Kajian Produktivitas Pastura Campuran Pada Berbagai Tingkat Naungan

(1)

KAJIAN PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN PADA

BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh:

DEBORA ELISABETH SIAHAAN

080306020

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KAJIAN PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN PADA

BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

DEBORA ELISABETH SIAHAAN 080306020/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judu l Skripsi : Kajian Produktivitas Pastura Campuran Pada Berbagai Tingkat Naungan.

Nama : Debora Elisabeth Siahaan

NIM : 080306020

Departemen : Peternakan

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

(Ir. Iskandar Sembiring, M.M.) (Usman Budi, S.Pt, M.Si.)

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr. Ir. Ristika Handarini, MP.) Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

DEBORA ELISABETH SIAHAAN : Kajian Pastura Campuran Pada Berbagai Tingkat Naungan. Dibimbing oleh ISKANDAR SEMBIRING dan USMAN BUDI.

Pengembangan hijauan makanan ternak berpeluang dilakukan pada lahan perkebunan di Sumatera Utara mengingat areal pertanamannya cukup luas yaitu mencapai 1.017.570 ha. Pengembangan ternak ruminansia memerlukan upaya untuk meningkatkan produksi hijauan makanan ternak. Pemanfaatan areal pada lahan di bawah tanaman sawit merupakan salah satu alternatif manajemen penyediaan hijauan pakan. Potensi lahan di bawah perkebunan kelapa sawit sangat besar untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia tanpa merusak ekosistem yang ada sehingga memberikan kontribusi berupa pemenuhan kebutuhan daging ruminansia. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi. Setelah dianalisa maka dilanjutkan dengan uji lanjutan menggunakan Uji lanjut Duncan untuk mengetahui pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan pastura. Perlakuan yang diuji terdiri dari 4 jenis pastura (P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens, P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica, P2 =

Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides, P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens) dan 3 tingkat naungan (N0 = Naungan 0% (tanpa naungan), N1 = Naungan 50%, N2 = Naungan 75%).

Produktivitas dan kapasitas tampung tidak dipengaruhi oleh interaksi nauangan dan kelompok pastura. Bahan kering tertinggi terdapat pada P2 yaitu 323.2421 gr/petak. Kapasitas daya tampung tertinggi terdapat pada P2 yaitu 4.17 UT. Komposisi botani beragam terutama pada kelompok pastura P3. Kandungan nutrisi pastura pada analisa pertama lebih baik dari analisa kedua.

Kata kunci : Naungan, Pastura, Produksi BK, Kapasitas Tampung, Kandungan Nutrisi


(5)

ABSTRACT

DEBORA ELISABETH SIAHAAN: Study Mixed Pasture In Different Levels Shade. Guided by ISKANDAR SEMBIRING and USMAN BUDI.

Development of forages is still open considering plantations in North Sumatra is quite extensive, reaching 1,017,570 ha. Efforts are needed to increase the production of green fodder in the local and national levels. Utilization of the land under palm trees are one alternative to address the provision of management providing forage. Potential land that has not been usage and left just like that, a potential field that allows for forages to enhance ruminants production without damaging ecosystems, so as to contribute their needs ruminant meat. The research used in the study were split plot design. Further tests using the Test of Duncan continued to see significant effect on pasture productivity. The treatments tested consisted of 4 types of group of species forages (P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens, P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica, P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides, P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens) and 3 levels of shade (N0 = 0% (no shade), N1 = 50%, N2 = 75%).

Conclusion of this research is group of species forages and shading no effect on dry meter and carrying capacity but give effect significantly on nutrition and botanical composition. Highest dry matter contained in P2 is 268.97 g/plot. The capacity of the highest capacity found in P2 is 3.48 UT. Botanical composition of the pasture varied especially on P3. Pasture nutrient content in the first analysis is better than the second analysis.

Keywords: Pasture, Shading, Dry Materials Production, Carrying Capacity, Nutrition


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 1 September 1990 dari ayah Jhon

Freddy Darwin Siahaan dan ibu Derita Dame Purba merupakan putri pertama dari

empat bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri III Medan dan lulus pada tahun

yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis UMB (Ujian

Masuk Bersama). Penulis memilih Program Studi Peternakan Departemen

Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Peternakan, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Anatomi dan

Fisiologi Ternak, Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas, Laboratorium

Manajemen Ilmu Perah dan Laboratorium Dasar Ternak Unggas. Selain itu penulis

juga mengikuti kegiatan ekstrauniversitas yaitu Paduan Suara El-Shaddai selama 2

tahun.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Balai Pembibitan

Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau di Siborong-borong dari tanggal 2 Juni


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Produktivitas Pastura Campuran Pada Berbagai Tingkat Naungan”.Penulisan skripsi

ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi

Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Ir. Iskandar Sembiring, MM, selaku Ketua dan Bapak Usman Budi, S.Pt, M.Si

selaku Anggota yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan dan saran

yang sangat berharga selama penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berharap kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Potensi Sumber Daya Lahan Perkebunan Kelapa Sawit ... 5

Deskripsi Tanaman Rumput dan Legum... 7

Centrosema pubescens ... 7

Calopogonium mucunoides... 8

Pueraria javanica ... 9

Arachis glabarata ... 10

Brachiaria humidicola... 11

Stenotaphrum secundatum ... 11

Peranan Cahaya Terhadap Pertumbuhan Tanaman ... 12

Pengaruh Naungan Terhadap Vegetasi ... 16

Kapasitas Tampung Ternak ... 20

Komposisi Botani ... 21

Kandungan Nutrisi ... 22

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 24

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

Bahan dan Alat Penelitian ... 24

Metode Penelitian... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA... 60


(9)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Rataan produksi bahan kering selama penelitian ... 30

Tabel 2. Analisa sidik ragam produksi bahan kering... 30

Tabel 3. Uji Duncan untuk produksi bahan kering ... 31

Tabel 4. Rataan kapasitas daya tampung ... 32

Tabel 5. Analisa sidik ragam kapasitas daya tampung (rataan) ... 33

Tabel 6. Rataan lemak kasar pada analisa I ... 40

Tabel 7. Analisa ragam lemak kasar pada analisa I ... 41

Tabel 8. Uji Duncan (DMRT) untuk lemak kasar analisa I ... 41

Tabel 9. Rataan lemak kasar pada analisa II ... 41

Tabel 10. Analisa ragam lemak kasar pada analisa II ... 42

Tabel 11. Uji Duncan (DMRT) untuk lemak kasar analisa II ... 42

Tabel 12. Rataan serat kasar pada analisa I ... 43

Tabel 13. Analisa ragam serat kasar pada analisa I ... 43

Tabel 14. Uji Duncan (DMRT) untuk serat kasar analisa I ... 43

Tabel 15. Rataan serat kasar pada analisa II ... 44

Tabel 16. Analisa ragam serat kasar pada analisa II ... 44

Tabel 17. Uji Duncan (DMRT) untuk serat kasar analisa II ... 45

Tabel 18. Rataan protein kasar pada analisa I ... 45

Tabel 19. Analisa ragam protein kasar pada analisa I ... 46


(10)

Tabel 21. Rataan protein kasar pada analisa II ... 46

Tabel 22. Analisa ragam protein kasar pada analisa II ... 47

Tabel 23. Uji Duncan (DMRT) untuk protein kasar pada analisa II ... 47

Tabel 24. Rataan abu pada analisa I ... 49

Tabel 25. Analisa ragam abu pada analisa I ... 49

Tabel 26. Uji Duncan (DMRT) untuk abu pada analisa I ... 49

Tabel 27. Rataan abu pada analisa II ... 50

Tabel 28. Analisa ragam abu pada analisa II... 50

Tabel 29. Uji Duncan (DMRT) untuk abu pada analisa II ... 50

Tabel 30. Rataan BETN pada analisa I ... 51

Tabel 31. Analisa ragam BETN pada analisa I ... 52

Tabel 32. Uji Duncan BETN pada analisa I ... 52

Tabel 33. Rataan BETN pada analisa II ... 52

Tabel 34. Analisa ragam BETN pada analisa II ... 53

Tabel 35. Uji Duncan (DMRT) untuk BETN pada analisa II ... 53


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Adaptasi Tanaman Yang Menghindar Terhadap Kekurangan Cahaya ... 16

2. Dampak Positif dan Negatif Terhadap Hijauan Pakan ... 19

3. Pengaruh naungan terhadap pastura P0 ... 35

4. Pengaruh naungan terhadap pastura P1 ... 36

5. Pengaruh naungan terhadap pastura P2 ... 37


(12)

ABSTRAK

DEBORA ELISABETH SIAHAAN : Kajian Pastura Campuran Pada Berbagai Tingkat Naungan. Dibimbing oleh ISKANDAR SEMBIRING dan USMAN BUDI.

Pengembangan hijauan makanan ternak berpeluang dilakukan pada lahan perkebunan di Sumatera Utara mengingat areal pertanamannya cukup luas yaitu mencapai 1.017.570 ha. Pengembangan ternak ruminansia memerlukan upaya untuk meningkatkan produksi hijauan makanan ternak. Pemanfaatan areal pada lahan di bawah tanaman sawit merupakan salah satu alternatif manajemen penyediaan hijauan pakan. Potensi lahan di bawah perkebunan kelapa sawit sangat besar untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia tanpa merusak ekosistem yang ada sehingga memberikan kontribusi berupa pemenuhan kebutuhan daging ruminansia. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi. Setelah dianalisa maka dilanjutkan dengan uji lanjutan menggunakan Uji lanjut Duncan untuk mengetahui pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan pastura. Perlakuan yang diuji terdiri dari 4 jenis pastura (P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens, P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica, P2 =

Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides, P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens) dan 3 tingkat naungan (N0 = Naungan 0% (tanpa naungan), N1 = Naungan 50%, N2 = Naungan 75%).

Produktivitas dan kapasitas tampung tidak dipengaruhi oleh interaksi nauangan dan kelompok pastura. Bahan kering tertinggi terdapat pada P2 yaitu 323.2421 gr/petak. Kapasitas daya tampung tertinggi terdapat pada P2 yaitu 4.17 UT. Komposisi botani beragam terutama pada kelompok pastura P3. Kandungan nutrisi pastura pada analisa pertama lebih baik dari analisa kedua.

Kata kunci : Naungan, Pastura, Produksi BK, Kapasitas Tampung, Kandungan Nutrisi


(13)

ABSTRACT

DEBORA ELISABETH SIAHAAN: Study Mixed Pasture In Different Levels Shade. Guided by ISKANDAR SEMBIRING and USMAN BUDI.

