Produktivitas Pastura Campuran dengan Perlakuan Tingkat Naungan dan Interval Pemotongan

(1)

PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN DENGAN

PERLAKUAN TINGKAT NAUNGAN DAN INTERVAL

PEMOTONGAN

TESIS

YUNIAR

107040003

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN DENGAN

PERLAKUAN TINGKAT NAUNGAN DAN INTERVAL

PEMOTONGAN

TESIS

Oleh :

YUNIAR

107040003

Tesis sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul

: Produktivitas Pastura Campuran dengan Perlakuan Tingkat

Naungan dan Interval Pemotongan

Nama

: Yuniar

NIM

: 107040003

Progam studi

: Ilmu Peternakan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Nevy Diana Hanafi, SPt.MSi. Dr. Dra. Ir. Chairani Hanum, MP.

Ketua

Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar,MP. Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS.

Ketua Progam Studi Dekan Fakultas Pertanian


(4)

Tesis ini telah diuji di Medan pada

Tanggal : 14 Februari 2013

______________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt., M.Si

Anggota : Dr. Dra. Ir. Chairani Hanum, MP.

Penguji : 1. Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP

2. Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si.


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis

“Produktivitas Pastura Campuran dengan Perlakuan Tingkat Naungan dan Interval

Pemotongan”

adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri

dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang

digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam

daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini

juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis

diperguruan tinggi lain.

Medan, April 2013

Yuniar


(6)

ABSTRAK

YUNIAR: Produktivitas pastura campuran dengan perlakuan tingkat naungan dan interval pemotongan, dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan CHAIRANI HANUM.

Suatu penelitian mengenai pastura campuran yang ditanam dibawah naungan dan interval pemotongan yang berbeda perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan naungan dan interval pemotongan terhadap produksi dan kualitas pastura yang berbeda. Penelitian penanaman hijauan telah dilakukan di Tanjung Anom, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara-Medan. Analisis proksimat hijauan dilakukan di Laboratorium Bahan Pakan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan petak petak terbagi, dengan perlakuan petak utama adalah naungan (tanpa naungan, naungan dengan kerapatan paranet 0.2 mm, naungan dengan kerapatan 1.7 mm), anak petak yaitu interval pemotongan (4 dan 6 minggu) dan anak anak petak yaitu pastura, yang terdiri dari: P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens; P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica; P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides; P3 =

Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bahan segar dan bahan kering pastura berbeda pada interval pemotongan. Produksi yang lebih tinggi bahan segar dan bahan kering yaitu pada interval pemotongan minggu ke 6 (54747.75 kg/ha/tahun dan 13259.2 kg/ha/tahun). Naungan dan interval pemotongan tidak menunjukkan perbedaan terhadap persentase komposisi botani pastura campuran tetapi pada spesies

Centrosema pubescens berbeda nyata pada perlakuan naungan dan Pueraria javanica

berbeda nyata pada perlakuan interval pemotongan. Protein kasar dari komposisi pastura yang dicobakan lebih tinggi pada perlakuan tanpa naungan (15.20%) dan pada interval pemotongan 4 minggu (15.23%), sedangkan serat kasar tertinggi diperoleh pada naungan dengan kerapatan 1.7 mm (38.16%) dan pada interval pemotongan 6 minggu (38.27%). Lemak kasar pastura tidak berbeda pada semua perlakuan, sedangkan kapasitas tampung tenak yang paling tinggi yaitu diperoleh pada komposisi pastura (Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum, Pueraria javanica dan Calopogonium muconoides).

Kata Kunci: Pastura campuran, naungan, interval pemotongan, produksi hijauan, kualitas hijauan, kapasitas daya tampung, komposisi botani.


(7)

ABSTRACT

YUNIAR: Productivity of pasture with treatment levels of shade and cutting interval, guided by DIANA Nevy Hanafi and Chairani HANUM.

A study on pasture planted in the shade and different cutting intervals need to do. Effect of shading differences and cutting interval on yield and quality of pasture. Planting forage research has been done in Tanjung Anom, Pancurbatu, Deli serdang distric, North Sumatera Provinsi, Medan. Proximate analysis carried out in the Laboratory of Materials forage Feed Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. Experimental research split split plot design, with treatment the main plot is the shade

(without shade, shade with paranet 0.2 mm, shade with paranet 1.7 mm), the subplot cutting interval (4,6 weeks) and sub subplot is pasture : P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens; P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica; P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides; P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens).

The result of the research showed, that biomassa and dry weight of pasture have significant effect on the cutting interval of six weeks (54747.75 kg/ha/year dan 13259.2 kg/ha/year). Shades and cutting interval showed not significant of persentace Botanical composition in pasture mixing but the species Centrosema pubescens significant in shades treatment and Pueraria javanica significant in cutting interval. The higher crude protein of pasture is treatment without shade (15:20%) and at intervals of 4 weeks cutting (15, 23%), while the highest crude fiber obtained in shade with paranet 1.7 mm (38.16%) and at 6 weeks cutting interval (38.27%). Crude fat pasture not significant among all treatments and the higher carrying capacity is pasture composition

(Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum, Pueraria javanica dan Calopogonium muconoides).

Keywords: Pasture, shade, cutting interval, forage production, forage quality, carrying capacity, botanical composition.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 12 Juni 1963 dari pasangan Bapak O.Sofyan Narukaya dan Ibu Safiah Razali sebagai anak kedua dari 7 bersaudara. Menikah dengan Syafruddin Arsyad dan telah dikarunia 3 orang anak Aulia, Anas dan Tasya Nabila.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 3 di Sabang lulus tahun 1976, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Banda Aceh lulus 1979, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sabang lulus tahun 1982. Tahun 1989 menyelesaikan pendidikan Sarjana Peternakan dari Fakultas Pertanian Universitas Syah Kuala Banda Aceh.

Saat ini penulis terdaftar sebagai Staf di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bireuen Aceh sampai sekarang. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Peternakan di Program Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan studi pada bulan Februari 2013.


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Produktivitas Pastura Campuran dengan Perlakuan Tingkat Naungan dan Interval Pemotongan“ sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si, selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Dra.Ir.Chairani Hanum, MS selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan yang tulus selama penelitian berlangsung hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada penguji sidang Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si, Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Peternakan, Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, seluruh staf pengajar di Program Studi Pasca Sarjana Peternakan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan, sehingga penulis banyak mendapatkan wawasan dalam bidang peternakan. Begitu juga penulis sampaikan terimakasih kepada Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui dana PNBP tahun 2012. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kiranya dapat memberi saran untuk perbaikan tesis ini. Sekian dan Terima Kasih.

Medan, April 2013


(10)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

RIWAYAT HIDUP iii KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Pastura Campuran ... 3

Naungan ... 5

Pemotongan (defoliasi) ... 6

Jenis Hijauan Pakan Ternak ... 10

Brachiaria humidicola ... 10

Stenotaprum secundatum ... 11

Arachis galabara ... 12

Calopogonium muconoides ... 12

Centrosema pubescens ... 13

Pueraria javanica ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Bahan ... 15

Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Prosedur Pelaksanaan ... 16

Peubah yang diamati... 17

Pengambilan data ... 17

Rancangan Percobaan ... 19


(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Bahan Segar... 20

Produksi bahan kering... 23

Kandungan gizi pastura ... 25

Protein Kasar ... 26

Serat Kasar ... 29

Lemak kasar ... 32

Komposisi Botani Pastura... 34

Arachis glabarata ... 35

Calopogonium muconoides ... 36

Centrosema pubescens ... 38

Brachiaria humidicola ... 39

Stenotaphrum secundatum ... 42

Pueraria javanica ... 43

Gulma ... 46

Kapasitas Tampung ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(12)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Produksi bahan segar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval

pemotongan 20

2. Produksi bahan kering pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan ... 23 3. Kandungan gizi pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval

pemotongan ... 26 4. Kandungan protein kasar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval

pemotongan ... 26 5. Kandungan serat kasar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval

pemotongan ... 29 6. Kandungan lemak kasar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval

pemotongan 33

7. Komposisi botani tiap jenis tanaman pada pastura campuran dengan berbagai

tingkat naungan dan interval pemotongan 34

8. Persentase Arachis glabarata dalam bahan kering ditiap pastura 35 9. Persentase Calopogonium muconoides dalam bahan kering ditiap pastura 36 10. Persentase Centrosema pubescens dalam bahan kering ditiap pastura 38 11. Persentase Brachiaria humidicola dalam bahan kering ditiap pastura 40 12. Persentase Stenotaphrum secundatum dalam bahan kering ditiap pastura 42 13. Persentase Pueraria javanica dalam bahan kering ditiap pastura 43 14. Persentase Gulma dalam bahan kering ditiap pastura 46 15. Kapasitas tampung pada pastura dengan berbagai tingkat naungan dan interval


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Produksi bahan segar pada tiap interval pemotongan ... 21

2. Produksi bahan kering pada interval pemotongan ... 25

3. Kandungan protein kasar pada interval pemotongan ... 28

4. Kandungan protein kasar tiap naungan ... 30

5. Kandungan serat kasar tiap interval pemotongan ... 31

6. Persentase Calopogonium muconoides pada pastura ... 37

7. Interaksi naungan dengan interval pemotongan terhadap komposisi botani Calopogonium muconoides ... 37

8. Persentase Centrosema pubescens pada pastura ... 38

9. Persentase Centrosema pubescens pada naungan dan interaksi ... 39

10. Persentase Brachiaria humidicola pada pastura ... 40

11. Persentase Brachiaria humidicola pada interaksi pemotongan ... 41

12. Persentase Pueraria javanica pada pastura ... 44

13. Persentase Pueraria javanica pada interaksi pemotongan ... 44

14. Persentase Pueraria javanica pada interaksi naungan ... 45

15. Persentase Gulma pada pastura ... 46


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Analisis ragam produksi bahan segar dan Analisis ragam produksi bahan kering 58 2. Analisis ragam kapasitas daya tampung dan Analisis ragam protein kasar ... 59

3. Analisis ragam serat kasar dan Analisis lemak kasar ... 60

4. Analisis ragam Ragam Persentase Jumlah Arachis glabarata danAnalisis Ragam Persentase Jumlah Calopogonium muconoides ... 61 5. Analisis ragam Ragam Persentase Jumlah Centrosema pubescens dan Analisis

Ragam Persentase Jumlah Brachiaria humidicola ... 62 6. Analisis ragam Persentase Jumlah Stenotaphrum secundatum dan Analisis

Ragam Persentase Jumlah Pueraria javanica ... 63 7. Analisis ragam Persentase Jumlah Gulma ... 64


(15)

ABSTRAK

YUNIAR: Produktivitas pastura campuran dengan perlakuan tingkat naungan dan interval pemotongan, dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan CHAIRANI HANUM.

