20130718 dis fins forum freedom masa dep

FORUM FREEDOM

“Masa Depan Islamisme di Dunia Islam”

Islamisme dan Demokrasi di Mesir

Zuhairi Misrawi

Kamis, 18 Juli 2013 Pukul 19.00 – 21.00 WIB

Wisma Proklamasi

Jl. Proklamasi No. 41Jakarta Pusat

Ismlamisme dan Demokrasi di Mesir 1

Zuhairi Misrawi 2

“Demokrasi di Mesir ibarat kolam tanpa ikan dan air. Ikan-ikan di kolam tersebut mati, karena tidak ada air yang memungkinkannya hidup dan beranak- 3 pinak”. Itulah perumpamaan

yang dipopulerkan Muhammad Husein Haikal perihal rapuhnya wacana dan tatanan demokrasi di negeri Piramid tersebut.

Secara eksplisit, ada partai politik dan pemilu parlemen berlangsung secara reguler, khususnya pada rezim Hosni Mubarak. Tetapi, harus diakui semua itu hanya pada tataran elektoral, bukan pada tataran substansial. Selama kurang lebih 30 tahun tidak ada pergantian kekuasaan, yang menyebabkan demokrasi elektoral hanya menjadi stampel kekuasaan. Karenanya, Abd al-Fattah Madhi menyebut pemilu hanya sebagai ajang yang sebenarnya tidak

mempunyai muatan demokratis dan abesennya kaum demokrat. 4 Terlepas dari problem tersebut, dalam delapan dekade terakhir, demokrasi menjadi

diskursus yang ramai diperbincangkan sebagai sebuah alternatif, terutama dalam rangka keluar dari determinasi sistem politik sentralistik yang bertentangan seratus persen dengan demokrasi. Di satu pihak muncul kekhawatiran jika harus kembali ke masa lalu dengan menghidupkan sistem khilafah, karena hanya akan memperkuat sentralisme. Tetapi di pihak lain, berpijak di atas sistem demokrasi masih menimbulkan tanda-tanya, bahkan kecurigaan yang amat mendalam, karena demokrasi identik dengan Barat yang saat itu merupakan sosok kolonialis.

Bahkan, dalam perjalanannya, praktek demokrasi menimbulkan kekhawatiran yang jauh lebih serius dari sekadar kehendak untuk melampaui ideologi kedaulatan Tuhan (hakimiyyat Allah ) dan ketertundukan terhadap Barat, tetapi juga munculnya rezim otoriter yang berjubah demokrasi. Hakikatnya, demokrasi tak mungkin menghalalkan otoritarianisme, tapi realitasnya otoritarianisme merupakan “anak kandung” demokrasi. Dengan jubah demokrasi, Hosni

Mubarak dapat mempertahankan kekuasaannya selama kurang lebih 30 tahun.

Disampaikan dalam Diskusi tentang “Islamisme Pasca-Morsi” pada tanggal 18 Juli 2013 di Freedom Institute.

2 Analis Pemikiran dan Politik Timur-Tengah di Middle East Institute 3 Lihat wawancara Muhammad Husein Haikal di Harian Mishr al-Youm pada tanggal 28 Januari 2011. 4 Abd al-Fattah Madhi , “Intikhabat 2005 al-Riasiyyah fi Mishr: Intikhabat bi la Dimuqrathiyyah wa la

Dimuqrath iyyin”, in Al-Intikhabat al-Dimuqrathiyyah wa Waqi’ al-Intikhabat fi al-Aqthar al-’Arabiyyah (Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wihdah al- ’Arabiyyah, 2009), 145. Lihat juga, Ghassan Salamé, Democracy without Democrats?: The Renewal of Politics in the Muslim World (New York: I.B.Tauris & Co Ltd, 2001), 23-25.

Atas dasar itu, Alfred Stepan memberikan catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus sebagai an exceptionalism. 5 Intinya, demokrasi tidak bisa

tumbuh subur di dunia Arab, bukan hanya semata-mata karena mereka mengharamkan demokrasi, tetapi yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktek pemilu yang tidak jujur dan

bersih, serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. 6 Di samping itu, Freedom House juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab, karena alam demokrasi

telah mengabaikan dua elemen penting dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. 7

Kini, Mesir sedang memasuki zaman demokrasi baru. Revolusi yang berlangsung pada tanggal 25 Januari 2011 merupakan puncak kemarahan rakyat Mesir terhadap otoritarianisme, yang berhasil melengserkan rezim Hosni Mubarak. Absennya demokrasi harus dibayar dengan harga yang cukup mahal, yaitu revolusi yang meniscayakan rancang-bangun kembali demokrasi dari titik nol.

Fakta tersebut semakin menguatkan tesis para pemerhati pengalaman demokrasi di dunia Islam, bahwa relasi Islam dan demokrasi dalam prakteknya cenderung bersifat kontradiktif. 8

Tesis tersebut bisa dimaklumi, karena pengalaman demokrasi di Mesir merupakan salah satu pengalaman buruk, yang semakin mengukuhkan adanya problem serius dalam praktek demokrasi di dunia Islam.

Alfred Stepan and Graeme B. Robertson, “Arab, Not Muslim, Exceptionalism”, Journal of Democracy, 15 (October 2004): 5. Menurut para pemantau pemilu dari Uni Eropa, pemilu yang digelar Indonesia pada tahun 2004 dan pemilu yang digelar di Bangladesh pada tahun 2001 dapat dikatagorikan demokratis. Sementara pemilu yang

digelar di dunia Arab pada umumnya tanpa pemantauan. Menurut catatan Uni Eropa hanya pemilu di Yaman pada tahun 2003 dan pemilu di Aljazair pada tahun 2004, yang memperkenankan pemantau asing. Sedangkan pemilu yang digelar di Mesir dan beberapa negara Arab lainnya tidak memperkenankan adanya pemantau asing.

6 Sejak masa Presiden Anwar Sadat, terutama pasca-referendum 1980, seseorang dapat menjadi Presiden seumur hidup jika terpilih dalam pemilu. Tidak hanya itu saja, dalam beberapa kali pemilu Presiden, Hosni Mubarak

kerapkali menjadi calon tunggal tanpa penanta ng. Rakyat Mesir ditawarkan dua pilihan, yaitu “memilih” dan “tidak memilih” Hosni Mubarak.

7 Iliya Harik, “Democracy, Arab Exceptionalism, and Social Science”, Middle East Journal, 4 (Autumn, 2006), 666. 8 Ephraim Yuchman- Ya‘ar and Yasmin Alkaray, “Political Attitudes in the Muslim World,” Journal of Democracy,

21 (July 2010): 1. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (New York: Simon and Schuster, 1996), 217, menyatakan bahwa yang problem bagi Barat bukan hanya fund amentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri. Sementara Azzam Tamimi, “Islam and Democracy from Tahtawi to Ghannouchi,” Theory, Culture and Society 24 (Mach 2007): 39-58, menyatakan bahwa demokrasi menekankan pentingnya pemilihan yang bebas, akuntabilitas, transparansi, penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, tapi semua nilai positif tersebut dilarang oleh dunia Islam. Y Choueiri, “The Political Discourse of Contemporary Islamist Movements,” in Abdel Salem Sidahmed and Anoushiravam Ehteshami, eds., Islamic Fundamentalism (Boulder: Westview Press, 1996), menyatakan Islam secara eksplisit identik dengan sistem totaliter. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Bernard Lewis dalam, The Shaping of the Modern Middle East (New York: Oxford University Press, 1994), 54-56.

Meskipun demikian, demokrasi di Mesir masih mempunyai secercah harapan. Faktanya, revolusi tidak melahirkan mimpi kembali kepada masa lalu, melainkan justru mendesak agar demokrasi dipraktekkan secara jujur dan adil. Secara ekplisit, rakyat Mesir mempunyai optimisme yang membuncah, bahwa demokrasi merupakan solusi untuk mewujudkan pemerintahan yang adil dan berdaulat, yang mercerminkan kehendak rakyat. Tulisan ini akan menjelaskan problem-problem sentral serta masa depan demokrasi di Mesir, terutama pasca- revolusi. Apa saja tantangan serius yang dihadapi Mesir dalam membangun demokrasi? Bagaimana rakyat Mesir mencoba keluar dari tantangan tersebut, sehingga memungkinkan mereka dapat menikmati buah manis dari demokrasi?

Islamisme dan Demokrasi

Salah satu problem dalam implementasi demokrasi liberal di dunia Islam, khususnya Timur-Tengah dan Afrik Utara, yaitu menguatnya kelompok Islamis. Bahkan, musim semi politik yang berhembus di dunia Arab, bukanlah “musim semi Arab” (Arabs Spring), melainkan “musim semi kaum Islamis” (Islamists Spring).

Di satu sisi, fenomena tersebut menimbulkan sebuah harapan tentang transformasi demokrasi, yang akan melahirkan sebuah perubahan besar tentang pemaknaan dan penghayatan terhadap demokrasi. Tetapi, di sisi lain dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya arus balik tentang lahirnya demokrasi versi kaum Islamis. Yaitu, ketika demokrasi hanya dibajak secara prosedural, tetapi substansinya dikosongkan dari nilai-nilai universal yang inheren di dalam paradigma demokrasi liberal.

Kekhawatiran tersebut beralasan, karena kaum Islamis bukanlah entitas yang baru dalam pengalaman demokrasi di dunia Islam, khususnya di Timur-Tengah dan Afrika Utara. Mereka mempunyai pengalaman dalam berbagai sistem pemerintahan, baik demokrasi, sosialisme, monarki, komunisme dan otoritarianisme. Mereka relatif bisa bertahan dalam situasi apapun,

karena mempunyai ideologi dan komunitas yang mapan. 9 Menurut Jon Armajani, setidaknya ada empat hal yang dijadikan pijakan oleh kalangan

Islamis: Pertama, prinsip-prinsip keislaman harus menjadi pedoman dalam kehidupan sehari- hari, baik secara personal maupun kolektif. Kedua, Islam adalah agama yang menekankan pentingnya keyakinan, sedangkan keyakinan agama lain mengandung kesalahan atau keabasahan yang terbatas. Ketiga, hukum-hukum tradisional Islam harus mengatur masalah relasi seksual. Keempat, budaya Barat dan sekular hanya mempromosikan budaya konsumerisme dan hidup

bebas yang bertentangan dengan Islam. 10 Pandangan kalangan Islamis tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar, selain

karena peran-peran kultural yang dilakukan dalam gerakan mereka, mereka mempunyai konsern dalam ranah politik. Kalangan Islamis mempunyai pemikiran politik yang bersifat distingtif,

9 Carrie Rosefsky Wickham, Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Chang in Egypt (New York: Columbia University Press, 2002).

10 Jon Armanjani, Modern Islamist Movements: History, Religion, and Politics (United Kingdom: Wiley- Blackwell, 2012), 1.

yaitu paradigma Islam sebagai agama dan negara (al-Islam Din wa al-Dawlah). 11 Paradigma ini mempunyai pengaruh besar dalam rangka lahirnya sebuah paradigma politik yang bernuansa

keislaman. Secara historis harus diakui, bahwa paradigma Islam sebagai agama dan negara

hakikatnya merupakan diskursus yang relatif modern. Sejumlah tokoh muslim yang mempopulerkan paradigma tersebut, antara lain: Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787), Jamaluddin al-Afghani (1838), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rashid Rid}a (1865)-1935), Hasan al-Banna (1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1966), Sayyid Abu al- A’la al- Mawdudi (1903-1979).

Tokoh-tokoh tersebut telah melahirkan inspirasi untuk membentuk negara yang berdasarkan Syariat. Secara spesifik, ideologi yang dibangun sebagai berikut:

1. Syariat harus mengatur seluruh aspek dari kehidupan di negara-negara Muslim.

2. Setiap pemerintahan harus mampu mewujudkan seorang muslim yang paripurna, yaitu muslim yang patuh menjalan rukun Islam dan mempunyai keyakinan yang sesuai dengan rukun Iman.

3. Pemerintahan dapat dicapai melalui mekanisme demokratis atau melalui sistem monarki yang dipimpin oleh seorang amir yang dianggap sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi.

4. Pemerintahan yang berdasarkan Islam tersebut harus memberikan dukungan finansial dan politik terhadap sekolah dan perguruan tinggi Islam, serta membumihanguskan keberadaan sistem pendidikan lainnya.

5. Pemerintahan harus mewajibkan kepada lembaga pendidikan untuk mengajarkan al- Quran, hadis, syariat, bahasa Arab dan sejarah Islam. Di samping itu, juga mengajarkan matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial.

6. Pemerintahan harus menjamin terjaganya basis moral dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam hal pakaian, pergaulan, minuman, kebudayaan, sistem ekonomi, dan lain-

lain. 12 Beberapa pandangan yang melekat pada diri kalangan Islamis tersebut menimbulkan

sejumlah pertanyaan, terkait dengan kompatibalitas antara Islamisme dan demokrasi. Demokrasi liberal menganut prinsip kesetaraan dengan menjadikan kewarganegaraan sebagai landasannya. Faktanya, Timur-Tengah dan Afrika Utara sebagai basis tumbuhnya agama-agama semitis, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, telah membuktikan bahwa mereka yang tinggal di kawasan ini tidak mempunyai latarbelakang agama yang bersifat monolitik.

