Biological Control of Helopeltis sp., the Major Pest of Acacia crassicarpa Tree Plantation with Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii

UPAYA PENGENDALIAN HAYATI Helopeltis sp., HAMA
PENTING TANAMAN Acacia crassicarpa DENGAN
CENDAWAN Beauveria bassiana DAN Lecanicillium lecanii

SRI HASTUTI ANGGARAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Upaya
Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia
crassicarpa dengan Cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014

Sri Hastuti Anggarawati
NIM A351100011

RINGKASAN
SRI HASTUTI ANGGARAWATI. Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp.,
Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan Beauveria
bassiana dan Lecanicillium lecanii. Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO dan
RULY ANWAR
Helopeltis sp. merupakan salah satu hama penting pada tanaman teh, kakao,
dan jambu mete. Saat ini, Helopeltis sp. dilaporkan menyerang sebagian tegakan
Acacia crassicarpa di Sumatra and Kalimantan. Untuk lahan tanaman yang luas,
rendahnya biaya pengendalian seperti penggunaan cendawan entomopatogen
dipilih karena mudah dalam perbanyakan dalam skala besar. Informasi mengenai
biologi Helopeltis sp. pada berbagai komoditas pertanian khususnya tanaman teh
sudah cukup banyak, tetapi sangat sedikit pada tanaman kehutanan. Penelitian ini
akan berkontribusi tentang data biologi Helopeltis sp. pada akasia. Tujuan dari

penelitian ini juga untuk mengukur keefektifan cendawan Beauveria bassiana dan
Lecanicillium lecanii terhadap hama Helopeltis sp.
Cendawan yang digunakan dalam penelitian berasal dari Laboratorium
Patologi Serangga IPB. Serangga uji, Helopeltis sp. diperoleh dari perkebunan teh
Gunung Mas dan perkebunan kakao Sukamantri IPB.Serangga dipelihara dan
diperbanyak di laboratorium. Limabelas pasang imago Helopeltis sp. ditempatkan
dalam limabelas sungkup plastik (Ф 20 cm, t 35 cm) yang berisi tanaman akasia.
Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui lama periode praoviposisi,
oviposisi, dan lama masing-masing stadia serangga sampai serangga mati. Tiga
jenis inang Helopeltis sp. yaitu pucuk teh, pucuk akasia, dan buah kakao,
ditempatkan dalam wadah plastik (Ф 35 cm, t 25 cm). Preferensi serangga
terhadap pemilihan inang diamati selama 5 jam setelah nimfa dimasukkan.
Persentase pemilihan inang dihitung berdasarkan jumlah kehadiran Helopeltis sp.
pada tanaman inang. Preferensi peletakan telur diamati selama tiga hari setelah
sepasang imago Helopeltis sp. dimasukkan.
Empat tingkat kerapatan konidia, 109, 108, 107, 106 konidia/ mL diaplikasikan pada imago Helopeltis sp. (B. bassiana) dan nimfa instar ke-3 (L. lecanii).
Kematian harian diamati sampai hari ke-7 setelah perlakuan.
Imago ♀ Helopeltis sp.mampu meletakkan 13-23 telur sekali perkawinan.
Stadia telur berlangsung selama 7-11 hari, nimfa instar ke-1 sampai dengan instar
ke-5 masing-masing selama 2, 3, 4, 3, 3 hari, stadia imago selama 12-18 hari.

Helopeltis sp. lebih memilih mendatangi pucuk teh (20%) daripada buah kakao
(14%) dan pucuk akasia (10.33%). Helopeltis sp.lebih memilih meletakkan telur
pada buah kakao (133 telur), daripada pucuk teh (91 telur) dan pucuk akasia (30
telur).
B. bassiana pada kerapatan 106 konidia/ mL menyebabkan kematian imago
Helopeltis sp. sebesar 81.25%, sementara pada kerapatan 108 konidia/ mL,
menyebabkan 100% kematian Helopeltis sp. pada hari ke-5 HSP. Nilai LC50 dari
B. bassiana sebesar 3.2 x 104 konidia/ mL pada hari ke-4 HSP. Nilai LT50 berkisar
4.2 hari pada kerapatan 106 konidia/ mL. L. lecanii pada kerapatan 106 konidia/
mL menyebabkan kematian nimfa instar ke-3 Helopeltis sp. sebesar 96.25% pada
pengamatan hari ke-6 HSP dengan nilai LC50 pada hari ke-2 HSP sebesar 1.03 x
106 konidia/ mL, LT50 berkisar 1.2 hari dan LT95 berkisar 5.3 hari pada kerapatan

106 konidia/mL. Kedua jenis cendawan yang digunakan dalam pengujian ini
efektif mengendalikan Helopeltis sp.
Kata kunci: Beauveria bassiana, biologi, Helopeltis sp., kerapatan, konidia,
Lecanicillium lecanii, mortalitas, preferensi.

SUMMARY
SRI HASTUTI ANGGARAWATI. Biological Control of Helopeltis sp., the

Major Pest of Acacia crassicarpa Tree Plantation with Entomopathogenic Fungi
Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii. Supervised by TEGUH SANTOSO
and RULY ANWAR
Helopeltis sp. have been known as one of major pests on tea, cacao and
cashew plantation. Recently, Helopeltis sp. have been also reported attack Acacia
crassicarpa plantation in Sumatra and Kalimantan. For such extensive plantation,
low cost biocontrol agents such as entomopathogenic fungi are choosen because
of the simplicity for mass production. The information about biology of Helopeltis
sp. in agricultural commodities especially tea plantation is quite common.
However, it is very few reported in forest plantation. The research will contribute
the data on biology of Helopeltis sp. in acacia plantation. The objective of this
study was also to measure the effectiveness of Beauveria bassiana and
Lecanicillium lecanii as biocontrol agent against Helopeltis sp.
Both fungi that were used in this study were obtained from IPB Insect
Pathology Laboratory. The tested insect, Helopeltis sp. was collected from
Gunung Mas tea plantation and kakao plantation, University Farm IPB
Sukamantri. The insects were reared in laboratory. Fifteen pairs of adult
Helopeltis sp. were placed in fifteen plastic cages (Ф 20 cm, h 35 cm) with young
acacia plant. Praoviposition, oviposition, and each stadia period were observed
every day until the insect died. Three hosts of Helopeltis sp.; tea shoot, acacia

shoot, and cacao pod,were placed in plastic container (Ф 35 cm, h 25 cm).
Preference host test was observed during 5 hours after introduction of the nymph
into container. Insect preference for egg laying was observed during 3 days after
one pair of adult Helopeltis sp. have been entered.
Four levels of conidial density, 109, 108, 107, 106 conidia/ mL were applied
to adult Helopeltis sp. (B. bassiana) and 3rd instar nymph (L. lecanii). Daily
mortality was observed until seven days post treatment. The result showed that
female Helopeltis sp. produced 13-23 eggs after mating, egg stadia was 9 days, 1st
– 5th instar nymph were 2, 3, 4, 3, 3 days.The adult stadia was approximately 15
days. Helopeltis sp. prefered to attend tea shoot (20%) greater than cacao pod
(14%) and acacia shoot (10.33%). Helopeltis sp. prefered to lay eggs in cacao pod
(133 eggs), rather than tea shoot (91 eggs) and acacia shoot (30 eggs).
B. bassiana at 106 conidia/ mL density caused 81.25% mortality of adult
Helopeltis sp., while 100% mortality at five days observation could be attained by
using 108 conidia/ mL. The LC50 of B. bassiana was 3.2 x 104 conidia/ mL, at four
days observation and LT50 was 4.214 days at 106 conidia/ mL. On the other hand,
L. lecanii at 106 conidia/ mL caused 96.25% mortality of 3rd instar nymph of
Helopeltis sp. at six days observation with the LC50 value at two days observation
was 1.03 x 106 conidia/ mL, LT50 was 1.198 days and LT95 was 5.25 days. The
results of these study showed that two fungi were effective against Helopeltis sp.