Development of forages is still open considering plantations in North Sumatra is quite extensive, reaching 1,017,570 ha. Efforts are needed to increase the production of green fodder in the local and national levels. Utilization of the land under palm trees are one alternative to address the provision of management providing forage. Potential land that has not been usage and left just like that, a potential field that allows for forages to enhance ruminants production without damaging ecosystems, so as to contribute their needs ruminant meat. The research used in the study were split plot design. Further tests using the Test of Duncan continued to see significant effect on pasture productivity. The treatments tested consisted of 4 types of group of species forages (P0 = Arachis glabarata + Calopogonium mucunoides + Centrocema pubescens, P1 = Brachiaria humidicola + Stenotaphrum secundatum + Arachis glabarata + Pueraria javanica, P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides, P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens) and 3 levels of shade (N0 = 0% (no shade), N1 = 50%, N2 = 75%).

Conclusion of this research is group of species forages and shading no effect on dry meter and carrying capacity but give effect significantly on nutrition and botanical composition. Highest dry matter contained in P2 is 268.97 g/plot. The capacity of the highest capacity found in P2 is 3.48 UT. Botanical composition of the pasture varied especially on P3. Pasture nutrient content in the first analysis is better than the second analysis.

Keywords: Pasture, Shading, Dry Materials Production, Carrying Capacity, Nutrition


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan usaha ternak dimasa sekarang mengalami peningkatan yang

sangat signifikan. Seiring dengan berkembangnya usaha ternak tersebut maka

kebutuhan pakan juga mengalami peningkatan. Kemampuan ternak ruminansia untuk

memproduksi daging dan susu ditentukan oleh kandungan zat gizi pada hijauan pakan

yang dikonsumsi dan dari efisiensi metabolismenya. Oleh karena itu produktivitas

ternak ruminansia sangat bergantung pada kuantitas, kualitas dan kontinuitas hijauan

pakan. Padahal kontinuitas hijauan pakan itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan antara lain ketersediaan air, kesuburan tanah, suhu dan kelembaban udara

serta intensitas sinar matahari. Kendala utama yang dihadapi dalam penyediaan

hijauan pakan adalah terbatasnya penggunaan dan pemilikan lahan, karena pada

umumnya lahan produktif digunakan untuk tanaman pangan dan

perkebunan (Hanafi, 2005).

Potensi pengembangan hijauan campuran dengan tanaman pangan dan

perkebunan mempunyai pengaruh yang sangat baik karena akan saling memberikan

keuntungan dengan tanaman yang lain. Jika pada tanaman perkebunan akan tercipta

integrasi antara tanaman perkebunan dengan hijauan pakan ternak terlebih lagi akan

membantu dalam pemenuhan kebutuhan pakan ternak. Tanaman hijauan pakan ternak


(15)

Pertanaman hijauan campuran (polikultur) adalah merupakan campuran lebih

dari salah satu jenis hijauan yang ditanam bersama-sama, misalnya jenis rumput yang

ditanam dengan leguminose. Pertanaman dengan menggunakan leguminose akan

sangat bagus mutunya, Sebab leguminose dapat mensuplai N pada tanaman rumput,

sehingga produksi bisa lebih baik dan menghemat pemupukan. Pada umunya

tanaman leguminose tumbuh lebih lambat daripada tanaman rumput. Agar kedua

jenis tanaman bisa tumbuh dengan baik bersama-sama dalam jalur-jalur, maka jalur

rumput dan leguminose tersebut harus disusun berselingan. Di samping itu rumput

harus sering dipotong, guna memberikan kesempatan kepada leguminose agar

tumbuh lebih baik, sehingga kedua jenis tanaman ini akhirnya tumbuh serempak.

Beberapa keuntungan tanaman campuran dengan leguminose yaitu memperbaiki

unsur N dalam tanah, karena kemampuan leguminosa untuk mengikat N di udara oleh

bakteri yang terdapat di dalam bintil bintil akar, memperbaiki mutu makanan hijauan

karena protein dan kadar mineral cukup tinggi, leguminose dapat memperbaiki

pertubumbuhan karena akarnya lebih dalam (AAK, 1985).

Ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan hijauan

makanan ternak secara ekstensif kian berkurang seiring dengan bertambahnya

populasi penduduk. Kenyataan diabaikannya penyediaan lahan untuk peternakan

memang tidak dapat dipungkiri lagi. Sementara itu kebutuhan ternak ruminansia

akan ketersediaan hijauan juga meningkat untuk pemenuhan masyarakat akan

pangan. Luasnya areal perkebunan sawit di Indonesia memungkinkan untuk

memanfaatkan lahan selanya untuk pengembangan budidaya rumput sebagai hijauan


(16)

menghadapi kendala. Kebanyakan rumput tropis kecuali yang tahan naungan

meskipun kebutuhan nutrisi dan airnya terpenuhi, produksi akan rendah apabila

tumbuh pada tempat ternaungi dibandingkan dengan yang mendapatkan penyinaran

penuh (Wilson, 1982).

Pemanfaatan areal pada lahan sela tanaman sawit adalah salah satu alternatif

mamajemen penyediaan untuk mengatasi penyediaan hijauan pakan. Potensi lahan

selanya yang belum termanfatkan dan dibiarkan begitu saja, merupakan suatu lahan

potensial yang memungkinkan pemanfatannya untuk meningkatkan produksi ternak

ruminansia tanpa merusak ekosistem yang ada, sehingga dapat memberikan

kontribusi berupa pemenuhan kebutuhan daging ruminansia.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pastura campuran pada areal perkebunan

adalah toleransi tanaman tersebut terhadap naungan. Sistem integrasi tanaman ternak

pada ekosistem perkebunan kelapa sawit membutuhkan jenis hijauan pakan ternak

yang relatif toleran terhadap naungan agar daya tampung lahan meningkat. Salah satu

upaya untuk mengoptimalkan penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hijauan

pakan adalah dengan mengembangkan tanaman hijauan pakan yang tahan naungan

untuk ditanam pada lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Rendahnya intensitas

sinar matahari yang dapat diterima oleh suatu tanaman akan menyebabkan rendahnya

proses fotosintesis, sekaligus akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan

vegetasi alam yang tumbuh. Sebagai konsekuensinya, maka tingkat produksi vegetasi


(17)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menguji toleransi beberapa jenis hijauan pakan

ternak campuran terhadap naungan, sehingga dapat digunakan sebagai dasar

kebijakan pengembangan hijauan pakan ternak pada lahan yang ternaungi.

Hipotesis Penelitian

Spesies hijauan pakan ternak yang diamati dapat berproduksi dengan baik

pada kondisi tertentu dari level naungan dan pertanaman kelompok pastura.

Kegunaan Penelitian

• Sebagai informasi bagi peternak dalam pemanfaatan areal lahan

perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu alternatif manajemen

penyediaan untuk mengatasi penyediaan hijauan pakan.

• Sebagai sumber data dan informasi bagi penelitian berikutnya.

• Sebagai bahan penyusunan skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Peternakan Fakultas


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Sumber Daya Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Lahan perkebunan kelapa sawit setiap tahun meningkat dengan pertumbuhan

yang cukup tinggi. Tahun 2008, luas lahan kelapa sawit mencapai 7,1 juta Ha, namun

saat ini sawit mengalami pertumbuhan sebesar 11,8% dengan luas total tahun 2010

mencapai 8,1 juta Ha. Pengembangannya tidak lagi terfokus di pulau Sumatera

melainkan ke pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Kementan RI, 2010).

Semenatara itu luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Sumatera Utara mencapai

1.017.570 Ha (Departemen Pertanian, 2010).

Luasnya areal hutan produksi dan perkebunan di Indonesia memungkinkan

untuk memanfaatkan lahan selanya untuk pengembangan budidaya rumput sebagai

hijauan makanan ternak. Namun kenyataannya pengembangan secara integrasi

menghadapi kendala. Kebanyakan rumput tropis, kecuali yang tahan naungan

meskipun kebutuhan nutrient dan airnya terpenuhi, produksi akan rendah apabila

tumbuh pada tempat ternaungi dibandingkan dengan yang mendapatkan penyinaran

penuh (Wilson, 1982). Hal ini sesuai dengan pendapat Paat (2006) yang menyatakan

bahwa potensi lahan dibawah pohon kelapa sawit untuk budidaya tanaman sela cukup

besar karena land use intensity kelapa sawit hanya kisaran 15-20% artinya masih terdapat lahan kosong antara 80-85% terutama untuk tanaman kelapa sawit yang


(19)

Lahan perkebunan kelapa sawit sangat cocok untuk usaha ternak ruminansia

karena mampu menyediakan pakan dalam jumlah yang cukup. Pelepah daun kelapa

sawit yang secara periodik dipangkas dapat dijadikan pakan ternak. Selain itu rumput

yang tumbuh diantara pokok tanaman juga cukup melimpah sehingga mampu

mendukung usaha ternak sebanyak 2ekor/ha secara berkelanjutan. Hasil penelitian di

Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa bahan hijauan yang dihasilkan dari lahan

perkebunan mencapai 6,25 ton bahan kering/ha/tahun dan mampu mendukung 1-3

ekor sapi /ha (Suryana dan Sabrani, 2005).

Setiap agroekosistem memiliki daya dukung terhadap ternak yang

berbeda-beda. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan lahan pertanian menyediakan

pakan insitu dalam jumlah yang cukup dan berkualitas bagi ternak. Jika kawasan

perkebunan dalam kondisi TBM dikelola dengan pola tumpang sari, maka produk

yang dihasilkan sangat bergantung pada tanaman sela yang dibudidayakan. Kondisi

ini mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan hijauan berupa vegetasi alam atau

produk samping tanaman sela yang dapat tumbuh di kawasan kelapa sawit sangat

terbatas dan tidak cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan yang

berkelanjutan (Mathius, 2009).

Ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas menjadi hal yang penting

dalam mendukung program swasembada daging. Rendahnya pertambahan berat

badan ternak disebabkan rendahnya kandungan protein rumput yang tersedia.

