HASIL PENELITIAN
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Daerah Penelitian
1. Letak dan Luas
Daerah penelitian terletak di Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar. Jarak dari ibukota Kabupaten Karanganyar 18 km arah tenggara, dengan luas daerah mencapai 5567, 021 Ha yang terdiri dari 12 desa. Secara geografis Kecamatan Jumapolo terletak pada 0493500 – 0507600 mT dan 9151000 – 9144100 mU.
Batas–batas Kecamatan Jumapolo adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara
: Kecamatan Jumantono
b. Sebelah Selatan
: Kecamatan Jatipuro
c. Sebelah Barat : Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah Timur
: Kecamatan Jatiyoso
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peta Administrasi Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000.
2. Iklim
Iklim merupakan gabungan dari berbagai kondisi cuaca sehari–hari atau dikatakan iklim adalah rata–rata cuaca dalam periode waktu yang panjang (Wisnubroto, 1983: 68). Untuk mengetahui klasifikasi iklim suatu daerah, perlu diketahui data curah hujan di daerah penelitian tersebut.
Untuk mengetahui tipe curah hujan dapat ditentukan dengan mendasarkan pada nilai Q (Quotient), yaitu perbandingan rata– rata bulan kering dengan rata– rata bulan basah dikalikan 100%. Untuk menentukan bulan kering, bulan lembab, dan bulan basah digunakan kriteria sebagai berikut :
a. Bulan Kering, bila curah hujan dalam satu bulan kurang dari 60 mm,
b. Bulan Lembab, bila curah hujan dalam satu bulan berkisar antar 60 mm - 100 mm,
c. Bulan Basah, bila curah hujan dalam satu bulan lebih dari 100 mm.
PETA ADMINISTRASI
Berdasarkan nilai Q, maka dapat ditentukan tipe curah hujan, yang disajikan pada Tabel 8. di bawah ini. Tabel 8. Tipe Curah Hujan di Indonesia Menurut Schmidt dan Ferguson.
No. Nilai Q ( % )
Tipe Curah Hujan
Keterangan
1. 0 ≤ Q <14,3
A Sangat Basah
2. 14,3 ≤ Q < 33,3
B Basah
3. 33,3 ≤ Q <60,0
C Agak Basah
4. 60,0 ≤ Q < 100,0
D Sedang
5. 100,0 ≤ Q < 167,0
E Agak Kering
6. 167,0 ≤ Q < 300,0
F Kering
7. 300,0 ≤ Q < 700,0
G Sangat kering
H Luar Biasa Kering Sumber : Daljoeni, 1983 : 143
8. 700,0 ≤Q
Data curah hujan di daerah penelitian diperoleh dari Puslitbang Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Data curah hujan diambil 10 tahun yaitu mulai tahun 1997 sampai dengan 2006.
Data Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo selama 10 tahun (1997 - 2006) dapat dilihat dalam Tabel 9. berikut ini. Tabel 9. Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo Tahun 1997 – 2006.
No Bulan
1669 1640 1777 1751 14 Bulan Kering
5 2 3 4 1 5 5 6 4 5 15 Bulan Lembab
1 0 0 2 4 0 1 1 2 0 16 Bulan Basah
Dari data tersebut diperoleh rata–rata bulan kering sebesar 4,1 dan rata– rata bulan basah sebesar 6,9. Maka besarnya nilai Q adalah :
Rata–rata Bulan Kering (BK) Q = x 100 %
Rata–rata Bulan Basah (BB)
4,1 Q = x 100 % 6,9
Q = 59,42 % Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dan dengan melihat tabel nilai Q, maka Kecamatan Jumapolo memiliki tipe curah hujan C (Agak Basah). Grafik Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Tipe Iklim Kec. Jumapolo menurut Schmidt dan Ferguson
3. Tanah
Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya, 1992: 9).
Menurut pengertian tersebut iklim, jasad hidup, bahan induk, relief atau topografi, dan waktu memiliki pengaruh terhadap pembentukan tanah. Faktor iklim yaitu curah hujan dan suhu sangat dominan pengaruhnya terhadap pembentukan tanah. Semakin tinggi curah hujan dan suhu maka pelapukan akan berlangsung intensif. Faktor topografi meliputi kemiringan lereng terhadap sinar matahari akan mempengaruhi kecepatan pelapukan dan proses perkembangan tanah.
Faktor organisme yaitu manusia, vegetasi dan mikrobiologi di dalam tanah. Manusia dapat mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung misalnya pengolahan tanah, mempercepat pelapukan batuan dan perkembangan tanah. Sedangkan pengaruh tidak langsung seperti pemupukan dengan kotoran hewan, daun – daun dan penebangan hutan. Faktor waktu berperan dalam pelapukan dan pembentukan tanah maka semakin lama waktu maka semakin tebal tanah yang terbentuk.
Berdasarkan Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 yang disalin dari Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 yang diperoleh dari Fakultas Pertanian UNS, di daerah penelitian dijumpai 3 ordo tanah, yaitu :
1. Alfisol Tanah Alfisol merupakan tanah di mana terdapat penimbunan liat di horison bawah (horison argilik) dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Tanah Alfisol banyak tersebar di Desa Kwangsan, Bakalan, Ploso, dan Kedawung.
