Performa Produksi dan Kualitas Telur Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

RINGKASAN
Paingat Pardamean Sipayung. D14080033. 2012. Performa Produksi dan Kualitas
Telur Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang
Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr.
: Dr. Ir. Rukmiasih, MS.

Manajemen pemeliharaan, pakan, dan kepadatan kandang merupakan faktor
lingkungan yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap performa produksi
dan kualitas telur puyuh. Kepadatan kandang yang berbeda dapat mempengaruhi
performa produksi dan kualitas telur puyuh. Kepadatan yang rendah diduga dapat
meningkatkan performa produksi dan kualitas telur puyuh, sementara kepadatan
kandang yang tinggi belum tentu menghasilkan keadaan yang menguntungkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepadatan kandang yang optimal untuk
mendapatkan produksi dan kualitas telur puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang
maksimal.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.

Pemeliharaan puyuh dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian kualitas telur dilakukan di
Laboratorim Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
menggunakan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) betina berumur sembilan minggu
sebanyak 135 ekor. Kandang pemeliharaan yang digunakan berukuran panjang 62
cm, lebar 50 cm, dan tinggi 26 cm. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas P1
(kepadatan kandang 12 ekor), P2 (kepadatan kandang 15 ekor), dan P3 (kepadatan
kandang 18 ekor). Pemeliharaan puyuh dilakukan selama enam minggu. Pakan
diberikan sebanyak 20 g/ekor puyuh dan diberikan satu kali sehari.
Peubah yang diamati adalah performa produksi dan kualitas telur puyuh.
Performa produksi puyuh yang diamati meliputi konsumsi pakan, konversi pakan,
bobot telur, hen day production, dan mortalitas. Kualitas telur yang diamati meliputi
bobot telur utuh, warna kuning telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot
kerabang, tebal kerabang, HU, indeks kuning telur, persentase bobot kuning telur,
persentase bobot kerabang telur, dan persentase bobot putih telur puyuh. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap perlakuan terdiri
dari 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) kecuali data
konversi pakan dan hen day production disajikan secara deskriptif.
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada perbedaan performa produksi
dan kualitas telur puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda. Berdasarkan hen day

production dan konversi pakan ditentukan bahwa kepadatan kandang 12 ekor
merupakan yang paling optimal dalam produksi telur puyuh.
Kata-kata kunci: Coturnix-coturnix japonica, kepadatan kandang, produksi telur,
kualitas telur

ABSTRACT
Production Performance and Egg Quality of Quail (Coturnix-coturnix japonica)
on Various Stocking Density
Sipayung, P. P, R. Afnan , and Rukmiasih
Stocking density is one of important environmental factor which is need to be
considered in generating good production and quality of japanese quail (Coturnixcoturnix japonica) egg. This study was aimed to investigate the effects of various
stocking density and determine the most optimum cage density on production and
quality of quail egg. A total of 135 of japanese quails were used in this study. The
quails were kept in cages with a stocking density of 12 birds, 15 birds, and 18 birds
on 62 x 50 x 26 cm cages and each level of treatment consisted of 3 replications.
Feed consumption, feed conversion ratio, hen day egg production, average egg
weight, and mortality rate were recorded. Egg weight, shell weight, shell thickness,
yolk colour, Haugh Unit (HU), and yolk index were also investigated. The obtained
data were analyzed by using Analysis of Variance (ANOVA). Data of hen day
production and feed conversion were presented descriptively. All traits were not

different among treatments. The quails were kept in cages with a stocking density of
12 birds revealed the most optimum egg production according to the data of hen day
production and feed conversion.
Keywords: Coturnix-coturnix japonica, stocking density, egg production, egg quality

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manajemen pemeliharaan, pakan, dan kepadatan kandang merupakan faktor
lingkungan yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap performa produksi
dan kualitas telur puyuh. Kepadatan kandang yang berbeda diduga mempengaruhi
performa produksi dan kualitas telur puyuh. Kepadatan kandang yang tinggi diduga
akan menyebabkan peningkatan suhu kandang dan kanibalisme yang akan
menyebabkan penurunan performa produksi dan kualitas telur puyuh. Selain itu,
dapat menyebabkan persaingan dalam mendapatkan pakan. Puyuh yang ukuran
tubuhnya lebih kecil dan bersifat kurang agresif akan mengalami kesulitan dalam
memperoleh pakan daripada puyuh yang memiliki ukuran badan lebih besar dan
memiliki sifat agresif yang tinggi.
Kepadatan kandang yang terlalu rendah belum tentu menghasilkan performa
produksi dan kualitas telur yang maksimal. Kandang dengan tingkat kepadatan yang
terlalu kecil memungkinkan puyuh untuk melakukan aktivitas gerak yang lebih

banyak dibandingkan puyuh pada kepadatan kandang yang lebih besar. Aktivitas
gerak yang dilakukan oleh puyuh membutuhkan energi sehingga nutrisi yang
diperoleh dari pakan akan digunakan untuk aktivitas. Kondisi ini dapat
mempengaruhi performa produksi dan kualitas telur puyuh.
Penentuan jumlah puyuh per satuan luas kandang sangat penting untuk
mendapatkan performa produksi dan kualitas telur yang maksimal. Berdasarkan
uraian tersebut maka penelitian performa produksi dan kualitas telur puyuh
(Coturnix-coturnix japonica) pada kepadatan kandang yang berbeda dilakukan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepadatan kandang yang optimal
untuk mendapatkan produksi dan kualitas telur puyuh (Coturnix-coturnix japonica)
yang maksimal.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Puyuh
Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan
daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah
didapat (Permentan, 2008). Klasifikasi Coturnix-coturnix japonica menurut Vali
(2008) adalah sebagai berikut:
Ordo


: Galformes

Famili

: Phasidae

Genus

: Coturnix-coturnix

Spesies

: Coturnix-coturnix japonica

Secara ilmiah puyuh dikenal dengan nama Coturnix-coturnix japonica
berbeda dengan nama yang umumnya digunakan yaitu Coturnix coturnix . C.
japonica pada awalnya disebut burung jepang liar yang ditemukan pada abad kedelapan di Jepang. Burung puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan
coklat cinnamon dan gelap. Akan tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan
warna yang pucat dengan bintik bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh

jantan dewasa memiliki warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan
pipi (Vali, 2008).
C. japonica didomestikasi dan dijadikan sebagai burung kicau peliharaan
sekitar abad ke-sebelas (Vali, 2008). Manfaat umum dari puyuh C. japonica yaitu (1)
sebagai unggas penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya
pemeliharaan murah yang diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 – 300
gram), (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga
memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan
(resisten) terhadap wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang
tinggi, (6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas
dengan ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging
(Vali, 2008).
Periode pertumbuhan puyuh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) periode
starter (0-3 minggu), (2) periode grower (3-5 minggu), dan (3) periode layer (>6
minggu) (Nugroho dan Mayun, 1986). Menurut Woodard et al. (1973) puyuh
mencapai dewasa kelamin pada umur 6 minggu.