Semakin terbatasnya lahan penggembalaan dan penanaman hijauan untuk peternakan

juga menjadi salah satu kendala yang harus diatasi. Lahan diperlukan untuk


(20)

peternakan dengan pakan yang bertumpu pada biji-bijian sebagai sumber protein

terbukti tidak berkelanjutan karena harga bijian yang meningkat mahal sebagai akibat

kenaikan permintaan sebagai bahan baku biofuel. Dibandingkan dengan rumput

unggul, rumput lapangan memberikan kontribusi yang paling kecil dalam mencukupi

kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia. Tanaman kelapa sawit normal yang telah

berbuah akan menghasilkan kira-kira 20-22 tandan/tahun dan semakin tua

produktivitasnya menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama

tanaman kelapa sawit berbuah atau pada tanaman yang sehat berat tandannya berkisar

antara 3-6 kg. Tanaman semakin tua, berat tandan pun bertambah yaitu antara 25-35

kg/tandan. Mulai dari penyerbukan sampai buah matang diperlukan waktu kurang

lebih 5-6 bulan (Hanafi, 2005).

Deskripsi Tanaman Rumput dan Legum Centrosema pubescens

Legum Centrosema pubescens merayap memanjat berbunga kupu-kupu besar berwarna ungu muda kemerah-merahan. Polongannya berwarna coklat panjangnya 15

cm dan mengandung 20 biji bewarna hitam berbintik-bintik, tiap kg berat biji

mengandung 40.000 butir. Modus reproduksinya adalah menyerbuk sendiri.

Kekerasan kulit biji karena variasi genetik telah banyak diketahui (Humpreys, 1979).

Spesies legum ini tumbuh baik di daerah-daerah tropik dengan curah hujan

sedang sampai tinggi. Persyaratan tanah bagi legum ini tidak spesifik namun

inokulasi rhizobium sering menguntungkan. Berbunganya tanaman dipengaruhi


(21)

kritik sedikit kurang dari 12 jam (Reksohadiprodjo, 1985). Centro berrgenerassi

dengan cepat dan tanaman campurannya adalah antara lain Panicum maximum

(Benggala), Melinis minutiflora (Rumput Molasses) serta Cynodon plectostachyon

(Rumput Star). Perbanyakan tanaman legum Centro adalah dengan biji (yang tiap lb.

mengandung 18.000 biji), tiap acre disebari biji seberat 4-5 lb. Centro tumbuh di tanah yang asam dan di tanah yang sistem drainasenya buruk atau kadang-kadang

tergenang air. Jarak tanam antara baris 1-1,5 m. Sebelum biji ditanam sebaiknya

direndam dalam air panas selama kurang lebih 30 menit. Sebab biji ini biasanya

keras. Centro adalah perennial (hidup lebih dari 1 tahun) sangat agresif,

batang-batangnya menjalar dan membentuk pertanaman tertutup tanah 4 sampai 6 bulan

sesudah penanaman biji. Centro berdaun lebat dan batangnya tidak berkayu meskipun

tanaman telah berumur 18 bulan. Legum ini tahan terhadap tanah kering dan bila

pertanaman telah berhasil terjadi maka akan tahan hidup dibawah naungan

(Reksohadiprodjo, 1994).

Calopogonium mucunoides

Calopogonium muconoides berasal dari Amerika Selatan. Bersifat perennial, merambat, membelit dan hidup di daerah-daerah yang tinggi kelembaban udaranya.

Daun-daun terbentuk dengan lebat dalam waktu 5 bulan. Calopo ditanam sebagai

penutup tanah di perkebunan kelapa sawit, kopi, karet dan pada tanah yang baru

dibuka. Penanaman di padang biasanya dicampur dengan rumput Melinis minutiflora. Legum ini tidak tahan tumbuh di bawah naungan perkebunan karet yang tua. Di


(22)

Pueraria atau dengan rumput seperti Chloris gayana. Calopo dipergunakan juga untuk memberantas weed atau tanaman liar lain. Di Queensland Calopo ditanam

dengan biji seberat 3 lb per acre (tiap lb. berat biji mengandung 30.000 butir). Karena persentase biji yang keras sangat tinggi maka sebelum ditanam biji harus direndam

dalam air panas selamam (Reksohadiprodjo, 1981).

Pueraria javanica

Pueraria javanica berasal dari India Timur yang kini telah tersebar di negara-negara tropik. Pueraria termasuk tanaman jenis leguminose berumur panjang, yang berasal dari daerah sub-tropis, tetapi bisa hidup di daerah tropik dengan kelembaban

yang tinggi. Tanaman ini tumbuh menjalar dan memanjat (membelit), bisa

membentuk hamparan setinggi 60-75 cm. Pueraria memiliki sistem perakaran yang dalam (1-6 m), masuk ke dalam tanah dan luas. Maka si musim kemarau ia masih

bisa bertahan, hanya meranggas daunnya, tetapi di musim penghujan daun-daun

tersebut akan tumbuh menghijau kembali. Pueraria berdaun lebar, bulat dan meruncing di bagian ujungnya dan lebat. Daun-daunnya yang masih muda tertutup

bulu yang berwarna coklat, sedangkan bunganya berwarna ungu kebiruan. Karena

tanaman ini daun-daunnya sangat lebar dan lebat maka sangat baik dipergunakan

sebagai penutup tanah, disamping sebagai bahan makanan ternak yang disenangi oleh

hewan. Pueraria javanica disebut juga dengan Kudzu (Kacang ruji). Tanaman ini tahan ditanam di tempat yang agak teduh (AAK, 1985). Di Asia dan Indonesia

Pueraria ditanam di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit, dimana legum ini tahan sedikit naungan. Di Malaysia Pueraria biasa ditanam bersama-sama dengan


(23)

Centrosema pubescens sebagai penutup tanah dan pencegah erosi. Pueraria tahan pula terhadap tanah asam dan yang kekurangan kapur dan phosphor tahan permukaan air

yang tinggi, dapat hidup di tanah yang berat maupun tanah yang berpasir. Pueraria

dikembangkan dengan biji sebanyak 5 lb per acre (Reksohadiprodjo, 1981).

Arachis glabarata

Arachis glabarata merupakan tanaman perennial dengan rhizome yang bercabang dan tanaman ini untuk tumbuh tegak diatas tanah. Mempunyai dua pasang

daun yang berbentuk ellips, panjangnya 6–20 mm dan lebarnya 5–14 mm. Bunga

berbentuk bukat dengan diameter 10–12 mm, berwarna kuning sampai dengan orange

dan panjang kelopak bunganya 6–7 mm. Polongnya kecil dengan panjang 10 mm

dan tebal 5–6 mm. Mampu meningkatkan nilai nutrisi rumput pastura dan dapat

bersaing dengan semua rumput pastura meskipun pertumbuhannya agak lambat

(Bogdan 1977).

Arachis glabarata baik tumbuhnya pada naungan sedang sampai dengan tinggi, dan sangat toleran terhadap penggembalaan berat. Interval pemotongan 12

minggu memberikan hasil yang maksimum, dan berinteraksi baik bila ditanam

dengan spesies Digitaria dan Paspalum. Tanaman ini dapat dipergunakan sebagai tanaman padang penggembalaan, untuk tanaman kehutanan dan perkebunan, bahkan

untuk hay dan silase. Pertumbuhannya baik dari tanah yang tergenang, berpasir,

bahkan tanah liat, memilki adaptasi yang tinggi pada tanah yang memilki pH asam

(4.5) bahkan pH basa (8.5) baik juga digunakan untuk konservasi tanah (Freire et al.


(24)

Brachiaria humidicola

Tanaman rumput tahunan yang mempunyai banyak

membentuk lapisan penutup tanah yang padat. Ditanam untuk padang gembala

permanen dan sebagai penutup tanah untuk menahan erosi dan gulma. Dapat

digunakan sebagai

Tumbuh pada beragam janis tanah mulai dari tanah sangat asam tidak subur

tanah liat berat merekah, sampai tanah pasir berbat

Tahan terhadap tanah berpengairan buruk dan sering ditemukan pada tanah liat basah

musiman. Tumbuh terbaik pada sinar matahari penuh tetapi daya tahan naungan

sedang (misalnya dibawah perkebunan kelapa yang sudah tua). Kurang tahan

naungan dibandi

dimakan ternak ketikan tanaman dipertahankan tetap rendah dan banyak daun.

Palatabilitas dapat menjadi rendah ketika ditanam pada tanah asam tidak subur karena

helai daun menjadi sangat berserat dan berpigmen tinggi

pertanaman tunggal atau dicampur dengan Stylosanthes maupun Centrosema pubescens (Reksohadiprodjo, 1994).

Stenotaphrum secundatum

Stenotaphrum secundatum dikenal dengan nama umum “Buffallo grass”

(Australia) atau St. Agustine grass (Amerika Serikat). Termasuk dalam famili

Gramineae dengan sub famili Panicoideae. Stenotaphrum secundatum merupakan jenis rumput yang cocok tumbuh pada areal yang intensitas cahayanya rendah.


(25)

Tanaman ini sangat cepat berkembang, memiliki rhizoma dan stolon yang padat,

perakaran yang kuat, kemampuan berkompetisi dengan gulma sangat kuat sehingga

mampu menekan pertumbuhan gulma serta tahan terhadap penggembalaan berat.

Stenotaphrum secundatum merupakan salah satu spesies tanaman pakan ternak yang toleran terhadap naungan. Jenis rumput ini menunjukkan pertumbuhan maupun

produksi yang lebih baik pada lahan naungan dibanding alam terbuka (tanpa

naungan). Rumput ini memiliki palatabilitas yang tinggi saat masih muda, disukai

oleh ternak ruminansia besar maupun kecil. Terdapat kandungan oksalat sejumlah ±

1% namun tidak menyebabkan keracunan pada ternak yang mengkonsumsinya

(Konsorsium Bioteknologi Indonesia, 2012). Rumput ini merupakan rumput unggul

yang tahan naungan dan pada tingkat naungan antara 40–50 % ternyata masih mampu

berproduksi dengan baik (Rika, 1994).

Peranan Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Nutrisi Tanaman

Ludlow (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman yang kekurangan

cahaya akan lebih cepat ke atas sehingga batang lebih tinggi dan pertumbuhan ke

samping lebih lambat. Sebaliknya, tanaman yang cukup mendapatkan sinar matahari,

pertumbuhan batangnya lebih pendek dan pertumbuhan ke sampingnya akan lebih

cepat sehingga luasan tanah yang tertutup akan lebih luas.

Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi

pertumbuhan tanaman. Hocker (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan yang relatif


(26)

Mappaona (1986) menyatakan bahwa dari seluruh radiasi yang jatuh pada

suatu tegakan tanaman hanya sebagian kecil yang dapat ditransmisi. Prinsip dasar

dari produksi pertanian adalah eksploitasi energi surya menjadi makanan yang

bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh tingkat intensitas

matahari dan juga tersedianya unsur hara untuk sistem keseimbangannya di dalam

tanah (Beadle, 1982). Produksi bahan kering menurun dengan adanya intensitas

cahaya yang rendah pada beberapa spesies rumput dan legum (Ludlow, et al., 1974). Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi naungan ditentukan

oleh kemampuannya untuk dapat melakukan proses fotosintesis secara mormal pada

keadaan kekurangan cahaya. Radiasi matahari mempengaruhi kondisi kloroplas.

Kloroplas akan mengumpul pada sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari radiasi.

Keadaan ini menyebabkan daun kelihatan hijau pada kondisi ternaungi karena

kloroplasnya menggumpal pada permukaan daun (Myers et al., 1997).

Intensitas cahaya optimal selama periode tumbuh penting untuk pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Pada tanaman tertentu jika menerima cahaya berlebihan

maka akan berpengaruh terhadap pembentukan buah atau umbi. Sebaliknya

berkurangnya radiasi sebagai akibat keawanan atau ternaungi akan mengurangi laju

pembentukan buah dan umbi dan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlebihan

(Bahrudin, 2004).

Untuk memperoleh intensitas cahaya yang sesuai bagi tanaman krisan


(27)

mengurangi intensitas cahaya juga dapat mengurangi suhu udara lingkungan tanaman

(Anonim, 2002).

Naungan tidak memiliki efek nyata terhadap kadar N daun, klorofil dan

kandungan karoten pada tanaman jagung, tetapi tingkat fotosintesis meningkat karena

meningkatnya irradiasi. Hasil biji dan produksi biomassa menurun secara

proporsional karena meningkatnya penutupan (naungan). Hasil ini merupakan efek

negatif saat tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi mengalami

penaungan (Purnomo, 2005).

Untuk beberapa tanaman kecepatan fotosintesis bahkan dapat sedikit menurun

bila intensitas cahaya bertambah diantara titik-titik jenuh. Nutman (1973) dalam

Guslim (2007) mengukur kecepatan fotosintesis daun kopi di lapangan, ternyata

nilai-nilai kecepatan fotosintesis menurun pada keadaan intensitas cahaya yang tinggi pada

tengah hari yang disebabkan menutupnya mulut daun. Jumlah asimilasi harian di

kebun kopi yang terlindungi lebih besar daripada yang terkena sinar matahari

langsung.

Intensitas cahaya yang optimum juga berbeda menurut jenis tanaman. Ada

tanaman yang tumbuh dengan baik sekali di tempat yang teduh, ada juga tanaman

yang memerlukan cahaya dengan intensitas cahaya yang tinggi sekitar cahaya

matahari penuh. Tanaman jenis terakhir ini dinamakan sunplants, sedangkan yang suka naungan disebut shadeplants (Devlin dan Withan, 1983).

Kualitas dan kuantitas cahaya mempengaruhi terhadap banyak hal dalam

pertumbuhan tanaman antara lain etiolasi tanaman, produksi pigmen, pembentukan


(28)

menemukan adanya tendensi peningkatan konsentrasi klorofil dan penurunan laju

fotosintesis dengan meningkatnya taraf naungan pada tanaman Croton urucurana

Baill.

Pada kondisi kekurangan cahaya tanaman berupaya untuk mempertahankan

agar fotosintesis tetap berlangsung dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Keadaan

ini dapat dicapai apabila respirasi juga efisien (Soepandie et al., 2003).

Cruz (1997) menyatakan naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang

berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi

cahaya. Tanaman yang tergolong C3 dan C4 menunjukkan tanggap morfologi yang

sama terhadap naungan, tetapi tanggap fotosintesisnya berbeda terhadap naungan.

Pada golongan rumput yang tahan naungan memiliki kandungan N dan lebih tinggi

daripada yang peka terhadap naungan (Kephart dan Buxton, 1993).

Kemampuan adaptasi tanaman pada kondisi naungan sangat ditentukan oleh

kemampuan tanaman untuk menghindar maupun untuk mentolerir keadaan kurang

cahaya tersebut. Karakter fotosintetik tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada

intensitas cahaya rendah berbeda dengan tanaman yang tidak dapat menyesuaikan diri

pada kondisi ternaungi. Pada tanaman yang toleran, intensitas cahaya yang rendah

dapat diatasi antara lain dengan meningkatkan kandungan pigmen per kloroplas. Di

samping itu tanaman toleran dapat beradaptasi dengan menghindari penurunan


(29)

Gambar 1 : Adaptasi tanaman yang menghindar terhadap kekurangan cahaya

Sumber : Response of Plants to environmental Stress (Levit, 1980).

Pengaruh Naungan Terhadap Vegetasi

Naungan baik secara alami maupun buatan mengakibatkan pengurangan

intensitas cahaya yang sampai pada tanaman. Sebagian besar spesies rumput tropis

mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar, namun

spesies yang tahan terhadap naungan menunjukkan penurunan produksi yang relatif Meningkatkan Efisiensi Penangkapan Cahaya

Miningkatkan Area Penangkapan

Meningkatkan Penangkapan Cahaya Per Area Unit Fotosintetik

Penghindaran Refleksi Penghindaran Transmisi Penghindaran Absorpsi Yang Meningkatkan Proporsi Area Fotosintetik Hilangnya Kutikula, Lilin dan Rambut Pada

Permukaan Daun Hilangnya Pigmen Kloroplas (ex. Meningkatnya Kandungan Kloroplas Meningkatnya Kandungan Pigmen Per Kloroplas

Kloroplas Dalam Sel Epidermis Meningkatnya


(30)

kecil atau meningkat pada naungan sedang. Tanaman yang ditanam pada kondisi

tanpa naungan cenderung memiliki produksi berat kering akar yang lebih tinggi

dibanding tanaman dengan naungan (Ludlow, 1978). Norton et al. (1991) melaporkan bahwa naungan dapat menurunkan produksi hijauan tetapi dapat meningkatkan

kandungan nitrogen tanaman.

Pemberian naungan terhadap tanaman disamping mengurangi cahaya matahari

yang tiba di permukaan dapat juga mempengaruhi iklim mikro tanaman. Naungan

dapat memepengaruhi beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, kelengasan

tanah, pergerakan udara (Chambers, 1978) menurunkan suhu tanah dan tanaman pada

waktu siang, menaikkan suhu udara pada waktu malam, perlindungan dari limpasan

hujan, pemindahan uap air dan CO2 dan menaikkan kelembaban relatif (Stiger, 1984).

Sebagian besar spesies rumput tropis mengalami penurunan produksi sejalan

dengan menurunnya intensitas sinar, namun spesies yang tahan terhadap naungan

sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat

pada naungan sedang (Samarakoon et al., 1990).

Haris (1999) menyatakan bahwa peningkatan luas daun merupakan salah satu

mekanisme toleransi terhadap naungan untuk memperoleh cahaya lebih tinggi atau

optimalisasi penerimaan cahaya oleh tanaman. Naungan dapat meningkatkan proporsi

daun dan menyebabkan luas daun lebih tersebar ke seluruh kanopi. Tanaman pada

perlakuan naungan berusaha mendapatkan arah datangnya cahaya. Peningkatan tinggi

tanaman merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk memperoleh cahaya. Daun yang

ternaungi mengabsorbsi sedikit saja pada infra merah sehingga menyebabkan


(31)

perlakuan naungan mengalami proses etiolasi sehingga pertumbuhan tanaman lebih

tinggi, begitu juga dengan luas daun dengan bertambahnya taraf naungan.

Level naungan adalah faktor yang sangat menentukan produksi pastura yang

tumbuh pada areal tanaman tahunan. Penurunan intensitas cahaya mengurangi

pertumbuhan spesies pastura pada berbagai tingkatan dan mempengaruhi kompetisi.

Proses-proses di dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh naungan adalah

fotosintesis, transpirasi, respirasi, reduks i nitrat, sintesis protein, produksi hormon,

translokasi, penuaan pertumbuhan akar dan penyerapa nitrat

(Struik dan Deinum, 1982). Spesies pastura tropis yang ditanam di bawah intensitas

cahaya yang berbeda dapat menunjukkan perubahan morfologis dan fisiologis dalam

nisbah pucuk atau akar, indeks luas daun dan spesifik dari efisiensi penggunaan

cahaya. Perubahan ini akibat dari kompatabilitas rumput bila ditanam pada

lingkungan ternaungi (Sophanodora, 1991).

Eriksen dan Whitney (1981) menemukan bahwa spesies rumput yang

memiliki produksi yang tinggi umumnya mensuplai nitrogen dengan baik, produksi

yang tingggi hampir secara linier sampai dengan 75% penyinaran tetapi cenderung

menjadi datar ketika transmisi cahaya meningkat 100%. Pada rumput dan legum

perbedaan spesies lebih besar di bawah transmisi cahaya sedang dibanding dengan

transmisi cahaya rendah. Potensi produksi yang rendah dari keseluruhan spesies pada

cahaya yang rendah jadi pembatas utama terhadap produksi hijauan di perkebunan,

dimana penutupan kanopi yang terbuka seperti kelapa sedangkan spesies dengan


(32)

Naungan dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas hijauan, untuk dapat dilihat

Gambar 2.

Gambar 2. Dampak positif dan negatif terhadap hijauan pakan

Sumber : Shade effect and the nutritive value of plants (Norton, 1989).

Gambar 2 menjelaskan pengaruh naungan terhadap hijauan pakan, dimana

naungan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan serat kasar,

protein dan tanin sebaliknya dengan kandungan BETN dimana terjadi penurunan

pada kandungan BETN tersebut. Peningkatan kandungan serat kasar akan

berpengaruh terhadap penurunan kecernaan, begitu juga dengan intake, sebaliknya Naungan

Meningkatkan Meningkatkan Meningkatkan Menurunkan

Dinding sel Daun : Batang Tannin

Lignin, Silika Protein, Mineral Toxin

Meningkatkan

Menurunkan Menurunkan

Kecernaan Palatabilitas

Intake

Soluble Carbohydrate


(33)

dengan kandungan protein dan mineral terjadi peningkatan terhadap kecernaan secara

tidak langsung berpengaruh juga terhadap peningkatan intake. Peningkatan kandungan tanin dan penurunan kandungan BETN berpengaruh terhadap penurunan

palatabilitas dan intake.

