Pemodelan Curah Hujan dengan Model Fungsi Transfer Input Ganda

PEMODELAN CURAH HUJAN
DENGAN MODEL FUNGSI TRANSFER INPUT GANDA

YULIANTI HASANAH

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Curah
Hujan dengan Model Fungsi Transfer Input Ganda adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Yulianti Hasanah
NIM G14090005

ABSTRAK
YULIANTI HASANAH. Pemodelan Curah Hujan dengan Model Fungsi
Transfer Input Ganda. Dibimbing oleh YENNI ANGRAINI dan DIAN
KUSUMANINGRUM.
Banjir merupakan kejadian alam yang memiliki pola tidak menentu. Waktu
terjadinya banjir dapat dideteksi salah satu caranya dengan meramalkan curah
hujan. Besarnya curah hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu
dan kelembapan. Data curah hujan, suhu dan kelembapan merupakan data deret
waktu yang memiliki karakteristik data yang tidak saling bebas. Peramalan untuk
data deret waktu dapat dimodelkan dengan model ARIMA. Hasil peramalan
model ARIMA kurang baik karena tidak mendekati data aktual hal ini ditunjukkan
dengan nilai MAPE sebesar 37.01%. Oleh karena itu diterapkan model fungsi
transfer untuk meramalkan curah hujan sebagai deret output dengan menggunakan
suhu dan kelembapan sebagai deret input. Hasil peramalan model fungsi transfer

cukup baik digunakan dalam peramalan curah hujan jangka pendek (1 minggu)
yang dapat dilihat dari nilai MAPE sebesar 5.28%. Walaupun model fungsi
transfer memiliki nilai MAPE yang lebih kecil dibandingkan model ARIMA,
model fungsi transfer tidak cukup baik digunakan dalam peramalan curah hujan
jangka panjang (1 bulan) yang dapat dilihat dari nilai MAPE sebesar 31.68%
sehingga tidak dapat mendeteksi terjadinya banjir dengan baik. Berdasarkan nilai
MAPE tersebut dapat disimpulkan bahwa model fungsi transfer lebih baik
dibandingkan dengan model ARIMA.
Kata kunci: curah hujan, model ARIMA, model fungsi transfer

ABSTRACT
YULIANTI HASANAH. Modelling of Rainfall by Using Multiple-input
Transfer Function Model. Supervised by YENNI ANGRAINI and DIAN
KUSUMANINGRUM.
Floods are natural events that have erratic pattern. The time when floods
occure are detectable, when we are able to forecast rainfall. The amount of rainfall
is influenced by several factors, including temperature and humidity. Rainfall,
temperature, and humidity are time series data that have are not independent.
Forecasting for time series data can be done by using ARIMA model. Forecasting
result from ARIMA models are not satisfying because it is not close to the actual

data, which was also showed by its MAPE value of 37.01%. Hence the transfer
function model was applied to forecast rainfall as the output variable along with
temperature and humuidity factor as the input variable. The result from transfer
function model used for short run forecasting (1 week) was quite good which can
be seen by its MAPE value of 5.28%. Although transfer function model has a
lower MAPE value compared to ARIMA model, transfer function model is not
good enough to be used on long-term (1 month) rainfall forecasting, which is
showed by its MAPE value of 31.68% and it could not detect flood occurence
well. Based on those MAPE values it can be concluded that the transfer function
model is still better than ARIMA model.
Keywords: ARIMA model, rainfall, transfer function model

PEMODELAN CURAH HUJAN
DENGAN MODEL FUNGSI TRANSFER INPUT GANDA

YULIANTI HASANAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Statistika

pada
Departemen Statistika

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Pemodelan Curah Hujan dengan Model Fungsi Transfer Input Ganda.
Penulis mendapatkan banyak inspirasi, ilmu, dan pelajaran selama proses
pembuatan tulisan ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Ibu Yenni Angraini, SSi MSi dan Ibu Dian Kusumaningrum, SSi MSi
sebagai pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan waktu
dan sarannya kepada penulis.
2. Bapak Dr Bagus Suhartono, MSi sebagai penguji yang telah memberikan

saran kepada penulis.
3. Seluruh dosen Departemen Statistika atas ilmu yang diberikannya selama
penulis melaksanakan pendidikan.
4. Mamah, Aa dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya yang tidak
pernah putus.
5. Teman-teman Statistika 46 atas kebersamaannya selama kuliah, serta
kakak dan adik kelas Statistika IPB.
6. Seluruh staff Departemen Statistika atas segala bantuannya.
7. Seluruh teman-teman penulis di IPB.
Penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari
bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan adanya kritik
dan saran dari pembaca. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bogor, Februari 2015
Yulianti Hasanah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

vii
vii
viii
1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

METODOLOGI

2


Data

2

Metode

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Eksplorasi Data

6

Mempersiapkan Deret Input dan Deret Output untuk Memeriksa
Kestasioneran Data

8


Pembentukan Model ARIMA (p,d,q)

9

Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Curah hujan ( )
Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Suhu (

1,

9

)

Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Kelembapan (

10
2,

)


11

Prewhitening Deret Input dan Deret Output

12

Identifikasi Model Fungsi Tranfer Input Ganda Awal

13

Identifikasi Model ARIMA Deret Sisaan

14

Model Fungsi Transfer Input Ganda Akhir

14

Peramalan


15

Perbandingan Model ARIMA dengan Fungsi Transfer

15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA


17

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
Nilai lambda (λ) dan jenis transformasi
Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data curah hujan ( )
3. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk data curah hujan ( )
4. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data suhu ( 1, )
5. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk suhu ( 1, )
6. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data kelembapan ( 2, )
7. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk data kelembapan ( 2, )
8. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model fungsi transfer
untuk deret input suhu ( 1, )
9. Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model fungsi transfer
untuk deret input kelembapan ( 2, )
10. Nilai AIC dan SBC dari hasil identifikasi model ARIMA untuk deret
sisaan
1.
2.

3
10
10
11
11
12
12
13
13
14

DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Data curah hujan pada periode Oktober-Desember 2007
Data suhu pada periode Oktober-Desember 2007
Data kelembapan pada periode Oktober-Desember 2007
Data curah hujan yang telah stasioner
Data suhu dan kelembapan yang telah stasioner
Plot ACF dan PACF data curah hujan yang telah stasioner
Plot ACF dan PACF data suhu yang telah stasioner
Plot ACF dan PACF data kelembapan yang telah stasioner
Plot perbandingan hasil peramalan model fungsi transfer, model
ARIMA dan data aktual

