The Effectiveness of Entomopathogenic Fungi, Beauveria bassiana Vuillemin and Lecanicillium lecanii Zare & Gams Against The Asiatic Corn Borer, Ostrinia furnacalis Guenée

KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.)
Zare & Gams TERHADAP PENGGEREK
BATANG JAGUNG ASIA Ostrinia furnacalis Guenée
(LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)

DIANA AGUSTIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Cendawan
Entomopatogen
Beauveria
bassiana
(Balsamo)
Vuillemin

dan
Lecanicilliumlecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams terhadap Penggerek Batang
Jagung Asia Ostrinia furnacalisGuenée (Lepidoptera: Crambidae) adalah benar
karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Diana Agustin
NIM A351110031

RINGKASAN
DIANA AGUSTIN. Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare&
Gams terhadap Penggerek Batang Jagung Asia Ostrinia furnacalis
Guenée(Lepidoptera: Crambidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO dan
RULY ANWAR.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan cendawan
entomopatogen Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii terhadap larva dan
telur penggerek batang jagung Asia Ostrinia furnacalis. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman
IPB sejak bulan Maret sampai dengan bulan September 2013.
Serangga uji O. furnacalis dikoleksi dari pertanaman jagung milik petani di
daerah Dramaga, Bogor dan diperbanyak di Laboratorium Patologi Serangga IPB.
Isolat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi dari Laboratorium
Patologi Serangga IPB, yang ditularkan lagi pada serangga Tenebrio molitor
untuk meningkatkan virulensinya. Isolat cendawan ini selanjutnya diperbanyak
pada media beras untuk digunakan pada pengujian.
Perlakuan di laboratorium menggunakan larva dan telur O.furnacalis untuk
melihat keefektifan B. bassiana dan L. lecanii. Sebanyak 20 ekor larva O.
furnacalis disemprot dengan ± 3 mLsuspensi konidia cendawanB. bassiana
dengan kerapatan 105, 106, 107, 108, dan 109 konidia/mL. Pada perlakuan telur
digunakan satu kelompok telur dengan jumlah telur yang berbeda-beda untuk tiaptiap ulangan. Masing-masing perlakuan dibuat ulangan sebanyak empat kali.
Perlakuan yang sama juga dilakukan denganmenggunakan konidia L. lecanii.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama tujuh hari untuk mendapatkan data
mortalitas larva dan telur O. furnacalis.
Hasil penelitian menunjukkan keefektifan yang tertinggi untuk perlakuan

pada larva yaitu 78.75% dengan aplikasi menggunakan B. bassiana dan 71.25%
dengan aplikasi menggunakan L. lecanii pada kerapatan 109 konidia/mL. Pada
hari ketujuh diperoleh nilai LC50B. bassiana pada perlakuan larva adalah 1.39 x
106 dan L. lecanii 1.62 x 106 konidia/mL.
Pada perlakuan telur O. furnacalis, kerapatanB. bassiana 109 konidia/mL
mampu menyebabkan mortalitas hingga 100% demikian juga kerapatanL. lecanii
108 dan 109 konidia/mL mampu menyebabkan mortalitas hingga 100%. Nilai
LC50pada hari ketigauntuk B. bassiana adalah 9.6 x 105 konidia/mL dan untuk L.
lecanii 6.1 x 105 konidia/mL.
Kata kunci: kerapatan, konidia, larva, mortalitas, telur

SUMMARY
DIANA AGUSTIN. The Effectiveness of Entomopathogenic Fungi,
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin and Lecanicillium lecanii (Zimm.)
(Viegas) Zare & Gams Against The Asiatic Corn Borer, Ostrinia furnacalis
Guenée (Lepidoptera: Crambidae). Supervised by TEGUH SANTOSO and
RULY ANWAR.
This study was conducted at the Insect Pathology Laboratory, Plant
Protection Department, Bogor Agricultural University, from March to September
2013. Tested insects,Ostrinia furnacalis, were collected from farmers cornfield in

Dramaga, Bogor andthen reared in the laboratory.
Isolates of Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii in this study were
obtained from the collection of Insect Pathology Laboratory. Fungal suspension
was innoculated to Tenebrio molitor adultsin order to increase the virulence after
a long storage in the laboratory.
Mycelia of the fungi from T. molitor cadavers were isolated and cultured on
PDA (Potato Dextrose Agar) media, then colonies from PDA were subsequently
transfered and maintained on rice media until± 21 days old. Fungi from this
culture were used in this study. Bioassay were conducted with five levels of
density, i.e. 105, 106, 107, 108 and 109 conidia/mL with ± 3 mL application volume
for each treatment. Each treatment were made of four replicates. The number of
larvae that were used for each replicate were 20 larvae, while the eggs treatment
consistedof one egg mass per replicate. Probit analysis was used to analyze the
mortality data and to estimate the value of LC.
Result of this study indicated that B. bassiana with 109 conidia/mL caused
78.75% mortality of 2rd instar larvae, whereasthe same conidial density of L.
lecanii caused 71.25% mortality. The value of LC50 were 1.39 x 106 conidia/mL
for B. bassiana and 1.62 x 106 for L. lecanii; both LC values were calculated at 7
days observation. While 100% egg mortality was achieved by application of B.
bassiana at 109 conidia/mL, the same degree of mortality could be achieved by L.

lecanii at lower density,i.e. 108konidia/mL. Value of LC for both fungi against
eggs at 3 days post treatment are 9.6 x 105 and 6.1 x 105 conidia/mL, respectively.

Keywords:conidia, density, eggs, larvae, mortality

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.)
(Viegas) Zare & Gams TERHADAP PENGGEREK
BATANG JAGUNG ASIA Ostrinia furnacalis Guenée
(LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)


DIANA AGUSTIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Tesis : Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas)
Zare & Gams terhadap Penggerek Batang Jagung Asia Ostrinia
furnacalis Guenée (Lepidoptera: Crambidae)
Nama
: Diana agustin

NIM
: A351110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Teguh Santoso, DEA
Ketua

Dr Ir Ruly Anwar, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Pudjianto, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret hingga September
2013 ini ialah cendawan entomopatogen, dengan judul Keefektifan Cendawan
Entomopatogen Beauveria bassiana (balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium
lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare& Gams terhadap Penggerek Batang Jagung Asia
Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Crambidae).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Teguh Santoso dan
Bapak Dr Ir Ruly Anwar selaku pembimbing. Penulis juga menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Bapak Saefudin yang telah membantu selama koleksi
serangga dari lapang. Di samping itu, terima kasih juga disampaikan kepada
orangtua, suamiku tercinta Bambang Suhendro SH, dan anak-anakku tersayang