in this bio assay.
Keywords: Beauveria bassiana, biology, conidia,density,Helopeltis sp.,
Lecanicillium lecanii, mortality,preference.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

UPAYA PENGENDALIAN HAYATI Helopeltis sp., HAMA
PENTING TANAMAN Acacia crassicarpa DENGAN
CENDAWAN Beauveria bassiana DAN Lecanicillium lecanii

SRI HASTUTI ANGGARAWATI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir I Wayan Winasa, MS

Judul Tesis

Nama
NIM

: Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting
Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan

Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii.
: Sri Hastuti Anggarawati
: A351100011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Teguh Santoso, DEA
Ketua

Dr Ir Ruly Anwar, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Pudjianto, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 Februari 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 – Oktober
2013 ini ialah pengendalian hayati, dengan judul Upaya Pengendalian Hayati
Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan
Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA dan Dr.
Ir. Ruly Anwar, MSi selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan,
bimbingan, dan perbaikan selama proses penyusunan tesis. Ucapan terimakasih
juga disampaikan kepada Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS yang telah banyak
memberikan saran dan motivasi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan

kepada keluarga besar Laboratorium Patologi Serangga Fakultas Pertanian IPB
dan keluarga besar Laboratorium Hama Hutan Fakultas Kehutanan IPB atas
bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian ini berlangsung.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Budi Saputro, SP.
atas cinta, kasih sayang, pengorbanan dan motivasinya, putra tersayang Faris
Althaf Annaufal, bapak Sohiran dan ibu Ngatiyem tersayang atas cinta, kasih
sayang dan pengorbanannya, serta kakak dan adik atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Sri Hastuti Anggarawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Perumusan MasalahPenelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Helopeltis sp.
Preferensi Serangga
Cendawan entomopatogen
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
Lecanicillium lecanii (Zimmermann) Viegas
Pengendalian Hayati Hama Helopeltis sp.

5
5
7
8
9
10
10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Serangga dan Cendawan Uji
Perbanyakan Serangga Uji
Cendawan Uji
Penyiapan Suspensi Cendawan Entomopatogen untuk Pengujian
Metode Penelitian
Biologi Hama Helopeltis sp. pada Tanaman Akasia
Preferensi pemilihan Helopeltis sp. pada tiga jenis inang
Preferensi peneluran Helopeltis sp. pada tiga jenis inang
Keefektifan Cendawan B. bassiana dan L. lecanii
Analisis Data

11
11
11
11
11
12
12
12
13
14
14
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Hidup Helopeltis sp. pada Tanaman Acacia crassicarpa
Preferensi Kedatangan Helopeltis sp.
Preferensi Peneluran Helopeltis sp.
Keefektifan B. bassiana terhadap Serangga Hama Helopeltis sp.
Keefektifan L. lecanii terhadap Serangga Hama Helopeltis sp.

15
15
17
19
21
23

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

27
27
27

DAFTAR PUSTAKA

28

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1 Siklus hidup Helopeltis sp. pada tanaman Acacia crassicarpa
2 Persentase kedatangan Helopeltis sp. pada inang selama 5 jam dalam 20
kali pengamatan
3 Preferensi peneluran serangga Helopeltis sp. pada inang
4 Persentase mortalitas kumulatif harian nimfa Helopeltis sp. yang
terinfeksi cendawan B. bassiana pada berbagai kerapatan konidia
5 Persentase mortalitas kumulatif harian imago Helopeltis sp. yang
terinfeksi cendawan L. lecanii pada berbagai kerapatan konidia
6 Nilai LC50, LT50, dan LT95 cendawan B. bassiana dan L. lecanii
terhadap Helopeltis sp.

15
18
19
21
23
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Skema perumusan masalah penelitian
Model kurungan plastik untuk pengamatan biologi Helopeltis sp.
Perlakuan preferensi serangga
Tanda serangan Helopeltis sp. pada pucuk A. crassicarpa berupa bercak
coklat pada daun dan pucuk menjadi layu
Bercak nekrotik yang disebabkan oleh Helopeltis sp.
Telur Helopeltis sp. di dalam jaringan
Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp.
yang terinfeksi cendawan B. bassina pada hari kedua pengamatan
Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp.
yang terinfeksi cendawan L. lecanii pada hari keempat pengamatan
Konidia cendawan B. bassiana dan L. lecanii