Puyuh merupakan ternak berdarah panas. Woodard et al. (1973) menyatakan
bahwa rataan suhu tubuh puyuh betina dewasa adalah antara 41,8-42,4 oC. Suhu
lingkungan yang optimal untuk puyuh fully feathered adalah 24 oC dan untuk anak

puyuh (day old quail) adalah 35 oC. Kelembapan lingkungan yang optimal untuk
puyuh adalah antara 30%-80%.
Anak puyuh yang baru menetas memiliki bobot tubuh sekitar 7 g, setelah
mencapai dewasa kelamin bobot tubuh puyuh betina adalah sekitar 143 g, dan puyuh
jantan adalah 117 g (Nugroho dan Mayun, 1986).

Gambar 1. Puyuh Betina
Performa Produksi Puyuh
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh berat badan, ukuran tubuh, tahapan
produksi, keadaan energi pakan, dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1992).
Menurut Ferket dan Gernet (2006) konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan
(komposisi nutrisi dalam ransum, kualitas pelet, dan formulasi ransum) dan
manajemen (manajemen lingkungan, kepadatan kandang, ketersediaan pakan dan air
minum, dan kontrol terhadap penyakit).
Puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein 24% selama periode
pertumbuhan dan diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode
bertelur, maka produksi telur terbaik adalah 80,2% (Nugroho dan Mayun, 1986).
Menurut Woodard et al. (1973) kebutuhan protein puyuh dewasa adalah 20%-25%
dan kebutuhan energi metabolisme adalah 2200-3400 kcal/kg. Puyuh yang

memperoleh ransum dengan kandungan protein 20% mampu menunjukkan

persentase produksi telur dan massa telur yang lebih tinggi dengan konversi ransum
yang lebih rendah dibandingkan puyuh yang memperoleh ransum protein 18%.
Konsumsi protein yang rendah mengakibatkan laju produksi yang rendah (Suprijatna
et al., 2008).
Tiwari dan Panda (1978) menyatakan bahwa konsumsi pakan puyuh berumur
31-51 hari yaitu 17,5 g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur 51-100 hari
menjadi 22,1 g/ekor/hari, dan tidak meningkat lagi setelah berumur 100 hari. Tingkat
konsumsi pakan puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan palatabilitas pakan.
Suprijatna et al. (2008) mengukur tingkat konsumsi pakan pada puyuh yang diberi
pakan dengan kandungan protein kasar 20% adalah sebesar 17,27 g/ekor.
Kepadatan

kandang

mempengaruhi

konsumsi


pakan

puyuh

karena

berpengaruh terhadap suhu. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya
suhu tubuh ayam. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan
gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik.
Meningkatnya laju metabolisme basal menurut Fuller dan Rendon (1977) disebabkan
bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja
jantung, serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Pada suhu lingkungan yang
tinggi diatas thermoneutral zone akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi.
Namun demikian, dengan adanya heat increment sebagai akibat pencernaan makanan
dan metabolisme zat-zat makanan, akan menimbulkan beban panas bagi ayam dan
akhirnya

aktifitas metabolisme menjadi

berkurang.


Berkurangnya

aktifitas

metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat manifestasinya
berupa menurunnya aktifitas makan dan minum sehingga konsumsi pakan puyuh
rendah.
Konversi Pakan
Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah
pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai
konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan.
Semakin rendah nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan semakin
tinggi. Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, penyakit,
manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh (Ensminger, 1992).

Kepadatan kandang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
konversi pakan. Pada kepadatan yang tinggi terjadi peningkatan suhu sehingga puyuh
mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi yaitu berada diatas
suhu nyaman puyuh akan menyebabkan stress. Puyuh yang stres membutuhkan

banyak energi untuk menanggulangi stres akibat cekaman panas sehingga semakin
banyak pakan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan basal dan untuk
menghasilkan telur. Akibatnya, nilai konversi pakan menjadi lebih besar dan
efisiensi penggunaan pakan rendah. Sedangkan pada kandang dengan kepadatan
yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman
dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk
produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih
rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Namun puyuh yang
dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil belum tentu
menghasilkan konversi pakan yang rendah. Kepadatan yang terlalu rendah
memungkinkan puyuh melakukan aktivitas gerak yang lebih besar sehingga energi
banyak digunakan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, energi yang yang tersedia
untuk produksi telur sedikit sehingga produksi telur puyuh menjadi rendah.
Penurunan produksi telur telur mengakibatkan nilai konversi pakan tinggi dan
efisiensi penggunaan pakan menjadi turun.
Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah
pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai
konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan
(Ensminger, 1992). Semakin tinggi nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan
pakan semakin rendah (Ensminger, 1992). Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh
pakan yang diberikan, penyakit, manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh
(Ensminger, 1992).
Puyuh yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar 20%
menghasilkan konversi pakan sebesar 5,65. Konversi pakan puyuh yang diberi
ransum dengan kandungan protein 20% lebih rendah dibandingkan puyuh yang
memperoleh ransum protein 18% (Suprijatna et al., 2008).

