Perbandingan Mula Kerja dan Lama Kerja Analgesia Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Meperidin 25 mg Pada Bedah Sesar dengan Anestesi Regional Subarakhnoid

(1)

PE R B A N D I N G A N M U L A KE R J A D A N L A MA K E R J A

ANALGESIA BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK 7,5 mg

DITAMBAH FENTANIL 25 mcg DENGAN BUPIVAKAIN 0,5%

HIPERBARIK 7,5 mg DITAMBAH MEPERIDIN 25mg PADA

BEDAH SESAR DENGAN ANESTESI REGIONAL

SUBARAKHNOID

OLEH :

dr. OLIVIA DES VINCA ALBAHANA NAPITUPULU

NIM : 097114018

TESIS

Penelitian ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Klinik – Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis

Anestesiologi dan Terapi Intensif

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

2014


(2)

PE R B A N D I N G A N M U L A KE R J A D A N L A MA K E R J A

ANALGESIA BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK 7,5 mg

DITAMBAH FENTANIL 25 mcg DENGAN BUPIVAKAIN 0,5%

HIPERBARIK 7,5 mg DITAMBAH MEPERIDIN 25mg PADA

BEDAH SESAR DENGAN ANESTESI REGIONAL

SUBARAKHNOID

TESIS

OLEH :

dr. Olivia Des Vinca Albahana Napitupulu PEMBIMBING I :

dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC PEMBIMBING II

dr.A.Sani P .Nasution, SpAn.KIC PEMBIMBING STATISTIK :

DR.dr. Arlinda, MKes

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

2014


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Seiring berjalannya waktu, seirama dengan bergantinya hari, tak terasa tahun demi tahun pun berlalu dan sampailah saya pada penghujung akhir dari pendidikan dan pelatihan yang saya jalani selama ini di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik, Medan.

Maka, dengan segala kerendahan hati dan rasa khusuk dengan memanjatkan puji syukur serta doa kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat, dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini, yang saya persembahkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan yang saya cintai dan banggakan.

Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasannya. Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat, dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang

“Perbandingan Mula Kerja dan Lama Kerja Analgesia Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Meperidin 25 mg Pada Bedah Sesar dengan

Anestesi Regional Subarakhnoid”.

Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula dari lubuk hati saya yang terdalam dengan diiringi rasa tulus hati dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi - tingginya kepada yang terhormat : dr.Hasanul Arifin, SpAn.KAP.KIC dan dr. A.Sani P.Nasution,SpAn KIC atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, serta DR.dr.Arlinda Sari Wahyuni, Mkes sebagai pembimbing


(6)

ii

statistik, yang walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah juga saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.DR.Dr.H.Syahril Pasaribu,DTM&H,Msc(CTM),Sp.A(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof.dr. Gontar Alamsyah Siregar,Sp.PD (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran USU Medan.

Yang terhormat Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan,Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO dan dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, terima kasih saya persembahkan oleh karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.

Yang terhormat guru-guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC ; dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO ; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO ; dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC ; DR. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA ; dr. Akhyar H nasution, SpAn. KAKV ; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP. KMN ; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC ; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP ; (Alm) dr. Nadi Zaini Bakri SpAn ; (Alm) dr. Muhammad AR, SpAn ; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn ; dr. Tumbur,


(7)

iii

SpAn ; dr. Walman Sihotang, SpAn; Mayor (CKM) dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn ; Kol.(CKM) Purn.dr.Tjahaya, SpAn, dr. Dadik W. Wijaya, SpAn ; dr. M. Ihsan, SpAn.KMN; dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV ; dr. Guido M. Solihin, SpAn, KAKV; dr. Rommy F. Nadeak, SpAn ; dan dr. Rr. Shinta Irina, SpAn, saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling dalam, atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien, serta pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Kiranya Tuhan memberkati guru-guru saya tercinta.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr.Pirngadi Medan, Karumkit Tkt II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan, Direktur RSU Sidikalang, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan, dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terima kasih.

Kepada para perawat / paramedis dan seluruh Karyawan / Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr.Pirngadi Medan, RS Haji Medan, Rumkit Tkt II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, khususnya dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, saya juga mengucapkan terimakasih yang setulusnya.

Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada yang mulia dan tercinta kedua orangtua saya, ayahanda; Drs.Rumonda Napitupulu,Apt dan ibunda ; Mala Rhodearny Estomihi br. Munthe, saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan, dan kemudian memberikan asuhan, bimbingan, pendidikan serta suri tauladan yang baik kepada saya sehingga saya


(8)

iv

dapat menjadi pribadi yang dewasa, berakhlak dan memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi badai terjang kehidupan ini sehingga saya dapat menjadi anak yang berbakti kepada orangtua, dan berguna bagi masyarakat,bangsa dan negara. Puji syukur serta doa saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya kedua orang tua saya tercinta diberikan limpahan berkat dan kebaikan.

Kepada kedua saudara kandung saya, yaitu kakak tertua saya Ulyma Adventsia Octafiola Napitupulu, ST,SPd, dan kepada adik saya yang juga sedang mengenyam pendidikan lanjutan S2 di Universitas Austria, Lady Daine Spencis Napitupulu,SPd, terima kasih tak terhingga dan setulusnya atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialis ini. Walaupun jarak, tempat dan waktu memisahkan kita namun kenangan berasama sedari kecil hingga dibesarkan tetap tersimpan didalam ingatan. Kiranya Tuhan memberkati segala tugas dan pekerjaan kalian berdua.

Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua (Alm) Terima Purba dan Ibu mertua (Alm) Adat Bangun yang juga telah mendukung dan memberikan doa dan restu untuk saya agar dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya yang setinggi-tingginya selama masa hidup mereka hingga tutup usia. Kiranya Tuhan memberi tempat yang layak di sisi Bapa di surga.

Kepada Suami yang sangat saya cintai dan kasihi, Mayor (CKM) dr. Immanuel Es Stevanus Purba, Sp.THT-KL yang selalu menyayangi saya,dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, inspirasi, waktu, motivasi dan semangat kepada saya, selama saya menjalani pendidikan. Meskipun jarak dan tempat memisahkan kami berdua untuk sementara waktu namun senantiasa dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Kami selalu berbagi kisah suka maupun duka bersama bahkan ketika saya harus menjalani masa-masa yang sulit dan berat sekalipun selama masa pendidikan ini, suami tercinta tetap ada dan selalu dengan penuh kesabaran mendampingi saya. Tiada kata yang lebih indah dan manis selain ungkapan cinta kasih saya yang setulus-tulusnya kepada suami tersayang, semoga cinta dan kasih kita abadi selamanya hingga akhir menutup mata.


(9)

v

Tak lupa pula saya mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar Munthe di Medan, yaitu opung saya tercinta (Alm) Brigjen TNI Purn Lahi Raja Munthe dan (Alm) Gustina br. Purba; Inang tua sekeluarga: Ir. Mariah Doriamah Munthe., Ir.Bycko Gultom,SE, dan anaknya Amaldo Galanganta Leon Gultom,ST; Inang uda sekeluarga: (Alm) Ir.Agriffa S.Kembaren, MSc., Mayda Angelina Kenedyana Munthe, SH, dan anak-anaknya Dupa Andhyka S.Kembaren, SH.,Sara Sulami Gabriella Efratnia S Kembaren,SS., Yemima Lois S Kembaren; Tulang sekeluarga : Madawesi Napoleon T Munthe,ST., Widiasnani, Amd.,dan anaknya Eunike Chairani Sukma Munthe yang turut mendukung mulai sejak saya mengenyam pendidikan dokter umum hingga saya menjalani pendidikan di bidang spesialis di Medan. Kiranya Tuhan memberkati dan memberi kelimpahan sukacita dan rezeki bagi kalian semua

Dan juga kepada Bibi uda, Alasan br.Bangun., Rendy Riano Bangun,SE., yang menemani saya di rumah selama saya menjalani masa pendidikan spesialis di Medan, dengan tenaga serta kekuatannya memberikan perhatian, dukungan, dan kasih sayang yang tulus ikhlas kepada saya selama saya menjalani masa pendidikan ini. Terimakasih dan penghargaan saya yang setulusnya, tidak akan saya lupakan kebaikan Bibi uda dan Rendy, kiranya Tuhan Yang Maha Esa tetap memberikan kesehatan dan kebaikan kepada kalian berdua.