4
13
13
16
18
20
22
24
25

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar tegakannya
merupakan jenis pohon komersial yang cepat tumbuh. Pada umumnya,
pengembangan jenis pohon yang cepat tumbuh diusahakan oleh perusahan hutan
tanaman industri (HTI) dalam bentuk tegakan-tegakan monokultur. Acacia
crassicapa (A.Cunn ex Benth) merupakan spesies pohon yang menjanjikan untuk
dikembangkan di daerah tropis, dan merupakan jenis pohon yang paling cepat
tumbuh dibandingkan spesies akasia lainnya (A. mangium, A. auriculiformis, A.
aulacocapa) (Eldoma dan Awang 1999). Adanya tegakan monokultur tersebut,
berpotensi mendatangkan masalah hama. Pada tahun 1988 terdapat laporan
adanya serangan hama Helopeltis sp. pada tanaman kehutanan yaitu Eucalyptus
(Husaeni et al. 1988), tegakan akasia di Malaysia (Hamid 1987 dalam Nair dan
Sumardi 2000), dan di Filipina (Luego 1990 dalam Nair dan Sumardi 2000).
Serangan tersebut menyebabkan kerusakan tanaman akasia umur 6–18 bulan di
Sumatra bagian utara dan bagian tengah (Wylie et al. 1998 dalam Nair dan
Sumardi 2000) dan saat ini dilaporkan bahwa serangga ini telah menyerang
sebagian tegakan A. crassicarpa di Kalimantan. Serangan Helopeltis sp. pada
pucuk akasia akan menyebabkan kualitas kayu yang rendah sehingga produksi
kayu menurun.
Helopeltis sp. merupakan salah satu hama penting pada berbagai jenis
tanaman tropis, khususnya teh, kakao, kina, jambu mete dan lada, tetapi
digolongkan sebagai hama minor di tanaman kehutanan. Kerusakannya kadangkadang ditemukan pada tanaman mahoni, ketapang, kayu manis, dan
melia.Laporan lain menyebutkan bahwa kerusakan berat oleh Helopeltis sp. ini
terjadi pada Eucalyptus muda dan tegakan akasia di Indonesia (Wylie et al. 1998
dalam Speight dan Wylie 2001). Tingkat kerusakan pada tanaman teh dapat
mencapai 50% dan pada suatu saat akan meningkat mencapai 100% (Sukasman
1996). Serangan Helopeltis sp. pada pucuk akasia menyebabkan bercak nekrotik
pada daun dan kematian tunas muda. Kematian tunas muda tersebut disebabkan
oleh cairan saliva yang bersifat toksik atau oleh patogen dalam proses
serangannya (Kalshoven 1981). Luas serangan yang ditimbulkan pada tanaman
akasia muda di Kalimantan Timur, dapat mencapai 100% (Santoso 2013 Oktober,
komunikasi pribadi), dengan intensitas serangan bervariasi namun dapat mencapai
50%. Penggunaan insektisida seperti deltametrin telah digunakan oleh beberapa
perusahaan hutan tanaman industri (HTI) untuk mengendalikan Helopeltis sp. di
lapangan (Nair dan Sumardi 2000). Informasi mengenai biologi hamaHelopeltis
sp. pada berbagai komoditas pertanian khususnya tanaman teh sudah cukup
banyak, tetapi sangat sedikit pada tanaman kehutanan; penelitian ini akan
berkontribusi tentang data biologi hama Helopeltis sp. pada akasia.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penggunaan pestisida kimia di lapangan
telah mencemari lingkungan secara umum. Air, tanah, dan udara mengandung
residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan.
Tekanan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan
penyakit semakin kuat bukan hanya karena meninggalkan residu pestisida yang

2
bersifat racun, tetapi juga karena timbulnya resistensi dari banyak jenis hama
terhadap pestisida (Sembel 2010). Di HTI, penggunaan pestisida dalam
mengendalikan hama dan penyakit tidak hanya mencemari lingkungan dan
menimbulkan resistensi hama, tetapi juga relatif mahal apabila diterapkan pada
skala besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengendalian yang lebih
murah dan bersifat ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan agens hayati
berupa patogen hama, parasitoid atau predator. Diantara agens hayati tersebut,
cendawan entomopatogen mempunyai prospek penting karena selain efektif juga
lebih murah dan sederhana cara perbanyakannya. Pemanfaatan cendawan
entomopatogen, merupakan salah satu alternatif pengendalian hama yang dapat
menekan penggunaan insektisida kimia. Untuk lahan yang luas, penggunaan
insektisida kimia akan memakan biaya yang sangat tinggi dan berakibat pada
kerugian (Santoso et al. 2008). Entomopatogen mempunyai peran penting yang
dapat menyebabkan tingginya kematian populasi serangga dan aman bagi
serangga non target (Subramaniam et al. 2010).
Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk
mengendalikan hama antara lain Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana,
dan Lecanicillium spp. (=Verticillium spp.). Entomopatogen B. bassiana dan L.
lecanii merupakan cendawan yang sudah diketahui keefektifannya dalam
mengendalikan sejumlah serangga hama.
Cendawan B. bassiana mampu mengendalikan 80–100% hama tungau
(Deciyanto dan Indrayani 2009), 100% larva dan 73.75% imago Brontispa
longissima (Hosang et al. 2004). Suspensi konidia B. bassiana 1.1 x 108 konidia/
mL air yang diaplikasikan langsung pada serangga Helopeltis sp. di laboratorium,
menyebabkan kematian serangga sebesar 94–98%, sedangkan yang diaplikasikan
pada pakan dapat menyebabkan kematian sebesar 86–92% (Suriati 2008).
Cendawan L. lecanii merupakan salah satu agen pengendali hayati yang
potensial untuk digunakan pada hama-hama pertanian, seperti kutudaun,
kutuputih, thrips, dan kutu kebul (Ferron 1985). Cendawan L. lecanii mampu
mengendalikan Scirtothrips bispinosus (Subramaniam et al. 2010), Aphis gossypii
(Gurulingappa et al. 2010), dan Riptortus linearis (Prayogo 2009). Khusus
terhadap Helopeltis sp., Solikhah (2013) telah menunjukkan kemampuan
cendawan L. lecanii dalam menghambat penetasan telur, namun penelitian terkait
potensi cendawan tersebut untuk pengendalian nimfa dan imago Helopeltis sp.
belum dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur potensi cendawan B.
bassiana dan L. lecanii dalam mengendalikan serangga hama Helopeltis sp.

Tujuan Penelitian
Mempelajari keefektifan cendawan entomopatogen B. bassiana dan L.
lecanii terhadap serangga hama Helopeltis sp. serta mengetahui biologi dan
preferensi hama Helopeltis sp. pada tanaman akasia.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan
cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii dalam mengendalikan
serangan Helopeltis sp. pada tanaman akasia dan menyumbangkan data biologi
Helopeltis sp. pada tanaman akasia.

Hipotesis Penelitian
Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii efektif
mengendalikan serangga Helopeltis sp. pada tanaman akasia.

Perumusan Masalah Penelitian
Adanya serangan Helopeltis sp. pada tanaman akasia yang ditanam secara
monokultur pada hutan tanaman industri (HTI) tentunya akan menghambat
produksi kayu industri. Pengendalian yang tepat terhadap hama Helopeltis sp.
perlu dilakukan agar kebutuhan akan kayu industri tercukupi. Pemanfaatan
cendawan entomopatogen, merupakan salah satu alternatif pengendalian hama
yang dapat menekan penggunaan insektisida kimia. Penggunaan insektisida kimia
yang berlebihan dan kurang bijaksana akan memberikan pengaruh negatif yang
tidak diinginkan seperti resistensi hama sasaran, resurjensi, terbunuhnya musuh
alami dan serangga berguna lainnya, serta pencemaran lingkungan. Di HTI
penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit tidak hanya
memberikan dampak sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga akan menelan
biaya yang mahal karena luasnya areal penanaman. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya pengendalian yang lebih murah dan ramah terhadap lingkungan,
yaitu dengan memanfaatkan agens hayati yang sesuai. Contoh agens pengendali
hayati yang murah dan ramah lingkungan adalah cendawan entomopatogen B.
bassiana dan L. lecanii, dua jenis cendawan ini belum pernah dicobakan di HTI.
Apabila kedua cendawan entomopatogen ini diaplikasikan pada serangga
Helopeltis sp., maka akan timbul pertanyaan, apakah kedua cendawan
entomopatogen tersebut efektif dalam mengendalikan serangan Helopeltis sp., dan
bagaimana preferensi hama Helopeltis sp. pada tanaman akasia dibanding
tanaman lain seperti tanaman kakao dan teh? Kedua tanaman terakhir tersebut
merupakan hama yang sudah diketahui lama berasosiasi dengan hama Helopeltis
di Indonesia. Untuk mengetahui hal itu maka dilakukan penelitian terhadap
biologi dan preferensi hama Helopeltis sp. serta pengaruh aplikasi cendawan B.
bassiana dan L. lecanii terhadap hama Helopeltis sp. (Gambar 1).