Suatu penelitian mengenai pastura campuran yang ditanam dibawah naungan dan interval pemotongan yang berbeda perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan naungan dan interval pemotongan terhadap produksi dan kualitas pastura yang berbeda. Penelitian penanaman hijauan telah dilakukan di Tanjung Anom, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara-Medan. Analisis proksimat hijauan dilakukan di Laboratorium Bahan Pakan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan petak petak terbagi, dengan perlakuan petak utama adalah naungan (tanpa naungan, naungan dengan kerapatan paranet 0.2 mm, naungan dengan kerapatan 1.7 mm), anak petak yaitu interval pemotongan (4 dan 6 minggu) dan anak anak petak yaitu pastura, yang terdiri dari: P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens; P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica; P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides; P3 =

Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bahan segar dan bahan kering pastura berbeda pada interval pemotongan. Produksi yang lebih tinggi bahan segar dan bahan kering yaitu pada interval pemotongan minggu ke 6 (54747.75 kg/ha/tahun dan 13259.2 kg/ha/tahun). Naungan dan interval pemotongan tidak menunjukkan perbedaan terhadap persentase komposisi botani pastura campuran tetapi pada spesies

Centrosema pubescens berbeda nyata pada perlakuan naungan dan Pueraria javanica

berbeda nyata pada perlakuan interval pemotongan. Protein kasar dari komposisi pastura yang dicobakan lebih tinggi pada perlakuan tanpa naungan (15.20%) dan pada interval pemotongan 4 minggu (15.23%), sedangkan serat kasar tertinggi diperoleh pada naungan dengan kerapatan 1.7 mm (38.16%) dan pada interval pemotongan 6 minggu (38.27%). Lemak kasar pastura tidak berbeda pada semua perlakuan, sedangkan kapasitas tampung tenak yang paling tinggi yaitu diperoleh pada komposisi pastura (Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum, Pueraria javanica dan Calopogonium muconoides).

Kata Kunci: Pastura campuran, naungan, interval pemotongan, produksi hijauan, kualitas hijauan, kapasitas daya tampung, komposisi botani.


(16)

ABSTRACT

YUNIAR: Productivity of pasture with treatment levels of shade and cutting interval, guided by DIANA Nevy Hanafi and Chairani HANUM.

A study on pasture planted in the shade and different cutting intervals need to do. Effect of shading differences and cutting interval on yield and quality of pasture. Planting forage research has been done in Tanjung Anom, Pancurbatu, Deli serdang distric, North Sumatera Provinsi, Medan. Proximate analysis carried out in the Laboratory of Materials forage Feed Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. Experimental research split split plot design, with treatment the main plot is the shade

(without shade, shade with paranet 0.2 mm, shade with paranet 1.7 mm), the subplot cutting interval (4,6 weeks) and sub subplot is pasture : P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens; P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica; P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides; P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens).

The result of the research showed, that biomassa and dry weight of pasture have significant effect on the cutting interval of six weeks (54747.75 kg/ha/year dan 13259.2 kg/ha/year). Shades and cutting interval showed not significant of persentace Botanical composition in pasture mixing but the species Centrosema pubescens significant in shades treatment and Pueraria javanica significant in cutting interval. The higher crude protein of pasture is treatment without shade (15:20%) and at intervals of 4 weeks cutting (15, 23%), while the highest crude fiber obtained in shade with paranet 1.7 mm (38.16%) and at 6 weeks cutting interval (38.27%). Crude fat pasture not significant among all treatments and the higher carrying capacity is pasture composition

(Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum, Pueraria javanica dan Calopogonium muconoides).

Keywords: Pasture, shade, cutting interval, forage production, forage quality, carrying capacity, botanical composition.


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu faktor yang menentukan produktivitas ternak ruminansia dalam pengembangan peternakan adalah terjaminnya ketersediaan pakan ternak ternasuk hijauan pakan yang bermutu. Oleh karena itu usaha peningkatan produktivitas ternak ruminansia tidak terlepas dari perbaikan kualitas pakan dan kontinuitas hijauan pakan. Terbatasnya penyediaan hijauan pakan pada saat ini disebabkan beberapa hal seperti luasan yang terbatas untuk penanaman hijauan pakan ternak, kesuburan tanah, suhu, kelembaban udara, ketersediaan air, intensitas cahaya, manajemen, dan kepemilikan lahan. Untuk mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak adalah dengan menanam hijauan dibawah tanaman tegakan. Namun, ada aspek yang masih tetap menjadi kendala adalah relatif cepatnya penurunan ketersediaan hijauan pakan untuk mendukung kebutuhan nutrisi ternak yang disebabkan oleh menurunnya ketersediaan energi matahari bagi proses fotosintesis hijauan pakan dibawah naungan yang berat. Hal ini mengakibatkan penyediaan pakan yang khusus diperuntukkan bagi lahan hijauan pakan tidak dapat dipenuhi secara optimal.

Intensitas cahaya matahari yang diterima oleh suatu tanaman akan mempengaruhi proses fotosintesis yang terjadi, sekaligus akan berpengaruh terhadap perkembangan vegetasi yang tumbuh. Kebanyakan rumput tropis kecuali yang tahan naungan meskipun kebutuhan nutrien dan airnya terpenuhi, produksi akan rendah apabila tumbuh pada tempat naungan yang berat dibandingkan dengan yang mendapatkan penyinaran penuh (Wilson et al., 1996). Potensi untuk meningkatkan produksi dan kontinuitas ketersediaan hijauan ini dapat dimanfaatkan dengan memilih spesies hijauan pakan yang memiliki adaptasi dan toleransi yang tinggi terhadap naungan dengan mengatur interval pemotongan atau panen tanaman. Oleh karena itu, perlu diteliti tanaman pakan yang bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut dimana ketersediaan intensitas cahayanya terbatas.

Pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa merupakan alternatif yang baik dikembangkan sebagai pastura. Leguminosa mempunyai peranan yang sangat penting di dalam meningkatkan produktivitas pastura dikarenakan kemampuan mereka


(18)

dalam penyediaan N dan penyediaan pakan yang bermutu. Kontribusi langsungnya terhadap produktivitas ternak melalui penyediaan sumber pakan yang kaya akan nitrogen. Selain itu, leguminosa dapat meningkatkan produktivitas rumput melalui peningkatan penyerapan nitrogen tanah oleh rumput apabila leguminosa ditanam bersamaan dengan rerumputan.

Tujuan Penelitian

.

1.

Mengetahui pengaruh berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan

terhadap produktivitas pastura (produksi bahan segar, produksi bahan kering,

kandungan nutrisi dan kapasitas tampung) dari berbagai pastura campuran.

2.

Mengetahui komposisi botani dari berbagai pastura campuran

Manfaat Penelitian

1.

Merupakan langkah strategis bagi pengembangan pastura berbasis rumput

dan legum untuk pakan ruminansia berkelanjutan.

2.

Produktivitas dan nilai nutrisi jenis vegetasi pastura yang dipilih menjadi

lebih baik sehingga daya tampung (

carrying capacity

) pastura relatif

meningkat.

Hipotesis Penelitian

Tingkatan naungan dan interval pemotongan berpengaruh terhadap produktivitas bahan segar, bahan kering, kandungan gizi, komposisi botani serta kapasitas daya tampung dari beberapa pastura campuran.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pastura Campuran

Ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas menjadi hal yang penting dalam mendukung program swasembada daging. Rendahnya pertambahan berat badan ternak disebabkan rendahnya kandungan protein rumput yang tersedia. Semakin terbatasnya lahan penggembalaan dan penanaman hijauan untuk peternakan juga menjadi salah satu kendala yang harus diatasi. Lahan diperlukan untuk penyediaan hijauan bahan berprotein tinggi sebagai pengganti biji-bijian . Pola peternakan dengan pakan yang bertumpu pada biji-bijian sebagai sumber protein terbukti tidak berkelanjutan karena harga bijian yang meningkat mahal sebagai akibat kenaikan permintaan sebagai bahan baku biofuel. Dibandingkan dengan rumput unggul, rumput lapangan memberikan konstribusi yang paling kecil dalam mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia (Sarwanto, 2010).

Pertanaman campuran merupakan system penanaman dua atau lebih jenis tanaman dalam sebidang lahan pada musim tanam yang sama. Dengan demikian penanaman secara campuran dimungkinkan terjadi persaingan atau saling mempengaruhi antara komponen pertanaman yang berlangsung selama periode pertumbuhan tanaman yang mampu mempengaruhi hasil kedua atau lebih tanaman tersebut (Gardner et al, 1991) menyatakan bahwa pada pertanaman campuran leguminosa memberi sumbangan N pada rumput selama pertumbuhannya. Beberapa syarat perlu diperhatikan sebagai tanaman campuran, yaitu dapat menimbun N, tanaman tahunan yang berumur pendek, spesies-spesies yang permanen, tanaman yang tumbuh rapat, rendah dan lambat berbunga.

Mansyur (2005) bahwa salah satu keuntungan dari sistem pertanaman campuran dapat meningkatkan produktivitas lahan per satuan luas. Pola pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa menghasilkan peningkatan produksi hijauan dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Namun peningkatan prosentase penanaman leguminosa pada pola pertanaman campuran tersebut mengakibatkan penurunan produksi hijauan. Hal ini terjadi karena produksi hijauan yang dihasilkan oleh leguminosa lebih rendah dari produksi hijauan yang dihasilkan oleh rumput. Menurut


(20)

Sanchez (1993), peningkatan produksi pertanaman campuran ditentukan oleh proporsi hijauan yang dihasilkan oleh masing-masing tanaman.

Simbiosis legum dengan rhizobium mampu memfiksasi nitrogen dari udara, sehingga kebutuhan nitrogen bagi tanaman dapat terpenuhi (Islami, 1995). Bahkan nitrogen tersebut tidak hanya untuk tanaman legum inang, tetapi dapat juga digunakan untuk tanaman yang lainnya yang ditanam bersama tanaman legum. Mansyur et al.