7
7
8
8
9
9
10
11
16

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Flowchart umum penelitian
Flowchart pemeriksaan kestasioneran data
Flowchart pembuatan model ARIMA (p,d,q)
Flowchart pembuatan model fungsi transfer input ganda
Plot Box-Cox data asli untuk data curah hujan
Plot Box-Cox data curah hujan yang sudah di transformasi
Plot ACF dan PACF data curah hujan (ln yt )
Plot Box-Cox untuk data suhu dan kelembapan
Hasil uji Augmented Dickey-Fuller
Plot ACF dan PACF data asli suhu dan kelembapan
Pendugaan parameter akhir untuk curah hujan (zt), suhu ( 1, ) dan
kelembapan ( 2, )
Uji Ljung-Box untuk seluruh data
Hasil korelasi silang 1,t dan 1,
Hasil korelasi silang 2,t dan 2,t
Model fungsi transfer input ganda awal untuk deret input suhu ( 1, )
dan kelembapan ( 2, )
Plot ACF dan PACF dari deret sisaan model fungsi transfer input ganda
awal
Pendugaan parameter akhir model fungsi transfer input ganda akhir
Uji Ljung-Box untuk seluruh data pada model fungsi transfer input
ganda akhir
Perbandingan hasil peramalan model fungsi transfer, model ARIMA
dan data aktual

18
18
19
20
21
21
21
21
22
22
22
23
23
24
24
25
26
26
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banjir disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tingginya intensitas
curah hujan, tersumbatnya saluran air sungai oleh tumpukan sampah, alih fungsi
kawasan penampungan air dan sebagainya (BMKG 2013). Pada tahun 2007
terjadi banjir di wilayah Jakarta yang disebabkan karena meningkatnya intensitas
curah hujan pada bulan Oktober hingga bulan Maret yang mencapai puncaknya
pada bulan Febuari. Banjir tersebut mengakibatkan kerugian materi ditaksir
mencapai 8.8 triliun rupiah, 79 korban jiwa dan 590,407 pengungsi
(Bappenas 2007).
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa kerugian yang
diakibatkan bencana banjir ini cukup besar. Oleh karena itu sangat dibutuhkan
pemberitahuan dini sebelum bencana ini terjadi untuk meminimalisir kerugian
yang terjadi, salah satu caranya adalah peramalan terhadap cuaca khususnya curah
hujan. Curah hujan adalah banyaknya air yang jatuh ke permukaan bumi dalam
satuan milimeter (mm) per satuan luas 1m2 dengan catatan tidak ada yang
menguap, meresap atau mengalir (Aldrian et al. 2011). Intensitas curah hujan
merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan
berlangsung. Banjir terjadi jika intensitas curah hujan cenderung meningkat dari
125 mm/hari (BMKG 2013).
Salah satu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tua (2013) mengenai
peramalan curah hujan menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving
Average (ARIMA). Penelitian tersebut menyatakan bahwa model ARIMA belum
cukup baik digunakan dalam peramalan dikarenakan nilai hasil peramalan belum
mendekati nilai data aktual. Sehingga disarankan untuk meramalkan curah hujan
dengan mempertimbangkan peubah lainnya seperti suhu, kelembapan, tekanan
udara, dan kecepatan angin. Swarinoto dan Sugiyono (2011) melakukan penelitian
mengenai prediksi hujan bulanan di Bandar Lampung menggunakan metode
regresi. Penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan antara curah hujan
dengan suhu dan kelembapan. Data curah hujan, suhu dan kelembapan merupakan
data deret waktu yang memiliki karakteristik data yang tidak saling bebas. Hal
inilah yang mendasari model fungsi transfer untuk diterapkan dalam meramalkan
curah hujan.
Model fungsi transfer merupakan suatu model peramalan deret waktu
berganda yang menggabungkan beberapa karakteristik dari model ARIMA satu
peubah dengan beberapa karakteristik analisis regresi berganda (Makridakis et al.
1995). Model fungsi transfer diharapkan dapat menjelaskan pengaruh dari suhu
dan kelembapan terhadap curah hujan sehingga dapat dipertimbangkan dalam
peramalan curah hujan.
Tujuan Penelitian
Menerapkan model fungsi transfer input ganda pada pemodelan hubungan
antara curah hujan dengan suhu dan kelembapan sehingga dapat menghasilkan
model peramalan curah hujan pada periode mendatang.

2

METODOLOGI
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data curah hujan sebagai
deret output, suhu dan kelembapan sebagai deret input yang diperoleh dari stasiun
klimatologi Pondok Betung. Suhu adalah keadaan panas dan dinginnya udara
yang di ukur dengan alat termometer, pengukuran biasanya dinyatakan dalam
skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F) (Soewarno 2000). Kelembapan
adalah perbandingan antara massa uap dengan massa uap jenuh dalam satuan
volume pada suhu yang sama (Sosrodarsono 2003). Pada penelitian ini data curah
hujan menggunakan satuan mm, suhu menggunakan skala pengukuran Celcius (C)
dan data kelembapan menggunakan satuan persen (%). Data tersebut merupakan
data harian sejak Oktober 2007 sampai Januari 2008. Data tersebut dibagi menjadi
dua, yaitu data yang digunakan untuk membuat model (Oktober sampai Desember
2007) dan data untuk validasi model fungsi transfer input ganda dan model
ARIMA (minggu ke-1 pada bulan Januari 2008 untuk validasi peramalan jangka
pendek, sedangkan untuk validasi peramalan jangka panjang digunakan periode
curah hujan pada bulan Januari sampai mingggu ke-1 Februari 2008).
Metode
Dalam penelitian ini dilakukan analisis fungsi transfer. Secara umum
prosedur yang digunakan melalui beberapa tahapan diantaranya eksplorasi data,
pemeriksaan kestasioneran data untuk deret input suhu dan kelembapan, serta
deret output curah hujan. Setelah itu dilakukan pemodelan ARIMA dan
pemodelan fungsi transfer (Lampiran 1).
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1.
Melakukan eksplorasi data dengan menggunakan plot deret waktu terhadap
semua peubah untuk mengetahui pola data.
2.

Mempersiapkan deret input suhu dan kelembapan, serta deret output curah
hujan untuk memeriksa kestasioneran data yang terdiri dari beberapa
langkah dapat dilihat pada Lampiran 2. Data deret waktu dikatakan stasioner
jika perilaku data tersebut berfluktuasi di sekitar nilai tengah dan ragam
yang relatif konstan untuk seluruh periode waktu. Perilaku fungsi korelasi
diri (ACF) dapat digunakan sebagai dasar penentuan dari kestasioneran data
deret waktu. Deret waktu yang stasioner memiliki pola cuts off (memotong
garis) atau tails off (turun secara eksponensial menuju nol) pada plot ACF.
Selain itu dapat pula digunakan uji Augmented Dickey-Fuller sebagai uji
formal untuk menguji kestasioneran data. Jika data tidak stasioner dalam
nilai tengah, maka dilakukan pembedaan derajat d yang didefinisikan
sebagai ∇d =(1-B)d (Cryer dan Chan 2008). Sedangkan Jika data tidak
stasioner dalam ragam maka dilakukan transformasi Box-Cox. Transformasi
Box-Cox didefinisikan sebagai berikut:
=

−1

, ≠ 0; ln

, =0

3
Dari transformasi Box-Cox, akan didapatkan nilai yang akan menjadi
dasar dalam melakukan transformasi yang dapat dilihat pada Tabel 1
(Wei 2006).
Tabel 1 Nilai lambda (λ) dan jenis transformasi
Nilai Lambda ( )
-1.0
-0.5

Transformasi
1
1
ln

0.0
0.5
1.0
3.