4

Kebutuhan akan kayu industri

Pengendalian hayati dengan
Cendawan entomopatogen
B. bassiana & L. lecanii

Dikembangkan jenis tanaman
cepat tumbuh:
Sengon, Jabon, Akasia, dll.

Muncul masalah hama
Helopeltis sp. pada Akasia

Pengamatan biologi Helopeltis sp. pada akasia
Pengamatan preferensi Helopeltis sp. pada tanaman
akasia, kakao dan teh

Aplikasi terhadap serangga inang Helopeltis sp.
Cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii
efektif mengendalikan serangga Helopeltis sp.

Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian

5

2

TINJAUAN PUSTAKA
Helopeltis sp.

Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae) merupakan serangga pemakan tanaman.
Jenis Helopeltis sp. yang umum dikenal diantaranya adalah Helopeltis antonii
Sign. yang terdapat pada tanaman kakao, tanaman teh, kina, alpokat, jambu mete,
jambu biji. H. theivora Waterh. dijumpai menyerang tanaman teh dan kakao. Jenis
H. schoutedeni Reuter dilaporkan menyerang tanaman kapas (dikenal dengan
nama H. bergrothi Reuter) (Wheeler 2000). Helopeltis antonii hanya ditemukan di
kina, Cinnamomum, jambu bol, Melia, Acacia decurens, jambu mete, Melastoma,
cabe rawit dan tanaman dari jenis rumput-rumputan (Kalshoven 1981). Helopeltis
sp. termasuk hama yang paling berperan dalam menimbulkan kerusakan, baik
pada tanaman muda maupun pada tanaman yang telah menghasilkan (Wiratno et
al. 1996). Beberapa spesies tanaman yang menjadi inang Helopeltis adalah teh,
kina, Bixa, Gardenia dan sedikit kerusakan ditemukan pada pohon-pohon seperti
Albizia, Erythrina, dan Tephrosia. Helopeltis sp. umumnya digolongkan sebagai
serangga minor di tanaman kehutanan. Kadang-kadang kerusakan ditemukan pada
tanaman mahoni, ketapang, kayu manis, dan melia, akan tetapi laporan terkini
menyebutkan bahwa kerusakan berat oleh Helopeltis sp. ini terjadi pada
Eucalyptus muda dan tegakan akasia di Indonesia (Wylie et al. 1998 dalam
Speight dan Wylie 2001).
Daerah penyebaran Helopeltis sp. dimulai dari India, Srilanka, Sumatera,
Jawa, dan Irian Jaya (Entwistle 1972 dalam Wiratno et al. 1996). Hama ini dapat
hidup dengan baik di dataran rendah (200 m) maupun di tempat yang
ketinggiannya tidak melebihi 1400 mdpl (Kalshoven 1981).
Telur berbentuk kapsul berukuran panjang 1.0 mm dan lebar 0.4 mm,
diletakkan secara berkelompok dengan jumlah 2–3 butir setiap kelompoknya.
Pada saat diletakkan, telur berwarna putih namun saat akan menetas berwarna
kuning. Telur diletakkan dalam jaringan tanaman yang masih muda yaitu pada
tulang-tulang daun muda, tangkai bunga dan tunas-tunas tanaman. Telur dapat
dicirikan dengan adanya dua helai benang berwarna putih, terlihat di atas
permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur rata-rata
berlangsung selama 7 hari. Perkembangan nimfa terdiri atas 5 instar dan
mengalami 5 kali pergantian kulit. Lama stadia instar ke- 1 sampai dengan instar
ke-5 berturut-turut adalah 4, 2, 2, 2, dan 4 hari. Nimfa tidak bersayap dan
tubuhnya berwarna coklat, memiliki antena yang terdiri atas 4 ruas yang
panjangnya hampir 2 kali panjang tubuhnya (Wiratno et al. 1996).
Menurut Speight dan Wylie (2001), telur menetas setelah 6–11 hari
melewati 5 stadia perkembangan nimfa, yaitu nimfa 1 selama 9 hari dan sampai
pada akhir stadia nimfa instar kelima yang berlangsung selama 54 hari, tergantung
pada jenis spesies dan kondisi iklimnya. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa
perkembangan dari telur sampai imago membutuhkan waktu 3–5 minggu,
tergantung pada ketinggian tempat. Oviposisi sangat bergantung pada kondisi
yang menguntungkan, seperti kelembaban udara dan adanya jaringan tanaman
muda.

6
Spesies Helopeltis dapat dibedakan dari adanya tonjolan seperti jarum yang
berada di skutelum nimfa atau imago. Bentuk imago sama seperti nimfa, akan
tetapi pada stadia imago serangga sudah memiliki sayap. H. antonii memiliki
tonjolan skutelum yang lurus, berwarna hitam terkadang berwarna merah dan
abdomen berwarna hitam dan putih. H. theivora dicirikan dengan tonjolan
skutelum yang mengarah ke belakang, memiliki warna hijau atau kuning kehitaman (Kalshoven 1981).
Seekor imago betina dapat meletakkan telur 1–10 butir per hari, rata-rata
selama hidupnya mampu bertelur 93 butir (Wiratno et al. 1996). Menurut
Kalshoven (1981), serangga ini dapat bertelur sebanyak 1–18 butir per hari
dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80 butir dan akan menetas
setelah 5–7 hari.
Nimfa dan imago memakan daun, tunas atau pucuk baru. Kerusakan
pertama terlihat adanya area nekrotik disekitar titik tempat stilet dimasukkan
kedalam jaringan tanaman sehingga tunas atau pucuk tanaman menjadi layu.
Nimfa instar terakhir H. theivora dapat membuat 80 luka tusukan selama waktu
24 jam. Kerusakan ringan pada anakan Eucalyptus di Sumatra, disebabkan oleh H.
fasciaticollis. Pada A. mangium di Sumatra yang diserang H. theivora, terjadi
penyimpangan pertumbuhan pucuk atau tunasdan penghambatan pertumbuhan
tanaman. Kerusakan daun dapat mencapai 95%, dilaporkan sebagai kematian
anakan terberat di persemaian hutan (Wylie et al. 1998 dalam Speight dan Wylie
2001).
Musuh alami Helopeltis sp. diantaranya adalah parasitoid Scelionidae dan
Mymaridae yang merupakan parasitoid telur, Braconidae yang merupakan
parasitoid nimfa dan predator Reduviidae dan semut. Musuh alami tidak dapat
mempertahankan populasi hama dibawah ambang ekonomi dalam keadaan alami
tanpa campur tangan manusia (Speight dan Wylie 2001).
Adanya ledakan populasi Helopeltis sp. sehingga menimbulkan kerusakan
dipengaruhi oleh iklim dan kondisi makanannya. Suhu panas dan udara yang
lembab mendukung peningkatan populasi, tetapi saat hujan atau kondisi kering
merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi serangga ini. Pertanaman teh
di Jawa Timur mengalami kerusakan oleh Helopeltis sp., terjadi outbreak pada
bulan Februari kemudian akan menurun serangannya pada bulan Juli. Peningkatan
populasi terjadi kembali pada bulan berikutnya, akan tetapi pada bulan Oktober
atau November ketika hujan lebat, populasi akan menurun dan kembali meningkat
pada akhir Desember dan Januari. Pada pertanaman kakao di Jawa Tengah,
Helopeltis sp. hanya ditemukan di akhir musim penghujan dan awal musim
kemarau (Kalshoven 1981).
Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, populasi Helopeltis sp. sangat
ditentukan oleh keberadaan pucuk, dan munculnya pucuk tanaman setiap tahun
bergantung pada kelembaban dan curah hujan. Pada akhir musim hujan, yaitu
pada bulan Mei, pucuk mulai bermunculan. Sejalan dengan bertambahnya jumlah
pucuk, populasi nimfa dan imago pun meningkat dan mencapai puncaknya pada
bulan Juli, kemudian menurun kembali setelah bulan Juli. Faktor yang berperan
dalam menurunkan populasi Helopeltis sp. adalah predator Coccinella, semut
hitam, dan semut rangrang (Karmawati etal. 1999b dalam Karmawati 2010).

7
Preferensi Serangga
Pertengahan abad yang lalu W. Kirby dan W. Spence mendiskripsikan
dalam tulisannya, kupu-kupu dalam aktivitas terbangnya mencari tanaman yang
sesuai untuk meletakkan telur. Menurutnya, kupu-kupu betina mencari beberapa
tanaman, kemudian meletakkan telur berdasarkan insting yang selalu tepat
daripada menggunakan mata untuk mengenali tanamannya. Serangga tidak dapat
bertahan hidup tanpa kehadiran tanaman, yang memberikan sumber energi utama
untuk organisme heterotrof (Schoonhoven et al. 2005).
Kurang dari 10% spesies herbivora memakan tanaman lebih dari 3
tanaman dengan famili berbeda. Beberapa serangga oligofag atau bahkan
serangga polifag dianggap sebagai monofag ketika pemilihan inang mereka
berdasarkan pada tipe senyawa kimia tanaman yang spesifik. Kisaran inang
serangga yang luas dibatasi oleh faktor morfologi, fisiologi dan ekologi. Selain itu
adanya hubungan antara kisaran makanan serangga dan ukuran tubuhnya. Kisaran
inang tersebut biasanya menunjukkan preferensi serangga, seperti larva serangga
terhadap pertumbuhan daun muda, padahal secara keseluruhan, larva serangga
polifag lebih menyukai daun masak di beberapa tanaman inang (Schoonhoven et
al. 2005).
Serangga sangat selektif dalam memilih makanan dan sangat teliti memilih
tanaman untuk meletakkan telurnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dalam preferensi oviposisi serangga, apakah betina dalam memilihkan inang
untuk meletakkan telur sesuai untuk perkembangan keturunannya, kelangsungan
hidup keturunannya, dan sesuai untuk reproduksinya. Umumnya terlihat adanya
hubungan yang baik: betina lebih menyukai oviposit pada tanaman dimana
keturunannya memperlihatkan hasil yang terbaik. Secara keseluruhan, keturunan
serangga menunjukkan rataan kelangsungan hidup yang tinggi pada tanaman yang
telah dipilih oleh induknya (Schoonhoven et al. 2005).
Serangga melakukan aktivitas makan untuk bisa tumbuh, berkembang dan
menyelesaikan siklus hidupnya. Serangga memanfaatkan nutrisi yang terdapat
pada tanaman melalui aktivitas makannya. Terdapat tiga kategori serangga dalam
memanfaatkan nutrisi tanaman inang, pertama dengan meningkatkan konsumsi
makan untuk memperoleh nutrisi yang lebih seperti nitrogen, kedua dengan
menyeleksi makanan yang berbeda untuk melengkapi nutrisi yang terbatas
jumlahnya, dan ketiga dengan meningkatkan efisiensi pencernaan untuk
menghasilkan nutrisi yang terbaik untuk serangga (Chown dan Nicolson 2004).
Beberapa kategori dalam perilaku pemilihan inang tanaman diantaranya:
(1) Pencarian (Searching), yaitu melihat dengan hati-hati pada suatu tempat dalam
upayanya untuk menemukan sesuatu (dalam hal ini menemukan inang yang tepat).
Hasil akhir dari proses pencarian adalah Finding yaitu menemukan inang yang
tepat. (2) Seleksi (Selection), yaitu memilih dari beberapa alternatif inang yang
ada. (3) Acceptance, yaitu proses penerimaan tanaman sebagai inang. Terlihat dari
adanya aktivitas makan dan oviposisi pada inang terpilih. (4) Preferensi, yaitu
ketika serangga dihadapkan pada dua pilihan inang atau lebih, maka serangga
secara konsisten makan atau oviposisi lebih sering pada satu dari tanaman inang
yang menjadi alternatif pilihan. (4) Recognition, yaitu proses pencocokan atau
mengenali kembali inang yang sudah terekam dalam sistem syaraf pusat serangga,

8
sehingga serangga akan memilih inang tanaman yang sesuai untuk kelangsungan
hidupnya (Schoonhoven et al. 2005).
Karena pentingnya pemilihan tanaman inang, senyawa kimia yang
dihasilkan oleh tanaman dikelompokkan menurut pengaruhnya terhadap perilaku
serangga. Menurut Dethier, Barton Browne dan Smith (1960), senyawa tersebut
didefinisikan sebagai berikut: (1) Attractant, yaitu senyawa kimia tanaman yang
menyebabkan serangga mendekati sumber makanan. (2) Repellent, yaitu senyawa
kimia tanaman yang menyebabkan serangga menjauhi sumber makanan. (3)
Rangsangan makan atau oviposisi, yaitu senyawa kimia tanaman yang memicu
aktivitas makan atau oviposisi serangga. (4) Deterrent, yaitu respon kimia
tanaman yang menghambat atau menghalangi aktivitas makan atau oviposisi
serangga. (5) Arrestant, yaitu respon kimia tanaman yang dapat memperlambat
pergerakan serangga dengan memperlambat lokomosi (alat gerak) serangga
(Bernays dan Chapman 1994).

