Sastra Gending

3.4 Sastra Gending

Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggu- nakan gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan menguta- makan masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesu- sasteraan yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering ter- dengar istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak, senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, ceng- kok, merong, dan pedhotan.

3.4.1 Syair (Cakepan).

Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemu- dian tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi ja- ngan salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tem- bangnya, melainkan kata-katanya.

Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memu- at parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya.

Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernya- nyi dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dime- ngerti dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (sua- ra senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas.

3.4.2 Bawa / Buka

Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gen- ding yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gen- ding juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya meng- gunakan instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga de- ngan Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan meng- gunakan Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Ba- wa dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tum- pang tindih suasananya.

3.4.3 Jineman

Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan seca- ra bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah pa- nembrama.

Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dila- gukan oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus (Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Ke- nong, contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan sebagainya.

3.4.4 Umpak

Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi, khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau salah satu alat gamelan.

Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata (cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua ba- ris yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora ju- jur. Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran.

Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa pur- wakanthi. Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Ja- wa disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kem- bang disebut purwakanthi aksara.

3.4.5 Senggakan

Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa

dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagu- kan dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wa- don seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain.

Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan seng- gakan yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho.., ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin sema- rak dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terung- kap dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gem- bira, suka cita dan menyegarkan jiwa.

3.4.6 Gerong

Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang di- ambil dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu, misalnya:

Kinanthi Nalikanira inga dalu Wong agung mangsah semedi Sirep kang bala wanara Sadaya wus samiguling Nadyan ari sudarsana Wus dangu nggenira guling

Pucung Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan khas Tegese khas nyantosani Setya budya pangekese durangkara

Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, mi- salnya:

Juru Demung Cirine serat iberan Kebo bang sungunya tanggung Saben kepi mirahingsun Katon pupur lelamatan Kunir pita kusut kayu Wulu cumbu madukara Paran margining ketemu

Balabak Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur Dedege Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok Jenggote.

Girisa Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginar- beging upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya. Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan

bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditem- bangkan itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Se- bagian besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa bagi semua umat manusia.

3.4.7 Sindhenan.

Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan ber- asal dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu te- gur, disendhu artinya ditegur.

Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetem- bangan. Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimat- kalimat bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun pur- wakanthi.

Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan: sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak), wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa), kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sa- rira (kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngreka- puspa (nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar) Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa (pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang, golek krawuh mrih kaonang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesin- dhen dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bi- sa disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia.

3.4.8 Irama

Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk menga- tur jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Ira- ma lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama da- di, juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah, Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng An- dhengan. Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi.

3.4.9 Cengkok

Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa cengkok itu kedalam tabuhan.

3.4.10 Merong

Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,con- toh Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh Pesindhen.

3.4.11 Pedhotan

Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih se- ring di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) di- sebut Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut Andhegan.

Selanjutnya perlu diketahui dari sub poin 3.1 cakepan sam- pai dengan sub poin 3.14 Pedhotan yang merupakan unsur-unsur Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panem- bahan Senapati Mataram tembang Sinom, contoh:

Marma sagung trah Mataram, kinen wignya tembang kawi,

jer wajib ugring ngagesang, ngawruhi titining ngelmi, kang tumraping praja ‘di, yembang kawi asalipun, tan lyan titining sastra, paugeraning dumadi, nora nan kang liya tuduhing sastra.