Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(1)

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh 090200082 WYNNE WIJAYA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh 090200082 WYNNE WIJAYA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Nip.197002012002122001 Windha, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH

NIP. 195603291986011001 NIP. 197002012002122001 Dr. T.Keizeirina Devi Azwar, SH,CN, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” setelah sekian lama akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari, sebagai manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing Penulis sejak masuk bangku kuliah hingga akhir penulisan skripsi ini, maka Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan ini ijinkan Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih Penulis kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, S.H. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. M.Hum. selaku Dosen

Pembimbing I Penulis yang telah begitu banyak membantu Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis, Penulis sangat berterima kasih.

9. Ibu Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang juga telah banyak membantu Penulis dalam

penyempurnaan penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.

10.Bapak Alwan, S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali Penulis semasa perkuliahan.


(5)

11.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada Penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta kepada pegawai-pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Seluruh keluarga inti, Ibu yang terkasih, Ayah, Paman dan Adik yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13.Sahabat saya, Yessica “Otan” Tan, yang telah bersama-sama melalui suka dan duka dalam menjalani masa akhir perkuliahan.

14.Seluruh rekan-rekan stambuk 2009 yang merupakan teman akrab penulis

yang telah banyak membantu selama ini. Sophie Dhinda Aulia Brahmana, Sari Mariska Siregar, Paulina Tandiono, Yessica Tan, Agnes Adriani Halim, Johannes Parulian Hutapea, Santi Hutauruk, Hanssen, Budi Praptio, dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita awet sampai kakek-nenek.

15.Teman-teman akrab semasa SMA Penulis yang telah membantu dan ,mendukung penulis sebelum, selama, dan sesudah pengerjaan skripsi ini : Jasinda, Jessica Novia, Tiffany, Yurika, dan Stephanie Gani dan seluruh teman sekelas XII-IPA-1 Methodist-3.

16.Senior-senior hukum, Aini Halim, Kak Fika, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

17.Semua pihak yang membantu penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat


(6)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis memohon maaf kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Akhirnya sembari mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmad dan karunia-Nya. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Maret 2013 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

ABSTRAKSI... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang ... 16

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 26

C. Pengaturan Tentang Korporasi ... 43

BAB III : BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KORPORASI A. Pengaturan tentang Korporasi di Indonesia ... 50

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan Korporasi ... 58


(8)

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

A. Unsur-Unsur Penentuan Korporasi

Melakukan Praktek Money Laundering ... 88 B. Tanggung Jawab Korporasi

Dalam Rezim Anti Money Laundering ... 91 C. Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi

yang Melakukan Praktek Money Laundering ... 95

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 105


(9)

ABSTRAKSI

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH∗ Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, SH., CN, M.Hum∗∗

Wynne Wijaya∗∗∗

Tindak pidana pencucian uang sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah, dalam perkembangannya, tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan saja tetapi korporasi juga digunakan untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan, bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang dan pertanggungjawaban hukum dalam tindak pidana korporasi.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, makalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang lain yang berkaitan erat dengan pencucian uang seperti tindak pidana narkotika, korupsi, terorisme, Keputusan Kepala PPATK, Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan, dan peraturan-peraturan lainnya.

Dosen Pembimbing I ∗∗

Dosen Pembimbing II

∗∗∗


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana pencucian uang atau yang lebih dikenal dengan istilah

money laundering merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media

massa, oleh sebab itu banyak pengertian yang berkembang sehubungan dengan istilah pencucian uang. Sutan Remi Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah

money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha

yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang diperoleh dari hasil tindak pidana.1

“Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legal channels so that its original source cannot be traced.”

Dalam Black’s Law Dictionary karya Henry Campbell Black (1990), money laundering didefinisikan sebagai berikut:

2

Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah penyetoran atau penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan atau pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal melalui saluran legal, sehingga sumber-sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui atau dilacak.3

Istilah pencucian uang atau money laundering dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan

1

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 17.

2

Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, (Bandung: BooksTerrace & Library Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2008), hlm.17.

3


(11)

laundry. Hal ini dikarenakan pada masa itu kejahatan pencucian uang tersebut dilakukan oleh organisasi kejahatan mafia melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencuci pakaian atau laundry sebagai tempat untuk melakukan pencucian uang hasil kejahatan, dari sanalah muncul istilah money laundering.4

Menurut Aziz Syamsuddin, tindak pidana pencucian uang adalah tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks. Atau, tindak pidana pencucian uang sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.5

Tindak pidana pencucian uang ini bukan hanya bisa dilakukan oleh perorangan saja tetapi juga dapat dilakukan oleh korporasi. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia ini, sangat menitikberatkan perkembangan dan pembangunan ekonominya kepada sektor swasta yang didominasi oleh korporasi. Oleh karena itu hubungan antara tindak pidana pencucian uang dengan korporasi ini sangatlah erat. Perkembangan teknologi yang semakin maju pesat juga membawa pengaruh terhadap tindak pidana pencucian uang, salah satunya yang dilakukan oleh korporasi dapat dengan mudah terjadi dan menghasilkan kekayaan dalam jumlah yang sangat besar.

4

Ibid., hlm. 19

5


(12)

Korporasi bagi orang awam dimengerti hanya sebagai perusahaan saja, tetapi sebetulnya dalam hukum, korporasi mempunyai pengertian yang lebih detail. Kata korporasi menurut Kamus Hukum Fockema Andreae : “Corporatie: dengan istilah ini kadang-kadang dimaksudkan suatu badan hukum; sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memerlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai suatu kesatuan...”.6

Secara umum ada dua alasan pokok yang menyebabkan praktik pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, sebagai berikut:

Korporasi ini dapat berupa bank, perusahaan efek (dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang di pasar modal), dan sebagainya.

