Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

PERBANDINGAN MULA DAN DURASI KERJA LEVOBUPIVACAINE

HIPERBARIK 12,5 mg DAN BUPIVACAINE HIPERBARIK 12,5 mg +

FENTANYL 25 µg PADA ANESTESI SPINAL UNTUK

OPERASI EKSTREMITAS BAWAH DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Oleh:

MUHAMMAD HAMONANGAN PANE NIM: 080145001

TESIS

Penelitian ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Klinik – Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/


(2)

PERBANDINGAN MULA DAN DURASI KERJA LEVOBUPIVACAINE

HIPERBARIK 12,5 mg DAN BUPIVACAINE HIPERBARIK 12,5 mg +

FENTANYL 25 µg PADA ANESTESI SPINAL UNTUK

OPERASI EKSTREMITAS BAWAH DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH:

MUHAMMAD HAMONANGAN PANE NIM: 080145001

PEMBIMBING I:

dr. HASANUL ARIFIN, SpAn. KAP. KIC PEMBIMBING II:

dr. MUHAMMAD IHSAN, SpAn. KMN

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan rezeki-Nya sehingga saya dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan menyusun serta menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari penelitian serta penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan masukan dari semua pihak di masa yang akan datang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi perkembangan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Indonesia.

Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula dari lubuk hati saya yang terdalam dengan diiringi rasa tulus hati dan ikhlas, izinkan saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat: dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC dan dr. Muhammad Ihsan, SpAn, KMN atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, serta dr. Taufiq Ashar, MKM sebagai pembimbing statistik, yang walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah juga saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Pada kesempatan ini perkenenkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, SpA, DTMH(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD, (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran USU Medan.

Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP. H. Adam


(4)

Departemen, dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn. KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU.

Yang terhormat guru-guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC; dr. Chairul M. Mursin, SpAn. KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO; dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP. KMN; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; (Alm) dr. Nadi Zaini Bakri SpAn; (Alm) dr. Muhammad AR, SpAn. KNA; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr. Tumbur, SpAn; dr. Walman Sihotang, SpAn; Letkol. (CKM) dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn, dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV; dr. Guido M. Solihin, SpAn. KAKV; dr. Rommy F. Nadeak, SpAn; dan dr. Rr. Shinta Irina, SpAn, saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling dalam, atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien, serta pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan hidayahnya.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD. dr. Pirngadi Medan, Karumkit. Tkt. II Putri Hijau Medan, Direktur RS. Haji Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan, dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terima kasih.

Kepada para perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD. dr. Pirngadi Medan, RS. Haji Medan, Rumkit. Tkt. II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, khususnya dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, saya juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya.

Kepada yang tercinta kedua orangtua saya, ayahanda; (Alm) H. Syafri Pane, BA dan ibunda; Hj. Khairani Sihombing, saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan, dan kemudian memberikan asuhan,


(5)

yang berbakti kepada orangtua, dan berguna bagi masyarakat,bangsa dan negara. Puji syukur serta doa saya panjatkan kehadirat Allah SWT agar kiranya kedua orang tua saya tercinta diberikan limpahan berkat dan rahmat-Nya.

Terima kasih kepada istri tercinta Popy Oktavia Pulungan, Amd. dan buah hatiku Noya Falisha Hanpy Pane dan Aira Fikriyah Hanpy Pane dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan motivasi, inspirasi, waktu, dan semangat kepada saya, selama saya menjalani pendidikan.

Terimakasih juga kepada teman saya dr. Tasrif Hamdi yang turut membantu dalam memberikan masukan untuk tesis saya ini dan tak lupa juga kepada relawan saya dr. Mumya Camaray dan dr. Haryo Prabowo yang bersedia menjadi relawan dalam penelitian saya ini. Kepada seluruh rekan-rekan dan kerabat, handai taulan, keluarga besar Pane, yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materiil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan banyak terima kasih. Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, Desember 2014

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN x

ABSTRAK xi

ABSTRACT xii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. LATAR BELAKANG 1

1.2. RUMUSAN MASALAH 6

1.3. HIPOTESIS 6

1.4. TUJUAN PENELITIAN 6

1.4.1. Tujuan Umum 6

1.4.2. Tujuan Khusus 7

1.5. MANFAAT PENELITIAN 7

1.5.1. Manfaat Dalam Bidang Akademik 7

1.5.2. Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat 7 1.5.3. Manfaat Dalam Bidang Penelitian 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9


(7)

2.1.1. Sejarah Anestesi Spinal 9 2.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal 10

2.1.3. Farmakologi Anestesi Lokal 12

2.1.4. Penyebaran Anestesi lokal di Spinal 19

2.1.5. Bupivacaine 25

2.1.6. Levobupivacaine 27

2.1.7. Penambahan Opioid 29

BAB III METODE PENELITIAN 31

3.1. DESAIN PENELITIAN 31`

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 31

3.2.1. Tempat 31

3.2.2. Waktu Penelitian 31

3.3. POPULASI DAN SAMPEL 31

3.3.1. Populasi 31

3.3.2. Sampel 31

3.4. SAMPEL DAN CARA PEMILIHAN (RANDOMISASI)

SAMPEL 32

3.5. PERKIRAAN BESAR SAMPEL 32

3.6. KRITERIA INKLUSI DAN EKSLUSI 33

3.6.1. Kriteria Inklusi 33

3.6.2. Kriteria Ekslusi 33


(8)

3.7. INFORMED CONSENT 34

3.8. CARA KERJA 34

3.9. ALAT DAN BAHAN 36

3.9.1. Alat yang Digunakan 36

3.9.2. Bahan yang Digunakan 37

3.10. IDENTIFIKASI VARIABEL 37

3.10.1. Variabel Bebas 37

3.10.2. Variabel Tergantung 37

3.11. DEFENISI OPERASIONAL 38

3.12. MASALAH ETIKA 40

3.13. ANALISIS DATA 40

KERANGKA KONSEP 42

KERANGKA TEORI 43

ALUR PENELITIAAN 44

BAB IV HASIL PENELITIAN 45

4.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN 45

4.2. PERBEDAAN MULA KERJA DAN LAMA OPERASI 46 4.3. PERBEDAAN WAKTU REGRESI 2 SEGMEN 47 4.4 PERBEDAAN VAS PADA TIAP JAM PENGAMATAN 47

BAB V PEMBAHASAN 49

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 54


(9)

6.1.1. Mula dan Lama Kerja 54

6.1.2. Lama Kerja Analgesia 54

6.2 SARAN 54


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur ester dan amida 13


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penambahan Opioid Intratekal 30

Tabel 4.1. Karakteristik Demografi 46

Tabel 4.2. Perbedaan Mula Kerja dan Lama Operasi 46

Tabel 4.3. Perbedaan Waktu Regresi 2 Segmen 47


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 58

LAMPIRAN 2 61

LAMPIRAN 3 65

LAMPIRAN 4 67

LAMPIRAN 5 71

LAMPIRAN 6 73

LAMPIRAN 7 74


(13)

ABSTRAK Latar Belakang Masalah

Penggunaan bupivacaine selama bertahun-tahun sering dipakai pada anestesi spinal oleh karena mula kerja yang relatif cepat, lama kerja yang lama serta memberikan efek blok sensorik dan motorik yang baik, tetapi penggunaannya lebih cenderung menyebabkan

cardiac toxic, ketika secara tiba-tiba masuk ke dalam pembuluh darah. Aktivitas levobupivacaine menurut beberapa penelitian hamper sama dengan bupivacaine baik dari mula kerja dan lama kerja anestesi yang ditimbulkannya. Beberapa penelitian mencoba meneliti keunggulan dari levobupivacaine dibandingkan dengan bupivacaine untuk mencari alternatif obat selain bupivacaine, sehingga para klinisi akan cenderung menggunakan levobupivcaine sehingga efek yang ditimbulkan bupivacaine tidak kembali muncul.

Metode

Penelitian ini bertujuan menemukan obat alternative selaian bupivacaine dengan menentukan muladan lama kerja levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg serta total waktu regresi 2 segmen pada spinal anestesi dan VAS (Visual Analog Scale) untuk jam pertama sampai ke duapuluh empat. Penelitian diikuti oleh sebanyak 40 orang pasien yang menjalani operasi ekstremitas bawah. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 orang. Kelompok pertama (A) mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dan kelompok kedua (B) memperoleh bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + Fentanyl 25 µg.

Hasil

Dari hasil penelitian ini didapati hasil bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk rerata mula kerja obat (p=0,116) dan lama operasi antara dua kelompok studi (p=0,833). Mula kerja obat dan lama operasi di kelompok B memiliki rerata yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok A. Rerata mula kerja obat di kelompok B (1,55 menit) sedangkan di kelompok A (1,22 menit). Lama operasi di kelompok B (1,37 jam) dan di kelompok A (1,35 jam). Dari hasil analisis menggunakan uji Chi Square

tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dari pengamatan jam ke 1 sampai jam ke 18 (p value >0,05). Pada jam ke 24 ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dengan p value yang bermakna (0,014). Rerata waktu regresi 2 segmen kelompok B jauh lebih singkat (rerata 174,25 menit) dibandingkan waktu regresi 2 segmen pada kelompok A (rerata 198,75 menit) dengan p value (0,0001).

Kesimpulan

Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki mula kerja yang sama dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg serta memiliki lama kerja yang lebih lama (rerata perbedaan 24,5 menit). Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki lama kerja analgesia (VAS) yang lebih baik pada jam ke 24 dibandingkan dengan bupivacaine


(14)

ABSTRACT Background

The use of bupivacaine for many years often used in spinal anesthesia because of the relatively rapid onset, long of duration of action and provide good sensory and motor block effects, but its use is more likely to cause cardiac toxic, when it suddenly entered into a blood vessel. Levobupivacaine has similar activity with bupivacaine for onset and duration of anesthesia. Several studies have tried to examine the advantages of levobupivacaine compared with bupivacaine to look for alternative medicine in addition to bupivacaine, so that clinicians will tend to use levobupivacaine so that the effects of bupivacaine does not re-appear.

Method

This study aims to find alternative drug other than bupivacaine to determine onset and duration of action levobupivacaine 12.5 mg hyperbaric compared with 12.5 mg hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg and a total time of two segments regression in spinal anesthesia and VAS (Visual Analogue Scale) for one hour until the 24 hours post operation. The research followed by as many as 40 patients underwent lower extremity surgery. Patients were divided into two groups, each consisting of 20 persons. The first group (A) received 12.5 mg hyperbaric levobupivacaine and the second group (B) 12.5 mg of hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg.

Results

From the results of this study found no significant differences in the mean onset of action of drug (p = 0.116) and duration of operation between the two study groups (p=0.833). Onset of action of drugs and duration of surgery in group B slightly higher than group A. The mean onset of action of drug in group B was 1.55 minutes while in group A 1.22 minutes . duration of surgery in group B was 1.37 hours and in group A for 1.35 hours . From the analysis using Chi Square test found no significant difference in VAS of observation from first hour to 18th hour (p value >0.05) . There was a significant difference for VAS at 24th hour with significant p value of 0.014. The average time of two segment regression was much shorter in group B (mean 174.25 minutes) compared in group A (198.75 minutes) with p value of 0.0001.

Conclusion

Hyperbaric levobupivacaine 12.5 mg has similar onset of action with 12.5 mg hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg and also longer duration of action (mean difference time 24.5 minutes). Hyperbaric levobupivacaine 12.5 mg has longer duration of analgesia (VAS) at 24 hours than hyperbaric bupivacaine 12,5 mg + fentanyl 25 mcg.


(15)

ABSTRAK Latar Belakang Masalah

Penggunaan bupivacaine selama bertahun-tahun sering dipakai pada anestesi spinal oleh karena mula kerja yang relatif cepat, lama kerja yang lama serta memberikan efek blok sensorik dan motorik yang baik, tetapi penggunaannya lebih cenderung menyebabkan

cardiac toxic, ketika secara tiba-tiba masuk ke dalam pembuluh darah. Aktivitas levobupivacaine menurut beberapa penelitian hamper sama dengan bupivacaine baik dari mula kerja dan lama kerja anestesi yang ditimbulkannya. Beberapa penelitian mencoba meneliti keunggulan dari levobupivacaine dibandingkan dengan bupivacaine untuk mencari alternatif obat selain bupivacaine, sehingga para klinisi akan cenderung menggunakan levobupivcaine sehingga efek yang ditimbulkan bupivacaine tidak kembali muncul.

Metode

Penelitian ini bertujuan menemukan obat alternative selaian bupivacaine dengan menentukan muladan lama kerja levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg serta total waktu regresi 2 segmen pada spinal anestesi dan VAS (Visual Analog Scale) untuk jam pertama sampai ke duapuluh empat. Penelitian diikuti oleh sebanyak 40 orang pasien yang menjalani operasi ekstremitas bawah. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 orang. Kelompok pertama (A) mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dan kelompok kedua (B) memperoleh bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + Fentanyl 25 µg.

Hasil

Dari hasil penelitian ini didapati hasil bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk rerata mula kerja obat (p=0,116) dan lama operasi antara dua kelompok studi (p=0,833). Mula kerja obat dan lama operasi di kelompok B memiliki rerata yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok A. Rerata mula kerja obat di kelompok B (1,55 menit) sedangkan di kelompok A (1,22 menit). Lama operasi di kelompok B (1,37 jam) dan di kelompok A (1,35 jam). Dari hasil analisis menggunakan uji Chi Square

tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dari pengamatan jam ke 1 sampai jam ke 18 (p value >0,05). Pada jam ke 24 ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dengan p value yang bermakna (0,014). Rerata waktu regresi 2 segmen kelompok B jauh lebih singkat (rerata 174,25 menit) dibandingkan waktu regresi 2 segmen pada kelompok A (rerata 198,75 menit) dengan p value (0,0001).

Kesimpulan

Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki mula kerja yang sama dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg serta memiliki lama kerja yang lebih lama (rerata perbedaan 24,5 menit). Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki lama kerja analgesia (VAS) yang lebih baik pada jam ke 24 dibandingkan dengan bupivacaine


(16)

ABSTRACT Background

The use of bupivacaine for many years often used in spinal anesthesia because of the relatively rapid onset, long of duration of action and provide good sensory and motor block effects, but its use is more likely to cause cardiac toxic, when it suddenly entered into a blood vessel. Levobupivacaine has similar activity with bupivacaine for onset and duration of anesthesia. Several studies have tried to examine the advantages of levobupivacaine compared with bupivacaine to look for alternative medicine in addition to bupivacaine, so that clinicians will tend to use levobupivacaine so that the effects of bupivacaine does not re-appear.

Method

This study aims to find alternative drug other than bupivacaine to determine onset and duration of action levobupivacaine 12.5 mg hyperbaric compared with 12.5 mg hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg and a total time of two segments regression in spinal anesthesia and VAS (Visual Analogue Scale) for one hour until the 24 hours post operation. The research followed by as many as 40 patients underwent lower extremity surgery. Patients were divided into two groups, each consisting of 20 persons. The first group (A) received 12.5 mg hyperbaric levobupivacaine and the second group (B) 12.5 mg of hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg.

Results

From the results of this study found no significant differences in the mean onset of action of drug (p = 0.116) and duration of operation between the two study groups (p=0.833). Onset of action of drugs and duration of surgery in group B slightly higher than group A. The mean onset of action of drug in group B was 1.55 minutes while in group A 1.22 minutes . duration of surgery in group B was 1.37 hours and in group A for 1.35 hours . From the analysis using Chi Square test found no significant difference in VAS of observation from first hour to 18th hour (p value >0.05) . There was a significant difference for VAS at 24th hour with significant p value of 0.014. The average time of two segment regression was much shorter in group B (mean 174.25 minutes) compared in group A (198.75 minutes) with p value of 0.0001.

Conclusion

Hyperbaric levobupivacaine 12.5 mg has similar onset of action with 12.5 mg hyperbaric bupivacaine + fentanyl 25 mcg and also longer duration of action (mean difference time 24.5 minutes). Hyperbaric levobupivacaine 12.5 mg has longer duration of analgesia (VAS) at 24 hours than hyperbaric bupivacaine 12,5 mg + fentanyl 25 mcg.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat digunakan untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas bawah.1,2 Anestesi spinal dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi

lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu.1,2 Anestesi spinal saat ini masih menjadi pilihan untuk operasi-operasi singkat terutama pada ekstremitas bawah.1 Selain mula kerja yang relatif lebih cepat serta memberikan kepuasan dalam hal kontrol nyeri paska operasi, pasien lebih cepat pulang, biaya lebih murah dan juga memiliki kontrol nyeri paska operasi yang baik.1

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menentukan pasien yang akan dilakukan anestesi spinal atau tidak, meliputi kondisi pasien, farmakologi obat-obatan yang akan digunakan, serta hal-hal yang mempengaruhi tinggi blok dan sangat berperan dalam anestesi spinal.2,3 Anestesi regional mungkin saja membutuhkan anestesi lokal dalam jumlah besar, sehingga resiko untuk terjadi toksisitas anestesi lokal jauh lebih tinggi.4 Penggunaan bupivacaine selama bertahun-tahun sering dipakai pada anestesi spinal oleh karena mula kerja yang relatif cepat 5-8 menit, serta durasi kerja yang lama yaitu 90-150 menit serta memberikan efek blok sensorik dan motorik yang baik, tetapi penggunaannya cenderung lebih menyebabkan cardiac toxic, ketika secara tiba- tiba


(18)

masuk ke dalam pembuluh darah.4,5 Kasus fatal yang terjadi berupa henti jantung karena bupivacaine telah dilaporkan oleh Albright tahun 1979, Davis dan de Jong 1982.2-5

Berdasarkan kejadian tersebut serta kecenderungan bupivacaine menyebabkan cardio toxic maka penelitian difokuskan mencari anestesi lokal baru yang memiliki kerja yang singkat dan durasi kerja yang lama, serta tidak memiliki kecenderungan untuk menyebabkan toksisitas. Bupivacaine secara kimia dibentuk dalam dua isomer yaitu dextrorotatory R(+) dan levorotatory L(-) dan diketahui bahwa bentuk levorotatory L(-) lebih cenderung memiliki toksisitas yang rendah contohnya ropivacaine dan levobupivacaine.4,6

Aktivitas levobupivacaine menurut beberapa penelitian hampir sama dengan bupivacaine baik dari mula kerja dan durasi kerja anestesi yang ditimbulkannya. Beberapa penelitian mencoba meneliti keunggulan dari levobupivacaine dibandingkan dengan bupivacaine untuk mencari alternatif obat selain bupivacaine, dan para klinisi akan cenderung menggunakan levobupivcaine sehingga efek yang ditimbulkan bupivacaine tidak kembali muncul. 7

Penelitian yang dilakukan oleh J.F. Luck, P.D.W. Fettes dan J.A.W. Wildsmith pada tahun 2008 membandingkan efek klinis dari bupivacaine hiperbarik, levobupivacaine dan ropivacaine. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien ASA I-II yang akan dilakukan operasi pada abdomen bawah, perineum, ekstremitas bawah dengan menyuntikkan anestesi lokal bupivacaine, levobupivacaine dan ropivacaine sebanyak 3 ml (5 mg/ml) dengan menambahkan dextrose 30 mg/ml. Dari hasil penelitian ini didapati mula kerja ketiga obat (sampai Th10) tidak jauh berbeda yaitu bupivacaine (2-5


(19)

menit), levobupivacaine (2-5 menit) dan ropivacaine (2-5 menit) dengan p-value yang tidak bermakna 0,6528 (p<0,0167). Sedangkan untuk durasi kerja anestesi (sampai pasien mobilisasi) ropivacaine memiliki durasi kerja yang singkat dibandingkan ketiganya yaitu bupivacaine 306 (243–364), levobupivacaine 286 (201–389), ropivacaine 218 (164–340).8

Penelitian yang dilakukan oleh Opas Vanna MD, Lamai Chumsang Bsc, Sarinra Thongmee Med pada tahun 2006, membandingkan efektivitas klinis serta keamanan klinis antara levobupivacaine isobarik dengan bupivacaine hiperbarik. Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien ASA I-II yang akan dilakukan operasi Transuretral Endoscopic Surgery. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup pertama dilakukan spinal dengan 2,5 ml levobupivacaine 0,5% isobarik dan satu grup lagi dengan 2,5 ml bupivacine 0,5% hiperbarik. Dari hasil peneilitian mula kerja kedua obat dari segi sensorik sampai Th10 tidak jauh berbeda yaitu levobupivacaine 10 (4,3) menit dan bupivacaine 7,3 (3,6) menit dengan p-value 0,22 (p>0,05; tidak bermakna secara statistik) sedangkan untuk blok motorik (Bromage 3) levobupivacaine 7,5 (3,2) menit dan bupivacaine 4,9 (2,7) menit dengan p-value 0,34 (p>0,05; tidak bermakna secara statistik). Waktu pulih ditandai dengan dapat merasakan sensasi dermatom sakral 1 (S1) levobupivacaine 256,2 (48,1) menit dan bupivacaine 215,1 (50,8) menit dengan p-value 0,83 (p<0,05). Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa anestesi spinal dengan 2,5 ml levobupivacaine 0,5% isobarik dan 2,5 ml bupivacine 0,5% hiperbarik memiliki potensi dan efek klinis yang sama serta efek samping yang ditimbulkan juga tidak berarti dan sama untuk kedua obat.9


(20)

Penelitian yang dilakukan oleh Christian Glaser dkk. pada tahun 2002 membandingkan efektivitas klinis dari levobupivacaine dan bupivacaine. Penelitian ini dilakukan pada 80 pasien ASA I-II yang akan dilakukan operasi hip replacement. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup pertama dilakukan spinal dengan 3,5 ml levobupivacaine 0,5% isobarikdan satu grup lagi dengan 3,5 ml bupivacine 0,5% isobarik. Dari hasil peneltian didapati hasil yang berbeda (levobupivacaine versus bupivacaine) dari segi mula kerja sensorik obat (11±6 versus 13±8 menit), mula kerja blok motorik (10±7 versus 9±7 menit), durasi kerja sensorik blok (228±77 versus 237±88 menit), durasi kerja blok motorik (280±84 versus 284±80 menit). Kedua grup menunjukkan penurunan denyut jantung dan mean arterial pressure yang ringan sehingga penurunan hemodinamik ini tidak bermakna. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa efikasi kedua obat ini sama tetapi levobupivacaine dinilai lebih tidak toksik dibandingkan dengan bupivacaine.10

Penelitian yang dilakukan oleh Aygen dkk. pada tahun 2012 membandingkan efektivitas klinis dari levobupivacaine + fentanyl dan bupivacaine + fentanyl. Penelitian ini dilakukan pada 50 pasien ASA I-II pada wanita hamil yang akan dilakukan operasi cesarean secsion. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup B (7,5 mg dari 0,5% bupivacaine + 15 µg fentanyl) dan grup L (7,5 mg dari 0,5% levobupivacaine + 15 µg fentanyl). Dari hasil penelitian didapati mula kerja blok sensorik sampai Th4 lebih cepat pada grup B daripada grup L (4,8 versus 6 menit dengan p<0,05). Waktu mencapai blok motorik (Bromage 3) juga lebih cepat pada grup B (3,4 versus 4,7 menit, p<0,05). Durasi kerja analgesia grup B lebih pendek daripada grup L (102 versus 118 menit,


(21)

p<0,05). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa mula kerja bupivacaine + fentanyl jauh lebih cepat, tetapi durasi kerja analgesia levobupivacaine + fentanyl memiliki durasi kerja analgesia yang lama. Sehingga dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa levobupivacaine dapat memberikan kualitas analgesia yang panjang dibandingkan bupivacaine.11

Penelitian yang dilakukan oleh Huseyin dkk. pada tahun 2009 membandingkan efektivitas klinis dari tiga dosis levobupivacaine yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien ASA I-III pada pasien yang akan dilakukan operasi elektif urologi. Pasien dibagi menjadi tiga grup dengan masing-masing sampel 20 orang. Grup 1 dengan 13,5 mg levobupivacaine hiperbarik, grup 2 dengan 12,5 mg levobupivacaine isobarik, grup 3 dengan 15 mg levobupivacaine isobarik. Dari penelitian ini didapati waktu untuk mencapai blok sensorik Th10 dan waktu mencapai Bromage 0 berbeda untuk ketiga grup dengan p<0,05. Waktu rata-rata mencapai Th10 lebih rendah pada grup 1 jika dibandingkan dengan grup 2 (p<0,001). Dalam hal waktu rata-rata mula kerja sampai Bromage 0, grup 1 memiliki waktu yang lebih cepat dari grup 3 (p<0,001). Waktu rata-rata durasi kerja analgesia jauh lebih panjang grup 1 daripada grup 2 dan 3. Dari penelitian ini didapati levobupivacaine hiperbarik lebih baik daripada yang lain serta didapati penurunan hemodinamik yang tidak bermakna (p>0,05).12

Dari beberapa penelitian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa levobupivacaine dapat menjadi alternatif selain bupivacaine sehingga peneliti tertarik untuk meneliti levobupivacaine sebagai obat anestesi spinal alternatif selain bupivacaine. Peneliti mencoba melakukan penelitian dengan membandingkan mula dan


(22)

durasi kerja anestesi spinal antara levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg pada operasi ekstremitas bawah.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki mula kerja yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih lama dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg pada operasi ekstremitas bawah?

1.3. HIPOTESIS

Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki mula kerja yang lebih cepat dan durasi kerja yang lama dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg pada operasi ekstremitas bawah dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg.

1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. Tujuan Umum

Mendapatkan alternatif obat anestesi lokal selain bupivacaine dengan mula kerja yang lebih cepat dan durasi kerja anestesi yang lebih lama serta efek penurunan hemodinamik yang tidak bermakna.


(23)

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efek klinis penggunaan levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg terhadap mula kerja serta durasi kerja pada anestesi spinal.

2. Untuk mengetahui efek klinis penggunaan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 µg terhadap mula kerja serta durasi kerja pada anestesi spinal.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Dalam Bidang Akademik

1. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan

untuk pemilihan obat alternatif untuk anestesi spinal selain bupivacaine. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

terutama ilmu anestesi.

1.5.2. Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat

1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai penggunaan levobupivacaine hiperbarik sebagai obat untuk anestesi spinal yang dapat digunakan dalam pembedahan.

2. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat meminimalkan biaya operasional bagi pasien yang akan dioperasi dengan menggunakan anestesi spinal.


(24)

1.5.3. Manfaat Dalam Bidang Penelitian

1. Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis levobupivacaine hiperbarik yang berbeda atau dengan kombinasi yang berbeda pula.

2. Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan levobupivacaine hiperbarik dibandingkan obat lain untuk mula kerja dan durasi kerja anestesi spinal.


(25)

BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1. ANESTESI SPINAL

2.1.1. Sejarah Anestesi Spinal

Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri dari blokade spinal, kaudal, dan epidural. Blokade spinal, kaudal, dan epidural pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke 20.2 Blok sentral tersebut secara luas digunakan sebelum tahun 1940 sampai meningkatnya laporan tentang terjadinya gangguan neurologis permanen. Akan tetapi, suatu penelitian epidemiologis yang besar tahun 1950 menunjukkan bahwa sesungguhnya komplikasi jarang terjadi bila blok dilakukan dengan teknik yang benar dan penggunaan obat anestesi lokal yang lebih aman.2

Anestesi atau analgesi spinal pertama diberikan pada tahun 1885 oleh James Leonard Corning (1855-1923), yang merupakan seorang ahli saraf di New York. Ia bereksperimen dengan kokain pada saraf tulang belakang anjing, tetapi ketika itu dia secara tidak sengaja menembus duramater. Anestesi spinal pertama direncanakan untuk operasi pada manusia dilakukan oleh Agustus Bier (1861-1949) tanggal 16 Agustus 1898, di Kiel, ketika ia menyuntikkan 3 ml larutan kokain 0,5% pada pasien 34 tahun.3,13,14 Setelah menggunakannya pada 6 pasien, dia dan asistennya masing-masing menyuntikkan kokain ke dalam tulang belakang pasien yang lain. Karena efektifivitasnya (anestesi spinal), maka mereka


(26)

merekomendasikan anestesi spinal untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya tidak menggunakan lagi anestesi spinal karena toksisitas kokain. Sampai saat ini Agustus Bier dikenal sebagai Bapak anestesi spinal.3,13,14

2.1.2. Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal

Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah.2,3,15-17 Meskipun teknik

ini juga bisa digunakan untuk operasi abdomen bagian atas, sebagian menganggap lebih baik untuk menggunakan anestesi umum untuk memastikan kenyamanan pasien.17 Selain itu, blok ekstensif diperlukan untuk operasi abdomen bagian atas dan cara ini mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi.17

Bila dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko dan keuntungan harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus dilakukan. Mempersiapkan mental pasien adalah hal yang penting karena pilihan teknik anestesi bergantung pada tipe pembedahan. Pasien harus mengerti bahwa mereka akan merasa lumpuh sampai efek blokade hilang.2

Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satu-satunya kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan tekanan intrakranial.2,3,14,15-18 Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat tusukan (misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi yang waktunya belum bisa diperkirakan.


(27)

Dari kasus yang pertama, jika pasien diobati dengan antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan.2,3,18

Sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari tanda-tanda infeksi kulit di tempat suntikan karena dapat beresiko menyebabkan infeksi SSP akibat tindakan anestesi spinal.2,3,16 Ketidakstabilan hemodinamik pra-operasi atau hipovolemia meningkatkan resiko hipotensi setelah tindakan anestesi spinal.3 Tekanan intrakranial yang tinggi

meningkatkan resiko herniasi unkal ketika CSF (Cerebro Spinal Fluid) hilang melalui jarum spinal.3 Kelainan koagulasi meningkatkan resiko pembentukan hematoma.2,3,14-18 Hal ini juga penting untuk berkomunikasi dengan ahli bedah dalam menentukan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan operasi, sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Anestesi spinal yang diberikan tidak dapat berlangsung lama sehingga jika durasi operasi tidak bisa diperkirakan lamanya maka anestesi spinal tidak dapat dipergunakan pada operasi tersebut. Mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal diperlukan atau tidak.3

Melakukan anestesi spinal pada pasien dengan penyakit-penyakit neurologi, seperti multiple sclerosis, adalah kontroversial.3,16,18 Dalam percobaan in vitro yang menunjukkan bahwa saraf demyelinated lebih rentan terhadap toksisitas anestesi lokal.3,18 Namun, tidak ada studi klinis yang meyakinkan dan menunjukkan bahwa anestesi spinal dapat memperburuk penyakit neurologis yang


(28)

sudah ada.3,18 Memang nyeri perioperatif, stres, demam, dan kelelahan dapat memperburuk penyakit, sehingga blok neuraksial bebas stress mungkin lebih disukai untuk pembedahan.3,18 Sakit punggung kronis tidak mewakili kontraindikasi teknik anestesi spinal, meskipun para klinisi mungkin menghindari teknik ini karena tindakan anestesi spinal dapat menimbulkan eksaserbasi nyeri paska operasi meskipun belum ada bukti yang saling menguatkan antara nyeri eksaserbasi paska operasi yang diakibatkan oleh anestesi spinal.16

Pasien dengan stenosis mitral, hipertrofi idiopatik stenosis subaorta, dan stenosis aorta, tidak toleran terhadap penurunan akut dari resistensi vaskuler sistemik.16 Dengan demikian, meskipun tidak kontraindikasi, blok neuraksial harus digunakan hati-hati dalamkasus tersebut.16 Penyakit jantung secara signifikan dapat menimbulkan kontraindikasi relatif untuk anestesia ketika tingkat sensorik mencapai lebih dariT6.3,18 Cacat parah dari kolum tulang belakang dapat meningkatkan kesulitan dalam memasukkan obat anestesi spinal. Artritis, kifoskoliosis, dan operasi fusi lumbalsebelumnya bukan kontraindikasi untuk anestesi spinal.3,18 Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien dalam menentukan kelainan anatomi sebelum melakukan anestesi spinal.3,18

2.1.3. Farmakologi Anestesi Lokal

Kebanyakan anestesi lokal mengikat pada saluran natrium secara reversibel, menghambat influks natrium pada keadaan inaktif, mencegah aktivasi saluran dan influks sementara dari natrium dalam jumlah besar akibat dari depolarisasi


(29)

membran.2,20 Hal ini tidak mengganggu potensial membran saat istirahat atau ambang rangsang, tetapi akan memperlambat tingkat depolarisasi jika konsentrasi anestesi lokal makin ditingkatkan.2,20,21 Aksi potensial dan hantaran saraf tidak dimulai karena ambang rangsang tidak pernah terlewati. Anestesi lokal memiliki afinitas yang besar terhadap saluran natrium yang aktif daripada yang tidak aktif dalam keadaan istirahat.2,20,21

Pilihan obat anestesi lokal didasarkan pada potensi obat, onset (mula kerja) dan durasi kerja anestesi, serta efek samping obat.

Gambar 1. Struktur ester dan amida.

Dua kelompok yang berbeda dari anestesi lokal yang digunakan dalam anestesi spinal yaitu ester dan amida (Gambar 1), ditandai dengan ikatan yang menghubungkan bagian aromatik dan rantai menengah. Ester berisi link ester antara bagian aromatik dan rantai menengah, contoh termasuk procaine, kloroprocaine, dan tetracaine.2,3,16,17,20

Amida berisi link amida antara bagian aromatik dan rantai menengah, contohnya bupivacaine, levobupivacaine, ropivacaine, etidocaine, lidocaine, mepivacaine, dan prilocaine. Meskipun metabolisme penting untuk menentukan


(30)

aktivitas anestesi lokal, kelarutan lemak, protein yang mengikat, dan pKa juga mempengaruhi aktivitas.2,3,16,22

Kelarutan lemak berkaitan dengan potensi anestesi lokal. Kelarutan lemak yang rendah menunjukkan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi dari anestesi lokal harus diberikan untuk mendapatkan blokade saraf.2,3,16,17,20 Sebaliknya, kelarutan lemak yang tinggi menghasilkan anestesi pada konsentrasi rendah.3 Ikatan terhadap protein plasma mempengaruhi durasi kerja anestesi lokal. Ikatan obat anestesi lokal yang tinggi terhadap protein plasma menyebabkan obat tersebut memiliki durasi kerja yang lama juga.3

Mula kerja berkaitan dengan jumlah anestesi lokal yang tersedia dalam bentuk basa. pKa anestesi lokal adalah pH dimana bentuk-bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang tersedia sama di dalam larutan, yang penting karena bentuk terionisasi memungkinkan anestesi lokal untuk menyebar di seluruh selubung saraf lipofilik dan mencapai saluran natrium dalam membran saraf.2,3 pKa berarti pH pada saat 50% molekul basa bebas dan 50% molekul dengan muatan ion positif.25 Bila ditambahkan bikarbonat, pH akan meningkat sebanding dengan molekul basa bebas, molekul akan bebas melintasi membran akson dengan mudah dan secara farmakologis bekerja lebih cepat.25 Sebaliknya pada pH rendah atau asam akan lebih sedikit molekul basa bebas melintasi membran akson dengan aksi farmakologis lebih lambat. Kebanyakan anestesi lokal mengikuti aturan bahwa semakin rendah pKa, semakin cepat terjadinya aksi dan sebaliknya.2,3


(31)

Farmakokinetik anestesi lokal termasuk penyerapan dan eliminasi obat. Empat faktor yang berperan dalam penyerapan anestesi lokal di ruang subarachnoid ke dalam jaringan saraf, (1) konsentrasi anestesi lokal di CSF, (2) luas permukaan jaringan saraf terkena CSF, (3) kadar lemak jaringan saraf, dan (4) aliran darah ke saraf.2,3,20

Penyerapan anestesi lokal paling besar adalah di tempat suntikan, konsentrasi obat tertinggi di CSF dan menurun di atas dan di bawah tempat tersebut. Penyerapan dan penyebaran anestesi lokal setelah injeksi spinal ditentukan oleh beberapa faktor termasuk dosis, volume, barisitas anestesi lokal, posisi pasien serta ada tidaknya penambahan vasokonstriktor pada anestesi lokal.2,3,20 Setelah injeksi ke daerah serabut saraf yang akan diblok, anestesi lokal diserap ke dalam darah. Anestesi lokal golongan ester dengan cepat dihidrolisis oleh butyrylcholinesterase dalam darah.2,3,20 Anestesi lokal golongan amida dapat secara luas didistribusikan melalui sirkulasi. Anestesi lokal golongan amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Dengan demikian, waktu paruh obat ini secara signifikan lebih lama dan toksisitas lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati.2,3,20

Kedua akar saraf dan sumsum tulang belakang mengambil anestesi lokal setelah diinjeksikan ke dalam ruang subarachnoid.3 Makin luas permukaan saraf yang terkena anestesi lokal maka makin besar penyerapan anestesi lokal tersebut.3 Sumsum tulang belakang memiliki dua mekanisme untuk penyerapan anestesi lokal. Mekanisme pertama adalah dengan difusi dari CSF ke piamater dan ke


(32)

sumsum tulang belakang, yang merupakan proses yang lambat.2,3 Metode kedua adalah serapan anestesi lokal dengan cara ekstensi ke dalam ruang dari Virchow-Robin, yang merupakan daerah dari piamater yang dikelilingi oleh pembuluh darah yang menembus sistem saraf pusat.3 Ruang-ruang Virchow-Robin terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di sumsum tulang belakang dan menembus ke daerah yang lebih dalam dari sumsum tulang belakang.3

Kadar lemak menentukan penyerapan anestesi lokal. Jaringan saraf yang bermielin dalam ruang subarachnoid mengandung konsentrasi tinggi anestesi lokal setelah injeksi.3 Semakin tinggi derajat mielinisasi, semakin tinggi konsentrasi anestesi lokal, karena ada kandungan lemak yang tinggi dalam myelin. Jika daerah akar saraf tidak mengandung mielin, peningkatan resiko kerusakan saraf dapat terjadi pada area tersebut.3

Aliran darah menentukan tingkat eliminasi anestesi lokal dari jaringan saraf tulang belakang. Semakin cepat aliran darah di sumsum tulang belakang, semakin cepat pula anestesi yang tereliminasi.3 Hal ini sebagian dapat menjelaskan mengapa konsentrasi anestesi lokal lebih besar di posterior sumsum tulang belakang daripada anterior, meskipun anterior lebih mudah diakses oleh ruang Virchow-Robin.3 Setelah anestesi spinal diberikan, aliran darah dapat ditingkatkan atau diturunkan ke sumsum tulang belakang, tergantung pada anestesi lokal tertentu yang diberikan, misalnya tetracaine yang dapat


(33)

meningkatkan aliran darah tetapi lidocaine dan bupivacaine menguranginya, serta mempengaruhi eliminasi anestesi lokal.3

Eliminasi anestesi lokal dari ruang subarachnoid adalah dengan penyerapan vaskular dalam ruang epidural dan ruang subarachnoid.3 Anestesi lokal berjalan melintasi dura di kedua arah. Dalam ruang epidural, penyerapan pembuluh darah dapat terjadi, seperti dalam ruang subarachnoid. Pasokan pembuluh darah banyak terdapat di sumsum tulang belakang dan piamater.3

Karena perfusi pembuluh darah ke sumsum tulang belakang bervariasi, laju eliminasi anestesi lokal juga bervariasi.2,3

Secara umum anestesi lokal memiliki beberapa karakteristik berdasarkan farmakodinamik obat:2,3,16,20

1. Anestesi lokal khususnya memblokir serabut saraf kecil. Hal ini karena jarak pasif propagasi impuls dalam saraf kecil yang lebih pendek. Secara umum, saraf C yang tidak bermielin (sinyal rasa sakit) dan saraf Aδ mielin (nyeri dan suhu) yang diblokir sebelum serabut saraf besar yang bermilein Aγ, Aβ dan Aα serat yang lebih besar (postural, sentuhan, tekanan, dan sinyal motorik).


(34)

Saraf dengan frekuensi yang lebih tinggi dan lebih positif maka potensial membran akan lebih sensitif terhadap blok anestesi lokal. Hal ini dikarenakan muatan anestesi lokal lebih mudah berikatan dengan saluran natrium yang terbuka dari pada saluran natrium yang tidak aktif. Hal ini karena molekul anestesi lokal lebih mungkin untuk mengakses ke tempat pengikat di saluran natrium, dan cenderung kurang untuk memisahkan dari tempat pengikat di saluran terbuka natrium atau tidak aktif dibandingkan pada saat saluran natrium istirahat. Serabut sensorik, terutama nyeri, memiliki tingkat rangsangan yang tinggi dan memiliki durasi kerja potensial yang lebih lama dari serabut motorik, dengan demikian lebih sensitif terhadap konsentrasi yang lebih rendah dari anestesi lokal.

2. Pada serabut saraf, serat yang terletak circumferentially pertama dipengaruhi oleh anestesi lokal. Dalam batang saraf besar, saraf motorik biasanya terletak circumferentially dan teraktivasi sebelum serabut saraf sensorik. Pada ekstremitas, saraf sensorik proksimal terletak lebih circumferentially dari saraf sensorik distal. Dengan demikian, hilangnya rasa bagian dari anggota tubuh mungkin menyebar dari proksimal ke distal.

3. Efektivitas anestesi lokal dipengaruhi oleh pH obat. Seperti disebutkan di atas, bentuk tidak bermuatan anestesi lokal lebih mungkin untuk menembus membran namun bentuk yang bermuatan akan lebih aktif dalam memblokir saluran natrium. Pada pH tinggi, sebagian besar anestesi lokal bermuatan, tetapi juga memiliki afinitas yang lebih rendah untuk saluran natrium. Pada pH


(35)

sangat rendah, ada persentase yang lebih tinggi dari molekul bermuatan yang mengurangi efek obat karena mereka cenderung untuk memasuki sel.

2.1.4. Penyebaran Anestesi Lokal di Spinal

CSF dari saluran vertebralis menempati (2-3 mm) dalam ruang yang mengelilingi sumsum tulang belakang dan kauda equina, dan tertutup oleh arachnoid. Ketika anestesi lokal disemprotkan ke dalam CSF maka penyebaranya tergantung aliran dan arus yang dibuat oleh CSF.2,3,19 Bagian berikutnya adalah penyebaran akibat interaksi CSF dan gravitasi. 2,3,19 Gravitasi akan 'diterapkan' melalui posisi pasien (tidur, duduk, dll), dalam posisi horizontal, oleh pengaruh kurva dari saluran vertebralis. Banyak faktor yang dikatakan mempengaruhi mekanisme ini.2,3,19 Faktor utama dalam penyebaran anaestesi lokal adalah karakteristik fisik CSF dan cairan anestesi lokal yang disuntikkan, teknik yang digunakan serta gambaran umum pasien. Ini saling berkaitan dalam cara yang kompleks.2,3,19

Faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran anestesi lokal pada anestesi spinal adalah (1) karakteristik anestesi lokal yang disuntikkan: barisitas, volum/dosis/konsentrasi, suhu, viskositas, penamabahan obat lain, (2) Teknik yang digunakan meliputi: posisi pasien, tempat suntikan, tipe jarum, dan yang terakhir kateter intratekal (3) karakteristik pasien: umur, jenis kelamin, tinggi badan, hamil, volum CSF, berat badan, dan anatomi tulang belakang.2,3,19

Ada beberapa definisi yang sering disalah artikan. Densitas adalah rasio massa zat untuk volume. Ini bervariasi dengan suhu, yang harus ditentukan.


(36)

Specific Gravity adalah rasio kepadatan suatu zat dengan standar. Hal ini biasanya berhubungan dengan larutan anestesi lokal di 200C air pada suhu 40C. Sedangkan

barisitas adalah analog dengan gravitasi, tetapi dinyatakan sebagai rasio kepadatan anestesi lokal dan CSF pada suhu 370C.

Pada suhu 370C kepadatan rata-rata CSF adalah 1,0003, dengan kisaran 1,0000-1,0006 (±2 SD) g/liter. Anestesi lokal disebut hipobarik atau hiperbarik jika barisitas dibawah 0.9990 atau di atas 1.0010.19 Semua cairan anestesi lokal

yang digunakan bebas dari cairan glukosa memiliki barisitas yang hipobarik. Plain bupivacaine memiliki barisitas dari 0.9990, yang berarti bahwa hampir sama dengan hipobarik.2,3,16,19

Sementara berbagai teknik telah digunakan untuk mengubah barisitas anestesi lokal, penambahan glukosa adalah satu-satunya cara yang digunakan secara rutin. Pilihan yang biasa bagi dokter adalah antara hiperbarik atau sama dengan atau dibawah sedikit dari CSF.2,3 Cairan hiperbarik lebih dapat diprediksi, dengan penyebaran yang lebih besar dalam arah gravitasi dan variabilitas kurang.19 Sebaliknya, larutan yang hipobarik menunjukkan variabilitas yang lebih besar dalam segi efek klinis dan kurang dapat diprediksi, sehingga blok dapat terlalu rendah dan tidak memadai untuk operasi atau terlalu tinggi yang menyebabkan efek samping.2,3,19

Penyebaran dari cairan hiperbarik dapat dikaitkan dengan peningkatan insiden efek samping kardiorespirasi, meskipun hal ini tidak selalu terjadi, dan mungkin tergantung pada konsentrasi glukosa.19 Larutan tersedia secara komersial


(37)

mengandung glukosa hingga 8%, tetapi sebagian besar bukti menunjukkan bahwa konsentrasi setiap lebih dari 0,8%, akan menghasilkan cairan seperti cairan hiperbarik, tetapi dengan sedikit penyebaran jika konsentrasi glukosa adalah di bawah dari kisaran. Larutan hiperbarik dapat dibuat dengan menambahkan 5% dextrose ke larutan hipobarik.2,19

Volume obat suntikan juga berperan besar. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk menunjukkan efek volume berakibat gagal dalam mengubah konsentrasi anestesi lokal, yang berakibat peningkatan dalam pemberian dosis yang diberikan. Ketika efek volume (hingga 14 ml) diisolasi dari faktor-faktor lain, kebanyakan studi menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan pada penyebaran rata-rata meskipun suntikan volume yang sangat rendah (1,5-2 ml) dapat mengurangi penyebaran.

Keperihatinan dasar yang sama berlaku untuk studi tentang efek dari dosis yang berbeda, perubahan dalam dosis akan disertai dengan perubahan volume atau konsentrasi. Beberapa studi yang dirancang untuk mengendalikan perubahan dalam faktor-faktor lain, yang menunjukkan bahwa peningkatan dosis dikaitkan dengan peningkatan penyebaran. Yang perlu diperhatikan adalah efeknya. Jika tidak ada obat yang disuntikkan tidak akan ada efek, dan kelebihan dosis yang besar (misalnya injeksi intratekal) disengaja selama blok epidural akan menghasilkan spinal total, tapi tidak ada hubungan garis lurus diantara keduanya. Dalam rentang dosis yang biasanya digunakan, atau peningkatan dosis sampai 50


(38)

persen, dosis yang disuntikkan akan mengakibatkan peningkatan rata-rata penyebaran blok pada dermatom.

CSF dan anestesi lokal menunjukkan penurunan densitas dengan meningkatnya suhu. CSF memiliki suhu tubuh inti sedangkan cairan anestesi lokal yang diberikan berada pada suhu kamar. Konsekuensi dari efek suhu yang paling nyata dengan cairan terlihat pada bupivacaine 0,5%. Bupivacaine akan menjadi sedikit hiperbarik pada 24°C (densitas 1,0032 kg.m-3), tapi sedikit hipobarik pada

37°C (densitas 0,9984 kg.m-3).19 Bahkan perbedaan kecil seperti pada barisitas dapat menyebabkan pola distribusi yang berlawanan, dan juga dapat menjelaskan variabilitas yang besar dalam penyebaran bupivacaine ketika disuntikkan di 'ruang' (yang mungkin bervariasi) terhadap suhu.

Glukosa menjadi larutan yang mempengaruhi viskositas serta densitas. Cairan lebih kental menghasilkan penyebaran rata-rata secara signifikan lebih besar dari yang lain. Cairan plain yang jauh lebih encer daripada yang mengandung glukosa, mungkin kurang larut dengan CSF.19

Luasnya penyebaran intratekal tidak diubah oleh anestesi lokal yang digunakan, asalkan faktor-faktor lain dikendalikan. Cairan yang mengandung vasokonstriktor menyebar dengan cara yang hampir sama seperti dengan yang tidak ditambahkan dengan vasokontriktor, meskipun durasi kerja blok dapat diperpanjang.19 Penambahan obat lain, seperti opioid atau clonidine, memiliki efek ganda. Anestesi lokal yang dicampurkan dengan obat lain sebenarnya dapat berubah menjadi larutan yang hipobarik tetapi efek ini kecil pengaruhnya.19


(39)

Penambahan anestesi lokal dengan opioid dapat meningkatkan waktu penyebaran serta memperpanjang efek kerja dari anestesi lokal.2,3,16,19

Penyebaran anestesi lokal juga tidak terlepas dari teknik yang digunakan. Perbedaan densitas antara CSF dan anestesi lokal yang disuntikkan adalah faktor utama penyebaran obat di ruang tulang belakang. Hal ini terbentuk akibat dari aktivitas gravitasi, cairan hiperbarik (tenggelam) dan hipobarik (melayang), jadi penyebaran obat di CSF tergantung dari interaksi antara densitas obat dan posisi pasien.2,3,16,19 Misalnya ketika menginginkan obat anestesi hiperbarik menyebar lebih cephalad maka pasien akan dibiarkan dalam posisi head down. Jika menginginkan penyebaran anestesi lokal hiporbarik kearah caudal maka posisi pasien harus dalam keadaan head up.