2. Oxisol Merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation rendah (kurang dari 16 me/100 gram liat). Banyak mengandung oksida–oksida besi atau oksida Al. di lapang tanah ini menunjukkan batas–batas horison yang tidak jelas. Tanah Oxisol banyak terdapat di Desa Jumapolo, Karangbangun, Jumantoro dan Kadipiro.
3. Inceptisol Merupakan tanah muda tetapi lebih berkembang daripada Entisol (inceptium permulaan). Umumnya mempunyai horison (bawah) kambik (bertekstur pasir sangat halus, atau lebih halus, ada petunjuk-petunjuk lemah sebagai horison argilik atau spodik tetapi belum memenuhi syarat untuk kedua horison tersebut). Karena tanah belum berkembang lanjut, kebanyakan tanah ini cukup subur. Tanah Inceptisol tersebar di Desa Jatirejo, Paseban, Kedawung, Giriwondo, dan Ploso.
4. Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan (Land Use) adalah setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989: 207).
Penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Sandy (1989: 87) menyatakan klasifikasi penggunaan lahan pada skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000 sebagai berikut:
a. Pemukiman Pemukiman adalah kelompok bangunan tempat tinggal penduduk yang dimaksudkan untuk dimukimi menetap.
b. Persawahan Persawahan adalah areal pertanian tanah basah atau sering digenangi air. Fisiknya di Indonesia dikenal sebagai tanah sawah, serta periodik atau terus– menerus ditanami padi. Termasuk dalam hal ini sawah–sawah yang ditanami tebu, tembakau, rosela, dan sayur–sayuran. Persawahan ini meliputi :
1. Sawah 2x padi setahun dan lebih,
2. Sawah 1x padi setahun dan palawija,
3. Sawah 1x padi setahun,
4. Sawah ditanami tebu/ tembakau/ rosela/ sayur– sayuran.
c. Pertanian kering semusim Pertanian kering semusim adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi, yang ditanami jenis tanaman umur pendek saja. Tanaman keras yang mungkin ada hanya pada pematang–pematang. Misal :
1. Tegalan, ialah yang penggarapannya permanen,
2. Ladang, ialah yang setelah digarap 3 tahun atau kurang kemudian ditinggalkan. Tanaman palawija atau padi,
3. Sayuran, ialah yang terus–menerus ditanami sayur–mayur,
4. Bunga–bungaan, ialah yang ditanami jenis–jenis bunga saja.
d. Perkebunan Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras dan jenis tanamannya hanya satu.
e. Kebun campur Kebun campur adalah areal yang ditanami rupa–rupa jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim dengan jelas jenis mana yang menonjol.
f. Hutan, terdiri dari :
1. Hutan lebat Hutan lebat adalah areal hutan yang ditanami berjenis–jenis pepohonan besar dengan tingkat pertumbuhan maksimum.
2. Hutan belukar Hutan belukar adalah areal hutan alam yang ditumbuhi berjenis–jenis pepohonan yang berbatang kecil.
3. Hutan sejenis Hutan sejenis adalah areal hutan alam atau buatan yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja tanpa memandang tingkat pertumbuhannya.
4. Hutan rawa Hutan rawa adalah hutan lebat yang berrawa–rawa, permukaan tanah mutlak tergenang selama enam bulan atau lebih dalam setahun dan pada waktu penggenangan surut tanah senantiasa jenuh air.
g. Kolam Kolam adalah penggunaan–penggunaan berupa kolam ikan air tawar, tambak, dan kolam penggaraman.
h. Tanah tandus Tanah tandus adalah areal yang tidak digarap karena fisiknya yang jelek atau menjadi jelek setelah digarap.
i. Padang Padang adalah areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman rendah dari keluarga rumput dan semak rendah.
j. Perairan darat, terdiri dari :
1. Danau/ situ
2. Rawa
3. Waduk k. Penggunaan lain Suatu areal yang tidak dapat digolongkan kepada yang manapun dari golongan a sampai dengan j tersebut di atas. Misalnya tanah baru dibuka dan hutan yang baru ditebang.
l. Penggunaan tambahan berupa kualitas jalan dan saluran pengairan. Pada dasarnya penggunaan lahan oleh manusia bertujuan untuk memperoleh produksi semaksimal mungkin pada suatu lahan. Dalam mencapai hasil yang semaksimal mungkin tersebut maka dalam penggunaan suatu lahan harus disesuaikan dengan kemampuan lahan, karena setiap lahan mempunyai kemampuan yang berbeda atau tidak sama (Rahim, 2000: 67).
Berdasarkan peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 yang bersumber dari peta Rupa Bumi Indonesia dan pengecekan di lapangan, penggunaan tanah di daerah penelitian adalah sebagai pemukiman, sawah, kebun, dan tegalan.
a. Permukiman Permukiman di sini diartikan sebagai lahan yang digunakan sebagai tempat tinggal penduduk. Jadi pada penelitian ini lahan yang digunakan untuk permukiman tidak diambil sebagai sampel karena variabel yang diteliti dianggap sama dengan variabel pada satuan lahan yang terbentuk oleh tiga variabel yang sama yaitu ordo tanah, batuan penyusun, dan kemiringan lereng.
