Optimasi sintesis monolaurin menggunakan katalis enzim lipase imobil pada circulated packed bed reaktor

OPTIMASI SINTESIS MONOLAURIN MENGGUNAKAN
KATALIS ENZIM LIPASE IMOBIL PADA
CIRCULATED PACKED BED REAKTOR

PRIMA LUNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Sintesis Monolaurin
Menggunakan Katalis Enzim Lipase Imobil pada Circulated Packed Bed Reaktor
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi dan
kutipan dari karya penulis lain, yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan,
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.


Bogor, April 2011

Prima Luna
NRP F251080341

ABSTRACT
PRIMA LUNA. Optimization Lipase-Catalyzed Synthesis of Monolaurin in
Circulated Packed Bed Reactor. Supervised by NURI ANDARWULAN and TRI
HARYATI
Monolaurin is a special food grade monogliceride, which has a function
beside as emulsifier and food preservative, also has an ability to destroy Herpes
and HIV-1 virus. It was reported that monolaurin had the greatest antimicrobial
activity among monoglycerides. Novozyme® 435 catalyze the esterification of
lauric acid and glycerol in organic solvent. The purpose of this research were : 1)
to obtain optimum condition to synthesis monolaurin using Novozyme® 435; 2) to
analyze the stability of Novozyme® 435 in continuous system. Continuous
Esterification was employed in circulated packed bed reactor. This research was
using Response Surface Methods (RSM) as experimental design and temperature
and time reaction were as variables.
Continuous circulated packed bed reactor had residence time of 23,57

minute, glycerol/ oil molar ratio of 5:1, solvent/substrate ratio of 8,8:1, and the
process produced MAG up to 80%. Optimization of synthesis MAG obtained
quadratic equation which was Y= - 61,700 + 6,088 x 1 +3,259 x 2 – 0,065 x 1 2 +
0,017 x 1 x 2 – 1,792 x 2 2 with R2 = 0,5408, optimum temperature and time reaction
of 46,92oC and 1,1 hour, respectively. The product yield was 81,09% and
contained MAG of 83,15%. The product had acid value of 1,78±0,08 %, peroxide
value of 0,49 ± 0,14 meq O 2 /kg MAG, free glycerol content of 0,26%, and
melting point 53-53,5oC. The enzyme remain stable during 10 reaction cycles and
up to 70% produced of MAG at each cycle.
Keywords: monolaurin, continuous esterification reaction, optimization, enzyme
stability

RINGKASAN

PRIMA LUNA. Optimasi Sintesis Monolaurin Menggunakan Katalis Enzim
Lipase Imobil Pada Circulated Packed Bed Reaktor. Dibimbing oleh: NURI
ANDARWULAN dan TRI HARYATI
Monoasilgliserol (MAG) adalah salah satu emulsifier yang banyak
digunakan sebagai bahan tambahan pangan. MAG secara luas digunakan dalam
produk bakeri, margarine, produk susu, dan confectionary karena sifat

emulsifikasi, stabilisasi, dan conditioning (Damstrup et al., 2005). Salah satu jenis
MAG, yaitu monolaurin, monogliserida dari asam laurat, merupakan salah satu
produk turunan dari minyak, yang memiliki keistimewaan. Kegunaan monolaurin
adalah sebagai bahan pengawet pangan dan sanitizer. Saat ini monolaurin sudah
banyak digunakan dalam industri kosmetik, farmasi dan obat-obatan. Monolaurin
dilaporkan memiliki kemampuan menghancurkan virus herpes dan HIV-1 serta
menurunkan resiko penularan virus ini pada bayi dari ibu hamil yang terinfeksi
HIV, selain itu monolaurin juga efektif menghambat sel vegetative B. Cereus,
mengakibatkan kerusakan membran, menyebabkan kebocoran protein intraselular
dan asam nukleat sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam
metabolisme pada bakteri gram prositif (Cotton dan Marshall, 1997; Kabara
1993). Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mencari kondisi optimum untuk sintesis
monolaurin melalui proses esterifikasi enzimatis circulated packed bed reactor; 2)
Menguji stabilitas enzim Novozyme® 435 dalam reaksi esterifikasi circulated
packed bed reactor.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah reaksi
esterifikasi enzimatis circulated packed bed reactor. Rancangan percobaan
optimasi pada penelitian ini menggunakan Central Composite Design dari
Response Surface Methods (RSM). Hasil penelitian pendahuluan menghasilkan
MAG 77,33 % dengan rendemennya sebesar 82,26% pada proses batch reaksi

esterifikasi enzimatis. Kondisi reaksi pada proses reaksi batch tersebut kemudian
dikonversi ke esterifikasi menggunakan reaktor packed bed sirkulasi. Kondisi
reaksi kontinyu menggunakan rasio asam lemak/gliserol (1:5); volume reaktan 50
ml, rasio substrat/ pelarut (1:8,8), dan residence time 23,57 menit. Hasil optimasi
reaksi kontinyu menggunakan respon permukaan tanggap menunjukkan
persamaan kuadrat optimasi MAG adalah Y= - 61,700 + 6,088 X 1 +3,259 X 2 –
0,065 X 1 2 + 0,017 X 1 X 2 – 1,792 X 2 2 . Suhu dan waktu reaksi optimum yaitu
46,92oC dan 1,1 jam. Hasil optimasi diverifikasi sebanyak lima kali menghasilkan
MAG 83,19% dan rendemen 81,09. Karakterisasi sifat kimia produk hasil
verifikasi memiliki bilangan asam 1,78 ±0,08 %, bilangan peroksida 0,49 ± 0,14
meq O 2 /kg MAG, kadar gliserol bebas 0,26%, dan memiliki kisaran titik leleh 5353,5 oC. Berdasarkan jumlah produk MAG yang dihasilkan terlihat bahwa selama
10 kali reaksi terjadi penurunan jumlah produk MAG sekitar 7% dari komposisi
MAG awal, sedangkan rendemen produk MAG dan Jumlah MAG selama 10 kali
siklus reaksi mengalami penurunan masing-masing sekitar 16% dari rendemen
serta jumlah MAG awal.
Kata kunci: monolaurin, esterifikasi enzimatis kontinyu, optimasi, stabilitas enzim

 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


1.

2.

Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI SINTESIS MONOLAURIN MENGGUNAKAN
KATALIS ENZIM LIPASE IMOBIL PADA
CIRCULATED PACKED BED REAKTOR

PRIMA LUNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc

Judul Tesis

:

Nama

Optimasi Sintesis Monolaurin Menggunakan Katalis Enzim
Lipase Imobil pada Circulated Packed Bed Reaktor
: Prima Luna


NRP

: F251080341

Program Studi :

Ilmu Pangan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si
NIP. 19630701 198811 2 001
Ketua

Dr. Ir. Tri Haryati, MS
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc
NIP. 19620920 198603 2 002

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
NIP. 19650814 199002 1 001

Tanggal Ujian:

April 2011

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Optimasi Sintesis
Monolaurin Menggunakan Katalis Enzim Lipase Imobil pada Circulated Packed
Bed Reaktor” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Tri Haryati, MS selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, bimbingan
dan pendanaan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji atas ilmu, saran
dan masukan bagi sempurnanya karya ilmiah penulis ini.
3. Orang tuaku Papah dan Mamah (Prof. H. Sambas Basuni dan Hj. Nurahmat,
SE. M.Pd) yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis, Papa dan Mama
Palembang (H. Sumanto dan Hj. Swati), adik-adik tercinta (de tiara&de utik)
serta keluarga besar atas doa dan semangat yang telah diberikan.
4. Suami dan anak-anak tercinta (Koko Setiawan, Abang Ayyash, dan Dede
Nusaibah) atas doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Sahabat seperjuangan IPN 2008 : Ibu-ibu manis (Teh Elin, Teh Susi, Mba

Titin, Mb Siti, Mb Yeni), Alin, Lia, Ira, Nono, Arief atas segala bantuan dan
motivasinya, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu.
6. WAMY (World Assembly Moslem Youth) atas bantuan beasiswa sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Indofood Riset Nugraha
2010 atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan sehingga penelitian ini
dapat berjalan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2011

Prima Luna

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 08 Juni 1983 dari ayah Prof. Dr. Ir. H.
Sambar Basuni, MS dan Ibu Hj. Nurahmat, SE. M.Pd. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 1 Bogor dan pada tahun yang sama
penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis memilih
Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian
(FATETA). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjananya pada bulan Juni tahun
2005. Kemudian pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi Magister Sains di

Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 2009 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Litbang
Kementerian Pertanian.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Monoasilgliserol (MAG) adalah salah satu emulsifier yang banyak
digunakan sebagai bahan tambahan pangan. MAG secara luas digunakan dalam
produk bakeri, margarine, produk susu, dan confectionary karena sifat
emulsifikasi, stabilisasi, dan conditioning (Damstrup et al., 2005). Komersial
MAG banyak terbuat dari gliserolisis minyak atau lemak. Reaksi gliserolisis
dipercepat dengan penggunaan katalis basa inorganik, seperti NaOH atau
Ca(OH) 2 pada temperatur tinggi (220-260oC). Kandungan MAG dalam
keseimbangan bervariasi antara 10-60% tergantung pada rasio gliserol dengan
minyak dalam campuran reaksi.
Penelitian sintesis monoasilgliserol (MAG) dan diasilgliserol (DAG)
secara enzimatis telah banyak dilakukan sebelumnya, antara lain Pujiastuti (1998)
dan Nuraeni (2008) telah berhasil memanfaatkan Destilat Asam Lemak Minyak
Sawit (DALMS) sebagai bahan baku pembuatan emulsifier mono- dan
diasilgliserol (M-DAG), kemudian Kitu (2000) telah berhasil memanfaatkan
Destilat Asam Lemak Minyak Kelapa (DALMIK) sebagai bahan baku pembuatan
emulsifier mono- dan diasilgliserol (M-DAG) secara enzimatis.
Salah satu jenis MAG, yaitu monolaurin, monogliserida dari asam laurat,
merupakan salah satu produk turunan dari minyak, yang memiliki keistimewaan.
Kegunaan monolaurin adalah sebagai bahan pengawet pangan dan sanitizer. Saat
ini monolaurin sudah banyak digunakan dalam industri kosmetik, farmasi dan
obat-obatan. Produk paten dari monolaurin yang sudah beredar adalah
Lauricidin(R). Monolaurin dilaporkan memiliki kemampuan menghancurkan virus
herpes dan HIV-1 serta menurunkan resiko penularan virus ini pada bayi dari ibu
hamil yang terinfeksi HIV, selain itu monolaurin juga efektif menghambat sel
vegetative B. cereus (Cotton dan Marshall, 1997). Monolaurin juga dilaporkan
dapat mengakibatkan kerusakan membran, menyebabkan kebocoran protein
intraselular dan asam nukleat sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berperan
dalam metabolisme pada bakteri gram positif (Kabara, 1983).

2

Produk monolaurin dapat dibuat dari berbagai macam minyak yang
memiliki kandungan asam laurat tinggi seperti Destilat Asam Lemak Minyak
Kelapa (DALMIK), minyak kelapa, minyak inti sawit, dan asam laurat komersial
itu sendiri. Asam laurat merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang
mengandung 12 atom karbon dan tidak memiliki ikatan rangkap. Asam laurat
mengandung gugus hidrokarbon non polar pada bagian ekornya dan asam
karboksilat yang polar pada bagian kepala. Hal tersebut menyebabkan asam laurat
ini dapat berinteraksi baik dengan air maupun minyak.
Pembuatan MAG dan DAG dilakukan secara kimia dan enzimatis. Cara
kimia merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam industri, namun
reaksi kimia seperti ini berlangsung lama, tidak selektif, dan menggunakan energi
dalam jumlah besar. Selain itu, cara ini akan menghasilkan produk samping yang
tidak dikehendaki seperti warna gelap, rasa terbakar, dan flavor yang
menyimpang. Sintesis MAG secara enzimatis menjadi pilihan peneliti beberapa
tahun terakhir, karena aktivitas katalitik enzim yang sangat tinggi dan
kemampuannya bekerja pada suhu relatif rendah (McNeill et al., 1992). Sintesis
enzimatis

dapat

dilakukan

dengan

hidrolisis,

esterifikasi

asam

lemak,

transesterifikasi ester asam lemak dan gliserolisis minyak atau lemak dengan
menggunakan

enzim

lipase.

Berkembangnya

teknologi

enzim

imobil

meningkatkan stabilitas enzim (Haryadi, 1996), salah satu enzim imobil yang
banyak digunakan adalah Lipozyme dan Novozyme.
Dengan pertimbangan nilai ekonomi dan kesehatan dari produk turunan
minyak dan lemak, monolaurin, maka perlu upaya kajian teknologi pengolahan
minyak atau lemak untuk menghasilkan produk tersebut. Pada penelitian ini
monolaurin disintesis dengan cara esterifikasi yaitu mereaksikan asam laurat dan
gliserol menggunakan enzim lipase imobil. Faktor-faktor yang menentukan agar
sintesis MAG secara esterifikasi enzimatis berlangsung optimal antara lain: faktor
suhu, waktu reaksi, dosis enzim, dan jumlah pelarut yang digunakan. Suhu dan
waktu reaksi pada penelitian terdahulu, akan digunakan sebagai titik tengah
optimasi setelah diuji cobakan dan hasilnya konstan. Kemudian dilakukan tahap
optimasi dan verifikasi untuk mencari kondisi optimum sintesis MAG dari asam

3

laurat secara enzimatis serta dilakukan pula pengujian stabilitas enzim imobil
yang digunakan, yaitu Novozyme® 435.
Harga lipase komersial biasanya sangat tinggi karena proses produksinya
yang sulit dan memakan waktu. Selain itu, dalam proses reaksi enzimatis, lipase
tidak dapat digunakan kembali lagi karena terlarut dalam media reaksi. Hal ini
menyebabkan biaya reaksi yang dikatalisis lipase menjadi meningkat. Perlu
adanya penelitian tentang teknik penggunaan kembali lipase, salah satunya adalah
teknik reaksi immobilisasi dengan bantuan support sebagai media pembantu yang
dapat menahan enzim dalam struktur molekulnya.
Recovery dan penggunaan kembali (reuse) enzim dari reaksi esterifikasi
dikarenakan alasan biaya (cost). Oleh karena itu stabilitas lipase dalam reaksi
adalah parameter penting (Rozendaal,1997). Kehilangan aktivitas selama reaksi
inesterifikasi disebabkan oleh dua faktor, yaitu inaktivasi panas lipase dan
kontaminasi oleh komponen minor dalam reaktan. Kontaminasi reaktan dapat
dicegah dengan cara penyaringan secara hati-hati dari reaktan tersebut, tapi lipase
harus tahan pada suhu relatif tinggi yang digunakan dalam reaksi.
Stabilitas enzim imobil diuji dengan cara penggunaan kembali (re-use)
enzim pada reaksi esterifikasi dengan cara enzim dipisahkan dari reaksi, kemudian
dicuci dengan pelarut dan dikeringkan. Setelah itu digunakan kembali pada proses
dan kondisi reaksi yang sama beberapa kali. Hal ini bertujuan untuk melihat
seberapa stabil enzim imobil komersial dapat digunakan dengan menganalisis
parameter rendemen dan komposisi MAG yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.

Mencari kondisi optimum untuk sintesis monolaurin melalui proses
esterifikasi enzimatis circulated packed bed reactor.

2.

Menguji stabilitas enzim Novozyme® 435 dalam reaksi esterifikasi
circulated packed bed reactor dengan melihat parameter rendemen dan
komposisi MAG

4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.

Pengembangan teknologi pembuatan monolaurin dengan metode enzimatis

2.

Informasi seberapa stabil enzim lipase imobil dapat digunakan dalam reaksi
esterifikasi enzimatis circulated packed bed reactor memproduksi
monolaurin yang optimum

5

TINJAUAN PUSTAKA
Asam Lemak Laurat
Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai
sedang (middle-chained fatty acid, MCFA) yang tersusun dari 12 atom C. Sumber
utama asam lemak ini adalah minyak kelapa, yang dapat mengandung 50% asam
laurat, serta minyak inti sawit (palm kernel oil). Sumber lain adalah susu sapi.
Asam laurat memiliki titik lebur 44°C dan titik didih 225°C sehingga pada suhu
ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan.
Rumus kimia: CH 3 (CH 2 ) 10 COOH, berat molekul 200,3 g.mol-1. Asam-asam
lemak rantai pendek memiliki kemampuan kelarutan dalam pelarut air, semakin
panjang

rantai asam-asam

lemak maka kelarutannya dalam air semakin

berkurang. Asam kaprilat pada 30 oC mempunyai nilai kelarutan 1, yang artinya 1
gram asam kaprilat dapat larut dalam setiap 100 g air pada suhu 30 oC. Sedangkan
asam stearat mempunyai nilai kelarutan sekitar 0,00034 pada suhu 30 oC
(Ketaren, 2005).

Sifat kelarutan tersebut digunakan sebagai dasar untuk

memisahkan berbagai asam lemak yang tidak jenuh, yaitu dengan proses
kristalisasi.
Sifat fisikokimia asam laurat banyak dimanfaatkan oleh industri yang
menghasilkan produk personal care dan farmasi, misalnya pada industri shampo.
Natrium laurilsulfat adalah turunan yang paling sering dipakai dalam industri
sabun dan shampoo, sedangkan pada industri kosmetik, asam laurat ini berfungsi
sebagai pengental, pelembab dan pelembut. Asam laurat atau asam lemak berantai
menengah berbeda dengan asam lemak berantai panjang yang memiliki molekul
lebih besar. Sifat-sifat metabolisme asam lemak rantai menengah jauh lebih
mudah dicerna dan diserap usus dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi energi.
Itu karena asam lemak rantai menengah memiliki molekul ukuran lebih kecil
sehingga cepat menghasilkan energi untuk tubuh.
Asam laurat banyak terdapat pada minyak kelapa yang telah dikenal sejak
4000 tahun yang lalu sebagai minyak kesehatan dalam obat-obatan Ayurvedic.
Penelitian terakhir menyebutkan kandungan minyak dan lemak dalam minyak
kelapa, yaitu asam lemak rantai sedang (MCFA) dan monogliserida dari asam
lemak tersebut, memiliki sifat anti mikroba dan mirip dengan kandungan asam

6

lemak dalam air susu ibu (ASI) (Kabara, 1983; Jensen et al., 1992; Jensen, 1996;
Kolezko et al., 1992). Asam lemak jenuh pada minyak kelapa didominasi oleh
asam lemak laurat yang memiliki rantai karbon 12, sehingga minyak kelapa sering
juga disebut minyak laurat. Asam lemak jenuh rantai menengah inilah yang
membuat minyak kelapa murni bermanfaat bagi kesehatan.
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan ke dalam
minyak asam laurat (Ketaren, 2005), karena kandungan asam lauratnya paling
besar jika dibandingkan asam lemak lainnya. Komposisi asam lemak minyak
kelapa dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa asam
lemak jenuh minyak kelapa lebih kurang 90 persen. Minyak kelapa mengandung
84 persen trigliserida dengan tiga molekul asam lemak jenuh, 12 persen
trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan 4 persen trigliserida dengan satu
asam lemak jenuh.
Tabel 1 Komposisi Asam lemak Minyak Kelapa
Asam Lemak
Asam lemak jenuh:
Asam kaproat
Asam kaprilat
Asam Kaprat
Asam Laurat
Asam miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam arachidat
Asam lemak tidak
jenuh:
Asam palmitoleat
Asam oleat
Asam linoleat

Rumus Kimia

Jumlah (%)

C 5 H 11 COOH
C 7 H 17 COOH
C 9 H 19 COOH
C 11 H 23 COOH
C 13 H 27 COOH
C 15 H 31 COOH
C 17 H 35 COOH
C 19 H 39 COOH

0,0 – 0,8
5,5 – 9,5
4,5 – 9,5
44,0 – 52,0
13,0 – 19,0
7,5 – 10,5
1,0 – 3,0
0,0 – 0,4

C 15 H 29 COOH
C 17 H 33 COOH
C 17 H 31 COOH

0,0 – 1,3
5,0 – 8,0
1,5 – 2,5

Sumber: Thieme (1968) Di dalam Ketaren (2005)

Sumber asam laurat lain adalah minyak inti sawit (PKO). Minyak inti
sawit adalah minyak berwarna putih kekuning-kuningan yang diperoleh dari
proses ekstraksi inti buah tanaman Elaeis guineensis Jacq (SNI 01-0003-1992),
sedangkan Crude Palm Oil (CPO) didapatkan dari ekstraksi daging sawit. Bagian
buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Kedua jenis minyak tersebut akan
diolah lebih lanjut menjadi beberapa produk turunannya seperti Refined Bleached

7

and Deodorized Palm Oil (RBDPO), RBDPKO, minyak goreng, minyak makan,
margarine, shortening dan lain sebagainya.

Gambar 1 Bagian-bagian buah kelapa sawit (FAO, 2006)
Minyak inti sawit mengandung berbagai komponen asam lemak.
Komposisi trigliserida yang mendominasi minyak inti sawit adalah trilaurin, yaitu
trigliserida dengan tiga asam laurat sebagai ester asam lemaknya. Minyak inti
sawit memiliki kandungan asam laurat yang tinggi dan kisaran titik leleh yang
sempit, sedangkan minyak sawit mentah hanya memiliki sedikit kandungan asam
laurat dan kisaran titik leleh yang luas. Minyak sawit mengandung asam lemak
jenuh asam palmitat (C16) sekitar (40-46%), kandungan asam lemak tidak jenuh
yaitu asam oleat (C 18:1) sekitar (39-45%) dan asam linoleat (7-11%), sedangkan
pada minyak inti sawit didominasi oleh asam laurat (46-52 %), asam miristat (1417%), dan asam oleat (13-19%). Kandungan asam lemak dalam kedua jenis
minyak tersebut secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

8

Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak sawit dan minyak inti sawit
Minyak inti sawit
Asam Lemak
Minyak kelapa sawit (%)
(%)
Asam kaprilat 3–4
Asam kaproat 3–7
Asam laurat
46 – 52
Asam miristat 1.1 – 2.5
14 – 17
Asam palmitat 40 – 46
6.5 – 9
Asam stearat
3.6 – 4.7
1 – 2.5
Asam oleat
39 – 45
13 – 19
Asam linoleat 7 – 11
0.5 – 2
Sumber : Eckey (1995)

Minyak inti sawit memiliki kemiripan sifat dan komposisi asam lemak
dengan minyak kelapa, sehingga dalam penggunaannya dapat bersifat sebagai
bahan subtitusi. PKO dan minyak kelapa sering digunakan oleh industri oleokimia
sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk surfaktan dan emulsifier.
Kandungan asam laurat yang cukup tinggi pada minyak inti sawit menjadi salah
satu kelebihan karena asam lemak ini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh.
Pengolahan minyak dari kelapa sawit ini akan mengalami peningkatan
seiring dengan semakin tingginya permintaan pasar dan majunya teknologi
rekayasa pengolahan minyak. Teknologi tersebut diharapkan dapat menghasilkan
produk yang dapat diaplikasikan di berbagai aspek industri pengolahan serta dapat
bersaing dengan produk minyak nabati lainnya di pasar dalam negeri maupun
internasional.
Gliserol
Gliserol, disebut juga gliserin, adalah suatu larutan kental yang memiliki
rasa manis, tidak berwarna, tidak memiliki bau, dan bersifat higroskopis. Gliserol
merupakan gula alkohol dan mempunyai tiga gugus hidroksil yang bersifat
hidrofilik sehingga dapat larut dalam air. Oleh karena itu, larutan kental ini
banyak digunakan sebagai pelembab pada kosmetik. Rumus kimia gliserol adalah
C 3 H 8 O 3 dengan nama kimia propane-1,2,3-triol. Gliserol memiliki berat molekul
92. 10, massa jenis 1,261 g/cm3, titik didih 290oC, dan viskositas 1.5 Pa.s
(Wikipedia, 2006). Struktur molekul gliserol bisa dilihat pada Gambar 2.

9

Gambar 2 Struktur molekul gliserol
Gliserol

dapat

digunakan

sebagai

bahan dasar

untuk pembuatan

monogliserida, digliserida, dan trigliserida melalui proses reaksi gliserolisis,
esterifikasi atau inesterifikasi secara kimia atau enzimatis. Bila suatu radikal asam
lemak berkaitan dengan gliserol maka akan terbentuk suatu monogliserida. Reaksi
asam lemak dan gliserol dapat dilihat pada Gambar 3. Trigliserida akan terbentuk
bila tiga asam lemak beresterifikasi dengan satu molekul gliserol (Winarno,
2002). Penggunaan gliserol akan menyebabkan reaksi keseimbangan menuju ke
arah kanan reaksi esterifikasi sehingga menghasilkan produk MAG yang cukup
tinggi (Fischer, 1998).
O
H 2 C-OH
HC-OH

O
+ HO-C-R

Gambar 3

HC-OH

+ H2O

H 2 C-OH

H 2 C-OH
Gliserol

H 2 C-O-C-R 1

Asam lemak

Monoasilgliserol

air

Reaksi esterifikasi satu molekul asam lemak dengan satu gliserol
(Winarno, 2002)
Monoasilgliserol

Monoasilgliserol atau MAG tersusun atas sebuah asam lemak dan dua
gugus hidroksil bebas yang menempel pada sebuah molekul gliserol. Bagian asam
lemaknya atau rantai asil lemaknya bersifat lipofilik dan dapat bercampur dengan
bahan-bahan yang berlemak, sedangkan grup hidroksilnya bersifat hidrofilik dapat
bercampur dengan air (O’Brien, 1998). MAG adalah emulsifier yang paling

10

banyak digunakan dalam pangan, farmasi, dan industri kosmetik (Bornscheuer,
1995). MAG dan turunannya sebanyak 75% digunakan sebagai emulsifier pangan
di dunia dan di Amerika Serikat sekitar 100 juta kilogram digunakan per tahunnya
(Sagalowicz, 2006; Birnbaum, 1981 di dalam Chetpattananondh et al.., 2008).
Menurut

Li dan Ward (1993) di dalam Bornscheuer (2005), MAG juga

bermanfaat untuk kesehatan, misalnya MAG yang mengandung n-3-PUFA seperti
EPA

dan

DHA

positif

mencegah

kerusakan

cardiovascular,

dan

monopentadecanoglycerol digunakan sebagai bahan tambahan perawatan rambut.
Struktur molekul MAG dapat dilihat pada Gambar 4.

O
H2 C

O

H C

OH

H2 C

OH

C R1

Gambar 4 Monoasilgliserol
Pada skala industri, MAG telah banyak diproduksi dengan menggunakan
metode gliserolisis kimia minyak/lemak dan gliserol. Reaksi gliserolisis kimia ini
dilakukan pada suhu tinggi (220 – 250o C) menggunakan katalis basa inorganik
dalam atmosfer gas nitrogen. Penggunaan suhu tinggi memiliki beberapa
kelemahan, seperti warna gelap, rasa terbakar, dan mengkonsumsi energi yang
banyak.
Gliserolisis kimia komersial biasanya menghasilkan 30-60% MAG, 35-50%
DAG, 1-20% TAG, 1-10% asam lemak bebas dan logam garam basa (Damstrup
et al., 2006). Menurut WHO dan arahan EU, MAG dan DAG dari asam lemak
disyaratkan mengandung kurang lebih 70% MDAG, 30% MAG, dan maksimum
gliserol 7% (Damstrup et al., 2006). Untuk menghasilkan produk MAG dengan
kemurnian

tinggi

(90-95%),

MAG

sering

dimurnikan

dari

campuran

kesetimbangan dengan distilasi.
Gliserolisis dengan katalis enzim lipase lebih banyak digunakan beberapa
tahun belakangan, hal ini dikarenakan teknologi yang digunakan lebih baik
dengan menggunakan suhu lebih rendah. Suhu yang lebih rendah dibawah 80o C

11

membuat produksi MAG yang sensitif terhadap panas dengan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang lebih mudah, dimana jika dilakukan dengan proses kimia
sulit dilakukan. MAG dari gliserolisis kimia menjadi bahan atau senyawa
potensial bagi industri dengan fungsional yang lebih baik atau profil nutrisi asam
lemak yang lebih sehat (Damstrup et al., 2005).
Reaksi gliserolisis enzimatis pada suhu rendah memiliki kelemahan karena
mengandung tiga fase, yaitu fase hidrofobik minyak, fase gliserol hidrofilik, dn
fase enzim padat. Karena enzim memiliki karakteristik hidrofilik, gliserol sering
mengikat partikel enzim dan membuat akses molekul minyak ke partikel enzim
menjadi sulit. Hal ini menyebabkan rendemen MAG menjadi relatif rendah dan
waktu reaksi tidak praktis dari sudut pandang industri.
Tabel 3 Kandungan MAG setelah reaksi gliserolisis dalam berbagai pelarut
Pelarut

Kandungan MAG

Tidak menggunakan pelarut
Kloroform
n-Heptan
n-Heksan
Iso-oktan
Asetonitril
Toluen
2- Butanon
Aseton
Isopropanol
Etanol
3-Pentanon
Tert-Pentanol
Tert-Butanol

0.0 + 0.00
0.0 + 0.00
1.1 + 0.02
1.4 + 0.03
1.5 + 0.17
2.0 + 0.07
2.9 + 0.20
5.4 + 0.10
11.5 + 0.73
18.0 + 0.31
21.0 + 0.18
29.4 + 0.26
64.9 + 1.12
83.6 + 0.14

Sumber: Damstrup et al. (2005)

Pengunaan

pelarut

yang

cocok

pada

sistem

akan

memperbaiki

bercampurnya substrat sehingga sistem akan homogen dan meningkatkan
konversi substrat, waktu reaksi, dan distribusi produk membentuk MAG
(Damstrup et al., 2005). Pelarut seperti n-heksan, n-heptan, dioksan, asetonitril,
aseton, isooktan, 2-metil-2 propanol (tert-butanol), 2-metil-2 butanol (tertpentanol), atau campuran beberapa pelarut akan berguna untuk reaksi
inesterifikasi lipase. Data pada Tabel 3 menunjukkan kandungan MAG setelah
reaksi gliserolisis dalam beberapa pelarut dengan kondisi reaksi: rasio

12

gliserol/minyak, 5:1; waktu reaksi 150 menit; suhu 50o C; pelarut 50 ml/10 g
minyak; dosis enzim 30% (w/w minyak).
MAG terdiri dari beberapa jenis, salah satu diantaranya adalah gliserol
monolaurat atau monolaurin adalah senyawa multifungsi dengan sifat sebagai
emulsifier dan antimikroba (Cotton dan Marshall, 1997). Monolaurin terbentuk
dari reaksi antara gliserol dan asam laurat. Keistemewaan dari monolaurin lainnya
adalah dapat menghambat sel vegetative Bacillus cereus (Cotton et al., 1997).
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa monolaurin dapat
menghambat aktivitas Listeria monocytogenes, B. stearothermophilus dan B.
subtilis (Kabara, 1983).
Transesterifikasi
Pembuatan MAG dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode
seperti esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis, serta dapat dilakukan secara
enzimatis maupun kimia. Esterifikasi merupakan reaksi antara asam karboksilat
dan alkohol untuk membentuk ester. Reaksi esterifikasi kimia sederhana dapat
dilakukan pada suhu tinggi tanpa menggunakan katalis dan pada suhu yang lebih
rendah dilakukan dengan katalis.
Reaksi esterifikasi langsung terjadi antara ester asam lemak dengan gliserol
dan dilakukan pada suhu tinggi dan waktu yang cukup lama dengan bantuan
katalis asam. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi sangat dihindari karena akan
terjadi reaksi sekunder yaitu polimerisasi gliserol, dehidratasi gliserol dengan
pembentukan akrolein. Air yang merupakan hasil samping dari reaksi esterifikasi
ini harus dijerap dengan menggunakan zat kimia tertentu agar reaksi tidak
reversible. Pada metode gliserolisis, lemak/ minyak dalam bentuk trigliserida
direaksikan dengan gliserol dan ditambahkan katalis kimia kemudian dipanaskan
pada suhu yang tidak terlalu tinggi (± 1200C) atau tergantung tingkat kereaktifan
katalis yang digunakan (Banu et al., 1983).
Metode pembuatan MAG secara enzimatis dilakukan pada suhu yang lebih
rendah dibandingkan dengan metode kimia dikarenakan enzim yang digunakan
memiliki karakteristik kerja yang spefisik pada suhu tertentu. Tahapan reaksi

13

transesterisfikasi antara gliserol dan minyak atau lemak (reaksi gliserolisis) dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5

Reaksi esterisfikasi antara gliserol dan minyak atau lemak (reaksi
gliserolisis). (Monteiro et al. 2003)

Reaksi inesterifikasi ini dapat terjadi secara acak maupun terarah. Secara
umum reaksi inesterifikasi dapat terjadi secara batch, semi-continously, atau
continously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu: perlakuan awal
minyak, penambahan katalis, terjadi reaksi, dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi
secara acak mengikuti hukum keseimbangan hingga menghasilkan komposisi
MAG, DAG, dan TAG tertentu.
Penggunaan katalis dalam reaksi inseterifikasi akan berpengaruh terhadap
peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi
inesterifikasi dapat berupa katalis kimia maupuan katalis enzimatis. Kedua jenis
katalis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia lebih
banyak dilakukan, karena katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah
penanganannya, harganya yang murah, mudah dipisahkan, dan dapat digunakan
dalam konsentrasi yang relatif rendah. Namun penggunaan katalis kimia pun
memiliki kekurangan antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena
gugus asil terdistribusi dengan acak. Menurut Bornscheuer (1995), produk hasil
sintesis secara kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap, dan
flavor yang kurang baik.

14

Penggunaan katalis enzimatis mulai dilirik untuk memperbaiki kekurangan
yang terdapat pada penggunaan katalis kimia. Katalis enzimatis memiliki
keunggulan antara lain produk yang dihasilkan tidak memiliki keragaman besar.
Hal ini dikarenakan penggunaan enzim lipase memiliki kespesifikan tertentu
artinya enzim ini akan memotong ikatan antara gliserol dan asam lemak pada titik
tertentu (Elizabeth dan Boyle, 1997). Sintesis MAG enzimatis dapat dilakukan
dengan hidrolisis, esterifikasi asam lemak, transesterifikasi ester asam lemak dan
gliserolisis minyak atau lemak dengan katalis lipase. Kelemahan metode
enzimatis ini adalah harga enzim yang relatif mahal dan bersifat labil. Namun,
dengan berkembangnya teknologi enzim imobil, enzim dapat digunakan ulang
sampai beberapa kali sehingga mengurangi biaya keseluruhan. Sifat labil enzim
dapat diatasi dengan berkembangnya teknik enzimologi mikroakueus dimana
stabilitas enzim dapat ditingkatkan (Hariyadi, 1996). Mikroakueus adalah kondisi
lingkungan reaksi dengan konsentrasi air terbatas, yaitu tidak lebih dari 0.1% v/v.
Kondisi ini akan mempermudah reaksi sintesis produk, isolasi produk, dan
pemakaian ulang enzim. Kondisi mikroakueus dapat diterapkan dengan
menggunakan pelarut organik sebagai pengganti air dalam reaksi. Kehadiran air
dalam campuran reaksi dapat membentuk asam lemak bebas yang tidak
diinginkan (Damstrup et al., 2005)
Damstrup

et al. (2005) telah melakukan penelitian memproduksi MAG

secara enzimatis dengan reaksi gliserolisis menggunakan pelarut organik yang
sesuai. Beberapa pelarut murni dan campuran digunakan dalam sistem reaksi
batch yang menggunakan 5.26 g gliserol, 10 g minyak bunga matahari, 50 ml
pelarut, 3 g Novozym® 435 lipase, suhu reaksi 50o C, selama 150 menit. Dari 13
pelarut yang diuji tert-butanol dan tert-pentanol adalah pelarut murni yang cocok
untuk reaksi gliserolisis cepat dengan menghasilkan kandungan MAG 68-82%.
Pada tahun berikutnya, Damstrup et al. (2006) melakukan penelitian kembali
dengan memproduksi MAG secara gliserolisis enzimatis dalam pelarut tertpentanol dengan optimasi menggunakan RSM (Response Surface Methodology).
Bahan yang digunakan adalah 10 g minyak bunga matahari, berbagai rasio
substrat, dan berbagai jumlah pelarut dalam sistem pada suhu 50o C, serta
dilakukan dalam berbagai waktu reaksi. Parameter proses yang diteliti adalah

15

dosis enzim, waktu reaksi, rasio substrat gliserol/minyak, dan jumlah pelarut.
Parameter yang paling signifikan dalam pengujian untuk menghasilkan MAG
adalah dosis enzim dan waktu reaksi. Kondisi optimal yang menghasilkan
rendemen MAG tinggi adalah dosis enzim 18 % (w/w minyak); rasio
gliserol/minyak 7:1 (mol/mol); jumlah pelarut 500 ml (v/w minyak)dan waktu
reaksi 115 menit. Kandungan MAG yang dihasilkan adalah 76%.
Monteiro et al. (2003) melakukan penelitian reaksi esterifikasi enzimatis
dengan substrat asam laurat dan gliserol (rasio molar 1:5) dalam sistem
homogenus dengan katalis enzim Lipozyme IM. Aktivitas enzim Lipozyme IM
adalah 5-6 BAUN/g (Batch Acidolysis Units Novo). Pelarut yang digunakan
adalah n-heksan dan tert-butanol (1:1 v/v). Hasil reaksi pada sistem homogenus nheksan/tert butanol (1:1 v/v) lebih baik karena produk yang dihasilkan adalah
monolaurin dengan sedikit sekali dilaurin. Sedangkan pada reaksi menggunakan
pelarut heksan saja, produk yang dihasilkan adalah campuran monolaurin dan
dilaurin. Hal ini berarti penggunaan campuran pelarut tert butanol dan heksan (1:1
v/v) dapat meminimalisir terjadinya migrasi asil. Sistem pelarut menjadi lebih
polar dari heksan murni menyebabkan pengambilan air dari medium sehingga
mencegah terjadinya inaktivasi enzim dan meningkatkan konversi substrat
menjadi produk yang diinginkan. Konversi asam laurat menjadi monolaurin
dianalisis menggunakan GC dengan waktu retensi 22 menit sebesar 65% selama 8
jam reaksi.
Haryati et al. (2007, tidak dipubilkasikan) melakukan penelitian reaksi
esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan substrat yaitu asam lemak laurat dan
gliserol. Asam lemak laurat dan gliserol direaksikan dalam tabung erlenmeyer
sebanyak 1:5 (mol/mol substrat), ditambah campuran pelarut heksan 250 ml dan
tertier butanol 190 ml, kemudian diagitasi menggunakan orbital shaker dengan
kecepatan 200 rpm. Reaksi dilakukan pada suhu 50o C. Setelah suhu reaksi yang
diinginkan dalam rotary shaker tercapai, ditambahkan enzim lipase dengan
perbandingan 5% (w/w minyak). Reaksi dibiarkan berjalan hingga 55 jam.
Kemudian produk dari enzim dipisahkan dengan cara disaring, kemudian filtrat
disentrifuse untuk memisahkan dari pelarut. Setelah itu di fraksinasi 16-18 jam

16

pada suhu 7o C. Pemisahan endapan yang merupakan produk hasil fraksinasi
kemudian dilakukan dengan cara penyaringan.
Suhu dan waktu reaksi merupakan faktor penting dalam reaksi esterifikasi.
Suhu dan waktu reaksi dijadikan sebagai parameter dalam penelitian ini.
Pemilihan suhu reaksi 50o C dalam reaksi esterifikasi enzimatis telah banyak
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Sedangkan
pemilihan waktu reaksi 55 jam adalah berdasarkan hasil penelitian terdahulu pada
sintesis monolaurin (Haryati et al., 2007, tidak dipublikasikan).
Tabel 4 Perbandingan kondisi reaksi esterifikasi menggunakan enzim lipase
Parameter

Kitu
(2000)

Substrat

10 g
DALMS:
14 g
gliserol
1,2 g

Jumlah Enzim

Kondisi reaksi

Shaker
200 rpm,
suhu 60o
C, 4 jam

Arbianti
et al.
(2008)
Asam
laurat:
gliserol
3:3
Sumber
lipase
biji
wijen
90% dari
berat
substrat
Suhu 53o
C, 18
jam

Nuraeni
(2008)
DALMS:
gliserol
2:3
(mol/mol)
4 % (w/w
dari total
substrat)

Shaker
250 rpm,
suhu 50o
C, 5 jam

Damstrup,
et al.
(2006)
Sunflower
oil: gliserol
1:7
(mol/mol)
18% (w/w
oil)

Watanabe,
et al.
(2003)
Minyak
kaya DAG:
gliserol 2:1

Suhu 50o
C, 115
menit

Suhu 50o
C, 7 hari

5% (bk)

Kromatogram GC untuk standar 1-monolaurin menunjukkan puncak
dengan waktu retensi 11,074 menit (Luas Area 9,32068%) dan 11,709 ( Luas
Area 90,67392%). Adanya dua puncak pada standar tersebut kemungkinan
dikarenakan oleh bentuk isomernya. Berdasarkan waktu retensi puncak standar,
Haryati (2007, tidak dipublikasikan) menyimpulkan bahwa produk yang
dihasilkan pada kromatogram GC dengan waktu retensi 11,162;11,973; 12,210,
dan 12,536 menit dengan luas area total adalah 73,69194 % adalah monolaurin,
sedangkan pada puncak dengan waktu retensi 18,723 DAG dengan luas area
1,54413% (Gambar 6). Menurut Widiyarti dan Hanafi (2008) dilaporkan bahwa

17

hasil analisis LC-MS terhadap diester yang diperkirakan dilaurin, menghasilkan

Respon Detektor

kromatogram dengan puncak dominan pada waktu retensi 17,8 menit.

