Pemilikan Tanah dan Tingkat Kemiskinan

D. Pemilikan Tanah dan Tingkat Kemiskinan

Umumnya telah diketahui bahwa ekonomi pedesaan di Indonesia, khususnya di Jawa, didasarkan atas usaha perta- nian. Tetapi, data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam separuh jumlah desa yang diteliti ternyata sektor non- pertanian memberikan sumbangan lebih dari 50% dari total pendapatan (Tabel 5.7.). Terutama di Rowosari, Sentul, dan Janti, proporsi pendapatan dari sektor nonpertanian ini me- nunjukkan angka berturut-turut 62, 73 dan 77%. Di Sentul, produktivitas tanahnya rendah dan banyak penduduk menjadi tukang becak, kuli, serta buruh perusahaan genteng. Kedua desa lainnya sangat dekat dengan ibu kota kabupaten sehingga berbagai pekerjaan lain relatif lebih tersedia.

Tabel 5.7. Proporsi Pendapatan Menurut Sumber Pendapatan, Pendapatan Rumahtangga, dan Pendapatan Per Kapita Per Tahun di

12 Jawa dan 3 Desa di Sulawesi Selatan *)

Proporsi pendapatan Rata-rata

pendapatan per Jumlah RT tahun

di bawah Desa

menurut sumber **)

Per garis Pertanian Pertanian Total

Sektor

Non

Per RT kapita kemis-

(Rp) kampung (Rp)

JAWA BARAT 1. Sentul

300.000 56.600 75 2. Mariuk

454-000 123.522 44 3. Jati

Penguasaan Tanah dan Kelembagaan

319.000 69.800 69 JAWA TENGAH 7. Kebanggaan

462.000 101.300 49 615.000 JAWA TIMUR

45 55 0 205.000 25 SULAWESI SELATAN

-------------------------------Gagal Panen-----------------------------------

Catatan:

Jika ada beberapa perbedaan angka antara laporan ini dengan publikasi- publikasi SDP-SAE lainnya, maka hal itu disebabkan oleh adanya perbe- daan cara perhitungan. Namun perbedaan tersebut tidak mempengaruhi kecenderungan yang ada.

**) Sektor pertanian: termasuk usaha tani padi, usaha tani nonpadi (palawija, tebu ternak) dan berburuh tani.

Sektor nonpertanian: termasuk usaha dagang, kerajinan, berburuh pada industri, gaji pegawai negeri, gaji sebagai ABRI, dan pensiunan. **) Garis kemiskinan yang dipakai di sini adalah batas pendapatan yang setara dengan 320 kg beras per kapita keluarga, per tahun (bukan per kapita total kampung).

Dari data dalam Tabel 5.7. itu, mungkin orang akan menaf- sirkan bahwa pada tingkat perkembangan sekarang ini pemi- likan tanah sudah tidak relevan lagi bagi distribusi pendapatan. Namun jika kita kaitkan dengan data mengenai distribusi penda- patan menurut strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luas tanah milik, makin besar pula penda- patan rata-rata per rumahtangga (lihat Tabel 5.8.).

Ranah Studi Agraria

Tabel 5.8. Distribusi Rumahtangga, Pendapatan, dan Rata-rata Pendapatan Per Rumahtangga, Menurut Golongan Luas Pemilikan

Tanah Sawah di 3 Desa di Jawa

Luas Pemilikan Jumlah RT

Rata-rata Pendapatan Per (ha)

RT per Tahun (Rp ‘000)

Dari dua tabel di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka yang memiliki tanah luaslah yang mempunyai jang- kauan lebih besar kepada sumber nonpertanian, atau sebalik- nya. Dengan demikian ini berarti bahwa bagaimanapun juga masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang penting dalam kehidupan pedesaan.

Dalam Tabel 5.7. juga tampak bahwa di sebagaian besar dari desa yang diteliti ternyata jumlah rumahtangga yang ber-

Penguasaan Tanah dan Kelembagaan ada di bawah garis kemiskinan masih cukup besar, yaitu di

atas 40%. Bahkan di beberapa desa jumlahnya lebih besar dari 50%.

Dan kalau kita lihat penyebaran keluarga miskin menurut luas pemilikan tanah, ternyata pula bahwa dalam strata pemi- likan tanah yang lebih rendahlah terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar (lihat Lampiran 5.5). Jadi sekali lagi hal ini membuktikan bahwa walaupun proporsi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih besar daripada sektor pertanian, pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki oleh pemilik tanah luas. Sedang- kan di lain pihak, seperti telah diuraikan di muka, kesempatan para tunakisma untuk memperoleh tanah garapan cenderung menurun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walau- pun tunakisma dapat menguasai tanah melalui penyakapan (bagi hasil, sewa-menyewa, dan sebagainya) dan pemilik dapat menjadi bukan penggarap, namun langsung atau tidak langsung pemilikan tanah merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan.

Demikianlah, dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan UUPA memang belum sempurna. Namun di lain pihak, khususnya di daerah areal tebu, sistem gogolan nampaknya mempermudah pengaturan penggunaan tanah.