Di Mesir, selain umat Islam sebagai kelompok mayoritas, juga terdapat kelompok minoritas, seperti Kristen Koptik, Protestan, Katolik, Bahai dan Yahudi. Lalu pertanyaannya,

11 John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 4. Lihat juga, Arthur Godschmidt, A Concise History of the Middle East (BoulderL Westview Press, 1988).

12 Jon Armanjani, Modern Islamist Movements: History, Religion, and Politics (United Kingdom: Wiley- Blackwell, 2012): 21-22.

bagaimana mungkin Syariat Islam dijadikan sebagai landasan konstitusional dalam sebuah negara yang menganggap dirinya demokratis? Apakah praktek tersebut dapat dianggap telah menjalankan demokrasi liberal?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting dicermati untuk melihat, apakah Islamisme mempunyai intensi terhadap demokrasi liberal atau mereka hanya menjadikan demokrasi untuk mencapai cita-cita politik mereka, yaitu Islam sebagai agama dan negara?

Arab Saudi merupakan sebuah pemandangan yang menarik dalam mencermati salah satu potret Islamisme, yang secara eksplisit tidak kompatibel dengan demokrasi. Arab Saudi merupakan salah satu contoh di mana Syariat Islam menjadi konstitusi, yang mandatnya diberikan kepada Raja dan lembaga fatwa keagamaan untuk memaksakan kepada setiap warganya. Arab Saudi merupakan negara yang menerapkan hukum Islam secara penuh dan menolak konvensi hak asasi manusia.

Berbeda dengan Arab Saudi, Mesir relatif mengalami transformasi yang menarik perihal upaya untuk mempertemukan antara Islamisme dan demokrasi. Pasca-tumbangnya rezim Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin tumbuh sebagai kekuatan yang hendak memberikan warna lain terhadap demokrasi. Ikhwanul Muslimin merumuskan sebuah paradigma baru, yaitu negara modern dengan menjadikan Islam sebagai rujukannya (al-dawlah al-madaniyyah bi al-

marja’iyyah al-Islamiyyah). 13 Harus diakui, bahwa paradigma politik ini telah mengalami metamorfosa dari paradigma politik yang dikembangkan oleh Hasan al-Banna sebagai pendiri

Ikhwanul Muslimin. Menurut Muhammad Badi ’, Pimpinan Tertinggi Ikhwanul Muslimin, bahwa paradigma

negara demokratis dengan Islam sebagai rujukan utamanya merupakan implementasi dari ayat al-Quran dalam surat al- An’am ayat 162-163, yang berbunyi, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan kematianku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan atas dasar itu aku diperintahkan dan aku adalah pemuka umat Islam.” Sedangkan hal-hal terperinci dalam kehidupan harus mengacu pada kepentingan umum yang ditentukan oleh umat dan ahl al-hall wa al- ‘aqd, yang merepresentasikan umat untuk melaksanakan perintah Allah, sesuai dengan prinsip, “hendaklah kalian memecahkan segala urusan deng 14 an cara musyawarah” (QS. al-Syura: 38).

Secara eksplisit, pandangan tersebut hendak menggabungkan antara dimensi “sakral” yang bersumber dari agama dengan dimensi “profan” yang bersumber dari musyawarah.

Paradigma ini dianggap dapat mengakomodasi prinsip Syariat sekaligus memberikan ruang kepada rakyat untuk menentukan kebijakan yang mencerminkan kemaslahatan umum.

Esam el-Erya n secara khusus menegaskan, “Islam adalah sistem yang paripurna yang meliputi seluruh fenomena kehidupan secara umum. Islam adalah agama dan bangsa, pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih-sayang dan keadlan, kebudayaan dan undang-undang, ilmu dan hukum, materi dan harta, usaha dan kaya, jihad dan dakwah, tentara

13 Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 4.

14 Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 8.

dan pemikiran, sebagaimana di dalamnya terkandung akidah yang benar dan ibadah yang sahih.” 15

Berkaitan dengan Syariat, el-Erya n menegaskan, “Syariat Islam adalah Syariat yang paripurna, yang di dalamnya mengatur prinsip-prinsip hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya, manusia dengan keluarganya, manusia dengan masyarakatnya, manusia

dan lingkungannya yang lebih besar, serta manusia dengan lingkungannya yang lebih luas.” 16 Sebagai konsekuensi dari pandangan tersebut, maka Ikhwanul Muslimin merumuskan

k 17 onsepsi “Negara Islam”, yaitu “Negara yang modern”. Setidaknya ada beberapa modus yang hendak diformulasikan dengan konsepsi tersebut: Pertama, negara konsensus-konstitusional. Hal

ini mengacu pada pengalaman sejarah Nabi Muhammad yang telah merumuskun konsensus yang merupakan konsensus antara pemimpin dan umat. Kedua, negara yang menjamin kesetaraan dalam payung kewarganegaraan. Perbedaan agama dan keyakinan harus melebur dalam semangat kebangsaan. Ketiga, negara representatif-parlementer, yang meniscayakan adanya perwakilan rakyat yang tujuannya menyusun kebijakan dan melakukan kontrol terhadap eksekutif. Keempat, negara pluralisme, yang melindungi keanekaragaman kelompok, baik muslim maupun non-muslim. Kelima, negara yang menjamin pergantian kekuasaa. Keenam, negara yang menganut pembagian kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun militer agar melakukan tugas sesuai fungsinya masing-masing. Ketujuh, negara hukum yang

mengutamakan keamanan dan ketertiban umum. 18 Jika melihat penjelasan ini, maka secara substansial dapat dipahami bahwa Ikhwanul

Muslimin hakikatnya telah menerima sistem demokrasi liberal dengan menjadikan Islam dan Syariat sebagai sumber utama. Tapi pertanyaannya, bagaimana hal tersebut bisa diwujudkan di tengah polarisasi pandangan keislaman dan realitas sosial-politik yang tidak monolitik. Mesir bukan hanya terdiri dari satu kelompok agama saja, melainkan juga terdapat kelompok dari agama selain Islam. Mereduksi sistem pemerintahan yang hanya menganut pada satu sumber agama hakikatnya telah melakukan tindakan diskriminatif. Hal tersebut berpotensi pada hilang hak-hak sipil kalangan non-muslim.

Di samping itu, Ikhwanul Muslimin tidak secara eksplisit menggunakan istilah demokrasi. Mereka hanya menggunakan istilah “Negara-Modern” (al-dawlah al-madaniyyah),

karenanya dapat dipahami, bahwa Ikhwanul Muslimin masih mempunyai keengganan untuk menggunakan istilah demokrasi. Bahkan, dalam sebuah kampanye pemilu Presiden, Ikhwanul Muslimin secara eksplisit berjanji akan menerapkan hukum Islam sesuai al-Quran dan Sunnah. Slogan “Islam sebagai sebuah solusi” (al-Islam huwa al-Hall) senantiasa mengemuka.

Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 15.

16 Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 17.

17 Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 32.

18 Esham al-Eryan, Al-Ikhwan al-Muslimun wa al-Dawlah al-Madaniyyah (Kairo: Markaz al- ‘I’lam al- ‘Arabi, 2011), 32-45.

Dengan demikian, Islamisme dan demokrasi merupakan dua entitas yang masih berseberangan. Adanya sikap adaptif terhadap demokrasi sebagaimana ditunjukkan Ikhwanul Muslimin pasca-revolusi dapat dipahami sebagai upaya untuk merespons aspirasi publik yang menghendaki demokratisasi. Tetapi, harus diakui, Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok yang mempunyai ide-ide Islamisme, sebagaimana Arab Saudi masih mempunyai sejumlah keberatan untuk menggunakan istilah demokrasi. Mereka terlibat dalam pemilu sebagai bentuk akseptabilitas terhadap demokrasi elektoral. Tetapi, saat berkaitan dengan demokrasi liberal yang menjamin kesetaraan dalam kewarganegaraan, maka di sinilah letak problematisnya, karena kelompok Islamis hanya menjadi Islam sebagai satu-satunya sumber perundang-undangan, meskipun mereka membuka pintu konsultasi (syura).

Pengalaman Demokrasi

Pengalaman berdemokrasi di Mesir bukanlah sebuah proses yang terjadi dalam satu malam. Muhammad Ali, yang memerintah Mesir dari tahun 1805-1923, mempunyai peran penting dalam lahirnya demokrasi. Selain melalukan modernisasi dalam bidang ekonomi dan sosial, Muhammad Ali telah merintis Dewan Permusyawaratan, yang memberikan ruang bagi konsensus. Di samping itu, juga dibentuk kementerian yang mencerminkan pemerintahan eksekutif, sehingga kekuasaan tidak dimonopoli layaknya seorang raja. Di samping itu, harus diakui, dukungan publik yang begitu luas terhadap Muhammad Ali, telah memungkinkan pemerintahan berjalan dengan baik. Modernisasi yang diusung oleh Muhammad Ali dalam bidang pendidikan dan ekonomi merupakan pilar yang sangat penting bagi lahirnya kesadaran

berdemokrasi pada era modern. 19 Meskipun demikian harus diakui, bahwa Muhammad Ali tidak bisa dianggap sebagai

pemimpin yang menerapkan demokrasi, karena ia bukanlah pemimpin yang dipilih melalui pemilu. Ia pemimpin yang dipilih melalui “baiat” dari kalangan bangsawan dan pemuka agama.

Tetapi, perannya dalam melakukan modernisasi merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, karena dapat mengantarkan Mesir pada tumbuhnya kesadaran demokrasi pada masa-masa selanjutnya.

Di samping itu, pengalaman demokrasi di Mesir pada masa awal juga ditandai dengan semangat revolusi melawan kolonial isme. Munculnya revolusi ‘Urabi pada tahun 1919, yang berhasil mengakhiri kolonialisme Inggris di Mesir merupakan babak baru dalam wajah demokrasi. Pada tahun 1923 ditandai dengan lahirnya sebuah konstitusi yang merupakan fondasi dalam demokrasi. Dalam konstitusi tersebut ditegaskan tentang perlunya dibentuk sebuah

Tsana Fu’ad Abdullah, Mustaqbal al-Dimuqrathiyyah fi Mishr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al- ‘Arabiyyah, 2005), 56. Meskipun demikian, Ahmad Faris ‘Abd al-Mun’im dalam al-Sulthah al-Siyasiyyah fi>

Mishr wa Qadhiyyah al-Dimuqrathiyyah (1805-1987), menegaskan bahwa Muhammad Ali telah mempraktekkan pemerintahan yang otoriter, karena sebenarnya ia menerapkan pemerintahan yang bersifat sentralistik. Dewan Konsultatif yang dibentuk tidak mempunyai kewenangan mutlak, bahkan dibubarkan karena tidak sejalan dengan kepentingan politiknya.

parlemen yang mempunyai kewenangan untuk membentuk perundang-undangan dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif. 20

Pada masa ini ditandai dengan munculnya partai politik. Salah satu partai politik yang sangat menonjol pada masa itu adalah Partai Wafd. Partai ini memiliki peran penting dalam melakukan kontrol terhadap raja, sehingga kekuasaan eksekutif dipegang oleh raja tidak bersifat

absolut. 21 Pada masa selanjutnya, pengalaman demokrasi ditandai dengan tumbuhnya nasionalisme

yang dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser. Nasionalisme tersebut tumbuh di tengah revolusi yang dipimpin oleh Nasser, dalam kapasitasnya sebagai tentara pembebasan (al-dubbat} al-ahrar). Sejak saat ini harus diakui, bahwa militer akan menjadi salah satu elemen penting dalam jatuh- bangunnya demokrasi di Negeri Piramid ini.

Gamal Abdul Nasser merupakan harapan sekaligus tantangan bagi demokrasi. Di satu sisi, dia telah berhasil membangkitkan nasionalisme Arab yang dapat dijadikan sebagai modal bagi demokrasi. Tetapi, di sisi lain dengan kekuasaannya yang bersifat absolut, dia telah memberangus kebebasan berpendapat dan berserikat, yang ditandai dengan pembubaran partai

politik dan interdependensi lembaga yudikatif. 22 Posisi Nasser semakin terjepit, saat kalah dalam perang melawan Israel pada tahun 1967.

Anwar Sadat adalah sosok penting dalam membuka kembali ruang demokrasi di Mesir. Ia melanjutkan pemerintahan Nasser sejak tahun 1971-1981. Dalam masa pemerintahannya, Sadat menegakkan kembali konstitusi dan melepaskan para tahanan politik dari Ikhwanul Muslimin yang diopresi oleh Nasser. Bahkan Sadat ditengarai telah berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin dan kelompok Islamis lainnya, serta menggunakan idiom “jihad” dalam perang 23

melawan Israel. Namun, pada akhirnya sikap politik Sadat harus menuai tuah, karena kalangan Islamis memukul balik Sadat saat menandatangi perdamaian dengan Israel di Camp David. Bahkan Sadat akhirnya tewas di tangan para Islamis, yang semula dirangkulnya sebagai bagian untuk menghidupkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Salah satu legasi Sadat yang sangat penting dalam bangunan demokrasi di Mesir, yaitu perihal lahirnya konsitusi yang semakin mengukuhkan demokrasi. Di dalam konstitusi yang ditanda-tangani Sadat pada tahun 1980 dinyatakan, “Republik Arab Mesir adalah negara yang

Ahmad Fa ris ‘Abd al-Mun’im, Al-Sulthah al-Siyasiyyah fi Mishr wa Qadhiyyah al-Dimuqrathiyyah (1805-1987) (Kairo: Al-Haiah al-Mis}riyyah al- ‘Ammah li al-Kitab, 1997), 43.

21 Thariq al-Bishri, Al-Harakah al-Siyasiyyah fi Mishr 1945-1953 (Kairo: Dar al-Shuruq, Cetakan II, 2002), 83. 22 Menurut John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (Ney Work: Oxford University Press, 1996), bahwa naiknya Gama Abdul Nasser ke tampuk kekuasaan didukung oleh Ikhwanul Muslimin. Tetapi, dalam

perjalanannya Nasser justru membubarkan Ikhwanul Muslimin, salah satunya karena ada perbedaan ideologi di antara keduanya. Nasser menjunjung tinggi sosialisme dan nasionalisme Arab, sementara Ikhwanul Muslimin konsisten dengan Islamisme.

23 John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (Ney Work: Oxford University Press, 1996), 174.

menerapkan pemerintahan demokratis berdasarkan prinsip kewarganegaraan, dan rakyat Mesir adalah bagian dari umat Arab yang berperan dalam membangun persatuan yang bersifat

komprehensif”. 24 Di dalam pasal 3 disebutkan, “kedaulatan berada di tangan rakyat, dan sumber kekuasaan. Rakyat menjalankan kekuasaan dan mengontrolnya, serta menjamin persatuan

nasional”. 25 Bahkan, di dalam konstitusi Mesir dinyatakan, larangan untuk membentuk partai politik berdasarkan agama, suku, dan ras tertentu. 26

Konstitusi ini harus diakui merupakan pilar demokrasi yang sangat penting, karena istilah demokrasi untuk pertama kalinya masuk dalam konstitusi. Demokrasi yang termaktub dalam konstitusi tersebut secara eksplisit hendak membangun demokrasi liberal, yaitu demokrasi yang menjamin hak sipil, pluralisme, dan hak asasi-manusi, di bawah payung prinsip

kewarganegaraan. 27 Meskipun demikian, konstitusi yang menjamin demokrasi liberal tersebut tidak

sepenuhnya disebut “liberal”, karena secara eksplisit juga memberikan ruang bagi lahirnya “demokrasi yang tidak liberal”, yaitu perihal Islam sebagai agama negara dan Syariat Islam sebagai sumber utama perundang-undangan. 28 Menurut Ali Mabruk, langkah tersebut diambil

oleh Sadat, sebagai langkah kompromi politik dengan kalangan Islamis untuk mempertahankan kekuasaannya. Di satu sisi, ia menerima usulan kalangan Islamis untuk menjadikan Islam sebagai agama negara dan Syariat sebagai sumber perundang-undangan, tetapi di sisi lain

sebagai kompensasinya Sadat mendapat menjadi Presiden seumur hidup. 29 Sadat tewas dalam sebuah insiden yang upacara kenegaraan di kalangan Islamis. Hosni

Mubarak melanjutkan kekuasaan Sadat pada tahun 1981. Sejak naik ke tampuk kekuasaannya, Mubarak melanjutkan demokrasi yang diwarisi oleh Anwar Sadat. Pada pemilu 1984, Mubarak melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya. Ikhwanul Muslim berkoalisi dengan Partai Wafd, dan mendapatkan 65% dari kursi parlemen, serta menjadi oposisi yang sangat kuat terhadap rezim Mubarak. Pada tahun 1987, Ikhwanul Muslimin membuat aliansi Islam dengan Partai

Lihat www.masr.gov.eg 25 Lihat www.masr.gov.eg

26 Lihat www.masr.gov.eg 27 Istilah “Demokrasi Liberal” dikenal oleh Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation

(Baltimore: John Hopkins University Press, 1999), 1-19. Lihat juga, Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven, CT: Yale University Press, 1991) dan David Beetham, “Liberal Democracy and the Limits of Democratization”, in Prospects for Democracy: North, South, East, West, edited by David Held (Cambridge:

Polity Press, 1993): 55. 28 Lihat www.masr.gov.eg

29 Wawasan penulis dengan Ali Mabruk, guru besar Filsafat di Universitas Cairo, pada tanggal 8 Februari 2012.

Buruh dan Partai Liberal. Mereka memenangkan 17% dari suara. 30 Mubarak menjadikan Partai Nasional Demokratis (NDP) sebagai kendaraan politik untuk mempertahankan kekuasaanya.

Pada masa ini, demokrasi sudah diterima sebagai sistem terbaik dalam membangun pemerintahan yang berdasarkan pemilihan umum. Harapannya, kedaulatan rakyat dapat diwakili melalui parlemen dan keseimbangan di antara lembaga-lembaga politik, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tetapi, dalam perjalanannya, lembaga eksekutif atau Presiden mempunyai kekuasaan absolute, sehingga mengendalikan dan mengontrol pemerintahan secara total. Hukum berada di tangan rezim di tangah penguasa. Kalangan oposisi diredam, bahkan dipenjara.

Problem demokrasi muncul, karena Mubarak masih bersikukuh untuk mempertahankan kekuasaannya dengan mencederai demokrasi. Pemilu dilaksanakan secara reguler, tetapi kualitasnya sangat rendah, karena NDP menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memenangkan pemilu dengan segala cara. Sementara itu, kalangan oposisi dipersempit ruang geraknya, bahkan Ikhwanul Muslimin diperlakukan secara diskriminatif, karena dianggap sebagai kelompok ekstremis yang mengganggu stabilitas politik.

Langkah represif tersebut memberikan persepsi yang buruk bagi demokrasi, khususnya bagi sebagian kelompok Islamis. Mereka tidak jarang mengaitkan demokrasi dengan kepentingan politik Barat. Apalagi demokrasi merupakan salah satu proyek politik luar negeri Amerika Serikat di negara-negara Timur-Tengah, termasuk Mesir. Di samping itu, demokrasi identik dengan politik otoriter Mubarak, yang tidak memberikan ruang yang sama terhadap pihak oposisi, khususnya kalangan Islamis. Bahkan, ada yang berpandangan antara Mubarak dengan kalangan Islamis saling mempengaruhi bagi keberlangsungan visi politik mereka masing-masing,

yang otoriter di satu sisi dan ekstrem di sisi lain. 31 Akhirnya, rezim Mubarak menemukan ajalnya. Angin revolusi yang berhembung

kencang di Negeri Kinanah ini telah menghempaskan rezim Mubarak yang dikenal bertangan besi itu. Meskipun demikian, harus diakui, bahwa angin revolusi yang menggulingkan rezim Mubarak memberikan harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi, karena di dalam konstitusi baru Mesir yang disahkan pasca-referendum 30 Maret 2011 ditanyakan dua hal penting sebagai fundamen untuk meningkatkan kualitas demokrasi: Pertama, mendorong tumbuhnya masyarakat sipil. Di dalam pasal 4 disebutkan, “Setiap warga negara mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan, yayasan, pergerakan, dan partai, sesuai dengan perundang-perundangan. Dilarang membentuk perkumpulan yang kegiatannya melanggar undang-undang, underground, militeristik. Di samping itu, juga dilarang membuat kegiatan atau partai politik berdasarkan

agama tertentu atau perbedaan ras dan suku.” 32

30 John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy (Ney Work: Oxford University Press, 1996), 180 31 Mohammed Zahid, The Muslim Brotherhood and Egypt’s Succession Crisis: The Politics of Liberasation and Reform in The Middle East (New York: I.B.Tauris, 2010), 16 32 Lihat www.masr.gov.eg