Cendawan Entomopatogen
Pada umumnya cendawan entomopatogen termasuk dalam kelas
Hyphomycetes famili Moniliaceae. Diantara cendawan Hyphomycetes yang
banyak digunakan untuk pengendalian hama adalah Beauveria bassiana,
Metharizium anisopliae, dan Lecanicillium lecanii (Inglis et al. 2001). Cendawan
entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus
kutikula inang, dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (hemocoel) dan
mengonsumsinya sehingga nutrisi dalam hemolimfa habis oleh pertumbuhan
cendawan yang begitu cepat (Flint dan Dreistadt 1998). Di samping itu, cendawan
dapat menghancurkan jaringan lainnya atau melepaskan toksin yang mengganggu
perkembangan inang secara normal. Kematian serangga bisa jadi karena adanya
kombinasi penyerangan fungi, seperti terjadinya penyerapan nutrisi, invasi organ
serangga dan mengeluarkan toksin (Inglis et al. 2001). Cendawan entomopatogen
juga memiliki kemampuan untuk reproduksi, menyebar, bertahan, dan beradaptasi
terhadap lingkungan yang baru (Goettel et al. 2001). Falcon (1969) menyatakan
bahwa selain menyebabkan kematian, patogen bisa mengganggu perkembangan
serangga, merubah sistem reproduksi, menurunkan resistensi serangga yang
diserang dan mempengaruhi kerentanan serangga yang dikendalikan dengan
insektisida kimia atau buatan.
Mekanisme cendawan entomopatogen dalam menyebabkan kematian
inang diawali dengan penempelan dan perkecambahan. Penempelan konidia
biasanya terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air sehingga terjadi kontak
antara konidia dengan permukaan integumen serangga dalam waktu yang cukup
lama untuk bisa berkecambah dan menginfeksi. Perkecambahan konidia
tergantung kelembaban, suhu, cahaya dan nutrisi. Konidia yang telah
berkecambah membentuk tabung kecambah selanjutnya menembus integumen
serangga untuk terus masuk ke dalam hemocoel. Proses penetrasi integumen oleh
hifa merupakan proses mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim seperti
protease, lipase, kitinase, esterase, yang membantu menghancurkan kutikula
serangga. Setelah masuk ke dalam hemocoel, cendawan membentuk tubuh hifa
yang kemudian ikut beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder

9
untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak, trakea dan saluran
pencernaan (Carlile et al. 2001). Namun, sebelum cendawan membentuk hifa
dalam hemocoel, serangga sendiri mengembangkan sistem pertahanan diri,
misalnya dengan mekanisme fagositosis (biasanya dilakukan oleh plasmatosit)
atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Tanada dan Kaya 1993). Adanya
perubahan biokimia dalam hemolimfa terutama kandungan protein, defisiensi
nutrisi, adanya toksin yang dikeluarkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan
jaringan dalam tubuh serangga akan menyebabkan paralisis dan kematian pada
serangga. Pada kondisi yang sesuai cendawan tumbuh terus dan akhirnya miselia
cendawan kembali menembus kutikula kearah luar tubuh serangga untuk
kemudian membentuk konidia (Federici 1999). Santoso et al. (2008) menyatakan
bahwa apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya
berlangsung dalam jasad serangga tanpa keluar menembus integumen.
Cendawan B. bassiana, Paecilomyces sp., dan L. lecanii mampu
menginfeksi beberapa serangga yang berbeda-beda. Serangga yang terinfeksi oleh
cendawan menjadi tidak aktif, berhenti makan, dan cenderung akan bergerak
menuju atas atau bagian tepi tanaman. Jika serangga sudah mati, tubuhnya
menjadi elastis, dipenuhi oleh massa cendawan, atau terlihat bengkak (Flint dan
Drestadt 1998).
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
Beauveria bassiana termasuk dalam Filum Deuteromycotina, kelas
Hyphomycetes dan ordo Moniliales (Boucias dan Pendland 1998), mempunyai
hifa yang bersekat-sekat, dan percabangan konidiofor berbentuk zig-zag. Cendawan ini berkembang secara aseksual dan seksual yang sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya dan nutrisi. Beberapa serangga yang
merupakan inang B. bassiana adalah serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera
dan Hemiptera, tetapi ada juga yang menyerang Diptera dan Hymenoptera. B.
bassiana adalah salah satu jenis patogen serangga yang telah banyak digunakan
untuk pengendalian hama, terutama hama pemakan daun yang tergolong ordo
Lepidoptera (Tanada dan Kaya 1993).
Secara morfologi, cendawan B. bassiana berwarna putih sehingga dikenal
dengan sebutan white muscardine. Cendawan ini mempunyai konidia yang bersel
satu dan bentuknya oval agak bulat, tidak berwarna (hyaline). Pada substrat yang
sesuai spora akan tumbuh dan berkecambah membentuk tabung kecambah,
kemudian tabung kecambah ini membentuk hifa berupa filamen yang panjang dan
bercabang. Selanjutnya cendawan akan membentuk suatu massa hifa yang disebut
miselium. Konidiofornya fertil, bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag sebagai
ciri khas B. bassiana, sedang miselium dibawahnya menggelembung. Konidia
akan tumbuh dan berkembang setelah 3–7 hari dalam media. Cendawan ini dapat
tumbuh pada pH 3.3–8.5 sedangkan pH optimumnya adalah 6.7. Beberapa toksin
yang diproduksi oleh B. bassiana yaitu beauvericin, bassionolide, cyclodepsipeptide (Tanada dan Kaya 1993) dan oosporein (Inglis et al. 2001)

10
Lecanicillium lecanii (Zimmermann) Viegas
Lecanicillium lecanii (Zimm.) Viegas termasuk dalam Filum Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes dan ordo Moniliales (Boucias dan Pendland 1998).
L. lecanii merupakan patogen untuk serangga-serangga di lingkungan tropis dan
subtropis. L. lecanii dikenal dengan sebutan white-halo karena munculnya
miselium putih mengelilingi pinggiran objek yang terinfeksi (Tanada dan Kaya
1993). Koloni yang berumur 10 hari pada media beras, media oatmeal atau PDA
berwarna putih atau krem, menyerupai kapas tipis seperti tak berwarna, pucat atau
kuning tua (deep yellow). L. lecanii mempunyai konidiofor yang berbentuk fialid
(whorls) seperti huruf V yang merupakan ciri khasnya, fialid lembut, ukuran
bervariasi tergantung pada strain dan umur biakan. Secara mikroskopis, konidia L.
lecanii mempunyai ciri-ciri; konidia yang berbentuk lonjong, seragam, terlihat
memisah, berpasangan atau melingkar sepanjang hifa atau berkumpul pada ujung
hifa, dan konidia terbungkus di dalam kantong lendir (Humber 1997).
Infeksi oleh L. lecanii pada serangga Macrosiphoniella sanborni, spora
menyebar selama 4–6 hari periode infeksi. Sporulasi terlihat pada bagian tungkai,
antena, atau kadang-kadang pada bagian kornikel serangga atau biasanya pada
thoraks atau abdomen sampai serangga tersebut mati (Tanada dan Kaya 1993).
L. lecanii menghasilkan toksin diantaranya: cyclodepsipeptide, bassianolidae, yang juga dihasilkan oleh B. bassiana (Kanaoka et al. 1978 dalam Tanada
dan Kaya 1993). L. lecanii juga membentuk toksin insektisida, seperti dipicolinic
acid dan senyawa C25 (Claydon dan Grove 1982 dalam Tanada dan Kaya 1993).
Cendawan L. lecanii sudah banyak digunakan untuk mengendalikan hama
di rumah kaca di Eropa (Flint dan Dreistadt 1998). Di Indonesia, penelitian
tentang cendawan ini masih sangat sedikit. L. lecanii memiliki kemampuan efikasi
yang bagus untuk beberapa spesies kutu daun. L. lecanii juga memiliki
kemampuan mengendalikan kutu putih dan thrips di pertanaman rumah kaca
(Inglis et al. 2001).