, (tidak perlu transformasi)

Membuat model ARIMA untuk deret output curah hujan terdiri dari
beberapa langkah yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi model ARIMA dengan mengamati fungsi
korelasi diri (ACF) dan fungsi korelasi diri parsial (PACF) dari data yang
telah stasioner. Model AR(p) dicirikan dengan perilaku cuts off pada plot
PACF setelah lag ke-p dan perilaku tails off pada plot ACF. Model
MA(q) dicirikan dengan perilaku cuts off pada plot ACF setelah lag ke-q
dan perilaku tails off pada plot PACF. Jika pada kedua plot ACF dan
PACF menunjukkan perilaku tails off, hal ini mengindikasikan model
ARMA(p,q) (Bowerman dan O’Connel 1993). Jika dilakukan pembedaan
maka identifikasi model menjadi model ARIMA(p,d,q).
b. Metode pendugaan parameter yang digunakan berdasarkan algoritma
Marquardt’s. Prosesnya dilakukan secara iteratif dan berhenti ketika
koreksi pada nilai penduga parameter sangat kecil, serta Jumlah Kuadrat
Galat (JKG) mendekati nilai minimum (Makridakis et al. 1995). Model
ARIMA diperoleh dengan mensubtitusi penduga parameternya ke
persamaan umum model ARIMA. Persamaan umum model ARIMA
(p,d,q) ialah (Makridakis et al. 1995):
Ø

=�
c. Melakukan uji terhadap masing-masing penduga parameter model
ARIMA. Penduga parameter dikatakan berpengaruh jika nilai-t hitung
dari penduga parameter tersebut lebih besar daripada nilai-t tabel
( −

)

( /2
pada taraf nyata α dengan derajat bebasnya adalah banyak
amatan (n) dikurangi banyak parameter ( ) atau nilai peluang statistik t
lebih kecil dari taraf nyata α (Bowerman dan O’Connel 1993). Jika
terdapat parameter yang tidak berbeda nyata dengan nol kembali ke
Langkah 3a.
d. Melakukan diagnostik model dengan menggunakan uji Ljung-Box untuk
menguji kelayakan model. Jika nilai ∗ lebih kecil dari nilai χ2 ( − )
atau nilai peluang statistik ∗ lebih besar dari taraf nyata α, maka dapat
disimpulkan bahwa model layak. Persamaan uji Ljung-Box adalah:


= ′

′+2

−1

( ′ − )−1

2

4

4.

Dengan n’=n-d, n adalah jumlah pengamatan, d adalah ordo pembedaan.
Kemudian m adalah lag maksimum yang diamati, dan 2 adalah nilai
kuadrat dari korelasi diri sisaan pada lag-k (Cryer dan Chan 2008). Jika
terdapat sekumpulan korelasi diri untuk nilai sisaan tersebut tidak nol
kembali ke Langkah 3a.
e. Melakukan overfitting dengan menambahkan penduga parameter yang
lebih banyak dari model ARIMA yang telah diperoleh. Overfitting ini
bertujuan untuk memperoleh model terbaik (Makridakis et al. 1995).
Model terbaik adalah model yang memiliki nilai p penduga parameter
yang lebih kecil daripada taraf nyata α serta deret sisaan yang tidak saling
berkorelasi. Jika model yang diperoleh bukan model terbaik maka
kembali ke Langkah 3d.
f. Peramalan merupakan suatu proses untuk memperoleh data beberapa
periode waktu ke depan. Untuk memperoleh sejauh a periode ke depan
dari titik waktu ke-t, maka dipilih satu model yang memiliki nilai MSE
minimum. Nilai MSE diperoleh dari persamaan �( + −
)2 , dengan

−1
−1
Ø
= ∞=0 �
Ø
+ =
+− ;
+−
=0 �
(Wei 2006).

Membuat model fungsi transfer input ganda untuk meramalkan curah hujan
terdiri dari beberapa langkah (Lampiran 4). Langkah-langkahnya sebagai
berikut:
a. Membuat model ARIMA untuk masing-masing deret input suhu dan
kelembapan dengan mengacu pada algoritma yang terdapat pada
Lampiran 3.
b. Melakukan prewhitening untuk masing-masing deret input. Prewhitening
merupakan proses transformasi deret yang berkorelasi menuju perilaku
white noise yang tidak berkorelasi (Makridakis et al. 1995). Proses
prewhitening ini menggunakan model ARIMA untuk deret input. Oleh
karena itu sebelum proses prewhitening dibangun terlebih dahulu model
ARIMA deret inputnya. Jika deret input (xt) mengikuti proses ARIMA,
maka prewhitening deret input dapat didefinisikan dengan persamaan
Ø

=�
. Deret input (xt) dapat diubah ke dalam bentuk
=

menjadi

Ø




, �

≠ 0. Dengan � ( ) merupakan

operator Autoregresive dengan ordo q, Ø
adalah operator Moving
Average dengan ordo p, ∇ adalah operator pembedaan dengan derajat
pembeda d dan
adalah deret white noise pada waktu ke-t dengan
rataan nol dan ragam 2 , serta antara dan tidak berkorelasi.
c. Melakukan prewhitening Deret Output (yt). Fungsi transfer merupakan
proses pemetaan terhadap yt. Sehingga apabila diterapkan suatu proses
prewhitening terhadap xt, maka transformasi yang sama juga harus
diterapkan terhadap yt agar dapat mempertahankan integritas hubungan
fungsional sehingga deret output yang telah ditransformasi ( ) menjadi
=

Ø




,�

≠ 0.

d. Menghitung korelasi silang masing-masing deret input dengan deret
output. Fungsi korelasi silang digunakan untuk mengukur kekuatan dan

5
arah hubungan di antara dua peubah acak. Fungsi kovarian silang antara
dan dapat didefinisikan sebagai berikut:
=�

[ − − )] dengan = 0,±1,±2,…
Fungsi korelasi silangnya dirumuskan:

=
(� � )−1
Dengan � dan � adalah simpangan baku dan (Wei 2006).
e. Mengidentifikasi model fungsi transfer input ganda awal dengan cara
melihat plot korelasi silang antara deret input dengan deret output,
sehingga diperoleh nilai b, s dan r. Nilai b, s dan r dapat ditentukan
dengan cara sebagai berikut:
 Korelasi silang antara deret input ( ) dengan deret output ( ) yang
telah di prewhitening yang berbeda nyata dengan nol untuk pertama
kalinya pada lag ke-b.
 Untuk s dilihat dari lamanya deret input ( ) mempengaruhi
deret output ( ) setelah nyata yang pertama (nilai b).
 Nilai r mengindikasikan lamanya deret output ( ) berhubungan
dengan dirinya sendiri. Nilai r dilihat dari plot korelasi diri
atau
ditentukan berdasarkan pola lag (b + s), jika memiliki pola
eksponensial maka r = 1 dan memiliki pola gelombang sinus maka
r=2 (Bowerman dan O’Connel 1993).
Jika nilai korelasi antara deret input (suhu dan kelembapan) tinggi, maka
ada kemungkinan ketika pembentukan model fungsi transfer input ganda
terdapat penduga parameter yang tidak nyata. Oleh karena itu, metode
simultaneous reestimation parameter dapat digunakan untuk
memperoleh model terbaik (Olason dan Watt 1986).
f. Identifikasi model ARIMA untuk deret sisaan ( , ) dengan cara
mengamati plot ACF dan PACF dari deret sisaan. Deret sisaan ini
diperoleh dari model fungsi transfer input ganda awal.
g. Melakukan identifikasi model fungsi transfer input ganda akhir dengan
cara mengkombinasikan model awal fungsi transfer dengan model
ARIMA deret sisaan. Nilai penduga parameternya diperoleh dengan
menggunakan algoritma Marquardt’s. Jika terdapat parameter yang tidak
nyata pada taraf nyata α maka kembali ke Langkah 4e. Model fungsi
transfer secara umum adalah sebagai berikut (Wei 2006):
=
+
dengan
adalah nilai deret output (nilai yt yang telah stasioner),
adalah nilai deret input (nilai xt yang telah stasioner), adalah gangguan
−1
acak, dan
= �
(
) merupakan fungsi transfer
.
Model umum model fungsi transfer juga dapat ditulis sebagai berikut:
=