Dan tak dapat dilupakan, secara khusus juga saya mengucapkan termakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada keluarga besar Bangun, khususnya kepada Bapak tengah, (Alm) Adil Bangun, yang telah banyak berperan serta dengan membuka jalan dan memberikan peluang serta kesempatan kepada saya untuk dapat mengikuti program pendidikan spesialis Anestesiologi dan Terapi Intesif dari program PPDS TUBEL DEPKES di Kabupaten Karo. Kiranya Tuhan memberi kelimpahan berkat.

Kepada yang tercinta teman-teman satu angkatan saya dalam penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran USU yaitu : dr.Rusdian Nurmadi, dr. Eko Waskito Wibowo, dr.Heru Kurniawan, dr.Junita Henriette Silaban,dr.Wulan Fadinie, dr. Andri Yunafri, dr.Ahmad Yafiz Hasby, dan dr.Kiki Prayogi, yang telah bersama-sama sejak


(10)

vi

mulai penerimaan masuk, berbagi dalam suka maupun duka, saling membantu dan bekerja sama sehingga telah terjalin rasa persaudaraan yang erat selama masa-masa pendidikan, tak lupa saya haturkan terima kasih, semoga teman-teman dapat meraih cita-cita yang teman-teman inginkan dengan penuh semangat dan doa.

Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama saya mengerjakan penelitian ini yaitu dr.Ester Lantika br Silaen SpAn., dr. Boyke, SpAn., dr. Christmas Bangun, SpAn., dr.Kulsum,SpAn., dr. Boynardo Simamora, SpAn., dr. Bastian Lubis, SpAn., dr. Vera Muharrami, SpAn., dr. Rudi Gunawan, SpAn, dr. Ariati Isabella Siahaan, dr. Yunita Dewani, dr. Anna Millizia, dr. Mufti Andri, dr. Benny Antoni, dr. Budi Silaban, dr.Primta Bangun, dr. Haryo Wibowo, dr. M.Izhar, dr.Hafniana, dr.Anjang Sari, dr. Fiza, dr. Fahmi, terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya menjalankan penelitian ini.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada pimpinan serta pegawai foto copy dan percetakan Biro Copy Special, Igna Fotocopy, RevisNet, di jalan Dr. Mansyur Medan, serta Toko Foteksindo, Carrefour Medan yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam memproses foto copy, pencetakan , penjilidan tugas dan karya ilmiah saya, yang juga membantu perbaikan kerusakan alat-alat printer dan komputer saya untuk kelancaran dalam saya menjalankan pendidikan spesialis.

Kepada seluruh rekan-rekan dan kerabat, handai taulan, keluarga besar Napitupulu, yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materiil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan banyak terima kasih.

Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat


(11)

vii

berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Medan, April 2014

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xiii

ABSTRACT ……… xv

ABSTRAK ……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ………. 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 7

1.3 Hipotesa ……… 7

1.4 Tujuan Penelitian ………... 7

1.4.1 Tujuan Umum ……… 7

1.4.2 Tujuan Khusus ……… 7

1.5 Manfaat ……….. 8

1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Akademik ………. 8

1.5.2 Maanfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat ………... 8

1.5.3 Maanfaat Dalam Bidang Penelitian ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

2.1 Anestesi Spinal Pada Bedah Sesar ………. 9

β.1.1 Anatomi Kolumna Vertebralis ……….. 12

2.2 Nyeri ……….. 14

2.2.1 Fisiologi Nyeri ……… 14

2.2.2 Klasifikasi Nyeri ……… 15

2.2.3 Mekanisme Nyeri ……… 17

2.2.3.1 Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut ……….. 17

2.2.3.2 Sensitisasi Perifer ……… 19

2.2.3.3 Sensitisasi Sentral dan Modulasi ………. 19

2.2.3.4 Nosiseptor ……… 20

2.2.4 Perjalanan Nyeri ………. 21

2.2.5 Penilaian Nyeri ……… 22

2.2.5.1 Skala Nyeri Verbal (Self Reported) ……….. 22

2.2.6 Penanganan Nyeri ……….... 25


(13)

ix

2.4 Bupivakain ……….. 32

2.4.1 Farmakologi ……….. 34

2.5 Intratekal ………. 35

2.5.1 Mekanisme Kerja Opioid ………. 36

2.5.2 Farmakodinamik dan Farmakokinetik Opioid ……… 37

2.5.3 Efek Samping Opioid ……….. 39

2.5.3.1 Pruritus ………. 39

2.5.3.2 Mual dan Muntah ………. 40

2.5.3.3 Depresi Pernafasan ……… 41

2.6 Fentanil ………. 42

2.6.1 Farmakokinetik ………. 43

2.6.2 Farmakodinamik ……… 43

2.6.3 Interaksi Obat ……….. 44

2.7 Meperidin ……….. 47

2.7.1 Farmakokinetik ………. 48

2.7.2 Farmakodinamik ……… 48

2.7.3 Interaksi Obat ………. 50

2.8 Kerangka Teori ……….. 52

2.9 Kerangka Konsep ………. 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 54

3.1 Desain Penelitian ……….. 54

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 54

3.2.1 Tempat ……….. 54

3.2.2 Waktu ……… 54

3.3 Populasi dan Sampel ……… 54

3.3.1 Populasi ……… 54

3.3.2 Sampel ………. 54

3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi, Putus Uji, Randomisasi ………. 55

3.4.1 Kriteria Inklusi ………. 55

3.4.2 Kriteria Ekslusi ……… 56

3.4.3 Kriteria Putus Uji ……….. 56

3.4.4 Randomisasi ……… 56

3.5 Alat, Bahan, dan Cara Kerja ……… 56

3.5.1 Alat ……….. 56

3.5.2 Bahan ……… 57

3.5.3 Cara Kerja ……… 57

3.6 Pengawasan dan Penanganan Efek Samping ……….. 61

3.7 Identifikasi Variabel ……… 62


(14)

x

3.7.2 Variabel Tergantung ……… 62

3.8 Batasan Operasional ……… 63

3.9 Rencana Manajemen dan Analisa Data ……….. 65

3.10 Masalah Etika ………... 65

3.11 Alur Penelitian ………. 67

BAB IV HASIL PENELITIAN ……….. 68

4.1 Karakteristik Umum ………. 68

4.2 Karakterisrik Nilai VAS Pre dan Post Operasi ……… 69

4.3 Karakteristik Mula Kerja Obat dan Durasi Analgesia ………. 70

4.4 Korelasi BMI dan Mula Kerja Obat ………. 72

4.5 Korelasi Lama Operasi dan Durasi Analgesia ……….. 73

4.6 Karakteristik Hemodinamik ………. 74

4.6.1 Pre-Operasi ……….. 74

4.6.2 Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal ……….. 75

4.7 Karakteristik Efek Samping: Hipotensi, Mual-Muntah, Prutitus Depresi Pernafasan ……….. 83

BAB V PEMBAHASAN ……….. 84

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……… 96

6.1 Kesimpulan ………... 96

6.2 Saran ………. 97

DAFTAR PUSTAKA ……… 98 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Ketinggian Blok Yang Perlu Dicapai Dalam Prosedur

Operasi ……… 11

Tabel 2 : Jenis Serabut Saraf Dan Sensitivitas Blokade ………. 28

Tabel 3 : Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Anestesi Lokal ……… 32

Tabel 4 : Karakteristik Farmakokinetik Opioid ………. 38

Tabel 5 : Klasifikasi dari Reseptor Opioid ………. 38

Tabel 6 : Distribusi Reseptor Opioid ……….. 39

Tabel 7 : Kriteria Aldrette ……….. 61

Tabel 8 : Karakteristik Umum, Berat Badan, Tinggi Badan, BMI, Kasus Emergensi/Elektif, PS ASA, Lama Operasi, Suku dan Tingkat Pendidikan ………. 68

Tabel 9 : Karakteristik Nilai VAS Pre dan Post Operasi …………... 70

Tabel 10 : Karakteristik Mula Kerja Obat dan Durasi Analgesia …… 71

Tabel 11 : Korelasi Spearman BMI Dengan Mula Kerja Obat Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg ………. 72

Tabel 12 : Korelasi Pearson BMI dengan Mula Kerja Obat Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin β5 mcg ……… 73

Tabel 13 : Korelasi Pearson BMI dengan Mula Kerja Obat Pada Seluruh Subjek Penelitian………. 73

Tabel 14 : Korelasi Spearman BMI Lama Operasi dan Durasi Analgesia Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil β5 mcg ………. 73


(16)

xii

Tabel 15 : Korelasi Spearman BMI Lama Operasi dan Durasi Analgesia Pada Kelompok yang Memperoleh Bupivakain

