Tingkat Ketunakismaan
1. Tingkat Ketunakismaan
Dari segi pemilikan, jumlah rumahtangga tanpa tanah sa- wah milik di desa-desa penelitian cukup besar, terutama di
16 Lihat, Hotman Siahaan, Pemilikan dan Penguasaan Tanah. Adopsi Teknologi Pertanian Modern dan Disparitas Pendapatan di Daerah
Pedesaan. (Lembaga Studi Kawasan dan Pedesaan UGM, 1977).
17 Lihat, Hiroyoshi Kano, “Pemilikan Tanah dan Differensiasi Masya- rakat Desa: Kasus di Suatu Desa di Malang Selatan,” op. cit.
Ranah Studi Agraria Jawa. Lebih dari 50% rumahtangga di 8 dari 12 desa di Jawa
merupakan tunakisma. Bahkan di tiga desa di Sulawesi Selatan pun jumlahnya masih melebihi 20% (Tabel 5.2. dan juga Lampiran 5.2.).
Memang, pemilikan formal tidak selalu mencerminkan penguasaan nyata atas tanah. Karena, ada beberapa jalan un- tuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa, penya- kapan, dan bahkan gadai-menggadai, walaupun yang terakhir ini sebenarnya telah dilarang menurut UUPA 1960. Dengan demikian, sebagian rumahtangga yang tidak memiliki tanah tetap dapat memperoleh tanah garapan, dan sebaliknya ada sebagian pemilik yang tidak menggarap sama sekali. Mereka yang bukan pemilik dan tidak mempunyai tanah garapan, dalam laporan ini disebut sebagai tunakisma mutlak. Walaupun sebagian tunakisma dapat memperoleh tanah garapan, namun ternyata jumlah tunakisma mutlak itu masih cukup besar (lihat Tabel 5.2). Lebih dari 20% rumahtangga di 10 dari 12 desa di Jawa adalah tunakisma mutlak. Bahkan dalam 71 desa di antaranya jumlah tunakisma mutlak melebihi 40%.
Jika tingkat ketunakismaan itu diukur dengan indikator lain, yaitu rasio antara jumlah tunakisma mutlak dengan jum- lah yang mempunyai tanah garapan, maka ternyata di 5 desa di Jawa angkanya melebihi angka rata-rata propinsi, yaitu Mariuk, Rowosari, Kebanggan, Janti, dan Sukosari. Namun untuk Janti hal ini disebabkan oleh adanya sistem “glebagan” tanaman tebu yang unik (akan diterangkan dalam hlm. 129 dan 130), sehingga kesempatan untuk memperoleh tanah garapan bagi tunakisma mutlak memang sedikit.
Penguasaan Tanah dan Kelembagaan
Tabel 5.2. Tingkat Ketunakismaan di 12 Desa di Jawa (1979/1981) dan 3 Desa di Sulawesi Selatan (1982)
Ratio dari (4) thd. (3) Jumlah
Proporsi Proporsi
RT yang
RT yang
Desa Resp.
Tunakisma Propinsi *) (RT)
mutlak Kampung 1971
tanah
garapan
JAWA BARAT 108 1. Sentul
107 30 77 14 18 - 2. Mariuk
114 70 35 62 177 - 3. Jati
128 32 74 23 31 - 4. Sukaambit
148 23 77 16 20 - 5. Balida
140 59 50 48 96 - 6. Wargabinangun
138 73 50 42 84 - JAWA TENGAH
72 7. Kebanggan
143 58 40 50 125 - 8. Wanarata
138 28 40 26 41 - 9. Rowosari
106 64 31 56 180 - JAWA TIMUR
89 10. Geneng
131 60 47 39 82 - 11. Janti
132 56 39 52 133 - 12. Sukosari
114 50 50 49 198 - SULAWESI SELATAN
(tad) 13. Minasabaji
124 19 75 9 12 - 14. Salo
126 24 78 6 7 - 15. Cabbeng
Keterangan: *) Data untuk propinsi di Jawa diambil dari K. Horstmann dan Rutz, The
Population Distribution on Java 1971, IDE, Tokio, 1980. IDE Statistical-Data Series No. 29. (Lihat B. White & G. Wiradi, “Land Tenure in West Java. Policy Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective”, Sukabumi, 1981).
Catatan: (1)Untuk Wargabinangun dan Jati (Jawa Barat), penelitian dilakukan pada
tahun 1979, dan untuk desa-desa Jawa Barat lainnya tahun 1980; Jawa Tengah dan Timur, 1981; dan Sulawesi Selatan, 1982.
(2)Tunakisma mutlak = rumahtangga yang tidak memiliki tanah, dan tidak mempunyai tanah garapan. Jadi di sini tidak termasuk “pemilik yang tidak menggarap”.
(3)Dalam kolom (3) termasuk pemilik-penggarap murni dan pemilik- penggarap campuran.