Tempat penyuntikan yang lebih tinggi juga meningkatkan kemungkinan penyebaran obat kearah cephalad dibandingkan pada tingkat yang lebih rendah.2,3,19 Jenis jarum yang digunakan, sudut dan arah jarum spinal awalnya dinilai mempengaruhi tingkat penyebaran, tetapi efek ini dinilai tidak bermakna dan dinilai tidak ada pengaruhnya.19 Sebelumnya banyak yang menganggap bahwa barbotage dianggap dapat meningkatkan penyebaran anestesi lokal pada anestesi spinal, tetapi ternyata hal ini tidak terbukti.19 Penyuntikan yang cepat dapat meningkatkan penyebaran, tetapi efek ini lebih besar pada anestesi lokal yang hipobarik.19

Bagaimana dengan karakteristik pasien, apakah mempengaruhi penyebaran obat. Pada usia yang lebih tua penyebaran dinilai lebih cepat, hal ini


(40)

dimungkinkan karena pada pasien tua mungkin telah terjadi perubahan anatomi, neurofisiologi, serta kardiovaskular.2,19 Belum ada penelitian yang membuktikan

hubungan tinggi badan dengan penyebaran obat anestesi lokal.19 Berat badan awalnya dinilai memiliki hubungan dengan penyebaran obat, hal ini secara teoritis akibat adanya penumpukan lemak di epidural sehingga menekan serta mengurangi produksi CSF, tetapi hasil penelitian terhadap masalah ini masih kontroversial.19

Jenis kelamin mempengaruhi dalam densitas CSF. Pada pria densitas CSF akan mengurangi barisitas dari anestesi lokal.19 Kehamilan dan pasien yang memiliki tekanan intraabdominal yang tinggi juga berpengaruh terhadap penyebaran obat. Pasien yang memiliki tekanan intraabdomen yang tinggi akan mengurangi volume CSF dan menyebabkan anestesi lokal lebih cenderung mudah menyebar ke cephalad.2,3,19 Pada pasien hamil sensitivitas saraf meningkat oleh

karena progesteron juga dibantu oleh lordosis lumbal serta perubahan pada volume dan densitas CSF.19

Hal yang sangat penting mempengaruhi penyebaran obat adalah anatomi dari tulang belakang. Kelainan anatomi ini bahkan dapat membuat blok menjadi gagal. Misalnya skoliosis, susah untuk penyebaran blok yang merata bahkan dengan berbaring (lateral).19 Kifosis berat atau kifoskoliosis dihubungkan dengan penurunan volume CSF dan sering mengakibatkan level anestesi yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan, terutama dengan teknik hipobarik dan penyuntikan yang cepat.2,19


(41)

2.1.5. Bupivacaine

Kokain adalah obat anestesi spinal pertama yang digunakan, kemudian diikuti oleh procaine dan tetracaine. Anestesi spinal dengan lidocaine, bupivacaine, tetracaine, mepivacaine, dan ropivacaine telah banyak digunakan dan dikenal dalam dekade terakhir ini.2,3,16

Lidocaine sangat popular untuk operasi-operasi singkat serta populer untuk ambulatory anesthesia. Semenjak dikenalnya lidocaine tahun 1945, lidocaine menjadi popular, tetapi popularitas lidocaine menjadi berkurang akibat adanya laporan kejadian Transient Neurological Symptom (TNS).2,3 Kejadian TNS ini didapati sekitar 20% pada pasien dengan ambulatory anesthesia.23 Keperihatinan atas kejadian TNS ini mendorong para klinisi untuk mencari obat alternatif pada anestesi spinal. Pengganti yang ideal untuk lidocaine harus memiliki karakteristik klinis yang lebih baik, dengan mula kerja yang cepat dan pemulihan yang cepat, serta resiko lebih kecil untuk kejadian TNS.2,3,16,23

Bupivacaine adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari asalnya. Nama kimia obat ini 1-butyl-N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine-2-carboxamide. Bupivacaine memiliki mula kerja yang cepat (5-10 menit) dengan durasi kerja analgesia (90-150 menit).2,3,16,17 Untuk mula kerja bupivacaine isobarik dan hiperbarik sebagian penelitian ada yang menyebutkan bupivacaine hiperbarik memiliki mula kerja yang cepat serta durasi kerja yang lama dibandingkan dengan isobarik dan begitu juga sebaliknya, sebagaian penelitian yang lain mengatakan bahwa bupivacaine isobarik memiliki mula kerja yang cepat


(42)

serta durasi kerja yang lama.24 Dalam hal ini mula kerja dan durasi obat bekerja tentu dipengaruhi banyak faktor yaitu: umur, tinggi badan, CSF, barisitas, teknik penyuntikan, dan sebagainya. Karena banyak faktor yang berpengaruh, sehingga mengenai mula kerja dan durasi kerja perlu penelitian lebih lanjut.

Obat ini disintesis oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama sekali tahun 1963.24 Obat ini tersedia di dalam sediaan 5 mg/ml, dengan konsentrasi 0,75% dengan 8,25 % dekstrose ataupun tanpa dekstrose serta konsentrasi 0,5% dengan atau tanpa dekstrose.2,3,16 Pada tahun-tahun terakhir ini bupivacaine menjadi sering dipakai untuk operasi-operasi abdomen bagian bawah, baik yang isobarik ataupun yang hiperbarik. Kualitas blok motorik yang ditimbulkannya tidak terlalu baik tetapi kualitas sensorik bloknya jauh lebih baik sehingga obat ini sangat ideal sebagai analgesi paska operasi.16 Prinsip kerja bupivacaine dengan cara sama

dengan mekanisme yang telah diuraikan sebelumnya yaitu menghambat permeabilitas membran sel terhadap natrium sehingga mencegah terjadinya hantaran saraf disepanjang serabut saraf. Eliminasi bupivacaine terjadi melalui hati dan paru-paru.24 Bupivacaine memiliki daya ikat yang tinggi terhadap protein plasma (95,6%), dan memiliki nilai pKa yang tinggi pula.24 Telah dilaporkan

terjadinya henti jantung pada penggunaan bupivacaine. Kejadian ini terjadi jika bupivacaine dalam dosis besar masuk secara tidak sengaja ke dalam pembuluh darah sehingga obat ini sebenarnya kurang direkomendasikan pada pasien yang akan dilakukan anestesi epidural.16 Obat ini dikenal bekerja cepat, tetapi lambat untuk tereliminasi. Obat ini dapat menyebabkan henti jantung dikarenakan dapat


(43)

berikatan dengan saluran natrium di otot jantung. Mekanisme lain yang dapat dipercaya menyebabkan henti jantung adalah kemampuan obat ini mengganggu konduksi antara atrium-ventrikel, depresi kontraktilitas otot jantung, dan efek yang tidak langsung terhadap susunan saraf pusat.16 Sehingga efek depresi otot jantung menyebabkan para klinis mencari obat alternatif yang kerjanya hampir sama atau lebih baik dari bupivacaine.

2.1.6. Levobupivacaine

Levobupivacaine adalah obat anestesi lokal yang termasuk golongan amida (CONH-) yang memiliki atom karbon asimetrik dan isomer Levo (-).25 Levobupivacaine merupakan alternatif menarik selain bupivacaine untuk anestesi spinal oleh karena obat ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik sensorik dan motorik yang lebih lama serta recovery seperti bupivacaine.28 Levobupivacaine memiliki pKa 8,1. Ikatan dengan protein lebih dari 97% terutama pada asam α1 glikoprotein dibandingkan pada albumin, sedangkan ikatan protein dengan bupivacaine 95%. Hal ini berarti kurang dari 3% obat berada bebas dalam plasma.25,26 Fraksi konsentrasi yang kecil ini dapat berefek pada jaringan

lain yang menyebabkan efek samping dan manifestasi toksik. Pada pasien hipoproteinemia, sindrom nefrotik, kurang kalori protein, bayi baru lahir dengan sedikit kadar protein, menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma tinggi sehingga efek toksik terlihat pada dosis rendah.25


(44)

Dalam sediaan komersil levobupivacaine tersedia dalam konsentrasi 0,5% 5 mg/ml, untuk levobupivacaine 0,5% plain memiliki mula kerja yang cepat yaitu 4-8 menit dengan durasi kerja anestesi 135-170 menit.3 Mekanisme aksi sama dengan bupivacaine atau obat anestesi lokal lain. Apabila MLAC (Minimum Local Analgesic Concentration) tercapai, obat akan melingkupi membran akson sehingga memblok saluran natrium dan akan menghentikan transmisi impuls saraf.2,3 Metabolisme obat terjadi di hepar oleh enzim sitokrom P450 terutama

CYPIA2 dan CYP3A4 isoforms. 25,26 Cara pemberian melalui spinal, epidural, blok saraf perifer, dan infiltrasi. Penggunaan intravena sangat terbatas karena beresiko toksik.25,26 Bersihan obat dalam plasma akan menurun bila terjadi gangguan fungsi hepar. Konsentrasi untuk menimbulkan efek toksik pada jantung dan saraf lebih kecil pada levobupivacaine daripada bupivacaine. Batas keamanan 1,3 berarti efek toksik tidak akan terlihat sampai konsentrasi 30%.25,26

Levobupivacaine menimbulkan depresi jantung lebih sedikit dibandingkan bupivacaine dan ropivacaine.25,26 Gejala toksisitas sistem saraf pusat pada bupivacaine lebih tinggi rata-rata 56,1 mg dibandingkan levobupivacaine 47,1 mg.25,26 Levobupivacaine dapat digunakan untuk subarachnoid, epidural,

blok pleksus brakialis, blok supra dan infra klavikuler, blok interkostal dan interskalen, blok saraf perifer, blok peribulber dan retrobulber, infiltrasi lokal, analgesi obstetri, pengelolaan nyeri setelah operasi, pengelolaan nyeri akut dan kronis.25,26 Dosis tunggal maksimum yang digunakan 2 mg/kgbb dan 5,7 mg/kgbb (400mg) dalam 24 jam.25,26 Sama dengan efek samping obat anestesi lainnya,


(45)

diantaranya hipotensi, bradikardi, mual, muntah, gatal, nyeri kepala, pusing, telinga berdenging, gangguan buang air besar, dan kejang.25,26

2.1.7. Penambahan Opioid

Penambahan opioid intratekal pada anestesi lokal dianggap meningkatkan kualitas anestesia dan analgesia.2,3 Opioid intratekal secara selektif menurunkan input afferen nosiseptif dari serabut αδ dan serat C (C fiber) sehingga sinyal nyeri tidak terjadi.3 Penggunaan opioid lipofilik seperti fentanyl dan sufentanyl mempercepat mula kerja serta durasi kerja anestesi.23 Mekanisme ini dipercaya didasarkan atas adanya reseptor opioid di medula spinalis dan mekanisme ini disebut sebagai supraspinal analgesia. Fentanyl adalah opioid dengan sedikit larut lemak yang sering ditambahkan ke anestesi lokal.23 Fentanyl menimbulkan analgesia setelah

disuntikan intratekal hanya dengan dosis 10 µg.23

Depresi pernapasan akan muncul lebih besar dari dosis 25 µg. Penambahan fentanyl pada anestesi lokal untuk anestesi spinal memunculkan efek sinergis antara anestesi lokal dan fentanyl dengan dampak analgesia viseral dan somatik tanpa meningkatkan blokade simpatik.23 Sebagai tambahan, penambahan fentanyl

menurunkan barisitas dan mungkin akan mempengaruhi distribusi di CSF. Jadi dosis efektif fentanyl yang dapat ditambahkan ke obat anestesi lokal yaitu 10-25 µg.23 Efek samping yang sering muncul menurut beberapa penelitian adalah pruritus sekitar 60%, serta efek samping lain yang sebenarnya dinilai tidak bermakna yaitu depresi pernapasan serta retensi urin.23 Berikut tabel tentang


(46)

penambahan opioid intratekal yang dapat dijadikan acuan untuk spinal anestesi (Tabel 2.1).29

Tabel 2.1. Penambahan Opiod Intratekal

Opioid IV/IT Rasio Dose range Onset (min)

Duration (hrs)

Continuous Infusion

Morphine 2-300:1 0,1-0,5 mg 30 18-24 ?