� ( )

( )

+

atau

=

≠ 0; Ø
= �0 − �1 − ⋯ − � ;

� ( )

( )

≠ 0;
= 1−

+

1

� ( )

Ø ( )

−⋯−

;

r = derajat fungsi ( ) yang mengidikasikan berapa lama deret output
berhubungan dengan nilai dirinya sendiri.
b = keterlambatan pengaruh deret input yang ditunjukkan dalam − .

6
s = derajat fungsi �( ) yang menunjukkan seberapa lama deret output
dipengaruhi deret inputnya.
= keterlambatan efek
= nilai yt pada waktu ke-t yang telah stasioner
= nilai xt pada waktu ke-t yang telah stasioner
= gangguan acak pada waktu ke-t
h. Melakukan diagnostik model fungsi transfer dengan uji Ljung-Box dapat
dilihat pada Langkah 3d. Pemeriksaan kesesuaian model dilakukan
dengan melihat perilaku sisaan ( ) dan nilai korelasi silang antara sisaan
( ) dan deret input ( ). Keacakan sisaan serta tidak adanya nilai
korelasi silang yang berbeda nyata dengan nol menunjukkan model sudah
sesuai.
i. Menghitung nilai peramalan curah hujan a periode kedepan untuk
peramalan jangka pendek maupun jangka panjang dengan menggunakan
model fungsi transfer input ganda yang terbaik yang memiliki nilai MSE
minimum. Nilai MSE diperoleh dari persamaan yang dapat dilihat pada
Langkah 3f.
5.

Membandingkan hasil peramalan kedua model. Semakin kecil nilai MAPE
(Mean Absolute Percentage Error) yang dirumuskan dengan persamaan:


� = 1/

|(
=1



)

| 100,

menunjukkan data hasil peramalan semakin mendekati nilai aktual.
Kemudian, nilai AIC (Akaike Information Criterion) dan SBC (Schwa z’s a
esia Criterion). AIC atau SBC adalah kriteria untuk memilih model yang
dapat dihitung menurut:
� � = ln �2 + 2�
� = ln �2 + � ln

dimana � 2 merupakan penduga maksimum likelihood untuk � 2 (ragam
sisaan model), M adalah banyaknya parameter pada model dan n adalah
banyaknya pengamatan efektif yang sebanding dengan banyaknya sisaan
yang dapat dihitung dari suatu deret. Model terbaik merupakan model
dengan nilai AIC dan SBC terkecil (Wei 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa data curah hujan harian sangat
berfluktuasi. Data curah hujan dengan pola naik turun memiliki nilai tertinggi
pada hari ke-7 bulan Desember sebesar 104.5 mm yang mengindikasikan hujan
sangat lebat pada hari tersebut (BMKG 2013). Sedangkan terendah terjadi pada
setiap bulannya yaitu sebesar 0.0 mm yang mengindikasikan tidak ada hujan pada
hari itu.

7
100

Curah Hujan (mm)

80

60

40

20

0
Hari
1
Bulan Oktober

15
Oktober

30
Oktober

45
60
75
Nopember Nopember Desember

92
Desember

Gambar 1 Data curah hujan pada periode Oktober-Desember 2007
Dalam siklus hidrologi suhu mempunyai keterkaitan dengan curah hujan.
Berdasarkan Gambar 2, suhu mengalami trend menurun dari awal bulan Oktober
sampai pertengahan November, sedangkan menjelang akhir November terjadi
trend naik dan mengalami trend turun kembali sampai akhir Desember.
30

29

Suhu (°C)

28

27

26

25

24
Hari
Bulan

1
*

15
Oktober

31
*

46
Nopember

62
*

76
Desember

92

Gambar 2 Data suhu pada periode Oktober-Desember 2007
Menurut Kartasapoetra (2004) besarnya kelembapan udara merupakan
faktor yang menstimulasi curah hujan. Ketika kelembapan udara tinggi, uap air di
udara banyak atau bisa dikatakan udara mendekati jenuh. Semakin besar
kandungan uap air di udara, potensi terbentuknya butir-butir air akibat adanya
pengembunan uap air tersebut juga semakin besar. Dengan demikian potensi
terbentuknya awan dan hujan akan semakin besar.
Berdasarkan Gambar 3, kelembapan memiliki pola naik turun, kelembapan
mengalami trend naik dari awal Oktober sampai pertengahan November.
Sedangkan pada menjelang akhir November mengalami penurunan sampai titik
terendah dan mengalami trend naik kembali sampai akhir Desember. Nilai
korelasi antara suhu dan kelembapan sebesar 0.857 artinya terdapat hubungan
negatif yang tinggi antara kedua peubah. Karena nilai korelasi antara deret input
(suhu dan kelembapan) yang tinggi, maka ada kemungkinan ketika pembentukan
model fungsi transfer input ganda terdapat penduga parameter yang tidak nyata.
Oleh karena itu, metode simultaneous reestimation parameter dapat digunakan
untuk memperoleh model terbaik (Olason dan Watt 1986).

8
95
90

Kelembaban (% )

85
80
75
70
65
60
Hari
Bulan

1
*

15
Oktober

32
*

46
Nopember

62
*

76
Desember

92

Gambar 3 Data kelembapan pada periode Oktober-Desember 2007
Mempersiapkan Deret Input dan Deret Output untuk Memeriksa
Kestasioneran Data
Proses penstasioneran data perlu dilakukan sebelum pembentukan model
ARIMA. Transformasi atau pembedaan dapat diterapkan untuk menstasionerkan
data tersebut. Transformasi ragam harus dilakukan sebelum proses pembedaan,
untuk itu terlebih dahulu akan diperiksa kestasioneran dalam ragam. Gambar 1
menunjukkan data curah hujan harian Oktober sampai Desember 2007 belum
stasioner dalam ragam. Hal ini diperkuat dengan transformasi Box-Cox yang
menghasilkan nilai lambda (λ) nol (Lampiran 5) sehingga perlu dilakukan
transformasi Box-Cox yaitu transformasi logaritma natural. Nilai data aktual ( )
ditransformasikan menjadi ln sehingga data tersebut stasioner dalam ragam
(Lampiran 6).
Tahap berikutnya memeriksa kestasioneran ln
dalam nilai tengah.
Kestasioneran dalam nilai tengah dapat dilihat dari plot ACF (Lampiran 7) yang
belum menunjukkan kestasioneran dalam nilai tengah. Oleh karena itu dilakukan
uji formal statistik yaitu uji Augmented Dickey-Fuller. Hasil uji Augmented
Dickey-Fuller diperoleh nilai p yang lebih besar dari taraf nyata α=0.05 sehingga
dilakukan pembedaan. Pembedaan d=1 dilakukan agar data stasioner dalam nilai
tengah. Hasil uji Augmented Dickey-Fuller menunjukkan bahwa data curah hujan
telah stasioner. Data curah hujan tang telah ditransformasi dan dilakukan
pembedaan d=1 menjadi = 1 − ln . Plot data curah hujan yang telah
stasioner dapat dilihat pada Gambar 4.
5,0