(2005) menyatakan produksi hijauan pada pertanaman campuran lebih tinggi dibandingkan dengan hanya monokultur dan peranan leguminosa dapat mensubstitusi penggunanan pemupukan nitrogen.

Kebanyakan rumput tropis, kecuali yang tahan naungan, meskipun kebutuhan nutrien dan airnya terpenuhi, produksi akan rendah apabila tumbuh pada tempat ternaungi, dibandingkan dengan yang mendapatkan penyinaran penuh (Wilson et al.,1990).

Produksi hijauan pakan di Indonesia belum dapat digambarkan secara akurat, mengingat lahan produksinya tidak dapat diidentifikasi untuk kurun waktu lebih lama karena seringkali adanya perubahan tata guna lahan. Hidayati et al., (2001) melaporkan bahwa produksi rumput dan legum tertinggi dicapai pada awal musim kering, sedangkan produksi terendah dicapai pada awal musim hujan.

Usaha yang paling baik untuk memperbaiki padang penggembalaan, khususnya padang penggembalaan alam adalah penanaman legum pada padang penggembalaan tersebut tanpa menghilangkan sama sekali rumput yang ada. Pentingnya legum pada pertanaman campuran adalah karena kemampuannya memfiksasi nitrogen dari udara yang dapat dipindahkan pada rumput. Pertanaman campuran antara rumput dan legum lebih baik dibanding dengan tanaman rumput saja, sebab selain protein, legum juga mengandung fosfor dan kalsium yang lebih tinggi (Reksohadiprojo, 1994).

Disamping itu menurut (Marhaeniyanto, 2009) bahwa tanaman leguminosa di daerah tropis tumbuh lebih lambat daripada tanaman rumput, agar bisa tumbuh dengan baik, maka penanaman rumput dan leguminosa dibuat dalam jalur beselang-seling. Beberapa keuntungan penanaman campuran rumput dan leguminosa : 1) Memperbaiki unsur Nitrogen dalam tanah, karena kemampuan leguminosa untuk mengikat N dari udara, 2) Memperbaiki mutu pakan ternak ruminansia, karena kandungan protein dan


(21)

mineral lebih tinggi, 3) Daerah tropis yang lembab akan membatasi pertumbuhan rumput, namun dengan percampuran rumput dan leguminosa, leguminosa dapat memperbaiki pertumbuhan rumput, karena akarnya bisa lebih dalam, 4) Tanaman campuran rumput dan leguminosa mampu meningkatkan kapasitas tampung sehingga satuan ternak per hektar lebih banyak dan total kenaikan berat badan lebih tinggi.

Naungan

Naungan baik secara alami maupun buatan mengakibatkan pengurangan jumlah cahaya yang diterima oleh tanaman. Sebagian besar rumput tropis mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar matahari, namun jenis rumput yang tahan terhadap naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau bahkan masih meningkat pada naungan sedang. Hasil penelitian Alvarenga et al (2004) menunjukkan bahwa tanaman yang ditanam pada kondisi tanpa naungan cenderung memiliki produksi berat kering akar yang lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan naungan. Tetapi produksi hijauan yang toleran naungan masih dapat meningkat pada naungan sedang (Samarakoon et al. 1990).

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. (Suhardi et al, 1995).

Cahaya merupakan bagian spektrum radiasi matahari dan merupakan komponen lingkungan fisik yang sangat penting bagi seluruh makhluk hidup khususnya tanaman, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Kusharsoyo, 2001). Cahaya adalah suatu energi yang penting dan diperlukan dalam proses fotosintesis. Pertumbuhan tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai titik kejenuhan cahaya daun


(22)

fotosintesis berhubungan dengan ketersediaan bahan mentah yaitu air dan karbondioksida, dan energi yang tersedia dalam bentuk panas dan cahaya sehingga dapat digunakan untuk membentuk tubuh tanaman dan hasil panen dalam tanaman.

Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya (perioditas) dan arah cahaya. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Garner et al, 1991). Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme, sehingga menyebabkan menurunnya laju fofosintesis dan sintesa karbohidrat (Sopandie et al., 2003). Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan N melalui reaksi kimia.

Leguminosa merupakan tanaman yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bahan organik tinggi dan dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah. Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara oleh leguminosa dapat membantu meningkatkan suplai hara terutama nitrogen bagi tanaman yang disampingnya. Leguminosa dapat ditanam sebagai tanaman penutup lahan mempunyai fungsi untuk konservasi tanah dan air. Percampuran leguminosa dan tanaman pangan mempunyai potensi untuk menghasilkan bahan kering yang lebih tinggi dengan kualitas yang lebih tinggi. Selain itu, pertananam campuran dengan tanaman leguminosa dapat menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah (Horne dan Stur, 1999).

Pemotongan (

defoliasi

)

Interval pemotongan adalah selang waktu antara suatu saat pemotongan sampai saat pemotongan berikutnya. Intensitas pemotongan dimaksudkan sebagai tinggi pemotongan dari atas permukaan tanah (Kristyowantari, 1992). Frekuensi dan intensitas defoliasi mempengaruhi produksi dan mobilisasi N pada tanaman. Intensitas

defoliasi meningkatkan penyerapan N yang dialokasikan untuk pertumbuhan daun yang diperoleh dari akar dan daun tua. Frekuensi defoliasi tidak mempengaruhi pengambilan , mobilisasi, dan alokasi N pada akar, daun tua maupun daun muda. Namun frekuensi

defoliasi meningkatkan jumlah anakan. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi dan mobilisasi N digunakan untuk pertumbuhan anakan akibat pengaruh frekwensi defoliasi


(23)

Kemampuan hijauan untuk bertumbuh kembali setelah defoliasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya tersedia cukup titik tumbuh dan energy cadangan (Wijitphan et al., 2009) dan oleh tingkat perkembangan tanaman pada tahap perkembangan vegetatif yang optimal (Gorder et al., 2005). Frekuensi defoliasi yang terlalu sering dapat mengurangi konsentrasi total karbohidrat mudah larut air pada komponen akar dan crown, yang selanjutnya mengurangi vigorositas dan produktivitas dari tanaman yang terdefoliasi (Sosebee et al., 2004). Hal ini disebabkan karena fungsi dan pertumbuhan akar sangat tergantung pada energi yang tersedia dari hasil fotosintesis.

Pemotongan sangat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya, semakin sering dilakukan pemotongan dalam interval yang pendek maka pertumbuhan kembali akan semakin lambat, ini disebabkan karena tanaman tidak ada kesempatan yang cukup untuk berasimilasi (Rahman, 2002). Hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam defoliasi adalah saat atau waktu defoliasi dan tinggi rendahnya pemotongan.

Pemotongan yang terlalu pendek akan mengganggu pertumbuhan kembali dan jika terlalu tinggi maka sisa batang akan mengayu (Departemen Pertanian, 1992).

Hasil penelitian Volesky dan Anderson (2007) menyebutkan bahwa intensitas pemotongan akan mempengaruhi produksi dari tanaman. Namun terhadap kualitas nutrisi tidak berpengaruh nyata walaupun terlihat adanya perbedaan pada setiap pemotongan dengan ketinggian yang berbeda. Strategi pemotongan yang tepat dalam menentukan banyaknya tanaman yang tersisa setelah pemotongan akan mengoptimalkan produksi nutrisi dan kepadatan jumlah anakan. Berbeda dengan intensitas pemotongan, interval pemotongan lebih mempengaruhi kualitas nutrisi hijauan. Peningkatan produksi Alfalfa terjadi seiring dengan peningkatan lamanya interval defoliasi, namun sebaliknya dengan kualitas nutrisinya. Semakin lama interval

defoliasi maka kualitas nutrisi Alfalfa juga menurun. Penurunan kualitas nutrisi mulai menurun pada umur pemotongan 37 hari (Norris dan Ayres, 1991).

Padang rumput yang over grazing, produksi hijauan maupun ternak akan menurun, namun bila penggembalaannya terlalu ringan maka kualitas rumput akan menurun dan produksi ternak per luasan lahan juga akan menurun. Oleh karena itu Rayburn (1992) menyarankan agar diperoleh produksi ternak yang maksimum maka


(24)

pada suatu padang rumput perlu diperhatikan adalah waktu pengembalaan dan intensitas penggembalaan.

Interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi hijauan, nilai nutrisi, kemampuan untuk tumbuh kembali (regrowth), komposisi botani dan ketahanan spesies. Secara umum semakin panjang interval pemotongan menyebabkan meningkatkan persentase bahan kering, serat kasar, lignin dan dinding sel, selanjutnya menurunkan rasio daun dan batang, persentase protein kasar, kandungan mineral (P, K, Ca. Mg) dan karbohidrat terlarut. Makin tua tanaman maka akan terjadi perpanjangan batang, hal ini menyebabkan daun berkurang dan terjadi penebalan dinding sel daun tua dan batang, serta meningkatkan nitrogen uptake, penurunan yang tinggi terhadap tingkat konsumsi dan daya cerna karena nilai nutrisi hijauan yang menurun (Reksohadiprojo, 1999). Menurut Djarre et al., (1984) menambahkan bahwa pemotongan hijauan pada umur yang masih muda akan menghasilkan bobot hijauan yang lebih rendah dibandingkan pada umur yang lebih tua. Akan tetapi terkadang pemotongan hijauan pada umur yang agak tua pun diperoleh bobot hijauan yang lebih rendah dibandingkan pada umur yang lebih muda, hal tersebut dipengaruhi oleh Leaf Area Index (LAI) yaitu luas permukaan daun per luas tanah dimana tanaman itu tumbuh, yang berhubungan erat dengan proses fotosintesis.

Adaptasi tanaman setelah pemotongan sangat bergantung terhadap respon morfologi dan fisiologi tanaman. Kemampuan tanaman menggunakan ketersediaan karbon dan nitrogen akan mengembalikan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis dan memenuhi kebutuhan organ tanaman untuk bertahan hidup setelah pemotongan (Kavanova dan Gloser, 2004) .