Produksi Telur
Produksi telur ditentukan oleh strain unggas, umur pertama bertelur,
lingkungan, konsumsi pakan, dan kandungan protein pakan (North dan Bell, 1992).
Menurut Woodard et al. (1973) puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari dan
rata-rata pada umur 40 hari. Puncak produksi telur pada puyuh adalah pada umur 4-5
bulan (120-150 hari). Produksi telur pada permulaan masa bertelur sedikit dan
semakin meningkat sesuai dengan pertambahan umur puyuh. Telur yang dihasilkan
pada permulaan bertelur berukuran kecil dan akan semakin besar sesuai dengan
pertambahan umur sampai mencapai ukuran yang stabil. Induk yang mulai bertelur
terlalu muda akan menghasilkan telur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
telur yang dihasilkan oleh induk yang lambat mulai bertelur (Nugroho dan Mayun,
1986).
Puyuh pada umumnya bertelur pada sore hari antara pukul 15.00-18.00 dan
sebagian kecil bertelur pada malam hari. Puyuh yang dipelihara pada lingkungan
yang nyaman dapat menghasilkan rata-rata 250 butir telur per tahun (Woodard et al.,
1973).
Kepadatan kandang dapat mempengaruhi produksi telur puyuh. Kepadatan
yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu . Temperatur lingkungan yang terlalu
tinggi diatas zona nyaman (thermoneutral zone) puyuh akan menyebabkan cekaman
panas. Produksi telur puyuh yang maksimal dapat dicapai apabila puyuh dipelihara
pada kondisi thermoneutral zone yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Dalam kisaran
suhu lingkungan yang optimal, puyuh dapat menggunakan pakan lebih efisien,
karena puyuh tidak mengeluarkan energi yang besar untuk mengatasi temperatur
lingkungan yang tidak normal. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi,
puyuh berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan cara menyeimbangkan produksi
panas dengan hilangnya panas.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu tubuh puyuh.
Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari
aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya
laju metabolisme basal disebabkan bertambahnya penggunaan energi akibat
bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung, dan bertambahnya sirkulasi darah
periferi. Pada suhu tinggi diperlukan energi yang lebih banyak untuk pengaturan

suhu tubuh dan mencegah stres, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk
produksi telur. Hal ini menyebabkan produksi telur puyuh rendah (Fuller dan
Rendon, 1977). Kepadatan kandang yang optimal sangat penting untuk menghasilkan
produksi telur puyuh yang maksimal.
Mortalitas
Menurut Wilson et al. (1978) mortalitas (kematian) yang tinggi terjadi pada
puyuh berumur 2-5 minggu. Setelah umur tersebut jumlah kematian puyuh menurun.
Kematian puyuh sangat dipengaruhi oleh bibit dan faktor lingkungan, antara lain
manajemen pemeliharaan, pakan dan teknik pemberian pakan, sanitasi, temperatur,
dan kelembapan lingkungan. Manajemen pemeliharaan sangat mempengaruhi tingkat
kematian puyuh, terutama konstruksi kandang. Kandang yang tidak sesuai dengan
kebutuhan puyuh akan menyebabkan puyuh stres, produksi telur turun, dan
kecelakaan serta mortalitas meningkat.
Kualitas Telur Puyuh
Kualitas telur sangat mempengaruhi daya terima konsumen, seperti
kebersihan, kesegaran, berat telur, kualitas kerabang, indeks kuning telur (yolk
index), Haugh Unit (HU), dan komposisi kimianya (Stadelman, 1977; Song et al.,
2000). Menurut North dan Bell (1992) kualitas telur ditentukan berdasarkan kualitas
secara interior dan eksterior. Kualitas interior telur meliputi indeks kuning telur (yolk
index), yolk ratio, albumen ratio, albumen index, dan Haugh Unit. Kualitas eksterior
meliputi indeks telur, bobot telur, dan bobot kerabang telur.
Kualitas telur dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik
dan lingkungan (Bednarczyk, 1991), kandungan zat makanan, temperatur
lingkungan, genetik, penyakit, umur unggas (Wahju, 1997), dan sistem pemeliharaan
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Temperatur lingkungan yang tinggi dapat
menyebabkan

menurunnya

aktivitas

hormonal

dalam merangsang

alat-alat

reproduksi unggas dan mengakibatkan penurunan kualitas putih dan kuning telur
(North, 1972).
Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa warna kerabang telur puyuh
dipengaruhi oleh faktor genetik. Telur puyuh memiliki pola warna yaitu bercorak
coklat, hitam, dan biru yang membedakannya dengan telur unggas lain. Pigmen yang

mempengaruhi warna kerabang telur puyuh adalah ooporphyrin and biliverdin.
Pigmentasi kulit telur puyuh terjadi kurang lebih 3,5 jam di dalam uterus sebelum
oviposition.
Anatomi susunan telur dari luar ke dalam adalah kerabang telur, kerabang
tipis, putih telur, dan kuning telur. Persentase berat dan komposisi isi telur secara
umum tidak sama untuk segala jenis telur unggas. Komposisi dan proporsi telur ini
bervariasi tergantung dari beberapa faktor, antara lain genetik, umur puyuh, pakan,
temperatur lingkungan, dan cara pemeliharaan. Komposisi telur puyuh terdiri dari
kuning telur (30%-33%), putih telur (52%-60%), dan kerabang telur (7%-9% dari
berat telur utuh) (Yuwanta, 2010).
HU Telur
Nilai HU (Haugh Unit) digunakan untuk mengetahui kekentalan telur yang
ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat telur
(g). Nilai rataan HU telur puyuh adalah 87,1±2,39 (Tiwari dan Panda, 1978).
Menurut Parizadian et al. (2011) nilai HU telur puyuh adalah 92,88.
Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan untuk mengukur
nilai HU telur, yaitu (1) telur disimpan pada temperatur lebih dari 12 oC, (2) putih
telur tidak rusak saat telur dipecahkan, (3) pengukuran tinggi putih telur kental
dilakukan segera setelah telur dipecahkan, (4) pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat tripod micrometer, dan (5) untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali.
Bobot Telur
Rataan bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh (Santos et al.,
2011). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat mempengaruhi bobot
telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan
kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Telur puyuh memiliki bobot sekitar
10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) (Woodard et al.,1973) atau mendekati
11,91 g (Parizadian et al., 2011). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur
puyuh adalah antara 8-10 g. Berat kuning telur puyuh adalah 2,4-3,3 g, putih telur
4,16-6 g, dan kerabang telur 0,56-0,9 g/butir telur.