0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mcg ……… 74 Tabel 16 : Korelasi Pearson BMI Lama Operasi dan Durasi

Analgesia Pada Seluruh Subjek Penelitian ………... 74

Tabel 17 : Karakteristik Hemodinamik Pre-Operasi ………. 74 Tabel 18 : Efek Samping, Hipotensi Mual Muntah, Depresi


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Penampang Kolumna Vertebralis Manusia ……….. 13

Gambar 2 : Anatomi Vertebra Lumbal ……… 13

Gambar 3 : Anatomi Anestesi Spinal dan Lapisan Tulang Vertebra Saat Tindakan Anestesi Spinal ……….. 14

Gambar 4 : Mekanisme Nyeri ……….. 19

Gambar 5 : Perjalanan Nyeri ……… 21

Gambar 6 : Verbal Rating Scale ……….. 23

Gambar 7 : Visual Analogue Scale ……….. 24

Gambar 8 : Wong Baker Faces Pain Rating Scale ……….. 24

Gambar 9 : Numerical Rating Scale ... 25

Gambar 10 : Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal ……… 26

Gambar 11 : Struktur Molekul Bupivakain ……… 33

Gambar 12 : Mekanisme Aksi Opioid Terhadap Reseptor Opioid ……… 37

Gambar 13 : Efek Samping Penggunaan Opoid ……… 42

Gambar 14 : Rumusan Molekul Fentanil ……… 42

Gambar 15 : Rumusan Molekul Meperidin ………. 47

Gambar 16 : Grafik Histogram Perbedaan Mula Kerja Obat antara Kelompok A dan B ……… 73

Gambar 17 : Grafik Histogram Perbedaan Durasi Analgesia antara Kelompok A dan B ………. 73

Gambar 18 : Perbedaan TD Sistolik, Diastolik dan MAP Pada 3 Menit Pertama Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal Pada Dua Kelompok Studi ……… 77


(18)

xiv

Gambar 19 : Perbedaan TD Sistolik, Diastolik Dan MAP Pada 6 Menit Pertama Setelah Penyuntikan Anestesi Spinal Pada Dua Kelompok Studi ……… 78 Gambar 20 : Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Sistolik Pada

Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg dalam 15 menit pertama ………... 80 Gambar 21 : Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Diastolik Pada

Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh

Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg……… 80

Gambar 22 : Grafik Linier Perubahan MAP pada Kelompok Pasien Yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg………. 81

Gambar 23 : Grafik Linier Perubahan Nadi Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg ……… 81

Gambar 24 : Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Sistolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg Sesaat Anestesi

Spinal Mulai Akan Berakhir (60 Menit, 90 Menit,120 Menit).. 83

Gambar 25 : Grafik Linier Perubahan Tekanan Darah Diastolik Pada Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg Sesaat Anestesi Spinal Mulai Akan Berakhir (60 Menit, 90 Menit,120 Menit).. 83 Gambar 26 : Grafik Linier Perubahan MAP Pada Kelompok Pasien

yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Fentanil 25 mcg dan Kelompok Pasien yang Memperoleh Bupivakain 0,5% 7,5 mg + Petidin 25 mg Sesaat Anestesi Spinal Mulai Akan Berakhir (60 Menit, 90 Menit,120 Menit)……… 84


(19)

ABSTRACT

Background : Spinal anaesthesia is the best choice in cesarean section because general anaesthesia has a mortality rate amolst seventeen time higher. But, the hypotension following spinal anaesthesia still remains common place in caesarean delivery. The combination of reduced dose of local anaesthesia with intratechal opioids makes it possible to achieve adequate spinal anaesthesia with minimum hypotension. The synergistic effects between local anaesthesia with intratechal opioids could be used to improve quality of intraoperative analgesia and also provide postoperative pain relief for longer duration, less frequent hypotension while incurring adequate spinal anesthesia for caesarean section.

Objective: to obtain alternative rasemic medicine of regional anaesthesia in caesarean delivery and to investigate the onset of action and duration analgesia between the addition of opioid intratechal Fentanyl 25 mcg or Meperidine 25 mg with 7,5 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric to achieve the good quality of anaesthesia, longer duration analgesia and minimum side effects.

Methods : A randomized double blind clinical control trial was designed to examine this study. After obtaining approval from the Ethics Committee Faculty of Medicine North Sumatera University Medan, 60 study samples were collected, parturient women, age 20-40 yrs old, ASA physical status I-II that underwent elective and emergency caesarean surgery with spinal anesthesia. Samples were divided into two groups randomly, each sample was 30 subjects. Group A was given 7,5 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric plus Fentanyl 25 mcg, while group B was given 75 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric plus Meperidine 25 mg. Onset of action, duration analgesia and side effects drugs were recorded in this study. T Independent, Mann Whitney, Chi Square Test, Kolmogorov Smirnov, Exact Fisher Test was used to analyze the results with the 95% significance level (p <0.05, statistically significant).

Results: We found that were significantly different statistically in the onset of action from Fentanyl group: 169,17 ±51,09 sec than Meperidine group: 246 ±70,64 sec . The duration of analgesia also significantly different statistically (A:113 ±19,1 mnt vs B: 170,9 mnt ±37,98 mnt). Side effect of hypotension, nausea-vomiting, pruritus, and respiratory distress were not significantly different statistically.

Conclusion: We conclude that Fentanyl 25 mcg added to 7,5 mg Bupivacaine 0,5% hyperbaric provided faster onset of action but Meperidine 25 mg added to 7,5 mg SBupivacaine 0,5% hyperbaric has longer duration. The combination groups opioid to local anaesthetic can prolong the duration of sensory spinal block, increasing the duration of analgesia without increasing the duration of motor block, does not cause any significant side effects and provides stable haemodynamics conditions without fetal or maternal compromise.

Key Words : Spinal Anaesthesia, Opioid intratechal, Low Dose Bupivacaine Hyperbaric, Onset Of Action, Duration Analgesia, Quality Anaesthesia.


(20)

ABSTRAK

Latar Belakang: Anestesi spinal adalah pilihan anesestesi yang terbaik pada operasi bedah sesar oleh karena angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum hampir 17 kali lebih tinggi. Namun, hipotensi akibat tindakan anestesi spinal masih menjadi masalah yang selalu dijumpai selama bedah sesar. Penggunaan kombinasi antara pengurangan dosis obat anestesi lokal dengan opioid intratekal memungkinkan untuk memperoleh anestesi spinal yang adekuat dengan kejadian hipotensi yang minimal. Efek sinergistik antara obat anestesi lokal dengan opioid intratekal dapat meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga pemulihan nyeri pasca operasi yang lebih lama, dan berkurangnya frekuensi hipotensi pada bedah sesar selama anestesi spinal masih berlangsung.

Tujuan: Untuk mendapatkan alternatif rasemik obat anestesi regional pada bedah sesar serta untuk meneliti mula kerja dan lama kerja analgesia antara 7,5 mg Bupivakain 0,5% hiperbarik dengan penambahan intratekal opioid Fentanil 25 mcg atau Meperidin 25 mg, sehingga memperoleh hasil kualitas anestesi yang lebih baik, lama kerja analgesia yang lebih lama dan minimal efek samping.

Metode : Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Medan, dikumpulkan 60 sampel penelitian, perempuan hamil,usia 20-40 tahun, PS-ASA I-II yang akan dilakukan bedah sesar elektif dan emergensi dengan menggunakan teknik anestesi spinal. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari 30 sampel. Kelompok A mendapat 7,5 mg Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Fentanil 25 mcg dan kelompok B Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Meperidin 25 mg. Data hasil penelitian diuji dengan uji-T-Independent, uji Mann-Whitney, Chi-kuadrat, Kolmogorov Smirnov, Uji Exact Fischer dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05, dikatakan bermakna secara statistik).

Hasil : Kami menjumpai adanya perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap mula kerja obat kelompok Fentanil 169,17 ±51,09 dtk dibandingkan kelompok Meperidin 25 mg 246 ±70,64 dtk. Lama kerja analgesia juga berbeda bermakna secara statistik antara kedua kelompok (A:113 ±19,1 mnt vs B:170,9 mnt ±37,98 mnt). Efek samping hipotensi, mual muntah, pruritus dan depresi nafas tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.

Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa mula kerja kelompok Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg lebih cepat dan Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Meperidin 25 mg memiliki lama kerja analgesia yang lebih panjang. Kombinasi kedua kelompok obat tersebut dapat memperpanjang durasi sensorik blok spinal, meningkatkan durasi analgesia tanpa meningkatkan durasi blok motorik, tidak menimbulkan efek samping yang bermakna dan memberikan kondisi hemodinamik yang stabil tanpa kondisi yang membahayakan bagi ibu dan bayi.

Kata Kunci : Anastesi Spinal, Intratekal Opioid , Dosis Rendah Bupivakain, Mula Kerja, Durasi Analgesia, Kualitas Anastesi.


(21)

ABSTRACT

Background : Spinal anaesthesia is the best choice in cesarean section because general anaesthesia has a mortality rate amolst seventeen time higher. But, the hypotension following spinal anaesthesia still remains common place in caesarean delivery. The combination of reduced dose of local anaesthesia with intratechal opioids makes it possible to achieve adequate spinal anaesthesia with minimum hypotension. The synergistic effects between local anaesthesia with intratechal opioids could be used to improve quality of intraoperative analgesia and also provide postoperative pain relief for longer duration, less frequent hypotension while incurring adequate spinal anesthesia for caesarean section.

Objective: to obtain alternative rasemic medicine of regional anaesthesia in caesarean delivery and to investigate the onset of action and duration analgesia between the addition of opioid intratechal Fentanyl 25 mcg or Meperidine 25 mg with 7,5 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric to achieve the good quality of anaesthesia, longer duration analgesia and minimum side effects.

Methods : A randomized double blind clinical control trial was designed to examine this study. After obtaining approval from the Ethics Committee Faculty of Medicine North Sumatera University Medan, 60 study samples were collected, parturient women, age 20-40 yrs old, ASA physical status I-II that underwent elective and emergency caesarean surgery with spinal anesthesia. Samples were divided into two groups randomly, each sample was 30 subjects. Group A was given 7,5 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric plus Fentanyl 25 mcg, while group B was given 75 mg of Bupivacaine 0,5% hyperbaric plus Meperidine 25 mg. Onset of action, duration analgesia and side effects drugs were recorded in this study. T Independent, Mann Whitney, Chi Square Test, Kolmogorov Smirnov, Exact Fisher Test was used to analyze the results with the 95% significance level (p <0.05, statistically significant).

Results: We found that were significantly different statistically in the onset of action from Fentanyl group: 169,17 ±51,09 sec than Meperidine group: 246 ±70,64 sec . The duration of analgesia also significantly different statistically (A:113 ±19,1 mnt vs B: 170,9 mnt ±37,98 mnt). Side effect of hypotension, nausea-vomiting, pruritus, and respiratory distress were not significantly different statistically.

Conclusion: We conclude that Fentanyl 25 mcg added to 7,5 mg Bupivacaine 0,5% hyperbaric provided faster onset of action but Meperidine 25 mg added to 7,5 mg SBupivacaine 0,5% hyperbaric has longer duration. The combination groups opioid to local anaesthetic can prolong the duration of sensory spinal block, increasing the duration of analgesia without increasing the duration of motor block, does not cause any significant side effects and provides stable haemodynamics conditions without fetal or maternal compromise.

Key Words : Spinal Anaesthesia, Opioid intratechal, Low Dose Bupivacaine Hyperbaric, Onset Of Action, Duration Analgesia, Quality Anaesthesia.


(22)

ABSTRAK

Latar Belakang: Anestesi spinal adalah pilihan anesestesi yang terbaik pada operasi bedah sesar oleh karena angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum hampir 17 kali lebih tinggi. Namun, hipotensi akibat tindakan anestesi spinal masih menjadi masalah yang selalu dijumpai selama bedah sesar. Penggunaan kombinasi antara pengurangan dosis obat anestesi lokal dengan opioid intratekal memungkinkan untuk memperoleh anestesi spinal yang adekuat dengan kejadian hipotensi yang minimal. Efek sinergistik antara obat anestesi lokal dengan opioid intratekal dapat meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga pemulihan nyeri pasca operasi yang lebih lama, dan berkurangnya frekuensi hipotensi pada bedah sesar selama anestesi spinal masih berlangsung.

Tujuan: Untuk mendapatkan alternatif rasemik obat anestesi regional pada bedah sesar serta untuk meneliti mula kerja dan lama kerja analgesia antara 7,5 mg Bupivakain 0,5% hiperbarik dengan penambahan intratekal opioid Fentanil 25 mcg atau Meperidin 25 mg, sehingga memperoleh hasil kualitas anestesi yang lebih baik, lama kerja analgesia yang lebih lama dan minimal efek samping.

Metode : Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Medan, dikumpulkan 60 sampel penelitian, perempuan hamil,usia 20-40 tahun, PS-ASA I-II yang akan dilakukan bedah sesar elektif dan emergensi dengan menggunakan teknik anestesi spinal. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari 30 sampel. Kelompok A mendapat 7,5 mg Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Fentanil 25 mcg dan kelompok B Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Meperidin 25 mg. Data hasil penelitian diuji dengan uji-T-Independent, uji Mann-Whitney, Chi-kuadrat, Kolmogorov Smirnov, Uji Exact Fischer dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05, dikatakan bermakna secara statistik).

Hasil : Kami menjumpai adanya perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap mula kerja obat kelompok Fentanil 169,17 ±51,09 dtk dibandingkan kelompok Meperidin 25 mg 246 ±70,64 dtk. Lama kerja analgesia juga berbeda bermakna secara statistik antara kedua kelompok (A:113 ±19,1 mnt vs B:170,9 mnt ±37,98 mnt). Efek samping hipotensi, mual muntah, pruritus dan depresi nafas tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.

Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa mula kerja kelompok Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg lebih cepat dan Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Meperidin 25 mg memiliki lama kerja analgesia yang lebih panjang. Kombinasi kedua kelompok obat tersebut dapat memperpanjang durasi sensorik blok spinal, meningkatkan durasi analgesia tanpa meningkatkan durasi blok motorik, tidak menimbulkan efek samping yang bermakna dan memberikan kondisi hemodinamik yang stabil tanpa kondisi yang membahayakan bagi ibu dan bayi.

Kata Kunci : Anastesi Spinal, Intratekal Opioid , Dosis Rendah Bupivakain, Mula Kerja, Durasi Analgesia, Kualitas Anastesi.


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pemilihan teknik anestesi untuk bedah sesar, para ahli anestesi akan memilih cara yang dianggap aman dan nyaman untuk ibu, minimal depresi napas pada neonatus, dan memberikan kondisi kerja yang optimal untuk ahli obstetrik selama pembedahan. Teknik anestesi regional telah menjadi pilihan untuk anestesi bedah sesar oleh karena memenuhi semua kriteria tersebut.1

Pemilihan dan penggunaan teknik anestesi regional pada bedah sesar dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun telah mengalami peningkatan yang sangat pesat seiring semakin menurunnya teknik anestesi umum 2,3 Menurut data di Inggris penggunaan anestesi regional dari tahun 1979-1990 untuk kasus bedah sesar elektif menunjukkan 94,9% kasus sedangkan untuk kasus emergensi bedah sesar adalah sebesar 86,7%, dan rata-rata penggunaan anestesi regional untuk kasus bedah sesar elektif meningkat dari 69,4% di tahun 1992 hingga mencapai 94,9% di tahun 2002, dimana teknik anestesi regional subarakhnoid (spinal) dominan digunakan pada 86,6% kasus.3,4 Pada penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Hawkins dkk pada tahun 1997 telah menunjukkan penurunan penggunaan teknik anestesi umum dari 35% di tahun 1981 menjadi 12% pada tahun 1992.5 Tsen dkk dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penggunaan teknik anestesi umum turun dari 7,2% di tahun 1990 menjadi 3,6% di tahun 1995.6 Alasan utama penurunan tersebut yaitu bahwa teknik anestesi regional lebih aman daripada teknik anestesi umum untuk kebanyakan ibu hamil yang akan menjalani bedah sesar, oleh karena tingginya risiko komplikasi jalan napas pada anestesi umum, khususnya saat dilakukan tindakan intubasi, dengan angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum hampir 17 kali lebih tinggi dibandingkan setelah penggunaan anestesi regional.7,8,9,10

Penggunaan teknik anestesi spinal telah mulai dikerjakan sejak Augustus Bier memperkenalkan teknik anestesi spinal pada tahun 1899 oleh karena murah,


(24)

2

relatif mudah dikerjakan dengan angka keberhasilan yang tinggi, dan efektif. 11,12 Keuntungan lain anestesi regional sebagai pilihan saat ini adalah mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat, blok saraf sensorik dan motorik yang baik, sedikitnya risiko aspirasi pneumonitis, manajemen nyeri pasca operasi serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat kelahiran bayinya.8,13,14