Luas tanah yang digunakan untuk permukiman di daerah penelitian adalah 578,491 Ha atau 10,39 % dari luas Kecamatan Jumapolo.
b. Sawah Lahan yang digunakan untuk areal sawah adalah pada daerah yang datar sampai dengan daerah berbukit. Keseluruhan luas lahan yang digunakan untuk areal sawah di daerah penelitian mencapai 3.136 Ha atau 56,33 % dari luas Kecamatan Jumapolo.
c. Kebun campur Kebun campur adalah areal yang ditanami rupa–rupa jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim dengan tidak jelas jenis mana yang menonjol. Penggunaan lahan ini menempati daerah dengan luas 488,61 Ha atau 8,78 % dari luas Kecamatan Jumapolo.
d. Tegalan Tegalan adalah bentuk pertanian lahan kering semusim yaitu areal pertanian yang tidak pernah diairi yang ditanami dengan jenis tanaman umur pendek saja. Luas lahan yang digunakan untuk tegalan di daerah penelitian adalah 1.363,90 Ha atau 24,50 % dari luas Kecamatan Jumapolo.
Persebaran penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000.
5. Geologi
Geologi daerah penelitian merupakan batuan Gunungapi Lawu. Material penyusun batuan di daerah penelitian merupakan Endapan lahar Lawu yang berkomponen Andesit. Dalam penyusunan satuan lahan digunakan simbol Qlla, yaitu lahar Lawu yang komponennya terdiri dari andesit, basal dan sedikit batuapung bercampur dengan pasir gunungapi.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Satuan Lahan Daerah Penelitian
Satuan lahan adalah satuan bentang alam yang digambarkan serta dipetakan atas dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu (FAO, 1976 dalam van Zuidam and F.I.V. Zuidam Concelado, 1979: 303). Dipilihnya satuan lahan sebagai satuan pemetaan karena setiap satuan lahan mencerminkan adanya pengaruh sifat, watak tanahnya, relief dan lereng serta penggunaan lahan. Parameter penyusun satuan lahan Kecamatan Jumapolo selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
a. Parameter Penyusun Satuan Lahan
1) Tanah Satuan tanah yang digunakan adalah dalam kategori ordo. Ada tiga ordo tanah yang terdapat di daerah penelitian yaitu Alfisol, Oksisol, dan Inceptisol. Luas persebaran setiap ordo tanah dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Luas Ordo Tanah di Kecamatan Jumapolo
No Ordo tanah
Simbol
Luas Ha %
Sumber : Analisis Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Inceptisol merupakan ordo tanah terluas di Kecamatan Jumapolo yaitu seluas 2.502,601 Ha (44,95 %), sedangkan untuk ordo tanah Alfisol menempati daerah seluas 1.567,56 Ha (28,16 %) dan ordo tanah Oxisol menempati daerah seluas 1.496, 95 Ha (26,89 %). Untuk lebih jelasnya persebaran ordo tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000.
PETA TANAH
2) Formasi Batuan Berdasarkan litologinya, di Kecamatan Jumapolo hanya tersusun atas satu formasi batuan, yaitu Endapan Lahar Lawu (Qlla), yang umumnya berkomponen Andesit.
3) Kemiringan Lereng Parameter penyusun satuan lahan berikutnya adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng di Kecamatan Jumapolo ada lima kelas kemiringan lereng. Pembagian kelas kemiringan lereng ini didasarkan pada analisis dari peta rupa bumi Indonesia dan pengukuran di lapangan. Luas masing–masing kelas kemiringan lereng di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Tabel Luas Masing-masing Kelas Kemiringan Lereng Kec. Jumapolo. No Besar kemiringan Kelas kemiringan
Luas lereng
V 882,341 15,85 Jumlah
Sumber : Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000 Berdasarkan tabel di atas, daerah dengan kemiringan kereng 0–8 % merupakan daerah terluas, yaitu seluas 3.633,12 Ha, sedangkan daerah dengan kemiringan lereng 15–25 % adalah daerah tersempit dengan luas 257,7 Ha. Persebaran kemiringan lereng Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000.
4) Penggunaan Lahan Parameter penyusun satuan lahan yang keempat adalah penggunaan lahan. Bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian disajikan pada Tabel
12 berikut.
Tabel 12. Luas Masing–masing Penggunaan Tanah di Kecamatan Jumapolo No.
Penggunaan Lahan Luas Ha %
1. Tanah sawah
2. Tanah kering
a. Pemukiman
b. Tegalan
c. Kebun
3. Jumlah 5567,021 100,00 Sumber : Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo Skala 1 : 80.000
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa lahan yang digunakan sebagai usaha pertanian tanah basah (sawah) merupakan areal terluas yaitu sebesar 3.136 Ha, sedangkan tanah yang digunakan untuk areal kebun merupakan areal tersempit yaitu 488,61 Ha.
b. Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo berdasarkan tumpang susun (overlay) antara Peta Geologi skala 1 : 80.000, Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, dan Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 dapat dikelompokkan ke dalam 39 satuan lahan. Luasan masing-masing satuan lahan daerah penelitian disajikan pada Tabel 13.
Persebaran satuan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000. Satuan lahan ini digunakan untuk mengambil informasi di lapangan yang diperlukan untuk menghitung besarnya erosi di Kecamatan Jumapolo dengan cara pada setiap satuan lahan diambil satu titik sebagai titik sampel.