Interval pemotongan berpengaruh tehadap produksi hasil panen beberapa jenis hijauan. Begitu juga dengan produksi bahan segar dan bahan kering dipengaruhi oleh interval pemotongan (Puger, 2002). Adanya kencenderungan perubahan produksi segar dan kering seiring dengan lama interval pemotongan karena proporsi bahan kering yang dikandung oleh rumput yang berubah seiring dengan umur tanaman. Makin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding selnya lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel (Beever et al, 2000). Kandungan dinding sel yang dipunyai tanaman besar, maka tanaman tersebut akan lebih banyak mengandung bahan kering.


(25)

Pada rerumputan, konsentrasi nitrogen pada hijauan akan menurun ditandai dengan meningkatnya umur tanaman yang disebabkan meningkatnya bagian dinding sel dan menurunnya bagian silitol (Whitehead, 2000). Minson (1990) menyatakan penurunan kadar protein kasar selain karena umur tanaman juga disebabkan oleh penurunan proporsi helai daun dengan kelopak daun dan batang dimana pada helai daun mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan berbagai kelopak daun dan batang.

Menurut Djajanegara

et al

(1998) menyatakan bahwa umur tanaman pada

saat pemotongan sangat berpengaruh terhadap kandungan gizinya. Umumnya,

makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar

proteinnya dan serat kasarnya makin tinggi. Demikian pula pendapat (Susetyo

et

al

., 1994) bahwa, tanaman pada umur muda kualitas lebih baik karena serat kasar

lebih rendah, sedangkan kadar proteinnya lebih tinggi. Semakin lambat tanaman

dilakukan pemotongan, kandungan serat kasarnya semakin tinggi, sebaliknya

terlalu awal atau dilakukan dalam interval yang pendek, hijauan tersebut akan

selalu dalam keadaan muda. Hijauan muda kandungan protein dan kadar airnya

tinggi tetapi kadar seratnya rendah (Ella, 2002).

Kemampuan hijauan untuk bertumbuh kembali setelah defoliasi ditentukan oleh bebrapa faktor, diantaranya tersedianya cukup titik tumbuh dan energy cadangan (Wijitphan et al. 2009), dan oleh tingkat perkembangan tanaman pada tahap perkembangan vegetatif yang optimal (Gorder et al. 2005). Menurut Aminudin (1990), bahwa umur pemotongan tanaman pakan umumnya dilakukan pada periode akhir masa vegetatif atau menjelang berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan kandungan gizinya tinggi.

Pengaturan interval dan tinggi pemangkasan sangat penting diperhatikan karena berhubungan dengan aspek fisiologi dan produksi yang dihasilkan serta kesanggupan untuk tumbuh kembali. Pemangkasan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas baru sehingga produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemangkasan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman didominas oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).


(26)

Semakin singkat interval pemangkasan mengakibatkan semakin singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan cadangan makanan dalam aktifitas pertumbuhan. Interval pemangkasan 8 minggu memungkinkan tanaman membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup yang merupakan hasil reduksi CO2 pada proses fotosintesis. Harjadi (2000) menyatakan fase vegetatif menggunakan sebagian besar karbohidrat, apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel berjalan lambat sehingga perkembangan vegetatif terhambat.

Interval pemangkasan yang lebih singkat (4 dan 6 minggu) diduga menyebabkan pengurangan cadangan makanan akibat pemangkasan yang lebih intensif, sehingga tanaman hanya memiliki waktu singkat untuk membentuk cadangan makanan. Primandini (2007), menyatakan pemangkasan (defoliasi) berat mengakibatkan terhambatnya pembentukan tunas baru dan terkurasnya cadangan makanan.

Jenis Hijauan Pakan ternak

Brachiaria humidicola

Brachiaria humidicola disebut juga dengan Brachiaria dictyoneura dengan nama umum rumput koronivia. Brachiaria humidicola merupakan rumput tahunan berasal dari Afrika Selatan yang kemudian menyebar de daerah Fiji dan Papua New Guinea (Skerman and River, 1990). Batang yang berkembang tingginya dapat mencapai 20-60 cm. Helai daun berwarna hijau terang (Bright green) dengan panjang 12-25 cm dan lebar 5-6 mm (Jayadi, 1991). Rumput ini biasanya digunakan sebagai hijuan dalam padang pengembalaan permanen (Hanum, 1997).

Brachiaria humidicola merupakan rumput yang tahan terhadap kekeringan dan genangan namun tidak setahan Brachiaria mutica. Rumput ini juga tahan terhadap penggembalaan berat dan mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap invasi gulma, tetapi kurang cocok bila dilakukan penanaman dengan campuran leguminosa, hal ini karena pertumbuhan Brachiaria humidicola cepat sekali menutup tanah sehingga akan menekan pertumbuhan leguminosa (Jayadi, 1991).

Rumput ini tumbuh baik pada daerah humidsub humids tropis dan dapat tumbuh pada musim kering kurang dari 6 bulan. Tumbuh baik pada jenis tanah apapun termasuk tanah berpasir atau tanah asam, seperti dilaporkan oleh Mannetje dan Jones (1992) yang melaporkan bahwa Brachiaria brizantha, Brachiaria decumbens dan


(27)

Brachiaria humidicola sangat toleran terhadap tanah-tanah yang asam dan respon terhadap pemupukan yang mengandung unsur N, P, K, walaupun tidak tahan terhadap tanah berdrainase rendah.

Rumput Brachiaria merupakan rumput yang memang sudah banyak diberikan kepada ternak dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber hijauan pakan ternak. Rumput Brachiaria humidicola merupakan hijauan palatabel yang dapat digunakan sebagai rumput potongan dan rumput penggembalaan. Rumput ini mempunyai kemampuan menekan pertumbuhan gulma, adaptif terhadap pengairan kurang baik, toleran terhadap penggembalaan berat, dan tidak begitu membutuhkan kesuburan tanah yang bagus sehingga mempunyai peranan yang cukup besarbagi pengembangan dan penyediaan hijauan di daerah tropik (Mannetje dan Jones, 1992).

Stenotaphrum secundatum

Rumput Stenotaphrum secundatum Cv. Vanuatu. Rumput ini merupakan rumput unggul yang tahan naungan dan pada tingkat naungan antara 40 – 50 %, ternyata masih mampu berproduksi dengan baik (Rika, 1994). Norton et al. (1995) melaporkan bahwa naungan dapat menurunkan produksi hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman.

Wong (1990) yang menyatakan bahwa Stenotaphrum secundatum (Walter) O.Kunt. merupakan salah satu spesies indigenous shade yang lebih persisten dan produktif di bawah naungan (tingkat penyinaran yang rendah). Laju pertumbuhan

Stenotaphrum secundatum lebih berkembang untuk menghasilkan anak, hal ini diduga sebagai salah satu cara adaptasi yang tinggi, dengan cara memperbanyak keturunan.

Kecernaan Stenotaphrum secundatum pada lahan naungan memiliki kecernaan lebih tinggi dibandingkan tanpa naungan, kecuali untuk kecernaan energy (semakin rendah dengan bertambahnya taraf naungan). Cheeke (1999) melaporkan bahwa kecernaan energy tergantung pada jumlah kandungan energi pakan.


(28)

Arachis glabarata

Arachis glabrata memiliki kemampuan pada naungan bervariasi tergantung ekotipe, misalnya CPI12121 dinilai sangat tahan naungan dan CPI29986 daya tahan naungan rendah. Biasanya dapat tumbuh pada naungan sedang. Arachis glabrata

merupakan leguminosa yang memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah yang berdrainase baik mulai dari tanah pasir sampai liat, lebih menyukai tanah masam namun dapat tumbuh baik pada tanah netral atau sedikit basa, selain itu beradaptasi baik pada daerah tropis maupun subtropis (Bowman dan Wilson, 1996). Arachis glabrata memiliki kualitas hijauan yang baik dan memiliki produksi bahan kering yang baik.

Samarakoon et al. (1990) yang menyebutkan bahwa spesies yang tahan terhadap naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat pada naungan sedang. Disamping itu Prawiradiputra et al. (2006) menyatakan bahwa Arachis glabrata lebih tahan terhadap intensitas cahaya yang rendah/lebih beradaptasi dengan kondisi naungan. Adaptasi tersebut ditunjukkan oleh tinggi tanaman dan lebar daun yang menghasilkan produksi yang lebih besar.

Calopogonium muconoides

Calopogonium adalah leguminosa yang bersifat memanjat dan merambat, di atas tanah dapat membentuk hamparan setebal kurang lebih 50 cm. Batang seolah olah terbagi ke dalam dua bagian, bagian bawah menjalar sedangkan bagian atas memanjang. Berdaun tiga pada suatu tangkai, helai daun berbentuk oval ditutupi bulu-bulu halus coklat keemasan di kedua permukaannya, berbunga kupu-kupu tersusun seperti tandan berwarna kebiruan. Berbuah polong panjang antara 2,5–3,8 cm berwarna kuning kecoklatan dan tertutup bulu-bulu lebat. Tiap buah berisi 4–8 biji berwarna coklat muda atau coklat tua, berukuran 2,5 x 2,5 mm (Jayadi, 1991).

Calopogonium juga dapat digunakan sebagai pupuk hijau untuk memperbaiki tanah, merupakan pioner dalam melindungi permukaan tanah, mengurangi temperatur tanah dan dapat meningkatkan kesuburan tanah, serta dijadikan tanaman untuk menekan gulma/rumput seperti Imperatacylindrist L (alang-alang) (Chen et al., 1992).


(29)

kemampuannya dalam menutup tanah sebesar 87,5%. Legum cover crop dapat meningkatkan kandungan nutrisi tanah 1-29% C, 10-49% N, 38–34% K, 4-174% Ca dan 81-109% Mg.

Penyakit yang biasanya menyerang calopogonium adalah yang disebabkan oleh virus seperti di Guatemala dan Panama. Sedangkan hama yang menyerang adalah ulat atau kumbang pemakan daun, namun penelitian di Malaysia hama ini tidak menjadi masalah yang serius (Chen dan Aminah, 1992).

Centrocema pubescens

Banyak hijauan pakan yang potensial guna menunjang kebutuhan dalam penyedian hijauan pakan salah satunya adalah tanaman leguminosa dari jenis Centrosema. Centrosemapubescens adalah tanaman yang berasal dari Amerika Selatan dan telah ditanam di daerah tropik dan sub tropik dan sering disebut Centro. Merupakan tanaman yang berumur panjang yang bersifat merambat dan memanjat. Batang agak berbulu dan panjang dapat mencapai 5 m, berdaun tiga pada tangkainya daun berbentuk elips agak kasar dan berbulu lembut pada kedua permukaanya, bunga berbentuk kupu-kupu berwarna violet keputihputihan, buah polong panjang mencapai 9-17 cm berwarna hijau pada waktu muda setelah tua berubah warna menjadi kecoklat-coklatan tiap buah berisi 12–20 biji yang berwarna coklat (Sudarsono, 1991).