Pada awalnya obat anestesi lokal yang populer digunakan adalah Lidokain (1945) dengan mula kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat (60-75 menit). Namun, Lidokain kini telah mulai ditinggalkan oleh karena mempunyai resiko Transient Neurologic Symptoms (TNS) yang lebih tinggi, sehingga mendorong para klinisi untuk mencari obat anestesi lokal lain untuk anestesi spinal yang lebih baik dari Lidokain.15,16,17

Idealnya obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan adalah yang memiliki mula kerja yang cepat, mempunyai blokade motorik dan sensorik yang adekuat, tidak neurotoksik dan pemulihan blok motorik yang cepat pada pasca operasi sehingga mengurangi waktu untuk keluar dari ruang pemulihan.2,18,19,20

Pada masa kini, obat anestesi lokal secara intratekal yang lebih sering digunakan untuk bedah sesar adalah Bupivakain hiperbarik, selain memberikan kualitas blokade yang baik, juga sesuai untuk lama kerja operasi bedah sesar dan penyebarannya yang ke arah sefalad akan menimbulkan analgesia sesuai dengan yang diharapkan. Bupivakain adalah anestesi lokal golongan amida, yang memiliki potensi yang tinggi, dengan mula kerja 5- 10 menit, lama kerja antara 90-120 menit, dengan dosis yang biasa digunakan untuk bedah sesar adalah 12-15 mg.13,21.22

Bedah sesar memerlukan traksi pada peritoneum dan sentuhan hingga ke organ intra-peritoneal yang menimbulkan sensasi nyeri visceral selama tindakan operasi. Semakin tinggi dosis Bupivakain maka insidens nyeri visceral selama operasi dapat berkurang, namun pada beberapa penelitian, apabila digunakan dosis sebesar 12-15 mg Bupivakain pada operasi bedah sesar didapatkan angka kejadian hipotensi yang tinggi hingga mencapai hampir 90%, hal ini dikarenakan terjadinya hambatan blokade simpatis yang tinggi. 13,19,23


(25)

3

Chung dkk pada penelitiannya dengan menggunakan 12 mg Bupivakain hiperbarik 0,5% mendapatkan insiden hipotensi sebesar 80%. 24 Sedangkan pada penelitian Siddik-Sayyid dkk dengan 12 mg Bupivakain hiperbarik 0,75% mendapatkan hipotensi sebesar 87%.25 Bryson dkk mendapatkan insiden hipotensi yang lebih dari 70%.20 Bogra, Suwardi,dan Kang (12,5 mg Bupivakain hiperbarik 0,5%) mendapatkan insiden hipotensi sebesar 50%, 46%, dan 20%.26-28

Anestesi spinal dengan obat anestesi lokal tunggal dianggap masih kurang lama dalam pemanjangan lama kerja blokade, dan bila diberikan tunggal dengan dosis yang tinggi akan menimbulkan efek samping hipotensi yang besar serta risiko toksisitas sistemiknya yang lebih tinggi. Oleh karena itu, akhir-akhir ini banyak dilakukan penelitian terhadap penggunaan dosis rendah obat anestesi lokal yang bertujuan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, berkurangnya efek hipotensi, menghindari efek blokade yang tinggi, dan meningkatkan kenyamanan ibu. Namun, bila dosis yang digunakan semakin kecil maka akan dapat berpengaruh terhadap kualitas blok sensorik dan lama kerja anestesi spinal. Berbagai usaha telah dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas dan memperpanjang lama kerja anestesi spinal, salah satunya adalah dengan menambahkan obat-obatan adjuvan pada anestesi lokal, diantaranya yaitu menambahkan opioid secara intratekal. 2,18-20,29-37

Opioid yang ditambahkan pada obat anestesi lokal pertama kali diperkenalkan secara klinis oleh Wang, pada tahun 1976, dengan mempergunakan Morfin intratekal pada delapan pasien yang didiagnosa kanker pada daerah genitourinaria, dan sejak saat itu intratekal opioid dipergunakan untuk menghilangkan nyeri. Intratekal opioid atau disebut juga spinal opioid, adalah memasukkan obat opioid dan mengkombinasikannya dengan obat anestesi lokal ke dalam ruang spinal dengan ditandai keluarnya cairan spinal. Opioid intratekal akan menghasilkan blok nyeri yang selektif tanpa menghambat simpatis. Pemberian opioid secara intratekal sebagai adjuvan diberikan dalam dosis kecil karena apabila memakai dosis yang besar maka efek sampingnya akan lebih banyak. 12,18,21,38


(26)

4

Penelitian Ginosar dkk mengemukakan bahwa dosis rendah Bupivakain hiperbarik yang dapat digunakan ketika ditambahkan dengan opioid adalah bekisar antara 6-12 mg. Pada penelitian tersebut terbukti bahwa penambahan opioid intratekal yang bersinergi dengan anestetik lokal akan menambah intensitas blok sensorik tanpa meningkatkan resiko blok simpatis sehingga kombinasi tersebut akan memungkinkan pencapaian blok anestesi meskipun dengan dosis anestesi lokal yang kurang adekuat. Penelitian terhadap binatang juga telah menunjukkan adanya sinergisme antara penambahan opioid intratekal pada obat anestesi lokal terhadap nyeri nosiseptik visceral maupun somatik Fentanil adalah opioid lipofilik yang banyak digunakan dan mudah didapat.39

Telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat efek Bupivakain dosis rendah dengan penambahan Fentanil yang bertujuan untuk mengurangi efek samping hipotensi pasca spinal anestesi, menambah efek analgesia intra operatif serta meningkatkan kualitas analgesi pasca operasi.

Penelitian pertama kali dilakukan oleh Hunt dkk, tahun 1989, dengan membandingkan efek dari penambahan Fentanil intratekal pada Bupivakain hiperbarik dengan dosis yang berbeda, antara 6,25-50 mcg, untuk operasi bedah sesar, terbukti bahwa dengan penambahan opioid Fentanil intratekal 6,25 mcg dapat meningkatkan periode analgesia perioperatif saat anestesi spinal, tetapi tidak mempengaruhi onset blok sensorik dan motorik. 40

Menurut Belzarena, tahun 1992, penambahan dosis rendah Fentanil (0,25 mcg/kg) akan memberikan analgesia intraoperatif yang sangat baik dengan analgesia pasca operasi yang singkat dan minimal efek samping. Sedangkan jika dosis Fentanil ditingkatkan (0,5-0,7 mcg/kg) maka analgesia pasca operasi akan menjadi lebih lama, tetapi akan terjadi perubahan terhadap respirasi. 41

Pada penelitian yang dilakukan Dahlgren dkk, tahun 1997, mendapatkan bahwa dosis 12,5-25 mcg Fentanil intratekal pada Bupivakain hiperbarik akan menurunkan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh tarikan peritoneum dan manipulasi uterus selama tindakan bedah sesar dibandingkan dengan plasebo. Dalam hal ini terbukti bahwa kombinasi Fentanil intratekal dan Bupivakain


(27)

5

hiperbarik dapat meningkatkan analgesia intraoperatif dibandingkan hanya pemberian Bupivakain hiperbarik saja.42

Bahkan pada penelitian Ben David dkk, 2000 dengan penambahan

Fentanil β5 g intratekal pada Bupivakain isobarik 5 mg saat anestesi spinal membuktikan bahwa insidensi hipotensi dapat menurun sebanyak 31%, meskipun dalam literatur dikatakan bahwa efek samping hipotensi pada kehamilan tanpa komplikasi akibat anestesi spinal dilaporkan sebanyak 94% dan tidak ada intervensi yang dapat mencegah ikutan hipotensi secara sempurna.43

Tolia dkk,2008, meneliti penambahan Fentanil intratekal 10 µg pada ketiga dosis rendah Bupivakain 0,5% hiperbarik yang berbeda , yaitu 11 mg, 9 mg, 7,5 mg dengan teknik anestesi spinal untuk bedah sesar terhadap mula kerja hingga mencapai level Th5-6 lebih cepat pada kelompok 7,5 mg yaitu 2,84 ±0,86

menit, bila dibandingkan kelompok 11 mg (2,88± 0,50 menit) dan kelompok 9 mg (3,04±0,92 menit), dengan lama kerja anestesi yang juga lebih cepat pada kelompok 7,5 mg (147,35±22,82 menit) dibanding kelompok 11 mg (159,60±17,71 menit), dan 9 mg (151,42±17,08 menit). Efek hipotensi yang minimal juga diperoleh kelompok yang menggunakan dosis 7,5 mg Bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah Fentanil 10 µg (8%), dan bahkan pada kelompok tersebut tidak dijumpai efek samping mual, muntah dan menggigil.18