Curah Hujan

2,5

0,0

-2,5

-5,0

Hari
Bulan

1
*

15
Oktober

32
*

46
Nopember

62
*

76
Desember

92

Gambar 4 Data curah hujan yang telah stasioner

9
Transformasi atau pembedaan dapat diterapkan untuk menstasionerkan data
deret input yaitu suhu dan kelembapan. Transformasi Box-Cox pada Lampiran 8
memperlihatkan nilai lambda sebesar satu, artinya data deret input telah stasioner
dalam ragam sehingga tidak perlu dilakukan teransformasi. Plot ACF dan PACF
data deret input suhu pada Lampiran 10 menunjukkan data tidak stasioner dalam
rataan. Pembedaan d=1 diterapkan untuk menstasionerkan kedua deret input
dalam rataan. Hasil uji Augmented Dickey-Fuller (Lampiran 9) menunjukkan
nilai p kurang dari taraf nyata α=0.05 sehingga kedua deret input tersebut telah
memenuhi asumsi kestasioneran dalam rataan. Data deret input yang telah
stasioner menjadi 1, = 1 −
1, dan
2, = 1 −
2, . Plot data yang
telah stasioner dapat dilihat pada Gambar 5.
3
10
2

Kelembapan

5

Suhu

1

0

-1

-5

-10

-2

-3

Hari
Bulan

0

-15

1
*

15
Oktober

31
*

46
Nopember

62
*

76
Desember

92

Hari
Bulan

1
*

15
Oktober

31
*

46
Nopember

62
*

76
Desember

92

Gambar 5 Data suhu dan kelembapan yang telah stasioner
Pembentukan Model ARIMA (p,d,q)
Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Curah hujan (�� )

1,0

1,0

0,8

0,8

0,6

0,6

0,4

0,4

Korelasi Diri Parsial

Korelasi Diri

Plot ACF dan PACF dari data curah hujan yang telah stasioner digunakan
untuk mengidentifikasi model ARIMA. Langkah-langkah identifikasi model
ARIMA dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Plot ACF pada Gambar 6
menunjukkan nyata pada lag ke-1, sedangkan plot PACF nyata pada lag ke-1, lag
ke-2 dan lag ke-3. Identifikasi model awal untuk data curah hujan adalah ARIMA
(0,1,1)., ARIMA (1,1,0), ARIMA (2,1,0) dan ARIMA (3,1,0).

0,2
0,0
-0,2
-0,4

0,2
0,0
-0,2
-0,4

-0,6

-0,6

-0,8

-0,8

-1,0

-1,0
2

4

6

8

10

12
Lag

14

16

18

20

22

2

4

6

8

10

12
Lag

14

16

18

20

22

Gambar 6 Plot ACF dan PACF data curah hujan yang telah stasioner
Berdasarkan hasil identifikasi model ARIMA yang diperoleh akan dipilih
model tentatif yang terbaik. Model ARIMA tentatif terbaik yaitu model yang
memiliki nilai penduga parameter yang berbeda nyata dengan nol dan hasil

10
uji Ljung-Box yang menunjukkan nilai p yang lebih besar dari taraf nyata α=0.05.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi diri antar sisaan
(Lampiran 12). Selain itu model ARIMA tentatif terbaik dipilih dari model yang
memiliki nilai AIC, SBC dan MSE terkecil. Tabel 2 menunjukkan bahwa model
ARIMA (0,1,1) layak digunakan untuk peramalan.
Tabel 2 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data curah hujan ( )
Model

AIC

SBC

MSE

ARIMA (1,1,0)**
ARIMA (2,1,0)*
ARIMA (3,1,0)*
ARIMA (0,1,1)

348.654
334.856
325.942
326.440

353.676
342.388
335.985
331.462

1.626
1.499
1.420
1.439

* Terdapat parameter yang tidak nyata
** Terdapat nilai sisaan yang tidak saling bebas

Langkah selanjutnya melakukan overfitting untuk memperoleh model
terbaik. Hasil overfitting yang dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
tidak ada model yang memiliki penduga parameter yang nyata. Oleh karena itu,
model ARIMA (0,1,1) merupakan model terbaik dengan persamaan
= (1- 0.874B) . Hasil pemodelan dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 3 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk data curah hujan ( )
Model
ARIMA (1,1,1)*
ARIMA (0,1,2)*

AIC
325.929
325.230

MSE
1.427
1.422

SBC
333.461
332.763

*Terdapat parameter yang tidak nyata

Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Suhu (� ,� )
Berdasarkan Plot ACF nyata pada lag ke-1, sedangkan plot PACF nyata
pada lag ke-1 dan ke-2 (Gambar 7). Identifikasi model awal untuk data suhu
adalah ARIMA (0,1,1), ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (2,1,0).
1,0

0,8

0,8

0,6

0,6
Korelasi Diri Parsial

1,0

Korelasi Diri

0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4

0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4

-0,6

-0,6

-0,8

-0,8

-1,0

-1,0
2

4

6

8

10

12

Lag

14

16

18

20

22

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Lag

Gambar 7 Plot ACF dan PACF data suhu yang telah stasioner

20

22

11
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan model ARIMA (0,1,1) memiliki nilai
penduga parameter yang berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata α=0.05. Hasil
uji Ljung-Box pada Lampiran 12 menunjukkan nilai p yang lebih besar dari taraf
nyata α=0.05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi diri antar
sisaan. Berdasarkan hasil tersebut model ARIMA (0,1,1) layak digunakan untuk
peramalan.
Tabel 4 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data suhu ( 1, )
Model
AIC
ARIMA (1,1,0)*
253.609
ARIMA (2,1,0)
238.916
ARIMA (0,1,1)
237.574
*Terdapat parameter yang tidak nyata

MSE
0.964
0.885
0.883

SBC
258.631
246.449
242.596

Overfitting untuk model ARIMA (0,1,1) ditunjukkan pada Tabel 5. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada model yang memiliki seluruh penduga parameter
yang berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata α=0.05. Oleh karena itu, model
ARIMA (0,1,1) input suhu ( 1, ) dengan persamaan 1, = (1 − 0.668 ) 1, .