M. Ikbaar al Islami, Aqila Fayyaza dan M. Azam al Fayyadh atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Diana Agustin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian





2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penggerek Batang Jagung Asia (Ostrinia furnacalis)
Cendawan Entomopatogen
Beauveria bassiana
Lecanicillium lecanii

3

3
5
6

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

Persiapan Serangga Uji dan Cendawan Uji
Pemeliharaan Serangga Uji
Preparasi B. bassiana dan L. lecanii pada media beras
Penyiapan Suspensi B. bassiana dan L. lecanii untuk Pengujian
Uji Mortalitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Larva O. furnacalis
Uji Mortalitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Telur O. furnacalis
Rancangan Percobaan




9
11
12
12
12 
13 

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Infektifitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Larva O. furnacalis
Infektifitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Telur O. furnacalis
Pembahasan Umum

15 
15
15
19
23 

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29 
29 
29 

DAFTAR PUSTAKA

31 

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Mortalitas larva O. furnacalis setelah aplikasi B. bassiana selama tujuh
hari pengamatan
Mortalitas larva O. furnacalis setelah aplikasi L. lecanii selama tujuh hari
pengamatan
Mortalitas kumulatif larva O. furnacalis setelah aplikasiB.
bassianaselama tujuh hari pengamatan
Mortalitas kumulatif larva O. furnacalis setelah aplikasi B.
bassianaselama tujuh hari pengamatan
Mortalitas telur O. furnacalis selama lima hari pengamatan setelah
aplikasiB. bassiana
Mortalitas telur O. furnacalis selama lima hari pengamatan setelah
aplikasi L. lecanii
Persentase kumulatif larva instar I yang mampu hidup setelah aplikasi B.
bassiana pada telur O. furnacalis
Persentase kumulatif larva instar I yang mampu hidup setelah aplikasi L.
lecanii pada telur O. furnacalis
Jumlah imago O. furnacalis yang berasal dari koleksi potongan batang
dan rasio jantan dan betina

15
16
16
17
20
20
21
21
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7
8
9

10
11
12
13
14
15

Gejala serangan O. furnacalis pada batang jagung berupa liang bekas
gerekan
Kurungan untuk pemeliharaan imago O. furnacalis
Telur O. furnacalis yang hampir menetas
Bangkai T. molitor yang ditumbuhi miselia cendawan entomopatogen
Cendawan entomopatogen yang diperbanyak di media beras
Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas larva O.
furnacalis akibat perlakuan cendawan B. bassiana (A) dan L. lecanii
(B) pada tujuh hari setelah aplikasi
Bangkai O. furnacalis yang ditumbuhi miselia B. bassiana dan L.
lecanii
Konidiofor B. bassiana berbentuk zigzag dan L. lecani seperti huruf V
Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas telur O.
furnacalis akibat perlakuan cendawan B. bassiana (A) dan L. lecanii
(B) pada lima hari setelah aplikasi
Pertanaman jagung yang banyak menunjukkan tanda terserang O.
furnacalis
Tahapan perkembangan O. furnacalis: telur, larva, pupa dan imago
Koloni L. lecanii dan B. bassiana pada media PDA
Konidia B. bassiana yang diambil dari bangkai larva dan telur O.
furnacalis
Konidia L. lecanii yang diambil dari bangkai larva dan telur O.
furnacalis
Larva O. furnacalis dengan infeksi awal, mulai ditumbuhi miselia dan
sudah ditutupi miselia cendawan entomopatogen

9
10
10
11
12
18

19
19
22

23
24
25
25
26
26

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jagung merupakan tanaman pangan sumber makanan pokok serta
merupakan produk pertanian yang mempunyai peranan strategis dan ekonomis di
Indonesia. Peranan jagung selain sebagai bahan pangan (food) dan pakan (feed),
juga banyak digunakan sebagai bahan baku energi (fuel) serta bahan baku industri
lainnya yang kebutuhannya setiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2020, permintaan jagung di negara sedang berkembang akan melebihi permintaan
beras dan gandum. Permintaan jagung dunia diperkirakan akan meningkat 50%,
yakni dari 558 juta ton pada tahun 1995 menjadi 837 juta ton pada tahun 2020
(Dirjen Tanaman Pangan 2011).
Pada tahun 2013 produksi jagung di Indonesia ditargetkan mencapai 19.83
juta ton. Meskipun secara nasional produktivitas jagung meningkat, namun di
tingkat petani produktivitas jagung masih rendah yaitu antara 1.0-7.0 ton/ha,
sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produktivitas jagung bisa
mencapai 10 ton/ha (Dirjen Tanaman Pangan 2011; BPS 2013).
Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas jagung adalah adanya
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa hama penting pada
tanaman jagung yang sering menimbulkan kerusakan berat di Indonesia adalah
lalat bibit, Antherigona exigua (Diptera: Anthomyiidae), penggerek batang,
Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) dan kumbang bubuk, Sitophilus
zeamais (Coleoptera: Curculionidae) (Dirjen Tanaman Pangan 2011).
Hama O. furnacalis merupakan hama utama pada tanaman jagung yang
dapat merusak batang, tongkol, dan bunga jantan. Hama penggerek ini menyerang
seluruh fase perkembangan tanaman dan seluruh bagian tanaman jagung.
Kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini dapat mencapai 80% (Bato et al.
1983). Kehilangan hasil terbesar terjadi ketika kerusakan terjadi pada fase
reproduktif. Gejala serangan berupa lubang kecil pada daun, gerekan pada batang,
kerusakan pada tassel dan kerusakan sebagian pada janggel (Kalshoven 1981).
Di Indonesia belum tersedia jagung berproduksi tinggi yang tahan
terhadap penggerek batang. Jika terjadi serangan hama ini, umumnya petani
menggunakan insektisida. Namun, penggunaan insektisida yang tidak bijaksana
dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti timbulnya resistensi,
resurjensi serta dampak terhadap lingkungan lainnya serta harganya yang relatif
mahal (Mas’ud 2010).
Dalam era globalisasi, kesadaran masyarakat akan kesehatan makin
meningkat. Hal ini ditandai oleh makin tingginya tuntutan akan kualitas
komoditas pertanian yang antara lain mensyaratkan suatu produk harus bebas
pestisida. Berkaitan dengan hal itu, maka pengendalian hama perlu dilakukan
dengan cara yang aman dan sesuai dengan konsep PHT (pengendalian hama
terpadu), antara lain dengan memanfaatkan agens hayati berupa cendawan
entomopatogen. Di Indonesia, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk
mengendalikan hama pada tanaman pangan masih rendah, jika dibandingkan
dengan pada tanaman perkebunan.

