BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kejahatan yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan
1
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap kejahatan dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Pada dasarnya, kejahatan menurut Menurut Badan Pusat Statistik
BPS pada tahun 2011 sampai tahun 2013 Berdasarkan data yang di peroleh dari Pusata Data Statistika tingkat
kejahtan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2011, tindak pidana tindak kriminal yang terjadi di Indonesia sebanyak 347.605 kasus. Kemudian pada
tahun 2012, turun sekitar 1,85 persen, tetapi terlihat naik pada tahun 2013 kemarin sebesar 0,27 persen. Sejauh ini, memang kenaikan dan penurunan tindak pidana
cenderung kecil, tetapi rata-rata jumlah tindak pidana di Indonesia masih sangat tinggi.
2
Situasi tersebut jika dideteksi dengan kondisi kemiskinan Indonesia masih belum tampak. Data menyebutkan, jumlah penduduk yang tergolong miskin di
Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 30 juta penduduk. Dan terus menurun menjadi 29,1 juta penduduk pada tahun 2012 dan kembali turun menjadi 28,07
juta penduduk pada tahun 2013 kemarin. Sejauh ini, fenomena adanya korelasi yang masuk akal mengenai hubungan tindak pidana dan kemiskinan di Indonesia
masih belum tampak dan dapat disimpulkan. Sebab, antara data kemiskinan dan
1
Sudarto, Hukum Dan Hukuman Pidana,1997
2
Pusat data statistik tentang kejahatan di Indonesia
data jumlah tindak pidana memang dari segi metodologi dan sumber datanya juga berbeda.
Berkaca dari hal tersebut, maka dalam penegakan hukum pun, kesadaran hukum masyarakat dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat sangatlah penting.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja, bahwa hukum yang di buat harus sesuai atau memperhatikan kesadaraan hukum masyarakat.
Penyimpangan dari hal tersebut menimbulkan kodisi penegakan hukum law enforcement menjadi stangna keberadaan cara penyelesaian sengketa sama
tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi
disediakan oleh negara.
3
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan
dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan
menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari
ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus
diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara serta
3
Enam suparma, 2004,pilhan forum arbitase dalan sengketakomersial untuk penegakan keadilan,jakarta, tata nusa ,h.18
memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum. Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum forum lain diluar pengadilan.
Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang
timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade
masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan
memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah
terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai
formalistic, teknis dan biaya mahal. Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak
untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif tidak mampu menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang keberadaannya diakomodir
oleh Negara melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang lain mengacu pada pranata
adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya pluralisme hukum
yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara hukum negara, tapi juga hukum yang
berasal dari adat kebiasaan masyarakat hukum adat serta hukum yang berasal dari ajaran-ajaran agama hukum agama.
Dalam hal ini di samping samping peradilan sebagai lembaga formal penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa
nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang
manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan
yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib.
Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa yang terjadi diantara para individu warga masyarakat.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terganggunya system keseimbangan hubungan dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama
sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan
peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat kepala adat dan ulama. Kewenangan dari hakim
peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke
dalam pengertian pidana, perdata, publik,
4
dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi
perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.
5
Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip
dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian
sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan
konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.
Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan,
Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat
biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi menyelesaikan masalah dalam lingkungan adat.
Hilman Hadikusuma, , pengantar ilmu hukum adat indonesia, Bandung ,Mandar maju,1992 h 40
5
Moh. Koesno 1974,catatan terhadap hukum Adat dewasa ini , surabaya, Erlangga university press,1947, h 44
B. Rumusan Masalah