Rebut Negara

5.3.3 Rebut Negara

Seperti lakon wayang pada umumnya bahwa lakon rebut negara tentu disajikan berupa peperangan yang sengit. Dalam kitab Mahabharata peperangan itu disebut “Mahabharatayuda” yaitu pe- perangan besar antara keluarga Bharata.

Namun ada perang rebut negara yang lingkupnya masih kecil, belum bisa disebut sebagai perang agung atau maha yuda atau perang jaya. Dalam peperangan itu masih dalam tingkat rebut- an batas (rebut wates atau rebut kikis). Perang ini tidak atau bukan tergolong Bharatayuda, sebab memang belum ada yang mati. Pe- rang rebut batas itu masih terbatas antara keluarga satu dengan ke- luarga yang lain. Cerita masih tergolong kitab Asthadasaparwa, teta- pi belum mempengaruhi negara lain atau rumah tangga lain. Perang itu disebut rebut kikis.

Yang sudah jelas diketahui oleh umum orang Jawa khusus- nya, lakon rebut negara yang dinamakan Bharatayuda karang Empu Sedah dan Empu Panuluh yang menceritakan perangnya wangsa besar Bharata. Kedua Empu ini menyadur dari Mahabharata karang- an Maharsi Wiyasa (Viyasa, Abhiyasa).

Isi pokok lakon Bharatayuda baik yang masih berupa sum- ber Mahabharata maupun yang berupa saduran adalah pertikaian dua kubu Pandawa dan Kurawa yang berebut negara Hastina pe- ninggalan leluhurnya. Perebutan negara ini menjadikan salah satu kubu yang bertikai yaitu pada kubu Kurawa habis dan mati.

Bagi kehidupan masyarakat Jawa yang agraris lakon Bha- ratayuda itu nampaknya dianggap kurang pas atau tidak pas atau bahkan tidak cocok dan tidak boleh disaksikan masyarakat. Maka setiap ada pertunjukan wayang tidak boleh melakonkan Bharatayu-

da. Larangan ini meskipun tidak termasuk undang-undang negara te- tapi ikut di taati dan ditakuti. Namun pada hari-hari tertentu lakon Bharatayuda dibeber- kan dan di hati masyarakat tidak ada ganjalan apa-apa. Tetapi bila pembeberan itu disajikan pada hari-hari biasa dalam hati masyarakat pas ada sesuatu ganjalan yang menghantui.

Ganjalan itu seperti rasa ketakutan, kekhawatiran bahwa la- kon itu berakibat jelek bagi kehidupan masyarakat. Mereka takut akan hukum alam. Kekhawatirannya jangan-jangan menempuh diri sendiri. Alasan mengapa masyarakat pada umumnya takut untuk membeberkan cerita Bharatayuda? Karena dalam kehidupan masya- rakat agraris mengutamakan akan ajaran-ajaran rohani, gotong ro- yong yang tentunya akan menolak kekerasan, menolak perpecahan, dan menyukai kerukunan, dalam filsafat Jawa dikatakan rukun men- jadi sentosa (Rukun Agawe Santosa).

Sedangkan isi dari lakon Bharatayuda adalah menggam- barkan peperangan sengit dan sadis, siksa menyiksa, yang kese-

kat agraris. Dengan himbauan-himbauan agar tidak terjadi kerusak- an di segala bidang, maka petunjuk-petunjuk untuk tidak melakonkan Bharatayuda sangat disetujui dan dipatuhi.

Sampai sekarang ini lakon Bharatayuda hanya dibeberkan pada pentas yang ditanggap oleh masyarakat kolektif. Apabila lakon Bharatayuda ini disajikan dalam waktu semalam suntuk, maka dari sekian bagian Bharatayuddha secara utuh harus rampung. Bila lakon ini disajikan setiap seri maka berawal dari Kresna Duta hingga Dur- yudana Gugur. Cerita ini harus disajikan setiap malam selama ku- rang lebih 10 hari, yang diantaranya adalah Kresna Duta, Seta Gu- gur, Bisma Gugur, Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Karna Tan- ding, Salya Gugur, Drona Gugur, Dursasana Gugur, Sengkuni Gu- gur, Duryudana Gugur dan ada istilah Ranjapan serta Jambakan. Yang dimaksud lakon Ranjaban yaitu Abimanyu gugur, sedangkan Jambakan yaitu Dursasana gugur.

Cerita peperangan yang lainnya masih ada, namun tidak populer, misalnya perang Gojali Suta. Cerita Bharatayuda Gozali Su- ta yaitu perangnya si anak melawan sang bapak, contoh Boma mela- wan Kresna dan yang lainnya juga tidak pernah populer.

Adapula lakon perang-perangan yang melibatkan dua ne- gara yang terjadi pada jaman Ramayana (Jawatimuran Antarayana) disebut Brubuh. Tetapi pertempuran tersebut tidak sebesar Bharata- yuda. Perang tersebut juga tidak melibatkan negara lain, maka kepo- puleran lakon itu tidak menjadikan akibat buruk bagi masyarakat Ja- wa, bahkan lakon Brubuh tidak masuk dalam hati orang Jawa.

Jadi dengan kata lain bahwa lakon Ramayana kurang dimi- nati dalam hati kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Brubuh itupun kurang di dengar oleh telinga masyarakat Jawa. Ada dua kitab yang sangat diminati oleh masyarakat Jawa yaitu Mahabharata dan Bha- ratayudalah, sehingga sampai hal-hal yang terkecil sangat dikenal, diperhatikan dan dipahami. Segala yang diperhatikan dan dipahami itu sering ditingkatkan, kadangkala menjadi panutan dalam kehidup- an, contoh tentang tokoh Pandawa lima yang menjadi patokan dalam bersikap serta bicara dalam pergaulan.