2
Saat ini sudah banyak diteliti keefektifan mikroorganisme musuh alami
serangga seperti virus, cendawan, nematoda dan bakteri sebagai teknologi
alternatif untuk mengendalikan serangan hama (Mas’ud 2010). Beberapa
cendawan entomopatogen yang banyak diteliti keefektifannya dalam
mengendalikan hama antara lain dari genusBeauveria, Metarhizium dan
Lecanicillium. Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Lecanicillium
lecanii merupakan jenis agen hayati yang sudah diketahui potensinya untuk
mengendalikan berbagai jenis hama. Menurut Soehardjan dan Sudarmaji (1993)
B. bassiana efektif menyerang serangga perusak tanaman. Cendawan ini
menginfeksi serangga target melalui kontak kutikula, mulut, sistem pencernaan
dan pernafasan serangga. Cendawan ini mudah dikembangbiakkan, diproduksi
secara sederhana tanpa bantuan alat yang canggih. Cendawan entomopatogen B.
bassiana dilaporkan efektif untuk mengendalikan larva instar III Ostrinia
furnacalis (Surtikanti et al.1997).Pada komoditas tanaman pangan lain, B.
bassiana juga dilaporkan efektif terhadap serangga hama Spodoptera litura (Yasin
et al. 1997), Cylas formicarius (Bari 2006;Ratissa 2011).
Penelitian Miller et al. (2003) juga menunjukkan keefektifan cendawan ini
dalam mengendalikan Sphaerotheca macularis dan S.fuliginea yang menyerang
tanaman strawberi. Hasil penelitian Prayogo (2004) menunjukkan bahwa L.
lecanii efektif untuk mengendalikan hama Riptortuslinearis. Selain itu, Prayogo
(2012) menyatakan bahwa L. lecanii juga efektif untuk mengendalikan Bemisia
tabaci vektor penyakit SMV pada tanaman kedelai. Selain untuk mengendalikan
serangga hama, L. lecanii juga dilaporkan efektif mengendalikan nematoda
Heteroderaglycines yang menyerang tanaman kedelai (Meyer et al. 1998; Shinya
et al.2008). Mengingat potensi L. lecanii sebagai agens pengendali hama pada
fase telur, penelitian ini mencoba mempelajari potensi tersebut terhadap hama
O.furnacalis di laboratorium.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan cendawan
entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii terhadap telur dan larva penggerek
batang jagung Asia O. furnacalis.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini nantinya akan memberikan informasi mengenai
keefektifan dari kedua cendawan entomopatogen di atas untuk mengendalikan
telur dan larvaO. furnacalis.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penggerek Batang Jagung Asia (Ostriniafurnacalis) Guenée
(Lepidoptera: Crambidae)
Penggerek batang jagung Asia, O. furnacalis Guenee merupakan salah satu
hama utama pada pertanaman jagung. Wilayah penyebaran O. furnacalis meliputi
seluruh Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur dan Australia. Di Indonesia,
serangga ini menyerang pertanaman jagung di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Papua (Kalshoven 1981).
Larva penggerek batang jagung dapat merusak daun, batang, serta bunga
jantan dan betina. Larva instar I-III merusak daun dan bunga jantan, sedangkan
larva instar IV-V merusak batang dan tongkol. Serangan pada tanaman jagung
umur 2 dan 4 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, pucuk dan batang; pada
tanaman umur 6 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, batang, bunga jantan
dan bunga betina; dan pada tanaman umur 8 minggu menyebabkan kerusakan
pada daun dan batang (Nonci 2004).
Nonci dan Baco (1991) mengemukakan bahwa stadia telur berlangsung 34 hari. Telur diletakkan berkelompok. Jumlah telur yang diletakkan dalam satu
kelompok telur bervariasi antara 5 hingga lebih dari 100 butir. Di laboratorium,
jumlah telur setiap kelompok beragam dari 2 hingga 200 butir (Kalshoven 1981).
Stadia larva bervariasi, tergantung pada bagian tanaman jagung yang
dimakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jagung umur 6 minggu
paling disenangi oleh larva O. furnacalis. Perkembangan larva terdiri atas lima
instar dengan ukuran yang berbeda-beda. Pupa terbentuk di dalam batang dengan
stadia bervariasi antara 7-9 hari atau rata-rata 8.50 hari (Nonci 2004).
Ngengat biasanya muncul serta aktif pada malam hari dan segera
berkopulasi. Lama hidup ngengat antara 2-7 hari. Ukuran ngengat betina lebih
besar daripada ngengat jantan dan warna sayap ngengat jantan lebih terang
daripada betina (Nonci dan Baco 1991).
Kehilangan hasil akibat serangan O. furnacalis berkisar antara 20%-80%
(Nonci dan Baco 1987). Kehilangan hasil terbesar ketika kerusakan terjadi pada
fase reproduktif (Kalshoven 1981). Kehilangan hasil di lapangan, selain
dipengaruhi oleh kepadatan populasi larva O. furnacalis juga ditentukan oleh
umur tanaman jagung saat terserang. O. furnacalis meletakkan telur pada
pertanaman jagung di lapangan pada 15 HST (hari setelah tanam) dan serangan
berakhir pada 75 HST (Nonci dan Baco 1991). Belum tersedia varietas jagung
berproduksi tinggi yang tahan terhadap hama penggerek batang. Pengendalian
hama ini di lapangan masih mengandalkan insektisida (Mas’ud 2010).
Gejala serangan penggerek pada batang jagung yaitu adanya lubang
gerekan disertai kotoran penggerek berupa serbuk yang keluar dari lubang
gerekan tersebut. Indikator penting dan lebih cepat dalam hubungannya dengan
kehilangan hasil adalah jumlah lubang pada tanaman dibanding jumlah larva atau
pupa. Gerekan yang dilakukan penggerek jagung akan mengurangi pergerakan air
dari tanah ke bagian atas daun karena rusaknya jaringan tanaman. Tanaman
melakukan respon dengan menutup stomata sebagian, sehingga pengambilan