Kedua, membatasi masa jabatan kekuasaan untuk dua kali periode. Di dalam pasal 29 ditegaskan, “masa jabatan Presiden adalah empat tahun yang dimulai sejak diumumkan dalam

has il pemilu, dan tidak boleh mengikuti pemilihan Presiden lagi kecuali hanya satu pemilu lagi”. Di samping itu, keterlibatan sejumlah kelompok Islamis yang selama ini ditekan oleh

rezim Mubarak pasca-revolusi akan mendinamisasi demokrasi di satu sisi dan peran mereka di parlemen di sisi lain. Sebab, demokrasi tidak hanya memberi ruang terhadap mereka, tetapi juga mendesak mereka agar membuat kebijakan sesuai dengan konstitusi yang menekankan pentingnya prinsip kewarganegaraan. Tantangannya pasca-revolusi, bahwa Mesir belum memiliki konstitusi baru. Pertanyaannya, akankah konstitusi yang akan dibentuk pasca-revolusi akan semakin dekat dengan demokrasi liberal atau masih sama dengan konstitusi yang disahkan pada masa Sadat?

Pada akhirnya, menurut Saad Eddin Ibrahim, demokrasi di Mesir ditentukan oleh tiga aktor penting: Pertama, negara atau pemerintah. Sejauh ini pemerintah menjadi masalah dalam akselerasi demokrasi liberal. Kedua, kelompok Islamis (Islamis activists) yang kerapkali mempunyai ideologi yang bertentangan dengan demokrasi. Ketiga, aktivis demokrasi (democracy advocatesi), yaitu kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan hak asasi

manusia dan pluralisme. 33

Perdebatan Wacana Demokrasi

Mesir merupakan titik-temu di antara berbagai pilar peradaban, ya itu Fir’aun, Arab, Yunani, Afrika, dan Kristen Koptik. 34 Sebagai lokus titik-temu berbagai peradaban, maka

perdebatan mengenai demokrasi merupakan salah satu pemandangan yang menarik, sebagaimana tercermin dari dialektika antara kelompok Islamis dan sekuler.

Hal tersebut ditandai dengan suburnya pemikiran politik. Tradisi perdebatan intelektual sangat menonjol. Setidaknya ada dua kubu yang menonjol, yaitu kubu sekuler dan dan kubu Islamis. Kubu sekuler diwakili oleh Rafa’a Tahtawi, Taha Husein dan Ali Abdu al-Raziq.

Sedangkan kubu Islamis diwakili oleh Hasan al-Banna, Rashid Rid}a dan Sayyid Qut}b. Perdebatan tentang demokrasi dalam kaitannya dengan Islam bermula sejak tahun 1925,

ketika Ali Abdul Raziq menerbitkan buku, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip- Prinsip Pemerintahan). Abdul Raziq adalah seorang ulama lulusan al-Azhar, yang menjabat

sebagai hakim di pengadilan agama. 35 Di dalam karyanya, Ali Abdul Raziq menyatakan, “pemerintahan dalam negara Islam bisa dengan berbagai sistem: absolute atau terbuka, monarki

Saad Eddin Ibrahim, Egypt, Islam, and Democracy: Critical Essays (Kairo: The American University in Cairo Press, 2002), 267-268.

34 Lihat Milad Hanna, al- A’midah al-Sab’ah li al-Syakhsyiyyah al-Mishriyyah (Kairo: Nahdhah Mishr, 1996). 35 Muhammad Salim al- ‘Awwa, fi al-Nizam al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyyah (Kairo: Dar el-Shuruq, 2006), 113. Karya Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-H}ukm dilarang dari beredar, karena besarnya resistensi

dari para ulama al-Azhar, dan dicetak ulang pada tahun 1966 di Beirut dan pada tahun 1971 oleh Majalah al- Thali’ah yang beraliran marxis di Kairo.

atau republik, atau otoriter, konstitusional, demokratis, sosialis, dan bolshevik”. 36 Pandangan ini membuktikan, bahwa pemerintahan ala khilafah sudah tidak relevan lagi, karena Dinasti

Ottoman sudah berakhir sejak tahun 1923. Turki memilih sekularisme sebagai salah satu sistem pemerintahan pasca-jatuhnya sistem khilafah. Raziq secara implisit ingin mempopulerkan pemikiran politik sekuler ala Mustafa Kemal Attaturk.

Secara khusus, Raziq menyebut Muhammad Saw. sebagai utusan Tuhan yang misinya adalah pencerahan keagamaan yang berperan membangun solidaritas keagamaan, bukan

solidaritas politik. Ia mengutarakan, “Muhammad adalah utusan Allah Swt. untuk melaksanakan dakwah keagamaan, tidak ada pesan untuk menjadi raja atau pesan untuk mendirikan sebuah

negara.” 37 Ia menambahkan, “Islam adalah kesatuan agama, yang mana Nabi diutus untuk mengajak pada persatuan, dan ia berhasil melaksanakannya sebelum wafat. Dalam rangka

mencapai tujuan tersebut, ia berjuang menggunakan lisan dan kekuatan, sehingga meraih kemenangan atas pertolongan Allah Swt.” 38

Maka dari itu, Muhammad Saw. ditunjuk sebagai pemimpin bagi umatnya, bukan sebagai raja. Raziq menyatakan, “Kerasulan Nabi memang meniscayakan dia sebagai pemimpin bagi

umatnya, akan tetapi hal tersebut bukan berarti ia sebagai raja atau pemimpin atas rakyat. Maka janganlah dicampuradukkan antara kepemimpinan risalah dengan kepemimpinan politik.” 39 Ia

menambahkan, “Dengan demikian, kepemimpinan Nabi atas orang-orang mukmin merupakan kepemimpinan kerasulan, t 40 idak ada kaitnya dengan pemerintahan.”

Pandangan Raziq tersebut dianggap mewakili pandangan sekularistik, karena secara eksplisit meletakkan Muhammad Saw. bukan sebagai pemimpin politik, melaikan sebagai pemimpin keagamaan. Pada masanya, bahkan hingga saat ini, pandangan ini ditentang oleh mayoritas ulama dan intelektual Muslim di Mesir dan berbagai dunia Islam lainnya.

Pemikiran sekularistik ala Raziq, harus diakui mempunyai basis yang kuat hingga saat ini. Faruq al-Qadhi secara eksplisit menegaskan, bahwa sekularisme merupakan solusi atas

persoalan demokratisasi di Mesir saat ini. 41 Sementara itu, Anwar ‘Abd al-Malik menggunakan istilah yang lebih halus, bahwa kebangsaa sebagai solusi untuk membangun demokrasi. 42

Sebagai sebuah diskursus, sekularisme mendapatkan respons yang keras dari para pengkritiknya sejak awal gagasan Raziq dilontarkan. Para pengkritik Abdul Raziq berpandangan, bahwa Islam adalah agama dan negara. Selain sebagai akidah, Islam juga sebagai sistem yang

Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Beirut: Maktabah al-Hayat, 1966), 82. 37 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Beirut: Maktabah al-Hayat, 1966), 83.

38 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Beirut: Maktabah al-Hayat, 1966), 136. 39 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Beirut: Maktabah al-Hayat, 1966), 141. 40 Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Beirut: Maktabah al-Hayat, 1966),142. 41 Faruq al-Qadhi, Al- ‘Ilmaniyyah hiya al-Hall: min Ajli al-Muwathanah al-Haqqah wa al-Silm al-Ijtima’i

(Kairo: Dar al- ‘Ayn, 2010). 42 Anwa Abd al-Malik, Al-Wathaniyyah hiya al-Hall (Kairo: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2006).

mengatur kehidupan. Karena itu, setiap Muslim di Mesir wajib menerapkan Syariat sejak awal berhasil menaklukkan Dinasti Bizantium. 43 Para pengkritik Abdul Raziq memandang sistem

khilafah jatuh karena faktor eksternal, dan untuk memulihkannya kembali harus menghidupkan nalar “khilafah”, yang dalam pandangan Ikhwanul Muslimin dikenal dengan “Pan-Islamisme”. 44

Hasan al-Banna dan para aktivis Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, merupakan salah satu kritikus garda depan terhadap demokrasi. Ahmad Syukri, salah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin ter kemuka dalam majalah “al-Ikwan”, yang terbit pada tanggal 12 September 1942 dengan judul, “Khuthuwat Nafi’ah, menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang secara sepintas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada rakyat. Namun, jika dicermati dengan baik, kebebasan tersebut bersifat semu, karena kebebasan hanya digunakan oleh segelintir orang untuk memapankan kekuasaanya dan meredam kekuatan oposisi. Kekayaan negara hanya dinikmati oleh parlemen, eksekutif, polisi, dan tentara dengan mengatasnamakan konstitusi. Sedangkan barangsiapa yang hendak mengkritisi praktek demokrasi seperti itu, akan berakhir di hukuman gantung. Bahkan, demokrasi yang dipraktekkan di Amerika dan Perancis sebenarnya tidak merepresentasikan kehendak rakyat, melainkan justru berada di bawah

kepentingan para pebisnis kaum Yahudi. 45 Ikhwanul Muslimin berpandangan, bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang adil

hendaknya rakyat Mesir tidak merujuk kepada demokrasi, melainkan merujuk kepada Syariat Islam sebagai sumber utama. Demokrasi, menurut Ikhwanul Muslimin, pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk “imperialisme sistemik” terhadap dunia Islam, karena demokrasi dalam prakteknya hanya mengamini kepentingan Barat di Mesir.

Pada masa kontemporer, muncul sejumlah pemikir yang secara eksplisit menolak pandangan sekularistik ala Ikhwanul Muslimin tersebut. Di antaranya, Muh ammad ‘Imarah yang secara eksplisit menyampaikan empat pandangan kritis terhadap pemikiran Ali Abd al-Raziq: Pertama, pandangan Raziq muncul dalam konteks pertarungan antara kubu Dustur dan Wafd. Pikiran Raziq digunakan oleh Wafd untuk merangkul kubu Dustur agar melakukan oposisi terhadap mereka yang hendak mendukung ideologi “khilafah”. Kedua, pandangan sekular muncul, karena Raja Fuad sudah tidak memungkinkan lagi untuk menjadi “khalifah”, sehingga ideologi “khalifah” harus diakhiri dengan menggunakan teori evolusi Darwin. Ketiga, Raziq telah merevisi pandangannya, dan Al-Azhar telah mengembalikan posisinya sebagai guru besar. Keempat, Raziq telah memberikan dampak negatif terhadap keilmuan yang telah dilahirkan,

terutama karya-karya yang lahir pada masa sebelumnya. 46

Fathi al-Marshafi, Dirasat Tathbiq al- Syari’ah al-Islamiyyah fi Mishr (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi>, tanpa tahun), 11

44 Ladan Boroumand dan Roya Boroumand, Terror, Islam, and Democracy, Journal of Democracy, Volume 12, 2, April 2002, 2 45 Lihat Hamadah Mahmud Isma’il, Hasan al-Banna wa Jama’at al-Ikhwan al-Muslimin bayn al-Din wa al- Siyasah 1928-1949 (Kairo: Dar al-Shorouk, 2010), 152. 46 Muhammad ‘Imarah, Al-Islam wa Ushul al-Hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq: Dirasat wa Watsaiq (Beirut: Al- Muassasah al- ‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, 2000), 40-42.

Sebagai anti-tesa terhadap pikiran Razi q, Muh}ammad ‘Imarah semakin mengukuhkan ideologi “Islam sebagai solusi”, karena menurut dia hanya ideologi Islam yang mampu

menjawab persoalan dunia. Salah satu alasannya, karena Islam bersumber dari Tuhan dan berorientasi pada kemanusiaan. 47

Perdebatan tentang sekularisme dan Islamisme di Mesir hingga saat ini tidak pernah selesai. Kedua kubu mempunyai basis sosial yang kuat di dalam realitas sosial-politik dan sosial keagamaan. Namun, jika mau jujur, sejak rezim Anwar Sadat pada tahun 1981 hingga sekarang ini, konstitusi Mesir lebih dekat dengan pandangan kubu Islamis, yang menjadikan agama sebagai dasar negara. Dalam pasal 2 konstitusi Mesir dinyatakan, “Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi, dan prinsip-prinsip Syariat Islam sebagai sumber utama bagi

perundang- 48 perundangan.” Secara politis, konstitusi ini dapat meredam militansi dan ideologi kalangan Islamis yang menghendaki tegaknya pandangan kaum Islamis dalam relasi agama dan

negara. Tapi realitasnya, hingga sekarang ini Mesir tidak mempunyai hukum pidana dan perdata yang identik dengan Syariat Islam.