Waktu Retensi (menit)
Gambar 6

Kromatogram GC untuk sintesis monolaurin dengan reaksi
esterifikasi enzimatis secara batch (Haryati et al., 2007, tidak
dipublikasikan)

Enzim Lipase
Lipase (triasilgliserol ester hidrolase, EC. 3.1.1.3) adalah enzim yang
memilki kemampuan mensintesis minyak atau lemak. Lipase juga mengkatalisis
hidrolisis triasilgliserol pada interfase minyak dalam air dan akan membentuk
ikatan ester pada lingkungan dengan kondisi sedikit air. Reaksi yang mungkin
terjadi pada kondisi lingkungan tersebut adalah esterifikasi, transesterifikasi,
polimerisasi, laktonisasi (Divakar dan Manohar, 2007). Lipase sebagai katalis
dapat diperoleh dari berbagai organisme seperti tanaman, hewan, dan
mikroorganisme. Lipase komersial yang tersedia saat ini terutama diperoleh dari
mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir. Pada umumnya lipase dari

18

hewan dan tumbuhan memiliki stabilitas termal yang lebih rendah daripada lipase
mikrobial,

sehingga

industri

lebih

banyak

menggunakan

lipase

dari

mikroorganisme. Mikroorganisme penghasil lipase dari bakteri antara lain P.
Flourescens, S. Carnosus, B. Stearothermophillus, C. Viscocum. Lipase yang
berasal dari kapang adalah A. Niger, R. Miehei, R. Delemar. Sedangkan lipase dari
khamir dapat diperoleh dari C. Cylindriceae, C. Auriculariae, C. Curvata, dan
Hansenula aromala (Borgstrom et al., 1984).
Beberapa jenis lipase yang dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi adalah R.
Miehei, A. Niger, R. Delemar, G. Candidum, P. Camembertii, R. Arrhizus, C.
Antartica, Pseudomonas sp., C. Viscosum. Lipase-lipase tersebut telah diteliti
dapat menghasilkan MAG sebagai produk utama pada beberapa jenis substrat
(Bornscheuer, 1995). Novozym® 435

yang disuplai oleh Novozymes A/S

(Bagsvaerd, Denmark) adalah lipase komersial yang berasal dari C. Antartica
yang diproduksi submerged fermentation rekayasa genetik dari mikroorganisme
Aspergillus oryzae dan diabsorbsi dalam macroporous resin (Damstrup
2006). Candida antartica

et al.,

termasuk kedalam kelompok enzim yang

selektifitasnya tidak signifikan dan mengkatalisis reaksi gliserol pada tiga posisi
(Gunstone et al., 1997).
Reaksi yang dikatalisis oleh enzim lipase berlangsung pada sisi aktif enzim.
Menurut Brady et al. (1990) di dalam Hariyadi (1995), sisi aktif lipase terdiri dari
trio residu asam amino yaitu Ser-Asp-His. Dalam struktur enzim, sisi aktif ini
tersembunyi di balik suatu tutup, yaitu polipeptida yang sering disebut lid enzim.
Secara fisiologis lid enzim tersebut berfungsi untuk mencegah kerusakan
proteolitik asam-asam amino sisi aktif, yang akan berdampak negatif terhadap
aktivitas enzim. Lid bersifat fleksibel dan pada waktu membuka menyebabkan
substrat dapat mencapai sisi aktif enzim. Lid mengandung residu triptofan (Trp)
yang bersifat nonpolar. Pada saat enzim inaktif, sisi aktif lipase masih berada
dalam keadaan tertutup karena lid berinteraksi dengan residu hidrofobik di sekitar
inti katalitik. Keberadaan lingkungan hidrofobik (nonpolar) di sekitar enzim akan
memberikan kesempatan bagi lid untuk membuka, karena adanya interaksi antara
area nonpolar lid dengan lingkungan hidrofobik. Perubahan struktur yang

19

menyebabkan terbukanya sisi aktif ini, menyebabkan substrat mudah untuk
berafinitas dengan sisi aktif lipase, sehingga terjadi proses katalisis.
Stabilitas Enzim Lipase Imobil
Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama
penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut,serta kestabilan terhadap senyawa
yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam,basa) dan oleh pengaruh suhu
atau pH ekstrim. Stabilitas merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh
enzim dalam aplikasinya sebagai biokatalis. Pasa prinsipnya, ada dua cara yang
dapat ditempuh untuk memperoleh enzim yang mempunyai stabilitas tinggi yaitu:
(1)

menggunakan

enzim

yang

memiliki

stabilitas

ekstrim

alami;

(2)

mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak/ kurang
stabil. Peningkatan stabilitas dapat ditempuh melalui: (a) imobilisasi enzim; (b)
modifikasi kimia; dan (c) protein engineering (Janecek, 1993). Lipase merupakan
enzim yang memiliki peran yang penting dalam bioteknologi modern. Banyak
industri yang telah mengaplikasikan penggunaan enzim sebagai biokatalis. Lipase
terkenal memiliki aktivitas yang tinggi dalam reaksi hidrolisis dan dalam kimia
sintesis. Lipase dapat berperan sebagai biokatalis untuk reaksi hidrolisis,
esterifikasi, alkoholisis, asidolisis atau aminolisis. Candida dan Rhizopus yang
merupakan organisme yang paling sering dipakai sebagai sumber sintesis
penghasil lipase (Pandey et al., 1999).
Enzim Lipase akan mengkatalis reaksi pada interfase, dan untuk
menghasilkan kecepatan reaksi yang tinggi, maka area interfase antara reaktan dan
fase enzim yang lebih hidrofilik dibutuhkan. Hal ini dapat dicapai dengan
produksi dispersi lipase yang baik dalam fase organik misalnya dengan
menggunakan surfaktan atau dengan mengimobilisasi enzim pada partikel
pendukung macroporous. Imobilisasi lipase biasanya dipilih untuk proses
inesterifikasi (Rozendaal, 1997). Imobilisasi lipase akan memperbaiki stabilitas,
pemisahan produk, dan pemisahan enzim dari reaksi untuk digunakan kembali
(Nawani et al., 2006).
Penggunaan enzim lipase dalam reaksi esterifikasi untuk menghasilkan
MAG sudah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang jauh lebih baik

20

daripada dengan katalis kimia. Hanya saja secara ekonomis penggunaan katalis
enzim lipase lebih mahal. Untuk mengatasi masalah ini enzim lipase digunakan
pada fase imobil sehingga dapat digunakan berulang-ulang dan memungkinkan
untuk diaplikasikan pada proses circulated packed bed reactor. Dengan
perkembangan teknologi peneliti dari Novozymes A/S, Bagsvaerd, Denmark telah
berhasil memproduksi Novozyme® 435

yang diklaim sebagai enzim yang

harganya terjangkau. Lipase imobil ini kemudian dikomersialisasikan untuk
memenuhi kebutuhan produksi komoditas minyak dan lemak.
Enzim lipase imobil menjadi pilihan dalam reaksi untuk mencapai
kecepatan

reaksi

inesterifikasi.