4
C02melalui stomata menurun yang berakibat terhadap penurunan tingkat
fotosintesis (Godfrey et al. 1991).

Cendawan Entomopatogen
Cendawan entomopatogen tergolong salah satu dari organisme yang dapat
menyebabkan sakit pada serangga. Penularan cendawan entomopatogen lebih
sering terjadi melalui kontak dengan integumen serangga. Keefektifan cendawan
entomopatogen untuk mengendalikan hama sasaran sangat tergantung pada
keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama yang
dikendalikan, stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan faktor
lingkungan.
Pengendalian
hayati
serangga
hama
menggunakan
cendawan
entomopatogen memiliki beberapa kelebihan dibanding pestisida kimia sintetik
antara lain, mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek,
membentuk spora yang dapat bertahan lama di alam dalam kondisi lingkungan
yang tidak menguntungkan, sifatnya lebih spesifik, biaya relatif lebih murah,
relatif mudah diproduksi, relatif lebih aman bagi ekosistem dan kemungkinan
sangat kecil akan terjadi resistensi (Hall 1973; Castillo et al. 2000). Cendawan
entomopatogen mempunyai peran yang nyata dalam mengendalikan berbagai
hama pertanian. Tidak seperti bakteri ataupun virus, cendawan mampu
menginfeksi inangnya langsung melalui kutikula. Meskipun dilaporkan ada
sekitar 700-750 spesies cendawan entomopatogen tetapi hanya sekitar 12 spesies
yang banyak digunakan untuk mengendalikan serangga hama (Stark dan Banks
2003). Beauveria, Metarhizium, Paecilomyces, Nomuraea, Verticillium,
Hirsutella, Aspergillus, Sorosporella, Tolypocladium, dan Culinomyces
merupakan genus yang dapat menyebabkan kematian pada serangga (Tanada dan
Kaya 1993).
Menurut Ferron (1985) terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga
yang disebabkan oleh cendawan: (1) inokulasi, yaitu kontak antara propagul
cendawan (misalnya konidia) dengan tubuh serangga inang; (2) proses
penempelan dan perkecambahan propagul cendawan dengan integumen serangga.
(3) penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. dan (4) destruksi pada titik penetrasi
dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan
membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya.Tahap penempelan
dan perkecambahan propagul sangat membutuhkan kelembaban yang tinggi.
Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan
membentuk tabung kecambah (apresorium). Penembusan dilakukan secara
mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.Santoso (1993)
mengatakan bahwa apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit
hanya berlangsung dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen.
Chadler (2005) menyatakan bahwa keempat tahapan di atas dapat dibagi
menjadi dua mekanisme, pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva
yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya
melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosel serangga;yang kedua yaitu
melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang

5
kemudian akan berkecambah dan tumbuh di bagian belakang saluran pencernaan.
Selanjutnya hifa berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan
hemosel serangga. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang
dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan atau produksi toksin.
Biasanya sebelum cendawan membentuk hifa (proliferasi) dalam hemosel,
serangga sendiri mengembangkan sistem pertahanan diri, misalnya dengan
fagositosis yang biasanya dilakukan oleh plasmatosit atau enkapsulasi dengan
membentuk granuloma.
Beauveria bassiana
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin (Deuteromycota: Hypomycetes)
adalah cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tahun 1835 oleh Agostino
Bassi yang menyebabkan muscardine disease pada ulat sutera (Tanada dan Kaya
1993; Alexopoulos dan Mims 1996). B. bassiana memiliki kisaran inang yang
luas. Dengan kemampuan menginfeksi inang yang luas, menyebabkan cendawan
ini memiliki strain dan isolat yang beragam. Indonesia, dengan iklim tropik yang
dimilikinya memungkinkan B. bassiana hidup dengan keragaman strain.
Keragaman strain ini akan berpengaruh terhadap kemampuannya menginfeksi
inang (Trizelia 2005). Cendawan ini dapat menyerang serangga dari berbagai ordo
serta mampu menyerang seluruh stadia perkembangan serangga. Cendawan
B.bassiana di luar negeri seperti di Jepang dan Eropa telah dikenal luas
penggunaannya. Di antara perusahaan yang mengembangkan formula B. bassiana
adalah Mycotech Corp. dan Troy BioSciences.(Hassanloui et al. 2007).
B. bassiana mempunyai konidiofor tunggal dan bercabang dengan pola
zigzag jika telah menghasilkan konidia. Konidia keras, bersel satu, berbentuk
bulat atau oval, hialin, berukuran 2-3 µm dan terbentuk pada tiap ujung
percabangan konidiofor. Hifanya hialin, bersekat dan bercabang. Miselia
berbentuk seperti benang, berwarna kuning pucat atau putih, tampak seperti
tepung atau kapas. B. bassiana termasuk ke dalam fungi imperfect (tidak
sempurna) karena tidak ditemukan fase seksualnya sehingga bereproduksi secara
aseksual dengan menggunakan konidia (Steinhaus 1963; Tanada dan Kaya 1993).
B. bassiana memiliki kemampuan adaptasi yang baik untuk mampu
bertahan di dalam tanah dalam bentuk konidia atau hifa saprofit. Cendawan
bertahan dalam bentuk dorman selama kondisi lingkungan tidak mendukung
pertumbuhan atau bila inang tidak tersedia, ketika inang telah tersedia maka
proses infeksi akan terjadi. Infeksi B. bassiana pada inangnya terjadi melalui tiga
tahap, yaitu adhesi, perkecambahan dan penetrasi. Cendawan ini dapat hidup pada
pH antara 3.3-8.5 dengan pH optimum 6.7 (Boucias et al. 1998). Cendawan ini
menghasilkan beberapa toksin antara lain beauvericin, cyclosporin A, oosporein
dan bassianolidae. Daya kerja toksin tersebut adalah merusak jaringan atau organ
hemosel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem
pernafasan yang akhirnya menyebabkan kematian. Ketika inang sudah mati,
miselia menyebar dengan cepat memenuhi rongga tubuh dan menyebabkan tubuh
inang mengeras. Pada kondisi yang optimal (25-30ºC), dapat menembus keluar
integumen dan menghasilkan konidia (Vey et al. 2001).
Mekanisme infeksi B. bassiana diawali dengan kontak antara konidia
cendawan dan kutikula serangga, kemudian konidia berkecambah, membentuk
apresoria dan hifa menembus integumen serta menghasilkan enzim kitinase dan

