BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis
dengan putusan pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap
inkraht
. Fungsi pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi,
dan reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Penjeraan dalam sistem pemidanaan memiliki unsur-unsur balas dendam di Lembaga
Pemasyarakatan, sehingga para warga binaan pemasyarakatan sering mengalami siksaan untuk memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya.
Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi terhadap tersangka, terdakwa, maupun narapidana. Manusia yang menjalani pidana
penjara untuk tujuan penghukuman di negara manapun dalam sejarah pernah mengalami masa-masa suram. Negara-negara Eropa Barat juga kerap kali
melakukan kekerasan terhadap narapidananya, bahkan hingga abad ke-19, di Belanda masih berlaku tindakan memberi cap pada tubuh narapidana dengan
besi panas yang membara
1
. Kedua fungsi pemidanaan tersebut mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan perbuatan pidana dan menyadarkan serta
mengembalikan warga binaan pemasyarakatan tersebut ke dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan
1
R.N. Tubagus Ronny, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, Jakarta, hlm. 76.
masyarakat sekitar atau lingkungannya
2
. Pemidanaan pada saat ini lebih ditujukan sebagai pemulihan konflik atau menyatukan terpidana dengan
masyarakat
3
. Kenyataan yang ada pada saat ini, seiring dengan berkembangnya
pembangunan Indonesia yang pesat dan globalisasi, masalah anak masih sering terjadi dan belum bisa diatasi secara maksimal. Terkadang masih
banyak dijumpai penyimpangan perilaku yang di lakukan di kalangan anak- anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan
melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Selain itu, faktor lain seperti perkembangan industrialisasi dan urbanisasi juga dapat
menyebabkan tingkat kejahatan yang dilakukan di kalangan anak-anak semakin meningkat. Bentuk dan jenis kejahatan ternyata bukan hanya dari
kalangan orang dewasa saja, akan tetapi anak-anak juga bisa saja menjadi pelaku kejahatan.
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan
bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
2
Samosir Djisman, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hlm. 4.
3
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.OT.02.02. Tahun 2009 tentang Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan.
Kejahatan yang dilakukan oleh anak pada umumya disertai unsur mental dengan motif subyektif, yaitu untuk mencapai suatu objek tertentu
dengan disertai kekerasan dan agresi. Umumnya anak-anak sangat egois dan suka menyalahgunakan harga dirinya
4
. Anak dalam usia remaja merupakan usia yang sangat produktif dan cepat tanggap dalam menerima hal-hal baru,
karena pada saat usia produktif itulah perkembangan otak anak sangatlah cepat. Hal-hal baru yang diterima oleh anak terkadang tidak mampu diterima
dan dipahami secara baik oleh anak, sehingga hal-hal tersebut itulah yang nantinya akan menjadi masalah bagi anak-anak itu sendiri yang dapat
menyebabkan anak melakukan suatu tindak kejahatan
5
. Pidana penjara yang diberikan kepada anak-anak bukanlah solusi yang
tepat guna mengurangi jumlah kejahatan terhadap anak, oleh karena itu maka harus diberikan pembinaan dan pendidikan bagi anak untuk tidak mengulangi
perbuatannya kembali. Pemberian pidana penjara tersebut justru sebaliknya akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap seorang anak, baik itu
dampak positif, negatif, psikologis, psikososial, maupun mentalitas terhadap anak tersebut.
Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan
adalah Rumah Penjara diperuntukkan bagi Narapidana, dan Rumah Pendidikan Negara diperuntukkan bagi Anak yang berhadapan dengan
hukum. Sistem pemenjaraan secara berangsur-angsur dipandang sebagai
4
Wagiati Soetedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, hlm. 2.
5
Kartono Kartini, 1986, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 5.
suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Oleh karena itu, pembinaan dan pendidikan merupakan
suatu sistem dan sarana yang tepat agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana, dan kembali menjadi
warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar,
yaitu dari “Sistem Kepenjaraan” menjadi “Sistem Pemasyarakatan”. Begitu pula institusinya yang semula disebut dengan “Rumah Penjara” berubah
menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”, berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8506 Tanggal 17 Juni 1964
6
. Digantinya
Sistem Kepenjaraan
menjadi Sistem
Pemasyarakatan dimaksudkan bahwa selain untuk merumuskan dari pidana penjara,
pemasyarakatan juga merupakan sistem pembinaan dalam bidang
treatment of offender
yang
multilateral oriented
dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada pada Narapidana yang bersangkutan.
Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan konsepsi
umum mengenai
pemidanan. Sistem
Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi
6
Endang Sumiarni, 2003, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Hukum Pidana , Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 429.
masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Anak yang bersalah seharusnya pembinaannya itu ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak, dan penempatan anak yang bersalah kedalam Lembaga Pemasyarakatan Anak itupun tentunya dipisah-pisahkan
sesuai dengan status mereka masing-masing, yaitu Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Namun dalam hal ini, Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Tasikmalaya bukan merupakan Lembaga Pemasyarakatan Anak, tetapi didalamnya juga terdapat Narapidana Anak walaupun jumlahnya tidak
begitu banyak. Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, dikatakan bahwa : “Anak Pidana ditempatkan di LAPAS
Anak”. Kemudian di dalam Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga dikatakan bahwa :
“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa”. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berpendapat bahwa Anak
Pidana seharusnya tidak ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya, mengingat LAPAS tersebut bukanlah merupakan
LAPAS khusus untuk Anak. Anak Pidana yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya tersebut tentunya dipisahkan ruang
selnya dengan Narapidana dewasa. Adanya pemisahan ruang sel antara
Narapidana Anak dengan Narapidana dewasa tersebut, akan tetapi, pada saat pagi sampai menjelang sore, anak pidana tersebut dapat berbaur dan bergaul
bebas dengan Narapidana lainnya, karena pemisahan ruang sel tersebut hanya dilakukan pada saat malam hari saja.
Jelas hal ini akan menimbulkan dampak bagi anak pidana, baik itu dampak yang bersifat positif, negatif, maupun dampak psikologis terhadap
anak selama anak pidana tersebut menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya. Bagi anak pidana yang ditempatkan
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya, perlu ditegaskan bahwa anak pidana tersebut juga berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
dengan Narapidana lainnya yang ada didalam LAPAS, sesuai dengan apa yang termaktub didalam Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dikaji mengenai Tinjauan
Terhadap Pelaksanaan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya, dan apakah alasannya
sehingga Narapidana Anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya. Penempatan Narapidana Anak di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Tasikmalaya tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada sebagaimana tercantum di dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
mengingat bahwa Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya tersebut bukan merupakan Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis
membahas lebih mendalam dalam penelitian yang berjudul Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Narapidana
Anak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Tasikmalaya.
B. Rumusan Masalah