Enzim

imobil

dilakukan

dengan

cara

mengadsorpsi enzim ke dalam partikel macroporous dengan interaksi ionik atau
hidrofobik, karena protein tidak dapat larut dalam reaksi campuran. Partikel
macroporous harus memiliki area yang cukup pada permukaan dalam untuk
mengadsorpsi sejumlah lipase dan area permukaan bahan sekitar 10-100 m2/g
yang normal digunakan. Diameter rata-rata pori partikel pendukung > 100 nM
banyak dipilih. Kemudian asal bahan kimia permukaan partikel juga penting
diperhatikan.
Enzim imobil yang digunakan pada penelitian ini adalah Novozyme® 435.
Novozyme® 435 dibeli dari Novozymes A/S (Bagsvaerd, Denmark) adalah lipase
komersial yang berasal dari C. Antartica yang diproduksi rekayasa genetik dengan
submerged fermentation dari mikroorganisme Aspergillus oryzae dan diadsorbsi
dalam macroporous resin (Damstrup

et al., 2006). Novozyme® 435 adalah

katalis yang stabil pada suhu tinggi dan pelarut organik. Bisa digunakan pada
operasi reaksi batch dan column tapi khususnya cocok digunakan untuk fixed-bed
reactor.
Novozyme® 435 digunakan sebagai esterase untuk memproduksi spesifik
ester seperti yang digunakan di industri kosmetik pada suhu proses rendah. Enzim
ini juga digunakan dalam re-sintesis lemak dari gliserol dan asam lemak dimana
asam lemak spesifik dimasukkan. Dengan mengoperasikan pada suhu relatif
rendah (60-70o C), pembentukan produk samping dapat diminimumkan dan akan
mengurangi biaya pemurnian (Anonim, 2009a).

21

Stabilitas enzim merupakan parameter penting dalam reaksi, hal ini
dikarenakan harga enzim yang mahal. Oleh karena itu recovery dan penggunaan
kembali (re-use) dari reaksi sangat dibutuhkan. Kehilangan aktivitas enzim
selama reaksi inesterifikasi dikarenakan dua faktor, yaitu inaktivase enzim lipase
dan kontaminasi dari komponen minor dalam reaktan. Kontaminasi reaktan dapat
dicegah dengan cara penyaringan reaktan secara hati-hati, sedangkan ketahanan
enzim pada suhu tinggi adalah syarat mutlak sebagai katalis.
Nawani, et al. (2006) telah melakukan penelitian tentang imobilisasi
enzim dan stabilitas lipase dari enzim thermofilik yang berasal dari Bacillus sp.
Beberapa uji dilakukan untuk melihat stabilitas dari enzim imobil antara lain uji
kestabilan enzim pada suhu tinggi. Enzim yang diuji adalah enzim dalam aqueous,
diimobilisasi, dan dimobilisasi dengan cross linked pada suhu 0-80o C.

Gambar 7

Pengaruh suhu pada enzim aqueous, imobil, dan imobil cross link
(Nawani et al., 2006)

Data pada Gambar 7, .menunjukkan bahwa enzim imobil lebih stabil pada
reaksi suhu tinggi. Kemudian dilakukan juga uji stabilitas enzim dalam siklus
yang circulated packed bed reactor. Metode pengujian mengacu pada
Sigurgisladottir

et al. (1993), yaitu enzim yang diimobilisasi dengan Silica dan

HP 20 diuji dalam 25 siklus masing-masing selama 30 menit. Pada setiap siklus, 2
ml campuran reaksi mengandung substrat ditambahkan enzim imobil dan
diinkubasi selama 30 menit dengan shaker yang kontinyu pada suhu 60o C.
Kemudian di sentrifuse dan

supernatan diukur absorpsinya pada 420 nm.

Endapan dicuci dengan 0,05 M buffer fosfat (pH 8.0) dan digunakan dalam siklus
berikutnya dengan prosedur yang sama. Hasil pengujian penggunaan enzim dalam
siklus kontinyu dapat dilihat pada Tabel 5.

22

Tabel 5

Retensi aktivitas lipase dalam penyangga padat pada siklus yang
berbeda

Padatan
No
penyangga
1 HP 20
2 Silica

Sisa Aktivitas Enzim (%)
5 siklus 10 siklus 15 siklus 20 siklus 25 siklus
100
93
86
79
71
100
89
78
58
46

(Sigurgisladottir et al., 1993)

Berdasarkan Tabel di atas, Lipase dalam penyangga padat (imobil) pada
siklus 10 kali belum mengalami penurunan aktivitas enzim yang signifikan.
Menurut penelitian Fernandez-Lorente, et al. (2001) Lipase imobil yang berikatan
hidrofobik dapat digunakan dalam 10 kali reaksi esterifikasi tanpa penurunan
yang signifikan sebagai biokatalis. Yang et al. (2006) melaporkan bahwa stabilitas
enzim pada operasi reaksi gilserolisis minyak bunga matahari secara kontinyu
aktivitas lipase (novozyme 435) cukup stabil selama 31 hari reaksi (Gambar 8).
Tidak terdeteksi asam lemak bebas setelah 15 hari reaksi. Tidak ada penurunan
aktivitas lipase hingga hari terakhir reaksi.

Gambar 8

Stabilitas reaksi kontinyu Novozyme® 435 mengkatalisis
gliserolisis minyak bunga matahari. Kondisi reaksi:
gliserol/minyak 3.5:1 (mol/mol), suhu 40 C, waktu tinggal 40
menit, dan tert butyl alcohol/minyak 2:1 (w/w)
(Yang et al., 2006)

Yang et al. (2003), melakukan penelitian penggunaan ulang Novozyme®
435 dengan recovery lipase pada reaksi esterifikasi dan menggunakan kembali
enzim hasil recovery pada percobaan selanjutnya. Seperti terlihat pada gambar 8,
tidak ada penurunan yang signifikan pada aktivitas enzim setelah beberapa reaksi

23

batch. Sekitar

90% dari aktivitas enzim (selama pembentukan MAG)

dipertahankan setelah 14 kali reaksi (Gambar 9).

Gambar 9

Kandungan MAG vs jumlah reaksi batch pada penelitian
penggunaan kembali Novozyme® 435 dengan kondisi
reaksi sama (Yang et al., 2003)

24

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan Februari
2011 bertempat di Laboratorium Kimia SEAFAST Center IPB dan Laboratorium
Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP), IPB .
Bahan Dan Alat
Bahan baku untuk sintesis monolaurin adalah asam lemak laurat teknis
komersial, gliserol, enzim lipase Novozyme® 435 dari Novozymes A/S
(Bagsvaerd, Denmark), standar monolaurin dari Sigma, heksan teknis, dan tertbutanol p.a (Sigma). Bahan kimia yang digunakan (NA 2 S 2 O 3 ) 0.1N, larutan
Wijs, larutan Alkohol 95%, indikator PP dan pati, Larutan NaOH 0.01N, larutan
klorofo