Centrosema pubescens merupakan tanaman yang tahan keadaan kering, dan dapat hidup dibawah naungan serta lahan yang tergenang air (Ibrahim, 1995). Kandungan nutrisi Centro terdiri dari protein kasar 23,6%, serat kasar 31,6%, abu 8,2%, lemak kasar 3,6% dan BETN 32.8% (Gohl, 1981). Centro merupakan salah satu hijauan yang disukai oleh ternak dengan produksi bahan kering sentro ± 12 ton/ha/tahun (Mannetje dan Jones, 1992). Centrosema pubescens merupakan tumbuhan perennial, sangat agresif, batangbatangnya menjalar, tahan kekeringan, tahan injakan, tahan terhadap naungan dan menutup tanah (Reksohadiprodjo, 1985).

Rumput yang kandungan proteinnya rendah dapat diupayakan agar lebih tinggi melalui pertanaman campuran dengan legum. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Sanchez (1993) yang mengatakan bahwa peranan leguminosa dalam hijauan campuran leguminosa dan rumput adalah memberikan tambahan nitrogen pada rumput dan memperbaiki secara menyeluruh pada padang penggembalaan terutama kandungan


(30)

proteinnya. Lebih lanjut Bahar et al., (1992) dalam penelitian campuran antara rumput dengan Centrosema pubescens berat keringnya lebih tinggi dibandingkan dengan ditanam tunggal. Siregar dan Ivory (1992) mengatakan hasil penelitian di Citanduy bahwa Centrosema pubescens termasuk kedalam penghasil bunga yang sedang tetapi penghasil biji yang baik.

Pueraria javanica

Pueraria javanica

merupakan tanaman yang toleran pada daerah genangan

dan beradaptasi baik pada tanah asam, namun tanaman ini rentan terhadap

kekurangan Mg dan S. Pada tanah yang rendah Ca dan P tanaman ini masih bisa

beradaptasi. Tanaman ini tumbuh menjalar dan memanjat, perakarannya dalam

dan agak lembut (Tropical Forages, 2000).

Pueraria termasuk jenis tanaman legum berumur panjang yang berasal dari

daerah subtropis, tetapi bisa hidup di daerah tropik dengan kelembapan yang

tinggi. Tanaman ini tumbuh menjalar dan memanjat (membelit), bisa membentuk

hamparan setinggi 60-75 cm. Pueraria memiliki sistem perakaran yang dalam

yaitu 1-6 m, masuk kedalam tanah dan luas. Maka dimusim kemarau tanaman ini

masih dapat bertahan, hanya meranggas daunnya, tetapi dimusim penghujan

daun-tersebut akan tumbuh kembali (Directorat Jenderal Peternakan, 1980).


(31)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 2 tempat yaitu penanaman pastura di Tanjung Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, Medan. Lahan percobaan yang digunakan seluas 23x19 meter, dengan ketinggian tempat 25 m dpl. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Bahan Pakan Ternak Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Syiah Kuala. Lama penelitian selama 5 (lima) bulan dimulai Mei sampai dengan September 2012.

Bahan dan alat Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu bibit rumput (

Brachiaria humidicola,

Stenotaphrum secundatum)

dan leguminosa

(

Arachis glabarata

,

Calopogonium

muconoides, Centrocema pubecens,

Peuraria javanica).

Alat

Alat yang dibutuhkan adalah paranet, tiang bambu, plastik, gembor, cangkul, pisau, kawat, tali, alat tulis, gunting, dan ember.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi

pengamatan di lapangan dan analisis di laboratorium. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah rancangan petak petak terbagi (RPPT). Perlakuan yang diuji

adalah 3 taraf yaitu 1). taraf naungan dengan menggunakan paranet sebagai

petak utama masing-masing yaitu NO = tanpa paranet, N1 = paranet dengan

kerapatan 0.2 mm dan N2 = dengan kerapatan 1.7 mm, 2) taraf interval


(32)

pemotongan yaitu (T1= 4 minggu dengan 3 kali pemotongan T2= 6 minggu

dengan 2 kali pemotongan) sebagai anak petak, 3) jenis pastura campuran (P0–P3)

sebagai anak anak petak. Pastura yang diteliti pada tahapan ini adalah : P0 =

Penutup tanah konvensional =

Arachis glabarata

+

Calopogonium muconoides +

Centrocema pubecens;

P1 =

Stenotaphrum secundatum

+

Brachiaria humidicola

+

Peuraria javanica + Arachis glabarata ;

P2 =

Stenotaphrum secundatum

+

Brachiaria humidicola + Peuraria javanica

+

Calopogonium muconoides;

P3

=

Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Peuraria javanica +

Centrocema pubecens.

Prosedur Pelaksanaan

1.

Persiapan Lahan

Dalam rangka menghilangkan pengaruh dari jenis tanaman diluar

perlakuan yang telah ditetapkan dilakukan pembersihan lahan dari gulma dan

sisa-sisa tanaman sebelumnya serta perakaran dari tumbuhan liar dengan

pemberian herbisida. Setelah pemberian herbisida selama dua minggu

kemudian dilakukan pembajakan untuk memecah lapisan tanah menjadi

bongkah-bongkahan tanah, sehingga penggemburan selanjutnya lebih mudah

dilakukan. Dua minggu setelah pembajakan, dilakukan penggemburan yang

berfungsi untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan menjadi struktur

tanah yang lebih halus serta untuk membersihkan sisa-sisa perakaran dari

tumbuhan liar. Satu hari setelah selesai penggemburan dilakukan pembuatan

petak (plot) penelitian berukuran 1,5 m x 1,5 m sebanyak 72 petak (plot),

dengan ketentuan ukuran tanah tiap petak ditinggikan (digunduk) 50 cm dari

areal lahan penelitian.

2.

Pembuatan Naungan

Naungan dipasang dengan menggunakan paranet setelah pengolahan

dan pembuatan petak pada setiap blok selesai dengan tinggi naungan 1.5

meter sesuai dengan tingkatan naungan yang dikehendaki yaitu yaitu NO =

tanpa paranet, N1 = paranet dengan kerapatan 0.2 mm dan N2 = dengan

kerapatan 1.7 mm. Pacak paranet yang digunakan setinggi 1.5 m. Arah


(33)

bedengan yaitu kearah selatan sehingga pada sore hari terkadang matahari

masih masuk menyinari tanaman.

3.

Penanaman

Penanaman rumput dan leguminosa dilakukan bersamaan pada petak

dengan ukuran 1,5 x 1,5 meter (untuk setiap unit perlakuan) dengan

mempergunakan bahan tanam sobekan rumpun dan biji leguminosa yang

diambil dari BPTP Sei Putih, Sumatera Utara. Jarak tanam yang

dipergunakan untuk rumput 20 x 20 cm, sedangkan untuk legum ditanam di

antara tanaman rumput dengan jarak tanam yang sama.

4.

Pemeliharaan

Penyiraman dilakukan pada setiap hari yang jumlah dan intensitasnya

disesuaikan dengan kondisi cuaca.

5.

Panen (pemotongan/

defoliasi

)

Trimmimg

untuk keseluruhan pastura dilakukan pada saat tanaman

berumur 30 hari, dimaksudkan untuk menyeragamkan pertumbuhan.

Selanjutnya pemotongan rumput dilakukan sesuai dengan perlakuan umur

pemotongan, yaitu 4 minggu dan 6 minggu dengan frekuensi pemotongan 3

dan 2 kali selama empat bulan. Tinggi pemotongan rumput dan leguminosa

20 cm di atas permukaan tanah. Pemotongan dilakukan dengan memakai

petakan (ram) setinggi 20 cm diatas permukaaan tanah yang diletakkan

ditengah petak (plot).

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati

meliputi produksi bahan segar, produksi bahan

kering, produksi gizi pastura (serat kasar, protein kasar dan lemak), komposisi

botani

dan kapasitas tampung ternak.

Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan sesuai dengan perlakuan umur pemotongan

yaitu 4 dan 6 minggu. Tahapan pengambilan data tersebut adalah sebagai berikut:


(34)

1.

Produksi bahan kering

Produksi bahan kering diperoleh dari produksi bahan segar dari setiap

pemotongan umur 4 dan 6 minggu, setelah pemotongan dilakukan

penimbangan tiap petak percobaan. Dari penimbangan tersebut akan

didapatkan data dari produksi segar. Kemudian sampel dioven untuk

mendapatkan bobot kering dan analisa kandungan gizi. Dari analisa

kandungan gizi tersebut akan didapatkan data produksi bahan kering

perpetak, kemudian data bahan kering perpetak dikalkulasikan kedalam

produki bahan kering kg /ha/tahun dengan cara :

a.

Interval pemotongan 4 minggu

= Data bahan kering (kg) x (10000 m

2

/2,25 m

2

) x 13 kali panen

b. Interval pemotongan 6 minggu

= Data bahan kering (kg) x (10000 m

2

/2,25 m

2

) x 8 kali panen

2.

Kandungan gizi

Analisa kandungan gizi dilakukan di laboratorium Bahan Makanan

Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara dan Syiah Kuala, yaitu dari hasil sampel produksi bahan kering sampel

tersebut di kompositkan untuk setiap perlakuan. Data kandungan gizi pastura

dihasilkan dari analisa kandungan nutrisi yang selanjutnya dikalikan dengan

produksi bahan kering pastura. Kandungan nutrisi pastura yang diteliti

meliputi: protein kasar, serat kasar dan lemak kasar. Prosedur analisis

kandungan protein kasar, serat kasar dan lemak kasar sesuai dengan metode

AOAC (

Assosiation of Official Methods Analysis Chemist

) (AOAC, 2005).

3.