6
protease untuk melunakkan kutikula. Penetrasi berlangsung dalam waktu 12-24
jam dan kematian terjadi antara 48-72 jam kemudian (Purnama et al. 2003).
B. bassiana adalah parasit fakultatif. Cendawan ini potensial untuk
mengendalikan lebih dari 70 jenis serangga hama dari ordo yang berbeda terutama
dari ordo Lepidoptera (Kaur et al. 2011).
Mazra’awi (2007) menyatakan bahwa B. bassiana efektif diaplikasikan baik
melalui oral maupun topical terhadap Apis mellifera dalam kondisi laboratorium.
Hassanloui (2008) melaporkan bahwa B. bassiana efektif terhadap
Tetranychusurticae dan Myzuspersicae dengan rataan mortalitas mencapai 83%.
Hasil penelitian Castillo et al. (2000) juga menunjukkan bahwa B. bassiana
efektif terhadap Ceratitis capitata. Selain itu Howard et al. (2010) melaporkan
bahwa cendawan entomopatogen ini juga bisa digunakan untuk mengendalikan
nyamuk Culex quinquefasciatus. B. bassiana juga dilaporkan efektif untuk
mengendalikan kumbang saguRhynchoporus ferrugineus serta bubuk buah kopi
Hypothenemushampei di lapangan (Posada et al. 2007; Agullo et al. 2011).
Lecanicillium lecanii
Menurut Howard et al. (2010) karakteristik koloni L. lecanii adalah
berwarna putih pucat dengan diameter antara 4.0-7.3 cm setelah inokulasi pada
media potato dextrose agar (PDA). Koloni biasanya mulai tumbuh setelah 20 hari
diinokulasi pada media PDA. Prayogo (2005) menyatakan koloni cendawan L.
lecanii pada media PDA dalam cawan petri bisa mencapai ukuran 4.0-5.5 cm pada
hari ketiga setelah inokulasi. Konidiofor berupa fialid berbentuk seperti huruf V,
setiap konidiofor memproduksi 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantung
lendir (Aiuchi et al. 2007). Konidia berbentuk silinder sampai elips, terdiri dari
satu sel, tidak berwarna (hialin), berukuran 1.9-2.2 x 5.0-6.1 µm (Feng et al.
2002). Cendawan ini tumbuh baik pada suhu 15-30 ºC, namun pertumbuhannya
akan terhambat pada suhu 35 ºC (Cuthbertson et al. 2005). Pertumbuhan yang
optimum cendawan ini pada suhu 25 ºC dan kelembaban 90%. Kelembaban yang
tinggi berperan dalam proses perkecambahan dan infeksi terhadap serangga inang.
Konidia akan berkecambah cepat pada suhu 20-25ºC (Fatiha et al. 2007).
Beberapa toksin yang dihasilkan cendawan ini antara lain cyclosporin A,
dipcolonicacid, dan hydroxycarboxylicacid (Vey et al. 2001).
Cendawan L. lecanii merupakan cendawan entomopatogen yang
mempunyai kisaran inang yang luas. Vu et al. (2007) mengemukakan ada
beberapa karakter fisiologi cendawan entomopatogen yang dapat digunakan
sebagai tolok ukur dalam pemilihan isolat yang virulen, antara lain kemampuan
mematikan inang, kecepatan pertumbuhan koloni, jumlah konidia yang diproduksi,
toleransi terhadap suhu, dan daya kecambah konidia. Selain virulensi isolat,
keberhasilan pengendalian hama juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang
diaplikasikan dan stadia inang yang rentan. Cendawan ini bisa ditemukan
menyerang nimfa maupun imago serangga. L. lecanii menyebabkan epizootik
yang luas di daerah tropis maupun subtropis, asalkan kondisi lingkungan hangat
dan lembab. Penelitian Prado et al. (2008) menunjukkan bahwa L.lecanii efektif
terhadap kutu kapuk kelapaAleurodicus cocois. Selain itu Park dan Keun (2010)
serta Bouhous et al. (2012) melaporkan bahwa L. lecanii juga efektif terhadap
Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Prayogo (2009) meneliti lebih
dalam keefektifan L. lecanii untuk pengendalian Riptortus linearis.

7
Cendawan V. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit
bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisasisa hasil pertanian. Cendawan ini mampu hidup pada bahan organik yang mati
dalam rentang waktu yang sangat lama (Tanada dan Kaya 1993).

8

9

3 METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret hingga
September 2013.

Persiapan Serangga Uji dan Cendawan Uji
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari pertanaman jagung
milik petani di daerah Dramaga, Bogor. Tanaman jagung yang menunjukkan
gejala terserang O. furnacalis berupa liang bekas gerekan di batang, dipotongpotong ± 15 cm (gambar 1).

Gambar 1 Gejala serangan O. furnacalis pada batang jagung berupa liang
bekas gerekan
Selanjutnya potongan batang bergejala ini dibawa ke laboratorium untuk
dipelihara lebih lanjut. Potongan batang jagung tersebut diletakkan dalam wadah
plastik berukuran 33 cm x 16 cm x 8 cm yang bagian atas dan bawahnya telah
dialasi tisu lalu dibiarkan hingga imagonya keluar dari lubang gerekan. Tutup
wadah dilubangi dan diberi kain kasa untuk sirkulasi udara dalam wadah. Satu
wadah plastik biasanya bisa menampung 15-20 potongan batang jagung. Imago
biasanya mulai muncul sejak seminggu hingga sebulan setelah koleksi dari
lapangan. Imago yang muncul kemudian dipindahkan dalam kotak pemeliharaan
yang berukuran 20cm x 15cm x 15cm yang bagian atasnya telah dilapisi kertas
untuk tempat meletakkan telur serta lembaran busa yang telah dilembabkan untuk
menjaga kelembaban dalam kotak pemeliharaan (Gambar 2).

10

Gambar 2 Kurungan untuk pemeliharaan imago O. furnacalis
Imago diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada potongan busa
berdiameter ± 8 cm yang diletakkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Imago
dipelihara sampai meletakkan telur. Banyaknya cawan petri berisi larutan madu
yang diletakkan dalam kotak pemeliharaan masing-masing 4 cawan. Dalam satu
kotak pemeliharaan bisa menampung hingga 20 imago jantan dan betina. Telurtelur yang diletakkan dipindahkan dan disimpan dalam inkubator pada suhu 12ºC
untuk menunda penetasannya. Setelah telur yang terkumpul jumlahnya cukup
untuk digunakan dalam pengujian, telur dikeluarkan dari inkubator dan
dipindahkan ke cawan petri yang telah dialasi kertas saring yang sudah
dilembabkan hingga menetas menjadi larva. Larva-larva tersebut kemudian
dipindahkan dalam wadah plastik berukuran 33cm x 16cm x 8cm yang telah
dialasi tisu yang sudah dilembabkan pada bagian bawah dan atasnya serta diberi
pakan jagung muda untuk selanjutnya digunakan dalam pengujian sesuai dengan
instar yang dibutuhkan. Pakan madu diganti tiap 2 hari, sedangkan jagung muda
diganti tiap 3 hari. Sementara untuk pengujian menggunakan telur, telur dibiarkan
2-3 hari di inkubator hingga siap untuk dilakukan pengujian. Kelompok telur yang
digunakan dalam pengujian adalah yang sudah hampir menetas dan
memperlihatkan bakal kepala larva yang berwarna hitam (Gambar 3).