Tabel 5 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk suhu ( 1, )
Model
ARIMA (1,1,1)*
ARIMA (0,1,2)*

AIC
238.875
238.360

MSE
0.885
1.002

SBC
246.407
245.892

*Terdapat parameter yang tidak nyata

Identifikasi Model ARIMA (p,d,q) Data Kelembapan (� ,� )
Plot ACF nyata pada lag ke-1, sedangkan plot PACF nyata pada lag ke-1
dan lag ke-2 (Gambar 8). Identifikasi model awal untuk data kelembapan adalah
ARIMA (1,1,0), ARIMA (2,1,0) dan ARIMA (0,1,1).
1,0

0,8

0,8

0,6

0,6
Korelasi Diri Parsial

1,0

Korelasi Diri

0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4

0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4

-0,6

-0,6

-0,8

-0,8

-1,0

-1,0
2

4

6

8

10

12

Lag

14

16

18

20

22

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

Lag

Gambar 8 Plot ACF dan PACF data kelembapan yang telah stasioner
Berdasarkan Tabel 6 model ARIMA (0,1,1) memiliki nilai penduga
parameternya juga berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata α=0.05 dan Hasil uji
Ljung-Box pada Lampiran 12 menunjukkan nilai p yang lebih besar dari

12
taraf nyata α=0.05, Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi diri
antar sisaan. Sehingga, model ARIMA (0,1,1) layak digunakan untuk peramalan
(Lampiran 10).
Tabel 6 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model ARIMA (p,d,q)
untuk data kelembapan ( 2, )
Model
ARIMA (0,1,1)
ARIMA (1,1,0)*
ARIMA (2,1,0)

AIC
554.896
561.917
556.744

SBC
559.918
566.939
564.277

MSE
5.048
5.247
5.547

*Terdapat parameter yang tidak nyata

Overfitting untuk model ARIMA (0,1,1) ditunjukkan pada Tabel 7. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada model yang memiliki yang seluruh penduga
parameternya nyata. oleh karena itu, ARIMA (0,1,1) ditetapkan menjadi model
terbaik. Persamaan model ARIMA (0,1,1) deret input kelembapan ( 2, ) dengan
persamaan 2, = (1 − 0.520 ) 2, .
Tabel 7 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil overfitting model ARIMA (p,d,q)
untuk data kelembapan ( 2, )

Model
AIC
ARIMA (1,1,1)*
556.259
ARIMA (0,1,2)*
556.142
*Terdapat parameter yang tidak nyata

SBC
563.792
563.675

MSE
5.059
5.062

Prewhitening Deret Input dan Deret Output
Prewhitening dilakukan berdasarkan identifikasi model ARIMA pada
masing-masing deret input. Dalam tahap ini digunakan unsur white noise model
tersebut. Proses ini bertujuan untuk menghitung korelasi silang, sehingga dapat
digunakan untuk menentukan hubungan antara deret input dan deret output.
Model prewhitening deret input suhu ( 1, ) adalah sebagai berikut:
1, =
1, + 0.668 1, −1
Dengan cara yang sama, model prewhitening dari deret input kelembapan ( 2, )
adalah sebagai berikut:
2, =
2, + 0.520 2, −1
Prewhitening deret output dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana
prewhitening deret input. Sehingga prewhitening deret output curah hujan ( )
berdasarkan peubah input suhu ( 1, ) menghasilkan persamaan:
+ 0.668 1, −1
1, =
Prewhitening deret deret output curah hujan ( ) berdasarkan ( 2, ) peubah
kelembapan didapat model dengan persamaan:
+ 0.520 2, −1
2, =

13
Identifikasi Model Fungsi Tranfer Input Ganda Awal
Identifikasi model fungsi transfer awal dilakukan dengan melihat plot
korelasi silangnya. Plot korelasi silang antara 1, dan 1, (Lampiran 13)
menunjukkan nilai yang signifikan pada lag ke-1 yang berarti bahwa b=1.
Nilai s dilihat dari banyaknya lag korelasi silang yang berbeda nyata dengan nol
setelah lag ke b, dari Lampiran 14 diperoleh s=3. Selanjutnya untuk memperoleh
nilai r dapat dilihat banyaknya lag korelasi diri output yang berbeda nyata dengan
nol setelah nyata yang pertama dan diperoleh r=0. Untuk memperoleh model
terbaik, maka dilakukan overfitting model. Hasil dari kandidat model beserta nilai
AIC, SBC dan MSE modelnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil identifikasi model fungsi transfer
untuk deret input suhu ( 1, )
Model
b=1, s=0, r=0*
b=1, s=1, r=0*
b=1, s=2, r=0*
b=1, s=3, r=0*
b=1, s=4, r=0*
b=2, s=0, r=0*
b=3, s=0, r=0*
b=4, s=0, r=0

AIC
374.279
371.649
369.632
361.702
358.689
369.226
366.739
358.964

SBC
379.210
379.012
376.960
368.994
365.946
374.135
371.624
363.826

MSE
2.056
2.064
2.092
2.047
2.063
2.047
2.068
2.026

*Terdapat parameter yang tidak nyata

Hasil dari Tabel 8 menunjukkan bahwa model fungsi transfer dengan b=4,
s=0 dan r=0 merupakan model terbaik yang memiliki nilai penduga parameter
yang berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata α=0.05 dan memiliki nilai AIC,
SBC dan MSE terkecil. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 15.
Sehingga model fungsi transfer awal untuk deret input suhu ( 1, ) adalah
= −0.517 1, −4 + .

Tabel 9 Nilai AIC, SBC dan MSE dari hasil
untuk deret input kelembapan ( 2, )
Model
AIC
b=1, s=0, r=0
295.012
b=1, s=1, r=0*
294.426
b=1, s=2, r=0*
291.031
b=1, s=0, r=1*
294.302
b=1, s=0, r=2*
291.185
b=2, s=0, r=0
308.346
*Terdapat parameter yang tidak nyata

identifikasi model fungsi transfer
SBC
302.450
304.243
300.801
304.120
300.956
315.709

MSE
1.296
1.310
1.310
1.309
1.311
1.428

14
Model fungsi transfer awal untuk 2, diperoleh dengan cara yang sama
seperti 1, . Dari plot korelasi silang antara 2, dan 2, (Lampiran 13) dan plot
ACF deret outputnya diperoleh nilai b=1, s=0 dan r=0. Hasil kandidat model yang
dicobakan beserta nilai AIC, SBC dan MSE modelnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Model fungsi transfer dengan nilai b=1, s=0 dan r=0 memiliki nilai nilai
penduga parameter yang berbeda nyta dengan nol pada taraf nyata α=0.05 dan
memiliki nilai AIC, SBC dan MSE terkecil. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 15. Sehingga model fungsi transfer awal untuk deret input kelembapan
udara ( 2, )dengan persamaan = 0.094 2, −1 + .
Setelah diperoleh model awal fungsi transfer untuk masing-masing deret
input, dilakukan pendugaan model awal fungsi transfer bersama antara 1, , 2,
dan
. Hasil pemodelan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Model
persamaan fungsi transfer untuk kasus dua input atau lebih, yaitu
= =1 δ-1 B ω B
, − + nt sehingga diperoleh model fungsi transfer input
ganda awal adalah =
−0.517 1, −4 + 0.094 2, −1 .
Identifikasi Model ARIMA Deret Sisaan