Komposisi botani

Dari hasil produksi bahan segar yang dihasilkan diambil sampel

sebanyak 200–300 g, kemudian dilakukan separasi sampel tersebut

berdasarkan spesies dan kemudian ditimbang. Setelah ditimbang berdasarkan

spesies, kemudian sampel tersebut dioven merupakan berat kering. Sampel

yang telah dioven ditimbang kembali dan dibandingan dengan berat segar

untuk mengetahui persentase bahan kering kemudian persentase bahan kering


(35)

dikalikan dengan produksi bahan segar tiap spesies dan dicatat sebagai data

komposisi botani.

4.

Kapasitas Tampung

Kapasitas tampung dengan Satuan Ternak (ST) didapatkan setelah mendapatkan produksi bahan kering per hektar. Selanjutnya kapasitas tampung dihitung dengan cara membagikan produksi bahan kering per hektar dengan kebutuhan bahan kering ternak yaitu 3.5 % (NRC, 1988) dari bobot badan ternak dengan bobot badan ternak 350 kg.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak-Petak

Terbagi

(Split Split Plot Design

). Penggunaan rancangan ini dimaksudkan untuk

melihat pengaruh faktor dan perlakuan yang dicobakan serta pengaruh interaksi

antar faktor. Pada percobaan ini terdapat 3 faktor yaitu faktor pertama yang

dijadikan sebagai petak utama (main plot) adalah naungan, dengan tingkat

naungan 0%

(kontrol), 50%

dan 75%. Faktor kedua yang dijadikan sebagai anak

petak (sub plot) adalah interval pemotongan (4 dan 6 minggu). Faktor ke-3 yang

dijadikan sebagai anak-anak petak (sub-sub plot) adalah 4 jenis pastura yang

merupakan kombinasi antara jenis rumput dan leguminosa yaitu :

P0 = Arachis glabarata + Calopogonium muconoides +Centrocema pubecens

P1 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Peuraria javanica + Arachis glabarata

P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Peuraria javanica + Calopogonium muconoides

P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Peuraria javanica + Centrocema pubecens


(36)

Analisis Data

Data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT), menurut Steel dan Torrie (1995). Uji lanjut digunakan ketika ditemukan adanya pengaruh interaksi antar faktor perlakuan dengan melihat perbedaan antar anak petak pada petak utama yang sama dan antar petak utama pada anak petak yang sama seperti yang dijelaskan oleh Gaspersz (1995).


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Bahan segar

Hasil analisis ragam produksi bahan segar dengan perlakuan naungan (A) dan pastura (C) memberi pengaruh tidak berbeda nyata (P>0.05). Interaksi antara perlakuan naungan (A) dengan interval pemotongan (B), interaksi antara naungan (A) dengan pastura (C), interaksi antara interval pemotongan (B) dengan pastura (C) serta interaksi antara naungan (A) dengan interval pemotongan (B) dan pastura (C) menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil analisis ragam pada anak petak yaitu interval pemotongan menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap produksi bahan segar. Rataan produksi bahan segar pastura dengan perlakuan interval pemotongan dan naungan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi bahan segar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan.

Naungan (%) N0 N2 N3

Rataan Interval

(Minggu) 4 6 4 6 4 6

Pastura ……….……..……….kg/ha/tahun……….…

P0 29613.27 49643.26 36641.13 60973.63 21012.44 43016.30 40150.00A P1 31656.36 49540.15 35965.93 60491.26 30614.22 54689.19 43826.18A P2 36856.83 63586.37 37759.35 52846.22 32532.80 68170.67 48625.37A P3 40243.97 43545.48 34500.62 57160.30 34484.80 53310.22 43874.23A Rataan 34592.61 51578.81 36216.76 57867.85 29661.07 54796.59

43085.71A 47042.30A 42228.83A

Interval Pemotongan : 4 minggu = 33490.14A 6 minggu = 54747.75B

Keterangan: Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah baris atau kolom menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01).

Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi bahan segar pastura (PO,P1,P2 dan P3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, begitu juga dengan pengaruh berbagai tingkat naungan (N0, N1 dan N2). Kecenderungan yang terjadi adalah pastura P2 (Stenotaphrum secundatum, Brachiaria humidicola, Peuraria javanica, Calopogonium muconoides) menunjukkan produksi bahan segar tertinggi yaitu 48625.37 kg/ha/tahun.


(38)

Hasil ini mengindikasikan walaupun komposisi vegetasi pastura berbeda tetapi menghasilkan bahan segar yang sama.

Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemotongan 4 minggu menghasilkan produksi bahan segar lebih rendah dibandingkan dengan 6 minggu. Pemotongan dengan umur yang relatif muda diharapkan dapat memberikan kualitas yang cukup baik, tetapi sistem pemotongan rumput dengan interval yang pendek dapat menurunkan produksi bahan segar hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti (2002) bahwa tanaman memerlukan penanganan yang baik terutama pada faktor umur pemotongan (defoliasi) karena umur pemotongan akan menentukan produksi tanaman dan kandungan nutrisinya. Produksi dari bahan kering merupakan hasil kali produksi bahan segar dengan kandungan bahan kering. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan produksi hijauan segar akan diikuti dengan peningkatan bahan kering.

Produksi bahan segar (kg/ha/tahun) pada tiap interval pemotongan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Produksi bahan segar pada tiap interval pemotongan.

Produksi bahan segar interval pemotongan 6 minggu sebesar 54747.75 kg/ha/tahun sedangkan 4 minggu sebesar 33490.14 kg/ha/tahun (Gambar 1). Lebih tingginya produksi bahan segar pada interval pemotongan 6 minggu dibandingkan dengan pemotongan 4 minggu diduga disebabkan oleh pemangkasan yang terlalu berat. Pemangkasan dengan tidak memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat


(39)

pertumbuhan tunas baru sehingga produksi yang dihasilkan lebih rendah dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemangkasan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman didominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002). Pemotongan yang terlalu berat akan menghambat perkembangan tunas baru karena produksi hormon auxin berkurang.

Hormon auxin merupakan senyawa indol acetik acid yang dihasilkan dari sekresi titik tumbuh yang teratas pada ujung tunas. Jika ujung tunas itu mengalami gangguan pemotongan atau pemangkasan maka hormon auxin akan diproduksi lebih banyak untuk merecovery (menutupi) bagian tubuh tanaman lainnya. Hormon auksin sangat peka terhadap cahaya, itu sebabnya hormon ini bekerja lebih cepat pada cahaya yang cukup. Pembentukan bagian tubuh tanaman tergantung kepada laju akumulasi asimilat dan waktu pengisian komponen-komponen yang menyusun bahan organik (Masner, 1995).

Pada pemangkasan 6 minggu produksi bahan segar diperoleh lebih tinggi hal ini diduga disebabkan oleh tersedianya waktu yang cukup untuk akumulasi, translokasi dan loading dari beberapa bahan untuk pertumbuhan dan perkembangan bagian tanaman (Masner, 1995), sedangkan interval pemotongan 4 minggu lebih sedikit produksinya karena interval pemotongan yang terlalu dekat, hal ini sesuai dengan pernyataan Reksohadiprojo (1999) bahwa pemotongan berhubungan erat dengan produktifitas dan kualitas hijauan pakan. Interval pemotongan yang terlalu dekat tanpa dibarengi dengan masa istirahat, maka akan menghambat perkembangan tunas-tunas baru sehingga produksi dan perkembangan tanaman akan berkurang .

Walaupun berbagai tingkatan naungan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada produksi bahan segar, tetapi kecenderungan yang terjadi adalah naungan N1 menunjukkan produksi bahan segar tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa pada P0, P1, P2 dan P3 adalah pastura yang toleran terhadap naungan dan akan semakin turun produksinya dengan meningkatnya naungan. Begitu juga dengan produksi segar pada intensitas naungan yang berbeda tidak menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 1). Akan tetapi walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, tetapi intensitas naungan N1 menghasilkan produksi bahan segar tertinggi. Produksi bahan segar merupakan dari hasil fotosintesis tanaman. Pada kondisi intensitas cahaya yang optimal maka laju fotosintesis akan maksimal. Komposisi pastura yang digunakan dalam dalam penelitian


(40)

ini merupakan gabungan antara rumput dan legum. Rumput adalah kelompok C4 yang

produktivitasnya meningkat pada lingkungan yang hangat dan kering sedangkan legum adalah kelompok C3 yang tidak menyukai cahaya penuh (Heddy, 2008). Oleh karenanya naungan dengan intensitas N1 merupakan kondisi optimal dan akan berkurang sejalan dengan meningkatnya intensitas naungan.

Produksi Bahan Kering

Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi bahan kering pastura menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian naungan (A) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap produksi bahan kering pastura. Interaksi antara perlakuan naungan (A) dengan interval pemotongan (B), interaksi antara naungan (A) dengan pastura (C), interaksi antara interval pemotongan dengan pastura serta interaksi antara ketiganya (naungan, interval pemotongan dan pastura) menunjukkkan interaksi tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan pada interval pemotongan menunjukkkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). Rataan produksi bahan kering pastura dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi bahan kering pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan

Naungan (%) N0 N2 N3

Rataan Interval

(Minggu) 4 6 4 6 4 6

Pastura ……….……..……….kg/ha/tahun……….…

P0 11029.64 12919.99 11305.17 15196.39 5763.27 9905.55 11020.00 a P1 8794.15 12162.27 9670.83 13323.27 10621.25 14868.49 11573.37 a P2 12995.02 16346.68 12715.89 14570.29 8931.90 12885.83 13074.27 a P3 9866.63 9623.03 10359.84 14945.79 10654.82 12362.86 11302.16 a

Rataan 10671.36 12762.99 11012.93 14508.93 8992.81 12505.68

11717.18 a 12760.93 a 10749.25 a

Interval Pemotongan : 4 minggu = 10225.70a 6 minggu = 13259.20b

Keterangan: Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah baris atau kolom menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

Rataan produksi bahan kering (Tabel 2) tertinggi cenderung terdapat pada perlakuan naungan N1 (12760.93 kg/ha/tahun) dan perlakuan pastura P2 (13074.27 kg/ha/tahun). Hal ini disebabkan produksi bahan kering merupakan hasil dari proses pertumbuhan selama periode tertentu pada satuan luas tertentu. Dengan demikian


(41)

bobot kering suatu tanaman dipengaruhi oleh laju tumbuh dan waktu penyusunan dari bahan kering itu sendiri. Biomassa yang berada diatas permukaan tanah adalah bobot bahan unsur organik per unit diatas permukaan tanah pada suatu waktu tertentu yang dihubungkan ke satu fungsi, sistem produktivitas, unsur tegakan dan distribusi organik (Onrizal, 2004).