Di Indonesia telah dilakukan penelitian oleh Bintartho dkk, tahun 2010,

menunjukkan bahwa anestesi spinal pada bedah sesar yang menggunakan 7,5 mg Bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah Fentanil 25 mcg lebih efektif bila dibandingkan Bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg., menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat, menghasilkan rerata waktu yang tidak berbeda bermakna secara statistik dengan nilai p < 0,05 dibandingkan kelompok tanpa Fentanil untuk mencapai level blokade sensorik setinggi dermatom Th6 (3,94 ±1,4

menit vs 3,55 ±1,17 menit), memiliki hemodinamik yang lebih stabil (dengan angka kejadian hipotensi yang rendah 24,1%), tidak menimbulkan depresi pernafasan intraoperatif, serta efek samping yang minimal..44

Selain Fentanil, opioid lain yang juga dapat digunakan pada anestesi spinal adalah Meperidin atau yang lebih dikenal dengan Meperidin. Salah satu alasan


(28)

6

utama mengapa Meperidin dipilih sebagai salah satu agen opioid yang juga banyak digunakan pada anestesi spinal adalah karena Meperidin memiliki lama kerja kerjanya yang lama, memberikan efek analgesia segera pasca operasi yang baik, dan dengan biaya yang terjangkau.

Beberapa penelitian tentang penggunaan Meperidin intratekal dalam bedah sesar juga telah banyak dilakukan antara lain : Kafle dari Nepal, tahun 1993, melakukan penelitian tentang penggunaan Meperidin 5% dengan dosis 1 mg/kg BB secara intratekal dibandingkan dengan Lidokain heavy 5%. Didapatkan hasil rata-rata lama kerja analgesia pasca operasi pada kelompok Meperidin lebih panjang, yaitu selama 6 jam apabila dibandingkan dengan kelompok Lidokain yang hanya berlama kerja 1 jam.45

Pada penelitian di Korea oleh Cheun dkk, tahun 1999, membuktikan bahwa Meperidin dapat digunakan sebagai agen tunggal secara intratekal pada operasi bedah sesar dengan hemodinamik yang cukup stabil, dan pemanjangan lama kerja analgesi (453,7±158,1 menit) dan waktu pemulihan motorik yang cepat (75,9±17,2 menit).46

Penelitian di China oleh Yu dkk, tahun 2002, yaitu penambahan Bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg dengan Meperidin 10 mg intratekal dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan Bupivakain 05% hiperbarik 2 ml ditambah normal salin 0,2 ml, terbukti dapat memperpanjang lama kerja analgesia pasca operasi, yaitu 234 menit pada kelompok Meperidin vs 125 menit pada kelompok salin. 47

Penelitian di Turkey oleh Atalay dkk, tahun 2010, membuktikan bahwa waktu yang diperlukan oleh obat anestesi lokal plain Bupivakain 5 mg dengan penambahan Meperidin 25 mg untuk dapat mencapai level sensorik setinggi Th-4 adalah 7,0±1,7 menit dengan lama kerja analgesia 295,0 ±23,0 menit, dan terbukti kombinasi keduanya menghasilkan hemodinamik yang cukup stabil, minimal efek samping, tanpa mengurangi kualitas anestesi dan pembedahan, serta ketidaknyamanan pasien. 48

Mengingat bahwa di lapangan, terbatasnya ketersediaan obat Fentanil di daerah perifer, dengan biaya Fentanil yang cenderung lebih mahal, maka peneliti


(29)

7

tertarik untuk membandingkan efek terhadap penambahan adjuvan opiod intratekal yang berbeda dari Fentanil yaitu menggunakan Meperidin dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan Fentanil, yang sama-sama ditambahkan pada Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg pada anestesi spinal untuk operasi bedah sesar dengan membandingkan mula kerja kedua obat tersebut dan lama kerja analgesianya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti utuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai rumusan masalah sebagai berikut :

“Apakah terdapat perbedaan mula kerja dan lama kerja analgesia antara Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg dan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25 mg pada bedah sesar dengan

anestesi regional subarakhnoid. “

1.3 Hipotesa

Ada perbedaan mula kerja dan lama kerja analgesia antara Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg dan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25 mg pada bedah sesar dengan anestesi regional subarakhnoid.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum :

mendapatkan alternatif rasemik obat anestesi regional subarakhnoid dengan mula kerja cepat dan lama kerja yang panjang.

1.4.2 Tujuan Khusus :

1. Mendapatkan mula kerja obat Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg

2. Mendapatkan lama kerja analgesia obat Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg.


(30)

8

3. Mendapatkan mula kerja obat Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25mg.

4. Mendapatkan lama kerja analgesia obat Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25mg.

5. Membandingkan mula dan lama kerja analgesia Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah 25 mcg Fentanil dengan Meperidin 25 mg. 6. Membandingkan efek samping hipotensi, mual muntah, pruritus dan depresi nafas intraoperatif yang ditimbulkan oleh penggunaan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg ditambah 25 mcg Fentanil dengan Meperidin 25 mg.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Akademik

Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan meningkatkan perkembangan ilmu anestesi regional dengan memberikan tambahan informasi mengenai mula dan lama kerja analgesia dari penggunaan kombinasi Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah Meperidin 25 mg dengan penambahan Fentanil 25 mcg pada bedah sesar dengan teknik regional subarakhnoid.

1.5.2 Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat

Penambahan Meperidin 25 mg pada Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5mg dapat digunakan sebagai alternatif pilihan obat adjuvan selain dengan penambahan Fentanil 25 mcg pada bedah sesar dengan teknik regional subarakhnoid.

1.5.3 Manfaat Dalam Bidang Penelitian

Dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya dengan membandingkan obat-obat adjuvan lainnya pada anestesi spinal.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal pada Bedah Sesar

Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya

“memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia

atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan sekarat demi menyelamatkan calon bayinya. Secara definisi seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi melalui insisi abdominal (laparatomi) dan dinding uterus (histereotomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen.49 Berdasar kamus kedoteran Dorland, 2002, bedah sesar merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin.

Pemilihan teknik anestesi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah sesar adalah anestesi yang aman dan nyaman bagi ibu tanpa menyebabkan menurunnya kondisi janin dan bayi yang akan dilahirkan, oleh karena pemilihan teknik anestesi memegang peranan sekitar 3-12% dari angka kematian ibu melahirkan.49,50 Pada saat ini, teknik regional anestesi yang paling sering digunakan oleh ahli anestesi selama bedah sesar adalah dengan menggunakan teknik anestesi regional subarakhnoid (anestesi spinal). Hal ini dilatarbelakangi oleh karena tingginya angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum, yaitu hampir 17 kali lebih tinggi dibandingkan setelah penggunaan anestesi regional dengan risiko komplikasi jalan napas pada anestesi umum, gagal intubasi, gagal ventilasi-oksigenasi dan atau terjadinya aspirasi.7,8,9

Menurut sejarah teknik spinal anestesi pertama kali dikemukakan oleh J.Leonard Corning pada tahun 1885. Beliau adalah seorang ahli saraf di New York yang melakukan eksperimen dengan menyuntikkan kokain ke dalam ruang subarakhnoid pada saraf tulang belakang anjing. Kemudian perkembangan teknik anestesi spinal yang digunakan untuk operasi pada manusia yang pertama kali


(32)

10

dilakukan oleh seorang pria berkebangsaan Jerman bernama Agust Bier (1861-1949) pada tanggal 16 Agustus 1898, di Kiel, bersama asistennya Hildebrandt. Obat anestesi yang digunakannya pada masa itu adalah 3 ml larutan kokain 0,5% pada enam orang pasien, berusia 34 tahun. Setelah menggunakannya pada 6 pasien, ia dan asistennya masing-masing menyuntikkan kokain ke dalam tulang belakang pasien yang lain. Karena kefektivitasan anestesi spinal maka mereka merekomendasikan anestesi spinal untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya tidak menggunakan lagi anestesi spinal karena toksisitas kokain.Sampai saat ini Agustus Bier dikenal sebagai Bapak Spinal Anestesi.12,54-56

Selanjutnya pada tahun 1900, Kreis, menggunakan teknik spinal ini untuk menghilangkan nyeri persalinan sedangkan Tuffer mencoba pada 63 pasien operasi dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat dilakukan histerektomi.12