PETA LERENG
PETA PENGGUNAAN LAHAN
Tabel 13. Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo No Simbol Satuan
Luas Lahan
Pemerian Satuan Lahan
Ha %
1 Qlla-Alf-I-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 85,02 1,68 alfisol, kemiringan lereng datar, dengan
penggunaan tanah untuk kebun
2 Qlla-Alf-I-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 678,69 13,38 alfisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan lahan untuk sawah
3 Qlla-Alf-I-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 293,93 5,79 Alfisol, kemiringan lereng datar, dengan
penggunaan tanah untuk tegalan
4 Qlla-Alf-II-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 5,85 0,12 alfisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk kebun
5 Qlla-Alf-II-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 34,48 0,68 alfisol, kemiringan lereng miring, dengan
penggunaan tanah untuk sawah
6 Qlla-Alf-II-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 28,13 0,55 Alfisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
7 Qlla-Alf-III-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 10,30 0,20 alfisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk kebun
8 Qlla-Alf-III-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 53,34 1,05 Alfisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah
9 Qlla-Alf-III-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 13,24 0,26 Alfisol, kemiringan lereng sangat miring,
dengan penggunaan tanah untuk tegalan
10 Qlla-Alf-IV-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 47,20 0,93 alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk kebun
11 Qlla-Alf-IV-Sm Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 26,75 0,53 Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah semak
12 Qlla-Alf-IV-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 49,71 0,98 Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan
penggunaan tanah untuk sawah
13 Qlla-Alf-IV-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 17,92 0,35 Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
14 Qlla-Alf-V-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 23,00 0,45 Alfisol, kemiringan lereng sangat curam,
dengan penggunaan tanah untuk tegalan
15 Qlla-Ept-I-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 166,16 3,28 inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk kebun
16 Qlla-Ept-I-Sm Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 47,20 0,93 Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan
penggunaan tanah semak
17 Qlla-Ept-I-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 1222,93 24,11 Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk sawah
18 Qlla-Ept-I-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 327,61 6,46 Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
19 Qlla-Ept-II-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 6,65 0,13 inceptisol, kemiringan lereng miring, dengan
penggunaan tanah untuk kebun
20 Qlla-Ept-II-Sw Jenis batuan endapan lahar lawr, ordo tanah 127,41 2,51 Inceptisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah
21 Qlla-Ept-III-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 66,79 1,32 Inceptisol, kemiringan lereng sangat miring,
dengan penggunaan tanah untuk sawah
22 Qlla-Ept-IV-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 19,57 0,39 inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk kebun
23 Qlla-Ept-V-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 98,67 1,94 Inceptisol, kemiringan lereng sangat curam,
dengan penggunaan tanah untuk sawah
24 Qlla-Ept-IV-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 68,72 1,35 Inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
25 Qlla-Ept-IV-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 19,57 0,39 inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan
penggunaan tanah untuk kebun
26 Qlla-Ept-IV-Sw Jenis batuan endapan lawu, ordo tanah 79,86 1,57 Inceptisol. Kemiringan lereng curam, dengan
penggunaan tanah untuk sawah
27 Qlla-Ept-V-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 143,15 2,82 Inceptisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
28 Qlla-Ox-I-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 30,20 0,60 oksisol, kemiringan lereng datar, dengan
penggunaan tanah untuk kebun
29 Qlla-Ox-I-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 456,10 8,99 Oksisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk sawah
30 Qlla-Ox-I-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 225,28 4,44 Oksisol, kemiringan lereng datar, dengan
penggunaan tanahu utnuk tegalan
31 Qlla-Ox-II-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 5,98 0,12 oksisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah kebun
32 Qlla-Ox-II-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 37,83 0,75 Oksisol, kemiringan lereng miring, dengan 32 Qlla-Ox-II-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 37,83 0,75 Oksisol, kemiringan lereng miring, dengan
33 Qlla-Ox-II-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 8,51 0,17 Oksisol, kemiringan lereng miring, dengan
penggunaan tana huntuk tegalan
34 Qlla-Ox-III-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 5,30 0,10 Oksisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah
35 Qlla-Ox-III-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 8,73 0,17 Oksisol, keliringan lereng sangat miring, dengan
penggunaan tanah untuk tegalan
36 Qlla-Ox-IV-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 10,41 0,21 Oksisol, kemiringan lereng curam, dengan
penggunaan tanah untuk sawah
37 Qlla-Ox-V-Kb Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 77,53 1,53 oksisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah kebun
38 Qlla-Ox-V-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 225,22 4,44 Oksisol, kemiringan lereng sangat curam,
dengan penggunaan tanah untuk sawah
39 Qlla-Ox-IV-Tg Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah 205,70 4,05 Oksisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan
Sumber : Analisis Peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo Skala 1 : 80.000
Berdasarkan tabel di atas satuan lahan terluas adalah satuan lahan Qlla- Ept-I-Sw yaitu satuan lahan dengan jenis batuan endapan lahar Lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk tegalan. Luas satuan lahan ini adalah 1.222,93 Ha. Sedangkan satuan lahan tersempit adalah satuan lahan Qlla-Ox-III-Sw, yaitu satuan lahan dengan jenis batuan endapan lahar Lawu, ordo tanah Oxisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah. Luas satuan lahan ini adalah 5,30 Ha.
