hubungan yang lebih erat yang semakin memperkokoh hubungan kekerabatan di antara raja-raja Simalungun.
2.3 Sistem Kepercayaan dan Agama
Masyarakat Batak Simalungun pada umumnya telah dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti agam Kristen Protestan, Katholik, Islam dan yang masuk ke
daerah Batak sejak permulaan abad XIX Purba 1996:40.
Sebelum masuknya Misionaris Agama Kristen dari RMG pada tahun 1903, penduduk Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama
Islam sedangkan Simalungun Barat menganut animisme. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan
peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti Hindu dan Sang Budha yang
menunggangi Gajah Budha.
Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari Datu dukun disertai
persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa, yaitu Dewa di atas dilambangkan dengan warna Putih, Dewa di tengah
dilambangkan dengan warna Merah, dan Dewa di bawah dilambangkan dengan warna Hitam. 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut Putih, Merah dan
Hitam mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya
Universitas Sumatera Utara
Pemahaman akan dewa-dewa ini tercermin dalam keyakinan orang Simalungun yang harus hormat kepada makhluk dan benda-benda tertentu, baik yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pada zamannya orang Simalungun banyak yang menyembah batu besar, pohon besar, sungai besar dan lain-lain.
Sistem pemerintahan di Simalungun dipimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan Injil masuk Tuan Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun
menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.
2.4 Sistem Mata Pencaharian
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan
tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka
membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh gamut yang merupakan wakil raja daerah. Biasanya, di antara perladangannya didirkan bangunan
rumah tempat tinggal sopou juma sebagai tempat mereka sementara dan melindungi mereka dari serangan binatang buas. Selain itu juga, ada yang mengolah persawahan
sabah seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan cara-cara tradisional. Untuk memnuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian
hiou yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Disni biasanya
pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Guru Jason Saragih, orang Simalungun di hilir jahe-jahei juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat
pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke
hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan,pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu opium. Hal ini
dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun. Tole 2003:19-20
2.5 Kesenian Simalungun