Gambar 3 Telur O. furnacalis yang hampir menetas, ditandai dengan bakal kepala
larva yang berwarna hitam

11
Preparasi B. bassiana dan L.lecanii
Isolat cendawan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari koleksi
Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Untuk
meningkatkan virulensinya, cendawan tersebut diinokulasikan lagi ke tubuh
serangga untuk melengkapi fase infektifnya. Serangga inang yang digunakan
adalah kumbang Tenebrio molitor. Larva T.molitor didapat dari pasar burung di
daerah Empang, Bogor. Larva-larva ini diberi pakan pellet dan dipelihara dalam
wadah plastik (seperti yang digunakan untuk meyimpan potongan batang jagung
dari lapangan) hingga menjadi imago. Imago inilah yang kemudian digunakan
untuk menaikkan virulensi cendawan B. bassiana dan L. lecanii yang sudah lama
disimpan di laboratorium.
Suspensi dari masing-masing isolat dibuat, lalu disemprotkan pada T.
molitor dan dibiarkan hingga tumbuh miseliumnya (Gambar 4). Miselia tersebut
kemudian diisolasi pada PDA. Isolat yang berasal dari T. molitor yang sudah
dimurnikan pada media PDA inilah yang akan diperbanyak pada media beras
untuk digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 4 Bangkai T. molitor yang ditumbuhi miselia cendawan entomopatogen
berwarna putih
Perbanyakan B. bassiana dan L. lecanii pada Media Beras
Biakan murni isolat B. bassiana dan L. lecanii dari media PDA umur 14 hari
selanjutnya diperbanyak pada media beras. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
kerapatan konidia yang diperlukan dalam penelitian ini. Beras yang sudah dicuci
hingga bersih, dikukus setengah matang lalu didinginkan dalam nampan-nampan
plastik. Media sebanyak ± 50 g dimasukkan dalam kantong-katong plastik bening
tahan panas. Media beras tersebut disterilisasi dengan autoklaf. Setelah dingin,
mediadiinokulasi denganB. bassiana dan L. lecanii. Media beras diusahakan agar
bercampur dengan konidia cendawan. Semua tahapan dilakukan pada kondisi
steril dalam laminarflow. Biakan cendawan ini diinkubasi selama 21 hari, umur
optimum untuk pengujian (Gambar 5).

12

Gambar 5 Cendawan entomopatogen yang diperbanyak pada media beras
Penyiapan Suspensi B bassiana dan L.lecanii untuk Pengujian
BiakanB. bassiana dan L. lecanii pada media beras dibuat suspensi. Media
diambil sebanyak 2 kantong (50 g/kantong) dan digerus dengan mortar sampai
halus. Akuades yang telah disterilkan ditambahkan pada media sebanyak 100
mLdan larutan Tween 20 sebanyak 0.025 mL tiap 50 mL air (0.05%), lalu
dikocok dengan vortex selama 30 detik hingga homogen. Campuran disaring
dengan kain kasa halus dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 100
mL. Kerapatan konidia dari suspensi dihitung dengan menggunakan
haemocytometer Neubauer-improved hingga didapatkan kerapatan konidia yang
tertinggi yaitu 109 konidia/mL. Kerapatan konidia lainnya diperoleh dengan
membuat pengenceran bertingkat dengan campuran akuades steril.

Uji Mortalitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Telur O. furnacalis
Sebelum perlakuan, kelompok-kelompok telur O. furnacalis diseragamkan
perkembangannya dengan cara disimpan dalam inkubator pada suhu ± 10ºC. Telur
yang digunakan dalam pengujian adalah yang sudah hampir menetas, yang
ditandai mulai terlihat bintik-bintik berwarna hitam yang merupakan bakal kepala
larva. Jumlah telur dalam masing-masing kelompok dihitung terlebih dahulu di
bawah mikroskop sebelum perlakuan. Kerapatan konidia yang digunakan pada
perlakuan telurO. furnacalis, yaitu 105, 106, 107, 108 dan 109 konidia/mL dan
volume semprot ± 3 mL untuk masing-masing perlakuan. Setiap perlakuan
dilakukan 4 ulangan. Perlakuan dilakukan dengan cara menyemprot kelompok
telur yang diletakkan dalam cawan petri berdiameter 8 cm yang sudah dialasi
kertas saring yang telah dilembabkan terlebih dulu. Perlakuan kontrol dilakukan
dengan menyemprotkan air steril pada permukaan kelompok telur. Pengamatan
dilakukan setiap hari selama lima hari. Telur yang tidak menetas dari tiap-tiap
kelompok telur diamati. Selain itu juga diamati miselia cendawan entomopatogen
yang tumbuh pada cangkang telur

13
Uji Mortalitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Larva O. furnacalis
Pada cawan petri berdiameter 9 cm dimasukkan 20 ekor larva instar II O.
furnacalis.Larva-larva tersebut disemprot dengan konidia B. bassiana dengan
kerapatan 105,106,107,108 dan 109 konidia/mL. Tiap-tiap perlakuan dibuat ulangan
sebanyak 4 ulangan. Volume suspensi yang disemprotkan ± 3mL untuk masingmasing perlakuan. Perlakuan kontrol dilakukan dengan menyemprotkan air steril.
Larva-larva dipindahkan ke dalam cawan petri berdiameter 15 cm yang telah
dialasi tisu dan diberi jagung muda untuk pakannya. Wadah-wadah tersebut
diletakkan di atas meja laboratorium dengan suhu ruang untuk diamati lebih lanjut.
Untuk menjaga kelembaban, air steril disemprotkan ke kertas tisu bersamaan
dengan penggantian pakan. Mortalitas larvadan LC50diamati setiap hari selama
tujuh hari.dari masing-masing perlakuan. Selain itu miseliayang tumbuh pada
larva yang mati diamati. Seluruh data yang diperoleh dicatat untuk dianalisis lebih
lanjut. Pengujian yang sama juga dilakukan dengan menggunakan cendawan uji L.
lecanii.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 perlakuan kerapatan konidia, 1 kontrol dan 4 ulangan. ANOVA
dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.1 dan dilanjutkan dengan
analisis PROBIT untuk mengetahui kerapatan konidia cendawan yang efektif pada
LC50. Apabila terdapat perbedaan antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan uji selang berganda Duncan pada α=0.05.

14

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Infektifitas B. bassiana dan L. lecanii terhadap Larva O. furnacalis
Hasil pengamatan pada perlakuan larva O. furnacalis dengan cendawan B.
bassiana dari hari pertama hingga hari ketujuh terlihat terjadi peningkatan
mortalitas larva pada semua perlakuan, kecuali perlakuan dengan kerapatan 105
konidia/mL terlihat mortalitas larva hanya terjadi hingga hari keempat
pengamatan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerapatan konidia yang
rendah.Soehardjan dan Sudarmaji (1993) melaporkan bahwa konsentrasi
cendawan patogen yang menimbulkan daya bunuh yang optimal terhadap
serangga berada pada tingkat 107 konidia/mL suspensi. Persentase mortalitas
tertinggi terlihat pada kerapatan 109 konidia/mL yaitu 78.75% (Tabel 1).

