PENDAHULUAN Sistem Dan Kode Semiotika Dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi

❏ Ikhwanuddin Nasution Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 109 SISTEM DAN KODE SEMIOTIKA DALAM SASTRA: Suatu Proses Komunikasi Ikhwanuddin Nasution Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract The semiotic related to the system and code to have symbol to each other. When the system and code related to literary work, so have process to communication between reader to literary work and writer. In this process, Roland Barthes make five code and system level of meaning. For code, they are hermeneutic, proairetic, semic, symbolic and culture. And the system, Barthes make level of system, they are denotative and connotative. The system and code used for analysis of novel Penakluk Ujung Dunia work of Bokor Hutasuhut. Key words: system, code, and communication

1. PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, di dalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya sastra ditulis atau dicipkaan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa karya sastra dapat mengembangkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan sosial-budaya. Hal itu terjadi karya sastrawan juga dipengaruhi lingkungan dan zaman ketika menciptakan karyanya. Inilah yang dikatakan Damono 1998:234 bahwa karya sastra adalah benda budaya, ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan manusia yang merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya. Pada kesempatan lain, Damono 1999:43 mengungkapkan bahwa dalam lingkungan kebudayaan sendiri itu, seorang sastrawan tidak merasa ragu memanfaatkan ungkapan, nilai, norma, pengertian, dan gagasan yang umumnya terwujud dalam mitologi, untuk mengutarakan maksudnya. Bagaimanapun mitologi adalah alat yang paling efektif untuk menyampaikan maksud dalam sastra, sebab sastra merupakan hasil sulingan, perasaan, atau rekaman dari kebudayaan. Agar dapat menjadi alat komunikasi yang efektif, sastra harus menyangkutkan diri pada mitologi, tidak dapat dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Namun, karya sastra bukanlah memindahkan kanyataan yang ada dalam kehidupan nyata ke dalam dirinya. Sastrawan hanya menyatakan reaksinya terhadap kenyataan yang dilihatnya. Sastrawan akan mengungkapan yang ia anggap penting dan menghilangkan yang ia anggap tidak penting, sesuai dengan mekanisme yang ada dalam karyanya. Sebuah karya sastra pada hakikatnya mempunyai logika dan realitasnya sendiri, yang menguasai seluruh mekanismenya. Kebenaran dari logika dan realitas yang ada di dalamnya ditentukan sepenuhnya oleh hubungan yang integral dari sebuah unsur dengan unsur- unsur lain dalam sebuah karya, bukan oleh logika dan realitas yang berada di luar dirinya. Keduanya merupakan dua dunia yang berbeda. Sesuatu yang berlaku di dunia nyata tidak mungkin berlaku begitu saja pada karya sastra, atau sebaliknya. Pandangan dari sebuah peristiwa yang sama hanya mungkin berlaku pada suatu karya sastra bilamana disyaratkan oleh realitas dan logika yang menguasai karya sastra tersebut Junus, 1981:198– 199. Walaupun karya sastra itu memiliki logika dan realitasnya sendiri, tetapi bagaimanapun sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan dari kehidupan. Sastrawan menyajiulang, mengolah kembali, dan memperbarui kenyataan itu dari sudut pandangannya dengan sarana bahasa agar lebih terlihat realis, memolesnya secara memikat dan menyatu, serta menyampaikannya dengan penuh kekuasaan kepada pembacanya. Nurgiyantoro 1998:4 mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil dialog kontemplasi dan reaksi sastrawan terhadap lingkungan dan kehidupan. Karya sastra memuat penghayatan dan perenungan secara intens, penuh kesadaran, dan ❏ Ikhwanuddin Nasution Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 110 tanggung jawab sastrawan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Suatu karya sastra bukan tidak mungkin harus dipandang sebagai pelambang sosial, meskipun pandangan ini tidak harus dipatuhi. Namun, tidak pula ditafsirkan bahwa sastra harus dipahami lepas sama sekali dari konteksnya. Istilah kenyataan imajiner dapat dipahami, bahwa dalam melukiskan suatu kenyataan fiktif, sastrawan dapat saja mengambil bahan dari kenyataan objektif. Sebaliknya, sastra sebagai pelambang sosial pun tidak diartikan sebagai mengandung kenyataan sebenarnya, sebagaimana seseorang sedang melihat fotocopy suatu kenyataan. Kenyataan dalam karya sastra dipandang sebagai pelambang sosial pada saatnya dipakai sebagai penghubung masyarakat tertentu, sebagai pelaku tersier yang sebenarnya telah terpisah jauh secara psikologis dari sastrawannya Atmaja, 1986:12. Menurut Freud Darma, 1995:42 yang ditulis oleh seorang sastrawan pada dasarnya sambungan kenangan di masa kecil. Imajinasi sastrawan kembali pada masa lalunya untuk diungkapkan dalam bentuk penulisan kreatif, yang merupakan rangkaian masa lalu, kini, dan nanti. Mangunwijaya 1999:124 mengatakan bahwa proses kreatif pada dasarnya dimulai jauh pada usia sangat awal ketika masih kanak-kanak. Didikan orang tua, dunia sekeliling, suasana pendidikan di sekolah, dan sebagainya merupakan dunia perangsang kreasi dan pembina karya yang tidak boleh diabaikan dampaknya bagi seorang penulis. Secara sederhana karya sastra dapat dikatakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Namun, bagaimanakah komunikasi itu terjadi pada karya sastra, sehingga apa yang ingin disampaikan oleh sastrawan sampai kepada pembacanya. Sastra penuh dengan tanda-tanda dan memiliki sistem, yang secara lebih besar dikaitkan dengan kode. Oleh karena itu, untuk menafsirkan dan memahaminya diperlukan pemahaman atas kode- kode yang ada dalam karya sastra tersebut. Sastrawan hidup dalam berbagai jenis rangkaian kode, ia hanya bisa menyampaikan pesannya dengan mempergunakan kode-kode itu sebagai alatnya. Kode-kode itu akan berhubungan dengan sosial-budaya yang dipahami oleh sastrawan, sehingga seorang pembaca kritikus setidaknya “mengetahui” sosial-budaya mana yang digambarkan dalam karya itu, sehingga memudahkannya untuk memahami kode-kode dalam sebuah karya sastra.

2. SISTEM DAN KODE SEMIOTIKA