7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal atau blok subarakhnoid adalah salah satu teknik anestesi regional dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid di regio lumbal antara vertebra L
2-3
, L
3-4
atau L
4-5
, untuk menimbulkan atau menghilangkan sensasi dan blok motorik. Anestesi spinal
disebut juga anelgesia blok spinal intradural atau intratekal.
3
Anestesi spinal pertama kali diperkenalkan oleh Corning pada tahun 1885. Pada tahun 1889,
anestesi spinal dipraktekkan dalam pengelolaan anestesi untuk operasi pada manusia oleh Bier. Pitkin 1928, Cosgrove 1937 dan Adriani 1940 merupakan
pelopor lain yang berperan dalam perkembangan anestesi spinal sehingga populer sampai saat ini.
9,10
Faktor yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis obat, berat jenis obat, penyebaran obat, posisi tubuh, efek vasokontriksi,
tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang dan usia pasien.
11
Anestesi spinal diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi, urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstetri dan bedah anak.
12
Semua obat anestesi lokal kecuali cocaine adalah bentuk sintesis, yang merupakan senyawa amino yang mengandung nitrogen bersifat basa. Sediaannya
8 berupa larutan garam-garam dengan mineral atau asam organik terutama garam-
garam hidroklorida dan asam sulfat, yang membuat obat mudah larut dalam air, membentuk larutan asam kuat. Sifat asam kuat ini tidak sampai merusak jaringan
berkat adanya sistem buffer tubuh. Dalam bentuk garam lebih stabil dan mudah larut dibanding bentuk basa. Larutannya dalam air mempunyai ph 4-6.
11,13
Obat-obat anestesi spinal ideal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat berikut : Blokade sensorik dan motorik yang dalam, mula
kerja yang cepat, pemulihan blokade motorik cepat sesudah pembedahan sehingga mobilisasi lebih cepat diperbaiki, toleransi baik dalam dosis tinggi dengan risiko
toksisitas sistemik yang rendah.
14
2.2. MEKANISME KERJA