Bobot telur semakin meningkat secara gradual seiring pertambahan umur
puyuh. Bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang (Nagarajan et
al., 1991). Puyuh yang berumur 8-9 minggu pada lingkungan dengan temperatur
22,5-32 oC dengan pemberian pakan mengandung protein 22%, menghasilkan telur
dengan bobot 9,2 g. Puyuh berumur 20-21 minggu dan 31-32 minggu dengan
pemberian pakan mengandung protein 22% menghasilkan telur dengan bobot 10,1 g
dan 11,0 g (Eishu et al., 2005).
Warna Kuning Telur
Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah
menghasilkan telur dengan kualitas warna kuning telur yang lebih baik namun
pengaruhnya tidak langsung (Nagarajan et al., 1991). Warna kuning telur
dipengaruhi oleh pigmen karoten (Kang et al., 2003). Menurut Yuwanta (2010)
warna kuning telur ditentukan oleh kandungan β-karoten yang terdapat pada kuning
telur. Warna kuning telur unggas adalah kuning orange yang disebabkan adanya
karotenoid yang mengandung banyak zeaxantin, kriptoxantin, dan lutein (xantofil).
Setiap unggas memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengubah pigmen karoten
tersebut menjadi warna kuning telur (North dan Bell, 1992).
Unggas yang mengkonsumsi pigmen karotenoid lebih tinggi akan
menghasilkan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi. Kang et al. (2003)
melaporkan bahwa penambahan likopen sebagai sumber karoten memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peningkatan warna kuning telur. Faktor penyebab
warna kuning telur bervariasi, diantaranya bangsa unggas, genetik, kondisi kandang,
penyakit, cekaman, oksidasi santofil, dan angka produksi telur (North dan Bell,
1992).
Indeks Kuning Telur
Nilai atau kualitas kuning telur dapat diketahui dengan mengukur indeks
kuning telur yaitu perbandingan antara tinggi dengan diameter kuning telur.
Pengukuran indeks kuning telur relatif lebih sederhana dan mudah dibanding dengan
putih telur karena bentuk kuning telur lebih stabil dibanding putih telur (Yuwanta,
2010). Suprijatna et al. (2008) menyatakan nilai indeks kuning telur digunakan untuk
mengetahui kekentalan kuning telur.

Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah
menghasilkan telur dengan nilai indeks kuning telur yang lebih besar (Nagarajan et
al., 1991). Nilai indeks kuning telur juga dipengaruhi oleh suhu dan lama
penyimpanan telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa pada telur ayam, indeks
kuning telur pada saat oviposition adalah 0,45 kemudian menurun menjadi 0,30
apabila telur disimpan selama 25 hari pada suhu 25 oC. Penyimpanan telur pada suhu
0 oC selama 5,5 bulan mampu memberikan daya tahan indeks kuning telur sebesar
0,45. Menurut Suprijatna et al. (2008) nilai indeks kuning telur puyuh yang diberi
pakan dengan kandungan protein kasar sebesar 20,1% adalah 0,422. Puyuh yang
diberi pakan dengan kandungan protein kasar 18% menghasilkan telur dengan nilai
indeks kuning telur sebesar 0,406.
Bobot dan Tebal Kerabang Telur
Kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh umur puyuh dan pakan yang
diberikan (Stadelman dan Cotterill, 1977). Temperatur lingkungan memiliki peranan
penting terhadap kualitas kerabang telur puyuh. Temperatur lingkungan mulai
mempengaruhi kualitas kerabang telur jika temperatur lebih dari 30 oC. Kualitas
kerabang telur optimal jika temperatur lingkungan antara 16-21 oC. Peningkatan
temperatur lingkungan akan menurunkan soliditas kerabang telur puyuh (Yuwanta,
2010).
Bobot kerabang telur puyuh adalah 0,759±0,010 g (Woodard dan Wilson,
1972) atau sekitar 0,56-0,9 g (Yuwanta, 2010). Berat kerabang telur berkisar antara
7%-9% dari bobot telur. Bobot kerabang telur dipengaruhi oleh tebal kerabang dan
membran telur.
Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh jenis puyuh, umur, pakan yang
diberikan, konsumsi pakan, dan penggunaan cahaya penerangan (Yuwanta, 2010).
Menurut Suprijatna et al. (2008) puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan
protein kasar 20% menghasilkan telur dengan ketebalan kerabang telur yaitu 0,298
mm. Vilchez et al. (1992) menambahkan, tebal kerabang ditambah selaput telur
berkisar antara 0,176-0,184 mm. Menurut Yuwanta (2010) pengukuran tebal
kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah (ekuator), dan ujung
lancip telur kemudian dibuat rata-rata.

Kepadatan Kandang
Karakteristik produksi ternak ditentukan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Manajemen pemeliharaan, pakan, dan tipe perkandangan merupakan
faktor lingkungan yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan
dan produktivitas puyuh. Bentuk dan tipe kandang, pencahayaan, serta kepadatan
kandang merupakan faktor lingkungan yang penting pada produksi unggas (Esen et
al., 2006).
Kepadatan kandang merupakan luas kandang yang tersedia untuk setiap ekor
puyuh atau jumlah puyuh yang dapat dipelihara pada luasan lantai kandang tertentu
tanpa mengganggu aktivitas gerak dari unggas. Besarnya kepadatan kandang
dipengaruhi oleh ukuran tubuh unggas, sistem kandang, temperatur lingkungan, dan
ventilasi (Creswell dan Hardjosworo, 1979).
Kandang berukuran sedang dengan panjang 100 cm, lebar 45 cm, dan tinggi
27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa (Peraturan Menteri Pertanian,
2008). Luas lantai yang semakin besar cenderung mengakibatkan konsumsi ransum
lebih rendah dan konversi ransum yang lebih baik. Dalam kisaran suhu lingkungan
optimum, unggas dapat menggunakan pakan lebih efisien, karena puyuh tidak
mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tubuh puyuh. Luas lantai yang semakin sempit akan menurunkan
pertumbuhan puyuh dan dapat juga meningkatkan mortalitas. Mortalitas yang tinggi
pada kandang yang padat disebabkan oleh faktor stres dan persaingan di dalam
kandang (Wilson et al.,1978).
Stres panas pada puyuh akan menurunkan performa produksi. Menurut Bird
et al. (2003) suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan produksi telur. Produksi
telur puyuh yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi lebih rendah dibandingkan
dengan yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah. Hal ini berkaitan dengan
adanya perubahan-perubahan fisiologis dan biokimiawi dalam tubuh puyuh selama
stres panas akibat suhu lingkungan yang tinggi tersebut. Pada suhu lingkungan tinggi
diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan suhu tubuh, sehingga mengurangi
penyediaan energi untuk produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi konsumsi
pakan dan efisiensi penggunaan pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam
tubuh dan akhirnya menurunkan produksi telur. Pada puyuh petelur dapat