Kapasitas Tampung Ternak

Menurut Reksohadiprodjo (1985), yang disitasi oleh Kencana (2000),

Kapasitas tampung (Carrying Capacity) adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak

yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang

penggembalaan untuk menampung ternak per hektar. Departemen Pertanian (2010)

lebih lanjut menjelaskan bahwa, kapasitas tampung adalah jumlah hijauan makanan

ternak yang dapat disediakan kebun hijauan makanan ternak untuk kebutuhan ternak

selama 1 (satu) tahun yang dinyatakan dalam satuan ternak (ST) per hektar.

Kemampuan berbagai padang rumput dalam menampung ternak berbeda-beda karena

adanya perbedaan dalam hal produktivitas tanah, curah hujan dan penyebarannya

serta topografi. Oleh karena itu padang rumput sebaiknya digunakan menurut

kemampuannya masing-masing.

Menurut Susetyo (1980), yang disitasi oleh Wiryasasmita (1985) bahwa,

kapasitas tampung adalah angka yang menunjukan satuan ternak yang dapat

digembalakan diluasan tanah pangonan tertentu, selama waktu tertentu, dengan tidak

mengakibatkan kerusakan baik terhadap tanah, vegetasi maupun ternaknya. Dengan


(34)

tanah, pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan, serta jenis ternak yang

digembalakan atau terdapat di suatu padangan.

Kapasitas tampung ternak bertujuan untuk mendefinisikan tekanan

penggembalaan jangka panjang dalam tingkat optimum yang secara aman

berkelanjutan dan dihubungkan dengan ketersediaan hijauan. Taksiran daya tampung

menurut Halls et al. (1964) didasarkan pada jumlah hijauan tersedia. Jumlah hijauan yang tersedia ini tidak terlepas hubungan dengan defoliasi, aspek lain dalam hal ini

adalah hubungan antara tekanan penggembalaan terhadap produksi ternak. Pengertian

tentang tekanan penggembalaan optimum penting artinya dalam pengelolaan padang

penggembalaan, karena tekanan penggembalaan optimum dalam hal ini sesuai

dengan daya tampung padang rumput bersangkutan.

Othman et al. (1989) menunjukkan bahwa terjadi penurunan komposisi legum dari umur 1-6 tahun yaitu terjadi penurunan 10% pada legum dan merumput terjadi

peningkatan total bahan kering lebih dari 60%. Lebih dari 60 spesies hijauan telah

dikontribusikan secara efektif dibawah pengelolaan yang normal pada perkebunan

kelapa sawit dan 70% disukai ternak.

Komposisi Botani

Analisa komposisi botani diperlukan untuk mengetahui kondisi pastura yang

dapat mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan. Analisis

komposisi botani dapat dilakukan secara manual dengan melihat secara langsung

yang ada di suatu pastura. Namun hal ini tentu akan menjadi masalah dalam


(35)

botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat kondisi botani yang ada secara

keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan metode analisis komposisi botani hijauan

makanan ternak yang cepat dan tepat (intanursiam.wordpress.com, 2012).

Selain itu analisa komposisi botani diperlukan untuk mengetahui jenis

tanaman yang tahan terhadap naungan.Sehingga mempermudah untuk pengaplikasian

jenis tanaman yang akan ditanam di bawah naungan.

Kandungan Nutrisi

Tanaman yang merupakan sumber makanan pokok bagi hewan juga

merupakan satu unit biologi yang terdiri atas unit kimia yang sama dengan hewan.

Oleh karena itu membicarakan komposisi atau susunan tubuh hewan dan tubuh

tanaman sangat penting. Mahluk hidup termasuk ternak memerlukan zat-zat gizi

untuk melengkapi kebutuhan akan protein, energi, mineral, vitamin dan lainnya yang

digunakan untuk proses-proses pertumbuhan, produksi, reproduksi dan pemeliharaan

tubuhnya. Pakan mengandung zat-zat gizi yang melakukan fungsi-fungsi di atas,

tetapi zat gizi yang dikandung oleh setiap pakan sangat berbeda-beda. Secara singkat,

tanaman dapat menggunakan energi matahari dalam mensintesa alat makanan organik

yang kompleks dari bahan-bahan sederhana seperti karbondioksida dalam udara

dengan air dan unsus organik dalam tanah yang disebut fotosintesis. Analisa mineral

dimulai dengan membakar zat makanan (bahan kering) dengan istilah diabukan.

Dengan pembakaran dapat menghilangkan zat-zat organik. Kuantitas abu dari skema

analisis bahan makanan hanyalah merupakan kelanjutan dalam menghitung BETN


(36)

dalam tubuh mempunyai fungsi yang terpisah. Gizi yang dapat diuji adalah BK

(bahan kering), lemak kasar, protein kasar, serat kasar, abu dan


(37)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lahan SNAKMA Muhammadiyah Desa Tanjung

Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang dengan ketinggian 25 meter

diatas permukaan laut. Berlangsung selama kurang lebih 4 bulan yang dimulai bulan

Juni sampai September 2012. Lahan yang digunakan pada saat penelitian merupakan

lahan praktikum bagi siswa SNAKMA Muhammadiyah sehingga siswa mempunyai

plasma nutfah sendiri bagi pembelajaran mereka khususnya dalam bidang hijauan

pakan ternak.

Bahan dan Alat

Bahan

Pastura campuran yang terdiri dari Stenopaphrum secundatum, Calopogonium muconoides, Centrosema pubescens, Arachis glabarata, Brachiaria humidicola dan

Pueraria javanica. Lahan yang terdiri dari 36 plot, dimana setiap plot berukuran 1,5x1,5 meter dengan jumlah 3-4 tanaman setiap plot. Pupuk dasar (urea, Kcl, SP36)

diberikan sepanjang penanaman. Paranet 50% dan 75% berukuran 3x100 meter.


(38)

Alat

Cangkul yang digunakan untuk membersihkan dan mengolah lahan penelitian.

Gembor untuk menyiram tanaman. Alat ukur untuk mengukur tinggi pemotongan.

Parang, Arit dan Gunting untuk memotong rumput. Kertas koran untuk alas rumput

pada saat pemotongan. Timbangan digital untuk menimbang pada saat panen. Oven

untuk mengeringkan rumput.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Petak

Terbagi (Split Plot Design) dengan menggunakan dua faktor yaitu ; faktor pertama

yang dijadikan sebagai petak utama (main plot) adalah taraf naungan.

N0 = Naungan 0% (kontrol)

N1 = Naungan 50%

N2 = Naungan 75%

Faktor kedua yang dijadikan sebagai anak petak (sub plot) adalah 4 jenis pastura yang

merupakan kombinasi antara jenis rumput dan leguminosa yaitu :

P0 = Penutup tanah konvensional (Arachis glabarata + Calopogonium muconoides + Centrocema pubescens + Pueraria javanica)

P1 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Arachis glabarata

P2 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium muconoides


(39)

P3 = Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Centrocema pubescens

Sedangkan ulangan yang dipakai berdasarkan rumus :

t.c (n-1) ≥ 15 12 (n-1) ≥ 15 12n–12 ≥ 15 12n ≥ 27 n ≥ 2.25 ≈ 3

Data-data yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus :

Yyijk = µ + Kk+ δik + Bj + (AB)ij + σijk

Keterangan :

Yyijk = Nilai pengamatan pada kelompok ke-i yang memperoleh taraf ke-i dari

faktor a, taraf ke-j dari faktor b dan taraf ke-k dari faktor c.

µ = Nilai rata-rata sesungguhnya.

Kk = Pengaruh aditif dari kelompok ke-k.

Ai = Pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor A.

σijk = Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-k yang memperoleh

taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B, sering disebut galat

perlakuan utama atau galat a.

Bj = Pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor B.

ABij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-I dari faktor A dan taraf ke-j dari


(40)

Cijk = Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-k yang memperoleh

taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B sering disebut galat

anak petak atau galat b.

Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Pengolahan Lahan

Pada pengolahan lahan dilakukan perataan lahan dan diberikan drainase

sekitar lahan untuk memperlancar aliran air. Kemudian dilakukan pembuatan plot

berukuran 1,5 x 1,5 meter.

2. Persiapan Bahan Tanam Rumput dan Leguminosa

Pada persiapan pastura campuran yang akan ditanam dilakukan di lahan yang

terdapat di Desa Tanjung Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.

Leguminosa dan diambil berupa pols sedangkan hijauan dengan menggunakan stek.

Penanaman bibit rumput dengan menggunakan biji ditanam lebih dahulu daripada

rumput dengan pols. Bibit dan pols pastura campuran diambil dari Sei Putih.

3. Pembuatan Naungan

Naungan dipasang setelah persiapan bahan tanam dan lahan dengan tinggi

naungan 1,5 meter.

4. Penanaman

Penanaman pastura dilakukan dengan penanaman pols dan biji tanaman pada

lahan yang sudah dipasang paranet. Biji ditanam lebih dahulu daripada bibit dengan

menggunakan pols. Dari penanaman ini dapat dilihat kemampuan tumbuh dan daya


(41)

5. Pemupukan

Dilakukan pemupukan dasar dengan pupuk dasar (urea, KCl, SP36) sebanyak

100kg/hektar.

6. Pengambilan Data Pengamatan

Pengambilan data pengamatan dilakukan empat (3) kali yaitu pada saat

pemotongan pertama, kedua dan ketiga. Pemotongan dilakukan pada umur 30 hari, 60

hari dan 90 hari. Pemanenan dilakukan dengan memotong pastura 15 cm dari

permukaan lahan.

Parameter Penelitian

1. Produksi Bahan Kering

Produksi bahan kering diperoleh dari produksi bahan segar dari setiap

pemotongan umur 4 minggu, setelah pemotongan dilakukan penimbangan tiap petak

percobaan. Dari penimbangan tersebut akan didapatkan data dari produksi segar.

Kemudian sampel dioven untuk mendapatkan bobot kering dan analisa kandungan

gizi.

2. Komposisi Botani

Dari hasil produksi bahan segar yang dihasilkan diambil sampel sebanyak

200-300 gram, dilakukan separasi sampel berdasarkan spesies dan ditimbang. Sampel


(42)

3. Kapasitas Daya Tampung

Kapasitas tampung didapatkan setelah mendapatkan produksi bahan kering

per hektar. Kemudian dihitung kapasitas tampung dengan cara membagikan produksi

bahan kering per hektar dengan kebutuhan bahan kering per Satuan Ternak (ST).