Anestesi spinal disebut juga spinal analgesia atau sub-arachnoid nerve block oleh karena memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruangan subarakhnoid untuk menghasilkan blok saraf yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris, dan otonom yang bersifat reversibel. Penyuntikan obat anestesi lokal biasanya dilakukan di daerah lumbal pada tingkat di bawah medula spinalis berakhir (L2), pada L3 – L4 atau L2 – L3, bisa dengan posisi duduk ataupun

miring.27,54,58,63,67

Ada beberapa keuntungan dari tindakan anestesi spinal sehingga menjadi pilihan yaitu merupakan teknik yang sederhana, relatif mudah dikerjakan dengan angka keberhasilan yang tinggi, mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat, blok saraf sensorik dan motorik yang baik, risiko toksisitas anestesi lokal yang rendah, tidak meningkatkan risiko pada janin yaitu bayi yang lahir tidak tersedasi selama tidak menerima anestesi melalui sirkulasi uteroplasenta, dapat sebagai manajemen nyeri pasca operasi serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat kelahiran bayinya sehingga dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Selain itu keuntungan anestesi spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar adalah jalan nafas tetap paten dan risiko aspirasi lambung yang menyebabkan pneumonitis lebih kecil. 3,7-9,13,20,49


(33)

11

Namun, anestesi spinal juga memiliki kekurangan dalam hal kestabilan hemodinamik, yaitu hipotensi yang tetap menjadi permasalahan tersendiri. Kerugian lain adalah efek anestesia yang tidak dapat diperpanjang jika waktu operasi memanjang, analgesia pasca operasi harus ditambahkan dengan obat analgetika lain jika diberikan suntikan obat anestesi lokal secara tunggal.8,18,19,44,55

Anestesi spinal pada ibu hamil yang menjalani bedah sesar memerlukan dosis obat anestesi lokal yang lebih sedikit untuk mendapatkan ketinggian blok yang cukup bila dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan sensitifitas sel saraf terhadap anestesi lokal, penurunan jumlah cairan serebrospinal, dan efek dari uterus gravid terhadap penyebaran obat intratekal ke arah sefalad. 213,27,49

Tindakan bedah sesar merupakan tindakan dengan lama kerja operasi yang tidak lama. Dimitrov dkk, dalam penelitiannya menyatakan rerata total lama kerja prosedur bedah sesar adalah 44,3 menit. Lama kerja operasi juga turut berperan dalam menentukan pemilihan jenis dan jumlah obat. 61

Pada bedah sesar, ketinggian blokade analgesia untuk menghasilkan bebas nyeri selama tindakan bedah sesar yang diperlukan adalah setinggi Th6 (batas

bawah sternum). Hal ini dapat dicapai dengan 2-2,5 ml (10-12,5 mg) larutan Bupivakain 0,5% hiperbarik ataupun isobarik. 2,13,49,57,63


(34)

12

Sarvela menganjurkan dosis Bupivakain sebesar 9 mg untuk tindakan bedah sesar, sedangkan Ginosar untuk mencapai ketinggian blok setinggi T6 pada ibu hamil diperlukan dosis anestesi lokal Bupivakain sebesar 6,7 – 11 mg (dengan penambahan Fentanil 10 mcg) dan di Indonesia, Bintartho telah meneliti efektivitas Bupivakain 0,5% hiperbarik dengan dosis 7,5 mg pada ibu hamil yang akan dilakuan tindakan bedah sesar.39,44,65

2.1.1 Anatomi Kolumna Vertebralis

Sebagai seorang ahli anestesi perlunya memahami pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis oleh karena merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal serta perlunya pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal ke dalam cairan serebrospinal dan level analgesia yang diperlukan untuk menjaga keamana tindakan anestesi spinal.

Area tulang belakang manusia atau yang disebut kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 (lima) segmen yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus, yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-kelompok syaraf. Kolumna vertebralis memiliki empat lengkungan yaitu daeah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah torakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3 sedangkan yang terendah L5.58,66,67

Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah daerah torakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah Pelebaran servikal berasal dari serabut-serabut syaraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut syaraf dalam pleksus lumbosakralis. Adanya hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dengan korpus vertebralis serta tulang belakang memiliki arti penting dalam klinik agar dapat menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan. .58,66,67


(35)

13

Gambar 1. Penampang Kolumna Vertebralis Manusia

Ada beberapa lapisan yang harus ditembus sebelum mencapai ruang subarakhnoid; lapisan tersebut dari luar yaitu : kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum, dan duramater. Arakhnoid letaknya berada diantara duramater dan piamater serta mengikuti otak hingga ke medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang subarakhnoid. .58,66,67


(36)

14

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinalis. Ruang subarakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal pada daerah L1-L2. Secara anatomi anestesi spinal dilakukan pada L3-L4 atau L2-L3 oleh karena daerah lumbal adalah daerah yang paling besar jarak ligamentum intraspinosumnya sehingga memungkinkan bagi seorang dokter anestesi untuk melakukan tindakan anestesi spinal. .58,66,67

Gambar 3. Anatomi Anestesi Spinal dan Lapisan Tulang Vertebra Saat Tindakan Anestesi Spinal58

2.2. Nyeri

2.2.1 Fisiologi Nyeri

Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain

(IASP 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri, bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes


(37)

15

laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi. Individualisme rasa nyeri ini sulit diinterpertasikan secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung.68-71,75

Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya

harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.71,74-75

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak nyeri akan menimbulkan respon stress metabolik yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien, sehingga akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti :71-73,75

 Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa.

 Perubahan neurohormonal : hiperalgesia perifer, peningkatan sensitifitas luka.

 Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme.

 Peningkatan aktivitas simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi.

2.2.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasakan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan kronik. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena adanya kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau organ dalam (viscera). Biasanya bersifat nosiseptif. Merupakan bentuk nyeri


(38)

16

yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, pasca operasi, dan nyeri obstetrik. Kebanyakan nyeri akut bersifat terbatas atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk sembuh karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih dari 3 bulan atau 6 bulan dari sejak mulai merasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptif atau neuropatik, ataupun gabungan keduanya. 71 Definisi lain yang mengatakan nyeri kronik adalah nyeri yang dialami selama waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu.71,74,75

Berdasarkan asalnya nyeri dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyeri somatik nyeri visceral, dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik berasal dari kulit yang disebut nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivitas nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatik termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang. Nyeri viscera disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ viscera yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang tidak adekuat. Nyeri viscera juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam, biasanya dideskripsikan sebagai nyeri tumpul dan sukar dialokasikan dan bisa menyebar ke tempat lain, misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun perifer. Tertembak , sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contoh nyeri neuropati adalah neuralgia post herpetic dan neuropati diabetik.74,75


(39)

17

2.2.3 Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar , yaitui adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cidera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan, sebaliknya nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf. 75-77

Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. 75-77Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat pebaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cidera elektif (misalnya : pembedahan), cidera karena trauma, dan perlunya penatalaksanaa aktif harus dilakukan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.75,76

Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksius atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional).75,77

2.2.3.1 Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut

Secara klinis nyeri dapat diberi label “ nosiseptif” jika melibatkan nyeri

yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensitisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi


(40)

18

normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.75-77

Nyeri pembedahan akan mengalami dua perubahan, pertama adalah akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, bradikinin, substansi P dan lekotrien) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri dan akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis. 74-77

Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tract spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. 75,77

Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.75


(41)

19

Gambar 4. Mekanisme Nyeri87

2.2.3.2 Sensitisasi Perifer

Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer.71,72,74,75,77

2.2.3.3 Sensitisasi Sentral dan Modulasi

Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan sinaps transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medula spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input yang intensif dari nosiseptor ke medula spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir selama waktu stimulus noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari saraf yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas yang bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan hipersensitivitas terhadap nyeri.71,72,74,75,77


(42)

20

2.2.3.4 Nosiseptor

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, visceral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noksious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri. 75,77

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit. 75,77

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor visceral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur visceralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme visceralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini


(43)

21

biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.75,77

2.2.4 Perjalanan Nyeri75,77,79

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya 3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini

dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.


(44)

22

2.2.5 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang di masa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (missal, depresi,takut, cemas), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misalnya mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator. 69,71,75

2.2.5.1 Skala Nyeri Verbal (Self Reported)

Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan

“10” menandakan nyeri yang hebat.

a. Verbal Rating Scale. 69,71,72,82

Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :


(45)

23

• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya • 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya • β = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya

• γ = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih atau menangis

Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan.