menyebabkan penurunan produksi telur, berat, dan ukuran telur serta kualitas
kerabang yang berupa tipisnya ketebalan kerabang.
Pada puyuh betina dewasa, makanan yang dikonsumsi digunakan untuk
kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi telur. Dengan terjadinya penurunan
konsumsi pakan, maka yang lebih dahulu dipenuhi adalah kebutuhan hidup pokok,
sehingga penurunan konsumsi pakan berakibat langsung terhadap penurunan
produksi telur (Bird et al., 2003).

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.
Pemeliharaan puyuh dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis kualitas telur dilakukan
di Laboratorium Unggas, Fakultas Peternakan, IPB.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) betina umur sembilan minggu. Puyuh yang digunakan sebanyak 135 ekor.
Puyuh diperoleh dari peternakan puyuh Kayumanis Farm, Kayumanis, Bogor.
Kandang
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang battery koloni
sebanyak sembilan petak yang terdiri dari lima tingkat yang disekat. Setiap petak
mempunyai panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 26 cm. Masing-masing kandang
dilengkapi tempat pakan, tempat minum galon, dan tempat telur.

(a)

(b)

Gambar 2. Kandang yang Digunakan Selama Penelitian. (a) Tampak Depan (b)
Tampak Belakang

Pakan dan Vitamin
Pakan yang digunakan adalah pakan puyuh petelur Global PY-3 Crumble
yang diproduksi oleh PT. Universal Agri Bisnisindo. Pakan yang diberikan memiliki
komposisi nutrisi protein kasar sebesar (20%-22%), kadar air (12%), lemak kasar
(7%), serat kasar (7%), abu (14%), Ca (2,5%-3,5%), P (0,6%-1%). Vitamin yang
digunakan adalah Vita Stress dan Egg Stimulant yang diproduksi oleh PT. Medion.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini pada periode pemeliharaan
adalah tempat pakan, tempat air minum galon, lampu 45 Watt, ember, kawat,
timbangan digital, thermometer, dan egg tray. Peralatan yang digunakan pada
analisis kualitas telur adalah tripod micrometer, meja kaca, mikrometer, alat tulis,
timbangan digital, penggaris, cawan, yolk colour fan, jangka sorong digital,
komputer (laptop), dan peralatan lain yang menunjang kegiatan penelitian.
Prosedur
Persiapan Kandang
Sebelum digunakan kandang dibersihkan dari kotoran, dicuci menggunakan
detergen, disiram dengan wipol, dan disinfeksi dengan air kapur. Kandang dilengkapi
dengan tempat penampungan feses, tempat pakan, air minum, dan tempat telur.
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pemberian pakan ditetapkan sebanyak 20 g/ekor/hari. Pemberian pakan
dilakukan satu kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Air minum
disediakan ad libitum.
Pemeliharaan
Pemeliharaan puyuh dilakukan selama enam minggu. Pengukuran peubah
dimulai pada minggu pertama pemeliharaan saat produksi telur puyuh mencapai 5%.
Penimbangan sisa pakan (g) dilakukan setiap hari. Penimbangan bobot badan puyuh
(g) dilakukan di awal pemeliharaan.

Pengambilan Telur
Pengambilan telur dilakukan saat produksi telur puyuh mencapai 5%.
Pengambilan telur dilakukan setiap pagi hari selama enam minggu.
Penimbangan Bobot Telur
Bobot telur (g) diperoleh dengan menimbang telur puyuh yang dihasilkan
dari masing-masing ulangan. Penimbangan bobot telur (g) dilakukan setiap hari
selama enam minggu. Sebanyak 10% produksi telur per minggu dari setiap ulangan
digunakan untuk analisis kualitas telur.
Penimbangan Bobot Kerabang Telur
Bobot kerabang telur (g) diperoleh dengan menimbang kerabang dengan
membran telur setelah kerabang telur dipisahkan dari isi telur. Penimbangan bobot
kerabang telur (g) dilakukan setiap hari selama enam minggu. Persentase bobot
kerabang telur diperoleh menggunakan rumus :
% bobot kerabang telur = (bobot kerabang telur/bobot telur) x 100%.
Tebal Kerabang Telur
Tebal kerabang telur didapatkan dengan mengukur tebal kerabang dengan
membran telur (mm). Pengukuran tebal kerabang dilakukan setelah bobot kerabang
ditimbang. Pengukuran tebal kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul,
tengah (ekuator), dan ujung lancip telur kemudian dibuat rata-rata.
Warna Kuning Telur
Skor warna kuning telur diperoleh dengan cara membandingkan warna
kuning telur dengan Roche Yolk Colour Fan pada skala 1-15. Pengambilan data
dilakukan setiap hari selama enam minggu.
Penimbangan Bobot Kuning Telur
Bobot kuning telur (g) diperoleh dengan cara menimbang kuning telur yang
telah dipisahkan dari albumen telur. Persentase bobot kuning telur diperoleh
menggunakan rumus :
% bobot kuning telur = (bobot kuning telur/bobot telur) x 100%

Bobot Putih Telur
Bobot putih telur (g) diperoleh dari selisih antara bobot telur (g) dikurangi
dengan penjumlahan bobot kuning telur (g), bobot kerabang telur (g), serta selaput
dalam telur (g). Persentase bobot putih telur diperoleh menggunakan rumus :
% bobot putih telur = (bobot putih telur/bobot telur) x 100%.
Nilai Haugh Unit
Nilai Haugh Unit (HU) digunakan untuk mengetahui kekentalan telur
berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat telur (g). Tinggi
albumen (mm) diukur menggunakan tripod micrometer, selanjutnya dihitung
menggunakan rumus (Austic dan Nesheim, 1990) :
HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7W0,37)
Keterangan :
HU = Haugh Unit
W