Fentanyl 10-20:1 5-25 µg 5 1-4 5-20 µg/hr


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda untuk menilai perbandingan mula dan durasi kerja obat anestesi spinal levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang ditambah dengan fentanyl 25 µg pada operasi ekstremitas bawah.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP. H. Adam Malik Medan. 3.2.2. Waktu Penelitian

Dilakukan mulai bulan September 2014 sampai sampel terpenuhi.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. Populasi

Seluruh pasien yang akan menjalani pembedahan ekstremitas bawah dengan anestesi spinal.

3.3.2. Sampel

Diambil dari pasien yang akan menjalani pembedahan ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Setelah dihitung


(48)

secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok: kelompok A akan mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg, sedangkan kelompok B mendapat bupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang ditambah fentanyl 25 µg.

3.4. SAMPEL DAN CARA PEMILIHAN (RANDOMISASI) SAMPEL

Diambil dari pasien yang akan menjalani pembedahan ekstremitas bawah dengan anestesi spinal dengan status fisik ASA I-II.

a. Kelompok A akan mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg, sedangkan kelompok B mendapat bupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang ditambah fentanyl 25 µg.

b. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel angka random dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan.

c. Kedua kelompok dibagi menjadi kelompok A dan B yang ditentukan oleh relawan masing-masing, dan obat dari semua kelompok diracik oleh relawan serta dengan jumlah dan warna yang sama.

3.5. PERKIRAAN BESAR SAMPEL

Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap rata-rata dua populasi pada dua kelompok independen yaitu:

n1 = n2 = + ² ² −


(49)

Zα : Tingkat kemaknaan 1,96 (ditetapkan) Zβ : Tingkat kekuatan 0,84 (ditetapkan) SD : Simpangan baku

X1-X2 : Perbandingan klinis yang ditetapkan

Berdasarkan rumus tersebut diperoleh SD = 4 dengan jumlah sampel n1 = n2 = 18

3.6. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.6.1. Kriteria Inklusi

a. Bersedia ikut dalam penelitian. b. Usia 17-50 tahun.

c. Status fisik ASA I-II. d. Operasi ekstremitas bawah. 3.6.2. Kriteria Ekslusi

a. Pasien menolak ikut serta dalam penelitian . b. Kontraindikasi anestesi spinal.

c. Pasien alergi dengan obat yang akan dilakukan penelitian. 3.6.3. Kriteria Drop Out

a. Tidak adanya blok motorik ataupun sensorik setelah penyuntikan yang pertama.

b. Pasien yang akan menjalani operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal >2 jam.


(50)

3.7. INFORMED CONSENT

Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik, penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaanya dalam lembar informed consent.

3.8. CARA KERJA

1. Setelah melakukan informed consent dan disetujui oleh komite etik semua sampel yang akan menjalani operasi masuk dalam kriteria inklusi.

2. Pasien yang telah terdaftar untuk rencana operasi terencana dan operasi emergensi dengan anestesi spinal, dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium darah rutin, kimia darah, elektrokardiogram, foto torax, dan bila ternyata masuk dalam kriteria inklusi maka penderita diberikan penjelasan.

3. Penderita diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian serta diminta untuk menandatangani surat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. Pasien tidak diberi premedikasi dan dianjurkan puasa selama 6 jam sebelum operasi.

4. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan randomisasi tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih. Random dilakukan dengan memakai cara randomisasi blok oleh relawan dengan memakai tabel angka random. Dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan untuk memulai penelitian. Kelompok A akan mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg, sedangkan kelompok B mendapat bupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang ditambah fentanyl 25 µg. Obat disiapkan


(51)

oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan pasien tidak mengetahui komposisi obat dalam amplop). Setelah melakukan randomisasi, obat tersebut diberikan ke peneliti dalam amplop putih. Obat disiapkan atas bantuan relawan I yang melakukan randomisasi (peneliti tidak mengetahui komposisi obat yang diberikan). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat, relawan I memberikan obat kepada relawan II untuk diberikan pada hari pelaksanaan penelitian.

a. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosis, rencana tindakan pembiusan dan akses infus (pastikan telah terpasang infus dengan abocath 18G, threeway, dan aliran infus lancar).

b. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi pada saat akan dilakukan penelitian.

c. Persiapan dengan cara:

• Kelompok A akan mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg. • Kelompok B mendapat bupivacaine hiperbarik 12,5 mg yang ditambah

fentanyl 25 µg.

d. Sebelum pasien memasuki kamar operasi, disiapkan mesin anestesi yang dihubungkan dengan sumber oksigen. Juga disiapkan set alat intubasi, Endotrakheal Tube (ETT), dan obat-obat gawat darurat injeksi seperti epinefrin, sulfas atrofin, efedrin, dan deksametason. Kemudian pasien dibawa memasuki kamar operasi, dipasang alat pemantau (monitoring)


(52)

pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi, dan laju nafas.

e. Kemudian pasien pada kedua kelompok diberikan preloding cairan Ringer Laktat sebanyak 10 ml/kgbb, 15 menit sebelum anestesi spinal.

f. Pasien diposisikan pada posisi Left Lateral Decubitus (LLD) atau duduk untuk dilakukan anestesi spinal. Setelah dilakukan anestesi, pasien diposisikan supine kembali.

g. Dilakukan penilaian mula kerja sensorik sampai torakal 10 (Th10) dengan pinprick (tusukan jarum). Setelah selesai pembedahan dinilai durasi kerja blok sensorik dan motorik pada jam ke 1 (T1), 2 (T2), 3 (T3), 4 (T4), 6 (T5), 9 (T6), 12 (T7), 18 (T8) dan 24 (T9) dengan VAS (Visual Analogue Scale) serta efek samping obat.

3.9. ALAT DAN BAHAN

3.9.1. Alat yang Digunakan

a. Alat monitor, EKG, tekanan darah non invasif otomatis (Dash/GE)

b. Abbocath 18G (Terumo ®)

c. Syringe 1 ml (Terumo ®)

d. Syringe 3 ml (Terumo ®)

e. Syringe 5 ml (Terumo ®)

f. Jarum spinal 25G (Terumo ®) g. Laringoskop set (Macinthos)


(53)

h. Pipa endotrakea sesuai ukuran (Rusch ®) i. Infus set (Terumo ®)

j. Pencatat waktu (Stopwatch) k. Alat tulis dan formulir penelitian 3.9.2. Bahan yang Digunakan

a. Cairan Ringer Laktat

b. Bupivacaine hiperbarik 0,5% (Marcaine heavy ®) c. Levoupivacaine hiperbarik 0,5% (Chirocain ®) d. Fentanyl 25 µg (Janssen Cilag®)

e. Efedrin

f. Sulfas Atropin g. Epinefrin

3.10. IDENTIFIKASI VARIABEL 3.10.1. Variabel Bebas

a. Bupivacaine hiperbarik 0,5% (Marcaine heavy ®) b. Levoupivacaine hiperbarik 0,5% (Chirocain ®) 3.10.2.Variabel Tergantung


(54)

3.11. DEFINISI OPERASIONAL

1. Levobupivacaine adalah obat anestesi lokal yang termasuk golongan amida (CONH-) yang memiliki atom karbon asimetrik dan isomer Levo (-). Levobupivacaine merupakan alternatif selain bupivacaine untuk anestesi spinal oleh karena obat ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik sensorik dan motorik yang sama serta recovery seperti bupivacaine.

2. Fentanyl adalah opioid sintetik derivat fenilpiperidin, agonis µ reseptor dan 100 kali lebih poten dari morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama sekali oleh Dr. Paul Jansen pada awal tahun 1960.

3. Fentanyl 25 µg adalah opioid yang diberikan intratekal sebagai tambahan anestesi spinal dengan tujuan mempercepat mula kerja obat anestesi lokal dan memperpanjang durasi kerja anestesi spinal.

4. Bupivacaine adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari asalnya. Nama kimia obat ini 1-butyl-N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine-2-carboxamide. Bersifat lebih kardiotoksik daripada levobupivacaine.

5. Levobupivacaine isobarik adalah levobupivacaine yang sudah tersedia dalam bentuk kemasan pabrik.

6. Dextrose 50% adalah sediaan dextrose 50% (50 gr/100cc) yang ditambahkan 0,48 ml ke levobupivacaine isobarilk 0,5% untuk membuat levobupivacaine isobarilk 0,5% menjadi hiperbarik seperti penelitian yang dilakaukan oleh Sanansilp V. dkk. (2012)30


(55)

7. Levobupivacaine hiperbarik adalah levobupivacaine isobarik yang ditambahkan dengan dekstrose 50% sejumlah 0,48 ml.

8. Barisitas adalah gravitasi spesifik suatu obat dibandingkan dengan CSF. Hiperbarik jika barisitas obat lebih besar daripada CSF dan dikatakan hipobarik jika sebaliknya.

9. Mula kerja obat adalah saat obat sudah mencapai blok sensorik (pinprick test) di level Th10.

10. ASA I adalah pasien yang akan menjalani operasi tidak ditemukan kelainan lain selain yang akan dioperasi.

11. ASA II adalah pasien yang akan menjalani operasi ditemukan kelainan sistemik ringan selain yang akan dioperasi.

12. Waktu 0 adalah sesaat setelah anestesi spinal. 13. Waktu 1 adalah waktu selesai pembedahan.

14. Durasi sensorik adalah saat pasien sudah mencapai mula kerja sensorik yang dinilai dengan rangsangan nyeri (pinprick test) Th10 sampai efek sensorik obat anestesi lokal berakhir saat pasien merasakan nyeri.

