FORUM FREEDOM

Masa Depan Demokrasi

Pasca-tumbangnya rezim Hosni Mubarak, situasinya berubah total. Secara perlahan, demokrasi tumbuh dengan baik. Pemilu parlemen dan pemilu Presiden berlangsung dengan lancar, meskipun terdapat sejumlah kekurangan. Satu hal yang perlu dipotret, yaitu fenomena naiknya kaum islamis sebagai pemain utama dalam panggung politik.

Maka dari itu, banyak pihak yang menyebut, musim semi (al-rabi ’ al-‘Arabi) yang berhembus di dunia Arab telah berubah menjadi musim kaum islamis (al-rabi ’ al-Islami). Hal tersebut terkait dengan kemenangan kaum islamis dalam pemilu paling demokratis dalam sejarah Mesir, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyyah wa al- ‘Adalah) yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin dan Partai Cahaya (Hizb al-Nur) yang diprakarsai oleh kaum Salafi. Bahkan, dalam pemilu Presiden, Muhammad Morsi, kandidat Ikhwanul Muslimin berhasil Maka dari itu, banyak pihak yang menyebut, musim semi (al-rabi ’ al-‘Arabi) yang berhembus di dunia Arab telah berubah menjadi musim kaum islamis (al-rabi ’ al-Islami). Hal tersebut terkait dengan kemenangan kaum islamis dalam pemilu paling demokratis dalam sejarah Mesir, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyyah wa al- ‘Adalah) yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin dan Partai Cahaya (Hizb al-Nur) yang diprakarsai oleh kaum Salafi. Bahkan, dalam pemilu Presiden, Muhammad Morsi, kandidat Ikhwanul Muslimin berhasil

Di samping kemenangan kubu Islamis tersebut, satu hal yang menarik dicermati di sini, yaitu sikap kaum islamis terhadap demokrasi. Kaum islamis, baik Ikhwanul Muslimin maupun kaum Salafi, terlibat dalam pergulatan paradigmatik yang cukup intens dalam memaknai demokrasi. Secara eksplisit, Ikhwanul Muslimin mendukung sepenuhnya konsep negara demokratis, yang menjamin kebhinekaan. Muhammad Badi, pimpinan tertinggi (mursyid ‘am) Ikhwanul Muslimin, menegaskan pihaknya berupaya membangun negara demokratis yang dilandaskan pada prinsip-prinsip kewarganegaraan, penegakan hukum, kebebasan, persamaan, pluralisme, pergantian kekuasaan secara damai melalui pemilu, dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia. 54 Sikap teranyar Ikhwanul Muslimin terhadap demokrasi merupakan sebuah kemajuan dan

perubahan yang sangat luar biasa. Pasalnya, Ikhwanul Muslimin selama ini dikenal sebagai kelompok yang menolak demokrasi, bahkan demokrasi dianggap sebagai barang haram. 55 Pada

tahun 1994, Ikhwanul Muslimin telah mengeluarkan sebuah keputusan penting tentang musyawarah dalam Islam dan multipartai dalam masyarakat Muslim (Mu jaz ‘an al-Syura fi al- Islam 56 wa Ta’addud al-Ahzab fi Mujtama’ al-Muslim). Pada saat itu, Ikhwanul Muslimin

terlihat masih alergi menggunakan istilah demokrasi. Tetapi, angin revolusi yang berhembus kencang di dunia Arab, terutama di Mesir, telah mengubah sikap Ikhwanul Muslimin terhadap demokrasi.

Bahkan, Ikhwanul Muslimin pasca- revolusi cenderung merepresentasikan “kelompok moderat”, karena membangun dialog intensif dengan kalangan Kristen Koptik. Saat Partai 57

Kebebasan dan Keadilan didirikan, mereka melibatkan kalangan Kristen Koptik. Ikhwanul Muslimin juga hadir dalam perayaaan Natal dan beberapa kali bersilaturahmi kepada pimpinan Kristen Koptik. Di samping itu, Ikhwanul Muslimin juga mendorong kalangan perempuan terlibat dalam pesta demokrasi dan mempunyai para legislator di Parlemen dari kalangan perempuan.