4. Kandungan Nutrisi

Kandungan nutrisi didapatkan dari hasil analisa yang dilakukan di

Laboratorium Bahan Pakan Ternak Progaram Studi Peternakan Fakultas Pertanian


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Produksi Bahan Kering

Hasil produksi bahan kering rataan disajikan pada Tabel 1. Produksi bahan

kering rataan yang tertinggi terdapat pada naungan sedang (50%) dan pada pastura P2

(Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica +

Calopogonium muconoides).

Tabel 1. Rataan produksi bahan kering selama penelitian (gr/petak)

Pastura Naungan Rataan±sd

0% 50% 75%

P0 219.333 257.503 174.2545 217.030a±41.672

P1 206.4272 220.4621 275.6824 234.190a±36.611

P2 323.2421 272.0059 211.67 268.972a±55.847

P3 276.3528 266.0313 256.5005 266.294a±9.928

Rataan±sd 256.34a±53.96 254a±23.13 229.52a±45.57

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Tabel 2. Analisa sidik ragam produksi bahan kering/petak rataan pada berbagai naungan

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 61,605.20 30,802.60 3.67 0.05

Naungan 2 5,293.25 2,646.62 0.32tn 0.77

Gallat A 4 37,242.64 9,310.66 1.11tn 0.38

Pastura 3 17,251.11 5,750.37 0.68tn 0.57

Interaksi N*P 6 32,474.03 5,412.34 0.64tn 0.69

Gallat 18 151,117.95 8,395.44

Total 35 304,984.19

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata


(44)

Tabel 3. Uji Duncan (DMRT) untuk produksi bahan kering pastura selama penelitian

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 1371.9 tn

N1 1353 tn

N2 1243.1 tn

Kelompok Pastura

P0 1128.8 c

P1 1263.2 bc

P2 1385.6 ab

P3 1513.2 a

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Tabel 3 menunjukkan bahwa interaksi antara tingkat naungan dan jenis

pastura tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kering

pastura. Secara umum dapat dikatakan produksi bahan kering pastura akan semakin

menurun seiring dengan meningkatnya kadar naungan. Intensitas cahaya matahari

yang mencapai permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh makin tingginya kadar

naungan. Jika naungan makin tinggi maka intensitas cahaya yang mencapai

permukaan tanah akan semakin sedikit. Hal ini didukung dengan Umiyasih dan

Anggraeny (2003) yang mengatakan bahwa penanaman beberapa macam legum dan

tumbuhan beberapa jenis rumput di areal perkebunan kelapa sawit (contoh naungan)

akan mengalami fluktuasi produksi mengikuti perubahan tinggi rendahnya intensitas

cahaya matahari. Hal ini juga didukung oleh Whiteman (1980) yang menyatakan

rendahnya intensitas sinar matahari yang dapat diterima oleh suatu tanaman akan

menyebabkan rendahnya proses fotosintesis, sekaligus akan berpengaruh negatif

terhadap perkembangan vegetasi alam yang tumbuh. Sebagai konsekuensinya, maka

tingkat produksi vegetasi menjadi rendah. Fitter dan Hay (1991) juga melaporkan


(45)

cahaya yang diserap dan juga dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan pada

sistem tanaman. Tingkat naungan yang tinggi menurunkan jumlah tunas, diameter

batang, sedangkan jumlah daunnya meningkat sejalan dengan meningkatnya

naungan.

Kapasitas Tampung

Spesies tanaman yang tumbuh pada umur tanaman 4 minggu pertama

umumnya adalah spesies tanaman yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Namun

memasuki minggu ke 5 dan seterusnya tanaman yang tumbuh sudah beraneka ragam

tidak hanya pastura campuran yang ditanam tetapi sudah banyak jenis gulma yang

ada di lahan. Gulma-gulma tersebut antara lain. Produksi hijauan akan sangat

berpengaruh dan merupakan salah satu aspek keberhasilan integrasi ternak dan dari

produksi hijauan tersebut akan dapat diketahui kapasitas tampung dari suatu areal

perkebunan.

Tabel 4. Rataan kapasitas tampung selama penelitian (UT)

Pastura Naungan Rataan

0% 50% 75%

P0 2.834235 3.32747 2.251727 2.804a±0.538

P1 2.667466 2.848825 3.562386 3.026a±0.473

P2 4.176955 3.514878 2.735213 3.475a±0.721

P3 3.571049 3.437673 3.314515 3.441a±0.128

Rataan±sd 3.312a±0.69 3.282a±0.298 2.965a±0.58

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(46)

Tabel 5. Analisa sidik ragam kapasitas daya tampung rataan pada berbagai naungan

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 10.27 5.14 3.67tn 0.05

Naungan 2 0.83 0.44 0.32tn 0.73

Gallat A 4 6.21 1.55 1.11tn 0.38

Pastura 3 2.88 0.96 0.68tn 0.57

Interaksi N*P 6 5.43 0.91 0.65tn 0.69

Gallat 18 25.21 1.40

Total 35 50.88

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Berdasarkan analisis ragam maka diketahui bahwa naungan dan jenis pastura

tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas daya tampung lahan. Dari hasil penelitian

yang dilakukan, dapat disimpulkan persentase cahaya 100% yang diterima oleh

tanaman menghasilkan produksi tertinggi dibandingkan persentase cahaya yang

lainnya.Intensitas cahaya dan pemberian pupuk yang maksimum akan menghasilkan

produksi hijauan yang tinggi. Produksi hijauan yang tinggi ini akan mempengaruhi

kapasitas tampung ternak. Semakin tinggi produksi yang dihasilkan akan

meningkatkan kapasitas tampung ternak Kemampuan berbagai padang rumput dalam

menampung ternak berbeda-beda karena adanya perbedaan dalam hal produktivitas

tanah, curah hujan dan penyebarannya serta topografi. Oleh karena itu padang rumput

sebaiknya digunakan menurut kemampuannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan

Susetyo (1980), yang disitasi oleh Wiryasasmita (1985) bahwa, kapasitas tampung

adalah angka yang menunjukan satuan ternak yang dapat digembalakan diluasan

tanah pangonan tertentu, selama waktu tertentu, dengan tidak mengakibatkan

kerusakan baik terhadap tanah, vegetasi maupun ternaknya. Dengan demikian


(47)

pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan, serta jenis ternak yang digembalakan atau

terdapat di suatu padangan.

Komposisi Botani

Dari penelitian didapatkan komposisi botani pada setiap naungan dan jenis

pastura. Komposisi botani pada kelompok pastura P0 (Arachis glabarata +

Calopogonium muconoides + Centrocema pubescens + Pueraria javanica) terhadap naungan dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa tanaman

Calopogonium mucunoides mengalami pertumbuhan yang pesat pada naungan tinggi (75%) yaitu sebesar 37.29712 gr. Berbanding terbalik dengan Centrocema pubescens

yang menurun ditanam pada naungan tinggi (75%), sedangkan Arachis glabarata

menurun pada saat ditanam pada naungan sedang ke tinggi. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Bogdan (1977) yang menyatakan bahwa Arachis galabarata mampu meningkatkan nilai nutrisi rumput pastura dan dapat bersaing dengan semua rumput

pastura meskipun pertumbuhannya agak lambat.

Sama halnya dengan Calopogonium mucunoides gulma juga mengalami pertumbuhan yang pesat pada naungan tinggi (75%). Centrosema pubescens adalah tanaman yang tahan naungan namun pada kelompok pastura P0 tanaman ini tidak

tahan terhadap naungan. Hal ini diakibatkan oleh tanaman Calopogonium yang

pertumbuhannya jauh lebih banyak daripada tanaman lainnya selain itu

Calopogonium juga merambat dan melilit tanaman sekitarnya. Akibatnya tanaman

lain seperti Arachis glabarata dan Centrosema pubescens komposisinya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides.


(48)

Gambar 3. Pengaruh naungan terhadap pastura P0 (Arachis glabarata + Calopogonium muconoides + Centrocema pubescens + Pueraria javanica)

Dari penelitian yang dilakukan juga didapatkan hasil komposisi botani

kelompok tanaman pastura P1 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola +

Pueraria javanica + Arachis glabarata) terhadap naungan yang ditampilkan pada Gambar 4.


(49)

Gambar 4. Pengaruh naungan terhadap pastura P1 (Stenotaphrum secundatum +

Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Arachis glabarata

Dari Gambar 4 diketahui bahwa Arachis glabarata mengalami penurunan saat ditanam pada naungan tinggi (75%) hal ini sesuai dengan pernyataan Bogdan (1977)

yang menyatakan bahwa Arachis glabarata mampu meningkatkan nilai nutrisi rumput pastura dan dapat bersaing dengan semua rumput pastura meskipun

pertumbuhannya agak lambat. Stenotaphrum secundatum mengalami kenaikan produksi pada naungan tinggi (75%) dibandingkan pada naungan rendah (0%) dan

sedang (50%), hal ini sesuai dengan pernyataan Konsorsium Bioteknologi Indonesia

(2012) yang menyatakan bahwa Stenotaphrum secundatum merupakan salah satu spesies tanaman pakan ternak yang toleran terhadap naungan. Jenis rumput ini

menunjukkan pertumbuhan maupun produksi yang lebih baik pada lahan naungan

dibanding alam terbuka (tanpa naungan). Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa


(50)

(Gambar 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Reksohadiprodjo (1981) yang

menyatakan bahwa Di Asia dan Indonesia Pueraria ditanam di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit, dimana legum ini tahan sedikit naungan. Di

Malaysia Pueraria biasa ditanam bersama-sama dengan Centrosema pubescens

sebagai penutup tanah dan pencegah erosi. Pueraria tahan pula terhadap tanah asam dan yang kekurangan kapur dan phosphor tahan permukaan air yang tinggi, dapat

hidup di tanah yang berat maupun tanah yang berpasir.