= bobot telur utuh (g)

H

= tinggi putih telur kental (mm)

Nilai Indeks Kuning Telur
Nilai indeks kuning telur (yolk index) digunakan untuk mengetahui
kekentalan kuning telur dengan cara mengukur tinggi kuning telur (mm) dengan
jangka sorong dan mengukur diameter kuning telur (mm) menggunakan mikrometer,
selanjutnya dihitung menggunakan rumus (Wotton, 1978) :
Yolk index = h / [0,5 (D1 + D2)]
Keterangan :
h

= tinggi kuning telur (mm)

D1 = diameter kuning telur terpanjang (mm)
D2 = diameter kuning telur terpendek (mm)
Rancangan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
perlakuan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Perlakuan pada penelitian ini
terdiri atas P1 (kepadatan kandang 12 ekor), P2 (kepadatan kandang 15 ekor), dan P3

(kepadatan kandang 18 ekor). Setiap taraf perlakuan diulang sebanyak tiga kali
dengan model matematika sebagai berikut :
Yij = μ + Pi + εij
Yij

= nilai pengamatan pada kepadatan kandang ke-i (i = 12, 15, dan 18 ekor) dan
uuulangan ke-j (j = 1, 2, dan 3)

µ

= rataan umum

Pi

= pengaruh perlakuan tingkat kepadatan kandang ke-i

εij

= pengaruh galat percobaan tingkat kepadatan kandang ke-i pada ulangan ke-j
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis ragam (ANOVA) kecuali

data konversi pakan dan hen day production disajikan secara deskriptif. Data
persentase ditransformasi arcsin sebelum dianalisis ragam.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah performa produksi dan
kualitas telur puyuh. Performa produksi puyuh yang diamati meliputi konsumsi
pakan, konversi pakan, bobot telur, hen day production, dan mortalitas. Kualitas telur
puyuh yang diamati meliputi bobot telur utuh, warna kuning telur, bobot kuning
telur, persentase bobot kuning telur, bobot putih telur, persentase bobot putih telur,
bobot kerabang telur, persentase bobot kerabang telur, tebal kerabang telur, HU,
indeks kuning telur.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian
Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari
sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 26 cm. Bagian
dinding kandang terbuat dari kawat yang bertujuan untuk memperlancar sirkulasi
udara di dalam kandang. Bahan lantai terbuat dari kawat yang bertujuan untuk
memudahkan kotoran terjatuh ke dalam tempat penampungan feses. Kandang yang
digunakan memiliki kolong berlantai seng yang bermanfaat sebagai penampung
kotoran. Kandang dibersihkan setiap hari dengan tujuan menjaga kenyamanan dan
kesehatan puyuh.
Kandang battery koloni yang digunakan diletakkan di dalam sebuah kandang
besar yang bertujuan untuk melindungi puyuh dari predator dan mencegah masuknya
air hujan ke dalam kandang pemeliharaan puyuh. Kandang puyuh yang digunakan
memiliki beberapa kekurangan diantaranya lubang tempat saluran telur dan lubang
untuk akses tempat air minum yang memiliki ukuran terlalu besar. Kondisi ini
menyebabkan puyuh yang berusaha keluar dari kandang terjepit dan mengalami
kecelakaan. Kandang puyuh yang digunakan saat penelitian ditunjukkan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Pengacakan dilakukan untuk penempatan puyuh di dalam kandang. Kandang
yang digunakan terdiri dari 9 petak bersekat yang diisi puyuh sesuai perlakuan yaitu
kepadatan 12, 15, dan 18 ekor. Sembilan petak kandang yang berada pada satu
kandang battery koloni yang sama mengakibatkan adanya pengaruh panas antar
petak pada kepadatan yang berbeda (P1, P2, dan P3). Hal ini memungkinkan adanya
perpindahan panas dari kandang dengan kepadatan tinggi ke kandang dengan
kepadatan yang lebih rendah. Pengukuran temperatur hanya dilakukan pada kandang
battery koloni, sedangkan pada petak kandang tidak dilakukan pengukuran
temperatur karena keterbatasan persediaan termometer dan juga dapat mengganggu
kenyamanan puyuh.
Pengukuran suhu kandang dilakukan menggunakan dua termometer yang
diletakkan pada bagian depan dan belakang kandang battery koloni. Pengukuran
suhu di luar kandang battery koloni menunjukkan bahwa suhu kandang dalam
penelitian ini berkisar antara 25-30 oC. Temperatur tersebut tidak sesuai dengan
kebutuhan puyuh. Temperatur yang optimal untuk puyuh dewasa adalah 24 oC
(Woodard et al., 1973). Temperatur yang tinggi mengakibatkan terjadinya cekaman
panas pada puyuh sehingga terjadi stress dan menghasilkan konversi pakan yang
tinggi. Adanya stress pada puyuh berdampak pada penurunan produksi telur.
Performa Produksi Puyuh
Performa produksi puyuh meliputi konsumsi pakan, konversi pakan, bobot
telur, hen day production, dan mortalitas puyuh. Data performa produksi pada
kepadatan kandang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Performa Produksi Puyuh pada Kepadatan Kandang Berbeda
Peubah

Kepadatan Kandang (ekor/kandang)
12
15
18

Konsumsi Pakan (g)

19,26±0,20

19,25±0,54

19,41±0,34

Konversi Pakan (g/butir)

32,44±2,96

37,66±2,52

36,81±2,67

Bobot Telur (g)

9,60±0,12

9,52±0,10

9,43±0,15

59,29±19,02

54,16±17,41

51,98±17,67

1

2

1

Hen Day Production (%)
Mortalitas (ekor)