Pada interval pemotongan menunjukkan hasil yang berbeda pada produksi bahan kering, produksi bahan kering hijauan lebih tinggi pada interval pemotongan 6 minggu, hal ini sesuai pernyataan Wijitphan et al (2009), bahwa kemampuan hijauan untuk tumbuh kembali setelah defoliasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya tersedia cukup titik tumbuh dan energi cadangan. Pada umumnya produksi bahan kering hijauan lebih tinggi diperoleh saat interval pemotongan diperpanjang karena semakin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding selnya lebih tinggi dibandingkan isi sel (Beever et al., 2000) artinya kandungan dinding sel yang dimiliki tanaman banyak maka tanaman tersebut akan lebih banyak mengandung bahan kering. Produksi bahan kering pastura tertinggi yaitu pada interval pemotongan minggu ke 6 yaitu 14508.93 kg/ha/tahun dan terendah pada interval pemotongan minggu ke 4 yaitu 8992.81 kg/ha/tahun (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena terlalu dekatnya interval pemotongan pada umur 4 minggu yang mana tanaman belum tinggi dibandingkan pastura yang dipotong umur 6 minggu. Tinggi hijauan yang tertinggal setelah pemangkasan (defoliasi) adalah faktor menentukan daya tumbuh kembali (regrowth), hal ini berhubungan dengan intercep (penyerapan) cahaya matahari. Produksi bahan kering berlangsung secara maksimum bila intersep cahaya mencapai 95 % atau lebih.

Interval pemangkasan yang lebih singkat (4 minggu) diduga menyebabkan pengurangan cadangan makanan akibat pemangkasan yang lebih intensif, sehingga tanaman hanya memiliki waktu singkat untuk membentuk cadangan makanan. Perbedaan produksi bahan kering pada interval pemotongan dapat dilihat pada Gambar 2.


(42)

Gambar 2. Produksi bahan kering pada interval pemotongan

Perbedaan produksi bahan kering antara interval pemotongan minggu ke 4 dan 6 pada penelitian disebabkan umur pemotongan hijauan yang berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh akumulasi biomassa bahan kering sangat tergantung kepada umur dari tanaman tersebut. Umur pemangkasan yang lebih panjang akan menyebabkan akumulasi biomassa dari bahan kering lebih banyak dibandingkan dengan umur yang lebih singkat. Akumulasi bahan kering tergantung kepada kondisi lingkungan terutama ketersedian air (Huang, 2009). Rahman (2002) menyatakan bahwa interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi segar dan bahan kering hijauan.

Kandungan Gizi Pastura

Kandungan gizi dari pastura pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan analisis proksimat terhadap sampel dari setiap petak percobaan. Data yang dianalisis yaitu kandungan gizi (protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar) diperoleh dengan mengalikan produksi bahan kering dengan kandungan gizi dari setiap pastura percobaan. Rataan kandungan gizi selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.


(43)

Tabel 3. Kandungan gizi campuran pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan

Naungan Interval

Pemotongan Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar

(%) (mg) ………..%...

No 4 15.26 37.57 2.72

6 15.15 37.79 2.81

Rataan 15.20 37.68 2.77

N1 4 15.50 37.29 2.97

6 14.43 38.54 2.67

Rataan 14.96 37.92 2.82

N2 4 14.94 37.83 2.88

6 14.71 38.49 2.64

Rataan 14.83 38.16 2.76

Protein Kasar

Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein kasar menunjukkan bahwa perlakuan pada beberapa taraf naungan (A) berbeda nyata (P<0.05), Interval pemotongan (B) berbeda sangat nyata (p<0.01), dan pastura (C) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). Interaksi antara perlakuan A dan B, interaksi perlakuan A dan C, serta interaksi perlakuan A, B dan C menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05). Tetapi interaksi antara perlakuan B dan C menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0.05). Kandungan protein kasar pastura perlakuan naungan dan interval pemotongan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Kandungan protein kasar pastura pada berbagai tingkat naungan dan interval pemotongan

Naungan (%) N0 N1 N2

Rataan

Interval (Minggu) 4 6 4 6 4 6

Pastura ………….……..……..%...

P0 15.12 16.62 15.54 14.28 14.90 14.72 15.20a

P1 15.20 14.06 15.37 14.37 14.95 14.68 14.77a

P2 15.29 14.79 15.54 15.01 14.86 14.29 14.96a

P3 15.42 15.13 15.54 14.04 15.04 15.17 15.06a

Rataan 15.26 15.15 15.50 14.43 14.94 14.71


(44)

Interval Pemotongan : 4 minggu = 15.23A 6 minggu = 14.76B

Keterangan: Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah baris atau kolom menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).

Dilihat dari Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar dari setiap jenis pastura tidak berbeda. Tidak adanya perbedaan protein kasar tiap jenis pastura disebabkan karena pastura yang ditanam adalah campuran legum dengan rumput karena pertumbuhan rumput yang relatif cepat sehingga menutupi atau menghambat pertumbuhan legum. Tabel 4 menunjukkan bahwa setiap pastura memilki kandungan protein kasar yang sama akan tetapi dari rataan kandungan protein kasar cenderung yang tertinggi terdapat pada pastura P0 sebesar 15.20% dan terendah pastura P1 yaitu 14.77%.

Perlakuan perbedaan intensitas naungan menghasilkan kandungan protein kasar pastura yang berbeda (Tabel 4). Protein kasar tertinggi diperoleh pada pastura yang tidak dinaungi. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi naungan ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat melakukan proses fotosintesis secara normal pada keadaan kekurangan cahaya. Radiasi matahari mempengaruhi posisi dari kloroplas yang akan mengumpul pada sisi dinding sel terdekat agar terkena (Salisbury dan Roos, 1995). Keadaan ini menyebabkan daun kelihatan lebih hijau pada kondisi ternaungi karena kloroplasnya mengumpul pada permukaan daun (Myers et al., 1997).

Secara umum kandungan protein kasar pastura tertinggi pada tanaman yang tidak dinaungi yaitu pada NO sebesar 15.20% dan yang terendah pada tanaman yang ternaungi pada N1 dan N2 sebesar 14.96% dan 14.83%. Naungan yang paling baik dalam penelitian untuk meningkatkan kandungan protein kasar adalah NO (tanpa naungan). Hal ini disebabkan tumbuh-tumbuhan yang terkena cahaya penuh (N0) memiliki laju asimilasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak terkena cahaya penuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Sopandi et al (2003) bahwa kekurangan cahaya pada tanaman akan mengakibatkan terganggunya metabolisme, sehingga menurunkan laju fotosintesis dan sintetis karbohidrat, dan penurunan kandungan protein kasar, selain itu dapat mengurangi enzim fotosintetis yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya.


(45)

Hasil kandungan protein kasar pada interval pemotongan umur 4 minggu menunjukkan produksi tertinggi dibandingkan interval pemotongan umur 6 minggu. Kandungan protein kasar (%) tiap interval pemotongan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kandungan Protein kasar pada tiap interval pemotongan

Dilihat dari Gambar 3 diketahui nilai kandungan protein kasar pada interval pemotongan 4 minggu lebih tinggi dibandingkan interval pemotongan 6 minggu artinya semakin lama masa pemotongan maka semakin rendah kandungan protein. Pada rerumputan, konsentrasi nitrogen pada hijauan akan menurun ditandai dengan meningkatnya umur tanaman, hal ini disebabkan meningkatnya bagian dinding sel dan menurunnya bagian sitosol (Whitehead, 2000).

Waktu pemanenan yang panjang (interval pemotongan 6 minggu) akan menaikkan produksi bahan kering tetapi dapat menurunkan protein tanaman hal ini sesuai dengan pernyataan Beever et al (2000) menyatakan bahwa semakin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding sel lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Djajanegara et al (1998) juga menyatakan bahwa umur tanaman pada saat pemotongan sangat berpengaruh terhadap kandungan gizinya. Umumnya, makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar proteinnya dan serat kasarnya makin tinggi.

Hasil pada interaksi perlakuan naungan dan interval pemotongan terhadap pastura campuran bahwa kandungan protein kasar tertinggi yaitu pada naungan 0% dengan interval pemotongan 6 minggu dan terdapat pada pastura P0, begitu juga


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alvarenga, A.A., M.C. Evaristo, C. Erico, J. Lima and M.M.Marcelo. 2004. Effect of different light level on the initial growth and photosynthetic of croton urucurana baill in Southeastern Brazil.

Aminudin, S. 1990. Beberapa jenis metode dan pengawetan hijauan pakan ternak tropika. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis 15th ed. K. HELRICH (Ed.). Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arlington, Virginia, USA. Astuti, N. 2002. Pengaruh Umur Pemotongan terhadap Produksi Rumput

Sorghum. Vulgare Animal Production Edisi Khusus Buku I Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto.

Bahar Syamsu, R. Rakhmat, D. Bulo dan R. Salam. 1992. Produksi dan Kualitas Rumput Urochloa pullulans yang Ditanam Tunggal dan Campuran dengan Beberapa Jenis Leguminosa Herba. Dalam Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati Vol.3 No.1

Beever,D.E., N. Offer and M. Gill. 2000. The feeding value of grass and grass products. In: A. Hopkins (Ed) Grass: Its Production and Utilization. Published for British Grassland Soc. By Beckwell Science. 141-195.

Bowman, A.M. and G.P.M. Wilson. 1996. Persistence and yield of forage peanuts (Arachis spp.) on the New South Wales

Cheeke, P.R. 1999. Applied animal nutrition: Feeds and feeding. 2 Ed. Prentice hall, Upper saddle river, New Jersey.

Chen, C. P., and A. Aminah. 1992. Forages (Edi). Plant Resources of South-East Asia (Prosea).No 4. Wageningen, Netherlands and Bogor. Indonesia.

Chen, C.P., and Y.K. Chee. 1992. Forages (Edi). Plant Resources of South-East Asia (Prosea). No 4. Wageningen, Netherlands and Bogor. Indonesia.

Departemen Pertanian. 1992. Petunjuk Budidaya Hiajauan Makanan Ternak. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan Departen Pertanian, Jakarta.

