutan
Posisi
G7P
G7P
G7P
T7P
T7P
T7P
G7T
G7T
G7T
T7T
T7T
T7T
G7U
G7U
G7U
T7U
T7U
T7U

Ulangan Respon (%) Rataan (%)
Ketahanan
1
11,01
Buruk
2
12,20 Buruk
12,95
3
12,64
Buruk
1
13,58
Buruk
2
13,24 Buruk
11,07
3
15,08
Buruk
1
15,81
Buruk
2
14,56 Buruk
14,46
3
13,40
Buruk
1
15,50
Buruk
2
15,90 Buruk
15,97
3
16,21
Buruk
1
19,38
Sangat Buruk
2
19,41
19,41
Sangat Buruk
3
19,44
Sangat Buruk
1
23,80
Sangat Buruk
2
23,17 Sangat Buruk
22,12
3
23,61
Sangat Buruk

Kelas Awet
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
V
V
V
V
V
V

B. Penurunan berat kayu sengon yang diawetkan
Posisi
G5P
G5P
G5P
T5P
T5P
T5P
G5T
G5T
G5T
T5T
T5T
T5T
G5U
G5U
G5U
T5U
T5U
T5U

Ulangan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Respon (%)
5,79
5,28
5,86
5,38
5,42
5,41
5,00
5,12
5,19
4,87
4,89
5,09
4,42
4,64
3,81
4,17
4,01
3,53

Rataan (%)
5,65

5,40

5,10

4,95

4,29

3,91

Ketahanan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan

Kelas Awet
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II

23
Lampiran 2B Lanjutan
Posisi
G6P
G6P
G6P
T6P
T6P
T6P
G6T
G6T
G6T
T6T
T6T
T6T
G6U
G6U
G6U
T6U
T6U
T6U
G7P
G7P
G7P
T7P
T7P
T7P
G7T
G7T
G7T
T7T
T7T
T7T
G7U
G7U
G7U
T7U
T7U
T7U

Ulangan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Respon (%)
5,31
6,25
5,44
6,29
5,53
4,45
5,65
5,62
4,37
5,18
5,06
4,74
4,60
4,37
4,55
3,77
4,39
4,00
6,31
6,00
5,80
5,59
5,74
5,10
5,97
5,67
4,39
4,85
5,57
4,78
4,40
4,90
5,38
4,03
4,36
3,97

Rataan (%)
5,66

5,42

5,21

4,99

4,51

4,06

6,04

5,48

5,34

5,07

4,89

4,12

Ketahanan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan
Tahan

Kelas Awet
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
II

24
Lampiran 3 Hasil penilaian visual grave yard test kayu sengon (Falcataria
moluccana Miq.) diawetkan dan tidak diawetkan umur 5, 6 dan
7 tahun

Contoh
Uji
G5P
T5P
G5T
T5T
G5U
T5U
G6P
T6P
G6T
T6T
G6U
T6U
G7P
T7P
G7T
T7T
G7U
T7U

Perlakuan
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet
Tanpa pengawet
Pengawet

Tingkat Serangan

Jumlah
Contoh Uji

A

B

C

D

E

3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3
0
3

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
1
0
1
0
0