Satu hal yang menggembirakan, bahwa secara umum wacana demokrasi sudah diterima dengan baik. Setidak ada dua pemikir yang mulai membentangkan jalan kepada demokrasi, yaitu Fahmi Huwaydi dan Yusuf al-Qaradhawi. Huwaydi menegaskan, bahwa Islam dan demokrasi merupakan sesuatu yang bersifat taken for granted (al- ma’lum bi al-dlarurah). Umat Islam tidak mungkin hidup tanpa ajaran Islam, sebagaimana ia juga tidak bisa hidup tanpa demokrasi. Tanpa Islam, umat Islam akan kehilangan ruh, sedangkan tanpa demokrasi, umat Islam akan mengalami

kegagalan. 49 Sedangkan al-Qaradhawi menyatakan, pada hakikatnya, demokrasi tidak bertentangan

dengan Islam. Ia menganalogikan demokrasi dengan imam shalat. Seseorang dapat diangkat menjadi imam shalat jika para makmum menghedaki dan rela menjadi imam. 50 Pandangan yang

lain dari al-Qaradhawi perihal pentingnya demokrasi, yaitu Islam sangat menentang otoritarianisme, yang membuktikan Islam telah membentangkan jalan menuju demokrasi. Otoritarianisme dalam sejarah kemanusiaan telah menjadi penyebab maraknya ketidakadilan dan

korupsi. Karena itu, demokrasi menjadi sistem terbaik untuk menentang otorianisme. 51

Muhammad ‘Imarah, Hall al-Islam huwa al-Hall: Kayfa wa Limadha? (Kairo: Dar al-Shuruq, Cetakan II, 1998).

48 Lihat www.masr.gov.eg 49 Fahmi Huwaydi, Al-Islam wa al-Dimugrathiyyah (Kairo: Markaz Al-Ahram li al-Tarjamah wa al-Nashr,

1993), 5 50 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Dawlah fi al- Islam: Makanatuha Ma’alimuha Thabi’atuha Mawqifuha

min al-Dimuqrathiyyah wa al- Ta’addudiyyah wa al-Mar’ah wa Ghayr al-Muslimin (Kairo: Dar el Shuruq, Cetakan 3, 2001), 132. Al-Qaradhawi mengutip sebuah hadis untuk menegaskan kompatabilitas antara Islam dan demokrasi, yaitu “Tiga golongan yang shalatnya tidak akan meninggikan derajatnya sejengkal di atas rambutnya, yaitu orang yang mengimami shalat, tetapi para makmum membencinya.......”

51 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Dawlah fi al- Islam: Makanatuha Ma’alimuha Thabi’atuha Mawqifuha min al-Dimuqrathiyyah wa al- Ta’addudiyyah wa al-Mar’ah wa Ghayr al-Muslimin (Kairo: Dar el Shuruq, Cetakan

Akseptabilitas para pemikir muslim terhadap demokrasi ini merupakan modal yang sangat penting bagi akselerasi demokrasi liberal di Mesir. Meskipun harus diakui, tantangannya juga tidak kecil, karena para ulama umumnya masih menentas sekularisme. Padahal, dalam demokrasi liberal, sekularisme menjadi sebuah paham yang niscaya dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bersifat substantif.

Determinasi Militer

Militer merupakan salah satu elemen penting dalam jatuh-bangun demokrasi di Mesir. Kegagalan demokrasi harus diakui tidak bisa dilepaskan dari intervensi militer dalam ranah politik praktis. Setelah jatuh dari anasir Dinasti Ottoman, pada tahun 1952 Gamal Abdul Nasser

mengambilalih kekuasaan melalui kudeta militer. 52 Sejak berkuasa, Nasser membubarkan parlemen, memecat seluruh elemen sipil dalam

politik, dan membubarkan lembaga peradilan. Ia berhasil membuat rezim militer yang otoriter, yang didukung sepenuhnya oleh konstitusi pada masa itu. Sejak saat itu, Nasser berhasil memapankan kekuasaannya dan menerapkan politik represif terhadap kekuatan oposisi dan masyarakat sipil, khususnya Ikhwanul Muslimin. Mereka ditangkap, termasuk pimpinan mereka, Hasan al-Banna yang berakhir pada kematiannya, sedangkan organisasinya dilarang.

Di satu sisi, Nasser berhasil menanamkan ideologi sosialisme Arab dan membangun aliansi politik dengan Uni Sovyet, sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat. Pada masa Nasser, ide-ide sosialisme dan sekularisme tumbuh subur sebagai anti-tesa terhadap islamisme. Tetapi, harus diakui, harga yang harus dibayar mahal dari kebijakan tersebut yaitu matinya demokrasi. Budaya demokrasi yang meniscayakan penyemaian keragaman pandangan dan sikap politik digantikan oleh “politik sentralistik”, yang dikendalikan sepenuhnya oleh Gamal Abdul Nasser.

Petaka politik sentralistik yang diterapkan Nasser pada akhirnya ibarat senjata makan tuan. Kekalahan perang melawan Israel 1967, telah melumpuhkan cengkramannya dalam politik. Bersamaan dengan itu, Mesir menghadapi krisis ekonomi yang cukup serius, karena besarnya belanja di bidang militer. Sepanjang tahun 1975 dan 1977 meluas revolusi yang menuntut

mundurnya Nasser. 53 Maka, saat Nasser kalah melawan Israel dijadikan momentum untuk menggulingkan kekuasaan. Anwar Sadat melanjutkan kekuasaan Nasser.

Anwar Sadat tidak berhasil mempertahankan kekuasaanya, karena tewas di tangan kalangan Islamis, yang kecewa dengan kebijakannya berdamai dengan Israel pada tahun 1979. Determinasi militer semakin kokoh, saat Mubarak menggantikan Anwar Sadat.

Hosni Mubarak melanjutkan kebijakan pendahulunya, Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. Di satu sisi, dia memperkuat barisan militer di dalam ranah politik, tetapi juga melanjutkan perdamaian dengan Israel. Kebijakan yang dilanjutkan oleh Mubarak dari

3, 2001), 134-135. Pandangan ini juga pernah dikemukan oleh Abdurrahman al-Kawakibi dalam Thabai‘ al-Istibdad wa Mashari‘ al-Isti‘bad (Damaskus: Al-Awail, 2003), 27.

52 Ellis Goldberg, “Mubarakism Without Mubarak,” Foreign Affairs, 11 (February 2011), 111 53 Ellis Goldberg, “Mubarakism Without Mubarak,” Foreign Affairs, 11 (February 2011), 112 52 Ellis Goldberg, “Mubarakism Without Mubarak,” Foreign Affairs, 11 (February 2011), 111 53 Ellis Goldberg, “Mubarakism Without Mubarak,” Foreign Affairs, 11 (February 2011), 112