15. Waktu regresi dua segmen (two segmen regression) adalah waktu untuk mengukur durasi kerja dari spinal anestesi. Dihitung saat blok sensorik turun dari Th10 ke Th12 dihitung tiap 10 menit dengan menggunakan pinprick test 16. Efek samping obat adalah efek negatif yang muncul selama penggunaan obat,


(1)

(2)

3

LAMPIRAN 6

RANDOMISASI BLOK SAMPEL DAN DAFTAR SAMPEL

TABEL RANDOMISASI PASIEN

Nomor Sekuens

00-04

AAABBB

05-09

AABABB

10-14

AABBAB

15-19

AABBBA

20-24

ABAABB

25-29

ABABAB

30-34

ABABBA

35-39

ABBAAB

40-44

ABBABA

45-49

ABBBAA

50-54

BAAABB

55-59

BAABAB

60-64

BAABBB

65-69

BABAAB

70-74

BABABA

75-79

BABBAA

80-84

BBAAAB

85-89

BBAABA

90-94

BBABAA

95-99

BBBAAA

Kelompok A : Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg


(3)

(4)

LAMPIRAN 8

MASTER TABEL DATA PENELITIAN

No Nama Pasien Umur Jenis Kelamin MR

BB

(kg) Suku Kelompok Pekerjaan Diagnosa ASA Mula Kerja Anestesi

(mnt/ dtk)

Durasi Anestesi (mnt)

JLH (mnt) Durasi Operasi (jam/ mnt)

VAS pada jam (T)

Analgetik tambahan 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9

1. M. Sahril 46 Lk 55.76.60 60 Jawa B Wiraswasta

Chronic osteomyelitis o/t (R) femur

I 3 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 0 0 0 0 2 2 0

2.M. Ugeng

Pramana 34 Lk 60.20.78 65 Jawa A Wiraswasta

AVN (L) head

femur fx. II 1.15 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 200 1.50 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3. Irwansyah 45 Lk 61.89.26 60 Jawa A Wiraswasta Close (R) femur

fx. II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 175 1.15 0 1 1 1 1 1 1 1 1

4.Tiadur

Manurung 48 Lk 61.90.54 65 Batak A PNS

Close (R) femur

fx. II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 195 1.45 2 2 2 2 1 1 1 1 1

5. Ngatino 47 Lk 49.91.67 60 Jawa B Wiraswasta

Open (R) phalangs digiti III-IV fx.

II 2.15 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 185 1.45 0 1 1 1 1 2 1 2 2

6. Lintono 30 Lk 61.26.16 50 Jawa B Wiraswasta Raw Surface o/t

(L) pedis I 2.30 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 185 1.45 1 1 2 2 1 1 2 1 2

7. Satiami Hulu 26 Pr 61.88.12 75 Batak A Wiraswasta Ruptur tendon

(L) pedis II 1.15 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 200 1.30 0 1 1 1 2 2 1 1 1

8.Bunga Intan

Silalahi 43 Pr 61.65.70 60 Batak B IRT

Closed (R) Prox.

tibia fx. I 1 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 165 1.15 0 1 1 2 2 1 1 1 2

9. Rahmat 45 Lk 49.46.96 70 Jawa B Pegawai

swasta Union (L) cruris I 2 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 170 1.30 1 1 0 0 1 1 2 2 2

10.Esra Junius

Silalahi 33 Lk 61.78.63 60 Batak B

Pegawai

swasta (R) Femur fx. I 2 T10 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 185 1.55 2 2 1 3 3 4 2 2 2

Pemberian Fentanyl

60 µg 11.Mesrawati

Sihombing 28 Pr 61.22.92 65 Batak B

Pegawai swasta

Closed (L) tibia


(5)

14.Jamati Br

Bangun 30 Pr 57.88.65 50 Batak A IRT (L) Ankle Joint fx. I 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 200 1.30 0 0 0 1 1 1 1 2 2

15. Hermansyah 45 Lk 61.59.55 85 Jawa A Karyawan

Swasta

Open Knee

Debridement I 1.30 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 180 1.10 2 2 2 2 0 0 2 2 2

16. Sumarlin 34 Lk 61.90.56 65 Jawa B Wiraswasta Raw Surface o/t

(R)Pedis I 1.15 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 155 1.15 0 0 0 1 1 1 1 1 2

17. Zulalfi 46 Lk 61.65.14 70Melayu A Wiraswasta

Closed (L) Acetabulum fx. + open (L) Metacarpal fx.

II 1.20 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 215 1.55 0 0 0 1 1 1 1 2 0

18. Misran 40 Lk 61.70.03 70 Jawa A Wiraswasta Closed (L) Femur

fx. I 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 200 1.50 0 1 1 1 0 0 1 1 2

19. Nurfadila 38 Pr 60.50.59 30Melayu B Wiraswasta Pelvic

Simpisiolisis II 2 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 160 1.30 1 1 1 1 1 2 2 2 2

20. Sugito 54 Lk 61.59.75 80 Jawa B Wiraswasta

Closed (R) Femur fx.+ Closed Distal rad fx.

I 1.30 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 170 1.30 2 2 2 2 2 2 2 2 0

21. Anggiat 50 Lk 60.80.29 75 Batak B Wiraswasta Union (R ) Femur

fx. I 1 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 175 1.45 0 0 0 0 0 0 0 0 0

22. Dr Erwin 47 Lk 60.70.18 70 Batak A Pensiunan Closed (R) Prox.

femur fx. I 1.30 T10 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 170 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2

23. Irwansyah 45 Lk 61.89.26 80 Jawa A Wiraswasta Closed (R) Distal

tibia Fibula fx. II 1.30 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 190 1.30 2 2 2 2 1 1 1 1 1

24. Munarudin 48 Lk 60.89.52 70Melayu B PNS Closed (R) Distal

Tibia Fibula fx. I 1 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 185 1.45 0 0 0 0 0 0 0 0 0

25. Sri Juliana 26 Pr 61.81.24 45 Jawa B Wiraswasta Closed (R) femur

fx. I 1 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 0 1 1 1 1 1 2

26. Sucheri 50 Lk 61.54.44 75 Batak B Wiraswasta Pelvic fx.


(6)

27. Esra 26 Lk 61.78.63 70Melayu A PNS

Closed Subtro Chanter Femur fx.

II 2 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 215 1.45 0 0 0 0 0 0 1 2 2

28. Arapen 60 Lk 61.83.28 70 Batak A Wiraswasta Closed (L) Femur

fx. II 2 T10 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 190 1.30 2 2 2 1 1 1 1 1 1

29. Tiadur 45 Pr 61.30.30 55 Batak A IRT Closed (R )

Femur fx. II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 225 1.55 0 1 1 1 1 1 1 2 2

30. Satiami 41 Pr 61.75.78 60 Jawa B IRT Closed (L) Femur

fx. I 1 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 1 1 1 1 1 1 2

31. Arapen 50 Lk 61.62.40 70 Batak B Wiraswasta Closed (L) Femur

fx. I 1.15 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 0 0 0 1 1 2 2

32. Santun 50 Lk 61.45.48 75 Batak A Wiraswasta AVN head femur I 2 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 190 1.30 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33. Azmi 28 Lk 61.87.88 65Melayu B Wiraswasta Open MC III +

Ruptur Tendon I 1 T10 T11

T11 T12 T12 T12 T12 175 1.45 1 1 1 1 2 2 2 2 2

34. Dini Henita 26 Pr 61.59.79 29 Batak A Tidak

Bekerja

Pathologic open (L)femur fx. d/t Osteomyelitis

II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 225 1.55 0 1 1 1 1 1 1 2 1

35. Satiami 48 Pr 59.70.80 60 Batak A IRT Closed (R) femur

fx. I 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 185 1.15 0 0 0 1 1 0 1 2 2

36. Rizky 22 Lk 49.70.81 70Melayu B Wiraswasta Closed (R) femur

fx. II 1 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 1 1 0 0 1 2 2

37. Yusma 22 Lk 61.49.83 70 Batak A Wiraswasta

Open (R) Segmental Tibia fx.

II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 200 1.30 0 0 0 0 1 2 1 1 1

38. Saridin 36 Lk 61.90.20 80 Jawa B Wiraswasta Closed Prox Tibia

fx. I 2 T10 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 170 1.30 0 0 0 0 0 2 1 2 0

39. Dutinus 33 Lk 61.87.33 55 Batak A Wiraswasta Gunshot wounds

(L) femur I 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 215 1.45 0 1 1 1 1 1 1 1 2

40. Nasib 43 Lk 62.92.36 80 Batak A Supir Open (R) distal

tibia fibula fx. II 1 T10 T10 T11 T11 T11 T11 T12 T12 T12 T12 T12 T12 215 1.45 0 1 1 3 4 2 1 1 1

Pemberian Fentanyl


Dokumen yang terkait

Perbandingan Mula Kerja dan Lama Kerja Analgesia Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Meperidin 25 mg Pada Bedah Sesar dengan Anestesi Regional Subarakhnoid

5 109 145

Perbandingan Efek Penambahan Neostigmin Methylsulfate 25mg Dan 50mg Pada Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik 0,5% 15 Mg Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Efek Samping Mual Muntah Dengan Anestesi Spinal Operasi Ekstremitas Bawah

0 52 79

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

1 38 69

Perbandingan Efektivitas Penambahan 2 mg Midazolam dengan 25 g Fentanil pada 12,5 mg Bupivakain 0,5% Hiperbarik Secara Anestesi Spinal untuk Operasi Ortoped i Ekstremitas Bawah-Comparison of Effectivity between 2 mg Midazolam and 25 g Fentanyl Added to 12

0 0 16

UJI KLINIS PERBANDINGAN MULA SERTA KERJA ANTARA BUPIVAKAIN 0,5% 12,5 MG HIPERBARIK DAN ISOBARIK PADA ANESTESI SPINAL - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) Budi Wibowo Tesis

0 3 101

Perbandingan Anestesi Spinal Menggunakan Ropivakain Hiperbarik 13,5 mg dengan Ropivakain Isobarik 13,5 mg terhadap Mula dan Kerja Blokade Sensorik | Nainggolan | Jurnal Anestesi Perioperatif 232 929 1 PB

0 0 10

Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 20

BAB II TINAJUAN PUSTAKA 2.1. ANESTESI SPINAL 2.1.1. Sejarah Anestesi Spinal - Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG - Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 8

Perbandingan Efek Penambahan Neostigmin Methylsulfate 25mg Dan 50mg Pada Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik 0,5% 15 Mg Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Efek Samping Mual Muntah Dengan Anestesi Spinal Operasi Ekstremitas Bawah

0 0 14