Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia sebelum mengalami keterpurukan ekonomi melakukan pembangunan yang berkelanjutan dengan faktor yang sangat mendasar yaitu faktor pendanaan. Dalam arti sejauh mana dana mampu berperan sebagai pendukung utama kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Bagi Indonesia dan umumnya negara-negara yang sedang membangun usaha, penghimpunan dan memang menjadi bagian yang menonjol serta memerlukan pengelolaan sebaik- baiknya. Dana didapat dari berbagai sumber baik dari dalam negeri maupun yang berasal dari bantuan luar negeri yang memang perlu ditata secara mapan disertai penyesuaian dengan pertumbuhan atau perkembangan kemajuan pembangunan agar penggunaannya tidak sia-sia. Disinilah letak pentingnya bank sebagai lembaga keuangan yang lazim dan diakui masyarakat luas terutama dalam fungsinnya sebagai pengelola dan penyalur dana. Setidak-tidaknya dalam memberikan kepastian hukum serta kepercayaan rakyat terhadap peranan bank untuk bertindak menjadi mata rantai perjalanan kehidupan dan pembangunan sebagai salah satu sumber dana, selain yang tersedia dalam masyarakat. Bank harus mampu menunjukkan tanggung jawabnya di bidang dana apabila diperlukan bantuannya oleh masyarakat menurut kepentingan yang ada. Khususnya kepentingan mereka yang bergerak di dunia usaha atau bisnis yang meminta jasa baik bank sebagai pihak untuk bekerja sama dalam hal dana. Kebijakan pemerintah tentang deregulasi perbankan diakui telah banyak membawa perubahan dalam sistem manajemen perbankan nasional. Hal ini terbukti di saat krisis ekonomi terjadi mulai pertengahan Juli 1997 dimana bank- bank yang secara manajerial tidak dikelola secara profesional dan hati-hati terpaksa harus dilikuidasi, dibekukan dan diambil alih. Dari bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup kurang lebih dari 55 bank, mengambil alih 11 bank bank take over dan 9 bank lainnya dibantu untuk mengambil program rekapitalisasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah Wijaya, 2000; Arifin, 2000. Menghadapi gejolak moneter yang warnai tingkat bunga yang tinggi, justru bank Syariah bebas dari negative spread, Karena bank Islam tidak berbasis pada bunga atau kekuatannya adalah pada kerjasama. Ketangguhan sistem ekonomi yang berasas Syariah telah teruji ketika badai krisis menghantam sendi- sendi perekonomian Indonesia yang menyebabkan sejumlah bank die out. Krisis itu berhasil dilewati dan menempatkan bank Muamalat Indonesia pada program restrukturisasi perbankan nasional pada tahun 1998 dalam kategori A CAR di atas 4 sehingga tidak memerlukan bantuan suntikan modal pemerintah dan hanya harus menyampaikan bisnis plan, sebagai wajarnya. Hal ini, menurut Adi Warman Karim 2003 terjadi karena beberapa hal, antara lain : Pertama, beroperasi atas dasar prinsip syariah melalui bagi hasil, tidak beroperasi atas dasar bunga riba, gharar, dan maisyir, dan karenanya tidak mempraktekkan pemberian bunga kepada deposan maupun penarikan bunga dari para pemimpin dana nasabah pembiayaan. Kedua , tidak mengalami negative spread. Hal ini terjadi karena bank Muamalat tidak memberikan bunga, dalam hal ini bagi hasil lebih besar dari yang diperoleh, melainkan revenue sharing dari hasil usaha nyata atas penyaluran dana masyarakat kepada sektor usaha yang dibiayai bank. Ketiga, tidak mengambil posisi untuk melakukan spekulasi mata uang gharar sehingga tidak mengalami problem NOP net Open Position. Keempat, bertumpu pada pemilikan terhadap usaha kecil dan menengah UKM yang terbukti tangguh dan tahan dalam menghadapi krisis perekonomian nasional. Kehadiran bank Syariah dengan filosofi bebas bunga memiliki signifikansi tersendiri bagi upaya pembangunan ekonomi nasional. Sistem perbankan nasional didominasi sistem bunga yang bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah kebawah merupakan permasalahan yang krusial, karena dibebani oleh pikiran bukan saja pada pengembalian modal pinjaman pokok, tetapi juga pada pengembalian bunga Antonio, M. 1998. Disamping itu, lembaga perekonomian Syariah tidak mengenal monopoli dan oligopoli yang melahirkan economic injustice , dan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang pada gilirannya melahirkan social gap. Tingkat bunga yang tidak mendukung berkembangnya ekonomi kerakyatan juga tidak dikenal karena dianggap riba yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan nilai agama. Selain itu kebijaksanaan uang ketat yang masih diberlakukan untuk meredam kegiatan spekulasi terhadap valuta asing tidak memungkinkan turunnya tingkat bunga dalam waktu dekat Antonio, 1998. Dengan spesifikasi di atas, bank syari’ah memberikan peluang kepada masyarakat luas, khususnya pengusaha kecil dan menengah untuk memperoleh pembiayaan perbankan tanpa dibebani oleh pikiran negative spread dari bunga. Dengan sistem bagi hasil, kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis dapat menggunakan hak preferensinya untuk menentukan kelanjutan usaha mereka. Transaksi bisnis akan berlanjut jika terjadi tawar menawar bargaining yang didasari atas prinsip kerelaan masing-masing kedua belah pihak 1 . Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa permasalahan menjadi rumit karena jumlah bank sakit yang diakibatkan oleh kredit macet karena bank menggunakan sistem pembungaan yang merupakan bagian dari riba yang keberadaannya sangat mencekik rakyat. Dan hal ini telah membuktikan bahwa bank konvensional telah menzalimi perekonomian rakyat. Maka haruslah dicari sistem perbankan lain untuk menggantikan sistem perbankan konvensional. Terdapat sebuah solusi untuk menggunakan sistem perbankan syari’ah yang tidak menggunakan sistem pembungaan yang dianggap telah menimbulkan banyak kerugian. Sistem perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil, karena menurut ajaran Islam pemberian bunga atau penerapan sistem pembungaan adalah 1 Muhammad, Bank Syariah: Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, ed.I, Yogyakarta; Penerbit Graha Ilmu, 2005, h.82-84. termasuk riba yang dilarang oleh ajaran Islam. Allah SWT menurunkan risalah larangan praktek riba dengan menggunakan empat tahapan, yakni 2 : 1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan disisi Allah. Allah berfirman:   +, - . 012  4 567 ,809 :; 1= ?A 4 0BCDE F GF - HI J KL MN Artinya: “ Dan sesuatu riba tambahan yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka yang berbuat demikian Itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya.” QS. Ar-Ruum : 39. Disebut pertama karena ia turun pada periode Mekkah, sedangkan ayat- ayat lain yang berbicara tentang riba turun pada periode Madinah. Pembicaraan tentang riba pada ayat ini hanya memberi gambaran bahwa riba yang disangka orang menghasilkan penambahan harta, dalam pandangan Allah tidak benar. Yang benar zakatlah yang mendatangkan lipat ganda. Disini tidak dijelaskan bahwa riba itu dilarang. Terhadap riba yang dibicarakan dalam surat Ar-Rum ini sebagai mufassir ada yang berpendapat bahwa riba tersebut bukan riba yang diharamkan. Riba dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu kepada orang lain 2 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah Jakarta: Zikrul Hakim, 2003, h.3. yang tidak didasarkan keikhlasan seperti pemberian hadiah dengan harapan balasan hadiah yang lebih besar. Ulama lain seperti Al-Alusi dan Sayyid Qutb memilih berpendapat bahwa riba dalam ayat itu adalah tambahan yang dikenal dalam muamalah sebagai yang diharamkan oleh Syar’i. kalau Sayyid Rasyid Rida menyatakan bahwa haramnya riba itu semenjak turunnya surat Ali Imran : 130, berarti ia membenarkan pendapat kelompok pertama 3 . 2. Allah memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya suka memakan riba. Allah SWT berfirman : O -PQKR - :ST UV W 0I 62 X 0? .HY. ZP  [E B W  [DP ?G .H ]?5 .H I I1_  `abR0c 4 d,8 H Ib e 7 = 1 U fY g ?  .HhP8  `a iE B 7 j1 k T= LE l-P .HfY m n ,b  oNW - Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” QS. An-Nisaa’ : 160-161. 3 Dr. Muh. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif , Cet.I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996, h. 60. 3. Allah SWT melarang memakan riba yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman : 0hp FDE :ST UV 2 +q PKr-F = LE0s t,L0E+Mp Ku V .H lvP0 J PL wlx Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imran : 130. 4. Allah melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba. Allah SWT berfirman : 0hp FDE :ST UV  Kuy V z { |} = Ju 8 ~ p J• - .HV P0L j {-F - O€. 0 4 • c Ju  .R .HKRZP - z z z .HKR +q :; NPK +q : ; NZPK rBƒ - rB Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan meninggalkan sisa riba, Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” QS. Al-Baqarah : 278-279. Dengan turunnya ayat terakhir tentang riba tersebut, maka seharusnya dapat mengubah paradigma berfikir orang-orang beriman, untuk tidak sekali-kali berhubungan dengan riba. Selain dari sistem pembungaan atau riba yang dilarang agama, bank syariah juga mempunnyai keunggulan berupa penerapan sistem bagi hasil yang tidak akan merugikan pihak manapun, selain itu terbukti bahwa eksistensi bank dengan sistem syariah lebih bertahan menghadapi krisis perekonomian karena bank bersistem syariah tidak tergantung pada perubahan tingkat suku bunga. Pada bank syariah juga terdapat produk-produk jasa yang hampir sama dengan produk jasa bank pada bank konvensional, di bank bersistem syariah terdapat jasa penyimpanan atau tabungan, jasa deposito, jasa investasi, jasa peminjaman dan jasa penjaminan, seperti bank garansi yang umumnya terdapat pada bank konvensional, namun dalam hal ini pemberian bank garansi yang diberikan oleh bank bersistem syariah tentu memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pemberian bank garansi dalam bank bersistem konvensional. Apa dan bagaimana bank garansi dalam sistem perbankan syariah inilah yang kemudian akan menjadi bahasan dalam skripsi dengan mengambil contoh dari pelaksanaan bank garansi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk selaku bank yang bersistemkan syariah. Bertitik tolak pada latar belakang masalah diatas, maka penulis menganggap perlu adanya pembahasan yang dituangkan oleh penulis dalam skripsi dengan judul “Analisa Pemberian Bank Garansi Dalam Sistem Syariah Kafalah Dan Pelaksanaanya Pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah