Performa Produksi Kelinci Lokal yang Dipelihara pada Jenis Lantai Kandang yang Berbeda

ABSTRACT
Performance of Local Rabbit Raised In Different Types of Floor Cage
Lumban Gaol, V. M. S., Baihaqi and M. Yamin
The aim of this study was to analize rabbit performance raised in different
cage floor. Total rabbits used in study were 15 heads that allocated into three (3)
treatments (husk mats, bamboo and wire cage floor). The data of body weight, feed
intake, water consumption, feed conversion and amount of dung (feses and urine)
were colected during 60 days. The experiment was conducted in a completely
randomize design, the data were analysed with ANOVA (analysis of variance) and
differences among treatments were tested with Duncan Test.
The results show that there were no significant differences on feed intake,
daily body weight gain, feed conversion and production of faeces among treatments.
The Income Over Feed Cost (IOFC) between treatments were not different. It is
concluded that the three types of cage floor can be used by farmers provided the
materials are available.
Keywords : local rabbit, performance, husk mats, bamboo and wire

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelinci dapat membantu memenuhi kebutuhan protein hewani terutama pada
wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan keterbatasan tempat. Kelinci

adalah hewan mamalia dengan potensi penghasil daging yang baik. Kelinci termasuk
hewan yang sudah didomestikasi dan banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk
produksi fur, daging, hewan percobaan atau sebagai hewan kesayangan. Kelinci
memiliki kelebihan yaitu laju pertumbuhan yang cepat, potensi reproduksi yang
tinggi dan memiliki kemampuan dalam mencerna pakan hijauan karena memiliki
sifat coprophagy yaitu memakan kotorannya sendiri.
Kelinci juga sebagai salah satu komoditas ternak mudah berkembangbiak, tidak
banyak membutuhkan modal, lahan dan kandang serta sebagai hewan kesayangan
sehingga kelinci perlu dikembangkan. Selain itu, kelinci menghasilkan daging
berprotein tinggi dan sedikit berlemak sehingga daging kelinci aman dari resiko
kolesterol.
Salah satu sistem pemeliharaan kelinci yang harus diperhatikan untuk
penggemukan dan pembesaran adalah kualitas perkandangan. Hal ini disebabkan
kandang memiliki faktor yang sangat lekat dengan tingkat kesejahteraan,
kenyamanan dan kesehatan dari ternak tersebut selain pakan untuk mencapai
produktifitas yang tinggi. Kandang merupakan tempat ternak dalam melakukan
semua aktivitas. Salah satu faktor penting dalam membuat perkandangan adalah
penggunaan jenis lantai kandang

yang tepat sehingga diharapkan dapat


meningkatkan

kelinci

performa

produksi

dari

berbagai

macam

program

pemeliharaan.Studi tentang pengaruh jenis lantai kandang terhadap performa
produksi kelinci lokal masih sangat terbatas.
Penelitian ini dilakukan dengan penggunaan lantai kandang yang berbeda yaitu

terbuat dari kawat, bambu dan lantai tertutup beralaskan sekam. Perlakuan dengan
jenis lantai kandang yang berbeda memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing secara umum. Kelebihan pada lantai bambu adalah kandang mudah
dibersihkan, biaya kandang relatif lebih murah dan mudah didapat. Kelebihan pada
lantai kawat adalah sirkulasi udara yang baik dan kotoran yang langsung terbuang
namun kekurangannya adalah lantai kawat untuk kelinci tidak baik untuk kakinya
1

sehingga dapat menimbulkan penyakit. Kelebihan pada lantai tertutup beralaskan
sekam adalah pada faktor lingkungan yang dingin maka kelinci dapat menghangati
tubuhnya dengan sekam namun kekurangannya adalah tidak efisien. Meskipun
demikian, penelitian mengenai penggunaan jenis lantai kandang yang berbeda pada
kelinci lokal belum banyak dilakukan.
Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari performa produksi (pertambahan
bobot badan harian, konsumsi pakan harian, produksi feses dan konversi pakan) pada
kelinci lokal dengan lantai kandang yang berbeda yaitu lantai kandang dari kawat,
bambu dan sekam. Selain itu, akan dilakukan analisis ekonomi secara umum selama
penelitian.

2


TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kelinci
Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging
yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai sistem
lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan
ruminansia, sehingga hewan ini disebut ruminansia semu (pseudoruminant). Kelinci
memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit
atau bulu, hewan percobaan dan hewan untuk dipelihara. Kelinci dapat menggunakan
protein hijauan secara efisien, reproduksi tinggi, efisiensi pakan tinggi, hanya
membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan kualitas daging cukup tinggi
(Farrel dan Raharjo, 1984).
Klasifikasi kelinci secara ilmiah sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia (hewan)

Phylum

: Chordata (mempunyai notochord)


Subphylum

: Vertebrata (bertulang belakang)

Class

: Mamalia (memiliki kelenjar air susu)

Ordo

: Legomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas)

Family

: Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah)

Genus

: Oryctolagus (morfologi yang sama)


Species

: Cuniculus forma domestica

(Sumber : Damron, 2003)

Kelinci Lokal
Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis
kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New
Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih
kecil daripada kelinci impor dan memiliki laju pertumbuhan yang lambat sehingga
sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal dengan bangsa lain untuk
mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap
panas serta berbadan besar (Farrel dan Raharjo, 1984).
Herman (2000) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas
(suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan telah beradaptasi di
daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci
3


impor yang berasal dari daerah yang beriklim sedang. Kelinci lokal diternakkan
dengan tujuan sebagai penghasil daging yang memiliki kualitas cukup baik.
Potensi Kelinci
Kelinci memiliki kelebihan yaitu laju pertumbuhan yang cepat, potensi
reproduksi yang tinggi dan memiliki kemampuan dalam mencerna pakan hijauan
karena memiliki sifat coprophagy (Cheeke, 1986). Selain itu, kelinci memiliki masa
generasi yang pendek dengan reproduksi yang potensial dan akan kawin dalam
waktu 24 jam setelah beranak. Kelinci memungkinkan menghasilkan sebelas
kelahiran pertahun, akan tetapi tidak mungkin diperoleh di negara berkembang tetapi
sangat mungkin untuk menghasilkan tiga atau lima kali beranak pertahun (sekitar 20
anak perekor induk pertahun).
Menurut El-Raffa (2004), kelinci memiliki potensi sebagai penghasil daging
dan dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani karena
memiliki kemampuan efisiensi produksi dan reproduksi yang patut dipertimbangkan
yaitu 1) ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak membutuhkan banyak ruang, 2)
tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang, 3) umur
dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang tinggi, 5)
masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak disapih). Iman (2005)
menambahkan bahwa kelinci termasuk herbivora yang dapat mengubah hijauan
menjadi bahan pangan secara efisien.

Menurut Blakely dan Bade (1994), kelinci memiliki kebiasaan unik yaitu
memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut copropaghy. Sifat copropaghy
biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Feses yang berwarna hijau
muda dan konsistensi lembek itu dimakan lagi oleh kelinci. Hal ini memungkinkan
kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri disaluran bagian bawah yaitu
mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi,
mensintesis vitamin B dan memecahkan selulosa atau serat energi menjadi energi
yang berguna. Protein sangat dibutuhkan oleh kelincibaik kualitatif maupun
kuantitatif untuk pertumbuhannya. Kebutuhan protein ini hanya dapat dipenuhi
apabila diberi tambahan konsentrat, karena sifat kelinci berlambung tunggal sehingga
tidak memungkinkan mengkonsumsi pakan hijauan sebanyak-banyaknya. Sartika et

4

al. (1985) mengemukakan pemberian pakan dengan kandungan protein kasar 12%15% sudah cukup bagi pertumbuhan kelinci lokal.
Semua jenis ternak membutuhkan enam nutrien esensial yang terdiri dari
protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Air adalah nutrien yang paling
murah dan dibutuhkan untuk pertumbuhan, penggemukan maupun laktasi. Air juga
berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh, melarutkan dan mengangkut nutrien.
Konsumsi air minum pada ternak merupakan hal yang penting karena air berperan

penting dalam proses-proses pencernaan baik secara medium maupun sebagai pelaku
dalam reaksi kimia dalam tubuh. Konsumsi air minum juga dipengaruhi oleh suhu
lingkungan karena air berfungsi sebagai thermoregulator (Blakely dan Bade, 1994).
Suhu lingkungan yang tinggi (30 °C) dapat menurunkan konsumsi pakan sebesar
50%. Konsumsi pakan kelinci tidak dipengaruhi oleh suhu air minum namun oleh
suhu lingkungan (Remois et al., 1997)
Konsumsi
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok
ternak selama periode tertentu. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi pakan
merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi
karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat
makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi.
Pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering
(Herman, 2000). Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) yaitu untuk hidup
pokok 3%-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5%-8% dari bobot
badan.
Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan unsur yang meliputi perubahan berat hidup,
bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponenkomponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen
kimia terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. Pola pertumbuhan secara

normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya.
Bentuk kurva pertumbuhan past natal untuk semua spesies ternak pada kondisi yang
ideal adalah serupa yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoid. Sesuai dengan
pola pertumbuhan komponen karkas yang diawali dengan pertumbuhan tulang yang
5

cepat kemudian setelah mencapai pubertas laju pertumbuhan otot menurun dan
deposisi lemak meningkat (Soeparno, 1992).
Menurut Selamat (1996), timbulnya pubertas sangat beragam tergantung pada
bangsa. Perkembangan reproduksi pada bangsa kelinci tipe kecil atau sedang lebih
cepat yaitu pada umur 4-5 bulan dibandingkan bangsa kelinci yang besar yaitu 5-8
bulan. Pubertas pada kelamin dicapai pada saat organ reproduksi telah berkembang
dan berfungsi sempurna (Blakely dan Bade, 1994). Ternak dipengaruhi oleh
beberapa faktor selama dalam proses pertumbuhan antara lain faktor genetik,
pemberian pakan, suhu, kemampuan beradaptasi dan lingkungan (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1998).
Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang
dikonsumsi untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup. Konversi pakan menurut
Campbell dan Lasley (1985) dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mencerna

bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan
fungsi tubuh lain serta jenis pakan yang dikonsumsi.
Kebutuhan Pakan untuk Pertumbuhan
Kebutuhan pakan tergantung pada zat makanan yang dikandungnya, bahan
makanan serta tujuan pemeliharaannya. Kebutuhan zat makanan kelinci yang sedang
tumbuh terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Zat Pakan Kelinci pada Berbagai Status Fisiologis
Zat Pakan

Kebutuhan Pakan
Hidup pokok

Pertumbuhan

Bunting

Menyusui

2100

2500

2500

2500

PK (%)

12

16

15

17

Serat Kasar (%)

14

10-12

10-12

10-12

Lemak (%)

2

2

2

2

TDN (%)

55

65

58

70

Ca (%)

-

0,40

0,45

0,75

P (%)

-

0,22

0,75

0,50

DE (kkal)

Sumber: Banerjee (1982)

6

Kebutuhan Bahan Kering
Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh
kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan
ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi
tergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci. Kebutuhan bahan
kering kelinci pada berbagai periode pemeliharaan terdapat pada Tabel 2.
Smith dan Mangkuwidjojo (1998) menyatakan bahwa kualitas pakan
merupakan faktor penting bagi kemampuan kelinci untuk mencapai kemampuan
genetik untuk pertumbuhan, pembiakan, umur produksi maupun reaksi terhadap
perlakuan. Apabila ternak tersebut diberi pakan yang berkualitas baik, maka
pertumbuhannya akan lebih cepat dan mencapai bobot hidup tertentu pada umur
yang lebih awal. Kebutuhan bahan kering berdasarkan periode pemeliharaan terdapat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Pakan Berdasarkan Periode Pemeliharaan
Bobot

Bahan kering

Kebutuhan Bahan Kering

(kg)

(%)

(g/ekor/hari)

Muda

1,8-3,2

5,4-6,2

112-173

Dewasa

2,3-6,8

3,0-4,0

92-104

Bunting

2,3-6,8

3,7-5,0

115-251

4,5

11,5

520

Status

Menyusui dengan
anak 7 ekor

Sumber: NRC (1977) dan Ensminger (1991)

Lingkungan
Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan
jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan
mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan rendahnya pertambahan bobot badan
(Anggorodi, 1990).
Produktifitas kelinci dapat mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan
suhu udara 18 °C dan tingkat kelembaban udara 70% (Lukefahr dan Cheeke, 1990).
Menurut Fernandez et al. (1995), suhu yang tinggi yaitu 30 °C menyebabkan bobot

7

hidup yang rendah pada kelinci betina, bobot total anak saat lahir yang relatif rendah,
pertumbuhan yang rendah pada anak kelinci.
Kandang
Sistem perkandangan adalah faktor yang sangat penting karena berpengaruh
terhadap sirkulasi udara didalam kandang sehingga akan mempengaruhi stres panas
pada kelinci (Finzi et al., 1992). El-Raffa (2004) menyebutkan bahwa salah satu
syarat suksesnya produksi kelinci di daerah tropis adalah kandang yang nyaman bagi
ternak. Suhu optimum untuk kelinci New Zealand White, California dan Flemish
Giant berkisar 10-25 ºC (SCRAM, 1998). Stres panas dapat menyebabkan mortalitas
dan menurunkan kemampuan reproduksi (SCRAM, 1998), karena itu kandang
kelinci yang baik adalah ternak dapat bergerak bebas, makan dan minum dengan
nyaman.
Produksi kelinci merupakan suatu sistem pemeliharaan yang lebih intensif
daripada jenis ternak lain dalam produksi peternakan. Kelinci lepas sapih biasanya
dipelihara dalam kandang kelompok, akan tetapi pada batas tertentu akan
meningkatkan mortalitas (Sartika dan Raharjo, 1990). Kandang penyapihan pada
ternak kelinci tersebut tidak dapat ditetapkan ukurannya. Kepadatan kandang yang
maksimum adalah 6 ekor/m . Kelinci New Zealand White yang mempunyai tujuan
utama untuk produksi daging yang dipelihara sampai umur < 2,5 bulan,
menunjukkan kepadatan kandang yang menunjang penampilan produksi ternak
terbaik adalah 14,4 ekor/m atau sekitar 10 ekor/m dengan pertambahan bobot
hidup sebesar 40,5 g/ekor/hari dan konversi pakan sebesar 2,7 (Prawirodigdo et al.,
1985). Kepadatan kandang merupakan hasil pertimbangan antara perlunya menekan
biaya kandang setiap ekor dan ruang yang memungkinkan memperoleh performa
maksimal dari setiap ekor ternak.
Kandang seluas 0,37 m cukup untuk seekor kelinci dewasa sedangkan luasan
kandang sebesar 0,93 m cukup untuk seekor induk beserta anak-anaknya (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Kandang untuk ternak ini mempunyai ukuran panjang 80100 cm, lebar 60-70 cm dan tinggi 50-60 cm, biasanya digunakan untuk
penggemukan sebanyak 5-6 ekor dengan bobot hidup 2,5-2,8 kg (Lebas et al., 1986).

8

Sekam padi
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi (kulit padi) dan merupakan
salah satu hasil sampingan yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Luh
(1991) menyatakan bahwa padi kering di dalam satu malai akan menghasilkan beras
putih 52% (% dalam berat), sekam sebanyak 20%, 15% jerami, dedak 10% dan
sebanyak 3% akan hilang selama konversi. Bobot isi sekam berkisar 0,10-0,16
gram/ml dengan kepadatan sesungguhnya sekitar 0,67-0,74 gram/cm3. Singhania
(2004) menyatakan bahwa tiap satu ton produksi akan menghasilkan 220 kg sekam
padi (sebanyak 22%).
Soepardi (1983) menyatakan sekam padi merupakan sumber energi bagi
perkembangan jasad renik dalam tanah dan dapat memperbaiki aerasi tanah dengan
cara memperbaiki struktur tanah. Sekam juga dapat meningkatkan penyerapan silika
oleh tanaman.
Menurut Grist (1995), sekam padi dapat digunakan dalam berbagai hal yaitu
untuk alas kandang pada tipe ternak tertentu, sebagai pupuk dan sebagai penunjang
media bagi sayuran hidroponik. Luh (1991) menambahkan sekam padi dapat pula
digunakan sebagai bahan campuran untuk bahan bangunan, pembuatan papan fiber
dan batu bata, sebagai penyerap atau absorban, pembuatan semen, bahan bakar
industri karet maupun untuk makanan ternak dan binatang.
Kawat
Peternak kelinci komersial biasanya menggunakan kandang yang terbuat dari
kawat. Kandang ini memiliki kelebihan yaitu ventilasi udara yang baik dan sistem
pembersihan kotoran yang mudah (Cheekeet al., 2000).
Animal Research (2007) menyatakan bahwa beberapa mencit ditempatkan
pada kandang dengan menggunakan kawat di bagian alas kandang. Tipe kandang
seperti ini memudahkan dalam pengambilan feses dan urin.
Bambu
Bambu memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan karena batangnya
kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk, mudah dibersihkan dan
mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu, bambu relatif
murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di
sekitar pemukiman pedesaan. (Krisdianto et al., 2007). Hal ini juga sesuai dengan
9

pernyataan Permanawati (2008) bahwa kandang yang baik harus mudah dibersihkan,
permukaan tahan air, tidak ada bagian tajam, terbuat dari bahan non toksik, tidak
mudah rusak, dan dilakukan pemeriksaan, perawatan, dan pergantian secara berkala.

10

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak
Ruminansia Kecil (kompleks kandang B), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian
dimulai pada Agustus sampai September 2011.

Materi
Ternak
Kelinci yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci jantan lokal
sebanyak 15 ekor yang berumur empat bulan. Kelinci diperoleh dari peternakan
rakyat yang ada di Jl. Raya Cibanteng Agatis Ciampea-Bogor. Bobot hidup rata-rata
adalah 824±74,43 gram.
Pakan
Pakan yang digunakan selama penelitian adalah ransum berbentuk pellet
khusus kelinci yang dibeli dari toko pakan ternak. Pakan yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 1. Selama penelitian berlangsung, kelinci tidak diberikan
hijauan karena pakan yang digunakan merupakan ransum komplit sehingga didalam
pakan yang diberikan sudah terdapat hijauan. Pakan tersebut dikemas dalam kemasan
berupa karung, bobot pakan perkarung adalah 25 kg. Persentase komposisi zat
makanan terdapat pada Tabel 3.

11

Gambar 1. Pakan Kelinci yang Digunakan
Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Pellet Berdasarkan 100% BK
Zat Nutrisi

Komposisi (%)

Bahan Kering

87,08

Protein Kasar

16,58

Serat Kasar

26,31

Lemak Kasar

4,62

Abu

10,75

BETA-N

41,74

Sumber : Hasil Analisis Kimia Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2011).

Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan pada penelitian adalah kandang individu sebanyak 15
unit yang berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Kandang berbentuk panggung dengan
jarak dari lantai ± 100 cm. Kandang terbuat dari kayu, bambu dan kawat dengan
lantai kandang yang berbeda yaitu bambu, kawat dan sekam. Atap dan dinding
kandang pada setiap perlakuan sama yaitu dibuat dari kawat yang sisi masing-masing
diberi kayu. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum yang
terbuat dari tanah liat. Peralatan yang digunakan adalah alat kebersihan, kamera,
timbangan, ember dan sekam.
Lantai kandang yang dibuat dari kawat memiliki bentuk kawat yang persegi
dengan ukuran sisi kawat 13 x13 mm dan ketebalan kawat 0,8 mm. Lantai kawat dari
bambu memiliki jarak antar bambu ± 10 mm dan ketebalan bambu ± 3 mm. Lantai
tertutup beralaskan sekam berbahan dasar kayu yang atasnya dilapisi terpal
kemudian diisi dengan sekam yang ketebalannya ± 5 mm dengan tinggi dinding kayu
± 10 cm.
Pengamatan lingkungan dilakukan dengan thermohygrometer digital yang
digantung di dinding kandang untuk mengetahui suhu dan kelembaban kandang
setiap hari. Penimbangan bobot hidup dilakukan dengan timbangan Nagako yang
berkapasitas 2 kg. Gambar jenis lantai kandang penelitian dapat dilihat pada Gambar
2.

12

Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Penelitian

Metode
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
menggunakan 3 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan.
Perlakuan yang diberikan yaitu:
P1 : lantai kandang terbuat dari bambu
P2 : lantai kandang terbuat dari kawat
P3 : lantai kandang tertutup beralaskan sekam
Model matematika yang digunakan adalah: ( Mattjik dan Sumertajaya., 2002 )
Yij = µ + α i + ε ij
Keterangan:
Yijk : Nilai peubah yang diamati
µ

: Nilai tengah umum

αi

: Pengaruh perlakuan alas kandang yang berbeda pada taraf ke-i (i= P1, P2 dan
P3)

ε ij

: Galat percobaan dari ulangan ke-j akibat perlakuan alas kandang yang
berbeda (j= 5 ulangan)

i

: Perlakuan ke-i

j

: Ulangan ke-j

13

Peubah yang Diamati
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan jumlah yang dihitung setiap hari dengan cara
menghitung pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan (g/ekor/hari). Konsumsi
diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang diberikan pada ternak dan zat
makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok dan untuk keperluan produksi ternak.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertambahan bobot badan harian merupakan pengurangan bobot badan minggu
ini dengan bobot badan dua minggu lalu dibagi jumlah hari.
Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan
bobot badan tertentu dan dalam waktu tertentu. Konversi pakan yaitu jumlah pakan
yang dikonsumsi tiap hari terhadap pertambahan bobot badan harian. Efisiensi dalam
penggunaan pakan termasuk dalam program pemberian pakan yang didapat dan
diukur dari konversi pakan atas bobot hidup kelinci.

Produksi Feses
Produksi feses yang dikeluarkan perhari (gram/ekor/hari) diukur dengan cara
menghitung jumlah feses yang dikeluarkan setiap hari.
IOFC (Income Over Feed Cost)
IOFC adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC
biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Analisis
pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual kelinci
dan biaya pakan selama pemeliharaan.

14

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of variance
(ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan nyata atau sangat nyata, maka dilakukan
uji perbandingan nilai tengah dengan menggunakan uji Duncan.
Prosedur
Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan pada penelitian adalah kandang individu sebanyak 15
unit yang berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Kandang terbuat dari kayu, bambu dan
kawat dengan lantai kandang yang berbeda yaitu bambu, kawat dan sekam. Setiap
kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum yang terbuat dari tanah liat.
Kandang terlebih dahulu didesinfeksi kemudian tempat pakan dan minum
dibersihkan untuk mencegah adanya bibit penyakit. Kelinci yang dipilih adalah
kelinci jantan lokal sebanyak 15 ekor yang dimasukkan ke dalam kandang secara
acak. Sebelum penelitian, kelinci terlebih dahulu diadaptasikan selama 2 minggu
agar tidak mudah stres yang akan mengganggu selama penelitian berlangsung. Obatobatan yang digunakan adalah obat anti scabies yaitu Wonder Ivermic, Vitamin
Caviadrops dan obat diare Entrostop. Penimbangan bobot badan dilakukan pada
akhir periode adaptasi dan digunakan sebagai data awal penelitian.
Pemeliharaan
Selama penelitian pakan diberikan sebanyak dua kali sehari yaitu pada pagi
dan sore hari yang disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering ternak tersebut
berdasarkan bobot badan. Sebelum pakan diberikan, pakan ditimbang terlebih
dahulu. Pemberian air minum diberikan secara ad libitum. Kurun pemeliharaan
selama 60 hari.
Kandang dibersihkan setiap hari yaitu pada pagi hari agar kebersihan kandang
dapat terjaga dan kesehatan ternak tidak terganggu.
Pengumpulan Data
Penimbangan bobot badan dilakukan sekali dalam 2 minggu pada pagi hari.
Pakan yang dikonsumsi dihitung setiap hari dengan cara menimbang sisa pakan.
Produksi feses diambil sebanyak empat kali selama proses pemeliharaan yang di
timbang pada hari yang sama dengan penimbangan bobot badan.