Pertama, Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Misalnya, dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana yang banyak digunakan untuk kegiatan tidak sah dan menyebabkan pemanfaatan dana yang kurang optimal, sehingga merugikan masyarakat. 7

Hal tersebut terjadi karena uang hasil tindak pidana diinvestasikan di negara-negara yang dirasakan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik. Dampak negatifnya money laundering bukan hanya menghambat pertumbuhan ekonomi dunia saja, tetapi juga menyebabkan

6

N.E Algra, H.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki, Boerhanoeddin St. Batoeah,

Kamus Istilah Hukum Fockma Andreae Belanda – Indonesia (Bandung : Binacipta, 1983), hal.83.

7


(13)

kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, fluktuasi yang tajam pada nilai tukar suku bunga dan dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan internasional.8

Kedua, dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan memudahkan penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Misalnya, menyita hasil tindak pidana yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Pernyataan pencucian uang sebagai tindak pidana juga merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.9

Adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh dibelakang tindak pidana pencucian uang yang biasanya sulit dilacak dan ditangkap, karena pada umumnya mereka tidak terlihat dalam pelaksanaan tindak pidana, tetapi menikmati hasil tindak pidana tersebut.

Oleh karena akibat dari pencucian uang dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan internasional, maka pihak-pihak yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus melakukan tugasnya secara optimal. Pihak-pihak tersebut antara lain :10

1. Bank Indonesia

8

Ibid., hlm. 13

9

Ibid.

10


(14)

Merupakan pengawas dan pembina industri perbankan, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat, pedagang valuta asing dan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU). Beberapa ketentuan yang terdapat dalam peraturan Bank Indonesia yang mendukung pencegahan tindak pidana pencucian uang, misalnya peraturan tentang penerapan KYC (Know Your Customer) dan penugasan khusus Direktur Kepatuhan pada bank umum untuk dapat menerapkan ketentuan perbankan yang sehat.

2. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)

PPATK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam menjaga keindependenannya, ketentuan mengenai PPATK dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang melarang setiap orang untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Di sisi lain, PPATK diwajibkan menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun.

Fungsi PPATK dalam melaksanakan tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, sebagai berikut :

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor;


(15)

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.11

3. Pihak Pelapor

Pihak pelapor dalam tindak pidana pencucian uang, meliputi pihak-pihak sebagai berikut:12

a. penyedia jasa keuangan: 1) bank;

2) perusahaan pembiayaan;

3) perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4) dana pensiun lembaga keuangan;

5) perusahaan efek; 6) manajer investasi; 7) kustodian;

8) wali amanat;

9) perposan sebagai penyedia jasa giro; 10)pedagang valuta asing;

11)penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; 12)penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;

13)koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; 14)pegadaian;

11

Pasal 40 UU RI No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

12

Pasal 17 ayat (1) UU RI No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(16)

15)perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; 16)penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. penyedia barang dan/atau jasa lain: 1) perusahaan properti/agen properti; 2) pedagang kendaraan bermotor;

3) pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; 4) pedagang barang seni dan antik; atau

5) balai lelang.

4. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Merupakan lembaga yang bertugas melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang, sebagai tindakan pencegahan, Bapepam-LK mengekuarkan kebijakan sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM-LK No. Kep-476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal. Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal antara lain perusahaan efek, pengelola reksa dana, dan kustodian. Sementara itu, yang dimaksud dengan lembaga keuangan non-bank antara lain perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, BAPEPAM-LK juga berwenang mengadakan pemeriksaan, penyidikan, bahkan menerapkan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.


(17)

Merupakan regulator / pengawas perposan sebagai salah satu pengelola jasa keuangan (PJK) berdasarkan UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Kementrian Perdagangan

Merupakan regulator / pengawas perdagangan. 7. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC)

Merupakan salah satu unit di bawah Kementrian Keuangan yang juga bagian dari rezim anti-pencucian uang terkait dengan pelaporan Cross Border CashCarrying (CBBC), yaitu pembawaan uang fisik lintas negara.

8. Penegak hukum

Berikut ini adalah penegak hukum terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

a. Penyidik Tindak Pidana Asal

Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sementara itu, yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagai berikut :

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia 2) Kejaksaan


(18)

3) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 4) Badan Narkotika Nasional (BNN) 5) Direktorat Jenderal Pajak

6) Direktorat Jenderal Bea Cukai

Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

b. Pengadilan

Melaksanakan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang pada sidang pengadilan. Khusus di pengadilan tindak pidana korupsi, perkara yang diproses selain pekara tindak pidana korupsi juga perkara tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan topik pembahasan di atas penulis merumuskan beberapa hal yang akan dikaji dalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang oleh korporasi?


(19)

C. Tujuan dan Manfaat

Secara umum tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus lagi, tujuan penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang oleh

korporasi.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dalam tindak pidana korporasi sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Di samping tujuan di atas diharapkan juga skripsi ini memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis, pembahasan ini bisa menjadi tambahan ilmu dalam hukum ekonomi. Dan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia

2. Secara praktis, pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya untuk mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang pada suatu korporasi beserta akibat-akibatnya.


(20)

D. Keaslian Penulisan

“Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti secara administrasi dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Jadi, penulisan dan pembahasan skripsi ini dengan mengangkat judul tersebutdi atas dapat dikatakan asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi ciri dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga pengangkatan judul di atas dapat juga dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah :

1. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dapat dipidana atau dihukum.13

2. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.14 3. Korporasi adalah kumpulan orang dan / atau kekayaan yang terorganisasi,

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.15

13

Tb. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang(Money Laundering), (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hlm. 37.