Dari penelitian yang dilakukan juga didapatkan hasil komposisi botani

kelompok tanaman pastura P2 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola +

Pueraria javanica + Calopogonium muconoides) terhadap naungan yang ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh naungan terhadap pastura P2 (Stenotaphrum secundatum +


(51)

Dari Gambar 5 diketahui bahwa komposisi botani dikelompok tanaman P2

memiliki persentase yang hampir sama. Namun komposisi botani dari Pueraria javanica yang paling kecil dibanding tanaman lainnya. Tetapi walaupun komposisi botaninya yang paling sedikit Pueraria javanica menunjukkan pengaruh yang cukup baik terhadap naungan dilihat dari meningkatnya komposisi botani pada naungan

sedang ke tinggi. Dapat dinyatakan bahwa Pueraria javanica adalah hijauan pakan ternak yang tahan di bawah naungan. Dilihat dari komposisi botani pastura P2 yang

tidak jauh berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya. Hal ini

dikarenakan adanya kompetisi antar tanaman yang mengakibatkan pertumbuhan

tanaman yang lain terganggu.

Dari hasil penelitian juga dihasilkan komposisi botani pada kelompok pastura

P3 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica +

Centrocema pubesces) terhadap naungan yang ditampilkan pada Gambar 6. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Brachiaria humidicola dan gulma cenderung menurun pada penanaman di naungan yang tinggi (75%). Lain hal dengan Stenotaphrum secundatum dan Centrocema pubescens komposisi botaninya meningkat pada penanaman dengan naungan tinggi (75%). Hal ini disebabkan Stenotaphrum secundatum jauh lebih tahan naungan dibandingkan dengan Brachiaria humidicola. Hal ini sesuai dengan pernyataan

bahwa Brachiaria humidisola tumbuh terbaik pada sinar matahari penuh tetapi daya

tahan naungan sedang (misalnya dibawah perkebunan kelapa yang sudah tua).

Kurang tahan naungan dibandi


(52)

daun. Palatabilitas dapat menjadi rendah ketika ditanam pada tanah asam tidak subur

karena helai daun menjadi sangat berserat dan berpigmen tinggi. Selain itu

Stenotaphrum secundatum juga mampu menekan pertumbuhan gulma oleh sebab itu komposisi gulma pada penanaman pastura P2 menurun. Hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Konsorsium Bioteknologi Indonesia (2012) yang menyatakan bahwa

tanaman ini sangat cepat berkembang, memiliki rhizoma dan stolon yang padat,

perakaran yang kuat, kemampuan berkompetisi dengan gulma sangat kuat sehingga

mampu menekan pertumbuhan gulma serta tahan terhadap penggembalaan berat.

Stenotaphrum secundatum merupakan salah satu spesies tanaman pakan ternak yang toleran terhadap naungan. Jenis rumput ini menunjukkan pertumbuhan maupun

produksi yang lebih baik pada lahan naungan dibanding alam terbuka

(tanpa naungan).

Gambar 6. Pengaruh naungan terhadap pastura P2 (Stenotaphrum secundatum +


(53)

Pueraria juga mengalami peningkatan yang pasti pada naungan tinggi dapat

disimpulkan bahwa tanaman ini tahan terhadap naungan. Lain hal dengan

Centrosema pubescens yang kurang tahan terhadap naungan yang menyebabkan pertumbuhan terganggu dan berakibat pada rendahnya komposisi botani.

Kandungan Gizi Pastura Lemak Kasar

Analisa kandungan gizi pastura dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada panen I

dan II. Dari hasil penelitian didapatkan kandungan lemak kasar pada pastura yang

tidak jauh berbeda. Pengaruh naungan pada kandungan lemak kasar berbeda nyata

yang digambarkan dengan notasi yang berbeda. Sedangkan jenis pastura tidak

mempunyai interaksi dengan kandungan lemak kasar.

Tabel 6. Rataan lemak kasar pada analisa I

Pastura Naungan Rataan±sd

0% 50% 75%

P0 2.96 3.32 3.27 3.18a±0.199

P1 3.00 3.57 2.91 3.16a±0.357

P2 2.98 3.30 3.31 3.20a±0.189

P3 2.95 3.40 2.92 3.09a±0.266

Rataan±sd 2.97a±0.022 3.40b±0.122 3.10b±0.216

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(54)

Tabel 7. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan Lemak Kasar (Analisa I)

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 0.34 0.17 1.17tn 0.33

Naungan 2 1.14 0.57 3.94 0.38

Gallat A 4 0.24 0.06 0.42tn 0.79

Pastura 3 0.06 0.02 0.14tn 0.94

Interaksi N*P 6 0.50 0.08 0.58tn 0.74

Gallat 18 2.60 0.44

Total 35 4.87

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Tabel 8. Uji Duncan (DMRT) untuk lemak kasar pada analisa I

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 2.9742 b

N1 3.3983 a

N2 3.1025 b

Kelompok Pastura

P0 3.1833 a

P1 3.1633 a

P2 3.1956 a

P3 3.0911 a

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Tabel 9. Rataan lemak kasar pada analisa II

Pastura Naungan Rataan±sd

0% 50% 75%

P0 2.86 2.91 2.97 2.91a±0.054916973

P1 2.87 2.88 2.99 2.91a±0.065838635

P2 2.87 2.91 3.01 2.93a±0.069903036

P3 2.83 2.91 3.02 2.92a±0.096116932

Rataan±sd 2.86b±0.017 2.90b±0.014 3.00a±0.024

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(55)

Tabel 10. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan Lemak Kasar (Analisa II)

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 0.0210556 0.010528 0.86tn 0.439

Naungan 2 0.12 0.06 47.66tn 0.00

Gallat A 4 0.07 0.0018 1.48tn 2.49

Pastura 3 0.002 0.0008 0.68tn 0.57

Interaksi N*P 6 0.01 0.00107 0.88tn 0.53

Gallat 18 0.02 0.001221

Total 35 0.16

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Tabel 11. Uji Duncan (DMRT) untuk lemak kasar analisa II

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 2.86 b

N1 2.90 b

N2 3.00 a

Kelompok Pastura

P0 2.91 a

P1 2.91 a

P2 2.93 a

P3 2.92 a

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Dari pengamatan didapatkan bahwa interaksi antara naungan berpengaruh

nyata dengan kandungan lemak kasar sedangkan dengan jenis pastura tidak

berpengaruh nyata terhadap kandungan lemak kasar pada analisa kedua.

Serat Kasar

Dari pengamatan diketahui bahwa kandungan serat kasar pada analisa I lebih

tinggi dari pada analisa II. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar yang


(56)

berdasarkan bahan kering. Sehingga kandungan serat kasar pada analisa I lebih tinggi

dibandingkan dengan analisa II.

Tabel. 12 Rataan serat kasar pada analisa I

Pastura Naungan Rataan±sd

0% 50% 75%

P0 41.19 38.63 40.67 40.16b±1.353

P1 42.09 39.52 39.61 40.41a±1.460

P2 41.05 39.34 41.31 40.57a±1.068

P3 41.01 38.95 39.41 39.79c±1.083

Rataan±sd 41.34a±0.509 39.11c±0.399 40.25b±0.899

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Tabel 13. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan serat kasar (Analisa I)

SK DB JK KT F Hitung F Tabel

Kelompok 2 0.32 0.16 4.77 0.0218

Naungan 2 29.73 14.87 4.39tn 0.00

Gallat A 4 0.16 0.04 1.18tn 0.35

Pastura 3 3.10 1.03 30.55tn 0.00

Interaksi N*P 6 7.93 1.32 39.07tn 0.00

Gallat 18 0.61 0.34

Total 35 41.86

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Tabel 14. Uji Duncan (DMRT) serat kasar pada analisa I

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 41.33667 a

N1 39.11083 c

N2 40.24667 b

Kelompok Pastura

P0 40.16444 b

P1 40.40556 a

P2 40.56778 a

P3 39.78778 c

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata


(57)

Tabel 15. Rataan serat kasar pada analisa II

Pastura Naungan Rataan

0% 50% 75%

P0 39.69 39.83 39.93 39.82a±0.116

P1 39.60 39.79 39.88 39.76b±0.142

P2 39.50 39.79 39.87 39.72b±0.194

P3 39.44 39.78 39.84 39.68c±0.217

Rataan±sd 39.56a±0.113 39.80b±0.023 39.88c±0.035

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa pengaruh naungan tehadap kandungan

serat kasar berbeda nyata yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda pada setiap

perlakuan naungan. Pada Tabel 15 didapati bahwa kandungan serat kasar paling

tinggi terdapat pada naungan rendah (0%). Hal ini disebabkan oleh karena intensitas

cahaya matahari yang didapat oleh pastura optimal bila dibandingkan dengan pastura

yang ternaungi. Jika dilihat juga dari pengaruh kelompok pastura maka didapatkan

kandungan serat kasar juga berbeda nyata yang ditunjukkan dengan notasi yang

berbeda dimana pada analisa I kandungan serat kasar tertinggi terdapat pada pastura

P2, sedangkan pada analisa II pada P0.

Tabel 16. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan serat kasar (Analisa II)

SK DB JK KT F Hit Pr > F

Kelompok 2 0.007389 0.000369 0.13tn 0.8831

Naungan 2 0.661872 0.330936 112.18tn 0.0001

Gallat A 4 0.007494 0.001874 0.64tn 0.644

Pastura 3 0.086986 0.028995 9.83 0.0005

Interaksi A*B 6 0.043239 0.007206 2.44tn 0.0662

Gallat 18 0.0531 0.00295

Total 35 0.853431

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata


(58)

Pada Tabel dapat dilihat bahwa pengaruh naungan terhadap kandungan serat

kasar tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh karena intensitas cahaya matahari

yang didapat oleh pastura optimal bila dibandingkan dengan pastura yang ternaungi.

Ditunjukkan dengan analisa yang menunjukkan F hitung yang tinggi yaitu 112.18.

Tabel 17. Uji Duncan (DMRT) untuk serat kasar pada analisa II

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 39.55750 c

N1 39.79667 b

N2 39.87667 a

Kelompok Pastura

P0 39.81667 a

P1 39.75667 b

P2 39.71556 Bc

P3 39.68556 c

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Protein Kasar

Dari pengamatan didapati bahwa kandungan protein pada analisa I lebih

tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein pada analisa II. Hal ini juga

terjadi hasil analisa diubah kedalam bentuk bahan kering.