Maka dari itu, cara pandang Ikhwanul Muslimin terhadap demokrasi hampir bisa dipastikan bersifat moderat. Muhammad Badi secara eksplisit menegaskan, bahwa pihaknya

54 Lihat tulisan Muhammad Badi, Mis}r...bayn al-Ams wa al-Yawm, Harian Umum Ahra>m, 13 Februari 2012, 18. 55 Tokoh yang paling keras menentang demokrasi, yaitu Sayyid Qutb, yang berpandangan bahwa demokrasi adalah haram. Salah satu alasannya, karena demokrasi adalah ideologi Barat atau ideologi kaum Jahiliah. Lihat,

Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Thariq, (Kairo: Dar al-Shorouk, 1968). 56 Lihat tulisan al-Sayyid Yasin, al- ‘Aql al-Islami bayn al-Infitah wa al-Inghilaq, Harian Ahram, 16

Februari 2012, 12. 57 Salah satu sosok Kristen Koptik yang menjabat fungsionaris Partai Kebebasan dan Keadilan, yaitu Rafiq

Habib sebagai Wakil Ketua Pengurus Harian. Rafiq juga tercatat sebagai salah satu calon anggota legislatif, meskipun ia akhirnya tidak lolos ke parlemen.

akan mengedepankan dimensi akhlak dalam agama, bukan dimensi hukum. Karena dimensi akhlak merupakan elan penting bagi kemajuan sebuah bangsa. 58

Meskipun demikian, Ikhawanul Muslimin masih mempunyai masalah serius dalam membangun negara demokratis yang menjamin kesetaraan bagi setiap warga negara. Hal tersebut terkait dengan basis paradigmatik mereka dalam memaknai demokrasi. Ikhwanul Muslimin masih menggunakan Islam sebagai sumber rujukan utama, yang dikenal dengan dawlah

madaniyyah bi marja’iyyah Islamiyyah. 59 Yang menjadi persoalan di sini, karena konotasi Islam yang dalam kacamata Ikhwanul Muslimin yaitu Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Sementara itu,

harus diakui bahwa pemikiran kedua tokoh utama Ikhwanul Muslimin sudah tidak relevan lagi dengan konteks sosial-politik Mesir, khususnya pasca-revolusi, yang menyuarakan pentingnya

demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. 60 Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, kaum Salafi sebagai pemenang kedua pemilu

pasca-revolusi, mempunyai pandangan yang lebih puritan. Mereka mempunyai agenda yang lebih tegas untuk menegakkan Syariat Islam dengan perspektif salafisme. Faktanya, kalangan Salafi secara tegas mempunyai agenda untuk menegakkan hukum pidana Islam sebagai konsekuensi dari diktum “Syariat Islam sebagai sumber utama perundang-undangan”. Kaum

Salafi dalam panggung sejarah diidentikkan dengan kaum Wahabi, yang mempunyai paham “kembali kepada al-Quran dan Sunnah”. Di samping itu, mereka juga mempunyai doktrin loyalitas (al-wala ’) dan disasosiasi (al-bara’), yang mempunyai pandangan ekstrem terhadap kalangan non-Muslim. 61 Hingga saat ini, kaum Salafi masih belum mau berhubungan dengan

kalangan Kristen Koptik. Bahkan, saat Paus Sanouda wafat, mereka tidak mengucapkan belasungkawa dan tidak pernah mengucapkan selamat Natal kepada mereka.