Dirjen Peternakan. 1980. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Hijauan. Dirjen Peternakan Direktorat Bina Produksi dan JICA. Jakarta.


(2)

Djajanegara, A., M. Rangkuti., Siregar, Soedarsono, S.K. Sejati. 1998. Pakan ternak dan Faktor-faktornya. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Departemen Pertanian, Bogor.

Djarre, M. T. 1984. Ketahanan rumput Brachiaria mutica (Para Grass) terhadap

defoliasi. Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin, Makasar.

Duke SO and Lydon J. 1993. Natural phytotoxins as herbisida. Pest control with enhanced environmental safety. ACS symp ser 524. Amer Chem Soc. Pp:111-121.

Ella, A.2002. Produktivitas dan Nilai Nutrisi Beberapa Renis Rumput dan Leguminosa Pakan yang Ditanam pada Lahan Kering Iklim Basah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.

Elliot, Waller, T.B. Wood and William Godden. 2009. Investigation on the mineral content of pasture grass and this the effect on herbivore: III. Report on the chemical analyses of sample of pasture from various area in the british isles. Cambridge journal. 78-88.

Gardner, F., R.B Pearve., R.L Mitchell., 1991. Physiology of Crop Plants

(Fisiolohi Tanaman Budidaya : Terjemahan Herawati Susilo) Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan I. Tarsito. Bandung.

Gohl, B. O. 1981. Tropical Feed. Feed Information. Summaries and Nutritive Value. FAO. Rome.

Harjadi, S.S. 2000. Pengantar Agronomi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Hartley, K, Nelson and M. Gorman. 1995. The effect of fertilizer and shading on plant chemical composisition and palatability to Orkney voles, microtus arvalis orcadensis. Oikos 72: 79-87.

Heddy, S. 2008. Ekofisiologi Pertanaman. Sinar Baru, Bandung.

Hidayati, N, C. Talib dan A. Pohan. 2001. Produktifitas Padang Penggembalaan Rumput Alam untuk Menghasilkan Sapi Bibit di Kupang Timur, Nusatenggara Timur. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September 2001.

Huang. X. Ko.C. Wang W.X. 2009. Codmium and copper accumulation and toxicity in the macroalga gracilaria tenuistripitata. Aqual Biol. 11: 17-26. Humphreys, L.R. 1994. Tropical Forages: Their Role in Sustainable Agriculture.

Longman Scientific & Technical.

Horne.P.M., W.W. Stur, 1999. Developing Forage Technologies with Smallholder Farmer. Acar. Monograph. No.62.80.pp.


(3)

Ibrahim. 1995. Daya Adaptasi Rumput dan Legume Asal Ciat (Colombia) dan Csiro (Australia) Di Kalimantan Timur. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan 1995. Pusat Penelitian dan Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak 140 Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air, dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang.

Jayadi, S. 1991. Tanaman Makanan Ternak Tropika. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Kalmbacher R.S., Brown W.F., Colvin D.L., Dunavin L.S., Kretschmer A.E., Jr., Martin F.G., Mullahey J.J. and Rechcigl J.E. (1997) 'Suerte' atra paspalum: Its management and utilization.Gainesville: Florida Agric. Exp. Stn. Circular S-397. Univ. of Florida.

Kavanova, M. dan V. Glozer. 2004. The use of internal nitrogen stores in the Rhizomatous Grass Calamagrostis epigejos during regrowth after defoliation. Annuals of Botany 2005 95 (3) : 457 - 463.

Kretscmer AE. Pitman WD. 1995. Tropical and Subtropical Forages. Di dalam: Barnes RF, Miller DA, Nelson CJ, editor. Forages Volume I: An Introduction to Grassland Agriculture. Iowa: Iowa State University Press. Kristyowantari, R. 1992. Pengaruh interval dan tinggi pemotongan terhadap

produksi dan beberapa aspek kualitas rumput Raja. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kusharsoyo,A.P. 2001. Pengaruh Pupuk NPK, Asam humad dan frekuensi pemanenan terhadap produktivitas dan rendemen handeuleum pada intensitas cahaya matahari yang berbeda. Skripsi. Manajemen hutan. Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Lestienne, F., B. Thornton dan F. Gastal. 2006. Impact of defoliation intensity and frequency on N uptake and mobilization in Lolium perenne. Journal of Experimental Botany. 2006. 57(4):997-1006.

Lanbers H, F.S. Chapin III, and T.L. Pons. 1998. Plant Physiological Ecology. Springer. New York.

Ludlow, M.M. 1978. Light relation in pasture plants. In: Plant Relations in pastures. J.R. Wilson (ed.). Melbourne: Csiro.Pp: 35-39.

Lyytikainen, P and Saqrenmaa. 1999. The responses of Scots pine, pinus sylvestris to natural and artificial defoliation stress. Ecological society of America. 9: 469-474.


(4)

Mansyur, L. Abdullah., H. Djuned, dan T. Dhalika, 2005. Perubahan dalam hasil panen dan kandungan fraksi serat pada tingkat umur pemotongan rumput setaria. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. Volume 8. Edisi khusus. 29 – 36. Mcllroy, R.J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Terjemahan.

Tim Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pradnya Paramita, Jakarta.

Minson, D. J, 1990. The chemical composition and nutritive value of tropical grasses, In: P.J. Skerman dan F. Riveros. Tropical Grasses. FAO Plant Production and Protection Series No. 23. FAO, Rome.

Moenandir J. 1993. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Myers DA, Jordan DN, Vogerman TC. 1997. Inclination of Sun and Shade Leaves Influenced Chloroplast Light Harvesting and Utilizatin. Plant Physiol 99: 395– 404.

National Research Council 1988. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 6th rev ed National Academy Press, Washington DC.

Norton BW, Poppi DP. 1995. Composition and nutritional attributes of pasture legumes. Di dalam : D’Mello JPF, Devendra C, editor. Tropical legumes in animal nution. Wallingford : CAB International.

Norris,R.F dan Ayres. 1991. Cutting Interval and Irrigation Timing in Alfalfa: Yellow Foxtail Invasion and Economic Analysis. Agron J 83: 552-558 (1991).

Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan karbon tegakan hutan kerangas di taman nasional danau sentarum. Kalimantan barat (tesis). Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.

Scijournals.org/cgi/content/abstract/83/3/552. (4 April 2008).

Prawiradiputra, B.R., Sajimin, N.D. Purwantari, dan I. Herdiawan. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Prawiranata, W., S. Harran dan Tjondronegoro. 1981. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Primandini, Y. 2007. Fodder. (online) (yuniee 07@yahoo.co.id). Diakses Tanggal 2 Februari 2008.

Puger, A.W. 2002. Pengaruh interval pemotongan pada tahun ketiga terhadap pertumbuhan dan produksi Gliciridia sepium yang ditanam dengan system penyangga. Majalah ilmiah peternakan. 5(2): 53-57.


(5)

Rahman, S. 2002. Introduksi tanaman makanan ternak di lahan perkebunan: respon beberapa jenis tanaman makanan ternak terhadap naungan dan tatalaksana pemotongan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu peternakan. 4 (1): 46-53. Rayburn, E.B. 1992. Principles of Grazing Management.

http://www.Caf.wvu.edu/forage//.

Reksohadiprodjo, S. 1999. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yokyakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Revisi. BPFE. UGM. Yogyakarta

Rika, I K. 1994. Integrasi Pakan Hijauan dan Ternak Ruminansia dengan Perkebunan Kelapa . Orasi Pengenalan Guru Besar Tetap dalam Bidang Tanaman Makanan Ternak pada Fak. Peternakan, Unud.

Sanchez,P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2 (terjemahan). Insitut Teknolohi Banding, Bandung.

Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Penerjemah: Lukman dan D.R. Sumaryono. ITB Press, Bandung.

Samarakoon, S.P., J.R. Wilson and H.M. Shelton. 1990. Growth, morphology, and nutritive value of shaded Stenotaprum secundatum, Axonopus compressus and Pennisetum clandestinum. J. Agric. Sci. 114: 161-169.

Sarwanto, A dan R.,Wudianto. 1999.Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah Kering dan Pasang surut.Penebar Swadaya. Jakarta. 86 h

Schultze-kraft dan J. K. Teitzel. 1992. Forages (Edi). Plant Resources of South-East Asia (Prosea). No 4. Wageningen, Netherlands and Bogor. Indonesia. Sirait, J., S.P.Ginting dan A.Tarigan. 2005. Karakteristik morfologi dan produksi

legume pada tiga taraf naungan di dua agroekosistem. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak Bogor, 16 September 2005.

Siregar, M. E. and D. A. Ivory. 1992. Evaluation Of Herbaceous In The Citanduy Watershed Basin dalam Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Sitompul, S.M. dan Guritno. 1995. Analisis Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.


(6)

Sopandie, D., M.A Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 10: 71–75.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri, B. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Stúr, W.W. and H.M. Shelton. 1990. Review of forage resources in plantation crops of Southeast Asia and the Pacific. Proc. Aciar No. 32. Bali, 27 – 29 Juni 1990. pp. 25 – 31.

Sukman Y dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta : PT Grafindo Persada.

Susetyo, S., I. Kismono, dan B. Soewari. 1994. Padang Pengembalaan. Panataran Manajer Ranch. Direktorat Bina Sarana Usaha Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Tillman, D.A., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo DAN S. Lebdosoekotjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Volesky, J. D. dan B. E. Anderson. 2007. Defoliation effects on production and nutritive value of four irrigated cool-season Perennial Grasses. Agron. J. 99:494_500.

Whitehead, D.C. 2000. Nutrient Element in Grassland: Soil Plant Animal Relationship. CAB International Publishing, Wallingford. 367

Wilson J.R. 1996. Shade-Stimulad growth and nitroden up take by pasture grasses in a subtropical environment. Aust. J. Agrie. United Kingdom.

Wilson, J.R. and M.M. Ludlow, 1990. The environment and potensial growth of herbage under plantations. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali, Indonesia. 10 – 24.

Wurst S, Beersum SV. 2008. The impact of soil organism composition and active carbon on grass-legume competition. Palant and soil 10: 10007-1014.

Wong .CC, 1990. Shade tolerance of tropical forages. Forage for Plantation Crop. Zhao. D and D.M. Oosterhuis. 2000. Cotton responses to shade at different

growth stages: growth, Lint yield and fibre quality. Experimental Agriculture. Vol 36: 27-39.