Gambar 6. Verbal Rating Scale

b. Visual Analogue Scale 72,80,81

Skala yang pertama kali ditemukan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan suatu garis lurus yang panjangnya 10 cm (atau 100 mm), di mana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat, dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya. Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.

Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, secara metodologis kualitanya lebih baik, penggunaanya relatif mudah karena hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga telah melakukan uji pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS > 4


(46)

24

dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga memerukan obat analgesik (rescue analgesic).

Gambar 7. Visual Analogue Scale

c. Wong Baker Faces Pain Scale 72,80,81

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman menangis karena kesakitan hingga wajah senyuman menandakan tidak sakit. Skala ini berguna bagi pasien dengan gangguan komunikasi,kesulitan dan keterbatasan verbal, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pasien yang tidak mengeri dengan bahasa lokal setempat. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.

Gambar 8.Wong Baker Faces Pain Rating Scale

d. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan


(47)

25

angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. 72,82

Gambar 9. Numerical Rating Scale

2.2.6 Penanganan Nyeri71,73.75

Penanganan nyeri pasca pembedahan yang efektif haruslah mengetahui patofisiologi dan pain pathway , sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga diperlukan perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi dan psikoterapi).

Modalitas analgetik pasca pembedahan termasuk di dalamnya analgesik oral , parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.71,75

2.3 Obat Anestesi Lokal

Obat anestesi lokal adalah obat yang bersifat basa lemah, biasa digunakan pada saat anestesi spinal dan merupakan senyawa amino organik. Potensi suatu obat anestesi lokal berhubungan dengan kelarutannya dalam lemak dan kemampuan obat anestesi lokal untuk memasuki daerah yang hidrofobik.17,83

Secara garis besar obat anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu golongan ester dan golongan amida. Ikatan ester memiliki sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan.17,55,83


(1)

Efek samping

Hipotensi : a. Ya Tekanan darah : mmHg Terapi : b. Tidak

Mual-muntah : a.Ya Detik ke : :

b.Tidak Terapi :

Depresi Nafas : a.Ya Detik ke :

b.Tidak Terapi :

Pruritus : a.Ya Detik ke :

b.Tidak Terapi :

Data Bayi

Nilai APGAR menit pertama : Nilai APGAR menit kelima:

Jenis kelamin :

BB Lahir : gram


(2)

KETERANGAN

Penilaian test pinprick berdasar kriteria Hollmens Derajat Definisi

Derajat 1 Tusukan jarum pinprick dirasakan sebagai tusukan jarum tetapi lebih lemah dibandingkan dengan tusukan pada daerah yang sama pada ekstremitas atas

Derajat 2 Tusukan jarum pinprick dirasakan sebagai tusukan benda tumpul.

Derajat 3 Tidak ada persepsi tusukan.

Penilaian blokade motorik dengan Skala Bromage Grade Definisi

0 Gerak tungkai bawah bebas

1 Tidak mau angkat tungkai bawah, lutut dapat diangkat 2 Tidak mampu angkat lutut, hanya dapat menggerakkan kaki 3 Tidak mampu bergerak sama sekali


(3)

(4)

7. Tabel Angka Random

Kelompok A : Bupivakain 0,5% 7,5 mg ditambah Fentanil 25 mcg Kelompok B : Bupivakain 0,5% 7,5 mg ditambah Meperidin 25 mg.

Ujung pena dimulai dari nomer : 98

Selanjutnya berurut ke samping dengan ketentuan bila angka terakhir genap dianggap sebagai AB bila ganjil dianggap sebagai BA, dan disusun berurut hingga berjumlah 60.


(5)

8. Daftar Pasien

No Kelompok Nama No Kelompok Nama

1 A Ny. GSS 31 B Ny. PM

2 B Ny.WH 32 A Ny.R L

3 B Ny. RB 33 B Ny. NMM

4 A Ny. MNS 34 A Ny. NAS

5 A Ny. TR 35 B Ny. DL

6 B Ny. A 36 A Ny.KNS

7 A Ny. ALT 37 B Ny. SKD

8 B Ny. NM 38 A Ny. NA

9 B Ny.NS 39 A Ny. DV

10 A Ny. SR 40 B Ny. RD

11 B Ny. MD 41 A Ny. SW

12 A Ny. HM 42 B Ny. JTP

13 A Ny.E 43 B Ny. RMT

14 B Ny. EJS 44 A Ny. ELP

15 A Ny. NS 45 A Ny. LA

16 B Ny. VS 46 B Ny. SS

17 B Ny. K 47 A Ny. A

18 A Ny. DB 48 B Ny. F

19 B Ny. N 49 A Ny. KS

20 A Ny. AL 50 B Ny. P

21 A Ny. R 51 B Ny. RS

22 B Ny. PFHL 52 A Ny. HSL

23 A Ny. EY 53 B Ny. LK

24 B Ny. CDR 54 A Ny. DS

25 A Ny. S 55 B Ny. S

26 B Ny. FA 56 A Ny. RA

27 A Ny.RA 57 B Ny. DR

28 B Ny. YIN 58 A Ny. R

29 A Ny.H F 59 A Ny. L


(6)

9. Anggaran

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian

1. Bahan dan peralatan penelitian

Spinocan 25 60 x Rp 50.000,- = Rp 3.000.000,-

Bupivacain (Marcain@) 60 x Rp 80.000,- = Rp 4.800.000,- Fentanil (Fentanyl@) 30 x Rp 50.000,- = Rp 1.500.000,- Meperidin (Petidin@) 30 x Rp 17.000,- = Rp 510.000,-

Ephedrine HCl 60 x Rp 20.000,- = Rp 1.200.000,-

Sulfas Atropin 60 x Rp. 1000,- = Rp 60.000,-

Stop watch 1x Rp. 185.000,- = Rp 185.000,-

Spuit 3 cc (Terumo@) 60x Rp.5000,- = Rp. 300.00,-

Pengadaan literatur = Rp 500.000,-

2. Seminar usulan penelitian

Pengadaan bahan untuk diskusi sebelum seminar = Rp 100.000,- Pengadaan bahan seminar 20 x Rp 20.000,- = Rp 400.000,- 3. Seminar hasil penelitian

Pengadaan bahan 20 x Rp 25.000,- = Rp 500.000,- 4. Pembacaan tesis

Konsumsi tesis 60 x Rp 25.000,- = Rp 1.500.000,-

Cetak tesis 60 x Rp 25.000,- = Rp 1.500.000,-

Subtotal = Rp 16.055.000,-

5. Biaya tak terduga (10% subtotal) = Rp 1.605.500,-


Dokumen yang terkait

Perbandingan efek analgesia dan kejadian hipotensi akibat anestesia spinal pada operasi bedah sesar dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg dan 15 mg

0 88 157

Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di RSUP. H. Adam Malik Medan

3 119 93

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

1 38 69

Perbandingan Efektivitas Penambahan 2 mg Midazolam dengan 25 g Fentanil pada 12,5 mg Bupivakain 0,5% Hiperbarik Secara Anestesi Spinal untuk Operasi Ortoped i Ekstremitas Bawah-Comparison of Effectivity between 2 mg Midazolam and 25 g Fentanyl Added to 12

0 0 16

UJI KLINIS PERBANDINGAN MULA SERTA KERJA ANTARA BUPIVAKAIN 0,5% 12,5 MG HIPERBARIK DAN ISOBARIK PADA ANESTESI SPINAL - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) Budi Wibowo Tesis

0 3 101

Perbandingan Kombinasi Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5% Isobarik dan Fentanil terhadap Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal | Okatria | Jurnal Anestesi Perioperatif 820 303

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 REGIONAL ANESTESIA - Perbandingan efek analgesia dan kejadian hipotensi akibat anestesia spinal pada operasi bedah sesar dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg dan 15 mg

0 0 48

Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 20

BAB II TINAJUAN PUSTAKA 2.1. ANESTESI SPINAL 2.1.1. Sejarah Anestesi Spinal - Perbandingan Mula Dan Durasi Kerja Levobupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg Dan Bupivacaine Hiperbarik 12,5 Mg + Fentanyl 25 μg Pada Anestesi Spinal Untuk Operasi Ekstremitas Bawah Di

0 0 22

PERBANDINGAN LAMA ANALGESIA BUPIVAKAIN HIPERBARIK + MORFIN INTRATEKAL DENGAN BUPIVAKAIN HIPERBARIK + NaCl INTRATEKAL PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL - Repository UNRAM

0 0 12