Model fungsi transfer input ganda awal digunakan untuk menghitung nilai
dari model tersebut. Perhitungan nilai
diperoleh dengan cara melakukan
transformasi terhadap model awalnya. Sehingga nilai
diperoleh dengan
persamaan
= + 0.517 1, −4 − 0.094 2, −1 . Hasil tersebut didapat plot
ACF dan PACF deret sisaan (Lampiran 17). Plot ACF nyata pada lag pertama,
sedangkan plot PACF berbentuk tails-off. Tabel 10 menunjukkan hasil
pengidentifikasian model ARIMA deret sisaan. Model ARIMA (0,0,1) merupakan
model yang memenuhi asumsi penduga parameter yang nyata dan nilai sisaan
yang saling bebas. Model ARIMA deret sisaannya adalah = (1 − ) .
Tabel 10 Nilai AIC dan SBC dari hasil identifikasi model ARIMA untuk deret
sisaan
Deret Input
b=4, s=0, r=0

1,

Deret Input

2,

b=1, s=0, r=0

Model ARIMA
Deret Sisaan
ARIMA(0,0,0)**
ARIMA (1,0,0)*
ARIMA (0,0,1)

AIC
350.138
313.749
279.647

SBC
357.359
323.376
289.274

*Terdapat parameter yang tidak nyata
**Terdapat nilai sisaan yang tidak saling bebas

Model Fungsi Transfer Input Ganda Akhir
Identifikasi model fungsi transfer input ganda akhir dilakukan dengan
mengkombinasikan model fungsi transfer input ganda awal dengan model
ARIMA deret sisaan (Lampiran 17) dengan persamaan
= (1 − ) −
0.316 1, −4 + 0.089 2, −1 . Selanjutnya pemeriksaan diagnostik model fungsi
transfer input ganda. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kelayakan model
dalam peramalan. Hasil uji Ljung-Box pada Lampiran 17 menunjukkan nilai p

15
yang lebih besar dari taraf nyata 0.05, nilai tersebut mengindikasikan bahwa tidak
terdapat korelasi diri antar sisaan. Selain itu, nilai korelasi silang antara sisaan
dengan masing-masing deret input tidak berbeda nyata dengan nol pada taraf
nyata 0.05, sehingga asumsi kebebasan antar input dan sisaan terpenuhi.
Dengan pertimbangan penduga parameter yang berbeda nyata dengan nol,
kebebasan sisaan dan kebebasan antara input dan sisaan. Maka model tersebut
ditetapkan sebagai model terbaik dan layak digunakan untuk peramalan.
Peramalan
Peramalan dari curah hujan untuk beberapa periode ke depan dihitung
dengan menggunakan persamaan = 0.089 2, −1 − 0.316 1, −4 +
− −1
dengan memasukkan nilai-nilai deret input, serta nilai sisaan yang diperoleh dari
tahapan sebelumnya. Perhitungannya dilakukan secara rekursif, yaitu menghitung
peramalan satu periode kemudian dua periode dan seterusnya. Model tersebut
menjelaskan bahwa peramalan curah hujan di masa yang akan datang dipengaruhi
oleh suhu empat hari sebelumnya dan kelembapan satu hari sebelumnya. Hasil
peramalan curah hujan yang didapat di transformasi kembali ke data asalnya yaitu
dengan cara
.
Perbandingan Model ARIMA dengan Fungsi Transfer
Plot hasil peramalan dengan model fungsi transfer input ganda pada
Gambar 9 pada hari ke-2, ke-3, ke-5, dan ke-6 cenderung mendekati data
aktualnya sedangkan dengan model ARIMA untuk semua hari peramalannya tidak
mendekati nilai aktualnya. Oleh karena itu, model fungsi transfer input ganda
lebih baik dibandingkan dengan model ARIMA pada peramalan jangka pendek
terlihat dari plotnya yang mendekati nilai aktual. Kriteria lain dalam menentukan
peramalan terbaik dapat dilihat dari nilai MAPE yang terkecil. Lampiran 19
menunjukkan nilai MAPE untuk model fungsi transfer input ganda sebesar 5.28%
lebih kecil dibandingkan dengan model ARIMA sebesar 37.01%. Berdasarkan
plot tersebut dan kriteria MAPE maka dapat disimpulkan model fungsi transfer
input ganda lebih baik dibandingkan dengan model ARIMA pada peramalan
jangka pendek.
Berdasarkan data aktual pada Gambar 9 pada tanggal 2 Februari besarnya
curah hujan mencapai 209 mm, hal ini menyebabkan terjadinya banjir. Namun
hasil peramalan model fungsi transfer input ganda ataupun model ARIMA belum
dapat menduga terjadinya banjir karena nilai peramalannya di bawah 125 mm.
Meskipun demikian nilai MAPE pada hasil peramalan jangka panjang dengan
model fungsi transfer input ganda sebesar 31.68% lebih kecil dibandingkan
dengan model ARIMA sebesar 42.26%. Berdasarkan nilai MAPE maka dapat
disimpulkan bahwa model fungsi transfer input ganda lebih baik dibandingkan
dengan model ARIMA pada peramalan jangka panjang. Ketidaktepatan hasil
peramalan jangka panjang dalam mendekati nilai aktual disebabkan karena
banyaknya nilai nol pada data aktual yang mengindikasikan tidak ada hujan pada
hari itu dan adanya nilai ekstrim yang mengindikasikan terjadinya banjir. Oleh
karena itu perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pemodelan data deret waktu
yang dipengaruhi oleh nilai ekstrim.

16
Variable
Aktual
Fungsi Transfer
ARIMA

200

150

Curah hujan (mm)

Ambang Batas
terjadi banjir 125 mm

100

50

0
Hari
Bulan

1
*

4
*

7
*

10
*

Peramalan
Jangka pendek

13 16
* Januari

20
*

24
*

28
*

1
*

5
Februari

Peramalan
Jangka panjang

Gambar 9 Plot perbandingan hasil peramalan model fungsi transfer, model ARIMA
dan data aktual

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Data deret waktu dapat dimodelkan dengan model fungsi transfer. Model
tersebut diperoleh dengan menggabungkan model fungsi transfer untuk deret input
suhu dan kelembapan. Berdasarkan Model tersebut, curah hujan mulai
dipengaruhi suhu sejak empat hari yang lalu dan kelembapan sejak satu hari yang
lalu. Nilai MAPE hasil peramalan jangka pendek sebesar 5.28% menunjukkan
model fungsi transfer yang diperoleh cukup baik dalam melakukan peramalan
jangka pendek. Sebaliknya hasil peramalan jangka panjang dengan model tersebut
belum baik dalam meramalkan curah hujan untuk periode satu bulan kedepan
dapat dilihat dari nilai MAPE sebesar 31.68% sehingga belum bisa mendeteksi
terjadinya banjir dengan baik.