Tabel 1 Mortalitas larva O. furnacalis setelah aplikasi B. bassiana selama
tujuh hari pengamatan
Mortalitas (%)a
Kerapatan
hari setelah perlakuaan (HSP)
konidia/mL
2
3
4
5
6
7
1
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
Kontrol
13.75b
21.25b
25.00b
27.50b 27.50b
27.50b
27.50b
105
6
5.00a
11.25ab
16.25ab 31.25bc 36.25bc 37.50bc
38.75b
10
7
11.25ab
22.50bc
31.30bc
36.25bc
42.50bc
47.50bc
53.75c
10
8
15.00bc 30.00bc
32.50bc 38.75bc 47.50bc 56.25bc
61.25c
10
9
26.25c
43.75c
55.00c
57.75c
66.25c
75.00c
78.75d
10
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α = 0.05

Menurut Melina (2008) kematian serangga akibat cendawan
entomopatogen biasanya terjadi 2 harisampai 14 hari setelah terinfeksi, namun
kematian bisa pula terjadi kurang dari 24 jam. Cepat atau lambat terjadinya
mortalitas pada serangga uji bergantung pada kerentanan dari masing-masing
individu serangga. Semakin muda instar larva yang digunakan, biasanya
kerentanannya terhadap patogen juga semakin tinggi. Selain itu, isolat yang
berbeda juga akan menyebabkan mortalitas yang berbeda terhadap serangga uji
(Trizelia 2005). Kematian serangga biasanya terjadi karena rusaknya jaringanjaringan tubuh serangga yang dipenuhi miselia yang menyebar dengan cepat dan
memenuhi hemosel serangga inang, semua cairan tubuh inang digunakan untuk
multiplikasi cendawan sehingga menyebabkan serangga mati dengan tubuh
mengeras. Kematian serangga inang berhubungan erat dengan total konidia yang
tertelan dan yang kontak dengan serangga.
Mortalitas larva yang tertinggi pada perlakuan larva O. furnacalis
menggunakanL. lecanii juga terlihat pada kerapatan 109 konidia/mL hasil

16
pengamatan hari pertama hingga hari ketujuh terjadi peningkatan mortalitas larva
(Tabel 2).
Mortalitas yang tertinggi terjadi pada perlakuan dengan kerapatan 109
konidia/mL yaitu sebesar 71.25%. Selain itu mortalitas larva juga masih
bertambah hingga hari ketujuh pengamatan. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 dapat
dilihat bahwa aplikasi cendawan patogen B. bassianamengakibatkan mortalitas
yang lebih tinggi terhadap larva O. furnacalis dibandingkan L. lecanii. Hasil
tersebut sesuai dengan yang dilaporkan Prayogo (2002) yang mengemukakan
bahwa B. bassiana menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan L.
lecanii terhadap Spodoptera litura.

Tabel 2 Mortalitas larva O. furnacalis setelah aplikasi L. lecanii selama tujuh hari
pengamatan
Mortalitas (%)a
Kerapatan
hari setelah perlakuaan (HSP)
konidia/mL
2
3
4
5
6
7
1
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
Kontrol
5
5.00a
7.50a
7.50a
8.75a
11.25b
18.75b
20.00b
10
6.25a
13.75ab
20.00b
21.25b 26.25c
31.25c
35.00c
106
7
11.25ab 16.25b
21.25b
26.25b 35.00c
46.25cd
51.25c
10
12.50ab 23.75bc
31.25b
41.25c 51.25cd 58.75cd
67.50d
108
9
26.25b
37.50c
50.00c
57.50d 61.25d
65.00d
71.25e
10
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α = 0.05

Tabel 3 Mortalitas kumulatif larva O. furnacalis yang yang mati selama tujuh
hari pengamatan setelah aplikasi B. bassiana
Kerapatan (konidia/ml)
Mortalitas (%±SD)a
Kontrol
00.00±0.00a
5
10
27.50±1.29b
106
38.75±1.25b
107
53.75±2.63c
8
10
61.25±1.89c
109
78.75±3.20d
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α =0.05

17
Tabel 4 Mortalitas kumulatif larva O. furnacalis yang yang mati selama tujuh
hari pengamatan setelah aplikasiL. lecanii
Kerapatan (konidia/ml)
Mortalitas (%±SD)a
Kontrol
00.00±0.00a
105
20.00±1.82b
106
35.00±2.16c
7
10
51.25±2.06c
108
67.62±1.50d
109
71.25±3.90e
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α =0.05

Secara kumulatif baik aplikasi menggunakan cendawan patogen B. bassiana
maupun L. lecanii menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya kerapatan
konidia/mL suspensi, maka mortalitas larva O. furnacalis juga akan semakin
tinggi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan James dan Lighthart (1994) bahwa
adanya korelasi positif antara kerapatan konidia cendawan entomopatogen dengan
mortalitas serangga uji, yaitu semakin tinggi kerapatan konidia cendawan
entomopatogen maka mortalitas serangga uji juga semakin tinggi. Persentase
mortalitas tertinggi untuk aplikasi menggunakan B. bassiana yaitu 78.75% dan L.
lecanii 71.25%. Sedangkan yang terendah 27.50% untuk aplikasi menggunakan B.
bassiana dan 20 % untuk L. lecanii. Berdasarkandata ini terlihat bahwaB.
bassiana memiliki persentase mortalitas yang lebih tinggi terhadap larva O.
furnacalis dibandingkan L. lecanii (Tabel 3 dan 4).
Analisis regresi dibuat berdasarkan data mortalitas larva hingga hari ketujuh
pengamatan.Persamaan garis regresi yang didapat dari hasil perlakuanB. bassiana
terhadap larva O. furnacalis yaitu y=12.49x+14.50, yang artinya jika kerapatan
konidia B. bassiana naik sebesar 101 (satu unit) maka mortalitas akan ikut naik
sebesar 12.49% (Gambar 6). Analisis probit dilakukan untuk mengetahui
pengaruh infeksiB. bassiana terhadap larva O. furnacalis yang ditunjukkan
dengan nilai LC50 sebesar 1.39x106konidia/mL pada hari ketujuh pengamatan. Ini
artinyaB. bassiana dengan kerapatan sebesar 1.39x106 sudah mampu membunuh
50% dari populasi serangga uji O. furnacalis.
Perlakuan terhadap larva menggunakanL. lecanii menunjukkan nilai LC50
sebesar 1.62x106 konidia/mL dan persamaan regresi yang diperoleh yaitu
y=12.87x+9.12 (Gambar 6). Nilai LC50 ini menunjukkan bahwaL. lecanii
membutuhkan kerapatan konidia yang lebih tinggi dari B. bassiana untuk
mematikan 50% dari populasi larva O. furnacalisyang diuji. Sedangkan dengan
kenaikan unit kerapatan konidia yang sama,L.lecanii mampu menaikkan
persentase mortalitas larva O. furnacalis lebih tinggi dari B. bassiana jika dilihat
dari garis persamaan regresinya. Baik perlakuan dengan B. bassiana maupun L.
lecanii menghasilkan nilai R2 (koefisien regresi) yang lebih besar dari 0.9, ini
artinya infeksi yang disebabkan oleh kedua cendawan entomopatogen
berpengaruh terhadap mortalitas larva instar II O.furnacalis. Hal ini
dimungkinkan terjadi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol seperti di
laboratorium penelitian.

Mortalitas (%)

18

80
70
60
50
40
30
20
10
0

(A) B. bassiana

y = 12.496x + 14.504
R² = 0.9888

5

6

7

8

9

mortalitas (%)

Log kerapatan (konidia/ml)

80
70
60
50
40
30
20
10
0

(B) L. lecanii
y = 12.87x + 9.12
R² = 0.987

5

6

7

8

9

Log kerapatan (konidia/ml)

Gambar 6 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas larva
O. furnacalis akibat perlakuan cendawan B. bassiana (A) dan
L. lecanii (B) pada tujuh hari setelah aplikasi

Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa cendawan patogen
berkembang melalui spora atau konidia dan menginfeksi serangga target melalui
kulit, mulut, sistem pencernaan dan pernafasan serangga. Tubuh serangga yang
terinfeksi dan mati biasanya akan mengalami mumifikasi dan terlihat diselimuti
miselia berwarna putih. Hal ini juga terlihat pada larva O. furnacalis yang mati
setelah aplikasi menggunakan cendawan patogen B. bassiana dan L. lecanii
(Gambar 7).

19

a

b

Gambar 7 Bangkai O. furnacalis yang ditumbuhi miselia B. bassiana (a)
dan L. lecanii (b)
Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa tidak semua bangkai
larva yang terinfeksi cendawan B. bassiana dan L. lecanii dari tubuhnya tumbuh
miselia cendawan patogen tersebut. Menurut Trizelia (2005) dan Santoso (1993)
hal ini bisa terjadi karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk
perkembangan miselia cendawan di luar tubuh inangnya.
Pemeriksaan mikroskop menunjukkan bahwa konidia cendawan B.
bassiana berbentuk bulat atau oval dan terbentuk pada tiap ujung percabangan
konidiofor yang membentuk pola zigzag (rachis). Sementara cendawan L. lecanii
konidianya berbentuk silinder sampai elips yang biasanya terbungkus dalam
kantung lender dengan konidiofor seperti huruf V (Gambar 8). Ini berarti bahwa
cendawan yang tumbuh adalah cendawan yang berasal dari aplikasi percobaan.

a

b

Gambar 8 Konidiofor B. bassiana berbentuk zigzag (a) dan L. lecanii
seperti huruf V (b) (perbesaran 400x)

Infektifitas B. bassiana dan L. lecanii Terhadap Telur O. furnacalis
Kelompok telur O. furnacalis yang telah diaplikasi dengan cendawan
patogen B.bassiana dan L. lecanii tampak tertutupi oleh miselia masing-masing
cendawan yang mulai muncul pada hari ketiga setelah aplikasi.
Hasil pengamatan pada perlakuan telur yang diaplikasi denganB. bassiana
dan L. lecanii secara umum menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya
kerapatan konidia maka persentase telur yang tidak menetas akan semakin
meningkat juga. Pada perlakuan ini keseluruhan telur hanya menetas pada hari
ketiga setelah perlakuan dan tidak ada lagi telur yang menetas hingga hari kelima

20
pengamatan. Persentase mortalitas tertinggi dimana telur tidak menetas sebesar
100% terlihat pada perlakuan dengan kerapatan konidia 109 konidia/mL untuk B.
bassiana serta kerapatan 109 dan 108 konidia/mL untuk L. lecanii (Tabel 5 dan 6).

Tabel 5 Mortalitas telur O. furnacalis setelah aplikasi B. bassiana selama lima
hari pengamatan
Kerapatan (konidia/ml)
Mortalitas (%±SD)a
Kontrol
00.00±0.00a
5
10
27.02±2.00b
106
55.57±5.31bc
107
70.68±8.73cd
8
10
89.28±9.63d
109
100 ±6.24de
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α =0.05

Tabel 6 Mortalitas telur O. furnacalis setelah aplikasi L. lecanii selama lima hari
pengamatan
Kerapatan (konidia/ml)
Mortalitas (%±SD)a
Kontrol
00.00±0.00a
105
14.54±2.99a
6
10
52.53±9.81a
107
67.62±20.87ab
108
100±20.07b
109
100±26.31b
a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan, α =0.05

Hasil penelitian Alavo et al. (2002) dan Bouhous et al. (2012) bahwa
aplikasi L. lecanii padaB. tabaci dan T. pavorariorum dengan kerapatan konidia
104-107 konidia/mL mengakibatkan mortalitas serangga kurang dari 40 %, tetapi
apabila kerapatan konidianya ditingkatkan menjadi 108 konidia/mL mampu
menyebabkan mortalitas T. pavorariorum hingga mencapai 100 % dalam kurun
waktu lima hari setelah aplikasi.
Mortalitas telur O. furnacalis yang tinggi juga dimungkinkan karena
kondisi telur yang digunakan dalam pengujian sudah hampir menetas. Gindin et
al.(2000) dan del Prado et al. (2008) menyatakan bahwa telur yang efektif untuk
dikendalikan dengan cendawan entomopatogen adalah telur yang baru diletakkan
oleh imago atau telur yang sudah hampir menetas. Hal ini dikarenakan pada telur
yang baru diletakkan struktur bagian telur terluar, yaitu korion masih lentur
karena belum mengalami pengerasan (melanisasi), sehingga tabung kecambah
(germ tube) yang baru terbentuk pada konidia selanjutnya lebih mudah untuk
penetrasi masuk ke dalam jaringan telur. Sementara pada telur yang yang hampir
menetas, dimana struktur korion mulai pecah s

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) Dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Di Gudang

1 40 72

Kajian cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii Zare & Gams untuk menekan perkembangan telur hama pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis

3 20 161

Biological Control of Helopeltis sp., the Major Pest of Acacia crassicarpa Tree Plantation with Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii

1 18 45

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

3 10 50

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 12

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 2

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 4

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

The Effectiveness of Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana with the Addition of Insect Growth Regulator Lufenuron for Controlling Bactrocera carambolae

0 0 6