Satuan lahan di daerah penelitian disajikan pada Peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000.
2. Besar Erosi Tanah
Erosi adalah suatu proses di mana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan angin, air, atau gravitasi (Hardjowogeno, 1987: 128). Besarnya erosi yang diperkirakan dalam penelitian ini merupakan erosi yang dipercepat (accelerated erosion), yaitu erosi yang penyebab utamanya adalah aktivitas manusia.
PETA SATUAN LAHAN
a. Faktor-faktor Penyebab Erosi
1) Perhitungan Indeks Erosivitas Hujan (R) Erosivitas adalah kemampuan hujan yang dapat menimbulkan erosi. Hujan merupakan kelompok energi di mana kemampuan potensial hujan akan menyebabkan terjadinya erosi. Walaupun curah hujan memiliki kemampuan untuk menimbulkan erosi, tetapi tidak semua kejadian hujan menimbulkan erosi. Besar energi kinetik hujan bergantung pada jumlah hujan, intensitas, dan kecepatan jatuhnya hujan. Dari data hujan yang diperoleh selama 10 tahun (1997 - 2006) dapat diketahui besar curah hujan tahunan. Berikut data jumlah hujan per tahun di daerah penelitian. Tabel 14. Data Hujan per Tahun
No.
Tahun
Jumlah Hujan Tahunan (mm)
1.751 11 Rata – rata hujan tahunan (H)
1.998,3 Sumber : Data Klimatologi FP UNS
Besar erosivitas dihitung dengan persamaan dari Soemarwoto (2007:200) berikut ini:
R = 0,41 x H 1,09 R = 0,41 x ( 1998,3 ) 1,09
R = 1623,7 mm/th Jadi besar nilai erosivitas yang terjadi di Kecamatan Jumapolo adalah 1623,7 mm/th. Nilai erosivitas tersebut menunjukkan bahwa kemampuan hujan untuk mengerosi cukup besar.
2) Perhitungan Indeks Erodibilitas Tanah (K) Dua kejadian hujan dengan tingkat energi yang berbeda dapat menimbulkan erosi yang berbeda jika turun pada tanah yang sama, sebaliknya dua kejadian hujan dengan tingkat energi yang sama dapat menimbulkan erosi yang berbea jika turun pada tanah yang berbeda. Pada tingkat energi hujan yang sama, tanah yang memiliki nilai erodibilitas tinggi akan lebih mudah tererosi dibandingkan tanah yang memiliki nilai erodibilitas yang rendah.
Erodibilitas tanah merupakan kepekaan tanah terhadap erosi, yang tergantung pada sifat fisik dan kimia tanah. Berdasarkan hasil analisis mengenai tekstur, struktur, kandungan bahan organik dan permeabilitas tanah diperoleh nilai erodibilitas tanah (K) terendah 0,070 dan nilai K tertinggi 0,257. hasil perhitungan nilai erodibilitas tanah pada setiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
3) Perhitungan Indeks Faktor Lereng (LS) Besarnya kemiringan lereng ditentukan berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, sedangkan panjang lereng pada tiap sampel satuan lahan diukur berdasarkan pengukuran di lapangan.
Nilai indeks faktor lereng (LS) terendah adalah sebesar 0,07 dan tertinggi adalah sebesar 15,8. nilai LS tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 2.
4) Perhitungan Indeks Faktor Penutup Lahan (C) Faktor penutup lahan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dan dari Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan perhitungan, diperoleh nilai faktor penutup lahan (C) yang bervariasi, berkisar antara 0,01 – 0,8. Nilai C terendah terdapat pada satuan lahan dengan penggunaan lahan berupa sawah, sedangkan nilai C tertinggi terdapat pada satuan lahan dengan penggunaan lahan berupa tegalan. Perhitungan indeks faktor C tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 3.
5) Perhitungan Indeks Faktor Pengelolaan Lahan dan Konservasi Tanah (P)
Faktor pengelolaan dan konservasi tanah dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada aktivitas manusia yang menyangkut pola pergiliran tanaman dan tindakan konservasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan perhitungan, diperoleh nilai faktor P yang bervariasi, terendah adalah 0,04 dan nilai faktor P tertinggi adalah 1. Nilai P terendah (0,04) terdapat pada lahan dengan tindakan konservasi berupa teras bangku berkonstruksi baik, sedangkan nilai P tertinggi (1) terdapat pada lahan tanpa tindakan konservasi. Perhitungan indeks P tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 4.
b. Besar Erosi Tanah Kelima faktor penyebab erosi yang telah diketahui nilainya, yaitu erosivitas hujan, erodibilitas tanah, faktor lereng, faktor penutup lahan serta faktor tindakan konservasi, kemudian dimasukkan dalam persamaan A = R K LS C P untuk menghitung besarnya erosi tanah pada setiap satuan lahan di daerah penelitian.
