Penyelesaian Hukum Dalam Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

  

PENYELESAIAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

PERIKANAN YANG DILAKUKAN OLEH

WARGA NEGARA ASING

584/Pid.B/2007/PN.Mdn) (Studi kasus No.

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

  

Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

oleh:

RAHMAH

  

NIM: 030200066

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

  

PENYELESAIAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

PERIKANAN YANG DILAKUKAN OLEH

WARGA NEGARA ASING

584/Pid.B/2007/PN.Mdn) (Studi kasus No.

S K R I P S I

  Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh

  Gelar Sarjana Hukum OLEH:

  RAHMAH NIM: 030200066

  DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

  KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

  H. ABUL KHAIR, SH. M. HUM NIP: 131 842 854

  DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II SYAFRUDDIN, SH. MH. DFM Dr. MARLINA, SH. M. Hum NIP: 131 842 853 NIP: 132 300 072

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

  

ABSTRAK

  Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kawasan maritim, termasuk didalamnya yakni Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Menurut UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia menegaskan batasnya yakni 200 mil dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, namun apabila bersinggungan dengan ZEE dari Negara lain maka harus ada persetujuan atau kesepakatan antara Indonesia dengan Negara tersebut. Hal ini menjadi sangat penting karena Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh perairan serta perbatasan yang sangat tipis dengan negara lain sehingga perairan berpotensi digunakan sebagai jalur melakukan kegiatan illegal. Salah satu bentuk kegiatan illegal tersebut adalah terjadinya pencurian ikan yang dilakukan oleh warga negara asing di perairan Indonesia. Mengingat potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia yang begitu besar, namun ternyata potensi dan kekayaan sumber daya tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, bahkan terjadi sebaliknya, kekayaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing) dan penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing).

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal

  

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

  didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through . Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

  judicial process)

  sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

  Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia, pengaturan tentang tindak pidana pencurian ikan di Indonesia, dan penyelesaian hukum dalam tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara asing

  Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang perairan Indonesia, yaitu

Undang-Undang No. 6 Tahun 1996; yang mengatur wilayah perairan Indonesia sesuai

dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB. Undang-Undang ini mencabut Undang-

Undang No.4 Tahun 1960 sedangkan peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang baru tetap berlaku.

  Pengaturan tindak pidana perikanan diatur dalam Undang-undang Nomor

  31 Tahun 2004 tentang Perikanan yakni diatur dalam Pasal 84 s/d Pasal 105. Dari pasal-pasal tersebut, ketentuan pasal yang dikategorikan mengatur tentang pencurian ikan terdapat dalam pasal 92 s /d pasal 95 dan pasal 98.

  Penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing dilakukan sesuai dengan ketentuan positif Indonesia, sebab melalui penerapan yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial, Indonesia dapat mengadili warga negara asing yang melakukan tindak pidana di wilayah teritorialnya.

KATA PENGANTAR

  Puji dan Syukur Penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan hikmat dan karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan sebaik mungkin.

  Swalawat beriring salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw, yang telah membawa kita manusia dari alam kegelapan sampai kealam terang benderang, dan juga salam kepada keluarga, sahabat dan serta pengikut-pengikutnya yang seiman dan seaqidah.

  Skripsi ini disusun dalam rangka memnuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai Program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis bahas adalah: “Penyelesaian Hukum Dalam Tidak Pidana Pencurian Perikanan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

  584/Pid.B/2007/PN.Mdn).

  Sebagai seorang hamba Allah, tidak ada gading yang tak retak Penulis sadar bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki.

  Untuk itu segala kerendahan hati, penulis mengharap saran dan kritik yang konstruksi sama lebih terciptanya suasan untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

  Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :

  1. Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

  2. Bapak Abul Khair, SH,M.Hum, selaku ketra Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

  3. Syafruddin, SH. Mh. Dfm selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk serta pemasukan dalam penulisan skripsi ini.

  4. Dr. Marlina, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk serta pemasukan dalam penulisan skripsi ini.

  5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan khususnya Ibu Nurmalawaty, SH, ibu Puspa Melati SH, M.Hum, Bang Chairul Naim, Ibu Swesena SH yang telah sedia memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan

  6. Seluruh Staf Dosen-dosen Dalam menempuh Perjalanan hidup yang penuh perjuangan, Penulis ingin menghaturkan terima kasih kepad aorang yang telah memberikan kasih sayang kepada penulis yang tiada batas, kepada :

  1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta Alm, Ayahanda Syahren SH, dan Ibunda Nursyam yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan yang tak terhingga baik di masa perkuliahan sampai selesai.

  2. Saudara-saudaraku Kakanda Herna, Kakanda Nurhalimah, Ahanda Budi Abdullah dan serta kakak ipar Yossie, Abang ipar M. Salim, Abang Ipar Iful 3. Kakak-kakak di Fak. Hukum serta rekan-rekan Stb 03.

  Terima kasih juga Penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut mendukung proses penyelesaian Skripsi ini.

  DAFTAR ISI

  BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Permasalahan ........................................................................... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan................................................. 3 D. Keaslian Penulisan ................................................................... 5 E. Tinjauan Kepustakaan.............................................................. 5 F. Metode Penelitian .................................................................... 16 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 21 BAB II TINJAUAN TERHADAP PERAIRAN INDONESIA.................. 22 A. Pengaturan Tentang Perairan Indonesia dalam Peraturan Perundang-Undangan............................................................... 22 B. Landasan Hukum terhadap Penegakan Hukum di Perairan di Indonesia .................................................................................. 29 BAB III TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN....................................................... 42 A. Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Bidang Kelautan........................................................... 34 B. Pengaturan tentang Tindak Pidana Perikanan di Indonesia ..... 38 BAB IV PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERIKANAN................................................................................. 42

  C. Kasus ........................................................................................ 42

  D. Analisa kasus............................................................................ 51

  E. Proses Penyelesaian Hukum Terhadap Warga Negara Asing yang Melakukan Tindak Pidana Perikanan.............................. 55

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 63 A. Kesimpulan .............................................................................. 63 B. Saran......................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama

  kekayaan lautnya yang luar biasa. Namun selama ini kekayaan laut tersebut belum dikelola dengan baik, sehingga hasil laut belum banyak ikut membantu mensejahterakan rakyat. Bahkan ada indikasi kekayaan laut Indonesia dicuri pihak

   asing hingga puluhan triliun rupiah.

  Pembangunan sektor kelautan pada saat ini merupakan pilihan yang strategis dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional, agar tercipta landasan ekonomi yang kuat. Mengingat potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,3 juta ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 5 juta ton, dan di ZEEI 1,9 juta ton dengan JTB 1,5 juta ton. Kenyataan potensi dan kekayaan sumber daya tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, bahkan terjadi sebaliknya. Kekayaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing) dan penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing). Departemen kelautan dan perikanan memperkirakan dari 7.000 izin operasi penangkapan ikan, 70% merupakan kapal asing. Perkiraan kerugian dari operasi kapan asing ini menurut departemen kelautan dan perikanan sudah mencapai US$ 1,36 milyar yang merupakan kerugian akibat hilangnya fee, hilangnya iuran keterampilan tenaga kerja dan lost

  

akibat subsidi BBM secara tidak langsung.

  Pencurian ikan atau Illegal fishing hingga kini belum dapat diatasi dan merugikan negara puluhan triliun rupiah. Koalisi rakyat untuk keadilan perikanan (KIARA), dalam catatan sepanjang 2005-2008, terdapat sekitar 800 kasus kejahatan perikanan yang dilakukan oleh kapal asing di perairan Indonesia. Akibat kejahatan perikanan tersebut, dalam satu tahun negara dirugikan Rp. 30 Triliun. Pencurian ikan ini tidak hanya melanggar kesepakatan internasional di ranah kelautan, namun juga melemahkan kedaulatan Indonesia dan keberlanjutan

   sumber daya perikanan nasional.

  Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out of control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia. Sebaliknya masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai, padahal menurut data, kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia

   mencapai USD 9 milyar per tahun.

  Kejahatan serta pencurian ikan terus terjadi di laut Indonesia, hal ini masih terus didapati walaupun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2006 yang telah diperbaharui melalui Permen No. 5 Tahun 2008, akan

  2 3 Harian Media Indonesia, Pencurian Ikan Kembali Terjadi, 24 Juni 2001.

  Sinar harapan, “Illegal Fishing” di Indonesia, Fenomena Pencurian Ikan dan Karang Memutih, 14 januari 2009. 4 tetapi para pencuri ikan tersebut, khususnya para warga negara asing tidak jera-

  

  Oleh karena hal tersebut, maka penegakan hukum pidana terhadap para pencuri ikan di Indonesia harus segera mendapat perhatian serius. Hal ini ditujukan agar praktek-praktek pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal yang dioperasikan oleh warga negara asing tidak terus terjadi sehingga tidak terus menerus merugikan keuangan negara.

  Oleh karena hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Penyelesaian Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing”.

  B. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Adapun perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia?

  2. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pencurian ikan di Indonesia?

  3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara asing? (Studi Kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia.

  b. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana pencurian di Indonesia.

  c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum dalam tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh warga negara asing (Studi Kasus No.

  584/Pid.B/2007/PN.Mdn) 2.

   Manfaat Penelitian

  Penelitian yang penulis lakukan memiliki manfaat antara lain :

  a. Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi segi hukum dalam rangka membahas penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing.

  b. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan para penegak hukum agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pengaturan hukum terhadap tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing dengan peraturan perundang- undangan tentang pemidanaan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penerapan penyelesaian hukum terhadap tindak pidana tersebut. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari- hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

  D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus No.

  ,belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di

  584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

  Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

  E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Perikanan

  Yang dimaksud dengan tindak pidana perikanan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja di bawah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan di wilayah

   pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

2. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana a. Menurut Waktu Asas Legalitas

  Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J.

  Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk menghindari tindakan

   sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya.

  Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun

  L’homme

  pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland

  6 7 Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004.

  Ahmad Bahiej, “Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Indonesia menurut Waktu dan

  1881 dan Pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut:

  

  “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena

  siena

  praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undangundang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.

  Konsekuensi Asas Legalitas Formil

  1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana dan dilarang untuk melakukan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.

  2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, yaitu bahwa aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif).

  Yang menjadi dasar pemikiran dari hal ini adalah:

  a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

  b. berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

  Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.

  Menurut asas legalitas formil, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP). Oleh karena itu dahulu

  Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundangundangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).

  Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada: a. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.

  “Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum”. Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi

  10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.

  Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.” b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

  “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.

  Selanjutnya Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1 (3) Konsep KUHP menyebutkan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”

  Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung asas lex temporis delictie, yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa. Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP Korea dan Thailand. Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP berbunyi:

  1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.

  2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

  3. Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

b. Menurut Tempat

  Jika di dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mengatur berlakunya hokum pidana Indonesia menurut waktu (kapan dilakukannya tindak pidana), berlakunya hukum pidana Indonesia sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana itu diberlakukan.

  Kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat ini diatur dalam Pasal 2 s.d. 9 KUHP yang kemudian dikelompokkan menjadi empat asas, yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas perlindungan (nasional pasif) dan asas universal.

1) Asas Teritorial atau Asas Wilayah

  Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu.

  Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia.

  Berdasar Konvensi Paris 13 Oktober 1919, wilayah Indonesia meliputi tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut sampai 12 mil diukur dari titik pantai dari pulau-pulau terluar. Jika berbatasan langsung dengan negara tetangga yang jaraknya kurang dari 24 mil, maka diambil titik tengah sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah negara Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Wilayah ini kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

  Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hokum pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas wilayah Indonesia. Arti harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, yang dapat bergerak di atas air. Namun berdasarkan hukum internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang Iaut terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain). Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya kapal udara, karena saat KUHP dibentuk belum dikenal adanya pesawat udara. Namun dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini kemudian diubah menjadi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2) Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana.

  Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d.

  7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah Pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah Pasal dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan. Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasi bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan dia dari penuntutan pidana.

  Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara tempat dilakukannya tindak pidana tidak diancam dengan pidana mati, maka ketika warga negara Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.

3) Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif

  Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan. Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang

  

  dikelompokkan ke dalam asas perlindungan adalah:

  1. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).

  2. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia.

  3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia

  4. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP) 5. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).

  Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri.

  9

4) Asas Universal

  Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan.

  Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:

  1. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.

  2. Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.

  Pasal 9 menyebutkan bahwa berlakunya Pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional. KUHP tidak merinci hukum internasional mana yang membatasi Pasal-Pasal tersebut. Dengan demikian, aturan ini cukup luas karena dimungkinkan adanya perubahan- perubahan ketentuan berdasar pada hukum internasional. Pengecualian yang didasarkan pada hukum internasional ini adalah hak imunitas atau exterritorialitas.

  Hak imunitas adalah hak yang dimiliki oleh seseorang terhadap tuntutan pidana dari negara tempat ia melakukan tindak pidana. Hak imunitas ini didasarkan pada Perjanjian Wina 1961 yang da

  

  1. Kepala negara asing dan keluarganya

  2. Duta besar negara asing dan keluarganya

  3. Anak buah kapal perang negara asing

  4. Pasukan negara sahabat yang berada di wilayah negara atas persetujuan negara yang bersangkutan.

F. Metode Penelitian

  Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu di antaranya:

  

  a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

  Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.

  Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

  Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam:

  

  a. Penelitian hukum normatif 10 Ibid, hal. 3 11 b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris Sedangkan menurut Soetandyo Wognojosoebroto, penelitian hukum dibagi atas: a. Penelitian doktrinal

  b. Penelitian non doktrinal Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau

  

  teori yang disusun secara deduktif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided

  

  . Penelitian hukum normatif dalam

  by the judge through judicial process)

  penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah

   spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

  Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, 13 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 105. 14 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hal. 118. 15

  buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

  Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

  

  kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

  Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber- sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen- dokumen terkait dan beberapa buku mengenai penerapan bukti elektronik terhadap tindak pidana khususnya terhadap tindak pidana penipuan melalui transaksi elektronik.

2. Sumber Data

  Materi dalam skripsi ini diambil dari sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah: a) Bahan Hukum Primer

  Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

  

  berwenang. Bahan hukum primer dalam tulisan ini di antaranya Undang-undang 16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press: Malang, 2007, hal. 57. 17

  Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan peraturan lain yang terkait.

  b) Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

  c) Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

  Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

  

  berikut:

  a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

  b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

  c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

  d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

  Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan masalah penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing.

4. Analisa data

  Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

  

  20

  dengan menggunakan metode deduktif dan induktif 18 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63. 19 Adalah metode yang dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan berbagai data yang diperoleh yang berkaitan dengan objek penelitian. 20

  

  21

  Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing. Analisis data dilakukan

  

  secara kualitatif , yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum.

  Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

  BAB I: Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

  BAB II: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan terhadap perairan Indonesia, yang mengulas tentang pengaturan tentang perairan Indonesia dalam peraturan perundang-undangan dan landasan hukum terhadap penegakan hukum di perairan Indonesia.

  BAB III: Dalam bab ini akan dibahas secara singkat mengenai tindak pidana perikanan dalam peraturan perundang-undangan yang akan 21 penulis lakukan pembahasan jenis-jenis tindak pidana di

  Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, bidang perikanan dan pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indonesia.

  BAB IV: di dalam bab ini akan dibahas tentang penyelesaian hukum terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan, dimana akan penulis deskripsikan kasus yang menyangkut tentang tindak pidana dan perikanan dan akan penulis berikan analisa terhadap kasus tersebut.

  BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERAIRAN INDONESIA A. Pengaturan Tentang Perairan Indonesia dalam Peraturan Perundang- Undangan Konvensi Hukum Laut 1982 ditandatangani 10 Desember 1982 dan

  dinyatakan berlaku 14 Nopember 1994. Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional, Indonesia menyatakan dirinya terikat dengan ketentuan KHL 1982. Suatu perkembangan baru dalam Hukum Laut Internasional, yaitu diterimanya rejim hukum Negara Kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta perkembangan yang dirumuskan dalam KHL 1982.

  Ditetapkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia merupakan implementasi pengaturan hukum Negara Kepulauan yang dirumuskan dalam KHL 1982. Sebagai sumberdaya yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi baik nasional dan daerah, proses pembangunan perikanan dan kelautan harus lebih mampu berperan dan berdaya guna. Pembangunan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimaksud tidak hanya bagi peningkatan hasil secara kuantitas, tetapi secara kualitas yang berarti meningkatkan serta menghasilkan nilai tambah komoditas dari perikanan dan kelautan. Pengembangan wilayah ekonomi berbasis kelautan termasuk didalamnya perikanan yang diwujudkan dalam suatu program pembangunan perikanan dan kelautan pada hakekatnya adalah rangkaian upaya untuk memfasilitasi, melayani menguntungkan dan tentunya berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka UU No. 4/Prp/1960 dinyatakan tidak berlaku.

  Undang-undang No. 6 Tahun 1996 menyatakan yang dimaksud dengan

  

  perairan Indonesia meliputi:

  a. Laut teritorial Indonesia

  b. Perairan Kepulauan c. Perairan Pedalaman.

  Selanjutnya disebutkan lebar laut teritorial adalah 12 mil dihitung dari

   garis pangkal kepulauan Indonesia.

  Selain perairan yang disebut diatas, Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atau kedaulatan terbatas, yaitu: a. perairan “contiguous zona” (zona tambahan) b. perairan di atas landas kontinen.

  c. perairan zona ekonomi eksklusif.

  1. Laut Pengertian laut teritorial sebagaimana di atur dalam Pasal 3 ayat 2 UU No.

  6 Tahun 1996, adalah jalur laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-

  23

  

  karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Status hukum laut teritorial Indonesia adalah tunduk di bawah kedaulatan Negara Indonesia. Konsekwensi dari kedaulatan ini, bahwa segala pengaturan hukum yang berkenaan dengan pemanfaatan laut teritorial baik atas kepentingan internasional maupun kepentingan nasional yang terdapat di dalamnya tunduk pada pengaturan dan kekuasaan Indonesia. Di perairan laut teritorial Indonesia mempunyai kekuasaan mutlak atas wilayah perairan, dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya. Tetapi sepanjang berkenaan dengan perairan laut teritorial kedaulatan ini dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi kapal asing dan dijamin keberadaannya oleh Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), yaitu Pasal 17 sampai dengan Pasal 32. Sedangkan dalam Hukum Laut Nasional Indonesia ketentuan lintas damai bagi kapal asing di atur dalam Pasal 11 sampai dengan

  Pasal 17 UU No. 6 Tahun 1996. Dan sebagai peraturan pelaksanaannya masih tetap dengan peraturan yang lama, yaitu PP No. 8 Tahun 1962 sebelum diganti dengan yang baru.

2. Perairan Kepulauan

  Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali, 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu

   kepanjangan maksimum 125 meter .