Konsumsi Pakan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18
ekor tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan puyuh. Hal ini dapat disebabkan
setiap ekor puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda masih memiliki akses
pakan yang sama pada tempat pakan yang disediakan. Kontruksi tempat pakan pada
setiap kandang masih memungkinkan setiap ekor puyuh dapat makan dalam waktu
yang bersamaan. Kondisi tersebut menyebabkan persaingan dalam mendapatkan
pakan sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi tingkat konsumsi pakan puyuh.
Ahuja et al. (1992) menyatakan konsumsi pakan puyuh tidak dipengaruhi
oleh kepadatan kandang yang berbeda. Tingkat konsumsi pakan menurut North dan
Bell (1992) dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jenis pakan, kualitas
pakan, kandungan nutrisi pakan, berat badan puyuh, ukuran tubuh, tahapan produksi,
dan suhu lingkungan. Namun pada penelitian ini puyuh yang digunakan memiliki
umur, ukuran tubuh, dan berat tubuh yang seragam, menyebabkan tingkat konsumsi
pakan tidak berbeda. Selain itu jenis, kualitas, dan kandungan nutrisi pakan yang
diberikan pada puyuh untuk semua perlakuan dalam penelitian adalah sama sehingga
tidak terdapat perbedaan tingkat konsumsi pakan puyuh pada kepadatan kandang
yang berbeda.
Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan puyuh petelur Global
PY-3 Crumble yang diproduksi oleh PT. Universal Agri Bisnisindo. Pakan yang
diberikan memiliki komposisi nutrisi protein kasar sebesar (20%-22%), kadar air
(12%), lemak kasar (7%), serat kasar (7%), abu (14%), Ca (2,5%-3,5%), P (0,6%1%). Pemberian pakan puyuh pada penelitian ini dibatasi yaitu sebanyak 20
g/ekor/hari. Pembatasan pakan yang disediakan mengakibatkan konsumsi pakan
puyuh yang dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang berbeda adalah
sama. Konsumsi pakan puyuh dewasa kelamin menurut Santos et al. (2011) adalah
25,09-29,61 g/ekor/hari. Tiwari dan Panda (1978) mengemukakan konsumsi pakan
puyuh berumur 31-51 hari yaitu 17,5 g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur
51-100 hari menjadi 22,1 g/ekor/hari, dan tidak meningkat lagi setelah berumur 100
hari.
Pakan Global PY-3 Crumble dipilih sebagai bahan pakan untuk puyuh dalam
penelitian karena kandungan nutrisinya yang lengkap dan mampu memenuhi

kebutuhan nutrisi puyuh petelur. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Woodard et al. (1973) bahwa kebutuhan nutrisi puyuh petelur dewasa adalah protein
20%-25%, ME 2200-3400 kcal/kg, Ca 2,5%-3%, phosfor 0,8%, potassium 0,11%.
Level protein yang direkomendasikan untuk puyuh petelur adalah 20%. Pemberian
pakan dengan kandungan protein 20% menghasilkan produksi telur, fertilitas, dan
daya tetas telur puyuh yang optimal. Suprijatna et al. (2008) menambahkan, puyuh
yang memperoleh ransum dengan kandungan protein 20% mampu menunjukkan
persentase produksi telur dan massa telur yang lebih tinggi dengan konversi ransum
yang lebih rendah dibandingkan puyuh yang memperoleh ransum protein 18%.
Puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein 24% selama periode
pertumbuhan dan diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode
bertelur maka produksi telur terbaik adalah 80,2% (Nugroho dan Mayun, 1986
Konsumsi protein yang rendah mengakibatkan laju produksi telur puyuh yang rendah
(Suprijatna et al., 2008), penurunan produksi telur, berat telur,dan berat kerabang
telur (Yuwanta,2010).
Konversi Pakan
Puyuh pada kepadatan kandang 12 ekor menghasilkan konversi pakan yang
paling rendah. Kepadatan kandang yang lebih rendah mengakibatkan konversi
ransum yang lebih baik, sebaliknya kepadatan kandang yang tinggi mengakibatkan
konversi ransum yang tinggi. Hal ini disebabkan pada kepadatan 12 ekor suhu
lingkungan lebih nyaman dan tingkat stres puyuh rendah sedangkan pada kepadatan
18 ekor, suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan puyuh stres.
Kepadatan kandang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
konversi pakan. Pada kandang dengan kepadatan yang lebih rendah, suhu lingkungan
lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman dan tingkat stres rendah. Oleh karena
itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk produksi telur lebih besar sehingga
menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih rendah dengan nilai efisiensi
penggunaan ransum yang tinggi.
Pada kepadatan yang tinggi terjadi peningkatan suhu sehingga puyuh
mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi yaitu berada diatas
suhu nyaman puyuh akan menyebabkan stress. Puyuh yang stres membutuhkan
banyak energi untuk menanggulangi stres akibat cekaman panas sehingga semakin

banyak pakan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan basal dan untuk
menghasilkan telur. Akibatnya, nilai konversi pakan menjadi lebih besar dan
efisiensi penggunaan pakan rendah. Sedangkan pada kandang dengan kepadatan
yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman
dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk
produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih
rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Namun puyuh yang
dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil belum tentu
menghasilkan konversi pakan yang rendah. Kepadatan yang terlalu rendah
memungkinkan puyuh melakukan aktivitas gerak yang lebih besar sehingga energi
banyak digunakan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, energi yang yang tersedia
untuk produksi telur sedikit sehingga produksi telur puyuh menjadi rendah.
Penurunan produksi telur telur mengakibatkan nilai konversi pakan tinggi dan
efisiensi penggunaan pakan menjadi turun.
Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah
pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai
konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan
(Ensminger, 1992). Semakin tinggi nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan
pakan semakin rendah (Ensminger, 1992). Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh
pakan yang diberikan, penyakit, manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh
(Ensminger, 1992).
Bobot Telur
Bobot telur merupakan akumulasi dari bobot kuning telur, bobot putih telur,
dan bobot kerabang telur. Nilai rataan bobot telur puyuh penelitian sesuai dengan
yang dikemukakan Yuwanta (2010) bahwa berat telur puyuh adalah antara 8-10 g.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor
tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur puyuh. Bobot telur yang sama pada
penelitian ini disebabkan rataan produksi telur puyuh yang tidak berbeda. Menurut
Santos et al. (2011), rataan bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh jumlah puyuh
per kandang. Nagarajan et al. (1991) menambahkan, perbedaan tingkat kepadatan
kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot telur puyuh. Rataan
bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh dan konsumsi pakan puyuh.