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Kandang adalah salah satu kebutuhan penting dalam peternakan. Fungsi utama
kandang adalah untuk menjaga supaya ternak tidak berkeliaran dan memudahkan
pemantauan serta perawatan ternak. Terdapat banyak jenis kandang, baik
berdasarkan tipe maupun bahan yang digunakan untuk membuat kandang tersebut,
sedangkan penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Secara tidak langsung,
kandang juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil peternakan.
Lantai adalah pembatas bangunan bagian bawah kandang ternak. Lantai
kandang sangat penting karena menjadi tempat berpijak dan berbaring ternak
sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak, berbaring dan istirahat dengan nyaman yang
kemudian akan berpengaruh terhadap performa produksi. Lantai kandang yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat dari bambu, kawat dan lantai tertutup
beralaskan sekam. Pembuatan kandang dan lantai sangat memiliki pengaruh terhadap
suhu dan kelembaban sehingga layak untuk digunakan oleh ternak.
Suhu dalam kandang selama penelitian berlangsung berkisar antara 22-32,8 °C
dengan suhu pagi 22-26 °C (06.00 WIB), siang 30-32,5 °C (12.00 WIB) dan sore 2432,8 °C (16.00 WIB). Kelembaban kandang juga cukup tinggi pada pagi hari 90%99%, siang hari 82%-90% dan sore hari 50%-80%. Hal ini tidak sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Lukefahr dan Cheeke (1990) bahwa pertumbuhan kelinci dapat
mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu 18 °C dan tingkat
kelembaban 70%. Suhu kandang yang tinggi ini disebabkan oleh konstruksi kandang
yaitu bagian atap kandang yang terbuat dari asbes sehingga sangat mudah menyerap
panas pada waktu siang hari dan menyebarkan panas tersebut keseluruh ruangan
kandang.
Konsumsi Pakan
Pakan kelinci yang diberikan selama pemeliharaan adalah pellet. Pellet sebagai
bentuk massa dari bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan
dan memadatkan melalui lubang cetakan secara mekanis. Konsumsi pakan kelinci
diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang diberikan pada kelinci dan zat
makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok dan untuk keperluan produksi ternak. Kebutuhan zat-zat makanan bagi ternak
16

yang sedang tumbuh akan bertambah sejalan dengan pertambahan bobot tubuh yang
dicapai sampai batas umur dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan. Rataan konsumsi
pakan kelinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan (Pelet) Kelinci Selama Pemeliharaan
Konsumsi Pakan

Perlakuan

(g/ekor/hari)

P1 (Bambu)

66,60 ± 5,95

P2 (Sekam)

68,29 ± 6,25

P3 (Kawat)

69,56 ± 5,64

Rataan

68,15 ± 5,65

Rataan konsumsi pakan (pellet) kelinci setiap hari pada masing-masing
perlakuan P1, P2 dan P3 adalah 66,60; 68,29 dan 69,56 gram/ekor/hari. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa konsumsi pakan (pelet) yang diberikan tidak
berpengaruh nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan pemberian pakan diberikan sesuai
dengan kebutuhan kelinci dan tidak ad libitum. Penggunaan jenis lantai kandang
tidak menurunkan konsumsi pakan sehingga penggunaan jenis lantai kandang
bambu, sekam dan kawat ini dapat digunakan untuk pemeliharaan kelinci lokal.
Konsumsi Zat Makanan
Konsumsi zat makanan merupakan bahan-bahan penting berupa nutrisi yang
terdapat dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Rataan konsumsi zat makanan
kelinci berdasarkan BK=100% dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Kelinci Berdasarkan BK=100%
Peubah

P1 (Bambu)

P2 (Sekam)

P3 (Kawat)

Rataan

(g/ekor/hari)

Bahan Kering

58,04 ± 5,22

59,50 ± 5,39

60,58 ± 4,92

59,37 ± 4,92

Protein Kasar

11,08 ± 0,97

11,31 ± 1,04

11,53 ± 0,94

11,31 ± 0,22

Serat Kasar

17,52 ± 1,56

17,97 ± 1,64

18,30 ± 1,49

17,93 ± 0,39

17

Konsumsi zat makanan sehari-hari dapat dilihat dengan mengamati konsumsi
bahan kering, konsumsi protein kasar dan konsumsi serat kasar. Konsumsi zat
makanan selaras dengan konsumsi pakan dan tidak dipengaruhi penggunaan jenis
lantai kandang sehingga lantai kandang bambu, sekam dan kawat layak untuk
digunakan dalam pemeliharaan kelinci lokal.
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi bahan kering kelinci pada penelitian berkisar 6% dari bobot badan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan dengan lantai kandang P1, P2
dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering (P>0,05) (Tabel 5).
Penelitian Muhidin (2004) menunjukkan konsumsi bahan kering yang
diberikan sebanyak 151,27 g/ekor/hari dan lebih tinggi dari penelitian ini. Hal ini
disebabkan pakan diberikan secara ad libitum dan menghasilkan pertambahan bobot
badan sebanyak 18,22 g/ekor/hari, sedangkan penelitian ini disesuaikan dengan
kebutuhan bahan kering berdasarkan NRC (1977) dan Ensminger (1991) yaitu
kebutuhan bahan kering kelinci muda berkisar 5,4%-6,2%. Kebutuhan ini juga sudah
sesuai menurut Templeton (1968), yang menyatakan kelinci membutuhkan bahan
kering 5,8%-6,7% dari bobot hidup setiap harinya. Hasil menunjukkan bahwa
penggunaan jenis lantai kandang bambu, sekam dan kawat dapat digunakan untuk
pemeliharaan kelinci lokal karena tidak menurunkan konsumsi bahan kering.
Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan
jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan
mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan rendahnya pertambahan bobot badan
(Anggorodi, 1990). Suhu kandang pada saat kelinci dipelihara selama penelitian
berlangsung berkisar antara 22-32,8 °C. Pagi 22-26 °C, siang 30-32,5 °C dan sore
24-32,8 °C. Suhu ini tidak sesuai dengan suhu lingkungan optimal pada kelinci yaitu
21 °C sehingga menyebabkan kelinci menjadi stres dan dapat menyebabkan
kematian.
Konsumsi Protein Kasar
Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi protein (P>0,05) (Tabel
5). Rataan konsumsi protein kasar harian untuk masing-masing perlakuan P1, P2 dan
P3 berturut-turut adalah 11,08; 11,31 dan 11,53 g/ekor/hari. Persentase protein kasar
yang dikonsumsi adalah 16,58%. Rataan konsumsi protein kasar tidak berbeda jauh
18

jika dibandingkan dengan penelitian Iman (2005) yaitu 16,27% dengan pemberian
rumput 60% dan konsentrat 40%. Konsumsi protein sudah sesuai kebutuhan untuk
kelinci yang sedang tumbuh yaitu sebesar 16% (Benerjee, 1982). Hal ini juga sesuai
dengan kebutuhan protein kasar menurut Church (1991) yaitu berkisar 10%-20%.
Penggunaan jenis lantai kandang yang berbeda seperti bambu, sekam dan
kawat dapat digunakan untuk pemeliharaan karena tidak menurunkan konsumsi
protein pada kelinci lokal. Namun, bahan baku dalam pembuatan lantai kandang
harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada di daerah tersebut sehingga lebih
meminimalkan biaya pembuatan.
Konsumsi Serat Kasar
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap
konsumsi serat kasar (P>0,05). Rataan konsumsi serat kasar dapat dilihat pada Tabel
5 yaitu untuk masing-masing perlakuan P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 17,52;
167,97 dan 18,30 g/ekor/hari. Persentase serat kasar yang dikonsumsi adalah
26,31%. Konsumsi rataan serat kasar tidak sesuai dengan kebutuhan untuk kelinci
yang sedang tumbuh menurut NRC (1977) yaitu berkisar 10-12%. Hal ini dapat
disebabkan karena komposisi bahan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
serat kasar untuk kelinci yang sedang tumbuh. Kebutuhan serat kasar ini juga tidak
sesuai menurut Lebas et al. (1968) yang menyatakan kebutuhan serat kasar berkisar
10%-20 %.
Akan tetapi, perlakuan jenis kandang yang berbeda tidak menurunkan
konsumsi serat kasar dalam pemeliharaan kelinci lokal sehingga penggunaan lantai
kandang dari bambu, sekam dan kawat masih dapat digunakan.

Performa Produksi
Penampilan ternak bisa diamati dengan melihat produksi ternak yaitu dengan
melihat pertambahan bobot badannya. Nilai pertambahan bobot badan yang tinggi
menunjukkan bahwa ternak dapat berproduksi dengan baik. Menurut Smith dan
Mangkoewidjojo (1988), selama proses pertumbuhan, ternak dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain faktor genetik, pemberian pakan, suhu, kemampuan
beradaptasi dan lingkungan. Performa produksi yang terdapat pada Tabel 6
menunjukkan bahwa rataan bobot badan (1520 g/ekor) untuk mencapai kelinci fryer
19

tidak sesuai menurut Ozimba dan Lukefahr (1991) yang menyatakan bahwa untuk
mencapai kelinci fryer bobot badan sebesar 2047 g/ekor. Hasil statistik menunjukkan
bahwa perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh nyata terhadap performa produksi.
Bobot awal, bobot akhir, konversi pakan dan mortalitas terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Performa Produksi Kelinci
Parameter Produksi

Performa Produksi pada Lantai Kandang
Bambu

Sekam

Kawat

Rataan

Bobot Awal (g/ekor)

856±103,34

818±60,99

98±53,10

824,00±29,46

Bobot Akhir (g/ekor)

1502,5±117,30

1434±215,71

1625±93,27

1520,50±96,76

PBBH (g/ekor/hari)

10,54±2,13

11±3,03

13,04±3,81

11,53±1,33

Konversi Pakan

5,64±0,87

5,69±1,27

5,04±1,71

5,46±0,36

Mortalitas (%)

20

0

20

13,33

Aspek genetik juga berpengaruh terhadap bobot kelinci. Jenis kelinci yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci lokal. Kelinci lokal Indonesia bertubuh
kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg (Herman, 2000).
Penggunaan jenis lantai kandang pada bambu, sekam dan kawat tidak
berpengaruh terhadap performa produksi. Oleh karena itu, penggunaan jenis lantai
kandang yang berbeda dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pada pemeliharaan
kelinci lokal.
Penggunaan dengan lantai bambu sudah umum dilakukan untuk pemeliharaan
ternak kelinci karena batangnya kuat, mudah dibelah, mudah dibentuk dan ringan.
Bambu untuk wilayah Bogor mudah dijangkau dan harga relatif murah sehingga
banyak dimanfaatkan peternak kelinci di Bogor. Lantai dengan bambu juga mudah
dibersihkan dari kotoran sehingga lebih higienis dan ternak menjadi lebih nyaman
untuk tinggal.
Penggunaan dengan lantai tertutup beralaskan sekam masih jarang dilakukan
untuk pemeliharaan kelinci lokal, tapi hal ini tidak berpengaruh terhadap performa
produksi kelinci. Hal ini disebabkan sekam diganti sekali dalam dua hari sehingga
kotoran tidak berada lama di kandang dan kelinci tetap merasa nyaman tinggal di
kandang.

20

Penggunaan lantai dengan kawat masih jarang dilakukan untuk pemeliharaan
kelinci lokal, tapi hal ini tidak berpengaruh terhadap performa produksi kelinci. Hal
ini disebabkan kotoran dan urin langsung terbuang dan tidak tinggal di kandang
sehingga ternak tetap merasa nyaman untuk tinggal di kandang.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan rataan pertambahan bobot badan
harian sebesar 11,53±1,33g/ekor/hari. Hasil penelitian ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan penelitian Kurniawati (2001) bahwa pertambahan bobot badan
sekitar 12,780±2,741 dengan protein kasar 14%. Pertambahan bobot badan dapat
dipengaruhi dengan tingginya level protein yang dikemukakan oleh Soeharsono
(1979) bahwa semakin tinggi level protein yang terkandung dalam pakan maka akan
meningkatkan pertambahan bobot badan kelinci.
Penelitian Trocino et al. (2008) bahwa kelinci Grimaud umur 36 hari
menghasilkan rata-rata pertambahan bobot badan harian sekitar 7,7 g/ekor/hari pada
lantai kawat dan rataan konsumsi pakan (pellet) sebanyak 26,8 g/ekor/hari yang
dipelihara selama 42 hari.
Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan lantai kandang P1, P2 dan P3
tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan (P>0,05). Penggunaan
dengan jenis lantai kandang berbeda ini dapat digunakan oleh peternak kelinci lokal
karena tidak berpengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan harian.
Perlakuan ini dapat diterapkan dan dapat meminimalkan biaya kandang yang
disesuaikan dengan bahan baku yang terdapat di daerah masing-masing.
Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi berdasarkan bahan
kering setiap hari dibagi dengan pertambahan bobot badan hariannya. Hasil analisis
statistik pada Tabel 6. menunjukkan perlakuan dengan lantai kandang yang berbeda
tidak berpengaruh nyata terhadap konversi pakan. Hal ini berarti ternak yang
dikandangkan dengan lantai kandang yang berbeda P1 (bambu), P2 (sekam) dan P3
(kawat) memiliki konversi pakan yang sama. Rataan konversi pakan untuk ketiga
perlakuan adalah 5,46. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap penambahan bobot
badan sebesar satu satuan maka dibutuhkan pakan berdasarkan bahan kering
sebanyak 5,46 satuan. Penggunaan jenis lantai kandang dari kawat menurut Trocino
21