Besar erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo berkisar antara 0,008 ton/ha/th sampai dengan 1276,802 ton/ha/th. Besar erosi tanah 0,008 ton/ha/th terjadi di Desa Jumapolo, Desa Bakalan, dan Desa Karangbangun pada satuan lahan 29, Qlla-Ox-I-Sw. Satuan lahan tersebut berada pada kemiringan lereng kelas I (0-8%) dengan penggunaan lahan berupa sawah yang diiringi dengan praktik konservasi berupa teras bangku berkonstruksi baik. Ketiga faktor tersebut, yaitu faktor lereng, penggunaan lahan dan tindakan konservasi sangat berpengaruh terhadap kecilnya laju erosi tanah yang terjadi.
Besar erosi tanah tertinggi yaitu dengan nilai 1276,802 ton/ha/th terjadi pada satuan lahan 27, Qlla-Ept-V-Tg meliputi Desa Giriwondo, Jumantoro, sabagian kecil Kadipiro dan Kedawung. Satuan lahan tersebut berada pada kemiringan lereng kelas V (>45%) dengan penggunaan lahan berupa tegalan dan penutup lahan berupa tanaman jagung. Kedua faktor tersebut, yaitu faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap besarnya Besar erosi tanah tertinggi yaitu dengan nilai 1276,802 ton/ha/th terjadi pada satuan lahan 27, Qlla-Ept-V-Tg meliputi Desa Giriwondo, Jumantoro, sabagian kecil Kadipiro dan Kedawung. Satuan lahan tersebut berada pada kemiringan lereng kelas V (>45%) dengan penggunaan lahan berupa tegalan dan penutup lahan berupa tanaman jagung. Kedua faktor tersebut, yaitu faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap besarnya
No Satuan Lahan
C P A 1 Qlla-Alf-1-Kb
Luas (ha)
LS
1 14,863 2 Qlla-Alf-1-Sw
0,15 0,094 3 Qlla-Alf-1-Tg
0,5 5,910 4 Qlla-Alf-2-Kb
1 29,811 5 Qlla-Alf-2-Sw
0,15 0,453 6 Qlla-Alf-2-Tg
0,75 60,148 7 Qlla-Alf-3-Kb
0,5 51,147 8 Qlla-Alf-3-Sw
0,15 0,639 9 Qlla-Alf-3-Tg
0,75 159,986 10 Qlla-Alf-4-Kb
0,4 62,236 11 Qlla-Alf-4-Sm
1 421,496 12 Qlla-Alf-4-Sw
0,04 0,421 13 Qlla-Alf-4-Tg
0,9 253,145 14 Qlla-Alf-5-Tg
0, 853,534 15 Qlla-Ept-1-Kb
1 11,707 16 Qlla-Ept-1-Sm
1 23,873 17 Qlla-Ept-1-Sw
0,15 0,068 18 Qlla-Ept-1-Tg
0,5 21,175 19 Qlla-Ept-2-Kb
0,5 60,158 20 Qlla-Ept-2-Sw
0,04 0,063 21 Qlla-Ept-3-Sw
0,04 0,155 22 Qlla-Ept-4-Kb
0,4 156,394 23 Qlla-Ept-4-Sw
0,15 0,542 24 Qlla-Ept-4-Tg
0,9 415,924 25 Qlla-Ept-5-Kb
0,4 684,318 26 Qlla-Ept-5-Sw
0,04 1,693 27 Qlla-Ept-5-Tg
0,9 1276,802 28 Qlla-Ox-1-Kb
1 5,689 29 Qlla-Ox-1-Sw
0,04 0,008 30 Qlla-Ox-1-Tg
1 103,429 31 Qlla-Ox-2-Kb
0,4 6,170 32 Qlla-Ox-2-Sw
0,04 0,076 33 Qlla-Ox-2-Tg
1 77,288 34 Qlla-Ox-3-Sw
0,04 0,198 35 Qlla-Ox-3-Tg
0,5 624,397 36 Qlla-Ox-4-Sw
0,15 1,606 37 Qlla-Ox-5-Kb
0,4 539,913 38 Qlla-Ox-5-Sw
0,15 2,631 39 Qlla-Ox-5-Tg
Sumber : Analisis Besar Erosi di Kecamatan Jumapolo
Berdasarkan klasifikasi besar erosi permukaan pada Tabel 5 di muka, maka besar erosi di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 5 kelas yaitu:
1. Kelas besar erosi tanah Sangat Ringan (SR) dengan besar erosi berkisar antara 0,008 – 14,863 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 3828,1 Ha (68,76%), persebarannya meliputi desa Jumapolo, Jatirejo, karangbangun, Ploso, Giriwondo, Kwangsan, Lemahbang, Bakalan, dan Kadipiro.
2. Kelas besar erosi tanah Ringan (R) dengan besar erosi berkisar antara 21,175 – 51,147 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 517,18 Ha (9,29%) yang tersebar di Desa Karangbangun, Ploso, Lemahbang, dan Jumantoro.
3. Kelas besar erosi Sedang (S) dengan besar erosi berkisar antara 60,148 – 156,394 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 422,36 Ha (7,59%) terjadi di Desa Ploso, Jumapolo, dan Lemahbang.
4. Kelas besar erosi tanah Berat (B) dengan besar erosi berkisar antara 253,145 – 421, 496 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 213,38 Ha (3,83%) terjadi di Desa Kedawung, Jumantoro, dan Jumapolo.