Pengendalian Hayati hama Helopeltis sp.
Di Indonesia, penelitian tentang penggunaan agens hayati untuk
mengendalikan Helopeltis sp. belum banyak dilakukan. Penelitian tentang
penggunaan agens hayati untuk mengendalikan Helopeltis sp. yang telah
dilakukan oleh Widayat et al. (1996), menyebutkan bahwa penggunaan jamur
Paecilomyces fumoso roseus (PFR) efektif terhadap H. antonii pada tanaman teh.
Suriati (2008) juga melaporkan bahwa penggunaan cendawan B. bassiana mampu
menyebabkan mortalitas Helopeltis sp. sebesar 94–98%. Pengendalian Helopeltis
sp. juga pernah dilakukan oleh Sukasman (1996) dengan menggunakan pohon
pelindung lamtoro hantu yang merupakan suatu cara pengendalian terpadu antara
perbaikan lingkungan, pengendalian secara kimia, pengendalian secara hayati
menggunakan predator, parasit, dan entomopatogen sebagai biopestisida yang
tujuannya adalah mencapai keseimbangan biologi.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Solikhah (2013), menyebutkan
bahwa penggunaan cendawan entomopatogen L. lecanii efektif menekan
perkembangan telur Helopeltis sp. di laboratorium.

11

3 METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung
mulai bulan Januari – Oktober 2013.
Serangga dan Cendawan Uji
Perbanyakan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan dalam penelitian adalah serangga Helopeltis
sp. yang diperoleh dari perkebunan teh Gunung Mas dan perkebunan kakao
Kebun Percobaan Sukamantri IPB. Serangga yang diperoleh dari lapangan
dipelihara dan diperbanyak sesuai metode perbanyakan Helopeltis sp. oleh Kilin
dan Atmaja (1999) yaitu dengan menggunakan buah mentimun. Buah mentimun
dimasukkan ke dalam wadah plastik berdiameter 16 cm dan tinggi 17 cm. Posisi
mentimun berdiri dengan cara disandarkan pada dinding wadah bagian dalam.
Sepasang imago dimasukkan ke dalam wadah tersebut dan ditutup dengan kain
kasa. Mentimun diganti setiap hari dengan mentimun yang baru. Mentimun yang
berisi telur, setelah dihitung jumlah telurnya dimasukkan ke dalam wadah lain dan
ditutup dengan kain kasa. Nimfa instar ke-1 yang telah muncul dimasukkan ke
dalam wadah baru yang berisi mentimun segar. Pakan tersebut diganti setiap hari
sampai diperoleh jumlah dan stadia serangga yang diperlukan.
Cendawan Uji
Cendawan B. bassiana dan L. lecanii yang digunakan dalam penelitian,
merupakan koleksi Laboratorium Patologi Serangga. B. bassiana berasal dari
serangga Leptocorisa oratorius (Hemiptera: Alydidae) sedangkan L. lecanii
diisolasi dari Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae). Untuk menguji tingkat
virulensinya, kedua cendawan tersebut diinokulasikan pada imago Tenebrio
molitor (Coleoptera: Tenebrionidae). Miselia yang keluar dari serangga
tersebutdiisolasi ke media PDA, kemudian dipindahkan ke media beras. Beras
dicuci bersih kemudian dikukus setengah matang dengan api kecil selama 15–20
menit. Beras dikeringanginkan untuk menghilangkan uap panas, kemudian
dimasukkan kedalam kantong plastik tahan panas sebanyak 50 g dan disterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 121ºC dan tekanan 2atm selama 15 menit. Proses
pemindahan inokulum cendawan ke media beras dilakukan di Laminar Air Flow
dengan memasukkan potongan media PDA yang ditumbuhi cendawan ke dalam
media beras, kemudian plastik ditutup rapat. Media beras disimpan di dalam
ruangan yang gelap pada suhu kamar selama 21 hari.

12
Penyiapan Suspensi Cendawan Entomopatogen untuk Pengujian
Biakan B. bassiana dan L. lecanii pada media beras yang telah berumur 21
hari disiapkan sebanyak 100g (2 kantong plastik). Media beras tersebut digerus
dengan menggunakan mortar sampai halus. Biakan cendawan yang sudah
dihaluskan ditambahkan 100 mL air steril yang telah dicampur dengan Tween 20
(konsentrasi akhir 0.05%). Penyaringan dilakukan untuk memisahkan media beras
dengan suspensi konidia. Suspensi konidia yang telah disaring kemudian dikocok
dengan menggunakan vortex selama 30 detik. Suspensi yang telah dikocok
kemudian dihitung jumlah konidianya dengan menggunakan haemocytometer
Neubauer-improved. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan air steril hingga
diperoleh kerapatan konidia 109/mL. Demikian seterusnya dibuat pengenceran
bertingkat untuk mendapatkan kerapatan konidia 108/mL, 107/mL, dan 106/mL,
yang dibutuhkan untuk perlakuan.

Metode Penelitian
Biologi Hama Helopeltis sp. pada Tanaman Akasia
Sebanyak 15 pasang imago jantan dan betina Helopeltis sp. ditempatkan
dalam 15 kurungan plastik yang berisi tanaman akasia. Tanaman muda akasia
yang digunakan adalah tanaman akasia dengan umur 8 bulan yang ditanam pada
polybag. Kurungan plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 35 cm disungkupkan
sepanjang pucuk tanaman akasia tegak lurus dengan tanaman, digantung pada ajir
bambu (Gambar 2a). Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui lama
masing-masing stadia, lama periode praoviposisi, yaitu saat setelah imago
Helopeltis sp. kawin sampai meletakkan telurnya yang pertama dan lama periode
oviposisi. Pucuk daun yang telah diteluri dapat diketahui dari adanya benang telur
yang menonjol keluar dari jaringan daun tempat telur diletakkan. Lama periode
telur dapat diketahui dari menetasnya telur yang ditandai dengan merenggangnya
dua helai benang dari telur yang sebelumnya telah ditandai untuk diamati. Setelah
telur menetas, masing-masing nimfa instar ke-1 dipindahkan ke tanaman baru
dengan 2–3 nimfa ditempatkan pada satu helai daun muda tanaman akasia dan
ditutup dengan plastik ukuran 0.5 kg yang diberi lubang setiap sisinya (Gambar
2b), untuk mengetahui siklus hidup Helopeltis sp. Pengamatan dilakukan setiap
hari sampai serangga tersebut menjadi imago dan akhirnya mati.

