Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

(1)

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

DALAM PERAWATAN PASIENNYA (Analisis Kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

IYAN TRI PANGALOAN NIM : 040200216 Departemen : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

DALAM PERAWATAN PASIENNYA (Analisis Kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

IYAN TRI PANGALOAN NIM : 040200216 Departemen : Hukum Pidana

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair .SH.M.Hum) NIP :131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No.3344/Pid.B/2006/PN Mdn)”.

Adapun skripsi ini penulis susun dalam rangka pemenuhan persyaratan akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak hal-hal yang tidak dapat penulis telaah secara mendalam dan terperinci, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang masih jauh dari apa yang diharapkan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Nurmalawaty SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Suwarto SH.MH selaku Dosen Pembimbing I.


(4)

6. Ibu Affila SH.M.Hum selaku Dosen Wali.

7. Para Dosen dan Pegawai Tata Usaha FH-USU yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan sekaligus termasuk dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kedua orang tua penulis D. Ringo dan Ruth Maswiyatun atas curahan kasih sayang dan dorongan semangatnya yang tidak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2009

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Malpraktek ... 7

2. Jenis-Jenis Malpraktek ... 11

3. Teori-Teori Malpraktek ... 15

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN ... 24

A. Peraturan Non-Hukum ... 24


(6)

BAB III :FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA MALPRAKTEK OLEH BIDAN DAN

UPAYA PENCEGAHANNYA ... 33

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 33

B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 43

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 50

BAB IV : PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DALAM PERAWATAN PASIENNYA ... 53

A. Kriteria Penilaian Terjadinya Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 53

B. Uraian Kasus dan Analisa Kasus ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91


(7)

ABSTRAKSI

Profesi bidan sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan adalah merupakan salah satu profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Karena ketika ia memberikan pelayanan kesehatan khususnya kepada ibu hamil, tidak hanya satu nyawa yang bergantung padanya. Akan tetapi nyawa ibu dan anak yang dikandungnya. Seringkali dalam menjalankan prakteknya bidan melakukan kesalahan yang mengakibatkan dampak yang negatif kepada pasiennya. Hal ini lah yang menjadi dasar untuk menuntut bidan dengan tuduhan malpraktek.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku.

Malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kelalaian, kurangnya pengetahuan, faktor ekonomi, rutinitas,dan juga perubahan hubungan antara bidan dengan pasien. Untuk dapat mencegah terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan jaminan atau garansi akan keberhasilan usahanya, dalam melakukan tindakan harus ada informed consent, mencatat semua tindakan kedalam rekam medik, dan lain-lain.

Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh bidan terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan. Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.


(8)

ABSTRAKSI

Profesi bidan sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan adalah merupakan salah satu profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Karena ketika ia memberikan pelayanan kesehatan khususnya kepada ibu hamil, tidak hanya satu nyawa yang bergantung padanya. Akan tetapi nyawa ibu dan anak yang dikandungnya. Seringkali dalam menjalankan prakteknya bidan melakukan kesalahan yang mengakibatkan dampak yang negatif kepada pasiennya. Hal ini lah yang menjadi dasar untuk menuntut bidan dengan tuduhan malpraktek.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku.

Malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kelalaian, kurangnya pengetahuan, faktor ekonomi, rutinitas,dan juga perubahan hubungan antara bidan dengan pasien. Untuk dapat mencegah terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan jaminan atau garansi akan keberhasilan usahanya, dalam melakukan tindakan harus ada informed consent, mencatat semua tindakan kedalam rekam medik, dan lain-lain.

Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh bidan terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan. Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera didalam keseimbangan-keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.1

Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya juga memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan tenaga kesehatan yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang, tentunya harus ada sanksi yang layak untuk diterima si pembuat kesalahan, agar terjadi keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan sosial.

Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup damai, tenteram dan aman.

1 Soeparto, Pitono,dkk, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga


(10)

Disinilah hukum diperlukan untuk mengatur agar tenaga kesehatan menaati peraturan yang telah ditentukan oleh profesinya. Tanpa sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang dilakukannya, sebagai manusia biasa tentunya tenaga kesehatan pun dapat bersikap ceroboh. Oleh karena itu, bila memang seorang tenaga kesehatan terbukti melakukan malpraktek yang berakibat fatal terhadap pasien, tentunya perlu dikaji pula apakah ada pidana yang dapat diberlakukan kepada profesi ini.2

Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”.3

Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Malpraktek atau malpraktek medik adalah istilah yang sering digunakan orang untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.

4

2

Isfandyarie,Anny, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hal 46-47

3 Ibid, hal 48

4Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Jakarta:


(11)

Sedangkan menurut Veronica, malpraktek medik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya.5

Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien diangkat menjadi masalah pidana. Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.6

Profesi bidan, seperti juga profesi-profesi lain yang merupakan tenaga kesehatan adalah salah satu profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Peranan bidan dalam masyarakat cukup besar, terutama bagi ibu atau wanita hamil untuk dapat memberikan bimbingan, nasehat dan bantuan baik selama masa kehamilan, melahirkan hingga pasca melahirkan. Bidan juga dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum atau dengan kata lain tidak terbatas pada ibu atau wanita hamil saja, apabila tidak terdapat dokter atau tenaga kesehatan lain yang berwenang untuk melakukan pengobatan pada wilayah tersebut. Seperti yang tercantum dalam Pasal 17 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, yang berbunyi: “Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai dengan kemampuannya.”

Bidan sebagai salah satu profesi yang termasuk dalam tenaga kesehatan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tentu tidak lepas dari permasalahan ini.

5 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 22 6 Ibid, hal 9


(12)

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan, bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Namun seringkali terjadi dalam prakteknya, perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh bidan terhadap pasiennya justru menimbulkan akibat atau dampak yang negatif bahkan membahayakan kesehatan sang pasien. Misalnya perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh bidan untuk membantu seorang ibu atau wanita yang hamil justru mengakibatkan sang ibu atau sang bayi menjadi cacat. Pasien yang mengalami hal ini, tentu saja merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan oleh bidan tersebut. Hal inilah yang seringkali dijadikan dasar untuk menuntut bidan dengan alasan malpraktek.

Salah satu contoh kasus malpraktek yang dilakukan oleh bidan adalah kasus “Kuret Ngatemi”. Dalam kasus “Kuret Ngatemi” ini, usus Ngatemi sebagai korban putus sepanjang 10 cm dan kandungannya menjadi “rusak”, sehingga mengakibatkan saluran pembuangan Ngatemi terpaksa dipindahkan ke bagian perutnya. Abdul Mutalib sebagai suami karena merasa dirugikan, ia menggugat secara perdata terhadap dokter dan bidan dari Rumah Sakit Bersalin “Kartini”


(13)

yang menangani operasi pembersihan kandungan (kuret) istrinya kepada Pengadilan Negeri Belawan.7

1. Apa saja faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan?

Namun sayangnya, pada kasus “Kuret Ngatemi” tersebut tidak dilakukan penuntutan secara pidana, akan tetapi hanya dilakukan gugatan secara perdata. Padahal dalam kasus “Kuret Ngatemi” ini seharusnya dilakukan penuntutan secara pidana, karena akibat dari perbuatan dokter dan bidan yang menangani operasi pembersihan kandungan (kuret) Ngatemi ini mengakibatkan Ngatemi sebagai korban menjadi cacat.

Seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat yang semakin menyadari haknya, maka tuntutan malpraktek ini semakin sering kita jumpai.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

2. Bagaimana penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan menurut hukum pidana?

7 Mariyanti, Ninik, , Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata,


(14)

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk dapat mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan mengenai malpraktek yang dilakukan oleh bidan.

2. Untuk dapat mengetahui dan memahami apa faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan, upaya-upaya pencegahannya serta kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan

3. Untuk dapat mengetahui dan memahami kriteria penentuan terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan

Melalui penulisan ini, manfaat penulisan yang dapat diambil dari skripsi ini antara lain agar dapat memberi masukan dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini, didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di perpustakaan USU. Penulisan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Karena itu keaslian penulisan ini dapat di pertanggungjawabkan. Walaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini


(15)

semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Malpraktek

Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari

“malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam

menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.8

b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad

practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan

ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how

to practice the medical science and technology”, yang sangat erat

hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.9

c. Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.10

8 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 20 9 Ibid,


(16)

d. Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.11

e. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.12

f. Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:13

1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.

2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan.

g. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.14

Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical

malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :

a. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai

“a form of professional negligence in which measerable injury occurs to a

11 Ibid,

12 Amir, Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta; Widya Medika, 1997, hal 53 13 Mariyanti, Ninik, op. cit, hal 38


(17)

plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner” (malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian

profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter).15

b. Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai “any professional

misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan

jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hokum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).16

Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas semua sarjana sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia.

Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh beberapa sarjana diatas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter. Selain itu dalam

15 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 21 16 Ibid,


(18)

berbagai literatur, permasalahan malpraktek ataupun permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai patokan adalah profesi dokter.

Akan tetapi menurut penulis, malpraktek medik tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.

Didalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari :

a. Tenaga medis b. Tenaga keperawatan c. Tenaga kefarmasian

d. Tenaga kesehatan masyarakat e. Tenaga gizi

f. Tenaga keterapian fisik g.Tenaga keteknisan medis.

Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja melakukan tindakan malpraktek medis. Jadi tidak hanya profesi dokter saja. Misalnya tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan. Mereka juga mungkin melakukan tindakan malpraktek medis karena perawat maupun bidan juga sama seperti dokter yang profesinya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.


(19)

2. Jenis-Jenis Malpraktek

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.17

a. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal

malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).18

1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

17 Ibid., hal 31 18 Ibid, hal 33


(20)

Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:19

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi

terlambat melaksanakannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:20

a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).

b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). c. Ada kerugian

d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.

e. Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:21

a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.

19 Ibid, 20 Ibid,


(21)

b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.

c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.

Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.

Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.


(22)

2) Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:22

a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.

b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

3) Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,


(23)

menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

3. Teori-Teori Malpraktek

Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:23

Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan a. Teori Pelanggaran Kontrak

Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.

Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.


(24)

penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.

b Teori Perbuatan Yang Disengaja

Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)

c. Teori Kelalaian

Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.

Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan


(25)

teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan. Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:24

a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)

Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut.

Teori ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.

b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence) Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.

c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)

Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.


(26)

Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.

d. Peraturan Good Samaritan

Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.

e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)

Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.

Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak.


(27)

Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan tugasnya.

f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)

Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.

g. Workmen’s Compensation

Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari


(28)

kasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka.

Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.

Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang


(29)

ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doktrinal

research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis

dalam buku. Selain itu penulis juga menganalisis sebuah kasus yang berkaitan dengan malpraktek yang dilakukan oleh bidan.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsep, teori dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan penelitian ini, juga dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu KUHP, Undang-Undang No.8 tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, dan Keputusan


(30)

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pendapat dari kalangan pakar hukum dan buku-buku mengenai malpraktek dan kebidanan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami maknanya dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain, yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pengaturan Mengenai Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Membahas tentang berbagai macam pengaturan mengenai malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Baik yang berupa peraturan non hukum yaitu kode etik bidan, maupun yang berupa peraturan hukum yaitu UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,Hukum Pidana, Hukum Perdata, Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dan Keputusan Menteri Kesehatan No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.


(31)

Bab III : Faktor Penyebab Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dan Upaya Pencegahannya

Memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan, upaya-upaya pencegahannya serta kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan.

Bab IV : Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya

Merupakan pembahasan pokok dari penulisan ini yang terdiri dari kriteria penentuan terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan serta uraian kasus dan analisis kasus.


(32)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

Peraturan tertulis maupun tidak tertulis, dilihat dari bidang pengaturannya, dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:25

1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum) 2. Peraturan Hukum (kumpulam kaidah atau norma hukum)

Oleh karena itu penulis juga akan membahas pengaturan mengenai malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini dalam dua bagian, yaitu peraturan non hukum dan peraturan hukum.

Norma hukum merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.26

Setiap profesi selalu mempunyai kode etik yang bertujuan sebagai pedoman didalam menjalankan hak dan kewajibannya. Di dunia profesi A. Peraturan Non Hukum

Peraturan non hukum yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, antara lain adalah peraturan tentang sopan santun yang isinya kaidah sopan santun, peraturan tentang moral yang berisi kaidah-kaidah moral. Yang salah satunya adalah peraturan tentang tingkah laku, yaitu yang dikenal dengan peraturan etika yang berisi kaidah-kaidah etika.


(33)

kebidanan, peraturan non hukum yang mengatur etika profesi bidan adalah kode etik bidan.

Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-larangan yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari didalam masyarakat.

Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya.27

Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X tahun 1988, sedangkan petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disahkan pada Kongres Nasional IBI ke XII tahun 1998.

Secara umum kode etik bidan berisi 7 bab. Ketujuh bab ini dapat dibedakan atas tujuh bagian yaitu :


(34)

a. Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir) b. Kewajiban Bidan terhadap tugasnya (3 butir)

c. Kewajiban Bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir) d. Kewajiban Bidan terhadap profesinya (3 butir)

e. Kewajiban Bidan terhadap diri sendiri (2 butir)

f. Kewajiban Bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir) g. Penutup (1 butir)

Pelanggaran terhadap kode etik bidan inilah yang disebut sebagai malpraktek etik. Misalnya dalam melakukan prakteknya bidan membeda-bedakan setiap pasien berdasarkan pangkat, kedudukan,golongan, bangsa atau agama. Hal ini melanggar salah satu kode etik bidan pada Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Sedangkan dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa dalam melaksanakan tugas atas dasar kemanusiaan tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa dan agama.

Salah satu keputusan Kongres Nasional IBI ke XII di Propinsi Bali pada tanggal 24 September 1998 adalah kesepakatan agar dalam lingkungan kepengurusan organisasi IBI perlu dibentuk:28

1. Majelis Pertimbangan Etik Bidan (MPEB) 2. Majelis Pembelaan Anggota (MPA)


(35)

Keberadaan MPEB bertujuan untuk:29

1. Meningkatkan citra IBI dalam meningkatkan mutu pelayangan yang diberikan bidan.

2. Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Bidan Indonesia.

3. Meningkatkan kepercayaan diri anggota IBI.

4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayangan.

Peran MPEB ini sangat penting karena lembaga inilah yang menentukan atau menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Bidan Indonesia. Peran MPEB hampir sama dengan peran Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) bagi profesi dokter.

Pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik bidan ini dilakukan oleh wadah organisasi profesi bidan di Indonesia yaitu IBI. Pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik dapat berupa teguran baik secara lisan maupun tulisan ataupun dengan tidak memberikan rekomendasi yang diperlukan oleh bidan untuk mendapatkan izin praktek.

B. Peraturan Hukum

Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak


(36)

menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54 dan 55 UU Kesehatan.

Pasal 54:

1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 55:

1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kesehatan tercantum didalam Bab X yang intinya terdiri dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Pasal yang berhubungan dengan wewenang dan tugas bidan adalah Pasal 80 yaitu melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2).

Didalam hukum pidana, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal yang sering digunakan dalam mengajukan tuntutan pidana bagi bidan dan tenaga kesehatan lainnya adalah Pasal 359, Pasal 360 ayat (1) dan (2),


(37)

serta Pasal 361. Pasal-Pasal tersebut dipakai apabila dalam menjalankan praktek profesinya, perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh bidan terhadap pasiennya mengakibatkan pasien menjadi cacat ataupun meninggal dunia. Selain itu masih beberapa Pasal yang dapat dikaitkan atau yang mungkin dilakukan bidan dalam menjalankan profesinya yaitu menipu pasien (Pasal 378), pengguguran kandungan tanpa indikasi medis (Pasal 349), sengaja membiarkan pasien tak tertolong (Pasal 304), membocorkan rahasia medis (pasal 322) dan lain-lain.

Didalam hukum perdata khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal yang sering digunakan sebagai dasar hukum dari gugatan terhadap bidan ataupun tenaga kesehatan lainnya adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi:”tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu”.

Konstruksi hukum dari Pasal 1365 KUHPerdata ini dihubungkan dengan hubungan bidan dengan pasien, menetapkan unsur-umsur dari perbuatan melanggar hukum dengan adanya kelalaian atau kesalahan dari bidan. Perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pasien dan ada hubungan sebab akibat antara kelalaian atau kesalahan dengan kerugian yang diderita pasien.30

Sedangkan didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pengaturan mengenai malpraktek terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: “pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayangan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana


(38)

dimaksud dalam Pasal 22 yang mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian”. Selain itu dalam Pasal 33 PP No.32 Tahun 1996 juga disebutkan bahwa menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dan dalam ayat (2) disebutkan tindakan disiplin dapat berupa teguran atau pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan. Mengenai ketentuan pidana dalam Peraturan Pemerintah ini tercantum dalam Pasal 34 dan Pasal 35.

Didalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan, malpraktek yang dilakukan oleh bidan diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 44.

Pasal 42:

Bidan yang dengan sengaja:

a. melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan atau adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau;

b. melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;

c. melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 44:

1) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam


(39)

Keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.

2) Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Malpraktek juga sering disebut sebagai praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi. Untuk profesi bidan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan yang dapat digunakan sebagai acuan apakah tindakan seorang bidan dalam menangani pasiennya sudah sesuai dengan standar profesi.

Hal ini sangat penting, karena dalam PP No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 21 juga disebutkan bahwa:”setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan”.

Kumpulan peraturan-peraturan hukum inilah yang disebut sebagai hukum kesehatan. Di Indonesia hukum kesehatan adalah bidang hukum yang masih baru. Dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang secara khusus mengatur mengenai kesehatan ini, maka para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat. Karena dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang khusus mengatur mengenai kesehatan tersebut, maka tindakan tenaga kesehatan tidak hanya berkaitan dengan etika yang berasal dari profesi saja. Akan tetapi saat ini tindakan tenaga kesehatan memiliki aspek hukum. Hal ini berarti apabila dalam memberikan pelayanan kesehatan atau


(40)

dalam rangka menjalankan profesinya sebagai tenaga kesehatan, seorang tenaga kesehatan dapat dijatuhi sanksi oleh pemerintah apabila perbuatannya tersebut melanggar hal-hal yang diatur oleh hukum.


(41)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DAN UPAYA-UPAYA PENCEGAHANNYA

A. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

1. Kelalaian (negligence, culpa)

Kelalaian adalah suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja, atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-duga. Akibat yang terjadi karena kelalaian sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.

Didalam KUHP, tindak pidana yang sebabkan oleh kelalaian diatur dalam pasal 359,360 dan 361 KUHP.

Pasal 359:

Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 360:

1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara


(42)

selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-

Pasal 361:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatujabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam mana waktu kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkansupaya keputusannya itu diumumkan. Mengenai penyebutan kelalaian dengan “karena kesalahannya”, menurut penulis hal ini kurang tepat, karena dalam hukum pidana, kesalahan (schuld) lebih luas pengertiannya yaitu menyangkut kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus)

Kelalaian (negligence,culpa) adalah salah satu faktor yang sering dijadikan sebagai penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama. Hal ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.31

Guwandi menyatakan bahwa malpraktek tidak sama dengan kelalaian.32

31 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87

Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian. Artinya malpraktek mempunyai pengertian yang lebih


(43)

luas daripada kelalaian (negligence). Malpraktek, selain mencakup arti kelalaian, ia juga mencakup tindakan- tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus) dan melanggar Undang-Undang.

Didalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu “kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama, “kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, “kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP. 33

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada

33Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta:


(44)

kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang bidan adalah “kelalaian akibat”, misalnya tindakan seorang bidan yang menyebabkan cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan padanya.

Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:34 1. culpa lata (gross fault/neglect), yang berarti kesalahan besar atau sangat

tidak hati-hati.

2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.

3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan

atau kecil.

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi bidan berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis).

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex”, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.35

34Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta; Widya Medika,1996,


(45)

Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.36

Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur “culpa lata” adalah:37 1. bertentangan dengan hukum

2. akibatnya dapat dibayangkan 3. akibatnya dapat dihindarkan 4. perbuatannya dapat dipersalahkan.

Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu:38

1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya (foreseeabilit, voorzienbaarheid).

2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid). 3. maka sipelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).

Salah satu contoh perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena kelalaian,misalnya pada saat seorang bidan akan memotong tali pusat bayi ternyata perut pasien atau bayinya ikut terluka.

2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan

36 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 110

37 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 88

38 Guwandi,J, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik,Jakarta; FK-UI,


(46)

tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam perawatan yang diberikan oleh bidan kepada pasiennya, terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bidan yang membahayakan kesehatan pasien atau mungkin mengakibatkan sang pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari bidan tersebut. Kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan bidan tersebut dapat terjadi ketika melakukan diagnosa ataupun mengenai perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya semakin memberikan kemudahan bagi tenaga kesehatan termasuk bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu seorang bidan diharapkan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Didalam Kode Etik Bidan, juga dicantumkan bahwa salah satu kewajiban bidan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurangnya pengalaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya malpraktek atau praktek yang dibawah standar. Karena dari pengalaman inilah seorang bidan semakin belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prfesinya


(47)

sebagai bidan. Melalui pengalaman inilah seorang bidan harus dapat menggunakan ilmu yang didapatnya ketika menjalani pendidikan.

3. Faktor Ekonomi

Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat mengenai pelbagai segi kehidupan. Segi positif dari perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari hak-haknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi kehidupan.

Sedangkan segi negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin materialistik, hedonistik dan konsumtif, dimana materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai suatu masalah dan hidup menjadi seolah-olah “perlombaan” mencari materi.39

39 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 17

Seorang bidan selain dalam profesinya adalah juga merupakan manusia biasa. Didalam kehidupannya, seorang bidan tentu saja mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi disaat ini ketika kehidupan ekonomi di Indonesia sedang mengalami masa sulit.

Dengan kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan untuk memenuhi kebutuhan dengan mencari materi, telah menutupi peran yang mulia dari profesi bidan. Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek bidan hanyalah imbalan yang akan didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.


(48)

Contoh malpraktek bidan yang disebabkan oleh faktor ekonomi, misalnya bidan dengan diberikan imbalan uang tertentu membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain yang tidak berhak untuk mengetahui rahasia tersebut. Padahal seorang bidan dilarang untuk membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian. Hal ini diatur dalam Kode Etik Bidan maupun dalam hukum pidana. Di dalam kode etik bidan hal ini diatur dalam Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa seorang bidan hanya boleh membuka rahasia pasiennya/kliennya apabila diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan. Sedangkan didalam KUHP ketentuan ini diatur dalam pasal 322 KUHP.

Pasal 322 KUHP:

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia,yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu iadiwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,-.

2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.

Contoh lain perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena faktor ekonomi adalah bidan yang dengan diberikan uang atau imbalan tertentu melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yang tidak


(49)

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan dilakukan pengguguran kandungan. Perbuatan ini diatur dan diancam pidana dalam pasal 349 KUHP yang berbunyi: “jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Selain diatur dalam pasal 349 KUHP, tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis ini juga diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 80 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi:”barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-“.

4. Faktor Rutinitas

Seorang bidan yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien dapat juga terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut menjadi sebuah rutinitas belaka. Hal ini dapat dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya malpraktek atau pelayanan yang dibawah standar. Karena dengan menjadikan praktek pelayanannya menjadi sebuah rutinitas, kemungkinan kehati-hatian atau ketelitian dalam melaksanakan tugasnya menjadi berkurang. Sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam melakukan perawatan menjadi semakin besar.


(50)

5. Perubahan Pola Hubungan Bidan-Pasien

Hubungan tenaga kesehatan (bidan)- pasien, pada masa kini telah beralih dari hubungan paternalistik ke hubungan otonom. Pasien semakin menyadari hak-hak dan kewajibannya dalam bidang pelayanan kesehatan.40

Dahulu masyarakat dapat dikatakan selalu patuh kepada tenaga kesehatan tanpa dapat bertanya apapun karena ketidaktahuan atas hak-haknya. Tetapi pada masa kini pandangan tersebut mulai ditinggalkan. Pandangan bahwa tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan selalu benar, kini telah ditinggalkan dan diganti dengan pandangan-pandangan yang kritis.

Dahulu dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat posisi tenaga kesehatan berada diatas pasien. Dengan kata lain antara tenaga kesehatan dengan pasien mamiliki hubungan yang bersifat vertikal paternal. Sedangkan sekarang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak kesehatannya maka hubungan tersebut berubah menjadi hubungan yang bersifat horizontal otonom. Yaitu posisi antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah seimbang. Sehingga apabila ada tindakan tenaga kesehatan yang merugikan pasien maka tenaga kesehatan tersebut dapat dituntut oleh pasien yang merasa dirugikan.


(51)

B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini, penulis membagi menjadi dua bagian. Yaitu upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kebidanan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri:

1. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Dalam hal ini, bidan sebaiknya tidak menjanjikan atau memberi garansi bahwa upaya yang akan dilakukannya akan seratus persen berhasil. Hal ini karena upaya yang dilakukan bidan dalam perawatan pasiennya termasuk dalam perjanjian upaya (inspanningsverbintenis) dan bukan perjanjian yang bersifat


(52)

Yang dimaksud dengan inspanningsverbintenis atau perjanjian upaya adalah kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.41

Sedangkan yang dimaksud dengan Resultaatverbintenis adalah suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji kan memberikan suatu Resultaat,yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

42

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah persetujuan sepenuhnya yang diberikan oleh klien/pasien atau walinya (bagi bayi,anak dibawah umur dan kloien/pasien yang tidak sadar) kepada bidan untuk melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan.

Seorang bidan hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan Standar Profesi Bidan.

2. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).

43

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu dialog antara bidan dengan pasien atau walinya yang didasari akal dan pikiran yang sehat dengan suatu acara birokratisasi yakni penandatanganan suatu formulir atau

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu proses bukan suatu formulir atau selembar kertas.

41

Ohoiwutun, Triana Y.A, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia 1997, hal 13

42 ibid,


(53)

selembar kertas yang merupakan jaminan atau bukti bahwa persetujuan dari pihak pasien atau walinya telah terjadi.

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent adalah:44 a. maksud dan tujuan tindakan medik tersebut

b. risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut c. kemungkinan timbulnya efek samping

d. alternatif lain tindakan medik tersebut

e. kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindakan medik itu tidak dilakukan.

Leenen menyatakan bahwa Standar Profesi Medis dan informed consent merupakan dua hal pokok yang harus dipenuhi, untuk menhilangkan sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan atau perbuatan medik.45

Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik (informed consent) ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/MENKES/Per/IX/1989.

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya informed consent, seorang bidan dapat memperlakukan pasien dengan seenaknya. Walaupun sudah ada informed

consent dari pasien atau walinya, apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan

efek negatif kepada pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal, sang bidan tetap dapat dituntut secara pidana. Yaitu apabila dalam pelaksanaan tindakan medik tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan Standar Profesi Bidan.

44 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 24 45 Ibid,


(54)

3. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis

Pengaturan mengenai Rekam Medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/MENKES/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).

Pengertian Rekam Medis menurut Pasal 1 huruf a Permenkes Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien, pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain pada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.46

a. identitas pasien

Didalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan disebutkan yang dibuat dalam rekam medis sekurang-kurangnya:

b. data kesehatan c. data persalinan

d. data bayi yang dilahirkan (panjang badan dan berat lahir) e. tindakan dan obat yang diberikan.

Petugas pembuat rekam medis ditentukan dalam Pasal 3 Permenkes Rekam Medis adalah dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.47

46 Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit, hal 20

Rekam medis ini sangat berguna, terutama untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan Standar Profesi.


(55)

Didalam bidang hukum Rekam Medis dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian perkara hukum.48

Apabila seorang bidan mengalami keraguan dalam menangani pasiennya. Baik pada tahap diagnosis maupun terapi atau perawatan, sebaiknya bidan tersebut mengkonsultasikan hal tersebut kepada senior atau dokter, atau dengan kata lain kepada orang yang menurut bidan tersebut memiliki pengetahuan yang Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 huruf b Permenkes Rekam Medis yang menyatakan bahwa Rekam Medis dapat digunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.

Dalam rangka pembuktian perkara pidana, kopi atau salinan rekam medis yang digunakan sebagai alat bukti (tanpa meminta keterangan dokter atau tenaga kesehatan pembuat rekam medis didepan persidangan) dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat karena rekam medis dibuat sesuai dengan ketentuan kriteria Pasal 187 huruf a KUHAP (dalam UU No.8 Tahun 1981). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi (dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannnya) harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat,atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. Rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian karena memenuhi unsur-unsur yang diisyaratkan oleh Pasal 187 KUHAP, yaitu apa yang ditulis sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar dan lihat.

4. Apabila Terjadi Keragu-raguan, Konsultasikan Kepada Senior Atau Dokter


(56)

lebih mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh bidan dalam menangai pasiennya.

Hal ini perlu dilakukan, agar sang bidan jangan sampai melakukan kesalahan mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya dalam menangani pasiennya.

5. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga Dan Masyarakat Sekitarnya.

Seorang bidan dalam kesehariannya, hidup didalam lingkungan masyarakat. Biasanya masyarakat inilah yang akan menjadi pasien atau klien dari bidan tersebut.

Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar bagi seorang bidan adalah sangat penting. Kedudukan bidan dalam sistem pelayanan kesehatan tidak saja sebagai pemberi pelayanan kesehatan, akan tetapi sering pula bidan menjadi semacam tempat tumpahan permasalahan dari klien maupun keluarganya. Seorang wanita dalam keadaan hamil, melahirkan ataupun pada masa nifas, seringkali mendapat gangguan pada emosinya atau pada keadaan kesehatan mentalnya. Dalam keadaan seperti ini seringkali ia ingin mencurahkan segala isi hatinya atau permasalahan dirinya secara pribadi maupun keluarga pada seseorang yang mau mendengarkannya. Biasanya orang tersebut adalah bidan, yang pada waktu-waktu tersebut sangat dekat dengan klien. Oleh karena itu sangat penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar agar ketika mendapat perawatan dari bidan sang klien atau


(57)

pasien merasa nyaman sehingga dapat memberi kepercayaan kepada bidan untuk membantunya.

Amri Amir, mengatakan bahwa hubungan tenaga kesehatan(bidan)-pasien ini adalah pangkal dari timbulnya kasus malpraktek, maka kemungkinan timbulnya kasus malpraktek dapat dikurangi dari semula bila terjalin komunikasi dan informasi yang baik antara tenaga kesehatan (bidan) - pasien.49

IBI sebagai wadah organisasi profesi bagi bidan tentu saja diharapkan agar dapat mengawasi dan membina anggotanya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada masyarakat. Didalam wadah IBI terdapat Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kebidanan:

1. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik

Pada saat ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan kebidanan (biasanya dengan nama Akademi Kebidanan atau disingkat Akbid), baik yang dimiliki pemerintah, daerah, ataupun swasta.

Hal ini mencerminkan besarnya minat masyarakat yang ingin mempelajari ilmu kebidanan dan berkecimpung dalam profesi bidan.Oleh karena, menjadi tanggung jawab bagi lembaga pendidikan kebidanan tersebut untuk membina dan melatih para peserta pendidikan kebidanan agar dapat menghasilkan bidan-bidan yang berkualitas. Para peserta pendidikan kebidanan inilah yang nantinya akan menjadi calon-calon bidan yang akan melayani didalam masyarakat.

2. Memaksimalkan peran IBI


(58)

lembaga MPEB dan MPA yang berwenang untuk mengawasi keinerja dari bidan-bidan yang adalah merupakan anggota dari organisasi IBI.

Diharapkan agar IBI melalui MPEB maupun MPA lebih dimaksimalkan fungsinya agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Karena hal ini juga dapat merusak citra bidan di mata masyarakat.

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula dari kasus-kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan oleh bidan sehingga para tersangka dapat terbebas dari hukuman.

Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:

1. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan. Hukum kesehatan adalah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga aparat penegak hukum masih sulit untuk dapat menyelesaiakan atau memproses kasus-kasus yang berkaitan dengan malpaktek.


(59)

perbandingan, ,misalnya untuk dapat menentukan kesalahan dari pengemudi yang menyebabkan kecelakaan, sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau bahkan meninggal. Aparat penegak hukum dapat dengan mudah menentukan ukuran pengemudi yang memiliki kemampuan rata-rata. Sedangkan pada kasus malpraktek hal ini tidak mudah untuk menentukan kemampuan rata-rata dari setiap tenaga kesehatan.

2. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan

Untuk dapat membuktikan kesalahan bidan, terlebih lagi yang disebabkan oleh kelalaian bukanlah hal yang mudah. Karena dalam kesalahan yang dilakukan oleh bidan banyak faktor yeng mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari timbulnya kesalahan tersebut. Faktor tersebut dapat berasal dari pihak bidan maupun pihak pasien itu sendiri.

Faktor yang berasal dari pihak bidan: a. Penatalaksanaan tindakan medik b. Cara pemeriksaan

c. Kecermatan dan ketelitian

Faktor yang berasal dari pihak pasien: a. Tingkat keseriusan penyakit b. Daya tahan tubuh pasien c. Usia

d. Kemauan dari pasien untuk sembuh e. Komplikasi dari penyakitnya


(60)

3. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan

Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-rata seorang tenaga kesehatan sangatlah sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi penentun itu. Sebagai misalnya seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun.

Selain untuk kendala dalam menilai kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, adalah tidak meratanya keadaan dari tiap daerah. Seorang tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaan di Irian Jaya selama sepuluh tahun tentu tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaannya selama sepuluh tahun di rumah sakit dengan peralatan super canggih di Jakarta.

Selain itu kemampuan tenaga kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan informasi dan peralatan, tidak dapat disamakan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang bekerja di kota besar yang tentunya sangat mudah memperoleh informasi dan dikelilingi oleh peralatan canggih.


(61)

BAB IV

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DALAM PERAWATAN PASIENNYA

A. Kriteria Penilaian Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada sebab/kausa dari tindak pidana.50

Masyarakat lebih menekankan pada akibat yang ditimbulkan, seberapa jauh pasien dirugikan. Makin berat akibatnya, semakin besar dianggap kesalahan tenaga kesehatan tersebut.

Begitu banyak kasus malpraktek yang diajukan ke pengadilan, akan tetapi banyak juga kasus-kasus tersebut yang kandas atau tidak dijatuhi hukuman ataupun pidana oleh pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pandangan yang salah terhadap timbulnya tuntutan malpraktek dari masyarakat.

51

Secara hukum apakah seseorang melakukan malpraktek atau tidak, harus dibuktikan di depan pengadilan. Seperti dikemukakan diatas, fokus dari tindak pidana medis adalah pada sebab atau kausa dari tindak pidana tersebut. Dengan Setiap ada tindakan tenaga kesehatan atau bidan yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan pasien, maka tindakan bidan atau tenaga kesehatan itu dikatakan sebagai malpraktek. Hal inilah yang menyebabkan tuntutan malpraktek semakin meningkat.

50 Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 59 51 Amir, Amri, op.cit., hal 62


(1)

tertentu. Misalnya pada daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan. Akan tetapi pada kasus ini, terdakwa melakukan perbuatan tersebut dikota Medan, yang merupakan kota besar dan memiliki banyak tenaga kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada korban.

Dengan kata lain, pada kasus ini sebenarnya terdakwa memiliki pilihan lain yang lebih baik untuk menangani korban. Yaitu dengan sejak awal merujuk korban kepada bidan atau dokter yang memiliki wewenang yang menurut terdakwa dapat membantu korban untuk melahirkan. Misalnya menyarankan atau merujuk korban kepada dokter konsul terdakwa.

Di dalam pasal 15 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan bahwa salah satu syarat dilakukannya tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yaitu dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

Oleh karena itu perbuatan terdakwa yang memberikan SINTO (obat perangsang kelahiran) tanpa izin dokter dan melakukannya tanpa memiliki wewenang dan izin untuk menjalankan praktek kebidanan adalah tidak sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan. Dan oleh karena itu terdakwa dapat dikenakan dan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 80 UU Kesehatan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor penyebab tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan adalah:

a. Kelalaian (negligence, culpa)

b. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman c. Faktor Ekonomi

d. Perubahan Pola Hubungan Bidan-Pasien

Sedangkan mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan adalah:

a. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya b. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan

Tindakan Medis (Informed Consent)

c. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis d. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik

e. Memaksimalkan peran IBI

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula dari kasus-kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan oleh bidan sehingga para tersangka dapat terbebas dari


(3)

hukuman. Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:

a. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan b. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan

c. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan.

2. Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh bidan terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan. Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak. Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan


(4)

kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.

B. Saran

1. Kiranya kepada para bidan dapat diberikan pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan profesinya.

3. Kiranya para bidan lebih bertindak hati-hati dan dapat selalu memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat, dengan begitu masyarakat puas dan bidan pun dapat terhindar dari tuntutan malpraktek.

4. Kiranya masyarakat pun dapat mengerti bahwa tidak semua akibat negatif yang timbul sebagai akibat dari kesalahan bidan, karena mungkin saja hal tersebut adalah kecelakaan medik atau hal-hal lain yang tidak dapat dihindarkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Achadiat, Chrisdiono M, 1996, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta:Widya Medika

Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika Chazawi, Adami,2001, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa,Jakarta:Raja Grafindo Persada

Guwandi ,J, 1993, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, Jakarta: FK-UI

Guwandi ,J, 1999, Kelalaian Medik, Jakarta: FK-UI

Isfandyarie,Anny,2005, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka

Mariyanti, Ninik,1988, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, Jakarta: Bina Aksara

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, 1997, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran EGC

Koeswadji, Hermien Hadiati,1998, Hukum Kedokteran (Study Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti

Nasution, Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta

Ohoiwutun, Triana Y.A, 1997, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia

Satyo, Alfred C, 2004, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi Dokter, Medan: USU Press

Sofyan, Mustika,dkk,2007, Bidan Menyongsong Masa Depan,Jakarta: PP IBI Soeparto, Pitono,dkk, 2008, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University


(6)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No .900 /MENKES/ SK/ VII/ 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

18 209 106

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Diskresi Kepolisian Republik Indonesia Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Poldasu)

2 56 130

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

Penyelesaian Hukum Dalam Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

0 7 75