Analisa Teoritis Gender berdasarkan Pandangan Psikologi Sosial

(1)

Analisa Teoritis Gender berdasarkan

 

   

Pandangan Psikologi Sosial

 

                                                   

oleh :

Meutia Nauly, M.Si, Psikolog

NIP : 1967112000002001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN………. 1

BAB II : PERAN GENDER ………... 5

1. Perspektif Gender………... 7

Gender sebagai Perbedaan. 10

Gender sebagai Struktur 11

Gender sebagai Proses Interaktif 11

2. Orientasi Gender 12

Model tradisional dan nontradisional 12

Androgini ……. 15

BAB III : STEREOTIP GENDER ……….. 19


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Isu-isu tentang gender, menurut Oskamp dan Costanzo (1993) merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Isu-isu ini mempengaruhi cara-cara bayi diperlakukan, norma-norma dan pola-pola sosialisasi untuk anak perempuan dan laki- laki, serta bekerjanya sistem pendidikan. Selanjutnya akan diuraikan berbagai aspek yang berkaitan dengan gender, dimulai dengan pengertian mengenai peran gender, maskulinitas dan femininitas; perspektif gender, sampai model tradisional dan model nontradisional dalam orientasi gender serta stereotip gender. Sebelum sampai pada perspektif gender akan diutarakan terlebih dahulu pengertian dari gender serta konsep- konsep yang terkait yakni peran gender, maskulinitas dan femininitas.

Secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi kromosom, hormonal, bentuk fisik, serta susunan kimiawi. Perbedaan biologis ini yang disebut sebagai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan perbedaan secara psikologis antara laki-laki dan perempuan diistilahkan dengan peran gender.

Pengertian gender secara umum menurut kamus diasosiasikan dengan jenis kelami

secara biologis, antara lalin Kamus Oxford (1994) mengartikan gender sebagai : sexual

classification; sex : the male and female gender. Sheriff dalam Gilbert (1993)

menyatakan jenis kelamin perempuan dan laki-laki sebagai bentuk biologis yang menjadi dasar dari system klasifikasi yang disebut gender. Secara tradisional kebanyakan dari


(4)

traits dan perilaku yang disebut gender ini diasosiasikan dengan jenis kelamin secara

biologis. Namun, kini gender lebih dipandang sebagai ‘constructed by social reality’

sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender bukan hanya mengacu pada jenis kelamin biologis, tetapi juga gambaran-gambaran psikologis, social dan budaya serta ciri-ciri khusus yang diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki- laki (Gilbert, 1993).

Kini, lanjut Gilbert, di area Psikologi lebih digunakan istilah gender dari pada jenis kelamin dalam mempelajari perilaku personal perempuan dan laki-laki dalam suatu konteks social. Unger & Crowfort (1992) memisahkan antara jenis kelamin dan gender, dengan pemahaman bahwa gender gender merupakan konstruksi social. Jenis kelamin

didefinisikan oleh Unger dan Crowfort (1992) as biological differences in genetic.

Sebagaimana spesies mamalia lainnya yang memiliki dua bentuk biologis yakni perempuan dan laki-laki, demikian pula manusia di dalamnya terdiri dari perempuan dan laiki-laki, bayi manusia dikatakan sebagai perempuan dan laki-laki di saat ia lahir, berdasarkan alat genital yang dimilikinya. Sedangkan definisi gender menurut Unger &

Crowfort adalah : …what culture make out of the ‘raw material’ of biological sex’.

Unger & Crowfort menyatakan penting untuk membedakan antara jenis kelamin dan gender (meskipun ke duanya sering digunakan bersamaan), disebabkan dua alasan : (1) menyamakan jenis kelamin dan gender dapat mengarahkan keyakinan bahwa perbedaan traits dan perilaku konsep jenis kelamin dan gender membantu kita untuk menganalisis keterkaitan yang kompleks antara jenis kelamin dan gender di kehidupan kita.


(5)

Semua orang memiliki peran-peran tersendiri di tengah masyarakatnya. Di antara peran tersebut, termasuk peran berdasarkan jenis kelamin, yang disebut peran gender. Sejak seseorang dilahirkan, lingkungan telah mulai mempersiapkan seorang anak untuk berperilaku yang dianggap lingkungan sesuai bagi perempuan dan laki-laki.

Pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan

harapan masyarakat didistilahkan sebagai peran gender (gender role) Hurlock

mengartikan (1984 : 456), mengartikan peran gender sebagai :”pattern of behaviour for

members of the two sexes approved and accepted by the social group with which the

individual is identified”. Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set

perilaku yang diharapkan (norma) untuk laki-laki dan perempuan. Menurut Corsini (1987) peran gender merupakan sekumpulan atribut, sikap, trait kepribadian dan perilaku yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin. Berdasarkan pengertian

budaya dari peran gender, Ward menyatakan : A culturally defined sex role reflects those

behaviours and attitudes that are generally agreed upon eithin a culture as being either

masculine or feminine (dalam Hurlock, 1984:456).

Sementara itu Hoyenga & Hoyenga (1993:9) mendefinisikan peran gender sebagai :

….”are those expected of, prscribed for, or proscribed for a given culture are the gender

or sexual stereotypes”.

Pengertian feminine menurut Hoyenga & Hoyenga (1993 :5) adalah :

Refers to any traits that is either experimentally seen more often in, to a greater extentent in, or (very rarely) only in females as opposed to males. When combined


(6)

with ‘stereotypical’, it refer to any trait that is culturally believed to be associated more often with females than with males in some particular culture or subculture.

Berarti feminine merupakan ciri-ciri atau traits yang dipercaya dan dibentuk oleh

budaya sebagai ideal bagi perempuan. Sedangkan difemininkan (to be femininized)

berarti meningkatkan trait feminine atau membuat trait feminine lebih banyak atau menjadi lebih penting. Contohnya dikebanyakan budaya, perawatan bayi dianggap feminine. Setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan dapat ditingkatkan femininitasnya misalnya dengan meningkatkan ketrampilan pengasuhannya. Sebaliknya dapat juga seseorang dikatakan kehilangan atau terhambat beberapa sifat femininnya. Pengertian maskulin sendiri mengacu pada definisi Hoyenga&Hoyenga (1993:6) berikut :

….parallel to those given form feminine : a gender relted difference occurring more often

in males, or a culturally defined masculine trait or role.

Dengan demikian, maskulin adalah sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki. Kebalikan dari difemininkan (ditingkatkan femininitasnya) berarti meningkatkan atau lebih menampilkan trait maskulinitas pada seorang laki-laki maupun perempuan. Misalnya asertif dianggap trait maskulin, dimaskulinkan dengan cara memberikan pelatihan asertif, agar meningkat trai maskulin ini pada seseorang atau pelatihan angkat berat agar lebih berotot yang berarti lebih maskulin.

Melalui berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender merupakan serangkaian atribut kepribadian yang meliputi sikap dan juga pola perilaku yang


(7)

dianggap cocok untuk laki-laki atau peremuan, dikaitkan dengan ciri-ciri femini dan maskulin sesuai dengan yang diharapkan masyarakatnya.


(8)

BAB II PERAN

GENDER

Menurut Stockard dan Johnson (1993), hampir semua masyarakat memiliki pembagian kerja yang didasarkan atas gender. Pembagian kerja ini memang penting untuk kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Meskipun setiap masyarakat memiliki peran-peran gender, namujn aktivitas-aktivitas untuk masing-masing tipe (maskulin dan feminine) tidaklah sama dan dapat pula berubah atau bergeser di antara generasi yang berbeda. Misalnya, pada beberapa masyarakat, perempuan yang berternak ungags dan hewan kecil, sedangkan pada beberapa masyarakat yang lainnya, perempuan yang mengerjakannya. Pada beberapa masyarakat, laki-laki yang mengurus perternakan susu, sementara di masyarakat lainnya, perempuan yang mengerjakannya. Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta antar waktu yang berbeda menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita.

Hurlock (1984) menyatakan kualitas yang menentukan pola perilaku yang diharapkan oleh anggota dari kedua jenis kelamin di dalam budaya tergantung dari apa yang


(9)

dianggap bernilai oleh budaya itu. Berbagai penelitian Antropologi menunjukkan adanya perbedaan peran gender pada masing-masing budaya, di antaranya yang paling sering diutarakan adalah penelitian Mead (dalam Rosaldo, 1983; Stocard dan Johnson, 1993). Studi ini merupakan suatu penelitian tentang peran social pada tiga masyarakat sederhana di kawasan Pasifik yaitu Arapesh, Mundugumor dan Tcambuli. Menurut Mead hanya sedikit perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan pada masyarakat Arapesh dan Mundugumor. Laki-laki dan perempuan Arapesh digambarkan menunjukkan perilaku yang di banyak masyarakat yang dianggap sebagai feminine, yakini pasif, kooperatif dan tidak agresif. Ibu dan ayah orang Arapesh, keduanya secara aktif terlibat dalam membesarkan bayi mereka. Sebaliknya di masyarakat Mundugumor, laki-laki dan perempuan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan gambaran maskulin yakni memiliki trait benci, agresif dan kaku.

Berlainan dengan ke dua masyarakat di atas, pada masyarakat Tcambuli jelas terlihat adanya perbedaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan justru kebalikan dari peran tradisional feminine dan maskulin dalam kultur Barat. Laki-laki digambarkan sebagai sensitive dan perhatian terhadap orang lain, dependen dan tertarik dengan seni misalnya dalam pembuatan cenderamata. Sementara perempuan mandiri, agresif dan memainkan peran sebagai pengontrol dalam pembuatan keputusan (Hetherington & Parke, 1986; Frieze, 1978; Weitzman, 1975).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan terdapat perbedaan pengertian antara jenis kelamin, yang berarti perempuan dan laki-laki secara biologis dengan gender, yang berarti gambaran-gambaran psikologis, social dan budaya serta ciri-ciri khusus yang


(10)

diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki. Sedangkan peran gender berarti traits dan perilaku yang diharapkan oleh budaya berdasarkan jenis kelaminnya, traits dan perilaku feminine untuk perempuan dan traits dan perilkau maskulin untuk laki- laki.

1. Perspektif Gender

Gilbert (1993) mengungkapkan perspektif yang relative baru tentang gender. Pada dasarnya perspektif ini beranggapan bahwa gender merupakan konstruksi social. Semua masyarakat mengenali perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, dan menggunakannya sebagai dasar dari perbedaan social. Di sebagaian masuarakat proses membentuk gender telah dimulai sejak manusia dilahirkan, misalnya dengan mulai memilihkan pakaian berwarna merah muda untuk bayi perempuan dan pakaian berwarna biru untuk bayi laki-laki, dan untuk selanjutnya mereka akan diperlakukan sebagai anak perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender memiliki pengertian yang lebih luas dari jenis kelamin secara biologis sebagaimana yang telah diungkapkan di awal dari tulisan ini.

Proses-proses yang berkaitan dengan gender menurut Unger & Crowford (1992) mempengaruhi perilaku, pemikiran dan perasaan seseorang, berpengaruh pada interaksi di antara individu dan membantu menentukan struktur institusi social. Dengan demikian, proses-proses untuk membedakan perempuan dan laki-laki memang diciptakan. Berbarengan dengan proses pembedaan laki-laki dan perempuan, ditentukan pula pembagian kekuasaan. Proses-proses ini dapat dipahami melalui peranan gender pada


(11)

tiga tingkatan, yakni : tingkatan individu; tingkatan interpersonal; dan tingkatan struktur social.

Pada tingkatan individu, masyarakat umumnya cenderung menghubungakan traits, perilku dan minat tertentu dengan salah satu jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Traits, perilaku maupun minat ini diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu dikotomi. Perempuan dikaitkan dengan perilaku atau trait yang feminine, sedangkan kebalikannya laki-laki yang maskulin, namun tidak ke duanya. Padahal, bila meninjau pada kenyataan, banyak dari traits, perilaku bahkan ciri fisik yang dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan yang menggambarkan kebalikan dari apa yang dianggap sebagai feminine dan maskulin. Dalam hal ini berarti gender biasanya

dihunakan sebagai frame (kerangka) yang merefleksikan bentuk dari stereotip (Unger &

Crowford, 1992). Para ahli juga sudah meneliti tentang androgini, yang menggambarkan laki-laki dan perempuan yang memiliki baik trait yang maskulin maupun feminine. Dalam hal ini gender di lihat dalam multi dimensi, bukan lagi dimensi tunggal, yang menunjukkan dikotomi, seperti sebelumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan diuraikan pada bagian orientasi gender.

Pada tingkatan ke dua, yakni tingkat interpersonal, gender merupakan pertanda (cue).

Gender sebagai pertanda ini, memberitahu kita bagaimana berperilaku menghadapi orang lain dalam hubungan social. Berdasarkan apa yang ditampilkan seseorang kita memutuskan apakah seseorang itu perempuan atau laki-laki. Melalui klassifikasi yang kita lakukan, kita memutuskan bagaimana kita berperilaku meghadapinya. Menurut berbagai penelitian, perbedaan perlakuan menghadapi perempuan dan laki-laki meskipun


(12)

bisa jadi di luar kesadaran memang nyata adanya. Contohnya salah satu penelitian dari Eccles (dalam Unger&Crowford, 1992) yang dilakukan melalui observasi terhadap anak-

anak Elementary School, menyimpulkan bahwa meskipun guru-guru meyakini bahwa

mereka memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara sama, ternyata anak laki-laki menerima lebih banyak perhatian, baik positif maupun negative dari pada anak perempuan. Dalam hal ini menurut Unger&Crowford, pengkategorisasian jenis kelamin, bukan hanya media melihat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan tapi juga suatu cara menciptakan perbedaan. Kita bukan hanya melihat bahwa laki-laki dan perempuan merupakan kategori yang berbeda, namun melalui kategorisasi itu, kita sekaligus menciptakan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan pada tingkatan ke tiga yakni struktur social, gender merupakan suatu system hubungan kekuasaan. Menurut Gilbert (1993) gender dapat dipandang sebagai suatu system kalssifikasi social yang mempengaruhi akses untuk kekuasaan dan sumber- sumber daya. Laki-laki lebih memiliki kekuasaan public di kebanyakan masyarakat, kontrol pemerintahan, hukum dan kepentingan publik. Di Indonesia hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perempuan yang berada di jabatan pemerintahan, baik pemimpin daerah, mulai dari lurah, bupati, gubernur dan lain-lain.

Perspektif gender ini tidak berfokus pada variabel-variabel intrapsikis yang diasumsikan terkait dengan jenis kelamin biologis dalam menerangkan perilaku manusia. Perspektif gender ini menyatakan bahwa perilaku manusia muncul dari suatu jaringan interaksi antara keberadaan perempuan dan laki-laki secara biologis dan lingkungan social. Ada dua contoh yang diungkapkan oleh Gilber (1993), yakni : (1) perempuan dan


(13)

laki-laki sama-sama menjadi orang tua, tetapi lebih banyak perempuan yang terlibat pengasuhan anak. Berdasarkan perspektif gender, perempuan membesarkan anak lebih karena harapan social diasosiasikan dengan jenis kelamin. Harapan social itu menggariskan bahwa perempuan melakukan aktivitas pengasuhan lebih banyak dari pada laki-laki. Jadi, secara budaya, perempuan mengasuk anak; (2) perempuan dan laki-laki sama-sama menerima ijazah perguruan tinggi, namun ½ dari laki-laki memulai pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi (Gilbert, 1993). Berdasarkan perspektif gender, laki-laki mendapatkan gaji lebih tinggi bukan karena laki-laki lebih mampu dari perempuan, tetapi karena lingkungan kerja lebih memberi reward (penghargaan) pada laki-laki. Jadi secara budaya, laki-laki ‘pencari nafkah’.

Selanjutnya menurut Gilbert, dalam menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan gender, perspektif gender ini melihat gender yang berperan sebagai perbedaan, struktur dan proses.

Gender sebagai Perbedaan

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gilbert (1993), perbedaan pengalaman berdasarkan konteks sosiokultural pada anak perempuan dan laki-laki selama masa perkembangan anak dan remaja merupakan hal yang penting untuk memahami penemuan-penemuan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perspektif gender ini berusaha menjelaskan bahwa apa yang ditemukan sebagai perbedaan trait atau perilaku di antara anak laki-laki dan perempuan, harus dipahami berdasarkan latar belakang dari perbedaan pengalaman yang dijalani oleh anak laki-laki dan perempuan di


(14)

lingkungan masyarakatnya. Misalnya penemuan tentang anak perempuan memiliki kecemasan yang lebih tinggi terhadap matematika dari pada anak laki-laki. Perbedaan yang tampil ini bukan semata-mata sebagai perbedaan, namun harus dilihat berdasarkan pengalaman adanya perbedaan anak laki-laki dan perempuan ketika menerimanya. Dengan demikian perbedaan yang tampil seharusnya dipahami sebagai perbedaan gender bukan perbedaan jenis kelamin, berkaitan dengan contoh, maka perbedaan tingkat kecemasan terhadap matematika di antara anak laki-laki dan perempuan bukanlah menunjukkan perbedaan jenis kelamin, namun merupakan perbedaan gender.

Gender sebagai Struktur

Sheriff (dalam Gilbert, 1993) memandang isu gender bukan sekedar terkait dengan individu perempuan, laki-laki dan sosialisasi, namun juga melibatkan struktur- struktur social dan prinsip-prinsip organisasi. Contohnya seperti fenomena yang disebut

glass ceiling effect yang juga dikemukakan oleh Baron & Byrne (1997), yakni adanya

hambatan yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan, yang didasarkan atas bias- bias sikap atau bias organisasi yang mencegah perempuan untuk sampai pada posisi

puncak atau top management.

Gender sebagai Proses Interaktif

Teori-teori gender ini menurut Gilbert (1993) memandang fenomena hubungan antar jenis kelamin sebagai proses yang dipengaruhi oleh pilihan individu, dicapai dengan tkeanan situasi dan hanya dapat dipahami pada konteks interaksi social.


(15)

Studi dari Eccles dan rekan (Gilbert, 1993) mengungkapkan bagaimana harapan orang tua yang berkaitan dengangender mempengaruhi partisipasi pada aktivitas stereotip peran gender seperti matematika dan olah raga. Harapan-harapan orang tua mengubah persepsi dan atribusi terhadap kemampua dan minat anak-anaknya. Misalnya anak perempuan memperoleh nilai bagus pada matematika, dianggap karena kerja keras, sedangkan anak laki-laki karena memang memiliki bakat matematika dan hal ini mempengaruhi persepsi diri dari si anak dan pilihan aktivitasnya.

Dapat disimpulkan bahwa pespektif gender adalah suatu perspektif yang mengutarakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang telah terberi berdasarkan kondisi biologis perempuan dan laki-laki, namun gender merupakan hasil dari konstruksi masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dari masyarakat tersebut.

Untuk selanjutnya akan diuraikan dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan femininitas dan maskulinitas.

2. Orientasi Gender

Bem (1978) menyatakan ada dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan femininitas dan maskulinitas, dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu model tradisional dan model nontradisional.

Model pertama yang disebut model tradisional, yang memandang femininitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Sedangkan yang ke dua memandang femininitas dan maskulinitas bukanlah suatu dikotomi, sehingga memungkinkan untuk


(16)

pengelompokan yang lain, yakni androgini, dimana seseorang perempuan atau laki-laki bisa memiliki ciri-ciri femininitas sekaligus ciri-ciri maskulinitas.

Model tradisional dan model nontradisional

Model tradisional berpandangan bahwa maskulinitas dan femininitas dipandang sebagai titik-titik yang berlawanan dalam suatu kotinum yang bipolar. Pengukuran- pengukuran untuk melihat femininitas dan maskulinitas didasarkan atas pandangan tersebut, sehingga derajat yang tinggi dari maskulinitas menunjukkan derajat yang rendah dalam femininitas (Betz dan Fitzegerald, 1987).

Feldman (dalam Walsh, 1985) menyatakan perempuan ideal adalah yang memiliki ciri-ciri femininitas yang tinggi, yakni : berorientasi pada keluarga dan anak- anak; hangat; pernuh pengertian; lemah lembut dan tulus; peka terhadap perasaan orang lain; penuh perhatian; baik budi dan penuh kasih sayang; ia seorang yang pemurung; mudah tergugah; emosional; subyektif; tidak logis; ia juga seorang yang suka mengeluh dan merajuk; lemah; putus asa; rapuh; mudah tersinggung; perempuan juga merupakan seorang yang submissive; yang mengalah dan tergantung pada orang lain.

Menurut Brenner (1976) keberhasilan merupakan salah satu dimensi dari peran gender maskulin. Trait maskulin lain menurut Broverman dan kawan-kawan adalah memiliki karakteristik agresif, mandiri, tidak emosional, obyektif, tidak mudah dipengaruhi orang lain, ia juga seorang yang dapat mengambil keputusan, percaya diri, logis, kompetitif dan ambisius (dalam Lammanna & Reidmann, 1981).


(17)

Menurut model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif dihubungkan dengan kesesuaian antara orientasi peran gender dengan jenis kelamin seseorang. Seorang laki- laki akan mempunyai penyesuaian diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan femininitas yang rendah. Dan sebaliknya perempuan yang memiliki penyesuaian diri yang positif adalah perempuan yang menunjukkan femininitas yang tinggi dan maskulinitas yang rendah (Kagan, 1964).

Sebagai konsekuensi dari model tradisional dengan pengukuran yang bipolar, maka individu-individu yang memiliki ciri-cir maskulinitas dan femininitas yang relative seimbang tidak akan terukur. Hal tersebut menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model orientasi yang nontradisional.

Model nontradisional mulai dikembangkan tahun 1970-an oleh sejumlah penulis (antara lain Bem, 1974; Constantinople, 1973; Spence, Helmrich & Stapp, 1974) yang menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas lebih sesuai bila dikonseptuasilsasikan terpisah, karena merupakan dimensi yang independen.

Berdasarkan konsep ini Bem (1974) menyimpulkan empat klasifikasi kepribadian berdasarkan respons seseorang terhadap skala maskulinitas dan femininitas pada Bem Sex Role Inventory (BSMRI), yaitu :

(1) Sex-typed

Yakni seorang laki-laki yang mendapat skor tinggi pada maskulinitas dan mendapat skor rendah pada femininitas. Pada perempuan yang mendapat skor tinggi pada femininitas dan skor yang rendah pada maskulinitas.


(18)

(2) Cross-sex-typed

Yakini laki-laki yang memperoleh skkor tinggi pada femininitas, namun memiliki skor yang rendah pada maskulinitas. Sedangkan pada perempuan memiliki skor yang tinggi pada maskulinitas dan skor yang rendah pada femininitas.

(3) Androgini

Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor tinggi baik pada maskulinitas maupun femininitas.

(4) Undifferentiated

Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor rendah baik pada maskulinitas maupun femininitas.

Berdasarkan model nontradisional ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternative dari peran yang bertolak-belakang antara laki-laki dan perempuan, yakni tipe kepribadian androgini.

Androgini

Kata androgini sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti laki-laki dan perempuan. Kini androgini diistilahkan kepada laki-laki maupun perempuan yang memiliki kualitas maskulinitas dan kualitas femininitas yang tinggi.

Pendapat yang membuka kemungkinan tentang androgini ini sebenarnya telah ada sejak masa perkembangan aliran/teori-teori Psikoanalisis. Jung (dalam Sobel, 1981)


(19)

menyatakan bahwa di dalam diri seorang perempuan terdapat aspek maskulin yang disebut animus atau logos dan di dalam diri seorang laki-laki terdapat aspek feminine yang disebut anima atau eros.

Logos adalah prinsip maskulin yang merupakan prinsip untuk memberi bentuk, menyusun keteraturan, aspirasi untuk menguasai dan mengembangkan trait kompeten. Sedangkan eros dihubungkan dengan prinsip keterikatan, kepekaan, sifat responsive, kecenderungan untuk memberi kasih saying kepada sesama manusia serta pengasih. Logos dan eros ini, untuk seorang laki-laki digambarkan sebagai Jung dalam suatu skema, dimana logos merupakan daerah yang terang, sedangkan eros di daerah yang gelap, sebagai berikut :

Menurut Jung, perkembangan khas seorang laki-laki ke arah logos sedangkan perkembangan khas seorang perempuan kea rah eros. Menurut Hall & Lindzey (1985), seorang manusia yang utuh, yang dilambangkan sebagai suatu lingkaran merupakan perkembangan diri yang utuh, (fullness of selfhood). Seorang manusia yang utuh tidak membatasi diri, sebagai laki-laki hanya mengarah pada logos, atau perempuan hanya mengarah pada eros sja, namun mengembangkan eros dan logos bersamaan dalam satu individu.

Dengan kata lain, pengembangan diri yang utuh berarti mengembangkan potensi- potensi yang ada di dalam diri dan mewujudkannya sebagai aktualisasi diri. Adanya eros dan logos di dalam diri manusia memberikan kemungkinan baik pada laki-laki maupun perempuan untuk mengembangkan potensinya dalam dua aspek ini.


(20)

Pengembangan diri kea rah logos dan eros ini memungkinkan adanya ke dua karakter feminine dan maskulin di dalam diri seseorang, yang berarti androgini. Dengan demikian dikatakan seorang yang androgini lebih mengembangkan potensi dirinya, disbanding seseorang yang mengembangkan hanya karakter feminine atau maskulin saja.

Bem (Betz & Fitzegerald, 1980:62) menggambarkan individu yang memiliki kepribadian androgini sebagai berikut :

…a balance of masculine and feminine characteristic was postulated to be advenageous because balanced or ‘androgynous’ individual would be freer of artificial sex role-related constraints on the extent of their behavioral and copying repertoires.

Menurut Bem, secara teoritis orang dengan kepribadian androgini dapat mengadaptasi perilaku-perilaku maskulin, misalnya asertif, aktif, dapat memecahkan masalah dan mengadaptasi perilaku feminine misalnya dapat mendukung orang lain secara emosional sesuai dengan situasi tertentu, tanpa perasaan tidak enak.

Wrightsmen dan Deaux (1981) menyebutkan bahwa seseorang yang androgini cenderung lebih kompeten, yakin pada diri sendiri dan memiliki harga diri yang tinggi. Selain itu dalam beberapa situasi cenderung fleksibel dan efektif dalam hubungan interpersonalnya. Penelitian dari Spence dan Helmreich (dalam Wrightsman dan Deaux, 1981) tentang androgini menunjukkan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang androgini cenderung memiliki motivasi untuk berprestasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang feminine ataupun maskulin. Myers dan Lips (dalam Wrightsmen dan Deaux, 1981) juga melaporkan bahwa perempuan yang androgini lebih menyukai olah raga kompetitif seperti bulu tangkis, tenis dan bermain bola dibandingkan


(21)

dengan perempuan yang feminine. Seorang laki-laki dan perempuan yang androgini juga bertingkah laku dengan cara yang sama dalam menghadapi laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang androgini lebih aktif dan menyenangkan dari pada interaksi antara laki-laki maskulin dan perempuan feminine. Dengan demikian, berarti seorang yang androgini secara potensial dapat berfungsi efektif dalam berbagai situasi dengan tingkat kesehatan psikologis yang tinggi.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang androgini kemungkinan akan lebih dapat mengembangkan potensi dirinya, oleh karena itu individu yang androgini secara psikologis akan dapat lebih sehat dibandingkan dengan yang feminine atau maskulin saja.

Meskipun cukup menjanjikan bagi perkembangan diri yang sehat bagi perempuan dan laki-laki, pada kenyataannya konsep ini, dalam perjalanannya menunjukkan berbagai kelemahan, terutama berkaitan dengan alat ukur yang digunakan. Kritik yang mendasar terhadap konsep ini diungkapkan oleh Lott (dalam Unger & Crowford, 1992) bahwa konsep androgini justru menguatkan keyakinan bahwa perilaku memiliki dua gender maskulin dan feminine. Contohnya seseorang yang menggambarkan dirinya dapat diandalkan, ambisius dan analitis di sekor sebagai maskulin pada skala androgini. Kritik dari Lutt adalah mengapa ia harus dilabel sebagai maskulin, bukankah lebih tepat dikatakan ia seorang yang dapat diandalkan, ambisius dan analitis. Dengan demikian pelabelan sifat-sifat sebagai maskulin dan feminine malah tidak sejalan dengan usaha membuat perilaku menjadi non-gender.


(22)

BAB III Stereotip

Gender

Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari perilaku diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya akan diuraikan bagian dari teori atribusi yang relevan dengan studi tentang stereotip gender sebagai bagian dari pembahasan gender pada tulisan ini.

Atribusi merupakan asumsi-asumsi mengenai mengapa orang berperilaku tertentu. Belief tentang perbedaan penyebab ini mengarah pada perbedaan harapan terhadap laki-


(23)

laki dan perempuan. Melalui atribusi inilah stereotip berperan sebagai mekanisme control social. Perbedaan atribusi terhadap laki-laki dan perempuan ini hadir pada area perilaku yang luas dan bervariasi, yang membantu membentuk dasar dari diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan (Unger & Crowford, 1992).

Penyebab perbedaan ini, salah satunya adalah adanya perbedaan jumlah akses informasi yang berbeda dari diri si actor dan orang lain. Mereka memiliki informasi yang sedikit mengenai perubahan perilaku orang lain sebagai fungsi dari perbedaan peran atau konteks social (Unger & Crowford, 1992). Selanjutnya mereka menyatakan, menggunakan gender sebagai basis dalam membuat atribusi berarti mengubah pandanagan kita tentang penyebab perbedaan gender. Berdasarkan pandangan ini, pertama orang-orang menjadi dokter atau perawat, dan kekmudian membentuk sifat-sifat kepribadian yang ‘sesuai’ dengan pekerjaan ini.

Karena kita memiliki pengalaman yang terbatas terhadap laki-laki dan perempuan pada peran yang sama, kita cenderung menerangkan perbedaan gender sebagai hal yang disposisional meskipun hal itu bisa jadi suatu respons terhadap batasan social. Menurut Unger dan Crowford hal inilah yang menyebabkan orang-orang tercengang bila perempuan eksekutif atau atlit berperilaku seperti laki-laki yang memiliki peran yang sama.

Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki selalu dianggap menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan tidak cocok (peran gender) terhadap laki-laki dan perempuan. Namun penelitian-penelitian


(24)

secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze, 1978). Penelitian-penelitian lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Myers (1994). Menunjukkan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sesuai dengan pendapat Mead (1978), bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender.

Menurut Wrightdmrn (1981) steretip merupakan konsep yang relative kaku dan luas di mana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari kelompok tersebut.

Stereotip peran gender menurut Jenkins dan McDonald (1971) merupakan generalisasi pengharapan mengenai aktivigtas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (1992) stereotip peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi social yang ada dalam sturktur kognisi kita. Stereotip gender digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek sosiologis/antropologis/kultural dari ciri atau sifat maskulin dan feminine.

Namun, menurut Vob Baeyer, Sherk dan Zanna (dalam Hoyenga& Hoyenga, 1992) stereotip gender pribadi yang dimiliki seseorang, dapat berbeda dari apa yang dimiliki atau diterapkan oleh kebanyakan orang di budayanya. Mungkin saja ada ketidak- sesuaian antara perilaku seseorang dan peran-peran stereotip yang digambarkan oleh


(25)

budayanya tentang gender. Pemahaman seseorang akan perbedaan ini dapat mempengaruhi bagaimana ia menampilkan dan mengevaluasi dirinya.

Menurut Baron dan Byrne (1997) stereotip gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar-benar dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, yang memisahkan ke dua gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne lebih lanjut menyimpulkan : (1) Memang ada beberapa perbedaan perilaku social di antara perempuan dan laki-laki, seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan nonverbal serta agresivitas, tetapi (2) Besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan oleh stereotip.

Sayangnya, demikian dinyatakan oleh Baron dan Byrne (1997), meskipun pada kenyataannya kebanyakan dari stereotip tersebut tidak akutat, namun tetap memberikan efek yang negative, antara lain : mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu, mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan mendapatkan upah yang sama dalam pekerjaannya.

Stereotip atau belief tentang peran laki-laki dan perempuan bukanlah merupakan prasangka. Stereotip ini bisa jadi akurat, tidak akurat atau generalisasi yang berlebihan, namun menurut Myers didasarkan atas setitik kebenaran.

Studi lintas budaya tentang stereotip gender berdasar penelitian William & Best (1982) di 30 negara yang berbeda, menemukan laki-laki cenderung dilihat lebih mandiri, lebih ekshibisionistik, lebih agresif, lebih dominan, lebih berorientasi sukses dan lebih


(26)

tekun sedangkan perempuan dianggap lebih besar kebutuhannya untuk menghargai orang lain, perasaan bersalah, mendengarkan orang lain dan berhubungan dengan lawan jenis.

Teori-teori tentang stereotip ini telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir. Bila tadinya stereotip dianggap suatu bentuk patologi, kini dianggap sebagai konsekuensi inheren dari kecenderungan manusia untuk mengelompokkan sesuatu, melalui proses kategorisasi. Stereotip ini meringkas dan mengorganisasikan apa yang telah dipelajari seseorang tentang kelompok-kelompok social.

Stereotip dapat bermuatan positif, negative atau netral. Stereotip yang negative dapat berubah menjadi prasangka. Banyak dari penemuan-penemuan teoritis maupun praktis mengenai stereotip, diperoleh dari kenyataan bahwa kebanyakan dari kelompok yang menjadi target stereotip negative tertentu, juga menjadi target prasangka dan perilaku diskriminasi, yang berkaitan dengan stereotip itu. Dapat dikatakan pada kasus- kasus seperti ini, stereotip negative diekspresikan melalui prasangka dan perilaku diskriminasi (Snyder & Miene, 1994). Prasangka terhadap kelompok ras tertentu disebut sebagai rasisme, sedangkan prasangka terhadap jenis kelamin tertentu disebut seksisme.


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Atwater, LE & DD.Van Fleet. (1977). Another ceiling? Can males compete for

traditionally feminine jobs?. Journal of Management, vol 23 (5), 603-606.

Baron, RA & D. Byrne. (1997). Social Psychology. Boston. Allyn and Bacon.

Deaux, KF, FC Dane, LS Wrightsman. (1993. Social Psychology in the 90s.

pacific Grove. Brooks/Cole Publishing Company.

Frieze, I. (1987). Women and sex role: A social psychological Perspektive. USA.

WW Norton and Co.

Garnets, L & J Pleck. (1979). Sex role identitiy, androgyny and sex role

transcendence : A sex role analyses. Psychology of women quarterly, 3,

270-283.

Gilbert, LA. Two careers/one family: The premise of gender equality. (1993).

Newbury Park : Sage Publication inc.

Hall, CS & G Lindzey. Introduction to theories of personality. New York. John

Wiley and Son.

Hoyenga, KB & KT Hoyenga. (1992). Gender related differences. Boston. Allyn

and Bacon.

Hurlock, EB. (1980). Developmental Psychology: A life span approach. New

Delhi. Tata McGrew Hill Publishing Company.

Myers, DG. (1996). Social Psychology, fifth edition. New York. McGrew Hill

Companies Inc.

Oskamp, S & M Costanzo. (1993). Gender issues in contemporary society.

Newbury Park. Sage Publication Inc.

Stockard, JM & M Johnson. (1992). Sex and gender in society, second edition.

New Jersey. Prentice Hall Inc.

Unger, R & M C Rhoda. (1992). Women and gender: A Feminist Psychology.

New York. McGrew Hill Inc.

Zanna, MP & JM Olsen (eds). (1994). The Psychology of prejudice : The Ontario


(1)

BAB III Stereotip

Gender

Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari perilaku diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya akan diuraikan bagian dari teori atribusi yang relevan dengan studi tentang stereotip gender sebagai bagian dari pembahasan gender pada tulisan ini.

Atribusi merupakan asumsi-asumsi mengenai mengapa orang berperilaku tertentu. Belief tentang perbedaan penyebab ini mengarah pada perbedaan harapan terhadap laki-


(2)

laki dan perempuan. Melalui atribusi inilah stereotip berperan sebagai mekanisme control social. Perbedaan atribusi terhadap laki-laki dan perempuan ini hadir pada area perilaku yang luas dan bervariasi, yang membantu membentuk dasar dari diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan (Unger & Crowford, 1992).

Penyebab perbedaan ini, salah satunya adalah adanya perbedaan jumlah akses informasi yang berbeda dari diri si actor dan orang lain. Mereka memiliki informasi yang sedikit mengenai perubahan perilaku orang lain sebagai fungsi dari perbedaan peran atau konteks social (Unger & Crowford, 1992). Selanjutnya mereka menyatakan, menggunakan gender sebagai basis dalam membuat atribusi berarti mengubah pandanagan kita tentang penyebab perbedaan gender. Berdasarkan pandangan ini, pertama orang-orang menjadi dokter atau perawat, dan kekmudian membentuk sifat-sifat kepribadian yang ‘sesuai’ dengan pekerjaan ini.

Karena kita memiliki pengalaman yang terbatas terhadap laki-laki dan perempuan pada peran yang sama, kita cenderung menerangkan perbedaan gender sebagai hal yang disposisional meskipun hal itu bisa jadi suatu respons terhadap batasan social. Menurut Unger dan Crowford hal inilah yang menyebabkan orang-orang tercengang bila perempuan eksekutif atau atlit berperilaku seperti laki-laki yang memiliki peran yang sama.

Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki selalu dianggap menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan tidak cocok (peran gender) terhadap laki-laki dan perempuan. Namun penelitian-penelitian


(3)

secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze, 1978). Penelitian-penelitian lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Myers (1994). Menunjukkan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sesuai dengan pendapat Mead (1978), bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender.

Menurut Wrightdmrn (1981) steretip merupakan konsep yang relative kaku dan luas di mana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari kelompok tersebut.

Stereotip peran gender menurut Jenkins dan McDonald (1971) merupakan generalisasi pengharapan mengenai aktivigtas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (1992) stereotip peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi social yang ada dalam sturktur kognisi kita. Stereotip gender digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek sosiologis/antropologis/kultural dari ciri atau sifat maskulin dan feminine.

Namun, menurut Vob Baeyer, Sherk dan Zanna (dalam Hoyenga& Hoyenga, 1992) stereotip gender pribadi yang dimiliki seseorang, dapat berbeda dari apa yang dimiliki atau diterapkan oleh kebanyakan orang di budayanya. Mungkin saja ada ketidak- sesuaian antara perilaku seseorang dan peran-peran stereotip yang digambarkan oleh


(4)

budayanya tentang gender. Pemahaman seseorang akan perbedaan ini dapat mempengaruhi bagaimana ia menampilkan dan mengevaluasi dirinya.

Menurut Baron dan Byrne (1997) stereotip gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar-benar dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, yang memisahkan ke dua gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne lebih lanjut menyimpulkan : (1) Memang ada beberapa perbedaan perilaku social di antara perempuan dan laki-laki, seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan nonverbal serta agresivitas, tetapi (2) Besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan oleh stereotip.

Sayangnya, demikian dinyatakan oleh Baron dan Byrne (1997), meskipun pada kenyataannya kebanyakan dari stereotip tersebut tidak akutat, namun tetap memberikan efek yang negative, antara lain : mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu, mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan mendapatkan upah yang sama dalam pekerjaannya.

Stereotip atau belief tentang peran laki-laki dan perempuan bukanlah merupakan prasangka. Stereotip ini bisa jadi akurat, tidak akurat atau generalisasi yang berlebihan, namun menurut Myers didasarkan atas setitik kebenaran.

Studi lintas budaya tentang stereotip gender berdasar penelitian William & Best (1982) di 30 negara yang berbeda, menemukan laki-laki cenderung dilihat lebih mandiri, lebih ekshibisionistik, lebih agresif, lebih dominan, lebih berorientasi sukses dan lebih


(5)

tekun sedangkan perempuan dianggap lebih besar kebutuhannya untuk menghargai orang lain, perasaan bersalah, mendengarkan orang lain dan berhubungan dengan lawan jenis.

Teori-teori tentang stereotip ini telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir. Bila tadinya stereotip dianggap suatu bentuk patologi, kini dianggap sebagai konsekuensi inheren dari kecenderungan manusia untuk mengelompokkan sesuatu, melalui proses kategorisasi. Stereotip ini meringkas dan mengorganisasikan apa yang telah dipelajari seseorang tentang kelompok-kelompok social.

Stereotip dapat bermuatan positif, negative atau netral. Stereotip yang negative dapat berubah menjadi prasangka. Banyak dari penemuan-penemuan teoritis maupun praktis mengenai stereotip, diperoleh dari kenyataan bahwa kebanyakan dari kelompok yang menjadi target stereotip negative tertentu, juga menjadi target prasangka dan perilaku diskriminasi, yang berkaitan dengan stereotip itu. Dapat dikatakan pada kasus- kasus seperti ini, stereotip negative diekspresikan melalui prasangka dan perilaku diskriminasi (Snyder & Miene, 1994). Prasangka terhadap kelompok ras tertentu disebut sebagai rasisme, sedangkan prasangka terhadap jenis kelamin tertentu disebut seksisme.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Atwater, LE & DD.Van Fleet. (1977). Another ceiling? Can males compete for

traditionally feminine jobs?. Journal of Management, vol 23 (5), 603-606.

Baron, RA & D. Byrne. (1997). Social Psychology. Boston. Allyn and Bacon.

Deaux, KF, FC Dane, LS Wrightsman. (1993. Social Psychology in the 90s.

pacific Grove. Brooks/Cole Publishing Company.

Frieze, I. (1987). Women and sex role: A social psychological Perspektive. USA.

WW Norton and Co.

Garnets, L & J Pleck. (1979). Sex role identitiy, androgyny and sex role

transcendence : A sex role analyses. Psychology of women quarterly, 3,

270-283.

Gilbert, LA. Two careers/one family: The premise of gender equality. (1993).

Newbury Park : Sage Publication inc.

Hall, CS & G Lindzey. Introduction to theories of personality. New York. John

Wiley and Son.

Hoyenga, KB & KT Hoyenga. (1992). Gender related differences. Boston. Allyn

and Bacon.

Hurlock, EB. (1980). Developmental Psychology: A life span approach. New

Delhi. Tata McGrew Hill Publishing Company.

Myers, DG. (1996). Social Psychology, fifth edition. New York. McGrew Hill

Companies Inc.

Oskamp, S & M Costanzo. (1993). Gender issues in contemporary society.

Newbury Park. Sage Publication Inc.

Stockard, JM & M Johnson. (1992). Sex and gender in society, second edition.

New Jersey. Prentice Hall Inc.

Unger, R & M C Rhoda. (1992). Women and gender: A Feminist Psychology.

New York. McGrew Hill Inc.

Zanna, MP & JM Olsen (eds). (1994). The Psychology of prejudice : The Ontario