5. Kelas besar erosi tanah Sangat Berat (SB) dengan besar erosi berkisar antara 539,913 – 1.276,802 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 585,99 Ha (10,53%) terjadi di Desa Giriwondo, Kadipiro, bakalan, dan Jumantoro. Kelas besar erosi tiap satuan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Kelas Besar Erosi Tiap Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo.
No Satuan Lahan
Kelas Besar Erosi 1 Qlla-Alf-1-Kb
Luas (ha)
Besar Erosi
SR 2 Qlla-Alf-1-Sw
SR 3 Qlla-Alf-1-Tg
SR 4 Qlla-Alf-2-Kb
R 5 Qlla-Alf-2-Sw
SR 6 Qlla-Alf-2-Tg
S 7 Qlla-Alf-3-Kb
R 8 Qlla-Alf-3-Sw
SR 9 Qlla-Alf-3-Tg
S 10 Qlla-Alf-4-Kb
S 11 Qlla-Alf-4-Sm
B 12 Qlla-Alf-4-Sw
SR 13 Qlla-Alf-4-Tg
B 14 Qlla-Alf-5-Tg
SB 15 Qlla-Ept-1-Kb
SR 16 Qlla-Ept-1-Sm
R 17 Qlla-Ept-1-Sw
SR 18 Qlla-Ept-1-Tg
R 19 Qlla-Ept-2-Kb
SR 20 Qlla-Ept-2-Sw
SR 21 Qlla-Ept-3-Sw
SR 22 Qlla-Ept-4-Kb
S 23 Qlla-Ept-4-Sw
SR 24 Qlla-Ept-4-Tg
B 25 Qlla-Ept-5-Kb
SB 26 Qlla-Ept-5-Sw
SR 27 Qlla-Ept-5-Tg
SB 28 Qlla-Ox-1-Kb
SR 29 Qlla-Ox-1-Sw
SR 30 Qlla-Ox-1-Tg
S 31 Qlla-Ox-2-Kb
SR 32 Qlla-Ox-2-Sw
SR 33 Qlla-Ox-2-Tg
S 34 Qlla-Ox-3-Sw
SR 35 Qlla-Ox-3-Tg
SB 36 Qlla-Ox-4-Sw
SR 37 Qlla-Ox-5-Kb
SB 38 Qlla-Ox-5-Sw
SR 39 Qlla-Ox-5-Tg
Sumber : Analisis Besar Erosi di Kecamatan Jumapolo
PETA BESAR EROSI
3. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Kelas Tingkat Bahaya Erosi pada setiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo ditentukan berdasarkan besar erosi dengan mempertimbangkan faktor kedalaman tanah seperti yang telah disajikan pada Tabel 4 di muka. Uraian secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
a. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Ringan (SR) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Ringan (R) memiliki besar erosi tanah berkisar antara 0,008 ton/ha/th – 2,631 ton/ha/th dengan kedalaman tanah lebih dari 90 cm meliputi luas daerah sebesar 2953, 15 ha atau 58,63% dari luas total daerah penelitian, dengan penggunaan lahan berupa sawah. TBE Sangat Ringan ini terjadi karena faktor konservasi tanah yang cukup baik, yaitu berupa teras bangku berkonstruksi sedang dan teras bangku berkonstruksi baik.
Tingkat Bahaya Erosi Sangat Ringan ini tersebar di Desa Jumapolo, Ploso, Kwangsan, Lemahbang, Bakalan, Karangbangun, Kadipiro, sebagian kecil Giriwondo dan Jumantoro.
Gambar 4. Satuan Lahan dengan TBE Sangat Ringan di
Desa Kwangsan Desa Kwangsan
Tingkat Bahaya Erosi ini tersebar di Desa Karangbangun, Giriwondo, Ploso, dan Kwangsan.
Gambar 5. Satuan Lahan dengan TBE ringan di Desa Karangbangun. TBE pada daerah dengan penggunaan lahan berupa kebun termasuk
ringan karena pada lahan kebun, tanaman yang diusahakan merupakan tanaman tahunan sehingga akan membentuk pohon yang tinggi dengan perakaran yang kuat dan dalam, tajuk tanaman juga lebar. Adanya intersepsi air hujan oleh tajuk tanaman akan memperlambat limpasan dan memperkecil erosi.
Pada daerah dengan penggunaan lahan berupa sawah juga terjadi TBE yang ringan karena meskipun berada pada kemiringan lereng >25% namun Pada daerah dengan penggunaan lahan berupa sawah juga terjadi TBE yang ringan karena meskipun berada pada kemiringan lereng >25% namun
c. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sedang (S) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sedang (S) memiliki besar erosi berkisar antara 6,170 ton/ha/th – 103,429 ton/ha/th dengan kedalaman tanah 35 cm –
97 cm, dengan luas daerah 1022,84 ha (20,3%) kebun dan tegalan yang ditanami ubi kayu dan jagung. Tingkat Bahaya Erosi ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas I (0-8%) dan kelas II (8-15%).
Tingkat Bahaya Erosi ini tersebar di Desa Jumapolo, Ploso, dan Lemahbang.