et al. (2008) pada kelinci Grimaud memiliki konversi pakan 3,49 dan lebih rendah
dari hasil penelitian yang dilakukan. Hal ini tidak sesuai menurut Church (1991) dan
Lebas et al. (1986) yang menyatakan bahwa rata-rata konversi pakan untuk produksi
daging kelinci adalah 3 : 1 (3 kg pakan untuk 1 kg bobot hidup).
Ketiga jenis lantai kandang yang digunakan dapat digunakan sebagai alternatif
dalam pemeliharaan kelinci lokal karena tidak berpengaruh negatif terhadap
pertambahan bobot badan. Namun, untuk meminimalkan biaya penggunaan lantai
kandang yang berbeda seperti bambu, kawat dan sekam dapat disesuaikan dengan
sumber daya yang ada pada daerah tersebut.
Produksi Feses
Feses merupakan produk buangan saluran pencernaan hewan yang
dikeluarkan melalui anus atau kloaka. Kelinci memiliki kebiasaan memakan
kotorannya sendiri yang disebut dengan istilah coprophagy. Kelinci memiliki dua
jenis feses yang keluar dari anusnya yang pertama feses kering keras dikeluarkan
pada siang hari dan yang kedua feses yang lembek dan berlendir dikeluarkan pada
malam dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh
kelinci langsung dari duburnya. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat
kasar tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses karena di dalam feses yang
lembek dan berlendir tersebut mengandung banyak vitamin dan nutrisi seperti
riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan
memakan kembali fesesnya tersebut kelinci tidak akan kekurangan nutrisi dan
vitamin karena isi saluran pencernaan berdaur kembali. Rataan produksi feses selama
penelitian terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Produksi Feses
Perlakuan

Produksi Feses (g/ekor/hari)

P1 (Bambu)

30,20±3,89

P2 (Sekam)

26,18±3,33

P3 (Kawat)

36,04±1,86

Rataan

30,81±5,00

22

Pada penelitian ini, hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan lantai
kandang yang dikeluarkan oleh kelinci tidak berpengaruh nyata terhadap produksi
feses (P>0,05). Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi yang terdapat dalam
pakan yaitu serat kasarnya yang tinggi 22,91% sehingga pellet yang dikonsumsi
tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan PBBH tetapi banyak
yang terbuang melalui feses. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Benerjee (1982) bahwa kebutuhan serat kasar untuk pertumbuhan sekitar 10%–12 %.
Mortalitas
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu parameter yang sering
digunakan untuk bahan evaluasi pemeliharaan setiap minggu dan sekaligus sebagai
salah satu penentu keberhasilan dalam suatu peternakan. Kelinci yang mati selama
penelitian berjumlah dua ekor yang terdapat pada perlakuan P1 dan P3 dengan
rataan persentase kematian sebesar 13,33%.
Kematian kelinci pada bambu dan kawat disebabkan oleh kurangnya
penanganan pada saat kelinci diare yaitu pembersihan lantai kandang yang kurang
maksimal sehingga menyebabkan kotoran masih tersisa dan menyebabkan diare terus
menerus dan menyebabkan kematian. Akan tetapi, pada lantai tertutup beralaskan
sekam tidak ada kematian. Hal ini disebabkan oleh kotoran dan urin yang menempel
pada sekam dibuang sehingga tidak ada kotoran yang tinggal di kandang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990), tingkat mortalitas dipengaruhi oleh
beberapa fakor diantaranya, bobot badan, bangsa, iklim, kebersihan lingkungan,
sanitasi peralatan, kandang serta penyakit.
Income Over Feed Cost (IOFC)
Keuntungan Analisis Ekonomi
Tujuan akhir dari pemeliharaan ternak adalah untuk memperoleh keuntungan
secara ekonomis. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan
pengeluaran. IOFC adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan.
IOFC biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan.
Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual
kelinci dan biaya pakan selama pemeliharaan. Adkinson et al. (1993) menghitung
IOFC dari selisih antara penjualan kelinci dengan pembelian kelinci umur 4 bulan

23

yang dihasilkan dengan biaya pakan. Menurut Kasim (2002), IOFC dapat dihitung
melalui pendekatan penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan
biaya pakan yang dikeluarkan selama penelitian. Faktor yang berpengaruh penting
dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama penggemukan,
konsumsi pakan dan harga pakan. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin
keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik akan diikuti dengan konversi
pakan yang baik pula serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan
yang maksimum (Wahju, 1997). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
lantai kandang bambu, sekam dan kawat tidak berpengaruh terhadap IOFC (P>0,05)
dengan rataan nilai Rp. 5342,Tabel 8. Income Over Feed Cost (IOFC)
Perlakuan

IOFC (Rp.)

P1 (Bambu)

6104±1417,59

P2 (Sekam)

5210±955,04

P3 (Kawat)

4712±339,16

Rataan

5342±705

Perlakuan dengan jenis lantai kandang yang berbeda tidak berpengaruh
terhadap IOFC sehingga penggunaan jenis lantai yang berbeda dapat dijadikan
sebagai alternatif dalam pemeliharaan kelinci lokal yang dapat disesuaikan dengan
bahan baku penghasil yang terdapat pada suatu daerah sehingga meminimalkan biaya
kandang.