Ranah Studi Agraria Jika data dalam penelitian ini kita bandingkan dengan data
penelitian IPS di desa-desa yang sama tahun 1970/71, ternyata selama 10 tahun terakhir ini jumlah tunakisma meningkat sekali (lihat Tabel 5.3), kecuali di desa-desa di Sulawesi Selatan. Jumlah tunakisma di sana justru menurun. Ada dua hal yang menjadi sebabnya. Pertama, di luar Jawa pelaksanaan land reform memang lebih belakangan (sampai dengan tahun 1974 masih terjadi redistribusi tanah), sehingga dalam masa 1970- 1974 telah terjadi sedikit proses “pemerataan”. Kedua, seba- gian tunakisma telah bertransmigrasi ke Malaysia (Sabah).
Tabel 5.3. Perubahan Jumlah Tunakisma 10 Tahun (1970/71 s/d 1980/
81) di 12 Desa di Jawa dan 3 Desa di Sulawesi Selatan.
Jumlah Jumlah rumahtangga Pertambahan Desa
yang tunakisma RT (1982)
JAWA BARAT 1. Sentul
23 - 5. Balida *)
59 - 6. Wargabinangun *)
73 - JAWA TENGAH 7. Kebanggaan
48 65 17 JAWA TIMUR 10. Geneng
41 50 9 SULAWESI SELATAN 13. Minasabaji
48 19 -29 14. Salo
66 24 -42 15. Cabbeng **)
Sumber: Data SAE, Survey IPS 1970/71 dan Penelitian SDP/SAE Masalah Pertanahan dan Hubungan Agraris, 1980/81.
Penguasaan Tanah dan Kelembagaan Keterangan:
*) Desa-desa ini bukan desa sampel IPS, sehingga untuk tahun 1970/71 tidak ada datanya.
**) Walaupun Cabbeng merupakan sampel IPS, tetapi untuk tahun 1970/71 tidak ada datanya.
Meningkatnya proporsi tunakisma ini jelas akan menim- bulkan masalah-masalah sosial jika penyediaan kesempatan kerja di luar bidang pertanian tidak digalakkan. Hal ini akan disinggung lebih lanjut di bagian belakang dalam membahas masalah pendapatan.
Dilihat dari segi sosial, pemilikan tanah bukan saja meru- pakan harta ekonomi, melainkan mencerminkan juga status sosial seseorang, terutama di desa-desa di Jawa. Bagaimana struktur pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan tanah telah diuraikan di bagian depan. Namun sayang data kuantitatif mengenai hal itu tidak dapat diperoleh di semua desa. Demikian pula data untuk masa sebelum perang tidak ada. Di sini hanya diberikan sekedar gambaran tentang hal itu di 8 desa, termasuk desa-desa yang diteliti oleh orang lain (Tabel 5.4).
Tabel 5.4. Distribusi Rumahtangga Menurut Strata Sosial Berdasarkan Pemilikan Tanah di 8 Desa di Jawa
Jumlah RT yang mempunyai tanah Desa
SPR
PR
R TA Jumlah RT
JAWA BARAT 1. Wargabinangun
1103 JAWA TENGAH 5. Rowosari
35 0 26 35 4 100 106 6. Kebanggaan
Ranah Studi Agraria JAWA TIMUR
7. Pagelaran **) 53 10 21 - - 100 70 8. Geneng
77 10 7 5 1 100 1820 Keterangan:
Desa-Desa SDP: Data Penelitian 1975-1978. **) Data Penelitian H. Kano tahun 1977. (Lihat catatan kaki 5.)
Catatan: SPR
= Rumahtanga yang mempunyai sawah, pekarangan dan rumah (dulu kuli kenceng/gogol/sikep ngarep, dsb.). S
= Hanya mempunyai sawah (dulu gundul). PR
= Mempunyai pekarang dan rumah tapi tidak punya sawah (dulu kuli kendo/tangkong/sikep mburi, dsb.). R
= Hanya mempunyai rumah saja; rumah ini didirikan di atas pekarangan orang lain (magersari). TA
= Tidak punya apa-apa (dulu menampung, bujang, tlosor).
Dari Tabel 5.4. tampak bahwa di semua desa di Jawa Barat tidak terdapat lapisan masyarakat gundul (hanya mempunyai sawah saja), juga tidak terdapat lapisan magersari (hanya mempunyai rumah saja). Mungkin hal ini memang disebabkan oleh kebiasaan di Jawa Barat yang tidak mengenal magersari. Tetapi sebaliknya, di Jawa Barat, proporsi rumahtangga yang tidak mempunyai apa-apa sama sekali (hanya punya tenaganya sendiri), relatif jauh lebih tinggi daripada di tempat lain.
Dengan masuknya bibit padi unggul baru yang ternyata memang dapat mempertinggi produksi, maka arti dan nilai tanah sawah menjadi penting. Karenanya kini status sosial seo- rang gundul tidak lagi di bawah apa yang dulu disebut sebagai kuli kendo (golongan PR dalam Tabel 5.4). Di samping itu dengan meningkatnya nilai sawah, maka nilai pekarangan hampir tidak ada artinya, terutama di desa-desa sampel di Jawa Barat, yang luas pekarangannya sempit-sempit. Bahkan ada desa-desa
Penguasaan Tanah dan Kelembagaan (Wargabinangun, misalnya) yang luas pekarangannya hanya
cukup untuk didirikan rumah. Golongan PR ini kebanyakan juga merupakan lapisan buruh tani.