Tabel 18. Rataan protein kasar pada analisa I

Pastura Naungan Rataan

0% 50% 75%

P0 17.08 17.92 16.97 17.32b±0.520

P1 17.65 17.56 16.66 17.29b±0.544

P2 17.36 18.00 16.97 17.44a±0.517

P3 17.62 17.57 16.74 17.31b±0.493

Rataan±sd 17.43b±0.264 17.76a±0.229 16.84c±0.158

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(59)

Tabel 19. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan protein kasar (Analisa I)

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 0.029622 0.014811 2.3tn 0.1288

Naungan 2 5.260572 2.630286 408.68tn <.0001

Gallat A 4 0.038378 0.009582 1.49tn 0.2472

Pastura 3 0.127711 0.04257 6.61tn 0.0037

Interaksi 6 1.210139 0.20169 31.34tn <.0001

Gallat 18 0.11585 0.064361

Total 35 6.782222

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Tabel 20. Uji Duncan (DMRT) untuk protein kasar pada analisa I

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 17.42917 b

N1 17.76083 a

N2 16.83667 c

Kelompok Pastura

P0 17.32444 b

P1 17.29111 b

P2 17.44333 a

P3 17.31000 b

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Tabel 21. Rataan protein kasar pada analisa II

Pastura Naungan Rataan

0% 50% 75%

P0 15.31 14.94 14.68 14.98d±0.314324608

P1 15.38 15.01 14.80 15.06c±0.296464837

P2 15.49 15.11 14.84 15.15b±0.328449795

P3 15.61 15.20 14.90 15.24a±0.357941227

Rataan±sd 15.45a±0.133 15.06b±0.113 14.80c±0.091

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%


(60)

Tabel 22. Analisa ragam pengaruh naungan dan pastura terhadap kandungan protein kasar (Analisa II)

SK DB JK KT F Hitung Pr > F

Kelompok 2 0.004206 0.002103 1.48tn 0.2533

Naungan 2 2.520539 1.260269 889.02tn <.0001

Gallat A 4 0.002944 0.000736 0.52tn 0.7227

Pastura 3 0.334556 0.111519 78.67tn <.0001

Interaksi 6 0.014328 0.002388 1.68tn 0.1822

Gallat 18 0.025517 0.141759 119.36tn

Total 35 2.902089

Keterangan : Pr > F (Pr : taraf signifikan ; F : 0.01 dan 0.05)

Pr > 0.05 : tidak berpengaruh nyata ; Pr < 0.05 : berpengaruh nyata tn : tidak nyata

Tabel 23. Uji Duncan (DMRT) untuk protein kasar pada analisa II

Taraf Naungan Rataan Notasi

N0 15.44833 a

N1 15.06417 b

N2 14.80417 c

Kelompok Pastura

P0 14.97667 d

P1 15.06222 c

P2 15.14778 b

P3 15.23556 a

Keterangan : Nilai rataan yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tn : tidak nyata

Produksi protein kasar tertinggi dari hasil interaksi didapatkan pada N0P2

yaitu sebesar 18,00 (analisa I) hal ini disebabkan persentase cahaya matahari yang

diterima masih mencukupi untuk pertumbuhan. Kalaupun produksi protein kasar pada

perlakuan ini lebih tinggi hal ini lebih dikarenakan pengaruh naungan, diketahui

proses-proses di dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh naungan adalah


(1)

Tabel 13. Rekapitulasi Hasil Penelitian

Parameter F Hitung Keterangan

Produksi BK 0.64 tn tidak berpengaruh nyata

Kapasitas Tampung 0.65 tn tidak berpengaruh nyata

Dari rekapitulasi penelitian dapat dilihat bahwa interaksi antara naungan dan kelompok pastura tidak berpengaruh nyata terhadap produksi bahan kering dan kapasitas daya tampung.

Komposisi botani memiliki pengaruh terhadap naungan. Sesuai dengan sifat-sifat dari jenis tanaman yang tahan naungan dan yang tidak tahan naungan.

Kandungan nutrisi memiliki pengaruh yang nyata terhadap interaksi antara naungan dan kelompok pastura.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Interaksi naungan dan kelompok pastura mempengaruhi kandungan nutrisi pastura dan komposisi botani. Produksi bahan kering dan kapasitas tampung tidak dipengaruhi oleh interaksi antara naungan dan kelompok pastura. Pastura campuran P2 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides) merupakan pastura yang sedang toleransinya pada naungan tinggi (75%). Rataan produksi bahan kering dan kapasitas tampung tertinggi dihasilkan oleh pastura campuran P2 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides) 268.97 gr/petak dan 3.48 UT.

Saran

Disarankan hijauan pakan ternak ditanam dibawah pertanaman kelapa sawit umur 4-8 tahun (50%) dan disarankan hijauan pakan yang ditanam adalah kelompok pastura P2 (Stenotaphrum secundatum + Brachiaria humidicola + Pueraria javanica + Calopogonium mucunoides).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1983. Hijauan Makanan Ternak. Kanisius, Yogyakarta.

Anonim. 2002. Aspek Produksi Bunga Potong. Dalam : http://www.bi.go.id.

Alvarenga, AA et al., 2004. Effect of Different Light Levels on the initial growth and Photosynthetic of Croton urucurana. Baill in Southeastern Brazil [serial on line]. Agron J 40 : 113-117.

Baharudin. 2004. Penggunaan Taraf Naungan dan Jenis Mulsa Untuk Meningkatkan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Agroland Vol II, No. 2 Juni 2004, Penerbit Unikversitas Tadulako, Palu.

Beadle, C.I., 1982. Techniques In Bio Productivity and Photosynthesis. Robert Maxwell, M. C. Pp 20-21.

Bogdan AV. 1977. Tropical Pastures and Fodder Plants. Series, Longman, London: Tropical Agriculture. p.475.

Chambers RE. 1978. Klimatologi Pertanian. Bogor : Penuntun Mata Kuliah Fakultas Pertanian IPB.

Cruz P. 1997. Effect of Shade on the Growth and Mineral Nutrition of C4 Perennial Grass Under Field Conditions. Plant and Soil 188:227-237.

Departemen Pertanian, 2012. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit. Ditjenbun. Depatan.go.id.

Devlin, RM, and Witham F. 1983. Plant Physiologi. 14th ed. Quezon City : 12-21. Eriksen FI, Whitney AS. 1981. Effective light Intensity on Growth of Some Tropical

Forages Spesies, I. Interaction of light intensity and nitrogen fertilization on six forages grasses.

Freire MJ, Kelly-Begazo CA, and Quesenberg KH. 2000. Establishment yield, and competitiveness of Rhizoma perennial peanut germplas on a flatwooda soil. Soil and Crop Sci Society of Florida Proc 59: 60–72.


(4)

Hall LK, Hughes RH, Rummel RL, Soutwal BL. 1964. Forage and Cattle Mangement in Longleaf-Slaash Pine Forest.

Hanafi, 2005. Pengaruh Tingkat Naungan pada Berbagai Pastura Campuran Terhadap Produksi Hijauan. Karya Ilmiah Fakultas Pertanian , Program Studi Peternakan, Universitas Sumatera Utara.

Haris A. 1999. Karakteristik Iklim Mikro dan Respon Tanaman Padi Gogo pada Pola Tanam Sela dengan Tanaman Karet (Tesis). Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hocker, Jr. W.H., 1979. The Adaptive Geometry of Trees. Princeton University Press, Princeton, New Jersey.

Humpreys, L.R. 1979. Tropical Pasture Seed Production FAO, Rome Italy.

Kephard KD, Buxton DR., 1993. Forage Quality Response of C3 and C4 Perennial Grasses to Shade. Crop Sci.

Konsorsium Teknologi Indonesia, 2012. Stenotaphrum secundatum. http :www.biotechIndonesia.org.

Levit, J., 1980. Response of Plants to environmental Stress. Academic Press. New York.

Ludlow MM. 1978. Light relation of pasture plants. In: J.R. Wilson (Ed). Plant relations in pasture. (CSIRO Aust. Melbourne).

Ludlow, M.M. G.L. Wilson, and M. R Herslehurt, 1974. Studies on the Productivity of Tropical Pasture Plants. IV. Effect of Shading on Growth Photosyntheys and Respiration in Two Grasses in Two Legums. Aust. J.Agric.Res.

Mappaona, 1986. Pengaruh Naungan dan Pemberian Nitrogen Terhadap Produksi Bahan Kering dan Komposisi Kimia Rumput Brachiaria Decumbens. STAPF, Bidang Keahlian Ilmu Tanaman IPB, Bogor.

Mathius, IW. 2009. Produk Samping Industri Kelapa Sawit dan Teknologi Pengayaan Sebagai Bahan Sapi yang Terintegrasi.

Myers DA, Jordan DN, Vogerman TC., 1997. Inclination of Sun and Shade Leaves Influenced Choloroplast Light Harvesting and Utilization. Plant Physiol. Norton, B.W., J.R. Wilson, H.M. Shelton and K.D. Hill, 1991. The Effect of Shade


(5)

Othman A, Mohd Sukri HI, Wong CC, Eng PK, Chen CP. 1989. Integrasi Lembu Daging di Ladang-ladang Kelapa Sawit. Teknologi Ternakan. Serdang Selangor.

Paat, P.C. 2010. Dampak Introduksi Cover Crop Campuran Arachis pintoi-Stenotaphrum secundatum pada Lahan Perkebunan Kelapa Produktif Umur Muda Terhadap Produktivitas Hijauan Pakan Ternak dan Buah Kelapa. Prosesing Konversi Nasional Kelapa ke 7, Manado 2010.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Cetakan pertama. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Reksohadiprodjo, S. 1981. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta : BPFE.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Biji Rumput dan Legum Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta : BPFE.

Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropika. Yogyakarta : BPFE.

Rika, I K. 1994. Integrasi Pakan Hijauan dan Ternak Ruminansia dengan Perkebunan Kelapa . Orasi Pengenalan Guru Besar Tetap dalam Bidang Tanaman Makanan Ternak pada Fak. Peternakan, Unud.

Samarakoon SP, Wilson JR, Shelton HM. 1990. Growth, marphologi and nutritive quality of shaded Stenotaphrum secundatum, Axonopus compressus and Pennisetum clandestinum.

Soepandi D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, dan Sahardi. 2003. Toleransi Pasi Gogo Terhadap Naungan. Hayati. 10(2): 71-75.

Sophanodora P. 1991. Compatibility of grass-legume swards under shade. Forage for Plantation Crop.

Stiger, CJ. 1984. Shading (a traditional method opf micro climate manipulation). Neth J Agric.

Suryana dan M. Sabrani. 2005. Ketersediaan Inovasi Teknologi dan Sumber Daya Manusia Mendukung Sistem Integrasi Sawit-Sapi di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor .


(6)

Susetyo, S, 1978. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Whiteman P. C., 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press, New York.

Wilson JR. 1982. Enviromental and nutritional factor affecting herbage quality. United