Gambar 6. Satuan Lahan dengan TBE Sedang di Desa Jatirejo.
d. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Berat (B) Tingkat Bahaya Erosi Berat memiliki besar erosi berkisar antara 23,873 ton/ha/th – 624,397 ton/ha/th dengan kedalaman tanah berkisar antara 20 cm – 51 cm, meliputi luas daerah 196,51 ha (3,91%), dengan penggunaan lahan berupa kebun, semak, dan tegalan dengan tanaman penutup ubi kayu dan jagung. Tingkat Bahaya Erosi ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas I (0-8%), kelas II (8-15%), dan kelas III (15-25%). TBE Berat d. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Berat (B) Tingkat Bahaya Erosi Berat memiliki besar erosi berkisar antara 23,873 ton/ha/th – 624,397 ton/ha/th dengan kedalaman tanah berkisar antara 20 cm – 51 cm, meliputi luas daerah 196,51 ha (3,91%), dengan penggunaan lahan berupa kebun, semak, dan tegalan dengan tanaman penutup ubi kayu dan jagung. Tingkat Bahaya Erosi ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas I (0-8%), kelas II (8-15%), dan kelas III (15-25%). TBE Berat
Gambar 7. Satuan Lahan dengan TBE Berat di Desa Jumantoro
e. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Berat (SB) Tingkat Bahaya Erosi Sangat Berat memiliki besar erosi berkisar antara 62,236 ton/ha/th – 1276,802 ton/ha/th dengan kedalaman tanah berkisar pada
20 cm – 68 cm yang meliputi daerah seluas 676,92 ha (13,44%), dengan penggunaan lahan berupa kebun dan tegalan. TBE ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas IV (25-45%) dan kelas V (>45%). Persebarannya meliputi Desa Giriwondo, Kadipiro, Kedawung, Jumantoro, sebagian Desa Bakalan dan Jumapolo.
TBE Sangat berat ini terjadi karena faktor kemiringan lereng yang >25% dan penggunaan lahan berupa tegalan. Penggunaan lahan tegalan di lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman semusim menyebabkan seringnya tanah mengalami tindakan pengolahan tanah dan penyiangan. Hal ini dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur dan terbuka sehingga lebih memungkinkan terjadinya erosi. Jatuhnya butir- butir hujan yang langsung mengenai permukaan tanah akan mempercepat terjadinya erosi (Waluyaningsih, 2008:65).
Tanaman semusim pada umumnya memiliki daun yang tidak lebar sehingga intersepsi tanaman oleh tajuk sangat kecil. Adanya intersepsi yang Tanaman semusim pada umumnya memiliki daun yang tidak lebar sehingga intersepsi tanaman oleh tajuk sangat kecil. Adanya intersepsi yang
Persebaran Tingkat Bahaya Erosi lebih lengkap disajikan pada Peta Tingkat Bahaya Erosi di Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000. Hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi di Kecamatan Jumapolo disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Tingkat Bahaya Erosi Tiap Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo
No Satuan Lahan
Luas (ha)
Besar Erosi
Kelas Besar
Kelas Kelas Tingkat
Kedalaman Bahaya Erosi Efektif 1 Qlla-Alf-1-Kb
(ton/ha/th)
Erosi
K1 S 2 Qlla-Alf-1-Sw
K0 SR 3 Qlla-Alf-1-Tg
K0 R 4 Qlla-Alf-2-Kb
K1 B 5 Qlla-Alf-2-Sw
K1 R 6 Qlla-Alf-2-Tg
K0 S 7 Qlla-Alf-3-Kb
K1 B 8 Qlla-Alf-3-Sw
K0 SR 9 Qlla-Alf-3-Tg
K1 B 10 Qlla-Alf-4-Kb
K1 SB 11 Qlla-Alf-4-Sm
B K1 SB 12 Qlla-Alf-4-Sw
K1 R 13 Qlla-Alf-4-Tg
B K1 SB 14 Qlla-Alf-5-Tg
K3 SB 15 Qlla-Ept-1-Kb
K3 B 16 Qlla-Ept-1-Sm
K2 B 17 Qlla-Ept-1-Sw
K0 SR 18 Qlla-Ept-1-Tg
K1 S 19 Qlla-Ept-2-Kb
K2 B 20 Qlla-Ept-2-Sw
K0 SR 21 Qlla-Ept-3-Sw
K0 SR 22 Qlla-Ept-4-Kb
K3 SB 23 Qlla-Ept-4-Sw
K1 R 24 Qlla-Ept-4-Tg
B K2 SB 25 Qlla-Ept-5-Kb
K3 SB 26 Qlla-Ept-5-Sw
K0 SR 27 Qlla-Ept-5-Tg
K3 SB 28 Qlla-Ox-1-Kb
K1 R 29 Qlla-Ox-1-Sw
K0 SR 30 Qlla-Ox-1-Tg
K0 S 31 Qlla-Ox-2-Kb
K2 S 32 Qlla-Ox-2-Sw
K0 SR 33 Qlla-Ox-2-Tg
K1 B 34 Qlla-Ox-3-Sw
K0 SR 35 Qlla-Ox-3-Tg
K0 B 36 Qlla-Ox-4-Sw
K0 SR 37 Qlla-Ox-5-Kb
K3 SB 38 Qlla-Ox-5-Sw
K0 SR 39 Qlla-Ox-5-Tg
Sumber : Hasil Perhitungan
PETA TBE