Saran
Penelitian ini melakukan peramalan pada jangka pendek dan jangka panjang.
Pada peramalan jangka panjang terdapat data yang pencilan sehingga perlu dikaji
kembali dengan model intervensi. Model intervensi merupakan rangkaian
prosedur deret waktu yang dapat digunakan untuk memodelkan dan meramalkan
data yang dipengaruhi oleh suatu kejadian atau intervensi. Kelebihan dari model
ini adalah dapat mendeteksi nilai-nilai ekstrim.

17

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Budiman, Mimin K. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Indonesia. Jakarta(ID): BMKG
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Hasil Penilaian
Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana Banjir Awal Februari 2007 di
Wilayah Jakarta. Jakarta(ID): Bappenas.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Jangan Abaikan
Informasi Cuaca. Jakarta(ID): BMKG.
Bowerman BL,O’Connell RT. 1993. Forecasting and Time Series: an Applied
Approach. 3rd Ed. California (US): Wadsworth.
Cryer JD KS Chan. 2008. Time Series Analysis with Applications in R Second
Edition. New York (US): Springer.
Kartasapoetra AG. 2004. Klimatologi:Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan
Tanaman. Jakarta (ID) : Bumi Aksara.
Makridakis S, SC Wheelwright, VE McGee. 1995. Metode dan Aplikasi
Peramalan Jilid 1 Edisi Kedua. Untung SA, Abdul B, Penerjemah; Jakarta
(ID): Penerbit Erlagga. Terjemahan dari : Forecasting, 2nd Edition.
Olason T, Watt WE. 1986. Multivariate Transfer Function-Noise Model of River
Flow for Hydropower Operation. Nordic Hydrology. 17(1):185-202.
Soerwarno. 2000. Hidrologi Operasional. Jilid kesatu. Bandung (ID): Citra Aditya
Bakti.
Sosrodarsono S. 2003. Hidrologi. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita.
Swarinoto YS, Sugiyono. (2011). Pemanfaatan suhu udara dan kelembapan udara
dalam persamaan regresi untuk simulasi prediksi total hujan bulanan di
Bandar Lampung. Jurnal meteorologi dan geofisika. 3 (12): 271-281.
Tua MB, 2013. Aplikasi Change Point Analysis (CPA) pada Data Curah Hujan
Harian [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wei WWS. 2006. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods.
2nd Ed. New York (US): Pearson Education.

18
Lampiran 1 Flowchart umum penelitian
Mulai

Plot data asli untuk
2, ,dan

Selesai

1,

,

(1) Memeriksa
kestasioneran data untuk
1, , 2, ,dan

(2) Membuat model
ARIMA untuk 1, ,
2, ,dan

Membandingkan hasil validasi
peramalan dari model ARIMA
dan Fungsi transfer

(3)Membuat model
fungsi transfer untuk
1, , 2, ,dan

Lampiran 2 Flowchart pemeriksaan kestasioneran data

Plot ACF dari data asli
untuk 1, , 2, ,dan

Mulai

Uji Augmented DickeyFuller untuk 1, ,
2, ,dan

Apakah data sudah
stasioner dalam rataan
dan ragam
Tidak

Lakukan pembedaan (d)
untuk rataan dan
transformasi untuk ragam

Plot ACF untuk
2, ,dan

1,

Ya

,

A

19
Lampiran 3 Flowchart pembuatan model ARIMA (p,d,q)
A

Identifikasi p,q dari 1, ,
berdasarkan plot
2, ,dan
ACF dan PACF

Menduga nilai parameter
(Ø,θ) dengan algoritma
Marquardt’s

Tidak
Melakukan uji pada masing-masing
parameter (Ø,θ) dan diagnostik model
menggunkan uji Ljung-Box

Jika parameter sudah
signifikan dan asumsi
sisaan terpenuhi

Ya
Melakukan overfitting dari
model ARIMA (p,d,q)
yang telah diperoleh

Pilihlah model ARIMA (p,d,q) dengan nilai
parameter yang signifikan, asumsi sisaan
yang terpenuhi serta nilai AIC,SBC dan MSE
terkecil

Melakukan peramalan
dari model ARIMA yang
terbaik

B

20
Lampiran 4 Flowchart pembuatan model fungsi transfer input ganda
B

Melakukan prewhitening dari deret
input( 1, , 2, ) berdasarkan model
ARIMA yang terbaik menjadi 1, ,
2,

Identifikasi nilai b,s, dan r
berdasarkan plot korelasi silang untuk
model fungsi transfer input ganda
awal

Melakukan prewhitening dari deret
output ( ) berdasarkan transformasi
yang sama dari deret inputnya
menjadi 1, , 2,

Melakukan korelasi silang antara
, dengan 1, , dan 2, dengan 2,

1,

Identifikasi model ARIMA untuk
deret sisan ( , ) dari model fungsi
transfer input ganda awal

Tidak

Menduga nilai masing-masing parameter (ω,δ)
dari model fungsi transfer akhir
(kombinasi fungsi transfer awal dan model deret
sisaan) dan melakukan diagnostik model dengan
uji Ljung-Box

Jika parameter sudah
signifikan dan asumsi
sisaan terpenuhi

Ya
Pilihlah model fungsi transfer dengan nilai
parameter yang signifikan, asumsi sisaan
yang terpenuhi serta nilai AIC,SBC dan
MSE terkecil

Melakukan peramalan dari model
fungsi transfer akhir yang terbaik

Selesai

21
Lampiran 5 Plot Box-Cox data asli untuk data curah hujan
Lower CL

Upper CL

45

Lambda
(using 95,0% confidence)

40

Estimate

0,02

Lower CL
Upper CL

35

-0,09
0,16

StDev

Rounded Value

0,00

30
25
20
15
Limit

10
-1,0

-0,5

0,0
0,5
Lambda

1,0

1,5

Lampiran 6 Plot Box-Cox data curah hujan yang sudah di transformasi
Lower CL

9

Upper CL
Lambda
(using 95,0% confidence)

8

Estimate

0,60

7

Lower CL
Upper CL

0,30
0,90

Rounded Value

0,50

StDev

6
5
4
3
2
Limit

1
-2

-1

0

1
2
Lambda

3

4

5

1,0

1,0

0,8

0,8

0,6

0,6

0,4

0,4

Korelasi Diri Parsial

Korelasi Diri

Lampiran 7 Plot ACF dan PACF data curah hujan (ln

0,2
0,0
-0,2
-0,4

0,2
0,0
-0,2
-0,4

-0,6

-0,6

-0,8

-0,8

-1,0

)

-1,0
2

4

6

8

10

12
Lag

14

16

18

20

22

2

4

6

8

10

12
Lag

14

16

18

20

22

Lampiran 8 Plot Box-Cox untuk data suhu dan kelembapan
Transpormasi Box-Cox untuk data Suhu
Lower CL

Transformasi Box-Cox untuk data kelembapan

Upper CL

Lower CL

170000

Lambda

(using 95,0% confidence)

160000
150000
140000
130000

(using 95,0% confidence)

Estimate

1,08

2400

Estimate

1,24

Lower CL
Upper CL

0,13
2,07

2200

Lower CL
Upper CL

0,35
2,06

Rounded Value

1,00

2000

Rounded Value

1,00

StDev

StDev

Upper CL

2600

Lambda

120000

1800
1600

110000

1400

100000