Konsumsi pakan dan jenis puyuh pada setiap kepadatan kandang dalam penelitian ini
adalah sama, menyebabkan bobot telur yang dihasilkan tidak berbeda.
Bobot telur dipengaruhi oleh unggas (genetik,umur saat dewasa kelamin, dan
umur saat peneluran), pakan (kandungan protein, mineral, dan efisiensi terhadap
pakan), dan lingkungan (cara pemeliharaan, cahaya, dan temperatur lingkungan).
Umur dewasa kelamin merupakan faktor utama yang mengatur bobot telur puyuh.
Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini memiliki umur yang seragam sehingga
telur yang dihasilkan memiliki bobot yang relatif seragam dan tidak berbeda. Bobot
telur meningkat sesuai dengan peningkatan umur puyuh. Meskipun terjadi kenaikan
bobot telur akibat dari meningkatnya umur puyuh namun kenaikan tersebut
disebabkan oleh meningkatnya bobot putih telur sementara bobot kuning telur relatif
stabil (Yuwanta, 2010).
Hen Day Production
Produksi telur (hen day production) puyuh paling tinggi pada kandang
dengan kepadatan 12 ekor yaitu sebesar 50,99%. Produksi telur puyuh dapat
dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu kepadatan kandang, akumulasi panas dalam
kandang, tingkat stres, dan pengaruh pakan. Puyuh yang dipelihara pada kandang
dengan tingkat kepadatan yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami stres
dibandingkan dengan puyuh pada kepadatan yang lebih rendah.
Puyuh pada kepadatan 18 ekor lebih mudah mengalami stres karena
akumulasi panas dalam kandang menyebabkan peningkatan suhu. Ketika suhu
lingkungan lebih tinggi dari suhu optimal yang dibutuhkan puyuh maka akan
menyebabkan terjadinya stres sehingga produksi telur menjadi turun. Hal ini
menyebabkan puyuh pada kepadatan 12 ekor menghasilkan jumlah telur yang lebih
banyak dari puyuh pada kepadatan 15 dan 18 ekor. Santos et al. (2011)
mengemukakan bahwa produksi telur puyuh paling tinggi pada kepadatan kandang
yang paling rendah.
Kepadatan kandang yang terlalu kecil belum tentu menghasilkan produksi
telur yang maksimal. Kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil
memungkinkan puyuh untuk melakukan aktivitas gerak yang lebih banyak
dibandingkan puyuh pada kepadatan kandang yang lebih besar. Aktivitas gerak yang
dilakukan oleh puyuh membutuhkan energi yang banyak. Nutrisi yang diperoleh dari

pakan akan digunakan untuk aktivitas sehingga yang tersedia untuk produksi telur
sedikit. Kondisi ini menyebabkan produksi telur puyuh menjadi rendah.
Produksi telur dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan seperti manajemen
pemeliharaan dan nutrisi (Akram et al., 2000). Rata-rata produksi telur pada
penelitian ini adalah 55,14%. Produksi telur pada penelitian lebih rendah
dibandingkan produksi telur puyuh yang dikemukakan Nugroho dan Mayun (1986)
bahwa puyuh yang diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode
bertelur dapat menghasilkan telur sebanyak 80,2%. Rataan produksi telur puyuh
setiap minggu selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi telur
semua taraf perlakuan mengalami penurunan dari awal sampai akhir pemeliharaan.
Produksi telur saat puyuh berumur sembilan minggu yaitu pada minggu pertama
pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan produksi telur pada minggu pemeliharaan
selanjutnya. Hal ini diduga karena temperatur lingkungan yang tinggi. Temperatur
kandang dalam penelitian ini berkisar antara 25-30 oC dan suhu di dalam kandang
battery koloni lebih tinggi. Temperatur tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan
puyuh. Temperatur yang optimal untuk puyuh dewasa adalah 24 oC (Woodard et al.,
1973). Produksi telur puyuh yang maksimal dapat dicapai apabila puyuh dipelihara
pada kondisi thermoneutral zone yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Dalam kisaran
suhu lingkungan yang optimal, puyuh dapat menggunakan pakan lebih efisien,
karena puyuh tidak mengeluarkan energi yang besar untuk mengatasi temperatur
lingkungan yang tidak normal. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi,
puyuh berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan cara menyeimbangkan produksi
panas dengan hilangnya panas.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu tubuh puyuh.
Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari
aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya
laju metabolisme basal disebabkan bertambahnya penggunaan energi akibat
bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung, dan bertambahnya sirkulasi darah
periferi (Fuller dan Rendon, 1977). Pada suhu tinggi diperlukan energi yang lebih
banyak untuk pengaturan suhu tubuh dan mencegah stres, sehingga mengurangi
penyediaan energi untuk produksi telur. Hal ini menyebabkan produksi telur puyuh
rendah. Selain itu, temperatur lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan

menurunnya aktivitas hormonal dalam merangsang alat-alat reproduksi unggas
sehingga produksi telur menjadi turun (North, 1972).
80

Produksi Telur (%)

70
60
50
40

P1

30

P2
P3

20
10
0
1

2

3

4

5

6

Lama Pemeliharaan (minggu)
Gambar 4. Rataan Produksi Telur Selama Penelitian
Mortalitas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18
ekor tidak berpengaruh terhadap mortalitas puyuh. Mortalitas puyuh paling tinggi
terjadi pada kandang dengan kepadatan 15 ekor. Seker et al. (2009) menyatakan
mortalitas puyuh lebih tinggi pada kepadatan kandang yang lebih besar walaupun
perbedaannya tidak nyata. Mortalitas puyuh dipengaruhi oleh cara pemeliharaan,
pakan yang dikonsumsi, cara pemberian makanan, sanitasi, temperatur, kelembaban,
dan bibit puyuh (Rasyaf, 1993). Mortalitas puyuh dalam penelitian ini tidak
disebabkan oleh tingkat kepadatan kandang yang berbeda melainkan disebabkan
manajemen kandang yang kurang baik. Kontruksi kandang yang kurang baik yaitu
lubang tempat saluran telur yang memiliki ukuran terlalu besar.
Puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang memiliki sifat sangat agresif.
Hal ini terlihat dari tingkah lakunya di dalam kandang. Puyuh pada setiap kandang
berusaha untuk keluar dari kandang. Kontruksi kandang yang kurang baik seperti
lubang tempat saluran telur dan lubang untuk akses tempat air minum yang memiliki
ukuran terlalu besar dapat menyebabkan puyuh yang berusaha k