Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI
DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN
Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas
Kabupaten Cianjur

SRI MULYAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOCOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER lNFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian terhadap Pendapatan Petani
dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan
Cipanas Kabupaten Cianjur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafkv Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Maret 2007

Sri Mulyani
NRP A 253050174

ABSTRAK
SRI MULYANI. Kajian Terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di
Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupatzn
Cianjur. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan MOENTOHA
SELARI.
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran
2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di
delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, salah satu kawasan rintisan
agropolitan adalah Kabupaten Cianjur yang berlokasi di Kecamatan Pacet dan
Cipanas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh pengembangan
kawasan agropolitan terhadap pendapatan usahatani petani, (2) mengetahui
pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan agropolitan terhadap
harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan (3) mengetahui

pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap perkembangan nilai
PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas.
Hasil analisis menunjukkan program pengembangan kawasan agropolitan
belum signifikan dalam pencapaian manfaat jangka menengah, yaitu
meningkatkan pendapatan usahatani petani. Kondisi ini terjadi karena pertama,
meskipun terjadi peningkatan intensitas penyuluhan pertanian namun belum
terjadi peningkatan produktivitas, karena keterbatasan petani dalam ha1
permodalan. Kedua, pembangunan idrastruktur transportasi di kawasan
agropolitan tidak menurunkan biaya transportasi dan tidak mengubah pola
pemasaran komoditi pertanian, karena
petani tetap menjual komoditi
pertaniannya pada tengkulak. Ketiga, petani belum melaksanakan proses
pengolahan komoditi pertanian (agroprosesing)yang merupakan subsistem yang
memberikan nilai tambah terbesar dalam sistem agribisnis. Namun terdapat
kecenderungan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet
dan Cipanas meningkatkan jumlah petani dengan tingkat pendapatan tinggi dan
sedang serta meningkatkan rata-rata tingkat pendapatan petani di wilayah inti
dibandingkan wilayah transisi dan hinterland.
Progmm pengembangan kawasan agropolitan terutama pembangunan
infrastruktur transportasi secara lokalitas signifikan terhadap peningkatan harga

tanah. Semakin dekat terhadap pusat agropolitan harga tanah semakin mahal.
Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu terjadinya alih hngsi lahan pertanian
kepada aktifitas non pertanian yang memiliki nilai land rent yang lebih tinggi.

ABSTRACT
SRI MULYANI. Analysis of Farmer Income and Land Price in Agropolitm
Area: A Case Study in Pacet and Cipanas Sub District, Cianjur District. Under
the direction of KOMARSA GANDASASMITA and MOENTOHA SELARI.
Agropolitan regional development program was launched in 2002. This
initial program was conducted in eight districts at eight provinces of Indonesia,
including Cianjur District in West Java. Agropolitan regional development
program in Cianjur District is located in Pacet and Cipanas Sub District. This
research was aimed (1) to analyze the impact of agropolitan regional development
in farmers income, (2) to analyze the impact of infrastructure development in
agropolitan regional development to land price and its influenced factors, and (3)
know effect of agropolitan regional development to Gross Domestik Product
(GDP) value in Pacet and Cipanas Sub District.
Analysis result showed, agropolitan regional development program has not
been significantly yet in increasing f m e r incomes. This condition was occurred
because, firstly, there was no productivity increase although intencity of

agricultural socialization was increasing due to capitally limited. Secondly,
transportation infrastructure building was not chase marketing pattern because
farmer still sell their commodities to suppliers. Thirdly, farmer has not done
agroproccesing yet which will shine the biggest added value in agribisnis system.
But, trend of agropolitan regional development program in Pacet and Cipanas Sub
District showed an increased to farmer sum whose high and moderate income rate
also improving the average of farmer income rate in core region than that
transition region and hinterland region.
Agropolitan regional development program especially the built of
transportation infrastructure has been locally significant to land price increase.
Land price in core region of which the closer to agropolitan center the higher of
land price. This condition is prore to trigger land use change of agricultural land
use to non agricultural activity whose higher land rent value.

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI
DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN
Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas
Kabupaten Cianjur

SRI MULYANI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama

NRP

: Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di

Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan
Cipanas Kabupaten Cianjur

: Sri Mulyani
: A253050174

Disetujui
Komisi Pembimbing

Ir. Moentoha Selari, M.S.
Anggota

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.
Ketua

Diketahui

Tanggal Ujian : 14 Februari 2007

Tanggal Lulus :

5 MAR 2007


Kupersembahkan untuk :
Masku....... happy birthday
dun anak-anakku terkasih
Ghifari, Baihaqi, Khansa, Nabil, dun Kylla
dukungan, pengorbanan, kesabaran,
kehangatan, dun keceriaan keluarga
merupakan inspirasi dun dian
yang mengiringi langkahku
Ibu, abah, ibu dun ayah mertua,
adik serta k a h k
yang senantiasa rnemberikan
kasih dun doa

FUWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat pada tanggal 12
Maret 1973 sebagai putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan Raden
Mochtar Asdilah Sardiwinata (almarhum), dan Hunaenah. Jenjang pendidikan SD
hingga SMA diselesaikan penulis dikota kelahiran Cirebon. Tahun 1991 penulis
menyelesaikan jenjang pendidikan SMA, dan pada tahun yang sama diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis

memilih Program Studi Agronomi pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, gelar Sarjana Pertanian diraih penulis pada tahun 1996. Tahun 1996
penulis menikah dengan Syaflizar Zain St. Sati dan dikaruniai 3 orang putra, yaitu
Ghifari Muhammad Syani (9 tahun), Baihaqi Muhammad Syani (6 tahun), Nabil
Muhammad Syani (2 tahun), dan 2 orang putri yaitu Khansa Aisyah Mutia Syani
(5 tahun), dan Khaira Nisa Mutia Syani (2 bulan). Kesempatan melanjutkan
p e n d i d h pada Sekolah Pascasarjana diperoleh tahun 2005 dan diterima di
Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui
beasiswa pendidikan yang diberikan Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan
Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1999 pada
Departemen Kehutanan. Saat ini penulis bekerja sebagai Penyuluh Kehutanan
pada Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September 2006 ini menitikberatkan pada
Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan:
Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Karenanya dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Bapak Moentoha Selari M.S. selaku Anggota Komisi
Pembimbing atas arahan, motivasi, dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir.
Setia Hadi M.Sc. selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran demi
perbaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2005
terimakasih atas keja samanya. Disarnping itu penghargaan juga penulis
sam~aikankepada rekan-rekan Penyuluh Pertanian Kecamatan Pacet dan Cipanas
dan para petani responden di Kecamatan Pacet dan Cipanas yang telah membantu
selama proses pengumpulan data.
Akhimya penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Maret 2007

Sri Mulyani
NRP A 253050174


DAFTAR IS1
..
DAFTAR TABEL ....................................................................... 11

...
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... 111
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ......................................................................
1
Perumusan Masalah ................................................................ 3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan.........................................
Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan..............
Pengenlbangan Kawasan Agropolitan.............................................
Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan
Akses Terhadap Lahan..............................................................................
Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah......................................................

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan .....................................
Indikator Pembangunan Wilayah ...............................................................
Teknologi Sistem Informasi Geografis.....................................................

6
7
10
12
14
18
19
21
23

METODE PENELITIAN
..
Kerangka Pemikiran...................................................................................
24
28
Hipotesis....................................................................................................
..
Lokasi dan Waktu Penelltian ..................................................................... 28
Pengumpulan Data ..................................................................................... 28
Jenis dan Sumber Data...................................................................... 29
Penentuan Responden ............................................................................... 30
Metode Analisis................................................................................... 33
..
Analisis Usahatani......................................................................... 33
Teknologi SIG, Analisis Cross Tab dan Analisis Chi-square...... 33
Teknologi SIG Untuk Menghitung Jarak....................................... 34
Analisis Regresi Berganda Untuk Melihat Faktor- faktor yang
Mempengaruhi Harga Tanah..........................................................34
Analisis Skalogram untuk Menentukan Hirarki Wilayah............... 36
KONDISI UMUM WILAYAH
PENELITIAN
..
Wilayah Penelitian......................................................................................
38
..
Topografi dan F ~ s l o..........................................................................
g~
38
IMim...........................................................................................................38
Jenis Tanah.................................................................................................
40
Kependudukan............................................................................................
40
..
...
Fasilitas dan Aksesibil~tas..........................................................................
42
Penggunaan Lahan..................................................................................... 43
Karakteristik Umum Kawasan Agropolitan Cianjur.................................. 43
45
Tingkat Perkembangan Desa di Kawasan Agropolitan..............................

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan
Usahatani Petani.........................................................................................
Pola Spasial Pendapatan Usahatani Petani.....................................
Pengaruh Program Agropolitan terhadap Tingkat Pendapatan
Usahatani Petani.............................................................................
Nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas....................................
Perkembangan Sektor Pertanian.....................................................
Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Harga
Tanah..........................................................................................................
Pola Spasial Harga Tanah...............................................................
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanah...........................
SIMPULAN DAN SARAN.................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................................

DAFTAR TABEL
Aspek, variabel, dan sumber data.. .............................................
Variabel analisis regresi berganda pada fungsi harga tanah...................
J m l a h penduduk dan jumlah keluarga ...................................................
Akses petani terhadap lahan....................................................................

..

..

J m l a h fas~l~tas
pend~d~kan
.....................................................................
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap intensitas penyuluhan..............
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infiastruktur
pengruran..................................................................................................
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infrastruktur
transportasi..............................................................................................
Tingkat modal petani di kawasan agropolitan.........................................
Status kepemilikan lahan petani di kawasan agropolitan........................
Karakteristik pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan...................
Pelaksanaan agroprocessing setelah agropolitan....................................
Produk Domestik Regional Bmto WPU atas Dasar Harga Konstan
Tahun 1999-2003.....................................................................................
Produk Domestik Regional Bmto Kecamatan Pacet Dan Cipanas atas
Dasar Harga Konstan Tahun 1999-2003.................................................
Hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi
harga tanah
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap jalan negara dengan
harga tanah...............................................................................................
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan
harga tanah...............................................................................................
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan
harga tanah...............................................................................................

DAFTAR GAMBAR
Keterkaitan antar indikator Pembangunan Daerah.................................
Diagmm alir kerangka pemikiran penelitian .........................................
Strata pada wilayah penarikan sampel....................................................
Diagram alir metodologi penelitian .............................................
Wilayah penelitian Kecamatan Pacet Dan Cipanas................................
Pemandangan yang indah di Desa Pusat Pertumbuhan..........................
Beberapa program pengembangan kawasan agropolitan........................
Tingkat perkembangan desa hasil analisis skalogram............................
Persentase jumlah petani pada berbagai tingkat pendapatan..................
Pola spasial pendapatan petani...............................................................
Rata-rata tingkat pendapatan petani .......................................................
Pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan........................................
Aktifitas penjualan basil pertanian kepada pedagang pengumpul ..........
Aktifitas di tempat pengumpulan............................................................
Aktifitas penjualan sayur di STA............................................................
Aktifitas Cleanning. Grading. Packaging. dun Packing........................
Perkembangan PDRB sektor pertanian

dan perdagangan di

Kecamatan Pacet-Cipanas dan WPU Tahun 1999-2003........................
Perkembangan PDRB sektor pertanian di Kecamatan Pacet.Cipanas.
Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Cugenang Tahun 1999-2003....
Pola spasial harga tanah di kawasan agropolitan....................................
Hubungan variabel jarak terhadap jalan kabupaten dengan harga tanah

.

.

dl wlayah sample ...................................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di
wilayah sample .......................................................................................

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh jalan negara terhadap
harga tanah..............................................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di
wilayah yang diseleksi............................................................................

Hubungan variabel jarak terhadap pemukiman dengan harga tanah di
wilayah sample .......................................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas di wilayah sample
dengan harga tanah.................................................................................

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh Pasar Cipanas
terhadap harga tanah...............................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan harga tanah

. .

dl wlayah sample yang diseleksi...........................................................
Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan di wilayah

sample dengan harga tanah.....................................................................
Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh agropolitan terhadap
harga tanah..............................................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan harga

.

.

. .

tanah dl wilayah Inti................................................................................
Hubungan variabel jarak terhadap tingkat perkembangan desa dengan

.

.

harga tanah dl wilayah sample ................................................................

DAPTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner............................................................................................

91

2 Data base responden di wilayah sample..............................................

100

3 Pendapatan petani................................................................................

103

4 Metode klasifikasi pendapatan petani dengan perangkat GIs .............

105

5 Hasil analisis jarak dengan perangkat GIs.......................................... 105
6 Variabel-variabel yang mempengaruhi harga tanah............................

106

7 Analisis skalograrn berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas umum ......

108

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Prioritas pembangunan selama ini cenderung mendahulukan pertumbuhan
ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota
melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Kecenderungan penlbangunan
tersebut yang semuia diramalkan akan menciptakan trickle down effect
(penetesan) dan spread effect (dampak penyebaran) dari kutub pusat pertumbuhan
ke wilayah hinterland-nya, temyata net-effect-nya malah menimbulkan
pengurasan besar (massive backwash efect), (Myrdal, 1968). Menurut Mercado
(2002) kegagalan strategi kutub pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down
effect dan spread effect disebabkan karena aktifitas industri yang dikembangkan
temyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di
wilayah hinterland.
Dalam konteks spasial proses pembangunan tersebut menimbulkan
berbagai pernasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah
yang tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai
pernasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses
pembangunan.

Potensi konflik menjadi sedemikian besar

karena wilayah-

wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hakhaknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi
yang saling memperlemah.

Wilayah-wilayah hinterland (perdesaan) menjadi

lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan (kota) pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi
yang terus meningkat. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan
pernasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks, sementara
desa mengalami pengurasan sumber daya manusia berpendidikan, karena
perkembangan ekonomi di wilayah ~erkotaanmendorong perpindahan tenaga
keja dari desa ke kota.
Dengan berkembangnya pernasalahan tersebut maka pembangunan
wilayah perdesaan menjadi suatu alternatif untuk mengurangi disparitas antar
wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian nasional agar

menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Sehubungan dzngan ide ini
Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan
agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.
Menurut Anwar (2005), pembangunan agropolitan pada hakekatnya
mempakan pembangunan kota-kota kecil menengah dengan membangun
infrastruktur fasilitas publik perkotaan untuk mendorong dan mendukung
pencapaian

strategi

pembangunan

pertanian

dan

ekonomi

perdesaan.

Pembangunan tersebut diharapkan dapat menyumbang kepada peningkatan
kinerja sistem perekonomian nasional.

Rustiadi dan Setiahadi (2006) juga

menyatakan bahwa konsep agropolitan dengan membangun kutub pertumbuhan di
wilayah perdesaan, secara spasial dampaknya dapat dinikmati oleh wilayah lokal.
Penciptaan nilai tambah dari aktifitas ekonomi terutama pertanian dapat ditangkap
dalam wilayah tersebut.
Adapun

tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep

pembangunan wilayahdan perdesaan dapat dimmuskan antara lain sebagai
berikut:(l)

menciptakan

pembangunan

desa-kota

secara

berimbang,

(2) meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis, (3) mengembangkan

ekonomi dan lingkungan pemukiman perdesaan berbasis aktifitas pertanian, dan
(4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perdesaan (Rustiadi

et al.

2005). Sedangkan menurut Rondinelli (1985), pengembangan kawasan

agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung
turnbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong
keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar.
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran
2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di
delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, meliputi Kabupaten Agam
(Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu),
Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.
Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barn (Provinsi
Sulawesi Selatan), Kabupaten Kutai Timur (Provinsi Kalimantan Timur) dan

Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo). Pada tahap selanjutnya jumlah daerah
yang mengembangkan agropolitan mencapai 52 kabupaten di 29 provinsi.
Program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur masif relatif muda dan baru berjalan sekitar 3 tahun, sehingga
belum signifikan pencapaian manfaat dan dampak jangka menengah maupun
jangka panjang berdasarkan indikator pembangunan daerah, karena program
pengembangan kawasan agropolitan termasuk ke dalam program pembangunan
jangka menengah. Namun demikian untuk mengetahui apakah program
pengembangan kawasan agropolitan sudah berjalan sebagaimana mestinya (on the
track) perlu dilakukan kajian dengan melihat indikator input dasar (capital)
diantaranya infrastruktur, dan pencapaian indikator jangka pendek berdasarkan
indikator pembangunan daerah, diantaranya Produk Domestik Regional Bmto
(PDRB) (Rustiadi et al. 2005).

Perumusan Masalah
Master Plan Kawasan Agropolitan menerangkan bahwa, cakupan wilayah
Kawasan Agropolitan Cianjur meliputi Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti,
serta Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Sukaresmi sebagai wilayah
hinterland-nya. Secara administrasi kawasan agropolitan ini di sebelah Utara dan
Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Selatan dengan Kecamatan
Warungkondang dan Kecamatan Cianjur, serta sebelah Timur dengan Kecamatan
Cikalong Kulon dan Kecamatan Mande. Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti
dari kawasan agropolitan terdiri dari 14.desa, dengan Desa Sukatani dan Desa
Sindangjaya sebagai Desa Pusat Perhmbuhan (DPP).
Pelaksanaan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan
Pacet secara teknis difasilitasi oleh beberapa instansi terkait diantaranya Dinas
Pertanian, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), serta Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Perindag). Dinas Pertanian bertanggung jawab
terhadap penguatan kelembagaan, baik kelembagaan petani maupun pengelola
kawasan agropolitan, budidaya komoditi unggulan dan peningkatan surnber daya
manusia, Dinas Perindag bertanggung jawab terhadap pengolahan dan pemasaran

sedangkan Dinas kimpraswil bertanggung jawab terhadap pembangunm
infiastruktur dasar untuk pembangunan agribisnis.
Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan dan wawancara dengm
pengelola kawasan dalam rangka program pengembangan kawasan agropolitan
telah terbentuk struktur pengelola kawasan agropolitan yang berbentuk Kelompok
Keja (Pokja) yang diketuai oleh Asisten Daerah 11 bidang ekonomi, dengan
sekretaris Kepala Dinas Pertanian, dan anggota berasal dari Dinas Kimpraswil,
Dinas Perindag dan dinas terkait lainnya. Sedangkan untuk kelembagaan petani
telah terbentuk 9 kelompok tani, yaitu 4 kelompok tani berada di Desa Sukatani
dan 5 kelompok tani berada di Desa Sindang Jaya.

Kelompok tani tersebut

sebulan sekali mengadakan pertemuan untuk mendapatkan penyuluhan dari
Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai koordinator pemadu kawasan agropolitan.
Pembangunan infkastruktur yang telah dilaksanakan diantaranya adalah
pembangunan gedung pengelola kawasan agropolitan, sarana transportasi, jalan
usaha tani, instalasi irigasi ke hamparan petani, packing house yang berfimgsi
sebagai tempat penanganan pasca panen (pencucian, sortasi, dan packing), dan
Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang diiengkapi dengan cool

storage. Infrastruktur tersebut semuanya berlokasi di Desa Pusat Perhunbuhan,
kecuali STA Cigombong yang berlokasi di Pasar Cigombong Desa Ciherang
Kecamatan Pacet.

Sedangkan kegiatan yang berkembang diantaranya

berkembangnya agribisnis sayuran dataran tinggi, penurnbuhan pos pela~anan
agen hayati, pengembangan pupuk Bokashi, penurnbuhan agroindustri dalam
skala home industri.
Beberapa pernasalahan yang tejadi dalam pengembangan kawasan
agropolitan di Kecamatan Pacet dan penting untuk dikaji diantaranya
pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan meningkatkan pendapatan
petani (Rusastra et al. 2004), pemanfaatan beberapa infrastruktur di kawasan
agropolitan belum optimal, sebagai contoh petani lebih suka untuk melakukan
penanganan pasca panen di rumah daripada di packing house. Disamping itu juga
pembangunan STA Cigombong masih perlu dipertanyakan karena sampai saat ini
pemanfaatannya masih under capacify. Diduga adanya ketidaksesuaian antara
program dan kebutuhan masyarakat karena terdapat gap yang cukup lebar antara

aspirasi masyarakat dan program pengembangan kawasan agropolitan yang belum
marnpu menjawab kebutuhan masyarakat. Perrnasalahan yang juga sangat urgent
dan dapat mengancam sustainability kawasan adalah adanya alih kepemilikan
lahan petmi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, diduga ha1 ini
terjadi karena pengelola kawasan agropolitan dan instansi terkait belum berfUngsi
optimal.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui

pengaruh

pengembangan kawasan

agropolitan

terhadap

pendapatan petani, ditinjau dari pendapatan usahataninya.
2. Mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan

agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan

manfaat

yang

diharapkan

dapat

diperoleh

dengan

dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Memberikan inferensin (pencerahan) terhadap kegiatan pengembangan

kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet atau kegiatan lain yang lebih luas.
2. Merupakan proses pembelajaran yang bersifat analogik pada kasus sejenis

atau kasus lain yang lebih luas.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (unform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region).

Pengembangan kawasan agropolitan

berdasarkan tipologi wilayah termasuk kedalam wilayah homogen.
Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada
kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wiiayah.
Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artzjicial. Faktor
alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan
lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat
artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan
aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial
adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan @eta kemiskinan).
Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi
sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut
Rustiadi et al. (2005) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan
sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensildaya dukung utama
yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat
sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.
Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang memjuk
kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan
kawasan.

Menurut Rustiadi et al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak

disebutkan secara eksplisit namun umurnnya dipahami sebagai unit wilayah
berdasarkan aspek administrasif.

Sedangkan penggunaan istilah kawasan di

Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu
unit wilayah. Karena itu batasanldefinisi dari konsep kawasan adalah adanya

karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam
suatu unit wilayah, sehingga batas dan sisternnya ditentukan berdasarkan aspek
hngsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki hngsifungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai
dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 24 tahun 1992 yang dalam
ha1 ini dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya dam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara demografi dan
kriteria ekonomi batasan wilayah perdesaan (rural) dan wilayah perkotaan
(urban) sangat bervariasi antara negara satu dengan lainnya. Di Filipina wilayah
perkotaan didefinisikan sebagai wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500
orang/km2, dilengkapi dengan infrastruktur transportasi, industri komersial, dan
fasilitas publik (Tacoli 1998).

Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan
Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama
ini temyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang.

Pendekatan yang

sangat menekankan pada perhmbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat
pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive
backwash effect) (Anwar 2001).
Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang
signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan
Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Menurut
Tadjoedin et al. (2001), beberapa wilayah di Indonesia yang berada di luar Jawa
memiliki nilai PDRB tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap
perekonomian nasional namun memiliki tingkat kesejahteraan yang tidak lebih
baik dibandingkan wilayah-wilayah di Jawa.

Menurut Alvarez et al. (2002), kesenjangan di dalam negara biasanya lebih
besar dibandingkan kesenjangan antar negara.

Kesenjangan wilayah di Asia

Timur diantaranya disebabkan oleh perbedaan pendapatan percapita, kepadatan
penduduk, tingkat aktifitas ekonomi, pola kepemilikan sumber daya alam dan
struktur ekonomi, serta indikator sosial. Ada perbedaan yang sangat besar dalam
pendapatan perkapita antara kota dan wilayah. Sebagian besar negara di Asia
Timur yang memiliki pendapatan percapita tertinggi adalah ibukota negara,
wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya dam, dan wilayah industri.
Sebagai contoh Kota Jakarta memiliki pendapatan perkapita sepuluh kali lebih
besar dibadingkan provinsi termiskin di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur.
Provinsi dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia yaitu Kalimantan Timur,
memiliki pendapatan percapita lebih besar dibandingkan Kota Jakarta. Distribusi
wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi yang tinggi tidak
merata di negara-negara di Asia Timur.

Sebagai contoh, Jawa dengan luas

wilayah hanya 6% dari total wilayah Indonesia memiliki kepadatan penduduk
60% dari total penduduk Indonesia, dan memiliki GDP yang sama dengan
wilayah di luar Jawa (Hi11 2002 dalam Alvarez el al. 2002).
Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu intemksi yang saling
memperlemah (Rustiadi dan Setia Hadi 2006).

Wilayah-wilayah hinterland

menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusatpusat pertumbuhan pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi
yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan
kota ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerahdaetah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, tejadinya kemacetan dan
sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan pernasalahanpermasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompieks dan rumit
untuk diatasi.

Menurut Anwar (2001), selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan
yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan.
Hal ini tejadi karena masalah institusional yang lemah dalam kebijakan
pertanahan yang mengakibatkan banyak lahan-lahan pertanian di perdesaan yang
terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena rnaraknya
aktifitas investasi dan spekulasi atas lahan. Kondisi ini rnengakibatkan terjadinya
peningkatan jumlah tenaga keja yang tidak berlahan (landless laborer) sehingga
pada akhimya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah
perkotaan.
Namun seperti yang dikemukakan oleh Anwar (2001), dari tenaga keja
migran ini temyata hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan kej a di
sektor industri modem. Akibatnya, tejadilah bentuk-bentuk ketergantungan
struktu~aldualistik (shucrural dualistic dependency) dimana tejadi lepasnya
keterkaitan antara sektor urban modem (industri dan jasa) dan urban informal
(pedagang kecil, buruh, pekerja bangunan dan kegiatan informal lain) di wilayah
perkotaan, dan lepasnya keterkaitan antara sektor perdesaan tradisional yang
mayoritas miskin dengan sektor rural enclave yang pada umumnya menimbulkan
kebocoran wilayah karena tidak mampu melahirkan dampak multiplier kepada
masyarakat di sekitamya. Dengan kata lain, pembangunan sektor modem di
perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier
tenaga keja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas
penduduk di wilayah perdesaan. Bahkan seringkali tejadi sektor-sektor modem
tersebut banyak memberikan dampak eksternalitas dalam bentuk biaya-biaya
sosial kepada golongan masyarakat kecil dalam bentuk pencemaran air dan udara,
erosi tanah, banjir dan perampasan hak-hak tanah penduduk lokal. Karena itu,
kesenjangan sosial semakin tinggi dan secara spasial juga tejadi disparitas antara
wilayah perkotaan dan perdesaan
~ e l i h a t kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap
~erkembanganwilayah perdesaan dan perkotaan serta perturnbuhan perekonomian
nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar
wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pernbangunan wilayah
perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang. Menurut Mum

(2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan
yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan
kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua
wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkst
industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau
mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting
adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki
oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan
keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari
sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang
terlibat.
Pengembangan Kawasan agropolitan
Salah satu ide yang mengemuka dalam mengatasi permasalahan
pembangunan ini adalah perlunya mewujudkan kemandirian perdesaan yang
didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan
perekonomian perkotaan harus bisa diminimalkan. Sehubungan dengan ide ini
Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan
agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan jurnlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.
Friedman (1996) mengusulkan modifikasi dari konsep pembangunan agropolitan
yang disebutnya sebagai modular cities. Selain persyaratan jurnlah penduduk,
persyaratan utama yang harus dimiliki sebuah modular cities diantaranya
mempunyai kelengkapan pusat pelay&an yang dapat ditempuh dengan
berkendaraan sepeda atau bejalan kaki kurang dari 20 menit, memiliki fasilitas
publik, dan industri kecil.
Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada
umumnya sektor pertanian dan pengelolaan surnberdaya alam memang menjadi
mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan.

Otoritas

perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga
masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh
terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri.

Dari berbagai altematif model pembangunan, konsep agropolitan
dipandang

sebagai konsep

yang menjanjikan teratasinya permasalahan

ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat agropolitan
menurut Rustiadi dan Setia Hadi (2006) adalah: (1) suatu model pembangunan
yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur
setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong turnbuhnya pengkotaan
dalam arti positif, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti
migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan
kota, kehancuran massif sumber daya alam, pemiskinan desa.
Menurut Anwar (2005), pada hakekatnya merupakan pembangunan kotakota kecil menengah yang diberikan infrastruktur fasilitas publik perkotaan.
Fasilitas-fasilitas tersebut diperlukan untuk mendorong dan mendukung
pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat
menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Karena
pembangunan kota - kota besar sudah cenderung mengarah kepada pertumbuhan
yang tidak terkendali, maka dengan pembangunan kota-kota kecil menengah
diharapkan dapat mengurangi darnpak dari dari aglomerasi berlebihan.
Berkembangnya kota-kota kecil menengah dapat secara positif mendorong
perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan
pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan
mengintegrasikan

ekonomi

perkotaan

dan

perdesaan

di

negara-negara

berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negaranegara berkembang sejak tahun 1960, pada dasamya kwang sesuai dan tidak
mencukupi untuk menciptakan efek penyebaran (spread effect). Pengembangan
sektor jasa, distribusi, perdagangan, marketing, agroprocessing, dan berbagai
fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kotakota kecil menengah di wilayah perdesaan daripada pengembangan industri
manufaktur dalam skala besar.
Menurut Departemen Pertanian Agropolitan adalah kota pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta
mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (agribisnis) diwilayah sekitarnya. Tujuan umum pembangunan kawasan

agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa kota
dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya
saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan
terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan masyarakat) di
kawasan Agropolitan. Tujuan ini sejalan dengan amanat yang telah digariskan
dalam PROPENAS 2000

-

2004, dimana tujuan dari program pembangunan

perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat
pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan dan mempercepat
industrialisasi perdesaan.
Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pembangunan infrastruktur agropolitan timbul karena tingginya migrasi
rural urban akibat dari kurangnya kesempatan keja dan kenyamanan di wilayah

perdesaan. Konsep agropolitan adalah manifestasi dari growth pole theory namun
berbeda dalam perspektif.

Growth pole theory mengutamakan pembangunan

infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan trickle down effect ke wilayah perdesaan.

Pembangunan

infrastruktur agropolitan di wilayah pedesan mendukung sektor pertanian sebagai
sektor ekonomi utama di perdesaan (Elestiano 2005). Pengembangan infrastruktur
di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan
infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi
pertanian, dan (3)

pengembangan infrastruktur pasar dan sistem infomasi

(Anonim 2004).
Pengembangan infrastruktur pemukiman menjadi penting selain untuk
mencegah tejadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akurnulasi nilai
tambah di dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang
tidak perlu pergi ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping
kedua aspek diatas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana pemukiman yang
meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air bersih dan sarana
transportasi ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan
modalnya di kawasan agropolitan yang dikembangkan (Anonim 2004).

Pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian merupakan ha1
yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infiastruktur sistem
produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan),
sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi.
Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan
salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu
pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi
produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat
sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan.
Hasil penelitian Pribadi (2005), dengan menggunakan analisis skalogram
dimana jumlah jenis fasilitas, jumlah unit fasilitas dan jumlah penduduk
digunakan sebagai variabel penentu hirarki, terlihat bahwa desa-desa di
Kecamatan Pacet menempati hirarki paling atas. Dengan demikian apabila dilihat
pada level kecamatan, masterplan pengembangan Kawasan Agropolitan Cianjur
yang telah disusun oleh Departemen Kimpraswil dan Pemda Cianjur sudah
menempatkan secara benar lokasi wilayah inti dan hinterland-nya dimana wilayah
inti terdapat di Kecamatan Pacet sedangkan wilayah hinterland terdapat di
Kecamatan Sukaresmi dan Cugenang.
Namun lebih lanjut Pribadi (2005) menyebutkan apabila dilihat secara
lebih detail sampai ke level desa, nampak bahwa penentuan lokasi desa pusat
perhmbuhan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebenarnya kurang
sesuai dengan karakteristik hirarki wilayah dan keterkaitan antar hirarki yang
telah berkembang di kawasan agropolitan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa
menduduki urutan pertarna dari sisi ketersediaan fasilitas. Hal ini memang sesuai
dengan kondisi nil di lapangan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa merupakan
desa yang paling maju dan bahkan menjadi outlet terbesar bagi hasil produksi
sayuran dari ketiga kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Agropolitan
Cianjur.
Demikian pula apabila dilihat dengan menggunakan analisis yang
didasarkan pada hitungan indeks hirarki ~erkembangandesa dan standardisasi
karakteristik perkembangan wilayah juga menunjukkan ha1 yang konsisten bahwa
Desa Cipanas dan Cipendawa selarna ini telah menjadi pusat aktifitas. Karena itu

dapat dikatakan bahwa Desa Cipanas dan Cipendawa memang secara realitas di
lapangan telah menjadi pusat bagi berbagai aktifitas, baik itu berkaitan dengan
permukiman, pendidikan, kesebatan, perdagangan dan sebagainya. Khusus untuk
Cipanas aktifitas ekonomi yang cukup menonjol dan terkait dengan
pengembangan kawasan agropolitan adalah perdagangan sayur hasil produksi dari
wilayah-wilayah desa di sekitamya.
Menurut Maulana (2006), dari hasil analisis skalogram di Kawasan
agropolitan dapat diketahui bahwa Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya memiliki
tingkat perkembangan yang paling tinggi. Tersedianya berbagai sarana dan
prasarana yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas menjadikan
kedua desa tersebut sebagai pusat pelayanan bagi desa-desa di sekitamya. Lokasi
Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya yang secara geografis terletak di tengahtengah Kawasan Agropolitan menjadikan kedua desa tersebut strategis sebagai
daerah pusat pelayanan. Berdasarkan hirarki dari hasil analisis skalogram, Desa
Cipanas dan Desa Sindanglaya termasuk ke dalam hirarki I, Desa Cimacan, Desa
Palasari, Desa Ciherang, Desa Cipendawa dan Desa Gadog merupakan desa-desa
yang memiliki tingkat perkembangan sedang (hirarki 11). Sedangkan desa-desa
yang memiliki tingkat perkembangan rendah (hirarki 111) antara lain Desa
Batulawang, Desa Ciloto, Desa Sindangjaya, Desa Cibodas, Desa Sukatani, Desa
Sukanagalih dan Desa Ciputri.
Perkembangan desa-desa di kawasan agropolitan secara urnum menurut
Pribadi (2005), banyak dipengaruhi oleh keberadaan sarana transportasi terutama
jalan provinsi dan jalan kabupaten.
Akses Terhadap Lahan

Lahan merupakan salah satu aset produktif yang sangat penting di dalam
kegiatan usaha pertanian di perdesaan.

Namun seringkali akses masyarakat

perdesaan terhadap iahan menjadi semakin terbatas karena adanya kelangkaan
(land scarcity).

Menurut Saehlhakim (2001), kelangkaan lahan ini bisa

dibedakan menjadi dua, yaitu kelangkaan lahan absolut dan relatif. Kelangkaan
lahan absolut terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas tidak
diperhatikan serta sifatnya irreversible (tidak dapat balik). Sedangkan kelangkaan

lahan relatif terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas
diperhatikan dan sifatnya dapat balik. Di wilayah perdesaan yang lebih dominan
terjadi adalah kelangkaan lahan relatif.
Mengingat sifatnya yang