14

Pasal 1 (1) UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang


(21)

4. Berdasarkan dapat disinonimkan dengan kata menurut atau sesuai

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 adalah Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2010 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122)

F. Metode Penulisan

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan penelitian hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, digunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan hanya menggunakan data-data sekunder. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.16

15

Pasal 1 (10) UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang

Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas-asas atau suatu peraturan-peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanannya, serta menganalisa secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang.

16

Johnny Ibrahim, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hal. 47.


(22)

2. Data

Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif maka data-data yang dipergunakan adalah data-data berupa bahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang seperti :

a) Bahan Hukum Primer yaitu : bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang khusus yang berkaitan dengan masalah merger atau penggabungan perusahaan yang ada dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang dijadikan sasaran peraturan pelaksananya.

b) Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer.

c) Bahan hukum tertier yaitu : kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan teknik pengumpulan data melalui Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan


(23)

perundang-undangan maupun karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang diajukan.

4. Analisa Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam Undang-Undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasikan kuslifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sisteatis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran tulisan ini maka penelitian ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan secara ringkas latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.


(24)

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan tindak pidana pencucian uang, mencakup sejarah dan pengaturan pencucian uang, serta pengaturan tentang korporasi secara umum.

BAB III : BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KORPORASI

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan korporasi di Indonesia dan bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi.

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai unsur-unsur penentuan kooporasi melakukan praktek money laundering, tanggung jawab korporasi dalam rezim anti-money laundering dan bentuk pertanggungjawaban korporasi yang melakukan praktek money laundering.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


(25)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Money Laundering sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime telah lama ada. Kejahatan money laundering telah ada sejak tahun 1697, di mana seorang perompak bernama Henry Every melakukan perompakan terhadap sebuah kapal Portugis bernama Gung-i-Suwaie yang dari hasil rompakannya tersebut didapatkanlah barang berharga berupa berlian senilai £325.000 poundsterling.17 £325.000 poundsterling tersebut dalam kurs sekarang setara dengan Rp. 4.798.625.000,- (£ 1 = Rp. 14.765,-).18

Henry Every kemudian menetap di sebuah kota kecil bernama Devanshire di Bideford dan menanamkan uang hasil rampokan tersebut pada transaksi perdagangan berlian di Bideford. Perdagangan berlian tersebut merupakan sarana untuk melakukan pencucian uang milik perampok lain di darat agar uang hasil kejahatan tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan perdagangan berlian.

Hasil dari rampokan tersebut kemudian dibagikan kepada anak buahnya dan Henry Every pun berhenti melakukan perompakan.

19

Kemudian pada tahun 1920, Al Pacino sebagai salah satu mafia besar di Amerika yang mendapatkan uang yang berasal dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian dan penyelundupan minuman keras, melakukan pencucian uang agar

17

Tb. Irman S. Op.Cit., hlm. 59.

18

Kurs Valuta Asing, http:///www.bankmandiri.co.id/resource/kurs.asp, terakhir diakses tanggal 10 Maret 2013.

19


(26)

uang yang mereka dapatkan dari hasil kejahatan itu terlihat sebagai uang yang halal.

Pencucian uang atau money laundering yang dilakukan oleh Al Pacino adalah melalui usaha laundromats atau tempat cuci otomatis, yang untuk pengoperasiannya dimasukkan uang tunai ke dalam mesin tersebut, sehingga uang tunai hasil dari usaha laundromats bisa mempercepat proses pencucian uang. Dalam kegiatan pencucian uang yang dilakukannya, Al Pacino dibantu oleh Meyer Lansky, orang Polandia, seorang akuntan.20 Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Kegiatan yang dilakukan Al Pacino inilah yang memunculkan istilah money laundering. 21

Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasiaan nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya.22

20

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2008), hlm. 1.

21

Ziffany Fardinal, “Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Tindak Pidana Yang

Berkaitan dengan Perbankan”,

22

Hafis Mu’addab, “Sejarah Money Laundering”,

terakhir diakses


(27)

Pada tahun 1980-an, uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah, karenanya kemudian muncul istillah “narco dollar”, yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik.23

Asal muasal money laundering dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering dikenal dengan sebutan mafia. Money laundering biasanya dilakukan atas beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus “dicuci” atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal. Untuk itu, perlu diperketat mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernya maupun tujuan dana pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutus dan mencegah rantai aliran dana yang tidak jelas tersebut yang akan “dicucikan” oleh pemiliknya.24

Ada dua sumber dana haram yang biasanya digunakan dalam praktek money laundering, yaitu dana yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Dana tersebut bergentayangan dan dicarikan tempat yang aman untuk menyimpannya oleh pemiliknya. Hal tersebut dapat dilihat dengan munculnya

Dragon Bank”. “Dragon Bank” merupakan salah satu lembaga keuangan yang

mengelola “uang haram” setelah menerima pemutihan ( money laundering ) dari

23

A.S. Mamoedin, Analisis Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Rafflesia, 1997), hlm. 291-292.

24


(28)

pemilik dana dan berpusat di Vanuatu Pasifik selatan. Dalam perkembangannya, kasus money laundering tidak hanya melibatkan lembaga keuangan, badan hukum, atau lembaga yang lainnya namun juga, saat ini kasus money laundering sudah mulai merambah atau melibatkan lembaga keagamaan yang menurut orang-orang merupakan tempat yang suci dan sakral seperti masjid, gereja, pura, dan wihara.25

Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering, yang sudah tergolong pula sebagai kejahatan transnasional ini, maka pada tahun 1988 diadakan konvensi internasional, yaitu United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and

Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal dengan nama UN Drug

Convention.

26

Di Amerika Serikat, sebelum lahirnya United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances pada tahun 1998, telah ada beberapa ketentuan anti-money laundering, seperti The Bank Secrecy Act pada tahun 1970 dan Money Laundering Control Act pada tahun 1986.

27

Money Laundering Control Act ini dibentuk karena kekhawatiran para pengusaha legal di Amerika yang tidak mampu bersaing dengan pelaku pencucian uang yang memiliki dana yang tidak terbatas dan karena pemerintah juga khawatir terhadap dampak dari pencucian uang tersebut sehingga dikeluarkanlah Money Laundering

Control Act 1986 yang merupakan peraturan perundang-undangan tentang

pencucian uang yang pertama kali dibuat.28

25

Ibid.

26

Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 21.

27

Ibid., hlm 20

28


(29)

Kemudian untuk menindaklanjuti konvensi United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tersebut, pada bulan Juli 1989 di Paris dibentuk Financial Action Task Force (FATF) pada konferensi tingkat tinggi G7 pada tahun 1989. Sedangkan di Indonesia pembentukan undang-undang anti pencucian uang disebabkan masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 2001. Hal ini karena dengan masuknya suatu negara pada daftar NCCTs tersebut dapat menimbulkan akibat buruk terhadap sistem keuangan negara yang bersangkutan, misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut. Sejak diundangkannya UU no. 15 tahun 2002 maka Indonesia telah mengkriminalisasi TPPU.29

Latar belakang dibentuknya UU No. 15 Tahun 2002 adalah karena berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi, baik dalam batas wilayah suatu negara hukum maupun yang dilakukan, melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain, berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, tenaga kerja, dan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotrika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan,

29


(30)

terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih.30

Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk dulu ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan demikian, asal usul harta tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang atau money laundering.31

Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang amat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul harta kekayaan

30

Op.Cit., Adrian Sutedi, hlm. 4

31


(31)

yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.32

Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah melainkan bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan maupun perbankan.Oleh karena itu diperlukanlah suatu undang-undang untuk melarang pencucian yang dan menghukum dengan berat para pelaku tindak pidana tersebut, dengan ini keluarlah UU No. 15 Tahun 2002.33

Sehubungan tidak efektifnya UU tersebut dalam penerapannya maka dibuat dan disahkan UU no. 25 tahun 2003 pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan memperhatikan ketentuan rekomendasi FATF. Latar belakang dibentuknya UU No. 25 Tahun 2003 dipengaruhi oleh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antar negara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional ataupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk

32

Ibid.

33


(32)

menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana hasil tindak pidana money laundering.34

Berkenaan dengan itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam undang-undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Perubahan dalam undang-undang ini antara lain meliputi:35

a. Cakupan pengertian penyedia jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan, tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat, tetapi belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.

b. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan

mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

34

Ibid., hlm. 8

35


(33)

c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp. 500.000.000,00 atau lebih atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak bergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.

d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan di mana pelaku tindak pidana berupaya meyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil tindak pidana, tetapi perbuatan tersebut tidak dipidana.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi


(34)

keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.

f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan, antara lain, untuk mencegah perpindahan hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral, tetapi juga regional dam multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisasi.

Kemudian, karena dirasakan UU no. 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegak hukum, praktik, dan standar


(35)

internasional maka dikeluarkanlah UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 2003 tersebut.

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat beberapa asas-asas yang dapat dilihat dari bunyi pasal Undang-Undang tersebut, antara lain :36

a. Asas Double Criminality atau kriminalitas ganda

Asas ini terdapat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu penjatuhan pidana yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dalam hukum Indonesia, sehingga perbuatan apapun yang melanggar hukum di tempat manapun yang dilakukan oleh warga Indonesia maka tetap harus dipidana menurut hukum yang berlaku. Contoh seseorang melakukan perjudian di Negara yang melegalkan judi, kemudian hasil judinya dibawah ke Indonesia dan digunakan untuk berbagai hal, maka dapat dilakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Meskipun judi tersebut tidak dilakukan di Indonesia tetapi UU TPPU ini menganut asas Double Criminality sehingga dapat menjerat perbuatan tersebut.

b. Asas Lex Specialis

36

Lutfia, “Asas-Asas Yang Terdapat Dalam UU TPPU nomor 8 tahun 2010”,

terakhir


(36)

Asas ini terdapat dalam pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu Undang-Undang TPPU ini merupakan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang pencucian uang yang mepunyai peraturan tersendiri baik penyidikan, penuntutan, pemeriksaan serta pelaksanaan putusan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan ini.

c. Asas Pembuktian Terbalik

Asas ini terdapat pada pasal 69, pasal 77 dan 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010. Pasal 69 menyatakan, “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Maksud daripada pasal 69 ini adalah bahwa sudah dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa perlu membuktikan adanya tindak pidana asal atau predicate crime.

Pasal 77 menyatakan, “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Maksud daripada pasal 77 ini yaitu terdakwa harus membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang dimiliki untuk membuktikan kehalalan hartanya tersebut, melalui penetapan hakim. Jadi yang wajib membuktikan kebenaran asal usul dana tersebut bukan Jaksa Penuntut Umum tetapi terdakwa sendiri. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses persidangan dan dikhawatirkan


(37)

apabila JPU yang membuktikan dakwaan, alat bukti akan dihilangkan atau dirusakkan oleh terdakwa. Caranya dengan melalui penetapan hakim atau permintaan dari pihak jaksa kepada hakim untuk melaksanakan metode tersebut. Di pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan mengajukan alat bukti yang cukup. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni, melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang, Kalau semata-mata hanya masalah korupsi, tidak bisa diterapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaan nya adalah pencucian uang.

d. Asas in Absentia

Asas ini terdapat dalam pasal 79 ayat (1), yaitu pemeriksaan dan penjatuhan putusan oleh tanpa kehadiran terdakwa, jadi tidak ada penundaan sidang meskipun tidak dihadiri terdakwa proses hukum atau persidangan tetap berlanjut.

2. Subjek dan Objek Tindak Pidana Pencucian Uang

Subjek tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Subjek daripada tindak pidana pencucian uang, yaitu:


(38)

a. Orang Perseorangan

Orang perseorangan sebagai subjek hukum dari tindak pidana pencucian uang dapat dipahami dengan melihat pasal 1 ayat 9, pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 10 dan seterusnya. Dari pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut ditegaskan bahwa setiap orang terdiri dari orang perseorangan atau korporasi.

b. Korporasi

Korporasi sebagai subjek tindak pidana pencucian uang juga dijelaskan dalam pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan seterusnya, di mana dalam pasal 1 ayat 9 tersebut dikatakan setiap orang itu adalah orang perseorangan atau korporasi. Korporasi dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Objek daripada tindak pidana pencucian uang dapat dipahami dari bunyi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.37

37

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dari pasal tersebut maka jelas bahwa objek hukum tindak pidana pencucian uang yaitu meliputi segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(39)

3. Pelaporan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan kepada PPATK yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Transaksi keuangan mencurigakan

Transaksi keuangan mencurigakan menurut pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:38

1) Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil,

karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

2) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai denga ketentuan Undang-Undang ini; 3) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan

dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;

4) Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. b. Transaksi Keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit Rp.

500.000.000 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing

38

Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(40)

yang nilainya setara yang dilakukan baik dalam satu transaksi atau beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.39

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.40

4. Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang

Proses hukum tindak pidana pencucian uang terdiri dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang diatur mulai dari pasal 68 sampai pasal 82 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

a. Penyidikan

Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.41 Penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan Republik Indonesia.42

39

Pasal 23 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak

40

Pasal 23 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

41

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

42


(41)

pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.43

b. Penuntutan

Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap. Jika penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan, ketua pengadilan negeri wajib membentuk majelis hakim perkara tersebut paling lama tiga hari kerja sejak diterimanya berkas perkara tersebut.44 c. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

1) Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.45

2) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim

memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

43

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

44

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

45

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(42)

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.46

3) Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindakpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup47

4) Jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.48 5) Jika terdakwa hadir pada sidang berikutnyna sebelum

putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.49

6) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintahan daerah atau diberitahukan kepada kuasanya.50

46

Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

47

Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

48

Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

49

Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

50

Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(43)

7) Jika terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan harta kekayaan yang telah disita.51

8) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.52

5. Pemeriksaan dan Penghentian Sementara Transaksi

Ketentuan mengenai pemeriksaan dan penghentian sementara transaksi terkait dengan tindak pidana pencucian uang diatur mulai dari pasal 64 sampai dengan pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan intinya sebagai berikut:53

a. PPATK melakukan pemeriksaan terhadap transaksi keuangan mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Jika ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan hasil pemeriksaan kepada penyidik untuk

51

Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

52

Pasal 82 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

53


(44)

dilakukan penyidikan, dengan koordinasi antara penyidik dengan PPATK.

b. PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk

menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Jika penyedia jasa keuangan memenuhi permintaan tersebut, pelaksanaa penghentian sementara dicatat dalam berita acara penghentian sementara transaksi.

c. Penghentian sementara transaksi dilakukan dalam waktu paling lama lima hari kerja setelah menerima berita acara penghentian sementara transaksi. PPATK dapat memperpanjang penghentian sementara transaksi dalam waktu paling lama 15 hari kerja untuk melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang akan disampaikan kepada penyidik.

d. Jika tidak ada orang dan / atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 hari sejak tanggal penghentian sementara transaksi, PPATK menyerahkan penanganan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Jika yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepadan PN untuk memutuskan harta kekayaan tersebut sebagai aset negara


(45)

atau dikembalikan kepada yang berhak. Pengadilan harus memutus dalam waktu paling lama 7 hari.

6. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Money Laundering

Peraturan perundang-undangan terkait money laundering, antara lain:54

a. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. d. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

e. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. f. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

g. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

h. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.

i. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

j. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

k. Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan

International Convention for The Suppression of The Financing of

54


(46)

Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).

l. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

m. Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

n. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

o. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

p. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

q. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Komite Koordinasi Nasional dan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

r. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).

s. Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum di Indonesia Nomor : 3/29/DPNP.


(47)

t. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 3/23/PBI/2001 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).

u. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/21/PBI/2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor : 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).

v. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/23/PBI/2003 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Bagi Bank Perkreditan Rakyat.

w. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/1/PBI/2004 Tentang Pedagang Valuta Asing.

x. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor :

KEP-02/PM/2003 Tentang Prinsip Mengenal Nasabah.

y. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :

45/KMK.06/2003 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank

z. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :

624/PMK.04/2004 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 101/KMK.05/1997 Tentang Pemberitahuan Pabean.

aa.Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan Nomor : Kep.

2833/LK/2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pada Lembaga Keuangan Non Bank.


(48)

bb.Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : 01/BC/2005 Tentang Tata Laksana Pengeluaran dan Pemasukan Uang Tunai.

cc.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

dd.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 2/4/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

ee.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 2/5/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Pedagang Valuta Asing dan Usaha Jasa Pengiriman Uang.

ff. Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 2/6/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

gg.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 2/7/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Pedagang Valuta Asing dan Usaha Jasa Pengiriman Uang.

hh.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : 3/1/KEP.PPATK/2004 Tentang Pedoman Laporan Transaksi


(49)

Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporannya Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

ii. Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung RI, Kapolri, Gubernur BI Nomor KEP-902/A/J.A/12/2004, Nomor POL :SKep/924/XII/2004, Nomor 6/91/KEP.GBI/2004 Tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan.

jj. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: 17 Tahun 2005 tentang "Tatacara Pemberian Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang"

kk.Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : KEP-13/1.02.2/PPATK/02/08 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaaan Terorisme Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

ll. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).

mm. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/28/PBI/2009 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum.

nn. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 12/20/PBI/2010 tentang "Penerapan Program Anti Pencucian uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah"


(50)

oo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

pp. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Asia Pasific Group on Money Laundering

qq. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor : PER-01/1.02/PPATK/01/10 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

rr. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 14/27/PBI/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.

ss. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 14/3/PBI/2012 Tentang Program Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank.

tt. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang

uu. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-09/1.02.2/PPATK/09/12 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai Bagi Penyedia Jasa Keuangan.

vv. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-10/1.02.2/PPATK/09/12 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Audit Kepatuhan dan Audit Khusus


(51)

ww. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-11/1.02/PPATK/09/12 Tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan. xx. Peraturan Kepala PPATK Nomor Per-07/1.01/PPATK/08/12 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja PPATK.

yy. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-03/1.02.1/PPATK/03/2012 Tentang Pelaksanaan Penghentian Sementara dan Penundaan Transaksi di Bidang Perbankan, Pasar Modal dan Asuransi.

zz. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-14/1.02.1/PPATK/10/2011 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Pergadaian.

aaa.Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-12/1.02.1/PPATK/09/2011 Tentang Tata Cara Pelaporan Transaksi Bagi Penyedia Barang dan/atau Jasa Lainnya.

bbb. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-10/1.02.1/PPATK/09/2011 Tentang Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Penyedia Barang dan/atau Jasa Lainnya.

ccc. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-11/1.02.1/PPATK/09/2011 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Penyelenggara Pos.

ddd. Peraturan Kepala PPATK Nomor:PER-07/1.02/PPATK/12/10 Tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan.

eee. Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-5/1.01/PPATK/04/09 Tentang Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran.


(52)

fff. Keputusan Kepala PPATK Nomor:KEP-47/1.02/PPATK/06/2008 Tentang Pedoman Identifikasi Produk, Nasabah, Usaha dan Negara yang beresiko tinggi bagi Penyedia Jasa Keuangan.

ggg. Keputusan Kepala PPATK Nomor:KEP-1/1.01/PPATK/01/08 Tentang Pedoman Good Governance Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

C. Pengaturan Tentang Korporasi

Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang dalam banyak hal mirip fungsinya dengan korporasi seperti yang sudah kita kenal sekarang. Bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum, keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang terpisah dari anggotanya. Pada masa ini mulai dikenal perbedaan kedudukan individu yang terlepas dari organisasi.55

Pada abad pertengahan yang ditandai dengan mulai menurunnya kekuasaan Romawi, di mana masa depan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu tidak mungkin melakukan suatu usaha / perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib sosial. Sehingga pada masa itu di Eropa perkembangan korporasi lebih ditandai dengan adanya Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh hukum Romawi. Gereja ini memiliki kekayaan yang terpisah

55

Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hlm.34.


(53)

dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum manusia. Gereja sebagai suatu korporasi pertama kali diperkenalkan oleh Paus Innocent IV (1243-1254). Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (abad XIV) mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk kota praja. 56

Pada abad ke XIII dan XIV, pada kota-kota bagian utara Italia telah terdapat apa yang menjadi cikal bakal kemunculan korporasi, di mana pada kota-kota tersebut sudah terdapat dua bentuk kontrak kerja sama yang agak berbeda dengan Hukum Romawi Lama yang dikenal dengan istilah societas, yaitu disebut

Commanditaire Venootschap dan Venootschap onder Firma yang di Indonesia

dikenal sebagai CV dan Firma yang merupakan salah satu bentuk korporasi.57 Harold F. Lusk et al. dalam bukunya yang berjudul Business Law, sehubungan dengan sejarah perkembangan korporasi sebagai subjek hukum, menyatakan:58

“The general idea is very old that a corporation is a fictious legal person distinct from the actual persons who compose it. The romans recognized the corporation, and in England the corporate form was used extensively even before A.D. 1600, although most early characters were granted to municipalities or to ecclesiastical, educational, or charitable bodies.”

Pernyataan Harold F. Lusk itu apabila diterjemahkan maka kira-kira adalah sebagai berikut :

56

Ibid., hlm. 35

57

Ibid., hlm. 38.

58


(54)

“Gagasan umum yang sangat tua memahami bahwa korporasi adalah suatu badan hukum fiktif yang berbeda dari individu-individu yang sebenarnya membentuk korporasi tersebut. Orang Romawi telah mengenal korporasi, dan di Inggris korporasi telah sering digunakan secara luas bahkan sebelum 1600 SM, walaupun bentuk yang paling awal berkenaan dengan kota atau gerejawian, badan pendidikan, dan atau badan amal.”

Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks. Misalnya, Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdagangan wol dan tekstil yang diekspor ke daratan Eropa. Kemudian pada tahun 1599 dibentuk The English East India Company yang diresmikan oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1600. Sebelumnya, perkembangan korporasi ditandai dengan didirikannya beberapa usaha dagang di beberapa Negara seperti The Muscovy Company pada tahun 1555 yang merupakan wadah usaha dagang bangsa Rusia. Pada tahun 1581 dibentuk The Turkey or

Levant Company sebagai usaha dagang bangsa Turki. Pembentukan beberapa

usaha dagang / perusahaan ini merupakan cikal bakal korporasi pada zaman sekarang ini.59

Pada zaman Raja James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum (legal person), yang berbeda dengan manusia. Akan tetapi, bentuk korporasi tersebut merupakan awal dari bentuk korporasi yang bersifat modern di Inggris yang dikenal dengan nama Hudson’s Bay Company yang diresmikan oleh Raja Inggris pada tahun 1670, yang beroperasi di Kanada, dan

59


(55)

yang mempunyai hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah kolonial Inggris.60

Dengan adanya perkembangan akibat Revolusi Industri di Inggris, maka perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, memerlukan suatu modal yang besar dengan dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum untuk mengontrolnya, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata ”limited”.61

Di Amerika tahun 1795, tepatnya di North Carolina, didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang berlaku pada saat itu. Korporasi tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum. Kemudian, pada tahun 1799 di Massachusetts dibentuklah korporasi di bidang penyediaan air bersih dan pada tahun 1811, New York menjadi negara bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi yang bersifat umum yang bergerak di bidang manufaktur.62

Kemudian, Perancis pada tahun 1807 memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce.63

60

Ibid.

Hal tersebut tidak terlepas dari hukum Hukum

61

Ibid., hlm. 37

62

M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung : Alumni, 1987), hlm. 3.

63


(56)

Romawi yang dikenal dengan Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis peninggalan Romawi tersebut terdiri dari 4 buku:64

1. Institusional (lembaga). Buku I ini memuat tentang

lembaga-lembaga yang ada pada masa kekaisaran Romawi, termasuk di dalamnya Consules Mercatorum (pengadilan untuk kaum pedagang).

2. Pandecta. Buku II ini memuat asas-asas dan adagium hukum,

seperti “asas facta sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai otonom (kebebasan berkontrak); unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), dan lain-lain.

3. Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak memisahkan

antara hukum perdata dan hukum dagang. 4. Novelete. Berisi karangan atau cerita.

Di Eropa sendiri, perkembangan pesat hukum dagang yang erat kaitannya dengan korporasi, sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota dagang di Eropa Barat. Pada zaman itu, di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan seperti Genoa, Florence, Venesia, Marseille, Barcelona, dan lain-lain.65

64

Mulhadi, Hukum Perusahaan : Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 11

65


(57)

Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itu, di kota-kota Eropa Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri, di samping Hukum Romawi yang berlaku.66

Hukum yang berlaku dan berdiri sendiri ini berlaku hanya bagi pedagang dan hubungan-hubungan perdagangan, sehingga lebih populer disebut “Hukum Pedagang” (Koopmansrecht). Kemudian, pada abad ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Prancis mulai menyelenggarakan pengadilan-pengadilan istimewa, khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).67

Hukum pedagang ini awalnya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagang sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu sama lainnya. 68

Kemudian, disebabkan pesatnya perkembangan dalam dunia perdagangan dan eratnya hubungan antar daerah, ditambah dengan banyaknya konflik-konflik dagang yang menemui jalan buntu di masa itu, telah mendorong keinginan untuk membentuk satu kesatuan hukum (unifikasi) di bidang perdagangan yang berlaku untuk seluruh daerah.69

Pada abad ke-17 di Prancis, masa pemerintahan Raja Louis XIV, Menteri Keuangan Prancis pada saat itu yang bernama Colbert membuat suatu peraturan

66

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hlm. 307.

67

Ibid.

68

Ibid.

69


(58)

yaitu Ordonance du Commerce. Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance du

Commerce ini dalam tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yakni

Ordonnance de la Marine, yang mengatur hukum perdagangan laut untuk para

pedagang di kota pelabuhan.70

Pada tahun 1807, di Prancis selain adanya Code Civil des Francais yang merupakan hukum perdata Prancis, telah dibuat juga suatu kitab undang-undang hukum dagang tersendiri yaitu Code de Commerce yang merupakan kodifikasi dari hukum dagang yang dipisahkan dari hukum perdata yang dikodifikasikan dalam Code Civil.71

Code de Commerce memuat peraturan-peraturan yang timbul dalam

kegiatan perdagangan semenjak abad pertengahan. Dasar dari penyusunan Code

de Commerce ini antara lain adalah : Ordonannace du Commerce (1673) dan

Ordonnance de la Marine (1681) tersebut.72

Di Romawi, ditemukan adanya sebuah pengadilan khusus bagi para pedagang yang dinamakan Consules Mercatorum, yang kemudian oleh hukum dagang Perancis diambil alih dengan nama Judge et Consuls. Hakim-hakim Consules Mercatorum diambil dari pedagang itu sendiri. Badan pengadilan itu berdiri sendiri, terpisah dari badan peradilan umum lainnya. Lembaga penyelesaian sengketa dagang ini mirip dengan “ Arbitration” (pertama kali

70

Ibid.

71

Ibid., hlm. 308.

72


(59)

diperkenalkan di Amerika) yang memang lebih populer diberlakukan saat ini dalam hubungan-hubungan dagang atau bisnis yang berskala internasional.73

Sebenarnya, masuknya pengaruh hukum Romawi dalam hukum dagang Perancis ini disebut dengan gejala Resepsi Hukum Romawi. Pemisahan hukum perdata dan hukum dagang di Perancis adalah masuk akal disebabkan adanya perbedaan strata sosial dan golongan-golongan masyarakat yang berbeda, yang tidak persis sama dengan keadaan di Belanda.

74

Sedangkan di Amerika Serikat, korporasi dahulunya dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum untuk tujuan tertentu. Pada tahun 1909, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana yaitu pada Putusan Supreme Court dalam kasus New York Central and Hudson River R.R.v. United States.75

73

Mulhadi, Op.Cit., hlm. 13.

74

Ibid.

75

Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan


(60)

BAB III

BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KORPORASI

A. Pengaturan tentang Korporasi di Indonesia

Apabila membahas tentang pengaturan korporasi di Indonesia, maka tidaklah dapat dipisahkan dari pengaruh Wetboek van Koophandel atau WvK yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Belanda. Sedangkan WvK tidak dapat dipisahkan dari Code de Commerce Perancis yang diadaptasi oleh Belanda dalam pembuatan Wvk itu sendiri. Adapun mengenai awal mula diaturnya korporasi oleh Perancis telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Setiap perkembangan WvK Nederland memiliki pengaruh di Indonesia karena adanya asas korkondasi. Seperti halnya ketentuan mengenai maatschap (perseroan terbatas), di mana kata maatschap ini sejenis dengan kata “societas” yang berasal dari Romawi yang dikenal dalam sejarah Romawi Lama dengan Romainse Societas.76

Pengaturan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana, di Indonesia secara luas sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yaitu pada Undang-Undang Drt. No. 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 15 Undang-Undang Drt. No. 7 tahun 1955 yang menyatakan :

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yaysan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan,

76


(1)

doktrin identification theory / directing mind theory dan doktrin vicarious liability.

Doktrin identification theory menyatakan bahwa orang / personil pengendali korporasi yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan. Dengan kata lain unsur mens rea (guilty mind) dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus (guilty act) yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan. 151

Doktrin vicarious liability menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol.152

151

Bismar Nasution, Op.Cit. 152


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang, terdiri dari asas-asas,

subjek, objek tindak pidana pencucian, transaksi keuangan mencurigakan, proses hukum yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang menganut beban pembuktian terbalik serta pemeriksaan dan penghentian sementara transaksi.

2. Bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi terbagi atas 3 jenis, yaitu mulai dari placement, layering, dan integration yang dilakukan dengan berbagai metode baik dari yang paling dasar, yang dilatarbelakangi kegiatan ekonomi, sampai kepada bentuk pencucian uang yang menggunakan teknologi maupun internet sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.

3. Dari tindakan pencucian uang tersebut korporasi dapat dipidana dengan pidana pokok berupa pidana denda dan dapat dikenai pidana tambahan. Apabila pidana denda tersebut tidak dapat mampu dibayar, maka dapat diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi, dan apabila dari perampasan harta kekayaan tersebut masih tidak mencukupi, maka dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda terhadap personil pengendali korporasi dengan kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan.


(3)

B. Saran

1. Walaupun telah dibentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang telah menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan pendahulunya, tetapi belum ada diatur bagaimana penerapan pembuktian terbalik di hadapan sidang pengadilan. Oleh karena itu, kiranya bisa dibentuk Peraturan Pemerintah untuk mengatur hal tersebut.

2. Mengingat cara-cara pencucian uang yang semakin lama semakin canggih dan bervariasi kiranya kinerja penegakan hukum di lapangan juga dilakukan dengan seksama dan teliti sehingga tidak menimbulkan celah bagi pelaku tindak pidana untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

3. Mengingat di Indonesia belum ada satu pun putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana kepada korporasi, maka disarankan penegakan hukum di lapangan harus benar-benar jujur dan berani , mengingat Indonesia telah masuk dalam rezim anti pencucian uang 12 tahun lamanya. Untuk mensukseskan penegakan hukum pencucian uang, para aparat penegak hukum dalam setiap jajaran harus memproses korporasi apabila korporasi melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain itu dalam menjalankan operasionalnya, korporasi penyedia jasa keuangan hendaknya melakukan pemeriksaan terhadap pengguna jasa keuangan dan melakukan pelaporan kepada PPATK sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan lain yang terkait.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurachman, A., Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan: Inggris-Indonesia Jilid I, Jakarta : Yayasan Prapancha, 1963.

Abidin A.Z., Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983. Algra, NE et.al., Kamus Istilah Hukum Fockma Andreae Belanda – Indonesia,

Bandung : Binacipta, 1983.

Ali, Chaidir, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1987.

Ibrahim, Johnny, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2005.

Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan:Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.

Jahja , H. Juni Sjafrien, Melawan Money Laundering, Jakarta : Visimedia, 2012. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai

Pustaka, 1986.

Mamoedin , A.S., Analisis Kejahatan Perbankan, Jakarta: Rafflesia, 1997.

Muladi, dan Priyatni, Dwidja, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Mulhadi, Hukum Perusahaan:Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor: Peneerbit Ghalia Indonesia, 2010.

Nasution, Bismar, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung: BooksTerrace & Library, 2008.

S , Irman,Tb.., Hukum Pembuktian Pencucian Uang:Money Laundering, Jakarta: MQS Publishing, 2006.


(5)

Said, M. Nasir, , Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), Bandung : Alumni, 1987.

Setiyono, H, Kejahatan Korporasi:Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2003.

Subekti, R.Tjitrosudibio , Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1979. Sutedi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2008.

Syamsuddin , Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

URK, Etty, Hukum Korporasi : Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

C. Website

Adha Adhari, “Selayang Pandang Tindak Pidana Pencucian Uang”,

, terakhir diakses tanggal 15 April 2013.

Bismar Nasution, “Kejahatan

Korporasi”,http://www.bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/ (diakses tanggal 2 April 2013).


(6)

Hafis Mu’addab, “Sejarah Money Laundering”,

(diakses tanggal 10 Maret 2013).

Indra J. Tirtakusuma, “Telaah Sejarah Terhadap UU No. 15 Tahun 2002 – UU No. 25 Tahun 2003” 2013).

Lutfia, “Asas-Asas Yang Terdapat Dalam UU TPPU nomor 8 tahun 2010”, terakhir diakses tanggal 19 April 2013.

Ziffany Fardinal, “Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Tindak Pidana Yang

Berkaitan dengan Perbankan”,


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 66 142

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Sistem Pembuktian

3 54 131

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

0 1 118

UU 8 2010ttg Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 65

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG uu0082010

0 0 65

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencur

0 0 44

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG - Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 15

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang JURNAL ILMIAH

0 0 35