Atas dasar itu, pertarungan di antara kubu Ikhwanul Muslimin dan kaum Salafi dalam perebutan identitas Syariat akan semakin mengemuka, karena cara pandang mereka terhadap demokrasi dan kalangan non-Muslim berbeda seratus persen. Meskipun kaum Salafi

58 Lihat Muhammad Badi, al-Nahdhah al-Akhlaqiyyah..Bidayat al-Taqaddum, Harian al-Ahram, 4 Maret, 2012, 18.

59 Esham al-Eryan, al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- I’lam al- ‘Arabi, 2011). Lihat juga, Muhammad Mahmud Manshur, al-Dawlah al-Islamiyyah Madaniyyah, (Kairo: Muassasah Iqra’, 2011) dan Mahmud Ghazlan, Ru’yatuna fî Qadhaya Siyasiyyah Mu’ashirah, (Kairo: Dar al-Tawzi’

wa al-Nashr, 2001). 60 Menurut Wahid Abd al-Majid dalam al-Ikhwan al-Muslimun: Bayna al-Tarikh wa al-Mustaqbal, Kayfa Kanat al-Jama ’ah wa Kayfa Takunu (Kairo: al-Ahram li al-Nashr wa al-Tarjamah wa al-Tawzi’, 2010), 179-190,

preferensi Islam di dalam internal Ikhwanul Muslimin bisa menjadi problem serius bagi demokrasi, karena peran para elite dalam menentukan kebijakan, sehingga menghilangkan ide-ide segar yang muncul dari kubu reformis dan kalangan muda.

61 Lihat Ahmad Moussalli, Wahhabism, Salafism, and Islamism: Who is the Enemy, Conflit Forum, Beirut, Januari, 2009. Lihat juga Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, (New York: HarperCollins Publishers, 2005). Dalam beberapa komentar aktivis Partai Cahaya pada saat pemilu dan setelah pemilu mencerminkan kekhasan kaum Salafi, yang mempunyai pandangan spesifik berkaitan dengan diktum hukum pidana Islam.

berpartisipasi dalam pemilu, tetapi mereka hingga saat ini mereka tidak menyampaikan sikap terhadap demokrasi, baik menerima maupun menentang. Di samping itu, mereka masih mempunyai pandangan disasosiatif dan diskriminatif terhadap kalangan Kristen Koptik.

Di satu sisi, fenomena tersebut akan membentangkan jalan bagi pencerahan dan pendewasaan cara pandang kalangan muslim terhadap demokrasi dan diskursus Syariat Islam, tetapi di sisi lain akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi, karena masing-masing kelompok akan menggunakan Syariat Islam sebagai perebutan politik, khususnya dalam ranah demokrasi.

Di sini, peran al-Azhar sebagai lembaga keagamaan yang moderat memainkan peran penting agar diskursus keagamaan tidak digunakan sebagai perebutan identitas politik kaum islamis. Jika problem ini tidak bisa dipecahkan di masa yang akan datang, maka demokrasi yang diamanatkan oleh revolusi akan menghadapi tantangan serius, yang menyebabkan demokrasi hanya berlangsung pada ranah elektoral, sementara jauh dari esensi demokrasi liberal. Jika itu yang terjadi, sebagaimana diungkapkan oleh Fareed Zakaria, Mesir sebenarnya sedang menuju

sebuah zaman demokrasi yang tidak liberal (illiberal democracy). 62 Jatuhnya Morsi dapat menggambarkan, bahwa demokrasi yang tidak liberal telah

mendapatkan perlawanan serius dari rakyat Mesir. Tanda-tangan petisi pembangkangan (al- tamarrud ) oleh kurang lebih 22 juta orang terhadap “Ikhwanisasi Mesir” sebagai lonceng peringatan, bahwa Ikhwanul Muslimin atau kelompok manapun yang berkuasa harus menjalankan esensi demokrasi, perihal kebebasan (al-hurriyyah), kemakmuran (al- ‘isy), kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah), dan keadilan sosial (al- ‘adalah al-ijtima’iyyah). Untuk mewujudkan itu semua diperlukan kebersamaan dalam konteks kebangsaan dan kewarganegaraan, yang dapat merefleksikan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan/kelompok.

Kesimpulan

Demokrasi bukanlah sistem yang mapan dalam rentang waktu yang cepat, melainkan membutuhkan masa yang panjang, bahkan penuh lika-liku. Pengalaman demokrasi di Mesir membuktikan, bahwa modernisasi, pengembangan ekonomi, pembentukan konstitusi, pemilihan umum, dan pemikiran progresif merupakan proses yang mesti dilalui untuk mewujudkan demokrasi.

Setidaknya ada tiga tantangan penting dalam membangun demokrasi: Pertama, sistem dan pemimpin yang otoriter. Dalam hal ini dapat dinyatakan, bahwa demokrasi membutuhkan nomokrasi, sehingga kekuasaan tidak mudah disalahgunakan oleh pemimpin. Sejak pemerintahan Muhammad Ali hingga tumbangnya rezim Hosni Mubarak sudah terbukti, bahwa politisasi konstitusi telah menyebabkan pemerintahan terjerumus dalam otoritarianisme. Akibatnya, seorang pemimpin bisa berkuasa hingga 30 tahun dengan mengatasnamakan konstitusi.

Kedua, intervensi militer dalam politik praktis. Sejak masa modern, Mesir dipimpin oleh militer. Hal ini membuktikan, bahwa militer menjadi tantangan serius dalam membangun

Fareed Zakaria, “The Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs, 6 (November-December 1997) , 22- 43.

demokrasi. Di antaranya, kebijakan “darurat militer” yang kerap digunakan oleh militer untuk mengukuhkan kekuasaanya menjadikan demokrasi kehilangan ruhnya. Karena itu, militer harus

kembali ke barak, terutama dalam rangka memperkuat pertahanan dan melindungi negara dari ancaman musuh.

Ketiga, kuatnya kalangan Islamis. Kelompok ini dapat menjadi tantangan demokrasi, karena mereka mempunyai intensi untuk mengusung ideologi yang bertentangan dengan nilai- nilai yang terkandung dalam demokrasi liberal. Demokrasi pada hakikatnya bukan sekadar berlangsungnya pemilu yang jujur dan bersih, sebagaimana dianut dalam demokrasi elektoral, melainkan jauh dari itu sebagai jalan untuk mewujudkan kesetaraan di bawah payung prinsip kewarganegaraan.

Daftar Pustaka

Abd al-Malik, Anwar. Al-Wathaniyyah hiya al-Hall. Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2006.

Abd al-Majid, Wahid. Al-Ikhwan al-Muslimun: Bayna al-Tarikh wa al-Mustaqbal, Kayfa Kanat al-J ama’ah wa Kayfa Takunu. Kairo: al-Ahram li al-Nashr wa al-Tarjamah wa al-Tawzi’, 2010.

‘Abd al-Mun’im, Ahmad Faris. Al-Sulthah al-Siyasiyyah fi Mishr wa Qadhiyyah al- Dimuqrathiyyah (1805-1987). Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al- ‘Ammah li al-Kitab, 1997.

Abdullah, Tsana Fu’ad. Mustaqbal al-Dimuqrathiyyah fi Mishr. Beirut: Markaz Dirasat al- Wihdah al- ‘Arabiyyah, 2005.

Abd al-Raziq, Ali. al-Islam wa Ushul al-Hukm. Beirut. Maktabah al-Hayat, 1966. Abou el-Fadl,Khaled. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, New York:

HarperCollins Publishers, 2005. Al-Bishri, Thariq. Al-Harakah al-Siyasiyyah fi Mishr 1945-1953. Kairo: Dar al-Shuruq, Cetakan

II, 2002. Al-Eryan, Esham. al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah. Kairo: Markaz al- I’lam

al- ‘Arabi, 2011. Al-Marshafi, Fathi. Dirasat Tathbiq al- Syari’ah al-Islamiyyah fi Mishr. Beirut: Dar al-Fikr al-

‘Arabi, tanpa tahun. Al-Qadhi, Faruq. Al- ‘Ilmaniyyah hiya al-Hall: min Ajli al-Muwathanah al-Haqqah wa al-Silm

al- Ijtima’i. Kairo: Dar al-‘Ayn, 2010. Al-Qaradhawi, Yusuf Min Fiqh al-Dawlah fi al- Islam: Makanatuha Ma’alimuha Thabi’atuha

Mawqifuha min al-Dimuqrathiyyah wa al- Ta’addudiyyah wa al-Mar’ah wa Ghayr al- Muslimin. Kairo: Dar el Shuruq, Cetakan III, 2001.

Beetham, David. “Liberal Democracy and the Limits of Democratization”, in Prospects for Democracy: North, South, East, West, edited by David Held. Cambridge: Polity Press, 1993.

Dahl, Robert. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven, CT: Yale University Press, 1991.

Diamond, Larry. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore: John Hopkins University Press, 1999.

Esposito, John L. and John O. Voll, Islam and Democracy. New Work: Oxford University Press, 1996.

Ghazlan, Mahmūd Ru’yatuna fî Qadhaya Siyasiyyah Mu’ashirah. Kairo: Dar al-Tawzi’ wa al- Nashr, 2001.

Goldberg, Ellis. “Mubarakism Without Mubarak,” Foreign Affairs, 11, February 2011. Hanna, Milad. al- A’midah al-Sab‘ah li al-Syakhsyiyyah al-Mishriyyah. Kairo: Nahdhat Mishr,

1996. Harik, Iliya. “Democracy, Arab Exceptionalism, and Social Science”, Middle East Journal, 4,

Autumn, 2006. Huwaydi, Fahmi. Al-Islam wa al-Dimograthiyyah. Kairo: Markaz Al-Ahram li al-Tarjamah wa

al-Nashr, 1993. Saad Eddin Ibrahim, Egypt, Islam, and Democracy: Critical Essays (Kairo: The American

University in Cairo Press, 2002), 267-268. ‘Imarah, Muhammad. al-Islam wa Ushul al-Hukm li ‘Ali Abdul Raziq: Dirasat wa Watsaiq.

Beirut: Al-Muassasah al- ‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, 2000. ‘Imarah, Muhammad. Hall al-Islam huwa al-Hall: Kayfa wa Limadha? Kairo: Dar al-Shuruq,

Cetakan II, 1998. Madhi, Abd al-Fattah. “Intikhabat 2005 al-Riasiyyah fi Mishr: Intikhabat bi la Dimuqrathiyyah

wa la Dimuqrath iyyin”, in Al-Intikhabat al-Dimuqrathiyyah wa Waqi’ al-Intikhabat fi al- Aqthar al- ’Arabiyyah. Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009.

Mahmud Isma’il, Hamadah. Hasan al-Banna wa Jama’at al-Ikhwan al-Muslimin bayn al-Din wa al-Siyasah 1928-1949. Kairo: Dar al-Shorouk, 2010.

Mahmūd Manshūr, Muhammad. Al-Dawlah al-Islamiyyah Madaniyyah. Kairo: Muassasah Iqra’, 2011.

Moussalli, Ahmad. Wahhabism, Salafism, and Islamism: Who is the Enemy, Conflit Forum, Beirut, Januari, 2009.

Salamé, Ghassan (editor), Democracy Without Democrats?: The Renewal of Politics in Muslim World. London: I.B. Tauris, 2001.

Salim al- ‘Awwa, Muhammad. Fi al-Nizam al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyyah. Kairo: Da>r el- Shuruq, 2006.

Smith, Graeme, A Short History of Secularism. New York: I.B.Tauris, 2008. Stepan, Alfred and Graeme B. Robertson . “Arab, Not Muslim, Exceptionalism.” Journal of

Democracy , 15, October, 2004. Stepan, Alfred and Graeme B. Robertson dalam ar tikel lain, “An "Arab" More Than "Muslim"

Electoral Gap. ” Journal of Democracy, 14, July, 2003. Yuchman- Ya‘ar, Ephraim and Yasmin Alkaray. “Political Attitudes in the Muslim World.”

Journal of Democracy,

21, July 2010.

Zahid, Mohammed. The Muslim Brotherho od and Egypt’s Succession Crisis: The Politics of

Liberasation and Reform in The Middle East. New York: I.B.Tauris, 2010. Zakaria, Fareed. “The Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs, 6, November-December

1997.