24

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan lantai
kandang yang berbeda yaitu bambu, kawat dan lantai tertutup beralaskan sekam tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi
pakan, konversi pakan, mortalitas dan produksi feses yang dihasilkan.
Perlakuan jenis lantai kandang dapat disesuaikan dengan sumber daya yang
terdapat pada suatu daerah untuk meminimalkan biaya pembuatan lantai kandang
karena perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan,
konsumsi pakan, konversi pakan, mortalitas dan produksi feses yang dihasilkan.
Saran
Penelitian perlu dilanjutkan untuk melihat produksi karkas dan daging yang
dihasilkan. Selain itu, lebih memperhatikan lantai kandangnya dalam penanganan
kebersihan. Pengamatan suhu dan kelembaban yang dilakukan sebaiknya pada
masing-masing perlakuan.

25

PERFORMA PRODUKSI KELINCI LOKAL YANG
DIPELIHARA PADA JENIS LANTAI
KANDANG YANG BERBEDA

SKRIPSI
VANIA MARCHIA SABBATINA LUMBAN GAOL

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

PERFORMA PRODUKSI KELINCI LOKAL YANG
DIPELIHARA PADA JENIS LANTAI
KANDANG YANG BERBEDA

SKRIPSI
VANIA MARCHIA SABBATINA LUMBAN GAOL

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
VANIA MARCHIA SABBATINA LUMBAN GAOL. D14096017. 2012. Performa
Produksi Kelinci Lokal yang dipelihara pada Jenis Lantai Kandang yang
Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc.
: Dr. Ir. Moh Yamin, M. Agr. Sc.

Kelinci merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang mudah
berkembangbiak, tidak banyak membutuhkan modal, lahan dan kandang serta
sebagai hewan kesayangan sehingga kelinci perlu dikembangkan. Kelinci juga
menghasilkan daging berprotein tinggi dan sedikit berlemak sehingga daging kelinci
aman dari resiko kolesterol.
Salah satu sistem pemeliharaan kelinci untuk penggemukan dan pembesaran
adalah manajemen perkandangan. Hal ini disebabkan oleh kandang memiliki faktor
yang sangat lekat dengan tingkat kesejahteraan dan kesehatan dari ternak tersebut.
Kandang merupakan tempat ternak yang dapat melakukan semua aktivitas. Faktor
yang mempengaruhi proses pertumbuhan selain pakan adalah lingkungan yang
meliputi suhu (temperatur udara), kelembaban, tingkat kepadatan kandang dan
sanitasi yang terkait dengan penggunaan lantai kandang. Penggunaan lantai kandang
yang sesuai dengan kebutuhan kelinci menjamin pertumbuhan dan produksi yang
optimal sehingga usaha budidaya dapat berjalan dengan baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari performa produksi
(pertambahan bobot badan harian, konsumsi pakan harian, produksi feses dan
konversi pakan) pada kelinci lokal dengan lantai kandang yang berbeda. Perlakuan
menggunakan lantai kandang yang terbuat dari bambu, kawat dan lantai tertutup
beralaskan sekam. Adanya perlakuan khusus tersebut diharapkan tidak menurunkan
performa produksi kelinci yang dihasilkan. Performa produksi yang muncul dari
kelinci tersebut dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan dari kelinci yang
dipelihara dalam kandang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap dengan tiga perlakuan yang terdiri dari lima ulangan. Data dianalisa
menggunakan ANOVA jika terdapat perbedaan diuji dengan Uji Lanjut Duncan yang
sebelumnya data dianalisa dengan empat asumsi.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) pada
konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian, konversi pakan dan produksi
feses pada perlakuan lantai kandang bambu, kawat dan lantai tertutup beralaskan
sekam. Keuntungan ekonomi yang didapatkan dengan penggunaan lantai bambu
lebih besar dibanding dua perlakuan lainnya.
Kata-kata kunci : kelinci lokal, performa, bambu, kawat, sekam

ABSTRACT
Performance of Local Rabbit Raised In Different Types of Floor Cage
Lumban Gaol, V. M. S., Baihaqi and M. Yamin
The aim of this study was to analize rabbit performance raised in different
cage floor. Total rabbits used in study were 15 heads that allocated into three (3)
treatments (husk mats, bamboo and wire cage floor). The data of body weight, feed
intake, water consumption, feed conversion and amount of dung (feses and urine)
were colected during 60 days. The experiment was conducted in a completely
randomize design, the data were analysed with ANOVA (analysis of variance) and
differences among treatments were tested with Duncan Test.
The results show that there were no significant differences on feed intake,
daily body weight gain, feed conversion and production of faeces among treatments.
The Income Over Feed Cost (IOFC) between treatments were not different. It is
concluded that the three types of cage floor can be used by farmers provided the
materials are available.
Keywords : local rabbit, performance, husk mats, bamboo and wire

PERFORMA PRODUKSI KELINCI LOKAL YANG
DIPELIHARA PADA JENIS LANTAI
KANDANG YANG BERBEDA

VANIA MARCHIA SABBATINA LUMBAN GAOL
D14096017

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul

: Performa Produksi Kelinci Lokal yang Dipelihara pada Jenis
Lantai Kandang yang Berbeda

Nama

: Vania Marchia Sabbatina Lumban Gaol

NIM

: D14096017

Menyetujui,
Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

(Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc.)
NIP: 19800129 200501 1 005

(Dr. Ir. Moh Yamin, M. Agr. Sc.)
NIP: 19630928198803 1 002

Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.)
NIP: 19591212 198603 1 004

Tangal Ujian:

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Maret 1988 di Tarutung, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Penulis adalah anak keempat dari tujuh bersaudara
dari pasangan Bapak Tombang Lumban Gaol dan Ibu Erika Sitinjak.
Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Santa Maria
Tarutung pada tahun 1994 yang diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan
pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Santa Maria Tarutung. Penulis melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 2 Tarutung pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun
2006.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun
2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Diploma 3 dan
lulus pada tahun 2009 di jurusan Teknologi dan Manajemen Ternak. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan di Program Alih Jenis Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan pada tahun 2009. Semasa kuliah di Diploma 3 IPB, penulis
aktif dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI). Penulis juga aktif di Komunitas Mahasiswa Kristen Alih
Jenis di Program Alih Jenis IPB.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat
dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dan bertempat di Laboratorium
Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil (kompleks kandang B), Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian