Perspektif Gender Analisa Teoritis Gender berdasarkan Pandangan Psikologi Sosial

7 diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki. Sedangkan peran gender berarti traits dan perilaku yang diharapkan oleh budaya berdasarkan jenis kelaminnya, traits dan perilaku feminine untuk perempuan dan traits dan perilkau maskulin untuk laki- laki.

1. Perspektif Gender

Gilbert 1993 mengungkapkan perspektif yang relative baru tentang gender. Pada dasarnya perspektif ini beranggapan bahwa gender merupakan konstruksi social. Semua masyarakat mengenali perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, dan menggunakannya sebagai dasar dari perbedaan social. Di sebagaian masuarakat proses membentuk gender telah dimulai sejak manusia dilahirkan, misalnya dengan mulai memilihkan pakaian berwarna merah muda untuk bayi perempuan dan pakaian berwarna biru untuk bayi laki-laki, dan untuk selanjutnya mereka akan diperlakukan sebagai anak perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender memiliki pengertian yang lebih luas dari jenis kelamin secara biologis sebagaimana yang telah diungkapkan di awal dari tulisan ini. Proses-proses yang berkaitan dengan gender menurut Unger Crowford 1992 mempengaruhi perilaku, pemikiran dan perasaan seseorang, berpengaruh pada interaksi di antara individu dan membantu menentukan struktur institusi social. Dengan demikian, proses-proses untuk membedakan perempuan dan laki-laki memang diciptakan. Berbarengan dengan proses pembedaan laki-laki dan perempuan, ditentukan pula pembagian kekuasaan. Proses-proses ini dapat dipahami melalui peranan gender pada Universitas Sumatera Utara 8 tiga tingkatan, yakni : tingkatan individu; tingkatan interpersonal; dan tingkatan struktur social. Pada tingkatan individu, masyarakat umumnya cenderung menghubungakan traits, perilku dan minat tertentu dengan salah satu jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Traits, perilaku maupun minat ini diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu dikotomi. Perempuan dikaitkan dengan perilaku atau trait yang feminine, sedangkan kebalikannya laki-laki yang maskulin, namun tidak ke duanya. Padahal, bila meninjau pada kenyataan, banyak dari traits, perilaku bahkan ciri fisik yang dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan yang menggambarkan kebalikan dari apa yang dianggap sebagai feminine dan maskulin. Dalam hal ini berarti gender biasanya dihunakan sebagai frame kerangka yang merefleksikan bentuk dari stereotip Unger Crowford, 1992. Para ahli juga sudah meneliti tentang androgini, yang menggambarkan laki-laki dan perempuan yang memiliki baik trait yang maskulin maupun feminine. Dalam hal ini gender di lihat dalam multi dimensi, bukan lagi dimensi tunggal, yang menunjukkan dikotomi, seperti sebelumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan diuraikan pada bagian orientasi gender. Pada tingkatan ke dua, yakni tingkat interpersonal, gender merupakan pertanda cue. Gender sebagai pertanda ini, memberitahu kita bagaimana berperilaku menghadapi orang lain dalam hubungan social. Berdasarkan apa yang ditampilkan seseorang kita memutuskan apakah seseorang itu perempuan atau laki-laki. Melalui klassifikasi yang kita lakukan, kita memutuskan bagaimana kita berperilaku meghadapinya. Menurut berbagai penelitian, perbedaan perlakuan menghadapi perempuan dan laki-laki meskipun Universitas Sumatera Utara 9 bisa jadi di luar kesadaran memang nyata adanya. Contohnya salah satu penelitian dari Eccles dalam UngerCrowford, 1992 yang dilakukan melalui observasi terhadap anak- anak Elementary School, menyimpulkan bahwa meskipun guru-guru meyakini bahwa mereka memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara sama, ternyata anak laki-laki menerima lebih banyak perhatian, baik positif maupun negative dari pada anak perempuan. Dalam hal ini menurut UngerCrowford, pengkategorisasian jenis kelamin, bukan hanya media melihat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan tapi juga suatu cara menciptakan perbedaan. Kita bukan hanya melihat bahwa laki-laki dan perempuan merupakan kategori yang berbeda, namun melalui kategorisasi itu, kita sekaligus menciptakan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada tingkatan ke tiga yakni struktur social, gender merupakan suatu system hubungan kekuasaan. Menurut Gilbert 1993 gender dapat dipandang sebagai suatu system kalssifikasi social yang mempengaruhi akses untuk kekuasaan dan sumber- sumber daya. Laki-laki lebih memiliki kekuasaan public di kebanyakan masyarakat, kontrol pemerintahan, hukum dan kepentingan publik. Di Indonesia hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perempuan yang berada di jabatan pemerintahan, baik pemimpin daerah, mulai dari lurah, bupati, gubernur dan lain-lain. Perspektif gender ini tidak berfokus pada variabel-variabel intrapsikis yang diasumsikan terkait dengan jenis kelamin biologis dalam menerangkan perilaku manusia. Perspektif gender ini menyatakan bahwa perilaku manusia muncul dari suatu jaringan interaksi antara keberadaan perempuan dan laki-laki secara biologis dan lingkungan social. Ada dua contoh yang diungkapkan oleh Gilber 1993, yakni : 1 perempuan dan Universitas Sumatera Utara 10 laki-laki sama-sama menjadi orang tua, tetapi lebih banyak perempuan yang terlibat pengasuhan anak. Berdasarkan perspektif gender, perempuan membesarkan anak lebih karena harapan social diasosiasikan dengan jenis kelamin. Harapan social itu menggariskan bahwa perempuan melakukan aktivitas pengasuhan lebih banyak dari pada laki-laki. Jadi, secara budaya, perempuan mengasuk anak; 2 perempuan dan laki-laki sama-sama menerima ijazah perguruan tinggi, namun ½ dari laki-laki memulai pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi Gilbert, 1993. Berdasarkan perspektif gender, laki-laki mendapatkan gaji lebih tinggi bukan karena laki-laki lebih mampu dari perempuan, tetapi karena lingkungan kerja lebih memberi reward penghargaan pada laki-laki. Jadi secara budaya, laki-laki ‘pencari nafkah’. Selanjutnya menurut Gilbert, dalam menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan gender, perspektif gender ini melihat gender yang berperan sebagai perbedaan, struktur dan proses. Gender sebagai Perbedaan Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gilbert 1993, perbedaan pengalaman berdasarkan konteks sosiokultural pada anak perempuan dan laki-laki selama masa perkembangan anak dan remaja merupakan hal yang penting untuk memahami penemuan-penemuan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perspektif gender ini berusaha menjelaskan bahwa apa yang ditemukan sebagai perbedaan trait atau perilaku di antara anak laki-laki dan perempuan, harus dipahami berdasarkan latar belakang dari perbedaan pengalaman yang dijalani oleh anak laki-laki dan perempuan di Universitas Sumatera Utara 11 lingkungan masyarakatnya. Misalnya penemuan tentang anak perempuan memiliki kecemasan yang lebih tinggi terhadap matematika dari pada anak laki-laki. Perbedaan yang tampil ini bukan semata-mata sebagai perbedaan, namun harus dilihat berdasarkan pengalaman adanya perbedaan anak laki-laki dan perempuan ketika menerimanya. Dengan demikian perbedaan yang tampil seharusnya dipahami sebagai perbedaan gender bukan perbedaan jenis kelamin, berkaitan dengan contoh, maka perbedaan tingkat kecemasan terhadap matematika di antara anak laki-laki dan perempuan bukanlah menunjukkan perbedaan jenis kelamin, namun merupakan perbedaan gender. Gender sebagai Struktur Sheriff dalam Gilbert, 1993 memandang isu gender bukan sekedar terkait dengan individu perempuan, laki-laki dan sosialisasi, namun juga melibatkan struktur- struktur social dan prinsip-prinsip organisasi. Contohnya seperti fenomena yang disebut glass ceiling effect yang juga dikemukakan oleh Baron Byrne 1997, yakni adanya hambatan yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan, yang didasarkan atas bias- bias sikap atau bias organisasi yang mencegah perempuan untuk sampai pada posisi puncak atau top management. Gender sebagai Proses Interaktif Teori-teori gender ini menurut Gilbert 1993 memandang fenomena hubungan antar jenis kelamin sebagai proses yang dipengaruhi oleh pilihan individu, dicapai dengan tkeanan situasi dan hanya dapat dipahami pada konteks interaksi social. Universitas Sumatera Utara 12 Studi dari Eccles dan rekan Gilbert, 1993 mengungkapkan bagaimana harapan orang tua yang berkaitan dengangender mempengaruhi partisipasi pada aktivitas stereotip peran gender seperti matematika dan olah raga. Harapan-harapan orang tua mengubah persepsi dan atribusi terhadap kemampua dan minat anak-anaknya. Misalnya anak perempuan memperoleh nilai bagus pada matematika, dianggap karena kerja keras, sedangkan anak laki-laki karena memang memiliki bakat matematika dan hal ini mempengaruhi persepsi diri dari si anak dan pilihan aktivitasnya. Dapat disimpulkan bahwa pespektif gender adalah suatu perspektif yang mengutarakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang telah terberi berdasarkan kondisi biologis perempuan dan laki-laki, namun gender merupakan hasil dari konstruksi masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dari masyarakat tersebut. Untuk selanjutnya akan diuraikan dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan femininitas dan maskulinitas.

2. Orientasi Gender