13

a

b

Gambar 2 Model kurungan plastik untuk pengamatan biologi Helopeltis sp.:
(a) kurungan plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 35 cm,
(b) kurungan plastik berukuran 0.5 kg
Preferensi Pemilihan Helopeltis sp. pada Tiga Jenis Inang
Tiga jenis inang Helopeltis sp. (potongan pucuk teh, buah kakao, dan
potongan pucuk akasia) ditempatkan dalam satu wadah plastik berdiameter 35 cm
dan tinggi 25 cm (Gambar 3). Untuk menjaga kesegaran inang, tangkai potongan
pucuk teh dan potongan pucuk akasia dibalut dengan tisu yang sudah dibasahi.

a

b

Gambar 3 Perlakuan preferensi serangga: (a) potongan pucuk teh, buah kakao,
dan potongan pucuk akasia sebagai inang dalam wadah plastik (b)
deretan wadah plastik percobaan.
Kedalam wadah plastik tersebut dimasukkan 1 ekor nimfa Helopeltis sp.
instar ke-5. Setiap perlakuan diulang sebanyak 15 kali. Pengamatan terhadap
pemilihan Helopeltis sp. pada tiga jenis inang dilakukan setiap 15 menit selama 5
jam setelah nimfa dimasukkan pada masing-masing perlakuan, untuk mengetahui

14
persentase pemilihan Helopeltis sp. terhadap tiga jenis inang yang diujikan.
Preferensi pemilihan ditandai dengan hadirnya Helopeltis sp. pada inang tersebut.
Preferensi Peneluran Helopeltis sp. pada Tiga Jenis Inang
Tiga jenis inang Helopeltis sp. (potongan pucuk teh, buah kakao, dan
potongan pucuk akasia) ditempatkan dalam satu wadah plastik berdiameter 35 cm
dan tinggi 25 cm (Gambar 3). Untuk menjaga kesegaran inang, tangkai potongan
pucuk teh dan potongan pucuk akasia dibalut dengan tisu yang sudah dibasahi.
Kedalam wadah plastik tersebut dimasukkan sepasang imago Helopeltis sp. Setiap
perlakuan diulang sebanyak 15 kali. Pengamatan terhadap aktivitas peneluran
Helopeltis sp. pada tiga jenis inang dilakukan selama 3 hari, untuk mengetahui
tingkat pemilihan Helopeltis sp. terhadap tiga jenis inang yang diujikan.
Preferensi pemilihan ditandai dengan adanya telur-telur Helopeltis sp. yang
diletakkan pada inang-inang tersebut.
Keefektifan Cendawan B. bassiana dan L. lecanii
Empat perlakuan kerapatan konidia 106, 107, 108, dan 109 konidia/ mL dari
suspensi B. bassiana dan kontrol, disemprotkan ke tubuh imago Helopeltis sp.
Dengan perlakuan kerapatan konidia yang sama, 106, 107, 108, dan 109 konidia/
mL dari suspensi L. lecanii dan kontrol, disemprotkan ke tubuh nimfa instar ke-3
Helopeltis sp. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan jumlah serangga 20
ekor/ulangan. Aplikasi penyemprotan menggunakan sprayer tangan dengan
volume semprot ± 2 mL suspensi per ulangan, sedangkan untuk kontrol serangga
disemprot dengan air steril yang dicampur Tween 20. Serangga uji yang telah
disemprot dimasukkan ke dalam wadah plastik yang telah diberi pakan pucuk
akasia. Pucuk tersebut diganti setiap hari untuk menjaga kesegaran pakan
Helopeltis sp. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai hari ke-7 setelah aplikasi.
Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas, waktu terjadinya mortalitas, dan
perkembangan pertumbuhan cendawan patogen.

Analisis Data
Data pengamatan biologi dianalisis secara deskriptif menggunakan program Microsoft office excel 2007. Data preferensi serangga dianalisis dengan
program SPSS 13.0 for windows dan diuji dengan uji selang berganda Duncan (α
= 0,05).Perbedaan mortalitas antar tingkat kerapatan konidia dan kontrol
dianalisis dengan program SPSS 13.0 for Windows dan diuji dengan uji selang
berganda Duncan (α = 0,05). Konsentrasi kematian (LC50) dan waktu kematian
(LT50 dan LT95) dianalisis dengan analisis probit menggunakan program Polo
Plus Probit and Logit Analysis 1.0 LeOra Software.

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Hidup Helopeltis sp. pada Tanaman Acacia crassicarpa
Serangga yang digunakan dalam pengamatan biologi ini adalah serangga
Helopeltis sp. yang diambil dari tanaman kakao. Meskipun Helopeltis sp. ini
berasal dari tanaman kakao, ternyata setelah dilakukan pengamatan dapat
diketahui bahwa serangga Helopeltis sp. ini mampu menyelesaikan siklus
hidupnya pada tanaman akasia. Data hasil pengamatan biologi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Siklus hidup serangga Helopeltis sp. pada tanaman akasia
Stadia
serangga
Telur

N
132

Lama stadia
(hari)
9.3 ± 1.8

Nimfa instar 1

132

2.1 ± 0.3

Nimfa instar 2

132

3.1 ± 0.3

Nimfa instar 3

132

3.9 ± 0.5

Nimfa instar 4

132

2.5 ± 0.6

Nimfa instar 5

132

2.3 ± 0.5

Imago

132

Pra Oviposisi
Oviposisi

15
15

15.3 ± 2.8

2.0 ± 0.0
3.3 ± 0.5

Morfologi
Telur berwarna putih, pada saat akan
menetas berwarna kuning
Warna tubuh coklat bening, berubah
menjadi kecoklatan mendekati ganti
kulit
Warna tubuh coklat muda, antena
coklat tua, tonjolan pada toraks mulai
terlihat
Warna tubuh coklat muda, antena
coklat tua, tonjolan pada toraks
terlihat jelas, bakal sayap mulai
terlihat
Warna tubuh coklat muda, antena
coklat tua, tonjolan pada toraks
terlihat jelas, bakal sayap mulai
terlihat

Dokumen yang terkait

The Effectiveness of Entomopathogenic Fungi, Beauveria bassiana Vuillemin and Lecanicillium lecanii Zare & Gams Against The Asiatic Corn Borer, Ostrinia furnacalis Guenée

4 13 59

Infektivitas Cendawan Lecanicillium lecanii terhadap Telur Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae)

0 3 37

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

3 10 50

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 12

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 2

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 4

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Efficacy Of Beauveria Bassiana Against Helopeltis Sp. On Cacao (Theobroma Cacao)

0 0 7

The Effectiveness of Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana with the Addition of Insect Growth Regulator Lufenuron for Controlling Bactrocera carambolae

0 0 6